Disusun oleh:
Sub Kelompok A-1
Rio Andika Abdullah 4151141401
Khoirunnisa 4151141406
Suci Amanda Maharani Rais 4151141413
Pembimbing:
Kabul Budianto, dr. Sp.KJ-K
BAGIAN PSIKIATRI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNJANI
CIMAHI
2016
1
BAB I
PENDAHULUAN
Antipsikotik merupakan salah satu obat golongan psikotropik. Obat psikotropik adalah obat
yang bekerja secara selektif pada susunan saraf pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap
aktivitas mental dan perilaku (mind and behavior altering drugs), digunakan untuk terapi
adalah obat yang mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman. Psikotropik hanya
mengubah keadaan jiwa penderita sehingga lebih kooperatif dan dapat menerima psikoterapi
antipsikotik; (2) antianxietas; (3) antidepresi; dan (4) psikotogenik. Antipsikotik atau dikenal juga
dengan istilah neuroleptik (major tranquilizer) bermanfaat pada terapi psikosis akut maupun
kronik. Antipsikotik adalah antagonis dopamin dan menyekat reseptor dopamin dalam berbagai
jaras di otak. Obat-obatan antipsikotik dapat diklasifikasikan dalam kelompok tipikal dan
atipikal. Antipsikotik tipikal merupakan golongan obat yang memblokade dopamine pada
reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal
Dopamine memiliki peran yang sangat penting dalam etiologi psikosis. Berdasarkan penelitian
pada pasien skizofrenia didapatkan bahwa dopamine merupakan peranan penting dalam etiologi
2
Obat-obat antipsikotik tipikal merupakan antagonis reseptor dopamine sehingga menahan
terjadinya dopaminergik pada jalur mesolimbik dan mesokortikal. Blokade reseptor D dopamine
dopamine antagonist ). Secara signifikan tidak memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal
Pemberian obat antipsikotik tipikal umumnya pada pasien dengan gejala positif seperti
halusinasi, delusi, gangguan isi pikir dan waham. Sedangkan untuk pasien psikotik dengan gejala
negatif obat tipikal hanya memberikan sedikit perbaikan. Sehingga pemberian obat psikotik
atipikal lebih dianjurkan karena obat atipikal memiliki kemampuan untuk meningkatkan aktivitas
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
dopamine tipe 2 (D2). Indikasi utama untuk pemakaian obat adalah terapi skizofrenia dan
Antipsikotik dan antagonis reseptor dopamine tidak sepenuhnya sama. Clozapine adalah
suatu antipsikotik yang efektif tetapi berbeda dengan semua obat karena memiliki aktivitas pada
reseptor D2 yang kecil. Obat-obat ini dinamakan sebagai neuroleptik dan transkuiliser mayor.
1
Istilah neuroleptik menekankan efek neurologis dan motorik dari sebagian besar obat.
4
Tabel 2.2 Sediaan obat antipsikotik 4
Nama obat Sediaan Dosis anjuran
Chlorpromazine Tab 25-100 mg 150-600mg/h
Amp 50mg/2cc 50-100 mg(im) setiap 4-6 jam
Anak anak >5 tahun dosis
orang dewasa, anak anak < 5
tahun 1 mg/kgBB . bila perlu
diberikan 2x sehari.
Obat antipsikotik yang ada di pasaran saat ini, dapat di kelompokkan dalam dua
kelompok besar yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan antipsikotik generasi kedua
(APG II). Antipsikotik generasi pertama mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D 2
khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan
5
Antagonist Reseptor Dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional atau tipikal.Dapat
menurunkan gejala positif hingga 60-70% dan hanya sedikit berpengaruh pada gejala negative.1,5
dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di sistem limbik dan sistem
berasal dari substansia nigra di batang otak. Neuron-neuron ini terutama berakhir pada region
striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya bersifat inhibisi. Pada skizofrenia diduga
terjadi produksi dopamin yang berlebihan akibat sekresi dari sekelompok neuron proyeksi
serabut-serabut saraf dan sekresi dopamine ke bagian medial dan anterior dari sistem limbik,
khususnya ke dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus anterior dan sebagian lobus
prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat pengatur tingkah laku yang sangat berpengaruh.
Dengan menggunakan antipsikotik tipikal dianggap mampu mengurangi efek produksi dopamin
yang berlebihan. Potensi antipsikotik untuk menurunkan gejala psikotik sangat berhubungan
dengan afinitas obat tersebut dengan reseptor D2. Antipsikotik tipikal bekerja mengurangi
produksi dopamine yang berlebihan dengan cara menghambat atau mencegah dopamine endogen
mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan antagonis reseptor
dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja dari antipsikotik ini menurunkan
hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi
6
ternyata tidak hanya memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti
memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan dopamin di jalur tersebut.
Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan terapi, karena blokade reseptor dopamin
di jalur ini secara teoritis akan menyebabkan memburuknya gejala negatif dan kognitif.5,8
Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkan timbulnya gangguan dalam
mobilitas seperti pada parkinson, bila pemakaian secara kronik dapat menyebabkan gangguan
pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Jalur nigrostriatal dopamin, sebagai bagian dari
peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi seksual dan peningkat berat badan.
Fungsi normal jalur dopamin tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin. Pada wanita
dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor kolinergik muskarinik sehingga timbul
efek samping antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur, konstipasi dan kognitif
tumpul. Reseptor histamin (H1) juga terblok sehingga timbul efek samping mengantuk dan
meningkatkan berat bdan. Selain itu antipsikotik juga memblok reseptor alfa1 adrenergik
sehingga dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic,
7
Gambar 2.1 antipsikotik generasi pertama 9
Gambar 2.2 10
8
Kerugian pemberian APG I:
efek merugikan pada neurologis dan endokrinologi. Selain itu, berbagai antipsikotik juga
galaktorea, amenorea dan ginekomastia, dan efek samping ekstrapiramidal (EPS). Selanjutnya,
penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan penambahan berat badan. Kombinasi dari
semua efek samping tersebut akan sangat mungkin mempengaruhi kualitas-kualitas hidup pasien
9
Gambar 2.3 Efek samping
1,5,8
A. Efek Samping Non neurologis
penumpulan gelombang T, dan depresi segmen ST. Thioridazine, khususnya memiliki efek
yang nyata pada gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan, seperti torsade de
pointes yang sangat mematikan. Selain itu kematian mendadak juga disebabkan karena
timbulnya takikardia ventrikuler atau fibrilasi ventrikuler. Untuk mengantisipasi hal tersebut
sebaiknya pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun dilakukan pemeriksaan EKG serta
10
Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic yang paling
thioridazine. Keadaan ini terjadi selama beberapa hari pertama terapi dan memiliki toleransi
yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan. Bahaya utama dari hipotensi ortostatik adalah adanya
pasien harus diperiksa sebelum dan setelah pemberian dosis pertama dalam beberapa hari
pertama terapi. Bila diperlukan edukasi tentang efek kemungkinan terjatuh dan pingsan akan
sangat membantu pasien sehingga pasien akan lebih berhati-hati. Bila hipotensi terjadi pada
pasien yang mendapatkan medikasi, gejala biasanya dapat ditangani dengan membaringkan
pasien dengan kaki lebih tinggi dibandingkan kepala. Ekspansi volume dengan cairan sangat
Metaraminol dan norepinefrin sebagai agen pressor adrenergic -1 murni adalah obat terpilih.
Untuk antipsikosis dosis dapat diturunkan atau diganti dengan obat yang tidak menghambat
adrenergic.1,5,8
3. Efek hematologis
Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat pemakaian
antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada hamper semua antipsikotik
adalah agranulositosis. Agranulositosis adalah suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan
penurunan bermakna jumlah granulosit yang beredar, neutropeni berat yang menimbulkan
lesi-lesi di tenggorokan, selaput lendir lain, saluran cerna dan kulit. Pada kebanyakan kasus,
gejala ini disebabkan oleh sensitasi terhadap obat-obatan, zat kimia, radiasi yang
insidensi sekitar 5 dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik. Jika pasien
11
melaporkan adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung darah lengkap harus segera
rendah, antipsikotik harus segera dihentikan. Angka mortalitas dari komplikasi setinggi 30%.
kering, hidung tersumbat, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, dan midriasis. Beberapa
pasien juga mengalami mual dan muntah. Obat antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine,
mempengaruhi kepatuhan terapi. Pasien dapat dianjurkan sering membilas mulutnya dengan
air dan tidak mengunyah permen karet atau permen yang mengandung gula, karena hal
tersebut dapat menyebabkan infeksi jamur pada mulut dan peningkatan insidensi karies gigi.
Konstipasi harus diobati dengan perbanyak olahraga, cairan, diet tinggi serat, serta preparat
laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang menjadi ileus paralitik. Pada kasus
tersebut diperlukan penurunan dosis atau penggantian dengan obat yang kurang
antikolinergik. Pilocarpine mungkin berguna pada beberapa pasien dengan retensi urin. 1,5,8
5. Efek Endokrin
Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular menyebabkan
impotensi pada laki-laki, dan amenore serta penghambatan orgasme pada wanita. Untuk
mengatasi efek samping tersebut dapat dilakukan penggantian obat antipsikotik yang
diberikan. Pada keadaan impotensi sebagai efek obat dapat diberikan bromokriptin. Untuk
12
gangguan pada orgasme maupun penurunan libido dapat diberikan brompheniramine
(tofranil). Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga dilaporkan, kemungkinan kedua
hal tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis adrenergic 1. Peningkatan berat badan juga
merupakan efek endokrin yang paling sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik tipikal.
Peningkatan berat badan nantinya akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan
dislipidemia. Peningkatan berat badan juga didaptkan karena adanya blok pada reseptor 5
HT2c1,5,8.
6. Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien, paling
sering terjadi pada mereka yang menggunakan antipsikotik tipikal potensi rendah, khusunya
chlorpromazine. Berbagai erupsi kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki, dan erupsi
edematous telah dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam minggu pertama
dan menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang menyerupai proses terbakar
matahari (sunburn) yang parah juga terjadi pada beberapa pasien yang menggunakan
chlorpromazine. Pasien harus diperingatkan tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada
dibawah sinar matahari lebih dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya.
Penggunaan chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu pada kulit
dosis lebih besar dari 800 mg sehari. Gejala awal dari efek tersebut kadang-kadang berupa
dapat berkembang menjadi kebutaan walaupun thioridazine dihentikan karena tidak bersifat
reversible.
13
Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif ringan, ditandai
oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa anterior dan kornea posterior
yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3 kg chlorpromazine selama hidupnya. Deposit
dapat berkembang menjadi granula putih opak dan coklat kekuningan. Keadaan ini hampir
terjadi dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus muncul pada bulan pertama
terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian atas, mual, muntah, gejala mirip flu, demam,
ruam, bilirubin pada urin dan peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase dan transaminase
hati. Jika ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan
terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan sangat jarang terjadi pada fluphenazine
dan trifluoperazine. 3
9. Overdosis Antipsikotik
Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis, penurunan
reflex tendon dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis yang parah adalah delirium,
koma, depresi pernapasan, dan kejang. Terapi overdosis antipsikotik harus termasuk
pemakaian arang aktif (activated charcoal), jika memungkinkan lavage lambung dapat
dipertimbangkan. Terapi kejang dengan diazepam serta hipotensi dengan norepinefrin juga
beberapa efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius. Efek neurologis tersebut dikenal
14
akibat terapi dibuktikan pada DSM-IV yang memasukkan efek samping tersebut sebagai
dengan antipsikotik tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-30 hari setelah awal terapi. Gejala-
gejala yang timbul berupa kekakuan otot atau rigiditas pipa besi (lead-pipe rigidity), rigiditas
gigi gergaji (cog-wheel rigidity), gaya berjalan menyeret, postur membungkuk dan air liur
menetes. Tremor menggulung pil (pill-rolling) pada parkinsonisme idopatik jarang terjadi,
tetapi tremor yang teratur dan kasar yang serupa dengan tremor esensial mungkin ditemukan
dan dinamakan sebagai tremor ppostural akibat medikasi dalam DSM-IV. Suatu tanda fisik
parkinsonisme adalah reflek ketukan glabela yang positif yang ditimbulkan dengan mengetuk
dahi antara alis mata. Dikatakan reflek positif bila orbikularis okuli tidak dapat membiasakan
diri dengan ketukan yang berulang. Wajah yang mirip topeng, bradikinesia, akinesia (tidak
parkinsonisme yang sering didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala negative atau deficit
adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun jarang terjadi pada usia lebih dari 40
tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat menyebabkan gejala parkinsonisme, khususnya obat
neuroleptik. 1
Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian obat
6 minggu untuk menilai apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek
15
parkinsonisme sebab kira-kira 50% pasien dengan parkinsonisme akibat neuroleptik dapat
meneruskan terapi.Pemberian anti Parkinson seperti levodopa lebih baik jangan diberikan
terus berjalan sampai 2 minggu dan bahkan sampai 3 bulan sehingga perlu meneruskan
pulih sepenuhnya. 1
mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi dalam beberapa jam atau 90%
pada tiga hari pertama terapi. Gerakan distonia disebabkan oleh kontraksi atau spasme otot
yang perlahan dan terus-menerus yang dapat menyebabkan gerakan involunter. Distonia
dapat mengenai leher (tortikolis atau retrokolis spasmodik), rahang (pembukaan paksa yang
menyebabkan dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan keseluruhan
tubuh (opistotonus). Terkenanya mata dapat menyebabkan krisis okulorigik, ditandai oleh
gerakan mata yang ke lateral atas. Tidak seperti tipe distonia lainnya, krisis okulorigik dapat
terjadi secara lambat dalam terapi. Distonia lain berupa blefarospasme dan distonia
sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada semua antipsikotik dan
paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi tinggi IM. Mekanisme kerja diperkirakan
merupakan suatu hiperaktivitas dopaminergik di ganglia basalis yang terjadi jika kadar
16
Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan biasanya mencegah
terjadi setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik.Hal ini dapat terjadi karena reaksi
obtundasi, dan agitasi. Gejala otonomik adalah hiperpireksia, berkeringat dan peningkatan
kecepatan denyut nadi dan tekanan darah. Temuan laboratorium adalah peningkatan hitung
sel darah putih, kreatinin fosfokinase, enzim hati, mioglobin plasma, dan mioglobinuria,
berikan obat dopamine agonist (bromokriptin 7,5-60 mg/h 3x sehari, l-dopa2x 100 mg/h atau
amantadine 200 mg/h). Menurut kepustakaan lain, pengobatan dengan datrolene juga efektif
dengan dosis 0,8-2,5 mg/kgbb, setiap 6 jam iv, apabila gejala berkurang diberikan oral
dengan dosis 100-200 mg/hari dapat ditambahkan bromocriptin dengan dosis 20-30 mg/hari
dalam 4x pemberian, terapi berlangsung selama 5-20 hari, bila pada penanganan SNM
ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik potensi rendah lain diperkirakan lebih
17
Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor dopamine tipe-1.
antipsikotik harian sebelum tidur biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan toleransi
waktu, orang dan tempat; halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi pupil. Stupor dan koma
dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah pertama menghentikan obat penyebab
dan pemberian anticholinergic agents seperti injeksi sulfas atropine 0,25 mg(im), tablet
trihexyphenidyl 3x2mg/hari. Hal ini juga dapat terjadi bila pengehntian mendadak dari
antipsikotik. 1,3
APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA) atau
antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi antara serotonin dan
dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan efek samping EPS lebih
rendah dan sanagat efektif untuk mengatasi gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan APG II
adalah APG I hanya dapat memblok reseptor D 2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan
reseptor serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini adalah
18
Bagan 2.1 Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways11
1. Mesokortikal Pathways
antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin pathways sehingga terjadi
keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin dan dopamin. APG II lebih berpengaruh
banyak dalam memblok reseptor 5HT2A dengan demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan
dopamin yand dilepas menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini
menyebabkan berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I karena di
jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari reseptor D2, dan APG II lebih
banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT 2A dan sedikti memblok reseptor D2 akibatnya
dopamin yang di lepas jumlahnya lebih banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal
2. Mesolimbik Pathways
19
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT 2A gagal untuk mengalahkan antagonis D2 di
jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi blokade reseptor D2 di
mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini yang menyababkan APG II dapat
memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada keadaan normal serotonin akan menghambat
antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin dan dopamin sifatnya
antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin dari hipofise. Dopamin akan
Pemberian APG II dalam dosis terapi akan menghambat reseptor 5HT 2A sehingga menyebabkan
pelepasan dopamin menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak
terjadi hiperprolaktinemia.1,6
4. Nigrostriatal Pathways
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada dosis
20
Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian APG II selain efek samping yang minimal
juga dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood sehingga mengurangi
Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan menigkatkan kualitas hidup
2.2.2.1 RISPERIDONE
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA (Food and Drug
pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya terjadi dalam dosis rendah, pada dosis tinggi
dapat terjadi EPS. Pemakaian risperidone yang teratur dapat mencegah terjadinya kekambuhan
dan menurunkan jumlah dan lama perawatan sehingga baik digunakan dalam dosis
pemeliharaan.1
Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi dengan APG I tetapi
hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini juga dapat memperbaiki fungsi kognitif
tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada penderita demensia misalnya demensia Alzheimer.
Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim CYP 2D6 menjadi 9-
hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP 3A4. Hydroxyrisperiodne mempunyai
potensi afinitas terhadap reseptor dopamin yang setara dengan risperidone. Eksresi terutama
melalui urin. Metabolisme risperiodne dihambat oleh antidepresan fluoxetine dan paroxetine,
karena antidepresan ini menghambat kerja dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4 sehingga pada
pemberian bersama antidepresan ini, maka dosis risperidone harus dikurangi untuk
meminimalkan timbulnya efek samping dan toksik. Metabolisme obat ini dipercepat bila
diberikan bersamaan carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4 sehingga perlu peningkatan
21
dosis risperidone pada pemberiaan bersama carbamazepin disebabkan konsentrasi risperidone di
Indikasi :
Dosis :
- Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal, jika belum
- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.1,3
- EPS
- Peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi, galaktorea, disfungsi
seksual)
- Sindroma neuroleptik malignan
- Peningkatan berat badan
- Sedasi
- Pusing
- Konstipasi
- Takikardi
2.2.2.2 CLOZAPINE
22
Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan timbulnya EPS, tidak
menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi peningkatan dari prolaktin.
Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang telah resisten dengan obat antipsikotik
rendah, tetapi dapat mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal
otak, yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang berbeda
dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan tuberoinfundibular (daerah
neruendokrin). 1
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang
positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan incompetence, personal
neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara
bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pasien yang refrakter dan
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna pada pemberian
per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 2 jam setelah pemberian obat, dengan
waktu paruh rata-rata 12 jam (antara 10-16 jam) sehingga pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam
sehari. Distribusi dari clozapine dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih rendah. Umunya
afinitas dari clozapine rendah pada reseptor D2 dan tinggi pada reseptor 5HT2A sehingga
Dosis :1,3
terbagi.
23
- Dosis maksimal 150-600 mg / hari.
- Sediaan tablet 25 mg dan 100 mg
- Ngantuk, lesu, lemah, tidur, sakit kepala, bingung, gelisah, agitasi, delirium.
hipertensi.
Kontra indikasi :
- Koma.
- Depresi SSP.
- Gangguan liver.
2.2.2.3 OLANZAPINE
dicapai dalam waktu 5 jam setalah pemberian oral, sedangkan pada pemberian intramuskular
dapat dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 31 jam (antara 21-54 jam) sehingga
24
Olanzapine merupaka antagonis monoaminergik selektif yang mempunyai afinitas yang
kuat terhadap reseptor dopamin (D1-D4), serotonin (5HT2A/2c), Histamin (H1) dan 1 adrenergik.
Afinitas sedang dengan reseptor kolinergik muskarinik (M1-5) dan serotonin (5HT3). Berikatan
sitokrom P450 CYP 1A2 dan 2D6. Metabolisme akan meningkat pada penderita yang merokok
dan menurun bila diberikan bersama dengan antidepresan fluvoxamine atau antibiotik
ciprofloxacin. 1
Bila dibandingkan dengan clozapine, olanzapine memblok D2 lebih besar sehingga dosis
tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar prolactin dan efek pada EPS Olanzapine juga
Indikasi :1,3
Dosis :1,3
Efek samping:
25
- Hipotensi ortostatik berkaitan dengan blokade reseptor 1
- EPS dan kejang rendah
- Insiden tardive dyskinesia rendah
2.2.2.4 QUETIAPINE
Quetiapine merupakan antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan 5HT2A), reseptor dopamin
(D1 dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor adrenergik 1 dan 2. Afinitasnya lemah pada
reseptor muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin. Cleareance quetiapine menurun 40% pada
penderita usia lanjut, sehinga perlu penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun 30%-50%
pada penderita yang mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat apabila
antijamur ketokonazole.1,2,3
Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan mood. Dapat juga
memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik generasi pertama tetapi hasilnya tidak
sebaik apabila di terapi dengan clozapine. Pemberian pada pasien pertama kali mendapat
quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk mencegah terjadinya sinkope dan hipotensi
postural.Waktu untuk konsentrasi penuh setelah pemberian oral adalah 2 jam dengan waktu
paruh berkisar 3-5 jam, setelah 8-12 jam reseptor masih diduduki. 1
Dosis anjuran 50-400mg/hari dan sediaannya 25-100mg dan 200mg dan 300mg tablet XR
(50mg, 300mg dan 400mg). Efek samping obat ini yang sering adalah somnolen, hipotensi
2.2.2.5 ARIPIPRAZOLE
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada reseptor D 2 dan
reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin 5HT 2A. Aripiprazole bekerja
26
sebagai dopamin sistem stabilizer artinya menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama
pada keadaan hiper atau hipo-dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole
afinitasnya lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter dopamin
dan berikatan dengan reseptor dopamin. Pada keadaan hipodopaminergik maka aripiprazole
dapat menggantikan peran neurotransmiter dopamin dan akan berikatan dengan reseptro
dopamin. 3,7,8
Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6 dan CYP 3A4,
menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini mirip dengan aripiprazole pada
reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari keseluruhan aripiprazole. Waktu paruh
berkisar antara 75-94 jam sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. Absorpsi aripiprazole
mencapai konsentrasi plasma ouncak dalam waktu 3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole
sebaiknya diberikan sesudah makan, terutama pada pasien yang mempunyai keluhan dispepsia,
Indikasi : Skizofrenia.
Dosis : dosis anjuran 1015mg/hari dan sedian tablet (5mg, 10mg dan 15mg). Pemberuannya
Efek samping :
- Sakit kepala.
- Mual, muntah.
- Konstipasi.
- Akhatisia.
27
BAB III
KESIMPULAN
Efek samping yang sering ditimbulkan pada pemakaian antipsikotik tipikal seperti :
sedasi, peningkatan berat badan yang sedang, disregulasi tempertur, hiperprolaktinemia, dengan
galaktorea dan amenorea pada wanita dan ginekomastia pada pria, serta disfungsi seksual pada
pria dan wanita, hipotensi postural (ortostatik), interval QT memanjang, risiko terjadi fatal
aritmia.
28
Efek samping yang ditimbulkan oleh pemakaian antipsikotik atipikal seperti: gangguan
pergerakan yang sedang, sedasi, hiperkolesterolemia, peningkatan berat badan sedang sampai
DAFTAR PUSTAKA
1. Amir N.Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia. Edisi kedua.
173-95.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadocks synopsis of psychiatry : Behavioral
psikotropik; p.10-11.
4. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga. Jakarta :
29
5. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
http://psychopharmacologyinstitute.com/antipsychotics/first-generation-antipsychotics/
10. Medlibes online medical library. Dopamine Pathways. Accessed on : 3 November
2014.Available at : http://medlibes.com/entry/dopamine-pathways
11. Episodes Self-Negotiated Unit: Side Effects of Atypical Antipsychotic Drugs..Accessed
side-effects-of-atypical-antipsychotic-drugs
30