1
atipikal yang lebih baru, disamping berafinitas terhadap ‘Dopamine D2 Receptors’ juga
terhadap ‘Serotonin 5 HT2 Receptors’.
Obat neuroleptika bukan untuk pengobatan kuratif dan tidak menghilangkan
gangguan pemikiran yang fundamental, tetapi sering memungkinkan pasien psikotik
berfungsi dalam lingkungan yang suportif.
2
1.2 Farmakokinetik
Obat-obat anti psikotik dapat diserap pada pemberian peroral, dan dapat
memasuki sistem saraf pusat dan jaringan tubuh yang lain karena obat anti psikotik
adalah lipid-soluble. Kebanyakan obat-obatan antipsikotik bisa diserap tapi tidak
seluruhnya. Obat-obatan ini juga mengalami first-pass metabolism yang signifikan. Oleh
karena itu, dosis oral chlorpromazine and thioridazine mempunyai availability sistemik
25 – 35%. Haloperidol dimetabolisme lebih sedikit, dengan availability sistemik rata-rata
65%. Kebanyakan obat antipsikotik bergabung secara intensif dengan protein plasma (92
– 99%) sewaktu distribusi dalam dalam darah. Volume distribusi obat-obatan ini juga
besar, biasanya lebih dari 7L/kg.
Obat-obatan ini memerlukan metabolisme oleh hati sebelum eliminasi dan
mempunyai waktu paruh yang lama dalam plasma sehingga memungkinkan once-daily
dosing. Walaupun setengah metabolit tetap aktif, seperti 7-hydroxychloropromazine dan
reduced haloperidol, metabolit dianggap tidak penting dalam efek kerja obat tersebut.
Terdapat satu pengecualian, yaitu mesoridazine, yang merupakan metabolit utama
thioridazin, lebih poten dari senyawa induk dan merupakan kontributor utama efek obat
tersebut. Sediaan dalam bentuk parenteral untuk beberapa agen, seperti fluphenazine,
thioridazine dan haloperidol, bisa dipakai untuk terapi inisial yang cepat.
Sangat sedikit obat-obatan psikotik yang diekskresi tanpa perubahan. Obat-obatan
tersebut hampir dimetabolisme seluruhnya ke substansi yang lebih polar. Waktu paruh
eliminasi (ditentukan oleh clearance metabolic) bervariasi, bisa dari 10 sampai 24 jam.
3
Sebagian besar obat antipsikotik memblok reseptor postsinaps pada SSP, terutama
pada sistem mesolimbik-frontal.
Penggunaan obat yang meningkatkan aktivitas dopamin, seperti levodopa
(prekursor dopamin), amfetamin (merangsang sekresi dopamin), apomorfin
(agonis langsung reseptor dopamin) dapat memperburuk skizofrenia ataupun
menyebabkan psikosis de novo pada pasien.
Pemeriksaan dengan positron emission tomography (PET) menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan reseptor dopamin pada pasien skizofrenia (baik yang
menjalani terapi ataupun tidak) bila dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita skizofrenia.
Pada pasien skizofrenia yang terapinya berhasil, telah ditemukan perubahan
jumlah homovallinic acid (HVA) yang merupakan metabolit dopamin, pada
cairan serebrospinal, plasma, dan urin.
Telah ditemukan peningkatan densitas reseptor dopamin dalam region tertentu di
otak penderita skizofren yang tidak diobati. Pada pasien sindroma Tourette, tic
klinis lebih jelas jika jumlah reseptor D2 kaudatus meningkat.
Hipotesis dopamin untuk penyakit skizofren tidak sepenuhnya memuaskan karena obat-
obatan antipsikotik hanya sebagian yang efektif pada kebanyakan pasien dan obat-obatan
tertentu yang efektif mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi untuk reseptor-reseptor
selain reseptor D2.
4
2. Jalur dopamin mesolimbik
Jalur ini berasal dari batang otak dan berakhir pada area limbic. Jalur dopamin
mesolimbik terlibat dalam berbagai perilaku, seperti sensasi menyenangkan, euphoria
yang terjadi karena penyalahgunaan zat, dan jika jalur ini hiperaktif dapat
menyebabkan delusi dan halusinasi. Jalur ini terlibat dalam timbulnya gejala positif
psikosis.
3. Jalur dopamin mesokortikal
Jalur ini berproyeksi dari midbrain ventral tegmental area menuju korteks limbic.
Selain itu jalur ini juga berhubungan dengan jalur dopamine mesolimbik. Jalur ini
selain mempunyai peranan dalam memfasilitasi gejala positif dan negative psikosis,
juga berperan pada neuroleptic induced deficit syndrome yang mempunyai gejala
pada emosi dan sistem kognitif.
4. Jalur dopamin tuberoinfundibular
Jalur ini berasal dari hypothalamus dan berakhir pada hipofise bagian anterior. Jalur
ini bertanggung jawab untuk mengontrol sekresi prolaktin, sehingga kalau diblok
dapat terjadi galactorrhea.
5
Klorpromazin (CPZ) berefek antipsikosis dan bersifat sedasi. Indikasi utama
fenotiazin adalah skizofrenia, dengan gangguan psikosis. Gejala psikosis yang
dipengaruhi oleh fenotiazin dan antipsikosis lain adalah ketegangan, hiperaktivitas,
combativeness, hostality, halusinasi, delusi akut, susah tidur, anoreksia, perhatian diri
yang buruk, negativisme dan kadang-kadang mengatasi sifat menarik diri. Sedangkan
pengaruh fenotiazin kurang terhadap insight, judgement, daya ingat dan orientasi.
Butirofenon diantaranya adalah haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan
mania penderita psikosis yang karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin.
Buirofenon merupakan obat pilihan untuk mengobati sindrom Gilles de la Tourette, suatu
kelainan neurologik yang ditandai dengan kejang otot hebat, menyeringai (grimacing)
dan explosive utterances of foul expletives (koprolalia, mengeluarkan kata-kata jorok).
Dibenzodiazepin bersifat atipikal, diantaranya klozapin efektif untuk mengontrol
gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang positif (iritabilitas) maupun yang negatif
(social disinterest, incompetence, dan personal neatness).
Pemberian antipsikosis sangat memudahkan perawatan pasien. Walaupun
antipsikosis sangat bermanfaat untuk mengatasi gejala psikosis akut, namun penggunaan
antipsikosis saja tidak cukup untuk merawat pasien psikotik. Perawatan, perlindungan
dan dukungan mental-spiritual terhadap pasien sangatlah penting.
6
menetap yang berlangsung berhari-hari dan sangat mengganggu. Prometazin digunakan
untuk pengobatan pruritus karena sifat-sifat antihistaminnya.
Apabila antipsikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang
sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan antipsikosis lain
(sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekuivalennya, dimana profil
efek samping belum tentu sama.
Apabila dalam riwayat penggunaan antipsikosis sebelumnya, jenis antipsikosis
tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat
dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
1.6 Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
- Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam
- Waktu paruh : 12 – 24 jam (pemberian obat 1-2 x perhari)
- Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping
(dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas
hidup pasien.
Pengobatan dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran
dinaikkan setiap 2 – 3 hari
sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaan Sindrom Psikosis)
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan
dosis optimal
dipertahankan sekitar 8 – 12 minggu (stabilisasi)
diturunkan setiap 2 minggu
dosis maintenance
dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1- 2 hari/minggu
tappering off (dosis diturunkan tiap 2 – 4 minggu)
stop
7
1.6.1 Lama Pemberian
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang ”multi episode”, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang
cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali.
Efek antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah
dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan
kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian baru gejala Sindrom
Psikosis kambuh kembali. Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat
lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai keaktifan antipsikosis.
Pada umumnya pemberian antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk ”Psikosis
Reaktif Singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kurun
waktu 2 minggu – 2 bulan.
Antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan
dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali. Pada
penghentian yang mendadak dapat timbul gejala ”Cholinergic Rebound”, yaitu :
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dll. Keadaan ini akan mereda
dengan pemberian ”anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (IM), tablet
Trihexyphenidyl 3 x 2 mg/h).
Oleh karena itu, pada penggunaan bersama antipsikosis + antiparkinson, bila
sudah tiba waktu penghentian obat, antipsikosis dihentikan lebih dahulu, kemudian baru
menyusul obat antiparkinson yang dihentikan.
Pada penggunaan parenteral, antipsikosis ”long-acting” (Fluphenazine Decanoate
25 mg/ml atau Haloperidol Decanoas 50 mg/ml, IM, untuk 2 – 4 minggu) sangat berguna
untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif
terhadap medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan per oral dahulu beberapa
minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas.
8
Dosis mulai dengan ½ ml setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian baru
ditingkatkan menjadi 1 ml setiap bulan.
Pemberian antipsikosis ”long-acting” hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus Skizofrenia. 15-25% kasus
menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping ekstrapiramidal.
Pemilihan antipsikosis dapat didasarkan atas struktur kimia serta efek farmakologi
yang menyertai. Mengingat perbedaan antargolongan antipsikosis lebih nyata daripada
perbedaan masing-masing obat dalam golongannya, maka cukup dipilih salah satu obat
dari satu golongan saja. Pedoman terbaik dalam memilih obat secara individual ialah
riwayat respon pasien terhadap obat.
Kecenderungan pengobatan saat ini ialah meninggalkan antipsikosis berpotensi
rendah misalnya CPZ dan tioridazin, kearah penggunaan obat berpotensi tinggi, misalnya
tiotiksen, haloperidol dan flufenazin.
Pedoman pemilihan antipsikosis adalah sebagai berikut :
1. Bila resiko tidak diketahui atau tidak ada komplikasi yang tidak diketahui
sebelumnya, maka pilihan jatuh pada fenotiazin berpotensi tinggi.
2. Bila kepatuhan penderita menggunakan obat tidak terjamin, maka pilihan jatuh
pada flufenazin oral dan kemudian tiap 2 minggu diberikan suntikan flufenazin
enantat atau dekanoat.
3. Bila penderita mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular atau stroke, sehingga
hipotensi merupakan hal yang membahayakan, maka pilihan jatuh pada fenotiazin
piperazin, atau haloperidol.
4. Bila karena alasan usia atau faktor penyakit, terdapat resiko efek samping
ekstrapiramidal yang nyata, maka pilihan jatuh pada tioridazin.
5. Tioridazin tidak boleh digunakan apabila terdapat gangguan ejakulasi.
6. Bila efek sedasi berat perlu dihindari, maka pilihan jatuh pada haloperidol atau
fenotiazin piperazin.
7. Bila penderita memiliki kelainan hepar atau cenderung menderita ikterus,
haloperidol merupakan obat yang paling aman pada stadium awal pengobatan.
9
Apabila antipsikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang
sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan antipsikosis lain
(sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekuivalennya, dimana profil
efek samping belum tentu sama.
Apabila dalam riwayat penggunaan antipsikosis sebelumnya, jenis antipsikosis
tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat
dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
b. Efek endokrin
CPZ menghambat ovulasi dan menstruasi, juga menghambat sekresi ACTH. Hal
ini dikaitkan dengan efeknya terhadap hipotalamus.
10
empat diantaranya terjadi sewaktu obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia,
parkinsonisme dan sindroma neuroleptik malignant, sedangkan dua gejala lain timbul
setelah pengobatan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, berupa tremor perioral
dan diskinesia tardif.
2. Haloperidol
a. Efek samping dan intoksikasi
Menimbulkan reaksi ekstra pyramidal terutama pada pasien usia muda. Dapat
terjadi depresi akibat reversi keadaan mania atau sebagai efek samping. Leukopenia
dan agranulositosis ringan dapat terjadi. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada
wanita hamil.
b. Susunan saraf pusat
Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami
eksitasi, menurunkan ambang rangsang konvulsif, menghambat sistem dopamin dan
hypothalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin.
c. Sistem saraf otonom
Dapat menyebabkan pandangan kabur. Obat ini menghambat aktifitas reseptor
yang disebabkan oleh amin simpatomimetik.
d. Sistem kardiovaskular dan respirasi
Menyebabkan hipotensi, takikardi, dan dapat menimbulkan potensiasi dengan
obat penghambat respirasi.
e. Efek endokrin
Menyebabkan galaktore
11
2. Senyawa piperidil :
Mepazin ++ ++ +++ ++
Tioridazin + + ++ ++
3. Senyawa piperazin :
Asetofenazin ++ ++ + +
Karfenazin +++ +++ ++ ++
Flufenazin +++ +++ ++ +
Perfenazin +++ +++ + +
Proklorperazin +++ +++ ++ +
Trifluoperazin tiopropazat +++ +++ ++ +
B. NON-FENOTIAZIN
Klorprotiksen ++ ++ +++ ++
C. BUTYROPHENONE
Haloperidol +++ +++ + +
12
yang dating bertahun-
terlambat) tahun
pengobatan
Diskinesia tardif Diskinesia mulut- Setelah Diduga : Sulit dicegah,
wajah; berbulan- kelebihan efek pengobatan tidak
koreoatetosis bulan atau dopamin memuaskan
atau distonia bertahun-
meluas tahun
(memburuk
dengan
penghentian)
13
BAB II
OBAT ANTI DEPRESI
14
Obat golongan ini adalah amoksapin, maprotilin, trazodon, bupropion, venlafasin,
mirtrazapin, dan nefazodon.
Farmakokinetik obat golongan ini sama seperti antidepresan trisiklik. Trazodon
dan venlafasin memiliki waktu paruh yang sempit sehingga diperlukan dosis terbagi pada
awal pengobatan, pada pengobatan lebih lanjut dapat digunakan dosis tunggal.
15
Obat ini mudah diabsorbsi pada pemberian per oral tetapi efek antidepresan
memerlukan 2 sampai 4 minggu pengobatan. Regenerasi enzim biasanya terjadi beberapa
minggu setelah penghentian obat. Obat ini dimetabolisme di hepar dan diekskresikan
melalui ginjal.
16
2.1.3. Interaksi Obat
Trisklik+ Haloperidol/Phenotiazine = mengurangi eksresi dari Trisiklik( kadar
dalam plasma meningkat). Terjadi potensiasi efek antikolinergik(ileus
paralitik, disuria, gangguan absorbsi).
SSRI/TCA+MAOI= Serotonin Malignant Syndrome dengan gejala-gejala:
gastrointestinal distress(mula, muntah,diare), agitasi(mudah marah, ganas),
restlessness(gelisah).
MAOI + “sympathomimetic drugs” (phenypropanolamine, pseudoephedrine
pada obat flu/ asma, noradrenaline pada anastesi lokal,derivat amfetamine, L-
dopa) + efek potensiasi yang dapat menjurus ke Krisis Hipertensi (acute
paroxysmal hypertension), dimana ada resiko terjadinya serangan stroke.
MAOI+ Senyawaan mengandung “tyramine”(keju, anggur) = dapat terjadi
krisis Hipertensi(“Hypertensive Crisis”) dengan resiko serangan stroke pada
usia lanjut.
Obat anti depresi + CNS Depressant (morphine,benzodiazepine,alcohol) =
potensiasi efek sedasi dan penekanan terhadap pusat nafas, resiko timbulnya
“respiratory failure”.
17
Mirtazapine + +++ + +
Maprotiline + ++ + Ringan
Mianserin + ++ + +/-
Amoxapine + + ++ Tidak ada
Tianeptine +/- +/- +/- Minimal
Moclobemide +/- +/- +
Sertraline +/- +/- +/-
Paroxetine +/- +/- +/-
Fluvosamine +/- +/- +/-
Fluoxetine +/- +/- +/-
Citalopram +/- +/- +/-
Pemilihan jenis obat anti depresi tergantung pada toleransi pasien terhadap
efek samping dan penyesuaian efek samping terhadap kondisi pasien (usia,
penyakit fisik tertentu, jenis depresi)
Misalnya:
Trisiklik (Amitriptyline, Imipramine) → efek samping sedatif, otonomik,
kardiologik lebih besar→ diberikan pada pasien muda (young healthy)
yang lebih besar toleransi terhadap efek samping tersebut dan bermanfaat
untuk meredakan ‘agitated depression’.
Tetrasiklik (Maprotiline, Mianserin) dan Atipikal (Tazodone, Mirtazapine)
→ efek samping otonomik, kardiologik relatif lebih kecil, efek sedasi
lebih kuat → diberikan pada pasien yang kondisinya kurang tahan
terhadap efek otonomik dan kardiologik(usia lanjut) dan sindrom depresi
dengna gejala anxietasdari insomnia yang menonjol.
SSRI (Fluoxetine, Setraline) → efek sedasi, otonomik,hipotensi sangat
minimal→ untuk pasien ‘retarded depression’ pada usia dewasa dan usia
lanjut, atau yang dengan gangguan jantung, berat badan lebih, dan
keadaan lain dimana manfaat efek samping yang minimal tersebut.
MAOI-Reversible (Meclobemide) → efek samping hipotensi ortostatik
(relatif sering) → pasien usia lanjut mendadak bangunmalam hari ingin
miksi→ resiko jatuh dan dan trauma lebih besar. Perubahan posis tubuh
dianjurkan tidak mendadak, dengan tenggang waktu dan gradual.
18
Mengingat profil efek sampingnya, untuk penggunaan pada Sindrom
Depresi ringan dan Sedang yang datang berobat jalan pada fasilitas
kesehatan, pemilihan obat anti depresi sebaiknya mengikuti urutan(step
core)
o Step 1 = Gol SSRI (Fluoxetine, Sertraline)
o Step 2 = Gol Trisiklik (Amitriptyline)
o Step 3 = Gol Tetrasiklik (Maprotiline)
Gol ‘atypical’ (Trazodone)
Gol MAOI Reversible (Moclobemide)
Pertama-tama gunakan golongan SSRI yang efek sampingnya sangat
minimal, spectrum anti depresi luas, gejala putus obat minimal, dan lethal
dose yang tinggi (>6000mg) sehingga relatif aman.
Bila telah diberikan dosis yang adekuat dalam jangkawaktu yang cukup
(sekitar 3 bulan)tidak efektif, dapat beralih ke golongan kedua, golongan
Trisiklik, yang spectrumnya luas namun efek sampingnya lebih berat.
Bila pilihan kedua belum berhasil, dapat beralih ketiga dengan spectrum
anti depresi yang lebih sempit dan juga efek samping lebih ringan
dibanding Trisiklik, yang terringan yaitu golongan MAOI Reversible.
Disamping itu juga dipertimbangkan bahwa pergantian SSRI ke MAOI
membutuhkan waktu 2-4 minggu istirahat untuk ‘wash out period’ guna
mencegah timbulnya ‘Serotonin Malignant Syndrome’.
Lithium digunakan pada ‘Unipolar Recurrent Depression’ yaituuntuk
mencegah kekambuhan sebagai ‘Mood stabilizers’ dibutuhkan kadar
serum lithium 0,4-0,8 mEq/L.
Untuk efek Mania, kadar serum lithium 0,8-1,2 mEq/L (kadar teraupetik).
Kadar toksik adalah >1,5 mEq/L.
Rentang kadar serum terapeutik dan toksis sempit sehingga membutuhkan
monitoring kadar serum lithium untuk deteksi dini intoksikasi.
Dosis obat Lithium sekitar 250-500 mg/h untuk mencapai kadar serum
Lithium profilaksis.
19
2.1.4.2. Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
o Onset efek primer: sekitar 2-4 minggu
o Onset efek sekunder : sekitar12-24 jam
o Waktu paruh: 12-48 jam (pemberian 1-2 kali/ hari)
Ada 5 proses dalam pengaturan dosis:
1. Initiating dosage (test dose) → untuk mencapai dosis anjuran selama
minggu 1.
Misalnya: dosis Amitriptyline 25 mg/h = hari 1 dan 2
50 mg/h = hari 3 dan 4
2. Titrating dosage (optimal dose) → mulai dari anjuran sampai mencapai
dosis efektif→ dosis optimal.
Misal: dosis Amitriptyline 150 mg/h=hari 7 s/d 14 hari (Minggu II)
Minggu III:200mg/h→Minggu IV:300mg/h
3. Stabilizing Dosage(stabilization dose) →dosis optimal dipertahankan
selama 2-3 bulan.
4. Maintaining Dosage(maintenance dose) →selama 3-6 bulan. Biasanya
dosis pemeliharaan =1/2 dosis optimal
5. Tapering Dosage(tapering dose) selama 1 bulan. Kebalikan pada proses
‘Initiating dosage’.
Dengan demikian obat anti depresi dapat diberhentikan total. Kalau Sindrom
Depresi kambuh lagi, proses dimulai dari awal dan seterusnya.
Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari (single
dose one hour before sleep) untuk golongan Trisiklik dan Tetrasiklik. Untuk
golongan SSRI diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah sarapan pagi.
20
2.1.5. Perhatian Khusus
Kegagalan terapi obat anti Depresi pada umumnya disebabkan:
Kepatuhan pasien menggunakan obat(compliance), yang dapat hilang oleh
adanya efek samping , perlu diberikan edukasi dan informasi.
Pengaturan dosis obat belum adekuat
Tidak cukup lama mempertahankan pada dosis optimal.
Dalam menilai efek obat terpengaruh oleh persepsi pasien yang tendensi
negatif, sehingga penilaian menjadi ‘bias’.
Kontra indikasi:
Penyakit jantung Koroner khusunya pada usia lanjut.
Glaukoma, Retensi urin, hipertrofi proistas, gangguan fungsi hati, epilepsi.
Pada penggunaan obat Lithium, kelainan fungsi jantung,ginjal dan kelenjar
tiroid.
Wanita hamil dan menyusui tidak dianjurkan menggunakan TCA, resiko
teratogenik besar (khususnya trimester 1) dan TCA dieksresi melalui ASI.
BAB III
OBAT ANTI ANXIETAS
21
3.1. Obat Anti Anxietas
3.1.1. Penggolongan
Benzodiazepine : Diazepam, Chlordiazepoxide, Lorazepam, Clobazam,
Bromazepam, Oxazolam, Clorazepate, Aprazolam, Prazepam.
Non-Benzodiazepine : Sulpiride, Buspirone, Hydroxyzine.
22
3.1.2. Indikasi Penggunaan
Gejala sasaran (target syndrome) : sindrom anxietas. Meliputi sindrom
anxietas psikik, organik, situasional, dan sindrom anxietas penyerta.
3.1.3.2. Non-Benzodiazepine
a. Buspirone
Buspirone bekerja melalui mediasi reseptor serotonin (5-HT1A), meskipun
reseptor lain mungkin juga terlibat karena buspirone menunjukkan afinitas untuk reseptor
dopamin DA2 dan reseptor serotonin 5-HT2. Cara kerja buspirone bukan sebagai
antikonvulsan atau pelemas otot seperti benzodiazepine.
b. Hidrokxyzine
Hidroxyzine merupakan antihistamin dengan aktivitas antiemetik. Tendensi
habituasi rendah, berguna untuk pasien ansietas dengan riwayat penyalahgunaan obat,
juga dapat untuk sedasi preoperatif.8
23
sangat singkat (pada dosis terapeutik obat-obat anti anxietas memiliki re-
inforcing properties yang lebih rendah daripada obat-obat golongan narkotika,
sehingga efek ketergantungan yang terjadi masih lebih rendah dibandingkan
efek ketergantungan obat akibat pemakaian obat-obat golongan narkotika)
Catatan :
-Ketergantungan relatif lebih sering terjadi pada individu dengan riwayat
peminum alkohol, penyalahgunaan obat-obat terlarang, atau individu dengan
kepribadian yang tidak stabil. Benzodiazepin tidak dianjurkan bagi pasien yang
termasuk dalam kategori ini
- Untuk mengurangi resiko ketergantungan obat, maksimum lama pemberian =
3 bulan (100 hari) dalam rentang dosis terapeutik.
Rebound Phenomena (iritabel, bingung, gelisah, insomnia, tremor, palpitasi,
keringat dingin, konvulsi, dll) terjadi akibat penghentian obat secara
mendadak.
Catatan : Untuk Benzodiazepine dengan waktu paruh pendek, gejala putus obat
terjadi lebih cepat dengan manifestasi lebih hebat dibandingkan dengan obat-obat
anti anxietas golongan benzodiazepin lainnya yang memiliki waktu paruh
panjang.2
24
Golongan Benzodiazepine sebagai obat anti-anxietas mempunyai
therapeutic ratio lebih tinggi dang lebih kurang menimbulkan adiksi
dengan toksisitas yang rendah, dibandingkan dengan meprobamate atau
phenobarbital. Disamping itu, phenobarbital menginduksi enzim
mikrosomal hepar, sedangkan golongan benzodiazepine tidak.
Golongan Benzodiazepine = ”drug of choice” dari semua obat yang
mempunyai efek anti-anxietas, disebabkan spesifisitas, potensi dan
keamanannya.
Spektrum klinis Benzodiazepine meliputi efek anti anxietas, anti
konvulsan, anti insomnia, dan premedikasi tindakan operatif.
-
Diazepam / Chlordoazepoxide : ”Broadspectrum”
-
Nitrazepam / Flurazepam : dosis anti anxietas dan anti insomnia
berdekatan (non-dose related), lebih efektif sebagai anti insomnia.
-
Midazolam : onset cepat dan kerja singkat, sesuai kebutuhan untuk
premedikasi tindakan operatif.
-
Bromazepam, Lorazepam, Clobazam : dosis anti anxietas dan anti
insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-
anxietas.
Beberapa spesifikasi :
-
Clobazam = 1,5 benzodiazepine = ”psychomotor performance”
paling kurang terpengaruh, untuk pasien dewasa dan usia lanjut
yang ingin lebih aktif.
-
Lorazepam = Benzodiazepine dengan waktu paruh pendek & tidak
mengalami akumulasi obat yang signifikan pada dosis klinik untuk
pasien-pasien dengan kelainan fungsi hati atau ginjal.
-
Alprazolam = paling luas digunakan. efektif untuk anxietas
antisipatorik, ”onset of action” lebih cepat dan mempunyai
komponen efek antidepresi.
-
Sulpiride-50 = efektif untuk meredakan gejala somatik dan sindrom
anxietas dan paling kecil resiko ketergantungan obatnya.2
25
3.1.6.2. Pengaturan Dosis
”Steady state” (keadaan dengan jumlah obat yang masuk kedalam badan
sama dengan jumlah obat yang keluar dari badan) dicapai setelah 5-7 hari
dengan dosis 2-3 kali sehari (half life = < 24 jam). ”Onset of Action” cepat
dan langsung memberikan efek.
Efek klinis terlihat bila kadar obat dalam darah telah mencapai ”steady
state”.
Pengaturan dosis tidak perlu seperti neuroleptika dan antidepresan.
Mulai dengan dosis awal (dosis anjuran) naikkan dosis tiap 3-5 hari,
sampai mencapai dosis optimal dipertahankan 2-3 minggu
diturunkan 1/8x dosis sebelumnya (dosis terakhir yang sedang
dipertahankan) setiap 2-4 minggu dosis minimal yang masih efektif
(maintenance dose) bila kambuh dinaikkan lagi dan bila tetap efektif
pertahankan 4-8 minggu tapering off.2
26
- Pernapasan, tekanan darah, denyut nadi menurun sedikit.
- Ataksia, disartria, ”convulsion”, refleks fisiologis menurun.
Terapi suportif : Tata laksana terhadap “Respiratory Depression” dan
“shock”.2
Terapi kausal : “Benzodiazepine antagonist”. Flumazenil (ANEXATE)
ampul 0,5mg/5 cc (IV).
Tidak ada kematian pada Diazepam sampai dengan 1400 mg dan
Chlorazepoxide 6000 mg (benzodiazepine merupakan golongan obat paling
aman dalam hal efek samping over dosis, jika dibandingkan dengan obat-obat
psikotropika lainnya).
Efek teratogenik (khususnya pada semester I) berkaitan dengan obat golongan
benzodiazepine yang dapat melewati placenta dan mempengaruhi janin.
Pemberian benzodiazepine saat persalinan (khususnya dosis tinggi) harus
dihindarkan oleh karena dapat menyebabkan hypotonia, penekanan
pernafasan, dan hipotermia pada anak yang dilahirkan.
Pada penderita usia lanjut dan anak dapat terjadi reaksi yang berlawanan
(paradoxical reaction), berupa : kegelisahan, iritabilitas, disinhibisi, spatisitas
otot meningkat, dan gangguan tidur.2
DAFTAR PUSTAKA
27
3. Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan Pertama.
Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 1993.
4. Potter WZ, Hollister LE. Antidepressant Agents. In : Katzung BG, editor. Basic &
Clinical Pharmacology. 9th edition. Singapore : The McGraw-Hill Companies, Inc.,
2004. 482-496.
5. Harvey, R.A. dan Champe, P.C. 2001. Farmakologi : Ulasan Bergambar edisi ke-2.
Jakarta : Penerbit Widya Medika. 55-69.
6. Hoffman, B.B. 2001. Catecholamines, Sympathomimetic Drugs, and Adrenergic
Receptor Antagonists. Dalam Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of
Therapeutics 10th edition. Editor : Hardman, J.G., Limbird, L.E., Gilman, A.G. New
York : McGraw-Hill Medical Publishing Division. 215-220.
7. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Lippincott’s Illustatrated Reviews:
Pharmacology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2000.
8. Harvey, R.A. dan Champe, P.C. 2001. Farmakologi : Ulasan Bergambar edisi ke-2.
Jakarta : Penerbit Widya Medika. 93.
28