Anda di halaman 1dari 28

BAB I

OBAT ANTI PSIKOSIS

1.1. Obat Anti-psikosis


Obat-obat neuroleptika juga disebut tranquilizer mayor, obat anti psikotik atau
obat anti skizofren, karena terutama digunakan dalam pengobatan skizofrenia tetapi juga
efektif untuk psikotik lain, seperti keadaan manik atau delirium. Obat-obat anti psikotik
ini terbagi atas dua golongan besar, yaitu :
I. Obat anti psikotik tipikal
1. Phenothiazine
 Rantai aliphatic : CHLORPROMAZINE
LEVOMEPROMAZINE
 Rantai piperazine : PERPHENAZINE
TRIFLUOPERAZINE
FLUPHENAZINE
 Rantai piperidine : THIORIDAZINE
2. Butyrophenone : HALOPERIDOL
3. diphenyl-butyl-piperidine : PIMOZIDE
II. obat anti psikotik atipikal
1. Benzamide : SULPIRIDE
2. Dibenzodiazepine CLOZAPINE
OLANZAPINE
QUETIAPINE
3. Benzisoxazole : RISPERIDON

Obat-obat neuroleptika tipikal (tradisional) adalah inhibitor kompetitif pada


berbagai reseptor, tetapi efek anti psikotiknya mencerminkan penghambatan kompetitif
dari reseptor dopamin. Obat-obat ini berbeda dalam potensinya tetapi tidak ada satu
obatpun yang secara klinik lebih efektif dari yang lain. Sedangkan obat-obat neuroleptika

1
atipikal yang lebih baru, disamping berafinitas terhadap ‘Dopamine D2 Receptors’ juga
terhadap ‘Serotonin 5 HT2 Receptors’.
Obat neuroleptika bukan untuk pengobatan kuratif dan tidak menghilangkan
gangguan pemikiran yang fundamental, tetapi sering memungkinkan pasien psikotik
berfungsi dalam lingkungan yang suportif.

Tabel 1.1. SEDIAAN ANTIPSIKOSIS dan DOSIS ANJURAN2

No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran


1 Chlorpromazine LARGACTIL Tab. 25 mg, 100 mg 150-600 mg/h
PROMACTIL
MEPROSETIL
ETHIBERNAL Amp.25 mg/ml
2 Haloperidol SERENACE Tab. 0,5 mg, 1,5&5 5-15 mg/h
mg
Liq. 2 mg/ml
HALDOL Amp. 5 mg/ml
GOVOTIL Tab. 0,5 mg, 2 mg
LODOMER Tab. 2 mg, 5 mg
HALDOL DECA- Tab. 2 mg, 5 mg 50 mg / 2-4
NOAS Amp. 50 mg/ml minggu
3 Perphenazine TRILAFON Tab. 2 mg, 4&8 mg 12-24 mg/h
4 Fluphenazine ANATENSOL Tab. 2,5 mg, 5 mg 10-15 mg/h
Fluphenazine- MODECATE Vial 25 mg/ml 25 mg / 2-4
decanoate minggu
5 Levomepromazine NOZINAN Tab.25 mg 25-50 mg/h
Amp. 25 mg/ml
6 Trifluoperazine STELAZINE Tab. 1 mg, 5 mg 10-15 mg/h
7 Thioridazine MELLERIL Tab. 50 mg, 100 mg 150-600 mg/h
8 Sulpiride DOGMATIL – Tab. 200 mg 300-600 mg/h
FORTE Amp. 50 mg/ml
9 Pimozide ORAP FORTE Tab. 4 mg 2-4 mg/h
10 Risperidone RISPERDAL Tab. 1,2,3 mg Tab 2-6 mg/h
NERIPROS Tab. 1,2,3 mg
NOPRENIA Tab. 1,2,3 mg
PERSIDAL-2 Tab. 2 mg
RIZODAL Tab. 1,2,3 mg
11 Clozapine CLOZARIL Tab. 25 mg, 100 mg 25-100 mg/h
12 Quetiapine SEROQUEL Tab. 25 mg, 100 mg, 50-400 mg/h
200 mg
13 Olanzapine ZYPREXA Tab. 5 mg, 10 mg 10-20 mg/h

2
1.2 Farmakokinetik

Obat-obat anti psikotik dapat diserap pada pemberian peroral, dan dapat
memasuki sistem saraf pusat dan jaringan tubuh yang lain karena obat anti psikotik
adalah lipid-soluble. Kebanyakan obat-obatan antipsikotik bisa diserap tapi tidak
seluruhnya. Obat-obatan ini juga mengalami first-pass metabolism yang signifikan. Oleh
karena itu, dosis oral chlorpromazine and thioridazine mempunyai availability sistemik
25 – 35%. Haloperidol dimetabolisme lebih sedikit, dengan availability sistemik rata-rata
65%. Kebanyakan obat antipsikotik bergabung secara intensif dengan protein plasma (92
– 99%) sewaktu distribusi dalam dalam darah. Volume distribusi obat-obatan ini juga
besar, biasanya lebih dari 7L/kg.
Obat-obatan ini memerlukan metabolisme oleh hati sebelum eliminasi dan
mempunyai waktu paruh yang lama dalam plasma sehingga memungkinkan once-daily
dosing. Walaupun setengah metabolit tetap aktif, seperti 7-hydroxychloropromazine dan
reduced haloperidol, metabolit dianggap tidak penting dalam efek kerja obat tersebut.
Terdapat satu pengecualian, yaitu mesoridazine, yang merupakan metabolit utama
thioridazin, lebih poten dari senyawa induk dan merupakan kontributor utama efek obat
tersebut. Sediaan dalam bentuk parenteral untuk beberapa agen, seperti fluphenazine,
thioridazine dan haloperidol, bisa dipakai untuk terapi inisial yang cepat.
Sangat sedikit obat-obatan psikotik yang diekskresi tanpa perubahan. Obat-obatan
tersebut hampir dimetabolisme seluruhnya ke substansi yang lebih polar. Waktu paruh
eliminasi (ditentukan oleh clearance metabolic) bervariasi, bisa dari 10 sampai 24 jam.

1.3 Mekanisme kerja


Secara umum, terdapat beberapa hipotesis tentang cara kerja antipsikotik, yang
dapat digolongkan berdasarkan jalur reseptor dopamin atau reseptor non-dopamine.
Hipotesis dopamin untuk penyakit psikotik mengatakan bahwa kelainan tersebut
disebabkan oleh peningkatan berlebihan yang relatif dalam aktifitas fungsional
neurotransmiter dopamin dalam traktus tertentu dalam otak. Hipotesis ini berlandaskan
observasi berikut:

3
 Sebagian besar obat antipsikotik memblok reseptor postsinaps pada SSP, terutama
pada sistem mesolimbik-frontal.
 Penggunaan obat yang meningkatkan aktivitas dopamin, seperti levodopa
(prekursor dopamin), amfetamin (merangsang sekresi dopamin), apomorfin
(agonis langsung reseptor dopamin) dapat memperburuk skizofrenia ataupun
menyebabkan psikosis de novo pada pasien.
 Pemeriksaan dengan positron emission tomography (PET) menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan reseptor dopamin pada pasien skizofrenia (baik yang
menjalani terapi ataupun tidak) bila dibandingkan dengan orang yang tidak
menderita skizofrenia.
 Pada pasien skizofrenia yang terapinya berhasil, telah ditemukan perubahan
jumlah homovallinic acid (HVA) yang merupakan metabolit dopamin, pada
cairan serebrospinal, plasma, dan urin.
 Telah ditemukan peningkatan densitas reseptor dopamin dalam region tertentu di
otak penderita skizofren yang tidak diobati. Pada pasien sindroma Tourette, tic
klinis lebih jelas jika jumlah reseptor D2 kaudatus meningkat.
Hipotesis dopamin untuk penyakit skizofren tidak sepenuhnya memuaskan karena obat-
obatan antipsikotik hanya sebagian yang efektif pada kebanyakan pasien dan obat-obatan
tertentu yang efektif mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi untuk reseptor-reseptor
selain reseptor D2.

1.4 Efek kerja


Penghambatan reseptor dopamin adalah efek utama yang berhubungan dengan
keuntungan terapi obat-obatan antipsikotik lama. Terdapat beberapa jalur utama dopamin
diotak, antara lain :
1. Jalur dopamin nigrostriatal
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi jalur
nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan terjadi
kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal reaction
(EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada wajah dan
leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.

4
2. Jalur dopamin mesolimbik
Jalur ini berasal dari batang otak dan berakhir pada area limbic. Jalur dopamin
mesolimbik terlibat dalam berbagai perilaku, seperti sensasi menyenangkan, euphoria
yang terjadi karena penyalahgunaan zat, dan jika jalur ini hiperaktif dapat
menyebabkan delusi dan halusinasi. Jalur ini terlibat dalam timbulnya gejala positif
psikosis.
3. Jalur dopamin mesokortikal
Jalur ini berproyeksi dari midbrain ventral tegmental area menuju korteks limbic.
Selain itu jalur ini juga berhubungan dengan jalur dopamine mesolimbik. Jalur ini
selain mempunyai peranan dalam memfasilitasi gejala positif dan negative psikosis,
juga berperan pada neuroleptic induced deficit syndrome yang mempunyai gejala
pada emosi dan sistem kognitif.
4. Jalur dopamin tuberoinfundibular
Jalur ini berasal dari hypothalamus dan berakhir pada hipofise bagian anterior. Jalur
ini bertanggung jawab untuk mengontrol sekresi prolaktin, sehingga kalau diblok
dapat terjadi galactorrhea.

1.5 Indikasi Penggunaan


Gejala sasaran antipsikosis (target syndrome) : SINDROM PSIKOSIS, yaitu :
Sindroma psikosis fungsional dan Sindroma psikosis organik.

1.5.1 Pengobatan Skizofrenia


Antipsikosis merupakan satu-satunya pengobatan efektif untuk skizofrenia. Tetapi
tidak semua pasien responsif dan normalisasi tingkah laku yang komplit jarang dicapai.
Antipsikosis tradisional (tipikal) paling efektif dalam pengobatan gejala skizofrenia yang
positif (delusi, halusinasi, dan gangguan pemikiran). Obat-obat baru dengan aktifitas
penghambat serotonin (atipikal) efektif untuk pasien-pasien yang resisten dengan obat
tradisional, terutama pengobatan dengan gejala negatif dari skizofrenia (menarik diri,
emosi buntu, kemunduran dalam komunikasi dengan orang lain.

5
Klorpromazin (CPZ) berefek antipsikosis dan bersifat sedasi. Indikasi utama
fenotiazin adalah skizofrenia, dengan gangguan psikosis. Gejala psikosis yang
dipengaruhi oleh fenotiazin dan antipsikosis lain adalah ketegangan, hiperaktivitas,
combativeness, hostality, halusinasi, delusi akut, susah tidur, anoreksia, perhatian diri
yang buruk, negativisme dan kadang-kadang mengatasi sifat menarik diri. Sedangkan
pengaruh fenotiazin kurang terhadap insight, judgement, daya ingat dan orientasi.
Butirofenon diantaranya adalah haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan
mania penderita psikosis yang karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin.
Buirofenon merupakan obat pilihan untuk mengobati sindrom Gilles de la Tourette, suatu
kelainan neurologik yang ditandai dengan kejang otot hebat, menyeringai (grimacing)
dan explosive utterances of foul expletives (koprolalia, mengeluarkan kata-kata jorok).
Dibenzodiazepin bersifat atipikal, diantaranya klozapin efektif untuk mengontrol
gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang positif (iritabilitas) maupun yang negatif
(social disinterest, incompetence, dan personal neatness).
Pemberian antipsikosis sangat memudahkan perawatan pasien. Walaupun
antipsikosis sangat bermanfaat untuk mengatasi gejala psikosis akut, namun penggunaan
antipsikosis saja tidak cukup untuk merawat pasien psikotik. Perawatan, perlindungan
dan dukungan mental-spiritual terhadap pasien sangatlah penting.

1.5.2 Pencegahan mual dan muntah yang hebat


Antipsikosis (umumnya proklorperazin) berguna untuk pengobatan mual akibat
obat. Semua antipsikosis kecuali mesoridazin, molindon, tioridazin, dan klozapin
mempunyai efek antiemetik.
Domperidon diindikasikan untuk mengatasi mual dan muntah, efek obat ini secara
klinis sangat mirip metoklopramid, yaitu mencegah refluks esofagus berdasarkan efek
peningkatan tonus sfingter bagian bawah.

1.5.3 Penggunaan lain


Antipsikosis dapat digunakan sebagai tranquilizer untuk mengatur tingkah laku
yang agitatif dan disruptif. CPZ merupakan obat terpilih untuk pengobatan cegukan yang

6
menetap yang berlangsung berhari-hari dan sangat mengganggu. Prometazin digunakan
untuk pengobatan pruritus karena sifat-sifat antihistaminnya.
Apabila antipsikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang
sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan antipsikosis lain
(sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekuivalennya, dimana profil
efek samping belum tentu sama.
Apabila dalam riwayat penggunaan antipsikosis sebelumnya, jenis antipsikosis
tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat
dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
1.6 Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
- Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam
- Waktu paruh : 12 – 24 jam (pemberian obat 1-2 x perhari)
- Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping
(dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas
hidup pasien.
Pengobatan dimulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran
 dinaikkan setiap 2 – 3 hari
 sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaan Sindrom Psikosis)
 dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan
 dosis optimal
 dipertahankan sekitar 8 – 12 minggu (stabilisasi)
 diturunkan setiap 2 minggu
 dosis maintenance
 dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1- 2 hari/minggu
 tappering off (dosis diturunkan tiap 2 – 4 minggu)
 stop

7
1.6.1 Lama Pemberian

Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang ”multi episode”, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun. Pemberian yang
cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5 kali.
Efek antipsikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah
dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan
kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian baru gejala Sindrom
Psikosis kambuh kembali. Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat
lambat, metabolit-metabolit masih mempunyai keaktifan antipsikosis.
Pada umumnya pemberian antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk ”Psikosis
Reaktif Singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kurun
waktu 2 minggu – 2 bulan.
Antipsikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan
dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali. Pada
penghentian yang mendadak dapat timbul gejala ”Cholinergic Rebound”, yaitu :
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar, dll. Keadaan ini akan mereda
dengan pemberian ”anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (IM), tablet
Trihexyphenidyl 3 x 2 mg/h).
Oleh karena itu, pada penggunaan bersama antipsikosis + antiparkinson, bila
sudah tiba waktu penghentian obat, antipsikosis dihentikan lebih dahulu, kemudian baru
menyusul obat antiparkinson yang dihentikan.
Pada penggunaan parenteral, antipsikosis ”long-acting” (Fluphenazine Decanoate
25 mg/ml atau Haloperidol Decanoas 50 mg/ml, IM, untuk 2 – 4 minggu) sangat berguna
untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif
terhadap medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan per oral dahulu beberapa
minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas.

8
Dosis mulai dengan ½ ml setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian baru
ditingkatkan menjadi 1 ml setiap bulan.
Pemberian antipsikosis ”long-acting” hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus Skizofrenia. 15-25% kasus
menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping ekstrapiramidal.

1.6.2 Pemilihan Sediaan

Pemilihan antipsikosis dapat didasarkan atas struktur kimia serta efek farmakologi
yang menyertai. Mengingat perbedaan antargolongan antipsikosis lebih nyata daripada
perbedaan masing-masing obat dalam golongannya, maka cukup dipilih salah satu obat
dari satu golongan saja. Pedoman terbaik dalam memilih obat secara individual ialah
riwayat respon pasien terhadap obat.
Kecenderungan pengobatan saat ini ialah meninggalkan antipsikosis berpotensi
rendah misalnya CPZ dan tioridazin, kearah penggunaan obat berpotensi tinggi, misalnya
tiotiksen, haloperidol dan flufenazin.
Pedoman pemilihan antipsikosis adalah sebagai berikut :
1. Bila resiko tidak diketahui atau tidak ada komplikasi yang tidak diketahui
sebelumnya, maka pilihan jatuh pada fenotiazin berpotensi tinggi.
2. Bila kepatuhan penderita menggunakan obat tidak terjamin, maka pilihan jatuh
pada flufenazin oral dan kemudian tiap 2 minggu diberikan suntikan flufenazin
enantat atau dekanoat.
3. Bila penderita mempunyai riwayat penyakit kardiovaskular atau stroke, sehingga
hipotensi merupakan hal yang membahayakan, maka pilihan jatuh pada fenotiazin
piperazin, atau haloperidol.
4. Bila karena alasan usia atau faktor penyakit, terdapat resiko efek samping
ekstrapiramidal yang nyata, maka pilihan jatuh pada tioridazin.
5. Tioridazin tidak boleh digunakan apabila terdapat gangguan ejakulasi.
6. Bila efek sedasi berat perlu dihindari, maka pilihan jatuh pada haloperidol atau
fenotiazin piperazin.
7. Bila penderita memiliki kelainan hepar atau cenderung menderita ikterus,
haloperidol merupakan obat yang paling aman pada stadium awal pengobatan.

9
Apabila antipsikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang
sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan antipsikosis lain
(sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekuivalennya, dimana profil
efek samping belum tentu sama.
Apabila dalam riwayat penggunaan antipsikosis sebelumnya, jenis antipsikosis
tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek sampingnya, dapat
dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.

1.6.3 Efek Samping dan Penanganan

1. KLORPROMAZIN DAN DERIVAT FENOTIAZIN


a. Efek samping
Batas keamanan CPZ cukup lebar, sehingga obat ini cukup aman. Efek samping
umumnya merupakan perluasan efek farmakodinamiknya. Gejala idiosinkrasi
mungkin timbul, berupa ikterus, dermatitis dan leukopenia. Reaksi ini disertai
eosinofilia dalam darah perifer.

b. Efek endokrin
CPZ menghambat ovulasi dan menstruasi, juga menghambat sekresi ACTH. Hal
ini dikaitkan dengan efeknya terhadap hipotalamus.

Semua fenotiazin, kecuali klozapin menimbulkan hiperprolaktinemia lewat


penghambatan efek sentral dopamin.
c. Kardiovaskular
Dapat menimbulkan hipotensi berdasarkan :

 Refleks presor yang penting untuk mempertahankan tekanan darah yang


dihambat oleh CPZ.
 Berefek  bloker
 Menimbulkan efek inotropik negatif pada jantung
Toleransi dapat timbul terhadap efek hipotensif CPZ
d. Neurologik
Dapat menimbulkan gejala ekstra piramidal seperti parkinsonisme pada dosis
berlebihan. Dikenal 6 gejala sindrom neuroleptik yang karakteristik pada obat ini,

10
empat diantaranya terjadi sewaktu obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia,
parkinsonisme dan sindroma neuroleptik malignant, sedangkan dua gejala lain timbul
setelah pengobatan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, berupa tremor perioral
dan diskinesia tardif.

2. Haloperidol
a. Efek samping dan intoksikasi
Menimbulkan reaksi ekstra pyramidal terutama pada pasien usia muda. Dapat
terjadi depresi akibat reversi keadaan mania atau sebagai efek samping. Leukopenia
dan agranulositosis ringan dapat terjadi. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan pada
wanita hamil.
b. Susunan saraf pusat
Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada orang yang mengalami
eksitasi, menurunkan ambang rangsang konvulsif, menghambat sistem dopamin dan
hypothalamus, juga menghambat muntah yang ditimbulkan oleh apomorfin.
c. Sistem saraf otonom
Dapat menyebabkan pandangan kabur. Obat ini menghambat aktifitas reseptor 
yang disebabkan oleh amin simpatomimetik.
d. Sistem kardiovaskular dan respirasi
Menyebabkan hipotensi, takikardi, dan dapat menimbulkan potensiasi dengan
obat penghambat respirasi.

e. Efek endokrin
Menyebabkan galaktore

Tabel 1.2. EFEK SAMPING DAN EFEK ANTIEMETIK OBAT ANTIPSIKOSIS2

OBAT ANTI PSIKOSIS EFEK EFEK EFEK EFEK


EKSTR ANTIE SEDATIF HIPOTE
APIRA METIK NSIF
MIDAL
A. DERIVAT FENOTIAZIN
1. Senyawa dimetilaminopropil :
Klorpromazin ++ ++ +++ ++
Promazin ++ ++ ++ +++
Triflupromazin +++ +++ +++ +

11
2. Senyawa piperidil :
Mepazin ++ ++ +++ ++
Tioridazin + + ++ ++
3. Senyawa piperazin :
Asetofenazin ++ ++ + +
Karfenazin +++ +++ ++ ++
Flufenazin +++ +++ ++ +
Perfenazin +++ +++ + +
Proklorperazin +++ +++ ++ +
Trifluoperazin tiopropazat +++ +++ ++ +
B. NON-FENOTIAZIN
Klorprotiksen ++ ++ +++ ++
C. BUTYROPHENONE
Haloperidol +++ +++ + +

Tabel 1.3. EFEK SAMPING NEUROLOGIK OBAT NEUROLEPTIK2

EFEK GAMBARAN WAKTU MEKANISME PENGOBATAN


KLINIS RESIKO
MAKSIMAL
Distonia akut Spasme otot 1-5 hari Belum Dapat diberikan
lidah, wajah, diketahui berbagai
leher, punggung ; pengobatan, obat
dapat menyerupai anti Parkinson
bangkitan ; bukan bersifat
histeria diagnostik dan
kuratif
Akatisia Ketidak- 5-60 hari Belum Kurangi dosis
tenangan, diketahui atau ganti obat;
motorik, bukan obat anti
ansietas atau Parkinson,
agitasi benzodiazepin,
atau propanolol
Parkinsonisme Bradikinesia, 5-30 hari Antagonisme Obat anti
rigiditas, macam- dengan Parkinson
macam tremor, dopamin menolong
wajah topeng,
suffling gait
Sindroma Katatonik, Berminggu- Ada kontribusi Hentikan
malignan stupor, demam, minggu, dapat antagonisme neuroleptik
tekanan darah bertahan dengan segera; dantrolene
tidak stabil, beberapa hari dopamin atau bromokriptin
mioglobinemia,; setelah obat dapat menolong;
dapat fatal dihentikan obat anti
Parkinson lainnya
tidak efektif
Tremor perioral Tremor perioral Setelah Belum Obat
(sindroma (mungkin sejenis berbulan- diketahui antiparkinson
kelinci) perkinsonisme bulan atau sering menolong

12
yang dating bertahun-
terlambat) tahun
pengobatan
Diskinesia tardif Diskinesia mulut- Setelah Diduga : Sulit dicegah,
wajah; berbulan- kelebihan efek pengobatan tidak
koreoatetosis bulan atau dopamin memuaskan
atau distonia bertahun-
meluas tahun
(memburuk
dengan
penghentian)

Efek samping yang ireversibel seperti tardif diskinesia (gerakan berulang


involunter pada lidah, wajah, mulut/rahang dan anggota gerak dimana saat tidur gejala
menghilang) yang timbul akibat pemakaian jangka panjang dan tidak terkait dengan
besarnya dosis. Bila gejala tersebut timbul maka obat anti psikotik perlahan-lahan
dihentikan, bias dicoba pemberian Reserpine 2,5 mg/h (dopamine depleting agent).
Penggunaan L-dopa dapat memperburuk keadaan. Obat anti psikotik hampir tidak pernah
menimbulkan kematian sebagai akibat overdosis atau keinginan untuk bunuh diri.

13
BAB II
OBAT ANTI DEPRESI

2.1 Obat Antidepresan


2.1.1. Golongan Obat-obat Anti Depresan
Obat antidepresan dibagi menjadi (1) antidepresan trisiklik, (2) antidepresan
hetrerosiklik; obat generasi kedua dan ketiga, (3) selektive serotonin reuptake inhibitors
(SSRI), dan (4) inhibitor monoamin oksidase (MAOI).

2.1.1.2 Antidepresan Trisiklik (TCA)


Prototipe dari golongan ini adalah imipramin dan amitriptilin, obat lainnya adalah
doxepin, desipramin, nortriptilin, protriptilin, klomipramin dan trimipramin. Obat
golongan ini bekerja dengan cara menginhibisi ambilan kembali norepinefrin dan
serotonin, dan juga α-adrenergik, histamin dan muskarinik (Gambar 1). Dengan
menghambat ambilan kembali norepinefrin dan serotonin, TCA akan meningkatkan
konsentrasi monoamin dalam celah sinaptik. Penghambatan ambilan neurotransmiter
terjadi segera setelah pemberian TCA, tetapi efek antidepresan TCA baru akan timbul
setelah pengobatan terus menerus. Diperkirakan densitas reseptor monoamin dalam otak
dapat berubah setelah 2-4 minggu penggunaan obat dan mungkin penting dalam mulai
kerja obat.
Sebagian besar golongan ini secara tidak lengkap diabsorbsi dan mengalami
metabolisme lintas pertama. Obat ini memiliki ikatan protein yang tinggi dan kelarutan
dalam lemak yang tinggi sehingga memiliki volume distribusi yang besar. Metabolisme
dilakukan oleh sistem mikrosomal hari dan dikeluarkan sebagai metabolit nonaktif
melalui ginjal.

2.1.1.3 Antidepresan Hetrerosiklik; Obat Generasi Kedua dan Ketiga

14
Obat golongan ini adalah amoksapin, maprotilin, trazodon, bupropion, venlafasin,
mirtrazapin, dan nefazodon.
Farmakokinetik obat golongan ini sama seperti antidepresan trisiklik. Trazodon
dan venlafasin memiliki waktu paruh yang sempit sehingga diperlukan dosis terbagi pada
awal pengobatan, pada pengobatan lebih lanjut dapat digunakan dosis tunggal.

2.1.1.4 Selektive Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI)


SSRI beranggotakan fluoksetin, paroksetin, sertralin, fluvoksamin dan citalopram.
Obat golongan ini secara selektif menghambat ambilan serotonin pada celah sinaps. Efek
antikolinergik dan kardiotoksisitas SSRI jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan
TCA.
Fluoksetin memiliki waktu paruh 1 sampai 10 hari, sedangkan norfluoksetin
(metabolit aktif fluoksetin) memiliki waktu paruh 3 sampai 30 hari. Obat ini diberikan
per oral dan konsentrasi plasma yang mantap tercapai setelah beberapa minggu
pengobatan. Fluoksetin merupakan inhibitor kuat untuk isoenzim P450 hepar.

2.1.1.5 Inhibitor Monoamin Oksidase (MAOI)


MAOI dapat dibagi menjadi dua kelas, yaitu hidrazid dan nonhidrazid. Hidrazid
terdiri dari fenelzin dan isokarboksazid, sedangkan nonhidrazis terdiri dari tranilsipromin.
Obat ini menghambat kerja enzim monoamin oksidase (Gambar 2) secara irefersibel
sehingga terjadi peningkatan sdepot norepinefrin, serotonin dan dopamin.
Monoamin oksidase (MAO) adalah salah satu enzim yang berperan dalam
mendegradasai katekolamin. MAO terdapat di permukaan luar mitokondria. MAO
memetabolisme neurotransmiter berlebih di dalam sel saraf. Pada penggunaan reserpin,
terjadi peningkatan kadar dopamin dalam sel. Dopamin yang berlebih ini akan dioksidasi
oleh MAO menjadi metabolit tidak aktif dan dikeluarkan melalui urin. (Harvey dan
Champe, 2001; Hoffman, 2001).
Terdapat dua isozim MAO, yaitu MAO-A dan MAO-B. Penghambatan
ireversibel terhadap MAO-A dapat meningkatkan jumlah tiramin, perangsang pelepasan
norepinefrin pada neuron simpatetik, secara bermakna yang efek akhirnya berupa
peningkatan tekanan darah. (Hoffman, 2001; Potter, 2004).

15
Obat ini mudah diabsorbsi pada pemberian per oral tetapi efek antidepresan
memerlukan 2 sampai 4 minggu pengobatan. Regenerasi enzim biasanya terjadi beberapa
minggu setelah penghentian obat. Obat ini dimetabolisme di hepar dan diekskresikan
melalui ginjal.

2.1.2. Profil Efek Samping


Efek Samping Obat Anti depresi dapat berupa:
 Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor
menurun, kemampuan kognitif menurun)
 Efek Antikolinergik (mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur,
konstipasi)
 Efek Anti adrenergik alfa (perubahan EKG, hipotensi)
 Efek Neurotoksis (tremor halus, gelisah, agitasi, insomnia)
Efek Samping yang tidak berat (tergantung daya toleransi dari penderita), biasanya
berkurang setelah 2-3 minggu bila tetap diberikan pada dosis yang sama.
Pada keadaan Overdosis/ Intoksikasi Trisiklik dapat timbul: “Atropine Toxic
Syndrome” dengan gejala : eksitasi SSP, hipertensi, hiperpireksia, konvulsi, toxic
confusional state(confusion, delirium, disorientation )
Tindakan untuk keadaan tersebut:
 Gastric lavage (hemodialisis tidak bermanfaat karena obat Trisklik bersifat
“protein binding”, forced diuresis juga tidak bermanfaat oleh karena “renal
excretion of free drug” rendah)
 Diazepam 10 mg (im) untuk mengatasi konvulsi
 Prostigmine 0,5-1,0 mg (im) untuk mengatasi efek anti kolinergik (dapat
diulangi setiap 30’- 45’ sampai gejala mereda)
 Monitoring EKG untuk deteksi kelainan jantung.
 Kematian dapat terjadi oleh karena ”Cardiac Arrest”. ”Lethal Dose” Trisiklik
= sekitar 10x ”theurapetic dose’ maka itu tidak memberikan obat dalam
jumlah besar kepada penderita depresi (tidak lebih dari dosis seminggu)
dimana pasien sudah ada pikiran untuk bunuh diri. Obat anti depresi
golongan SSRI relatif lebih aman pad overdosis.

16
2.1.3. Interaksi Obat
 Trisklik+ Haloperidol/Phenotiazine = mengurangi eksresi dari Trisiklik( kadar
dalam plasma meningkat). Terjadi potensiasi efek antikolinergik(ileus
paralitik, disuria, gangguan absorbsi).
 SSRI/TCA+MAOI= Serotonin Malignant Syndrome dengan gejala-gejala:
gastrointestinal distress(mula, muntah,diare), agitasi(mudah marah, ganas),
restlessness(gelisah).
 MAOI + “sympathomimetic drugs” (phenypropanolamine, pseudoephedrine
pada obat flu/ asma, noradrenaline pada anastesi lokal,derivat amfetamine, L-
dopa) + efek potensiasi yang dapat menjurus ke Krisis Hipertensi (acute
paroxysmal hypertension), dimana ada resiko terjadinya serangan stroke.
 MAOI+ Senyawaan mengandung “tyramine”(keju, anggur) = dapat terjadi
krisis Hipertensi(“Hypertensive Crisis”) dengan resiko serangan stroke pada
usia lanjut.
 Obat anti depresi + CNS Depressant (morphine,benzodiazepine,alcohol) =
potensiasi efek sedasi dan penekanan terhadap pusat nafas, resiko timbulnya
“respiratory failure”.

2.1.4. Cara Penggunaan


2.1.4.1. Pemilihan Obat
 Pada dasarnya semua obat anti depressan mempunyai efek primer (efek
klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek
sekunder (efek samping).

Tabel 2.2. EFEK SAMPING OBAT ANTI DEPRESAN2

Nama Obat Anti kolinergik Sedasi Hipotensi ortostatik Keterangan


Amitriptyline +++ +++ +++ +++
Imipramine +++ ++ ++ berat
Clomipramine ++ ++ + ++
Trazodone + +++ + Sedang

17
Mirtazapine + +++ + +
Maprotiline + ++ + Ringan
Mianserin + ++ + +/-
Amoxapine + + ++ Tidak ada
Tianeptine +/- +/- +/- Minimal
Moclobemide +/- +/- +
Sertraline +/- +/- +/-
Paroxetine +/- +/- +/-
Fluvosamine +/- +/- +/-
Fluoxetine +/- +/- +/-
Citalopram +/- +/- +/-

 Pemilihan jenis obat anti depresi tergantung pada toleransi pasien terhadap
efek samping dan penyesuaian efek samping terhadap kondisi pasien (usia,
penyakit fisik tertentu, jenis depresi)
Misalnya:
 Trisiklik (Amitriptyline, Imipramine) → efek samping sedatif, otonomik,
kardiologik lebih besar→ diberikan pada pasien muda (young healthy)
yang lebih besar toleransi terhadap efek samping tersebut dan bermanfaat
untuk meredakan ‘agitated depression’.
 Tetrasiklik (Maprotiline, Mianserin) dan Atipikal (Tazodone, Mirtazapine)
→ efek samping otonomik, kardiologik relatif lebih kecil, efek sedasi
lebih kuat → diberikan pada pasien yang kondisinya kurang tahan
terhadap efek otonomik dan kardiologik(usia lanjut) dan sindrom depresi
dengna gejala anxietasdari insomnia yang menonjol.
 SSRI (Fluoxetine, Setraline) → efek sedasi, otonomik,hipotensi sangat
minimal→ untuk pasien ‘retarded depression’ pada usia dewasa dan usia
lanjut, atau yang dengan gangguan jantung, berat badan lebih, dan
keadaan lain dimana manfaat efek samping yang minimal tersebut.
 MAOI-Reversible (Meclobemide) → efek samping hipotensi ortostatik
(relatif sering) → pasien usia lanjut mendadak bangunmalam hari ingin
miksi→ resiko jatuh dan dan trauma lebih besar. Perubahan posis tubuh
dianjurkan tidak mendadak, dengan tenggang waktu dan gradual.

18
 Mengingat profil efek sampingnya, untuk penggunaan pada Sindrom
Depresi ringan dan Sedang yang datang berobat jalan pada fasilitas
kesehatan, pemilihan obat anti depresi sebaiknya mengikuti urutan(step
core)
o Step 1 = Gol SSRI (Fluoxetine, Sertraline)
o Step 2 = Gol Trisiklik (Amitriptyline)
o Step 3 = Gol Tetrasiklik (Maprotiline)
Gol ‘atypical’ (Trazodone)
Gol MAOI Reversible (Moclobemide)
Pertama-tama gunakan golongan SSRI yang efek sampingnya sangat
minimal, spectrum anti depresi luas, gejala putus obat minimal, dan lethal
dose yang tinggi (>6000mg) sehingga relatif aman.
Bila telah diberikan dosis yang adekuat dalam jangkawaktu yang cukup
(sekitar 3 bulan)tidak efektif, dapat beralih ke golongan kedua, golongan
Trisiklik, yang spectrumnya luas namun efek sampingnya lebih berat.
Bila pilihan kedua belum berhasil, dapat beralih ketiga dengan spectrum
anti depresi yang lebih sempit dan juga efek samping lebih ringan
dibanding Trisiklik, yang terringan yaitu golongan MAOI Reversible.
Disamping itu juga dipertimbangkan bahwa pergantian SSRI ke MAOI
membutuhkan waktu 2-4 minggu istirahat untuk ‘wash out period’ guna
mencegah timbulnya ‘Serotonin Malignant Syndrome’.
 Lithium digunakan pada ‘Unipolar Recurrent Depression’ yaituuntuk
mencegah kekambuhan sebagai ‘Mood stabilizers’ dibutuhkan kadar
serum lithium 0,4-0,8 mEq/L.
Untuk efek Mania, kadar serum lithium 0,8-1,2 mEq/L (kadar teraupetik).
Kadar toksik adalah >1,5 mEq/L.
Rentang kadar serum terapeutik dan toksis sempit sehingga membutuhkan
monitoring kadar serum lithium untuk deteksi dini intoksikasi.
Dosis obat Lithium sekitar 250-500 mg/h untuk mencapai kadar serum
Lithium profilaksis.

19
2.1.4.2. Pengaturan Dosis
 Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
o Onset efek primer: sekitar 2-4 minggu
o Onset efek sekunder : sekitar12-24 jam
o Waktu paruh: 12-48 jam (pemberian 1-2 kali/ hari)
 Ada 5 proses dalam pengaturan dosis:
1. Initiating dosage (test dose) → untuk mencapai dosis anjuran selama
minggu 1.
Misalnya: dosis Amitriptyline 25 mg/h = hari 1 dan 2
50 mg/h = hari 3 dan 4
2. Titrating dosage (optimal dose) → mulai dari anjuran sampai mencapai
dosis efektif→ dosis optimal.
Misal: dosis Amitriptyline 150 mg/h=hari 7 s/d 14 hari (Minggu II)
Minggu III:200mg/h→Minggu IV:300mg/h
3. Stabilizing Dosage(stabilization dose) →dosis optimal dipertahankan
selama 2-3 bulan.
4. Maintaining Dosage(maintenance dose) →selama 3-6 bulan. Biasanya
dosis pemeliharaan =1/2 dosis optimal
5. Tapering Dosage(tapering dose) selama 1 bulan. Kebalikan pada proses
‘Initiating dosage’.
Dengan demikian obat anti depresi dapat diberhentikan total. Kalau Sindrom
Depresi kambuh lagi, proses dimulai dari awal dan seterusnya.
 Pada dosis pemeliharaan dianjurkan dosis tunggal pada malam hari (single
dose one hour before sleep) untuk golongan Trisiklik dan Tetrasiklik. Untuk
golongan SSRI diberikan dosis tunggal pada pagi hari setelah sarapan pagi.

2.1.4.3. Lama pemberian


 Pemberian obat anti depresi dapat dilakukan dalam jangka panjang oleh
karena ’addiction potential’-nya sangat minimal.

20
2.1.5. Perhatian Khusus
Kegagalan terapi obat anti Depresi pada umumnya disebabkan:
 Kepatuhan pasien menggunakan obat(compliance), yang dapat hilang oleh
adanya efek samping , perlu diberikan edukasi dan informasi.
 Pengaturan dosis obat belum adekuat
 Tidak cukup lama mempertahankan pada dosis optimal.
 Dalam menilai efek obat terpengaruh oleh persepsi pasien yang tendensi
negatif, sehingga penilaian menjadi ‘bias’.
 Kontra indikasi:
 Penyakit jantung Koroner khusunya pada usia lanjut.
 Glaukoma, Retensi urin, hipertrofi proistas, gangguan fungsi hati, epilepsi.
 Pada penggunaan obat Lithium, kelainan fungsi jantung,ginjal dan kelenjar
tiroid.
 Wanita hamil dan menyusui tidak dianjurkan menggunakan TCA, resiko
teratogenik besar (khususnya trimester 1) dan TCA dieksresi melalui ASI.

BAB III
OBAT ANTI ANXIETAS

21
3.1. Obat Anti Anxietas
3.1.1. Penggolongan
 Benzodiazepine : Diazepam, Chlordiazepoxide, Lorazepam, Clobazam,
Bromazepam, Oxazolam, Clorazepate, Aprazolam, Prazepam.
 Non-Benzodiazepine : Sulpiride, Buspirone, Hydroxyzine.

TABEL 3.1. SEDIAAN OBAT ANTI ANXIETAS DAN DOSIS ANJURAN2

No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran


1 Diazepam LOVIUM Tab 2-5 mg Oral = 10-30
mg/hari, 2-3x
sehari
MENTALIUM Tab 2-5-10 mg
STESOLID Tab 2-5 mg <10kgbb=5mg
Ampul 10 mg/2 cc >10kgbb=20mg
RectalTube 5mg/2,5cc
10mg/2,5cc
VALISANBE Tab 2-5mg
VALIUM Tab 2-5 mg
Ampul 10 mg/2cc
2 Chlordiazepoxide CETABRIUM Drg 5-10mg 15-30mg/hari
TENSINYL Cap 5mg 2-3x sehari
3 Lorazepam ATIVAN Tab 0,5-1-2mg 2-3x1mg/h
REBAQUIL Tab 1mg
MERLOPAM Tab 0,5-2mg
4 Clobazam FRISIUM Tab 10mg 2-3x10mg/h
CLOBAZAM-DM Tab 10mg
5 Bromazepam LEXOTAN Tab 1,5-3-6 mg 3x1,5mg/h
6 Aprazolam XANAX Tab 0,25-0,5-1mg 3x0,25-0,5mg/h
ALGANAX Tab 0,25-0,5-1mg
CALMLET Tab 0,25-0,5-1mg
FEPRAX Tab 0,25-0,5-1mg
FRIXITAS Tab 0,25-0,5-1mg
ALVIZ Tab 0,25-0,5-1mg
ZYPRAX Tab 0,25-0,5-1mg
7 Sulpiride DOGMATIL Cap 50mg 100-200mg/h
8 Busiprone BUSPAR Tab 10mg 15-30mg/h
TRAN-Q Tab 10mg
XIETY Tab 10mg
9 Hydroxyzine ITERAX Caplet 25mg 3x25mg/h

22
3.1.2. Indikasi Penggunaan
Gejala sasaran (target syndrome) : sindrom anxietas. Meliputi sindrom
anxietas psikik, organik, situasional, dan sindrom anxietas penyerta.

3.1.3 Mekanisme Kerja


3.1.3.1. Benzodiazepine
Obat anti anxietas Benzodiazepine bereaksi dengan reseptornya (Benzodiazepine
Receptors) akan me-reinforce ”the inhibitory action of GABA-ergic neuron”, sehingga
hiperaktivitas tersebut diatas mereda.2

3.1.3.2. Non-Benzodiazepine
a. Buspirone
Buspirone bekerja melalui mediasi reseptor serotonin (5-HT1A), meskipun
reseptor lain mungkin juga terlibat karena buspirone menunjukkan afinitas untuk reseptor
dopamin DA2 dan reseptor serotonin 5-HT2. Cara kerja buspirone bukan sebagai
antikonvulsan atau pelemas otot seperti benzodiazepine.

b. Hidrokxyzine
Hidroxyzine merupakan antihistamin dengan aktivitas antiemetik. Tendensi
habituasi rendah, berguna untuk pasien ansietas dengan riwayat penyalahgunaan obat,
juga dapat untuk sedasi preoperatif.8

3.1.4. Efek Samping


Efek samping obat antianxietas dapat berupa :

Sedasi (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun,
kemampuan kognitif melemah)

Relaksasi otot (rasa lemas, cepat lelah, dan lain-lain)

Ketergantungan  disebabkan oleh karena adanya potensi obat, sehingga efek
obat masih dapat dipertahankan setelah dosis terakhir, meskipun berlangsung

23
sangat singkat (pada dosis terapeutik obat-obat anti anxietas memiliki re-
inforcing properties yang lebih rendah daripada obat-obat golongan narkotika,
sehingga efek ketergantungan yang terjadi masih lebih rendah dibandingkan
efek ketergantungan obat akibat pemakaian obat-obat golongan narkotika)
Catatan :
-Ketergantungan relatif lebih sering terjadi pada individu dengan riwayat
peminum alkohol, penyalahgunaan obat-obat terlarang, atau individu dengan
kepribadian yang tidak stabil.  Benzodiazepin tidak dianjurkan bagi pasien yang
termasuk dalam kategori ini
- Untuk mengurangi resiko ketergantungan obat, maksimum lama pemberian =
3 bulan (100 hari) dalam rentang dosis terapeutik.

Rebound Phenomena (iritabel, bingung, gelisah, insomnia, tremor, palpitasi,
keringat dingin, konvulsi, dll)  terjadi akibat penghentian obat secara
mendadak.
Catatan : Untuk Benzodiazepine dengan waktu paruh pendek, gejala putus obat
terjadi lebih cepat dengan manifestasi lebih hebat dibandingkan dengan obat-obat
anti anxietas golongan benzodiazepin lainnya yang memiliki waktu paruh
panjang.2

3.1.5. Interaksi Obat



Benzodiazepine + CNS depressants (phenobarbital, alchohol, obat anti psikosis,
anti depresi, opiates)  potensiasi efek sedasi dan penekanan pusat napas,
resiko timbulnya respiratory failure.

Benzodiazepine + CNS stimulants (amphetamine, caffeine, appetite
suppressants) = antagonisme efek anti anxietas, sehingga efek benzodiazepine
menurun.

Benzodiazepine + Neuroleptika = efek manfaat klinis dari Benzodiazepine
mengurangi kebutuhan dosis neuroleptika, sehingga resiko efek samping
neuroleptika berkurang.2

3.1.6. Cara Penggunaan


3.1.6.1. Pemilihan Obat

24
 Golongan Benzodiazepine sebagai obat anti-anxietas mempunyai
therapeutic ratio lebih tinggi dang lebih kurang menimbulkan adiksi
dengan toksisitas yang rendah, dibandingkan dengan meprobamate atau
phenobarbital. Disamping itu, phenobarbital menginduksi enzim
mikrosomal hepar, sedangkan golongan benzodiazepine tidak.
 Golongan Benzodiazepine = ”drug of choice” dari semua obat yang
mempunyai efek anti-anxietas, disebabkan spesifisitas, potensi dan
keamanannya.
 Spektrum klinis Benzodiazepine meliputi efek anti anxietas, anti
konvulsan, anti insomnia, dan premedikasi tindakan operatif.
-
Diazepam / Chlordoazepoxide : ”Broadspectrum”
-
Nitrazepam / Flurazepam : dosis anti anxietas dan anti insomnia
berdekatan (non-dose related), lebih efektif sebagai anti insomnia.
-
Midazolam : onset cepat dan kerja singkat, sesuai kebutuhan untuk
premedikasi tindakan operatif.
-
Bromazepam, Lorazepam, Clobazam : dosis anti anxietas dan anti
insomnia berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-
anxietas.
 Beberapa spesifikasi :
-
Clobazam = 1,5 benzodiazepine = ”psychomotor performance”
paling kurang terpengaruh, untuk pasien dewasa dan usia lanjut
yang ingin lebih aktif.
-
Lorazepam = Benzodiazepine dengan waktu paruh pendek & tidak
mengalami akumulasi obat yang signifikan pada dosis klinik untuk
pasien-pasien dengan kelainan fungsi hati atau ginjal.
-
Alprazolam = paling luas digunakan. efektif untuk anxietas
antisipatorik, ”onset of action” lebih cepat dan mempunyai
komponen efek antidepresi.
-
Sulpiride-50 = efektif untuk meredakan gejala somatik dan sindrom
anxietas dan paling kecil resiko ketergantungan obatnya.2

25
3.1.6.2. Pengaturan Dosis

”Steady state” (keadaan dengan jumlah obat yang masuk kedalam badan
sama dengan jumlah obat yang keluar dari badan) dicapai setelah 5-7 hari
dengan dosis 2-3 kali sehari (half life = < 24 jam). ”Onset of Action” cepat
dan langsung memberikan efek.

Efek klinis terlihat bila kadar obat dalam darah telah mencapai ”steady
state”.

Pengaturan dosis tidak perlu seperti neuroleptika dan antidepresan.

Mulai dengan dosis awal (dosis anjuran)  naikkan dosis tiap 3-5 hari,
sampai mencapai dosis optimal  dipertahankan 2-3 minggu 
diturunkan 1/8x dosis sebelumnya (dosis terakhir yang sedang
dipertahankan) setiap 2-4 minggu  dosis minimal yang masih efektif
(maintenance dose) bila kambuh dinaikkan lagi dan bila tetap efektif
pertahankan 4-8 minggu  tapering off.2

3.1.6.3. Lama Pemberian



Pada sindrom anxietas yang disebabkan faktor situasi eksternal,
pemberian obat tidak lebih dari 1-3 bulan.

Pemberian yang sewaktu-waktu dapat dilakukan apabila sindrom
anxietas dapat diramalkan waktu datangnya dan hanya pada situasi
tertentu (anticipatory anxiety), serta terjadinya tidak sering.

Penghentian selalu secara bertahap(stepwise)agar tidak menimbulkan
gejala lepas obat (withdrawal symptoms).2

3.1.7. Perhatian Khusus


 Kontraindikasi : Pasien dengan hipersensitifitas terhadap benzodiazepine,
glaucoma, myasthenia gravis, chronic pulmonary insufficiency, chronic renal
or hepatic disease.
 Gejala over dosis / intoksikasi :
- Kesadaran menurun, lemas, jarang yang sampai dengan coma.

26
- Pernapasan, tekanan darah, denyut nadi menurun sedikit.
- Ataksia, disartria, ”convulsion”, refleks fisiologis menurun.
 Terapi suportif : Tata laksana terhadap “Respiratory Depression” dan
“shock”.2
 Terapi kausal : “Benzodiazepine antagonist”. Flumazenil (ANEXATE)
ampul 0,5mg/5 cc (IV).
 Tidak ada kematian pada Diazepam sampai dengan 1400 mg dan
Chlorazepoxide 6000 mg (benzodiazepine merupakan golongan obat paling
aman dalam hal efek samping over dosis, jika dibandingkan dengan obat-obat
psikotropika lainnya).
 Efek teratogenik (khususnya pada semester I) berkaitan dengan obat golongan
benzodiazepine yang dapat melewati placenta dan mempengaruhi janin.
 Pemberian benzodiazepine saat persalinan (khususnya dosis tinggi) harus
dihindarkan oleh karena dapat menyebabkan hypotonia, penekanan
pernafasan, dan hipotermia pada anak yang dilahirkan.
 Pada penderita usia lanjut dan anak dapat terjadi reaksi yang berlawanan
(paradoxical reaction), berupa : kegelisahan, iritabilitas, disinhibisi, spatisitas
otot meningkat, dan gangguan tidur.2

DAFTAR PUSTAKA

1. Kamus Kedokteran Dorland, edisi 26. Jakarta : EGC. 1994.


2. Maslim R, Panduan Praktis Penggunaan Klini, Obat Psikotropik. Edisi 3. Jakarta:
2001.

27
3. Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan Pertama.
Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. 1993.
4. Potter WZ, Hollister LE. Antidepressant Agents. In : Katzung BG, editor. Basic &
Clinical Pharmacology. 9th edition. Singapore : The McGraw-Hill Companies, Inc.,
2004. 482-496.
5. Harvey, R.A. dan Champe, P.C. 2001. Farmakologi : Ulasan Bergambar edisi ke-2.
Jakarta : Penerbit Widya Medika. 55-69.
6. Hoffman, B.B. 2001. Catecholamines, Sympathomimetic Drugs, and Adrenergic
Receptor Antagonists. Dalam Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of
Therapeutics 10th edition. Editor : Hardman, J.G., Limbird, L.E., Gilman, A.G. New
York : McGraw-Hill Medical Publishing Division. 215-220.
7. Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Lippincott’s Illustatrated Reviews:
Pharmacology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins; 2000.
8. Harvey, R.A. dan Champe, P.C. 2001. Farmakologi : Ulasan Bergambar edisi ke-2.
Jakarta : Penerbit Widya Medika. 93.

28

Anda mungkin juga menyukai