Anda di halaman 1dari 23

Referat Efek samping Obat Antipsikotik

Post by denny christian lukas on Mon Feb 22, 2016 8:17 am

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Psikiatri adalah salah satu cabang ilmu kedokteran, yang mempelajari manusia
secara utuh, tidak hanya masalah fisik, fisiologi atau patologi yang terjadi saja,
tetapi juga melihat hubungan individu dengan lingkungannya. Terapi yang
digunakan terhadap penderita gangguan jiwa berupa elektrik - holistik, yaitu
komprehensif meliputi bidang organo-biologik, psiko-edukatif dan sosio-kultural,
serta selalu mengikuti kaedah-kaedah ilmu kedokteran yang mutakhir. Dalam setiap
kondisi tidak mudah untuk menentukan aspek mana yang harus lebih
diprioritaskan. Istilah biological priority dan psychological supremacy sebenarnya
bukan dimaksudkan untuk menempatkan satu diatas yang lain, tapi
memperlakukannya sebagai proses berkesinambungan yang tidak terpisahkan.

Istilah antipsikotik dan neuroleptik secara bergantian, digunakan untuk menyebut


kelompok obat yang digunakan untuk terapi skizofrenia, tetapi juga efektik untuk
keadaan psikosis atau agitatif yang disebabkan karena hal lain. Obat-obat
antipsikotik dahulu sering disebut dengan neuroleptik karena memiliki beberapa
efek samping yang memberi gambaran seperti gangguan neurologis yang disebut
pseudoneurologis, atau dikenal juga istilah major transquilizer karena adanya efek
sedasi atau mengantuk yang berat.

Antipsikotik telah digunakan di kedokteran barat selama lebih 50 tahun. Reserpin


dan klorpromazin merupakan obat obat pertama yang ditemukan untuk
mengobati skizofrenia. Sampai saat ini terus berkembang bahwa obat antipsikotik
sering menimbulkan gejala saraf berupa gejala ekstrapiramidal. Dengan
dikembangkannya golongan baru yang hampir tidak menimbulkan gejala
ektrapiramidal istilah neuroleptik tidak lagi dapat dianggap sinonim dari istilah
antipsikotik. Selanjutnya ditemukan generasi kedua antipsikotik yaitu haloperidol,
yang penggunaannya cukup luas hingga selama 4 dekade. 1

Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama
antipsikotik golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal symptom) yang umum
terjadi pada obat antipsikotik tipikal yang ditemukan lebih dahulu. Sejak ditemukan
klozapin, pengembangan obat baru golongan atipikal ini terus dilakukan. Hal ini
terlihat dengan ditemukannya obat baru yaitu risperidon, olanzapine, zotepin,
ziprasidon dan lainnya. 1

Kebanyakan antipsikotik golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam


menghambat reseptor dopamin 2, hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi
ekstrapiramidal yang kuat. Obat golongan atipikal pada umumnya mempunyai
afinitas yang lemah terhadap dopamine 2, selain itu juga memiliki afinitas terhadap
reseptor dopamine 4, serotonin, histamine, reseptor muskarinik dan reseptor alfa
adrenergic. Golongan antipsikotik atipikal diduga efektif untuk gejala positif ( seperti
bicara kacau, halusinasi, delusi) maupun gejala negatif (miskin kata kata, afek yang
datar, menarik diri dari lingkungan, inisiatif menurun) pasien skizofrenia. Golongan
antipsikotik tipikal umumnya hanya berespon untuk gejala positif.1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antipsikotik

Obat antipsikotik adalah obat-obatan yang menghambat reseptor dopamine tipe 2


(D2). Indikasi utama untuk pemakaian obat adalah terapi skizofrenia dan gangguan
psikotik lainnya. 2

Obat yang digunakan untuk psikosis memiliki banyak sebutan yaitu anti psikotik,
neuroleptik dan mayor transquilizer. Anti psikotik digunakan untuk mengatasi gejala
akibat gangguan mental yang berat seperti skizofrenia, gangguan delusional,
gangguan afektif berat, dan gangguan psikosis organik. Neuroleptika konvensional
umumnya dapat mengurangi gejala positif, seperti : halusinasi, waham, tidak
kooperatif, dan gangguan alam berpikir seperti loncat pikir/ flight of ideas maupun
inkoherensi. Gejala positif skizofrenia tersebut bereaksi secara lebih responsif
terhadap obat anti psikotik, sedang gejala negatifnya, seperti : pendataran afek,
apatis, anhedonia dan blokade diri ternyata lebih sulit diatasi. Namun sekarang
sudah ditemukan derivat baru untuk mengatasi gejala negatif tersebut. Obat-
obatan jenis ini dikelompokkan dalam Neuroleptika-aspesifik.

2.2 Jenis - Jenis Antipsikotik

Berdasarkan rumus kimianya, obat-obat antipsikotik dibagi menjadi golongan


fenotiazin misalnya chlorpromazine, dan golongan nonfenotiazine contohnya
haloperidol. Sedangkan menurut cara kerjanya terhadap reseptor Dopamin dibagi
menjadi Dopamine receptor Antagonist (DA) dan Serotonine Dopamine Antagonist
(SDA). Obat-obat DA juga sering disebut dengan antipsikotik tipikal, dan obat-obat
SDA disebut juga dengan antipsikotik atipikal. Golongan fenotiazine disebut juga
obat berpotensi rendah (low potency), sedangkan golongan non fenotiazine disebut
obat-obat potensi tinggi (high potency) karena hanya memerlukan dosis kecil untuk
memperoleh efek yang setara dengan Chlorpromazine 100 mg. Obat-obat SDA
makin berkembang dan makin menjadi pilihan karena efek klinis yang diperoleh
setara dengan obat-obat konvensional disertai dengan efek samping yang jauh
lebih ringan. Obat-obat jenis ini antara lain, Risperidon, Clozapine, Olanzapin,
Quetiapin, Ziprazidon, dan aripripazol. Klasifikasi kemudian dibuat lebih sederhana
dengan membaginya menjadi antipsikotik generasi I (APG-I) untuk obat-obat
golongan antagonis Dopamin (DA) dan antipsikotik generasi II (APG-II) untuk obat-
obat golongan serotonin dopamin antagonis (SDA).

Obat-obat anti psikotik ini terbagi atas dua golongan besar, yaitu :

I. Obat anti psikotik tipikal

1. Phenothiazine
Rantai aliphatic : CHLORPROMAZINE

LEVOMEPROMAZINE

Rantai piperazine : PERPHENAZINE

TRIFLUOPERAZINE

FLUPHENAZINE

Rantai piperidine : THIORIDAZINE

2. Butyrophenone : HALOPERIDOL

3. diphenyl-butyl-piperidine : PIMOZIDE

II. obat anti psikotik atipikal

1. Benzamide : SULPIRIDE

2. Dibenzodiazepine CLOZAPINE

OLANZAPINE

QUETIAPINE

3. Benzisoxazole : RISPERIDON

Sediaan Obat Antipsikotik 2

No Nama obat Sediaan Dosis anjuran

1 Chlorpromazine Tab 25-100 mg

Amp 50mg/2cc 150-600mg/h

50-100 mg(im) setiap 4-6 jam

Anak anak >5 tahun dosis orang dewasa, anak anak < 5 tahun 1 mg/kgBB . bila
perlu diberikan 2x sehari.

2 Haloperidol Tab 0,5-1,5 mg- 5 mg

Amp 5mg/cc

Amp 50mg/cc 5-15 mg/h

5-10mg(im) setiap 4-6 jam

50 mg (im) setiap 2-4 minggu


3 Perphenazine Tab 2-4-8 mg 12-24 mg/h

4 Fluphenazine Tab 2,5-5 mg

Vial 25 mg/cc 10-15 mg/h

25 mg(im) setiap 2-4 minggu

5 Trifluoperazine Tab 1-5 mg 10-15 mg/h

6 Thioridazine Tab 50-100 mg 150-300 mg/h

7 Sulpiride Amp 100mg/2cc

Tab 200 mg 3-6 amp/h

300-600mg/h

8 Pimozide Tab 4 mg 2-4 mg/h

9 Risperidone Tab 1-2-3 mg

Vial 25 mg/cc

Vial 50 mg/cc 2-6 mg/h

25-50 mg(im) setiap 2 minggu

10 Clozapine Tab 25-100 mg 25-100mg/h

11 Quetiapine Tab 25-100 mg

200 mg 50-400 mg

12 Olanzapine Tab 5-10mg 10-20 mg/h

13 Zotepine Tab 25-50 mg 75-100 mg/h

14 Aripiprazole Tab 10-15 mg 10-15 mg/h

2.3 ANTIPSIKOTIK GENERASI PERTAMA (APG I)

Antipsikotik generasi pertama mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2


khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga
dengan Antagonist Reseptor Dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional atau
tipikal. Dapat menurunkan gejala positif hingga 60-70% dan hanya sedikit
berpengaruh pada gejala negatif.1,5
Mekanisme kerja : Mekanisme kerja obat antipsikotik tipikal adalah memblokade
dopamin pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak khusunya di sistem limbik dan
sistem ekstrapirimidal (dopamin D2 receptor antagonists), sehingga efektif untuk
gejala positif.

Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuron-neuron yang


berasal dari substansia nigra di batang otak. Neuron-neuron ini terutama berakhir
pada region striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya bersifat inhibisi.
Pada skizofrenia diduga terjadi produksi dopamin yang berlebihan akibat sekresi
dari sekelompok neuron proyeksi dopamine. Neuron - neuron ini menghasilkan
system dopaminergik mesolimbik yang menjulurkan serabut-serabut saraf dan
sekresi dopamine ke bagian medial dan anterior dari sistem limbik, khususnya ke
dalam hipokampus, amigdala, nukleus kaudatus anterior dan sebagian lobus
prefrontalis. Semua ini merupakan pusat-pusat pengatur tingkah laku yang sangat
berpengaruh. Dengan menggunakan antipsikotik tipikal dianggap mampu
mengurangi efek produksi dopamin yang berlebihan. Potensi antipsikotik untuk
menurunkan gejala psikotik sangat berhubungan dengan afinitas obat tersebut
dengan reseptor D2. Antipsikotik tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine
yang berlebihan dengan cara menghambat atau mencegah dopamine endogen
untuk mengaktivasi reseptor.5,8

Antipsikotik tipikal mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D2 khususnya


di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan
antagonis reseptor dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional. Kerja dari
antipsikotik ini menurunkan hiperaktivitas dopamine dijalur mesolimbik sehingga
menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata tidak hanya memblok reseptor
D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti dijalur mesokortikal,
nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.1,5,8

Apabila antipsikotik tipikal memblok reseptor D2 dijalur mesokortikal, dapat


memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan dopamin di
jalur tersebut. Jika hal ini terjadi, maka merupakan sebuah tantangan terapi, karena
blokade reseptor dopamin di jalur ini secara teoritis akan menyebabkan
memburuknya gejala negatif dan kognitif. Blokade reseptor D2 di tuberoinfundibular
oleh antipsikotik tipikal menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat
terjadi disfungsi seksual dan peningkat berat badan. Fungsi normal jalur dopamin
tuberoinfundibular menghambat pelepasan prolaktin. Pada wanita postpartum,
aktivitas di jalur ini menurun, sehingga memungkinkan laktasi. 5,8

Antipsikotik selain menyebabkan terjadinya blokade reseptor D2 pada keempat jalur


dopamine, juga menyebabkan terjadinya blokade reseptor kolinergik muskarinik
sehingga timbul efek samping antikolinergik berupa mulut kering, pandangan kabur,
konstipasi dan kognitif tumpul. Reseptor histamin (H1) juga terblok sehingga timbul
efek samping mengantuk dan meningkatkan berat bdan. Selain itu antipsikotik juga
memblok reseptor alfa1 adrenergik sehingga dapat menimbulkan efek samping
pada kardiovaskuler berupa hipotensi ortostatic, mengantuk, pusing, dan tekanan
darah menurun.2,8

2.4 Efek Samping

A. Efek Samping Non Neurologis

1. Efek pada jantung

Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan dengan


antipsikotik potensi tinggi. Chlorpromazine menyebabkan perpanjangan interval QT
dan PR, penumpulan gelombang T, dan depresi segmen ST. Thioridazine, khususnya
memiliki efek yang nyata pada gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan,
seperti torsade de pointes yang sangat mematikan. Selain itu kematian mendadak
juga disebabkan karena timbulnya takikardia ventrikuler atau fibrilasi ventrikuler.
Untuk mengantisipasi hal tersebut sebaiknya pada pasien yang berusia lebih dari 50
tahun dilakukan pemeriksaan EKG serta pemberian serum potassium dan
magnesium.1

2. Hipotensi Ortostatik (Postural)

Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic yang paling


sering disebabkan oleh antipsikotik potensi rendah, khususnya chlorpromazine dan
thioridazine. Keadaan ini terjadi selama beberapa hari pertama terapi dan memiliki
toleransi yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan. Bahaya utama dari hipotensi ortostatik
adalah adanya kemungkinan pasien terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya.

Jika menggunakan antipsikotik potensi rendah intramuscular (IM), tekanan darah


pasien harus diperiksa sebelum dan setelah pemberian dosis pertama dalam
beberapa hari pertama terapi. Pemberian epinefrin dikontraindikasikan karena
dapat memperburuk hipotensi. Metaraminol dan norepinefrin sebagai agen pressor
adrenergic -1 murni adalah obat terpilih. Untuk antipsikosis dosis dapat diturunkan
atau diganti dengan obat yang tidak menghambat adrenergic.1,5,8

3. Efek Hematologis

Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat pemakaian


antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada hampir semua
antipsikotik adalah agranulositosis. Agranulositosis adalah suatu kumpulan gejala
yang ditandai dengan penurunan bermakna jumlah granulosit yang beredar,
neutropeni berat yang menimbulkan lesi-lesi di tenggorokan, selaput lendir lain,
saluran cerna dan kulit. Pada kebanyakan kasus, gejala ini disebabkan oleh sensitasi
terhadap obat-obatan, zat kimia, radiasi yang mempengaruhi sumsum tulang dan
menekan granulopoiesis.

Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi dengan
insidensi sekitar 5 dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik. Jika pasien
melaporkan adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung darah lengkap
harus segera dilakukan untuk memeriksa kemungkinan terjadinya agranulositosis.
Jika indeks darah rendah, antipsikotik harus segera dihentikan. Angka mortalitas
dari komplikasi setinggi 30%. 1

4. Efek Antikolinergik Perifer

Obat antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine, dan trifluoperazine


adalah antikolinergik yang poten. Mulut kering merupakan efek yang mengganggu
beberapa pasien dan dapat mempengaruhi kepatuhan terapi. Pasien dapat
dianjurkan sering membilas mulutnya dengan air dan tidak mengunyah permen
karet atau permen yang mengandung gula, karena hal tersebut dapat
menyebabkan infeksi jamur pada mulut dan peningkatan insidensi karies gigi.
Konstipasi harus diobati dengan perbanyak olahraga, cairan, diet tinggi serat, serta
preparat laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang menjadi ileus
paralitik. Pada kasus tersebut diperlukan penurunan dosis atau penggantian dengan
obat yang kurang antikolinergik. Pilocarpine mungkin berguna pada beberapa
pasien dengan retensi urin. 1,5,8

5. Efek Endokrin

Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular menyebabkan


peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan pembesaran payudara,
galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta penghambatan orgasme
pada wanita. Untuk mengatasi efek samping tersebut dapat dilakukan penggantian
obat antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan impotensi sebagai efek obat dapat
diberikan bromokriptin. Untuk gangguan pada orgasme maupun penurunan libido
dapat diberikan brompheniramine (bromfed), ephedrine (Primatene),
phenylpropanolamin (Comtrex), midrione, dan imipramin (tofranil). Priapisme dan
laporan orgasme yang nyeri juga dilaporkan, kemungkinan kedua hal tersebut
terjadi akibat aktivitas antagonis adrenergic 1. Peningkatan berat badan juga
merupakan efek endokrin yang paling sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik
tipikal. Peningkatan berat badan nantinya akan menjadi resiko terjadinya DM tipe 2,
hipertensi dan dislipidemia. Peningkatan berat badan juga didapatkan karena
adanya blok pada reseptor 5 HT2c1,5,8.
6. Efek Dermatologis

Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien,
paling sering terjadi pada mereka yang menggunakan antipsikotik tipikal potensi
rendah, khusunya chlorpromazine. Berbagai erupsi kulit seperti urtikaria,
makulopapular, peteki, dan erupsi edematous telah dilaporkan. Erupsi terjadi pada
awal terapi, biasanya dalam minggu pertama dan menghilang dengan spontan.
Pasien harus diperingatkan tentang efek tersebut, yaitu agar tidak berada dibawah
sinar matahari lebih dari 30-60 menit, dan harus menggunakan tabir surya.
Penggunaan chlorpromazine juga disertai beberapa kasus diskolorasi biru-kelabu
pada kulit pada daerah yang terpapar dengan sinar matahari. 1

7. Efek pada Mata

Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila diberikan


dalam dosis lebih besar dari 800 mg sehari. Gejala awal dari efek tersebut kadang-
kadang berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan dengan kesulitan
penglihatan malam. Pigmentasi dapat berkembang menjadi kebutaan walaupun
thioridazine dihentikan karena tidak bersifat reversible.

Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif ringan, ditandai


oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa anterior dan kornea
posterior yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3 kg chlorpromazine selama
hidupnya. Deposit dapat berkembang menjadi granula putih opak dan coklat
kekuningan. Keadaan ini hampir tidak mempengaruhi penglihatan pasien. 5,8

8. Ikterus

Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang relative jarang
terjadi dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus muncul pada bulan
pertama terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian atas, mual, muntah, gejala
mirip flu, demam, ruam, bilirubin pada urin dan peningkatan bilirubin serum, alkali
fosfatase dan transaminase hati. Jika ikterus terjadi, maka terapi harus
diberhentikan dan diganti. Ikterus dilaporkan terjadi pada penggunaan promazine,
thioridazine, dan sangat jarang terjadi pada fluphenazine dan trifluoperazine. 3

9. Overdosis Antipsikotik

Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis, penurunan


reflex tendon dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis yang parah adalah
delirium, koma, depresi pernapasan, dan kejang. Terapi overdosis antipsikotik harus
termasuk pemakaian arang aktif (activated charcoal), jika memungkinkan lavage
lambung dapat dipertimbangkan. Terapi kejang dengan diazepam serta hipotensi
dengan norepinefrin juga merupakan terapi overdosis antipsikotik atipikal.1

B. Efek Samping Neurologis

Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang mengganggu dan
beberapa efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius. Efek neurologis
tersebut dikenal sebagai efek sindrom ekstrapiramidal. Pentingnya mengetahui efek
samping neurologis akibat terapi dibuktikan pada DSM-IV yang memasukkan efek
samping tersebut sebagai kelompok tersendiri gangguan pergerakan akibat
medikasi. 1,2

1. Parkinsonisme Akibat Neuroleptik

Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien yang diobati
dengan antipsikotik tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-30 hari setelah awal terapi.
Gejala-gejala yang timbul berupa kekakuan otot atau rigiditas pipa besi (lead-pipe
rigidity), rigiditas gigi gergaji (cog-wheel rigidity), gaya berjalan menyeret, postur
membungkuk dan air liur menetes. Tremor menggulung pil (pill-rolling) pada
parkinsonisme idopatik jarang terjadi, tetapi tremor yang teratur dan kasar yang
serupa dengan tremor esensial mungkin ditemukan dan dinamakan sebagai tremor
ppostural akibat medikasi dalam DSM-IV. Suatu tanda fisik parkinsonisme adalah
reflek ketukan glabela yang positif yang ditimbulkan dengan mengetuk dahi antara
alis mata. Dikatakan reflek positif bila orbikularis okuli tidak dapat membiasakan diri
dengan ketukan yang berulang. Wajah yang mirip topeng, bradikinesia, akinesia
(tidak ada inisitatif), dan ataraksia (kebingungan terhadap lingkungan) merupakan
gejala parkinsonisme yang sering didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala
negative atau deficit pada skizofrenia. 1,3,8

Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme akibat


neuroleptik adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun jarang terjadi
pada usia lebih dari 40 tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat menyebabkan gejala
parkinsonisme, khususnya obat potensi tinggi dengan aktivitas antikolinergik yang
rendah. Penghambatan transmisi dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah
penyebab dari parkinsonisme akibat neuroleptik. 1

Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian obat


antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine. Antikolinergik harus dihentikan
setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah mengembangkan suatu
toleransi terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira 50% pasien dengan
parkinsonisme akibat neuroleptik dapat meneruskan terapi. Pemberian anti
Parkinson seperti levodopa lebih baik jangan diberikan karena akan memperbuuk
gejala psikotiknya.1,3,8

2. Distonia Akut Akibat Neuroleptik

Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi antipsikotik tipikal
mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi dalam beberapa jam
atau 90% pada tiga hari pertama terapi. Gerakan distonia disebabkan oleh kontraksi
atau spasme otot yang perlahan dan terus-menerus yang dapat menyebabkan
gerakan involunter. Distonia dapat mengenai leher (tortikolis atau retrokolis
spasmodik), rahang (pembukaan paksa yang menyebabkan dislokasi rahang atau
trismus), lidah (prostrusi, memuntir), dan keseluruhan tubuh (opistotonus). 1,2

Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin tetapi paling
sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada semua
antipsikotik dan paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi tinggi.
Mekanisme kerja diperkirakan merupakan suatu hiperaktivitas dopaminergik di
ganglia basalis yang terjadi jika kadar antipsikotik dalam SSP mulai menurun
diantara pemberian dosis. 1,3,8

Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan biasanya mencegah


berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi profilaksis melebihi manfaatnya.
Terapi dengan antikolinergik IM atau diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hampir
selalu menghilangkan gejala. Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine
sodium benzoate dan hipnosis dilaporkan juga efektif. 1,3

3. Sindrom Neuroleptik Maligna

Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan yang dapat


terjadi setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik. Hal ini dapat terjadi
karena reaksi idiosinkrasi terhadap obat psikotik khususnya pada long acting.1

Gejala motorik dan perilaku adalah rigiditas otot dan distonia, akinesia, mutisme,
obtundasi, dan agitasi. Gejala otonomik adalah hiperpireksia, berkeringat dan
peningkatan kecepatan denyut nadi dan tekanan darah. Temuan laboratorium
adalah peningkatan hitung sel darah putih, kreatinin fosfokinase, enzim hati,
mioglobin plasma, dan mioglobinuria, kadang-kadang disertai dengan gagal ginjal.
1,3

Untuk pengobatan segera hentikan anti psikotik dan berikan perawatan suportif dan
berikan obat dopamine agonist (bromokriptin 7,5-60 mg/h 3x sehari, l-dopa2x 100
mg/h atau amantadine 200 mg/h). Menurut kepustakaan lain, pengobatan dengan
datrolene juga efektif dengan dosis 0,8-2,5 mg/kgbb, setiap 6 jam iv, apabila gejala
berkurang diberikan oral dengan dosis 100-200 mg/hari dapat ditambahkan
bromocriptin dengan dosis 20-30 mg/hari dalam 4x pemberian, terapi berlangsung
selama 5-20 hari, bila pada penanganan SNM membaik maka pengobatan anti
psikotik dapat dilanjutkan kembali.1,3

4. Efek Epileptogenik

Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan peningkatan


sinkronisasi EEG. Efek tersebut merupakan mekanisme dimana antipsikotik
menurunkan ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik potensi rendah lain
diperkirakan lebih epileptogenik dibandingkan obat potensi tinggi. 1,3,5

5. Sedasi

Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor dopamine tipe-1.


Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling menimbulkan sedasi. Memberikan
dosis antipsikotik harian sebelum tidur biasanya menghilangkan masalah dari
sedasi, dan toleransi untuk efek merugikan tersebut dapat terjadi. 1,2

6. Efek Antikolinergik Sentral

Gejala aktivasi antikolinergik sentral adalah agitasi parah; disorientasi terhadap


waktu, orang dan tempat; halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi pupil. Stupor
dan koma dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah pertama
menghentikan obat penyebab dan pemberian anticholinergic agents seperti injeksi
sulfas atropine 0,25 mg(im), tablet trihexyphenidyl 3x2mg/hari. Hal ini juga dapat
terjadi bila pengehntian mendadak dari antipsikotik. 1,3

2.4 ANTIPSIKOTIK GENERASI KEDUA (APG II)

APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA) atau
antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi antara
serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan
efek samping EPS lebih rendah dan sanagat efektif untuk mengatasi gejala negatif.
Perbedaan antara APG I dan APG II adalah APG I hanya dapat memblok reseptor D2
sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor serotonin (5HT2A) dan
reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini adalah clozapine, risperidone,
olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole. Saat ini antipsikotik
ziprasidone belum tersedia di Indonesia. 1,3,6
Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways:

1. Mesokortikal Pathways

Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyebabkan berkurangnya blokade terhadap


antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin pathways
sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin dan
dopamin. APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT2A dengan
demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yang dilepas menang dari
pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan berkurangnya
gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur mesokortikal dan
gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.

APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I karena
di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari reseptor D2, dan
APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT2A dan sedikti memblok
reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih banyak, karena itu
defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga menyebabkan perbaikan
gejala negatif skizofrenia.1,6,8

2. Mesolimbik Pathways

APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan antagonis D2


di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi blokade
reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini yang
menyababkan APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada keadaan
normal serotonin akan menghambat pelepasan dari dopamin.1,6

3. Tuberoinfundibular Pathways

APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat mengalahkan


antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter serotonin dan dopamin
sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol sekresi prolaktin dari hipofise.
Dopamin akan menghambat pengelepasan prolaktin, sedangkan serotonin
menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian APG II dalam dosis terapi akan
menghambat reseptor 5HT2A sehingga menyebabkan pelepasan dopamin
menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan prolaktin menurun sehingga tidak terjadi
hiperprolaktinemia.1,6

4. Nigrostriatal Pathways

Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi jalur
nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok, akan terjadi
kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut extrapyramidal reaction
(EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia, dystonia (terutama pada wajah dan
leher), rigiditas, dan akinesia atau bradikinesia.

APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu:

1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada
dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.

2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak


memperburuk gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.

3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan


untuk pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.

4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit


Alzheimer.1,6

Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai:

First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole

Second line: Clozapine.

Keuntungan yang didapatkan dari pemakaian APG II selain efek samping yang
minimal juga dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood sehingga
mengurangi ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat
antipsikotik. Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan menigkatkan
kualitas hidup penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan fungsinya dalam
masyarakat.3

2.4.1 RISPERIDONE

Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA (Food and Drug
Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Absorpsi risperidone di usus
tidak di pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya terjadi dalam dosis
rendah, pada dosis tinggi dapat terjadi EPS. Pemakaian risperidone yang teratur
dapat mencegah terjadinya kekambuhan dan menurunkan jumlah dan lama
perawatan sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan.1

Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi dengan APG I tetapi
hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini juga dapat memperbaiki fungsi
kognitif tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada penderita demensia misalnya
demensia Alzheimer.

Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim CYP 2D6 menjadi
9-hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP 3A4. Hydroxyrisperiodne
mempunyai potensi afinitas terhadap reseptor dopamin yang setara dengan
risperidone. Eksresi terutama melalui urin. Metabolisme risperidone dihambat oleh
antidepresan fluoxetine dan paroxetine, karena antidepresan ini menghambat kerja
dari enzim CYP 2D6 dan CYP 3A4 sehingga pada pemberian bersama antidepresan
ini, maka dosis risperidone harus dikurangi untuk meminimalkan timbulnya efek
samping dan toksik. Metabolisme obat ini dipercepat bila diberikan bersamaan
carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4 sehingga perlu peningkatan dosis
risperidone pada pemberiaan bersama carbamazepin disebabkan konsentrasi
risperidone di dalam plasma rendah. 1,3,7

Indikasi :

- Skizofrenia akut dan kronik dengan gejala positif dan negatif.

- Gejala afektif pada skizofrenia (skizoafektif).1,8

Dosis :

- Hari 1 : 1 mg, hari 2 : 2mg, hari 3 : 3 mg.

- Dosis optimal 2- 6 mg / hari dengan 2 x pemberian.

- Dosis anjuran 25-50mg (im) setiap 2 minggu.

- Sediannya tab 1-2-3 mg. vial 25 mg, 50 mg/cc

- Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal, jika
belum terlihat respon perlu penilaian ulang.

- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian
oral.1,3

Efek samping: 1,3

- EPS

- Peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi, galaktorea,


disfungsi seksual)

- Sindroma neuroleptik malignan

- Peningkatan berat badan

- Sedasi

- Pusing

- Konstipasi
- Takikardi

2.4.2 CLOZAPINE

Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan timbulnya EPS, tidak
menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak terjadi peningkatan dari
prolaktin. Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang telah resisten
dengan obat antipsikotik lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal bila dibandingkan
dengan antipsikotik lain. Dibandingkan terhadap psikotropik yang lain, clozapine
menunjukkan efek dopaminergik rendah, tetapi dapat mempengaruhi fungsi saraf
dopamin pada sistem mesolimbik-mesokortikal otak, yang berhubungan dengan
fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi, yang berbeda dari dopamin neuron
di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan tuberoinfundibular (daerah neruendokrin).
1

Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang
positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan incompetence,
personal neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti
perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk
pasien yang refrakter dan terganggu berat selam pengobatan.1,3

Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna pada


pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 2 jam setelah
pemberian obat, dengan waktu paruh rata-rata 12 jam (antara 10-16 jam) sehingga
pemberiannya dianjurkan 2 kali dalam sehari. Distribusi dari clozapine dibandingkan
obat antipsikotik lainnya lebih rendah. Umunya afinitas dari clozapine rendah pada
reseptor D2 dan tinggi pada reseptor 5HT2A sehingga cenderung rendah untuk
menyebabkan terjadinya efek samping EPS. 1,3,8

Dosis :1,3

- Hari 1 : 1 2 x 12,5 mg.

- Berikutnya ditingkatkan 25 50 mg / hari sp 300 450 mg / hari dengan


pemberian terbagi.

- Dosis maksimal 150-600 mg / hari.

- Sediaan tablet 25 mg dan 100 mg

Efek samping : 1,3

- Granulositopeni, agranulositosis, trombositopeni, eosinofilia, leukositosis,


leukemia.

- Ngantuk, lesu, lemah, tidur, sakit kepala, bingung, gelisah, agitasi, delirium.
- Mulut kering atau hipersalivasi, penglihatan kabur, takikardi, postural
hipotensi, hipertensi.

Kontra indikasi :

- Ada riwayat toksik/hipersensitif.

- Gangguan fungsi Sumsum tulang.

- Psikosis alkoholik dan psikosis toksik lainnya.

- Koma.

- Depresi SSP.

- Ganguan jantung dan ginjal berat.

- Gangguan liver.

2.4.3 OLANZAPINE

Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam golongan


Thienobenzodiazepine. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan. Plasma puncak
olanzapine dicapai dalam waktu 5 jam setalah pemberian oral, sedangkan pada
pemberian intramuskular dapat dicapai setelah 15-45 menit dengn waktu paruh 31
jam (antara 21-54 jam) sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. 1,3

Olanzapine merupaka antagonis monoaminergik selektif yang mempunyai afinitas


yang kuat terhadap reseptor dopamin (D1-D4), serotonin (5HT2A/2c), Histamin (H1)
dan 1 adrenergik. Afinitas sedang dengan reseptor kolinergik muskarinik (M1-5)
dan serotonin (5HT3). Berikatan lemah dengan reseptor GABAA, benzodiazepin dan
-adrenergik. Metabolisme olanzapine di sitokrom P450 CYP 1A2 dan 2D6.
Metabolisme akan meningkat pada penderita yang merokok dan menurun bila
diberikan bersama dengan antidepresan fluvoxamine atau antibiotik ciprofloxacin. 1

Bila dibandingkan dengan clozapine, olanzapine memblok D2 lebih besar sehingga


dosis tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar prolactin dan efek pada EPS
Olanzapine

Indikasi :1,3

- Sizofrenia atau psikosis lain dengan gejala positive dan negatif.

- Episode manik moderat dan severe.

- Pencegahan kekambuhan gangguan bipolar.


Dosis :1,3

- Dosis anjuran 10-20mg/ hari.

- Sedian tablet 5-10mg

- Untuk skizofrenia mulai dengan dosis 10 mg 1 x sehari.

- Untuk episode manik mulai dengan dosis 15 mg 1 x sehari.

- Untuk pecegahan kekambuhan gangguan bipolar 10 mg / hari.

Efek samping:

- Penigkatan berat badan

- Somnolen

- Hipotensi ortostatik berkaitan dengan blokade reseptor 1

- EPS dan kejang rendah

- Insiden tardive dyskinesia rendah

2.4.4 QUETIAPINE

Quetiapine merupakan antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan 5HT2A), reseptor


dopamin (D1 dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor adrenergik 1 dan 2.
Afinitasnya lemah pada reseptor muskarinik (M1) dan reseptor benzodiazepin.
Cleareance quetiapine menurun 40% pada penderita usia lanjut, sehinga perlu
penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun 30%-50% pada penderita yang
mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance quetiapine meningkat apabila
pemberiannya dilakukan bersamaan dengan antiepileptik fenitoin, barbiturat,
carbamazepin dan antijamur ketokonazole.1,2,3

Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan mood. Dapat juga
memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik generasi pertama tetapi
hasilnya tidak sebaik apabila di terapi dengan clozapine. Pemberian pada pasien
pertama kali mendapat quetiapine perlu dilakukan titrasi dosis untuk mencegah
terjadinya sinkope dan hipotensi postural.Waktu untuk konsentrasi penuh setelah
pemberian oral adalah 2 jam dengan waktu paruh berkisar 3-5 jam, setelah 8-12
jam reseptor masih diduduki. 1

Dosis anjuran 50-400mg/hari dan sediaannya 25-100mg dan 200mg dan 300mg
tablet XR (50mg, 300mg dan 400mg). Efek samping obat ini yang sering adalah
somnolen, hipotensi postural, pusing, peningkatan berat badan, takikardi, dan
hipertensi. 1,3
2.4.5 ARIPIPRAZOLE

Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis pada reseptor D2
dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor serotonin 5HT2A.
Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer artinya menghasilkan signal
transmisi dopamin yang sama pada keadaan hiper atau hipo-dopaminergik karena
pada keadaan hiperdopaminergik aripiprazole afinitasnya lebih kuat dari dopamin
akan mengeser secara kompetitif neurotransmiter dopamin dan berikatan dengan
reseptor dopamin. Pada keadaan hipodopaminergik maka aripiprazole dapat
menggantikan peran neurotransmiter dopamin dan akan berikatan dengan reseptro
dopamin. 3,7,8

Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada CYP 2D6 dan CYP
3A4, menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil metabolisme ini mirip dengan
aripiprazole pada reseptor D2 dan berada di plasma sebesar 40% dari keseluruhan
aripiprazole. Waktu paruh berkisar antara 75-94 jam sehingga pemberian cukup 1
kali sehari. Absorpsi aripiprazole mencapai konsentrasi plasma ouncak dalam waktu
3-5 jam setelah pemberian oral. Aripiprazole sebaiknya diberikan sesudah makan,
terutama pada pasien yang mempunyai keluhan dispepsia, mual dan muntah.3,7

Indikasi : Skizofrenia.

Dosis : dosis anjuran 1015mg/hari dan sedian tablet (5mg, 10mg dan 15mg).
Pemberuannya dapat 10 atau 15 mg 1 x sehari.

Efek samping :

- Sakit kepala.

- Mual, muntah.

- Konstipasi.

- Ansietas, insomnia, somnolens.

- Akhatisia.

2.5 Cara Pemilihan Obat

Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang
sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping ;
sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). 3
Anti-psikosis Mg. Eq Dosis (Mg/h) Sedasi Otonomik Eks.Pir.

Chlopromazine 100 150 - 1600 +++ +++ ++

Thioridazine 100 100 - 900 +++ +++ +

Perphenazine 8 8 - 48 + + +++

Trifluoperazine 5 5 - 60 + + +++

Fluphenazine 5 5 - 60 ++ + +++

Haloperidol 2 2 - 100 + + ++++

Pimozide 2 2 - 6 + + ++

Clozapine 25 25 - 200 ++++ + -

Zotepine 50 75 - 100 + + +

Sulpiride 200 200 - 1600 + + +

Risperidone 2 2 - 9 + + +

Quetiapine 100 50 - 400 + + +

Olanzapine 10 10 - 20 + + +

Aripiprazole 10 10 - 20 + + +

Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang


dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis
ekivalen.3

Apabila obat anti-psikosis tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang
sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat anti-
psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalen-nya,
dimana profil efek samping belum tentu sama.

Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis obat


anti-psikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek
samping-nya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran
miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku
tak terkendali) pada pasien Skizofrenia, pilihan obat antipsikosis atipikal perlu
dipertimbangkan. Khususnya pada penderita Skizofrenia yang tidak dapat
mentolerir efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai risiko medik dengan
adanya gejala ekstrapiramidal (neuroleptic induced medical complication).3

BAB III
KESIMPULAN

Antipsikotik adalah sekelompok bermacam-macam obat yang menghambat reseptor


dopamine tipe 2 (D2). Anpsikotik berguna untuk mengurangi gejala positif dan
negatif dari gejala psikotik dan agitatif, terutama pada pasien dengan skizofrenia.

Efek samping yang sering ditimbulkan pada pemakaian antipsikotik tipikal seperti :
gangguan pergerakan seperti distonia, tremor, bradikinesia, akatisia, koreoatetosis,
anhedonia, sedasi, peningkatan berat badan yang sedang, disregulasi tempertur,
hiperprolaktinemia, dengan galaktorea dan amenorea pada wanita dan
ginekomastia pada pria, serta disfungsi seksual pada pria dan wanita, hipotensi
postural (ortostatik), interval QT memanjang, risiko terjadi fatal aritmia.

Efek samping yang ditimbulkan oleh pemakaian antipsikotik atipikal seperti:


gangguan pergerakan yang sedang, sedasi, hiperkolesterolemia, peningkatan berat
badan sedang sampai berat, hipotensi postural, hiperprolaktinemia, kejang.

Penggunaan secara klinis obat obatan antipsikotik haruslah mempertimbangkan


risk and benefit dari obat tersebut, sehingga terapi yang diberikan mampu
meningkatkan kualitas hidup pasien.

DAFTAR PUSTAKA
1. Amir N.Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia. Edisi
kedua. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2013.Bab 12.
Skizofrenia; p. 173-95.

2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadocks synopsis of psychiatry : Behavioral
sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia : Lippincott Williams and
WOLTERS Kluwer business.2007.Bab 13.Schizophrenia.;p.467-97.

3. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga.


Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Penggolongan obat
psikotropik; p.10-11.

4. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga.


Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Obat antipsikosis;
p.14-22.

5. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin


Dunitz Ltd.1999.Bab 4.Conventional Antipsychotic: the classical neuroleptics;p.35-
47.

6. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin


Dunitz Ltd.1999.Bab 5.Atypical Antipsychotic and Seotonine-Dopamine
Antagonism;p.50-62.

7. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin


Dunitz Ltd.1999.Bab 6. Beyond the serotonine-dopamine antagonism concept : how
individual atypical antipsychotic differ;p.63-96.

8. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in


PSYCHIATRY.Singapore : McGraw-Hill Book.2000.Bab III.Syndrome and their
treatments in adult psychiatric : schizophrenia and other psychotic disorders; p.260-
89.

Anda mungkin juga menyukai