Antipsikotik
DISUSUN OLEH:
PEMBIMBING:
FAKULTAS KEDOKTERAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan aspek yang sangat penting bagi kesehatan manusia. Dalam
Undang-undang no 23 tahun 1992 dijelaskan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera
badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang dapat hidup produktif secara sosial
dan ekonomi. Atas dasar definisi kesehatan tersebut, dapat dikatakan bahwa kesehatan jiwa
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesehatan dan unsur utama dalam terwujudnya
kualitas hidup manusia yang utuh.
Obat antipsikotik baik tipikal maupun atipikal tentunya memiliki efek samping yang
perlu diketahui agar pengobatan klinis bisa efisien dan sesuai dengan proporsi dan tentunya
agar mencapai target terapi. Untuk itu kita harus mengenali obat antipsikotik ini terlebih
dahulu, karena selain manfaatnya, antipsikotik juga mempunyai kerugian yang menyertainya.
Antipsikotik merupakan pengobatan yang terbaik untuk penyakit skizofrenia dan penyakit
psikotik lainnya. Antipsikotik digunakan secara klinis pada tahun 1950an, ketika
Chlorpromazine(CPZ), turunan dari phenotiazine, telah disintetis di Perancis.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pengertian
4
Terdapat dua jenis antipsikotik yaitu antipsikotik tipikal dan atipikal. Pada dasarnya
semua antipsikotik mempunyai efek klinis yang sama pada dosis ekivalen. Perbedaan utama
pada efek samping. Pemilihan jenis antipsikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat. Bila gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif
pilihannya adalah obat antipsikosis atipikal (golongan generasi kedua), sebaliknya jika gejala
positif lebih menonjol dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal (golongan
generasi pertama). Antispikotik atipikal terbaru, seperti klozapin, risperidon, olanzapin, dan
ziprasidon, mempunyai efek klinis yang lebih besar daripada antipsikotik kelas lain dengan
efek samping ekstrapiramidal akut yang minimal. 1,2,3
2,4
Sindrom Psikosis, meliputi:
· Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing ability),
bermanifestasi dalam gejala: kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya nilai
norma sosial (judgment) terganggu, dan daya tilikan diri (insight) terganggu.
· Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala POSITIF:
gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikaran yang tidak wajar (waham),
gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan situasi),
perilaku yang aneh atau tidak dapat terkendali (disorganized), dan gejala NEGATIF:
gangguan perasaan (afek tumpul, respon emosi minimal), gangguan hubungan sosial
(menarik diri, pasif, apatis), gangguan prosses berfikir (lambat, terhambat), isi pikiran
yang stereotip dan tidak ada inisiatif, perilaku yang sangat terbatas dan cenderung
menyendiri (abulia).
· Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanisfestasi dalam gejala:
tidak mampu bekerja, menjalin hubugan sosial, dan melakukan kegiatan rutin.
No Nama obat
5
.
1 Antipsikotik tipikal : Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi lama yang
mempunyai aksi untuk mengeblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik jenis ini
lebih efektif untuk mengatasi gejala positif yang muncul. Efek samping
ekstrapiramidal banyak ditemukan pada penggunaan antipsikotik tipikal sehingga
muncullah antipsikotik atipikal yang lebih aman.
- Phenothiazine
· Rantai aliphatic : chlorpromazine
· Rantai piperazine : perphenazine, trifluoperazine, fluphenazine
· Rantai piperidine : thioridazine
- Butyrophenone : Haloperidol
- Diphenyl-butyl-piperidine : pimozide
.
2 Antipsikotik atipikal : Antipsikotik atipikal adalah generasi baru yang banyak muncul
pada tahun 1990an. Aksi obat ini yaitu mengeblok reseptor 5-HT2 dan memiliki
efek blokade pada reseptor dopamin yang rendah. Antipsikotik atipikal merupakan
pilihan pertama dalam terapi skizofrenia karena efek sampingnya yang cenderung
lebih kecil jika dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal
menunjukkan penurunan dari munculnya efek samping karena penggunaan obat
dan masih efektif diberikan untuk pasien yang telah resisten terhadap pengobatan.
Antipsikotik ini efektif untuk mengatasi gejala baik positif maupun negatif.
- Benzamide : sulpiride
- Dibenzodiazepin : clozapine, olanzapine, quetiapine, zotepine
- Benzisoxazole : risperidon, aripiprazole
6
Amp 5mg/cc 5-10mg(im) setiap 4-6 jam
Obat antipsikotik yang ada di pasaran saat ini, dapat di kelompokkan dalam dua
kelompok besar yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan antipsikotik generasi kedua
(APG II). Antipsikotik generasi pertama mempunyai cara kerja dengan memblok reseptor D 2
khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering disebut juga dengan
Antagonist Reseptor Dopamin (ARD) atau antipsikotik konvensional atau tipikal. 4 Dapat
menurunkan gejala positif hingga 60-70% dan hanya sedikit berpengaruh pada gejala
negative.1,5
7
Dopamin merupakan neurotransmitter yang disekresikan oleh neuron-neuron yang
berasal dari substansia nigra di batang otak. Neuron-neuron ini terutama berakhir pada region
striata ganglia basalis. Pengaruh dopamin biasanya bersifat inhibisi atau menentukan ambang
memulai / pengambilan keputusan, semakin tinggi kadar dopamin, semakin kecil juga
dorongan yang diperlukan untuk pengambilan keputusan (menurunkan treshold). Pada
skizofrenia diduga terjadi produksi dopamin yang berlebihan akibat sekresi dari sekelompok
neuron proyeksi dopamine. Dengan menggunakan antipsikotik tipikal dianggap mampu
mengurangi efek produksi dopamin yang berlebihan. Potensi antipsikotik untuk menurunkan
gejala psikotik sangat berhubungan dengan afinitas obat tersebut dengan reseptor D2.
Antipsikotik tipikal bekerja mengurangi produksi dopamine yang berlebihan dengan cara
menghambat atau mencegah dopamine endogen untuk mengaktivasi reseptor.5,7,8
8
adrenergik sehingga dapat menimbulkan efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi
ortostatic, mengantuk, pusing, dan tekanan darah menurun.2,8,9
9
APG I mempunyai peranan yang cepat dalam menurunkan gejala positif seperti
halusinasi dan waham, tetapi juga menyebabkan kekambuhan setelah penghentian pemberian
APG I. 4,5
10
terhadap toleransi efek samping APG I potensi tinggi dan potensi rendah. Potensi rendah bila
dosis APG I yang digunakan lebih dari 50 mg. APG I potensi rendah diantaranya adalah
clorpromazine, thiridazine, dan mesoridazine. Mempunyai efek samping sedasi, hipotensi
ortostatik, lethargi dan gejala antikolinergik meningkat berupa mulut kering retensi urine,
pandangan kabur dan konstipasi.4,5,6
1. Phenotiazine
· Rantai Aliphatic: Clorpromazine
· Rantai piperazine: Perphenazine, Trifluoperazine, fluphenazine.
· Rantai Piperidine: Thioridazine
2. Butyrophenoone: Haloperidol
3. Diphenyl-butyl-piperidine: Pimozide
HALOPERIDOL
Haloperidol mempunyai afinitas yang kuat pada reseptor D 2, lebih lemah antagonis
reseptor kolinergik dan histamin. Kadar puncak plasma Haloperidol dalam waktu 2-6 jam
setelah pemberian oral dan dalam waktu 20 menit setelah pemberian intramuskular maupun
oral. Waktu paruhnya antara 10-12 jam. Diekskresi dengan cepat melalui urine dan tinja dan
berakhir dalam 1 minggu setelah pemberian. 4,6
Dosis Haloperidol dapat dimulai dari 1 atau 2 mg dengan pemberian 2 atau 3 kali per
hari, kemudian peningkatan dosis disesuaikan dengan gejala yang belum terkontrol, beberapa
kepustakaan mengatakan dosis per hari yang efektif antara 5-20 mg. Pada pasien dengan efek
samping mininal dan belum tercapai respon terapi, dosis obat dapat ditingkatkan sampai dosis
30-40 mg per hari. Setelah pemberian awal perlu dilakukan monitoring efikasi klinis, sedasi
atau efek samping lainnya yang mungkin timbul sehingga dapat dilakukan penyesuaian dosis
atau penggantian dengan antipsikotik lain. Pada anak-anak atau usia lanjut dosis dapat
diturunkan dan dapat dimulai dengan 0,5-1,5 mg per hari dengan pemberian 2 atau 3 kali
perhari. 4
Haloperidol decanoate (injeksi long acting) setelah disuntikan dilepas secara lambat ke
dalam pembuluh darah, sehingga pemberiannya tiap 3-4 minggu perkali, karena waktu
paruhnya panjang. Kontraindikasi pemberian Haloperidol adalah pasien dalam keadaan
koma, depresi SSP yang disebabkan alkohol atau obat lain, sindrom parkinson, usia lanjut
dengan Parkinson Like Symptomps, wanita menyusui dan sesitif terhadap Haloperidol. 2,4,6,7,8
11
Efek samping yang paling sering adalah efek ekstrapirmidalis (EPS) seperti parkinson
like symptomps, akatisia, diskinesia, distonia, hyperreflexia, rigiditas, opistotonus, dan
kadang-kadanga krisi okulogirik. Efek samping yang lain adalah tardive dyskinesia pada
pemakaian haloperidol yang lama atau penghentian haloperidol tiba-tiba. Efek samping lain
yang ringan seperti sedasi dan autonomik. Pemberian haloperidol dalam waktu lama dapat
terjadi peningkatan berat badan dan penurunan fungsi kognitif. 4,6
Obat-obat APG I yang masih sering digunakan adalah Haloperidol, Fluphenazine,
Trifluoperazine dan Clorpromazine. Cara pemberian APG I dapat secara per oral, injeksi
short acting maupun injeksi long acting (depot). Injeksi shot acting pemberiannya secara
intramuscular (IM), biasanya digunakan untuk pasien yang agitasi atau menolak minum obat
dan efek klinis cepat diperoleh setelah pemberian. 4
APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis (SDA) atau
antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja melalui interaksi anatar serotonin
dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di otak. Hal ini yang menyebabkan efek samping EPS
lebih rendah dan sangat efektif untuk mengatasi gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan
APG II adalah APG I hanya dapat memblok reseptor D 2 sedangkan APG II memblok secara
bersamaan reseptor serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2). APG yang dikenal saat ini
adalah clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole. 2,4
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade terhadap
antagonis D2 tetapi juga menyababkan terjadinya aktivitas dopamin pathways
sehingga terjadi keseimbangan antara keseimbangan antara serotonin dan dopamin.
APG II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT2A dengan demikian
meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yang dilepas menang daripada yang
dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan berkurangnya gejala negatif
12
maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di jalur mesokortikal dan gejala negatif
yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG I karena
di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari reseptor D2, dan
APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT 2A dan sedikti memblok
reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya lebih banyak, karena itu
defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang sehingga menyebabkan perbaikan
gejala negatif skizofrenia.
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan antagonis D2
di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat mempengaruhi blokade reseptor D2
di mesolimbik, sehingga blokade reseptor D2 menang. Hal ini yang menyababkan
APG II dapat memperbaiki gejala positif skizofrenia. Pada keadaan normal serotonin
akan menghambat pelepasan dari dopamin.
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya pada dosis
terapi sangat jarang terjadi EPS.
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak memperburuk
gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG II.
3. APG II menurunkan gejala afektif dari skizofrenia dan sering digunakan untuk
pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit Alzheimer.
Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan menigkatkan kualitas hidup
penderita skizofrenia karena dapat mengembalikan fungsinya dalam masyarakat. Kualitas
hidup seseorang yang menurun dapat dinilai dari aspek occupational dysfunction, social
dysfunction, instrumental skills deficits, self-care, dan independent living. 4
CLOZAPINE
Merupakan APG II yang pertama dikenal, jarang menyebabkan timbulnya EPS, tidak
menyebabkan terjadinya tardive dyskinesia dan tidak terjadi peningkatan dari prolaktin.
Clozapine merupakan gold standard pada pasien yang telah resisten dengan obat antipsikotik
13
lainnya. Profil farmakoligiknya atipikal bila dibandingkan dengan antipsikotik lain.
Dibandingkan terhadap psikotropik yang lain, clozapine menunjukkan efek dopaminergik
rendah, tetapi dapat mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada sistem mesolimbik-
mesokortikal otak, yang berhubungan dengan fungsi emosional dan mental yang lebih tinggi,
yang berbeda dari dopamin neuron di daerah nigrostriatal (darah gerak) dan
tuberoinfundibular (daerah neruendokrin). 4
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik yang
positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social disinterest dan incompetence, personal
neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara
bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pasien yang refrakter dan
terganggu berat selam pengobatan. Selain itu, karena resiko efek samping EPS yang sangat
rendah, obat ini cocok untuk pasien yang menunjukkan gejala EPS yang berat bila diberikan
antipsikosis yang lain. Namun, karena clozapin memiliki efek resiko agranulositosis yang
lebih tinggi dibandingkan antipsikosis yag lain, maka pengunaannya di batasi hanya pada
pasien yang resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis lain. Pasien yang diberi
clozapine perlu di pantau sel darah putihnya setiap minggu. 4,6,10
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan sempurna pada
pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 1,6 jam setelah pemberian
obat. Clozapine secara ekstensif diikat protein plasma (>95%), obat ini di metabolisme
hampir sempurna sebelum dieksresi lewat urin dan tinja (30% melaui kantong empedu dan
50% melaui urine), dengan waktu paruh rata-rata 11,8 jam sehingga pemberiannya dianjurkan
2 kali dalam sehari. Distribusi dari clozapine dibandingkan obat antipsikotik lainnya lebih
rendah. Umunya afinitas dari clozapine rendah pada reseptor D 2 dan tinggi pada reseptor
5HT2A sehingga cenderung rendah untuk menyebabkan terjadinya efek samping EPS. Pada
reseptor D4 afinitasnya lebih tinggi 10 kali lipat dibandingkan antipsikotik lainnya, dimana
reseptor D4 terdapat pada daerah korteks dan sedikit pada daerah srtiatal. Hal ini lah yang
membedakan clozapine dengan APG I. 4,6
Dosis : 4,7
- Hari 1 : 1 – 2 x 12,5 mg.
- Berikutnya ditingkatkan 25 – 50 mg / hari, 300 – 450 mg / hari dengan pemberian
terbagi. Maksimal 600 mg / hari.
RISPERIDONE
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA (Food and Drug
Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine. Rumus kimianya adalah
benzisoxazole derivative. Absorpsi risperidone di usus tidak di pengaruhi oleh makanan dan
efek terapeutik nya terjadi dalam dosis rendah, pada dosis tinggi dapat terjadi EPS.
Pemakaian risperidone yang teratur dapat mencegah terjadinya kekambuhan dan menurunkan
jumlah dan lama perawatan sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan. Pemakaian
riperidone masih diizinkan dalam dosis sedang, setelah pemberian APG I dengan dosis yang
kecil dihentikan, misalnya pada pasien usia lanjut dengan psikosis, agitasi, gangguan perilaku
yang di hubungkan dengan demensia. 4
Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi dengan APG I tetapi
hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini juga dapat memperbaiki fungsi kognitif
tidak hanya pada skizofrenia tetapi juga pada penderita demensia misalnya demensia
Alzheimer. 4
15
perlu peningkatan dosis risperidone pada pemberiaan bersama carbamazepin disebabkan
konsentrasi risperidone di dalam plasma rendah. 4
Indikasi : 4,7
- Skizofrenia akut dan kronik dengan gejala positif dan negatif.
- Gejala afektif pada skizofrenia (skizoafektif).
Dosis : 4,7
- Dosis optimal - 4 mg / hari dengan 2 x pemberian.
- Pada orang tua, gangguan liver atau ginjal dimulai dengan 0,5 mg, ditingkatkan sp 1 –
2 mg dengan 2 x pemberian.
- Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal, jika belum
terlihat respon perlu penilaian ulang.
- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.
16
· Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan
dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen.
· Apabila obat anti-psikosis tidak memberikan respons klinis dalam dosis yang sudah
optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat anti-psikosis
lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalen-nya, dimana
profil efek samping belum tentu sama.
· Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis obat anti-
psikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan baik efek samping-
nya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
· Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran miskin)
lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku tak
terkendali) pada pasien Skizofrenia, pilihan obat antipsikosis – atipikal perlu
dipertimbangkan. Khususnya pada penderita Skizofrenia yang tidak dapat mentolerir
efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai risiko medik dengan adanya gejala
ekstrapiramidal (neuroleptic induced medical complication).
Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan : 3,4,5
· Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam.
· Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2 x perhari).
· Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek samping
(dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu mengganggu kualitas
hidup pasien.
Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3 hari
→ sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaran Sindrom Psikosis) →
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan → “dosis optimal” →
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) → diturunkan setiap 2 minggu →
“dosis maintenance” → dipertahankan 6 bulan sampai 2 tahun (diselingi “drug
holiday” 1-2 hari/minggu) → tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) → stop.
17
kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu bulan kemudian baru gejala Sindrom
Psikosis kambuh kembali.
Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat, metabolit-
metabolit masih mempunyai keaktifan anti-psikosis.
Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan
sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk “Psikosis Reaktif
Singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya gejala dalam kurun waktu 2
minggu – 2 bulan.
Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan
dalam jangka waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala “Cholinergic Rebound” :
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain. Keadaan ini akan
mereda dengan pemberian “anticholinergic agent” (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (im), tablet
Trihexyphenidyl 3x 2 mg/h).
Oleh karena itu pada penggunaan bersama obat anti-psikosis + antiparkinson, bila
sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu, kemudian baru
menyusul obat antiparkinson.
Penggunaan Parentera l3,4,5
Obat anti-psikosis “long acting” (Fluphenazine Decanoate 25 mg/cc atau Haloperidol
Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2 – 4 minggu sangat berguna untuk pasien yang tidak mau
atau sulit teratur makan obat atau apapun yang tidak efektif terhadap medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan secara oral lebih dahulu
beberapa minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas.
Dosis mulai dengan ½ cc setiap 2 minggu pad bulan pertama kemudian bau
ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan.
Pemberian obat anti psikosis “long acting” hanya untuk terapi stabilisasi dan
pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus Skizofrenia. 15 – 25 % kasus
menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek samping ektrapiramidal.
II.6 EFEK SAMPING ANTIPSIKOTIK
a. Gejala Ekstrapiramidal (Extrapyramidal syndrome)
Efek samping utama yang paling sering muncul dan dijadikan bahan pertimbangan
dalam pemberian terapi adalah efek samping ekstrapiramidal pada penggunaan
antipsikotik generasi lama. Termasuk dalam efek samping ekstrapiramidal ini yaitu
distonia akut, pseudoparkinsonisme, dan akatsia.
Efek samping ini umumnya muncul setelah beberapa hari sampai beberapa minggu
setelah penggunaan antipsikotik dan biasanya sulit untuk diatasi Gejala ekstrapiramidal
18
(EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka
pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik
tipikal yang paling sering memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni
Haloperidol, Trifluoperazine, Perphenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh
Chlorpromazine. Namun lebih sering diakibatkan oleh obat dengan potensial tinggi
yang memiliki afinitas yang kuat pada reseptor muskarinik.1 Gejala bermanifestasikan
sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu diluar kendali
traktus kortikospinal (piramidal). 1,3
Gejala ekstrapiramidal sering di bagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia
akut, tardive diskinesia, akatisia, dan sindrom Parkinson. 1,3
· Reaksi distonia akut
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang
timbul beberapa menit. Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot
wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler, bermanifestasi sebagai tortikolis,
disastria bicara, krisis okulogirik, sikap badan yang tidak biasa hingga opistotonus
(melibatkan keseluruhan otot tubuh). Hal ini akan mengganggu pasien, dapat
menimbulkan nyeri hingga mengancam kehidupan seperti distonia laring atau
diafragmatik. Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah
pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Terjadi pada kira-kira 10%
pasien, lebih lazim pada pria muda, dan lebih sering dengan neuroleptik dosis
tinggi yang berpotensi tinggi, seperti haloperidol, trifluoperazine dan flufenazine.
1,3
· Akatisia
Manifestasi berupa keadaan gelisah, gugup atau suatu keinginan untuk tetap
bergerak, atau rasa gatal pada otot. Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau
kesukaran tidur yang dapat disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang
memburuk. Sebaliknya, akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik
akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau
manifestasi fisik lain dari akatisisa hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat.
1,3
· Sindrom Parkinson
Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah
topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan pada saat berjalan,
19
penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan
pengeluaran air liur. Pada bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti
sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan
kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan
gejala skizofrenia negatif. Tremor dapat diteukan pada saat istirahat dan dapat pula
mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah yang kecil dan menyeret kaki
diakibatkan karena kekakuan otot. 1,3
· Tardive diskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor
dopamine di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal,
involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik yang mempengaruhi gaya
berjalan, berbicara, bernapas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor
predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan
berdosis tinggi atau jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang
timbul dengan berjalannya waktu. 1,3
.
Salah satu cara untuk mengatasi efek samping dan meningkatkan kemanfaaatan dari
antipsikotik adalah dengan menggunakan dosis obat serendah mungkin yang masih
dapat memberikan efek farmakologis. Dosis tersebut harus tetap dikontrol. 1,3
20
poembesaran payudara pada wanita, gangguan fungi ereksi dan pencapaian orgasme,
gangguan libido, impotensi, dan ginekomasti pada pria.
d. Sindrom metabolik
Beberapa penelitian menunjukkan pengaruh pengobatan antipsikotik terhadap
gangguan metabolisme dalam tubuh. Komponen utama dari sindrom metabolik ini
meliputi resistensi insulin, obesitas abdominal/sentral, hipertensi, dan dislipidemia
(peningkatan kadar trigliserida, penurunan kadar HDL kolesterol). Adanya peningkatan
berat badan, gangguan metabolisme glukosa, dan hiperglikemi telah diketahui menjadi
salah satu dampak dari penggunaan antipsikotik. Hiperglikemia dan diabetes melitus tipe
2 banyak terjadi pada pasien skizofrenia. Prevalensi peningkatan berat badan dan diabetes
pada pasien skizofrenia adalah 1,5 sampai 2 kali lebih besar dibandingkan populasi
umum. Adanya peningkatan berat badan, ataupun hiperglikemia ini menjadi masalah yang
serius karena dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas akibat adanya peningkatan
4
risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus tipe 2.
21
·
Efek autonomik yang muncul seperti hipotensi postural dimediasi oleh blokade
adrenergik umumnya pada pengguna obat tipikal potensial rendah seperti
chlorpromazine dan thioridazine. Sehingga penggunaan obat tipikal potensial
rendah intramuscular memerlukan pemantauan tekanan darah (saat berbaring dan
berdiri) untuk mencegah pasien pingsan ataupun jatuh saat berdiri.
·
Gangguan irama jantung merupakan efek antipsikotik yang mengganggu
kontraktilitas jantung, menghancurkan enzim kontraktilitas sel-sel miokardium.
·
Antipsikotik tipikal mampu menurunkan ambang batas seseorang untuk
mengalami kejang. Chlorpromazine dan thioridazine diperkirakan bersifat lebih
epiloeptogenik sehingga resiko untuk kejang selama masa pengobatan perlu
dipertimbangkan dalam gangguan kejang atau lesi pada otak.
·
Selain itu efek yang mungkin timbul juga dapat berupa peningkatan berat badan
yang kebanyakan terdapat pada pasien yang mengkonsumsi chlorpromazine dan
thioridazine. Paling sering karena pengobatan antipsikotik atipikal. Nafsu makan
yang meningkat erat kaitannya dengan blokade reseptor alpha1- adrenergic dan
Histaminergic.
·
Efek hematologi dapat terjadi berupa leukopenia dengan sel darah putih 3.500
sel/mm3 merupakan masalah yang umum. Agranulositosis yang mampu
mengancam kehidupan dapat terjadi pada 1 : 10.000 pasien yang dirawat dengan
antipsikotik tipikal.
24
Secara umum dianjurkan penggunaan obat antiparkinson tidak lebih lama dari 3
bulan (risiko timbul “atropine toxic syndrome”). Tidak dianjurkan pemberian
“antiparkinson profilaksis”, oleh karena dapat mempengaruhi penyerapan/absorpsi
obat anti-psikosis sehingga kadarnya dalam plasma rendah, dan dapt menghalangi
manifestasi gejala psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis obat anti-
psikosis agar tercapai dosis efektif.
· “Rapid Neuroleptizattion” : Haloperidol 5 – 10 mg (im) dapt diulangi setiap 2 jam,
dosis maksimum adalah 100 mg dalam 24 jam. Biasanya dalam 6 jam sudah dapat
mengatasi gejala-gejala akut dari Sindrom Psikosis (agitasi, hiperaktivitas
psikomotorm impulsif, menyerang, gaduh-gelisah, perilaku destruktif dll).
· Kontraindikasi :
- Penyakit hati (hepato-toksik),
- Penyakit darah (hemato-toksik),
- Epilepsi (menurunkan ambang kejang),
- Kelainan jantung (menghambat irama jantung),
- Febris yang tinggai (thermoregulator di SSP),
- Ketergantungan alkohol (penekanan SSP meningkat),
- Penyakit SSP (parkinson, tumor otak dll),
- Gangguan kesadaran disebabkan “CNS-depressant” (kesadaran makin
memburuk).
25
BAB III
KESIMPULAN
Efek samping yang sering ditimbulkan pada pemakaian antipsikotik tipikal: gangguan
pergerakan seperti distonia, bradikinesia, tremor, akatisia, koreoatetosis, anhedonia, sedasi,
peningkatan beratbadan yang sedang, disregulasi tempertur, poikilotermia,
hiperprolaktinemia, dengan galaktorea dan amenorea pada wanita dan ginekomastia pada
pria, serta disfungsi seksual pada pria dan wanita, hipotensi postural(ortostatik), kuli terbakar,
interval QT memanjang, risiko terjadi fatal aritmia.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Amir N.Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia. Edisi kedua.
Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2013.Bab 12. Skizofrenia; p.
173-95.
2. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock's synopsis of psychiatry : Behavioral
sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia : Lippincott Williams and
WOLTERS Kluwer business.2007.Bab 13.Schizophrenia.;p.467-97.
3. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga.
Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Penggolongan
obat psikotropik; p.10-11.
4. Muslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.Edisi ketiga.
Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.Bab 3. Obat antipsikosis;
p.14-22.
5. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 4.Conventional Antipsychotic: the classical neuroleptics;p.35-47.
6. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 5.Atypical Antipsychotic and Seotonine-Dopamine Antagonism;p.50-
62.
7. Stahl SM. Psychopharmacology of Antipsychotic.United Kingdon : Martin Dunitz
Ltd.1999.Bab 6. Beyond the serotonine-dopamine antagonism concept : how
individual atypical antipsychotic differ;p.63-96.
8. Ebert MH, Loosen PT, Nurcombe B. Current Diagnosis & Treatment in
PSYCHIATRY.Singapore : McGraw-Hill Book.2000.Bab III.Syndrome and their
treatments in adult psychiatric : schizophrenia and other psychotic disorders; p.260-89
9. Maramis, Willy F. dan Maramis, Albert A. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. 2. Surabaya
: Airlangga University Press, 2009.
10. Gan Sulistia, Arozal Wawaimuli. Antipsikosis. Buku Ajar Farmakologi dan Terapi.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.p.161-5
27