Anda di halaman 1dari 12

Kolesistitis Akut

Tifanny Carolina
NIM: 102014003, Kelompok F1

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Alamat Korespondensi: Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510

Email: tifanny.2014fk003@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan

Hepatobilier mencakup bagian hepar dan bilier dalam tubuh manusia.


Keduanya memiliki peran penting dalam tubuh manusia. Gangguannya seperti pada
kandung empedu berupa sumbatan pada kandung empedu dan menyebabkan penyakit
kuning. Selain itu juga dapat diduga penyakit-penyakit lain seperti pankreatitis dan
hepatitis. Semua penyakit hepatobilier ini sulit untuk dibedakan jika tidak ada
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan yang lebih spesifik. Jadi biasanya pada kasus-
kasus tertentu yang kurang dilakukan pemeriksaan seperti pemeriksaan penunjang
akan sulit untuk menentukan diagnosis pasti. Oleh karena itu hanya didapatkan
diagnosis bandingnya saja.

Anamnesis

Anamnesis atau medical history adalah informasi yang dikumpulkan oleh


seorang dokter dengan cara melakukan wawancara dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan spesifik baik itu terhadap pasien itu sendiri (auto-anamnesis) maupun dari
orang yang dianggap dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan
keadaan pasien (allo-anamnesis/hetero-anamnesis). Berdasarkan anamnesis yang baik,
seorang dokter biasanya akan menanyakan identitas dan keadaan pasien.
Pada penyakit hepatobilier, perlu melakukan anamnesis berikut: Adakah
ikterus, memar, distensi abdomen, anoreksia, pruritus, edema perifer, bingung, atau
tremor? Kapan pertama kali menyadari timbulnya gejala? Pernahkah ada perburukan,
dan jika ya, mengapa? Pernahkah ada perubahan obat atau bukti adanya infeksi?
Pernahkah teman atau kerabat mengamati adanya perubahan? Apakah urin pasien
gelap? Apakah tinja pasien pucat?1

1
Riwayat penyakit dahulu
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam riwayat penyakit dahulu: Apakah pasien
pernah ikterus? Adakah riwayat hematemesis atau melena? Adakah riwayat hepatitis
sebelumnya? Jika ya, didapat dari mana (misalnya transfusi darah, penggunaan obat
intravena)? Apakah pasien pernah menjalani transfusi darah? 1

Riwayat keluarga
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam riwayat penyakit keluarga: Adakah
riwayat penyakit hati dalam keluarga (misalnya penyakit Wilson, defisiensi α1
antitripsin)? Adakah riwayat gejala neurologis dalam keluarga (misalnya gejala
parkinsonian atau distonik pada penyakit Wilson)? Adakah riwayat diabetes melitus
dalam keluarga (pertimbangkan hemokromatosis)? 1

Obat-obatan
Riwayat pemakaian obat-obatan juga perlu ditanyakan yaitu, antara lain; Obat
apa yang sedang dikonsumsi pasien? Adakah baru- baru ini terdapat perubahan
pemakaian obat? Apakah pasien mengkonsumsi jamu? Apakah pasien pernah
mengkonsumsi obat ilegal, terutama intravena? 1

Alkohol
Riwayat konsumsi alkohol juga perlu ditanyakan yaitu, antara lain;
Bagaimana konsumsi alkohol harian/mingguan pasien? Apakah pasien pernah minum
bir, anggur, minuman keras lainnya? 1

Dalam skenario ini, didapatkan ada deman tinggi sejak 3 hari, mual terus
menerus, mata kuning tidak disadari, riwayat maag 2 tahun, dan sejak setahun yang
lalu diketahui ada batu empedu, tapi OS menolak operasi.

Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik umum adalah untuk mengidentifikasi keadaan


umum pasien saat pemeriksaan dengan penekanan pada tanda-tanda vital, keadaan
sakit, gizi dan aktivitas pasien.2
Setelah anamnesis selesai dilakukan, maka pemeriksaan fisik biasanya dimulai
dengan pemeriksaan objektif yaitu tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu dan

2
tingkat kesadaran, serta pemeriksaan tanda-tanda vital dengan inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi.
Didapati pasien dari hasil pemeriksaan fisik
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Respiratory rate : 24x / menit
 Denyut nadi : 98x / menit
 Suhu : 38.5C
 Sklera ikterik (+)
 Murphy Sign (+)

Pemeriksaan Penunjang

Ultrasonografi (USG)

Merupakan sarana diagnosis pencitraan pilihan dan pemeriksaan rutin untuk menilai
penyakit batu empedu. Hati dan pankreas juga secara rutin dievaluasi. Sensitivitas
untuk mendeteksi batu kandung empdu lebih dari 96%. Penemuan yang
khas berupa focus ekogenik disertai bayangan akustik. Ultrasonografi juga
akan menampakkan ketebalan dinding, gas intramural dan pengumpulan cairan
perikolesistik. Cairan perikolesistik dan gas intramural sangat spesifik untuk
kolesistitis akut. Dapat juga ditemukan lumpur bilier yang biasa ditemukan pada
obstruksi bilier ekstrahepatik. Adanya tanda Murphy sonografik (rasa nyeri
maksimum tepat di atas kandung empedu) juga khas pada kolesistitis akut.3,4

USG dapat juga secara akurat mengidentifikasi pelebaran saluran empedu baik intra
dan ekstrahepatik, selain juga lesi parenkim hati atau pankreas. Batu di koledokus
bisa juga terlihat dengan USG walau sensitivitas tidak lebih dari 50%. Ketiadaan
gambaran sonografi baru batu pada duktus koledokus tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya batu koledokus. 3,4

3
Gambar 2: Ultrasonografi pada Kandung Empedu dengan batu empedu (tanda panah)
(Sumber: Patel PR. Lecture notes: radiologi. Edisi ke-2.Jakarta: Erlangga.; 2007. h.
140-1.)

Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatgraphy (ERCP)

ERCP dilakukan jika diperlukan gambaran definitif sistem bilier dan


saluran pankreas. ERCP adalah suatu prosedur yang dilakukan dengan cara
kolangiografi dan pankreatografi langsung secara retrograd. Melalui kanulasi papila
vateri, kontras disuntikkan kedalam saluran bilier atau pankreas. Indikasi
utama ERCP adalah ikterus obstruktif, misalnya karena batu empedu.,3,4

MRCP

MRCP merupakan suatu adaptasi MRI dengan sensitivitas dan spesivitas lebih dari
90% untuk batu saluran empedu dibandingkan dengan ERCP. MRCP merupakan
pilihan terbaik apabila terdapat kecurigaan adanya batu di saluran empedu. Bila
dicurigai kuat ada batu koledokus, ERCP didahulukan karena bisa diikuti oleh
ekstraksi batu perendoskopi. Keuntungan MRCP adalah noninvasif dan tidak
menggunakan bahan kontras.3

4
Gambar 3. Pemeriksaan Penunjang dengan MRCP.4

Pemeriksaan Darah Lengkap

Pasien yang diduga mengalami komplikasi batu empedu, pemeriksaan darah lengkap
sebaiknya dilakukan, selain dengan pemeriksaan fungsi hati dan pemeriksaan amilase
dan lipase. Kolesistitis akut biasanya dihubungkan dengan polymorphonuclear
leukositosis, walaupun terdapat 1/3 pasien yang menderita kolesistitis tidak
terdapat manifestasi leukositosis saat pemeriksaan. Peningkatan serum lipase dan
amilase pada pemeriksaan juga menunjukkan bahwa terjadi obstruksi di duktus
pankreatikus oleh batu di ampula Vater.

Kadar normal amilase dalam serum adalah 40-140 U/L, dan kadar normal amilase
dalam urine adalah 24-400 U/L, sedangkan kadar normal lipase 0-50 U/L.3,4

Diagnosis Kerja

Kolesistitis Akut
Kolesistitis merupakan peradangan yang terjadi pada kandung empedu.
Kolesistitis terbagi menjadi dua yaitu kolesistitis akut dan kolesistitis kronik.
Kolesistitis akut adalah suatu reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang
disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. Kolesistitis kronik
lebih sering karena batu dan biasanya disebabkan oleh kolesistitis akut berulang yang
menyebabkan penebalan dinding kandung empedu dan lama-kelamaan efisiensinya
berkurang. Pada kasus diatas, pasien diduga menderita Kolesistitis Akut.2

5
Kolesistitis akut umumnya muncul sebagai komplikasi dari kolelitiasis.
Kolesistitis akut tanpa kandung empedu disebut kolesistitis akalkulosa yang dapat
ditemukan pasca bedah.2
Kolesistitis akut merupakan inflamasi akut pada kandung empedu. Penyebab tersering
kolesistitis akut adalah obstruksi terus-menerus duktus sistikus oleh batu empedu
yang mengakibatkan peradangan akut kandung empedu. Pada hampir 90% kasus
disertai dengan kolelitiasis. Gejala ikterus menunjukkan obstruksi duktus koledokus.2
Gangren dan perforasi dapat terjadi pada hari ketiga setelah serangan penyakit, tetapi
kebanyakan pada minggu kedua. Hampir 90% kandung empedu yang diangkat
dengan kolesistektomi menunjukkan jaringan parut lama, yang berarti di masa lalu
pernah menderita kolesistitis, tetapi pada umumnya penderita menyangkal dan tidak
pernah merasa ada keluhan. 2

Diagnosis Banding

Diagnosis pembanding merupakan diagnosis yang dilakukan dengan


membanding-bandingkan tanda klinis suatu penyakit dengan tanda klinis penyakit
lain. Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan gejala yang dialami pasien, pasien bisa
dicurigai menderita beberapa penyakit seperti :
a. Kolelitiasis
Kolestasis adalah kondisi dimana terjadi penghambatan aliran empedu secara
akut atau kronis. Hepatitis kolestasis adalah hepatitis yang menyebabkan kolestasis
intrahepatik yang ditandai dengan penghambatan luas duktus biliaris sehingga
ekskresi cairan empedu gagal. Selain itu ditandai oleh adanya ikterus, pruritus,
anoreksia, diare persisten, urin berwarna gelap dan tinja pucat seperti dempul. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan ikterus, ekskoriasi yang menunjukkan kolestasis lama
atau obstruksi bilier yang lama, pada kasus yang kronik dapat terjadi asites dan
splenomegali.3

b. Pankreatitis Akut

Pankreatitis akut adalah pankreatitis yang dikarakterisasi oleh nyeri berat di


perut bagian atas dan meningkatnya level enzim pankreas di dalam darah. Pankreatitis
akut bisa ringan ataupun berat tergantung manifestasi klinis, tes laboratorium, dan

6
diagnosa. Perjalanan penyakit dari ringan self limited sampai berat yang disertai
renjatan gangguan ginjal dan paru-paru yang bisa berakibat fatal.

Pankreatitis yang berat, enzim-enzim pankreas, bahan-bahan vasoaktif dan bahan-


bahan toksik lainnya keluar dari saluran- saluran pankreas dan masuk ke dalam ruang
pararenal anterior dan ruang-ruang lain seperti ruang-ruang pararenal posterior, lesser
sac dan rongga peritoneum. Bahan ini mengakibatkan iritasi kimiawi yang luas.
Bahan-bahan tersebut memasuki sirkulasi umum melalui saluran getah bening
retroperitoneal dan jalur vena dan mengakibatkan berbagai penyulit sistemik seperti
gagal pernapasan, gagal ginjal dan kolaps kardio- vaskuler.

c. Koledokolitiasis

Koledokolitiasis adalah terdapatnya batu di dalam saluran empedu yaitu di


duktus koledokus komunis (CBD). Koledokolitiasis terbagi dua tipe yaitu primer dan
sekunder. Koledokolitiasis primer adalah batu empedu yang terbentuk di dalam
saluran empedu sedangkan koledokolitiasis sekunder merupakan batu kandung
empedu yang bermigrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus.2
Sebagian besar batu dalam duktus koledokus berasal dari batu empedu yang
bermigrasi. Migrasi berhubungan dengan ukuran batu, duktus sistikus, dan koledokus.
Batu yang tinggal di koledokus akan menimbulkan komplikasi. Pada saat
kolesistektomi, sekitar 10% pasien dengan batu kandung empedu juga memiliki batu
di saluran empedu, umumnya pada duktus koledokus atau hepatikus komunis. Tetapi
dapat juga didapatkan di saluran empedu intrahepatik. Di negara barat, batu di saluran
empedu biasanya berasal dari pasase batu dari kandung empedu berpengaruh pada
insiden migrasi batu tersebut. Pada kasus ini, batu di kandung empedu dan di saluran
empedu berasal dari jenis yang sama, yakni batu kolesterol atau batu pigmen hitam,
disebut batu sekunder saluran empedu berasal dari jenis yang sama, yakni batu
kolesterol atau batu pigmen hitam.
Disebut batu sekunder saluran empedu, batu koledokus dapat pula terbentuk di
awal saluran empedu, disebut batu primer saluran empedu. Biasanya batu ini
terbentuk akibat obstruksi bilier parsial karena batu sisa, striktur traumatik, kolangitis
sklerotik, atau kelainan bilier congenital. Infeksi dapat merupakan kejadian awal.
Batu berwarna cokelat, tunggal atau multiple, oval, dan menyesuaikan diri dengan
sumbu memanjang saluran empedu. Batu cenderung terjepit di ampula Vater. Di asia,

7
terutama Asia Timur, terdapat insiden batu saluran empedu dan baru intrahepatik
(batu pigmen cokelat) yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara barat.4

Etiologi
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang
terletak di duktus sistikus sehingga menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan
sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus).2

Epidemiologi
Kasus batu empedu sering ditemukan di Amerika Serikat, yaitu mengenai 20%
penduduk dewasa. Setiap tahunnya, beberapa ratus ribu orang yang menderita
penyakit ini menjalani pembedahan saluran empedu. Batu empedu relatif jarang
terjadi pada usia dua dekade pertama. Namun wanita yang meminum obat
kontrasepsi oral atau yang hamil akan lebih berisiko menderita batu empedu, bahkan
pada usia remaja dan usia 20-an. Faktor ras dan familial tampaknya berkaitan dengan
semakin tingginya insiden terbentuknya batu empedu. Insiden sangat tinggi pada
orang Amerika asli, diikuti oleh orang kulit putih, dan akhirnya orang Afro-Amerika.
Kondisi klinis yang dikaitkan dengan semakin meningkatnya insidensi batu empedu
adalah diabetes, sirosis hati, pankreatitis, kanker kandung empedu, dan penyakit atau
reseksi ileum. Faktor risiko lain yang berkaitan dengan timbulnya batu empedu adalah
obesitas, multiparitas, pertambahan usia, jenis kelamin perempuan, dan ingesti segera
makanan yang mengandung kalori rendah atau lemak rendah (puasa).2

Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis
cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab
utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus
sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus
kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu. Kolesistitis kalkulus akut
disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu yang menyebabkan
distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan drainase limfatik menurun dan
menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis. Diperkirakan banyak faktor yang
berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan

8
prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh
reaksi inflamasi dan supurasi.5

Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan susunan


empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu
mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan batu empedu. Sejumlah
penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi empedu
yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap
dalam kandung empedu dengan cara yang belum dimengerti sepenuhnya. Stasis
empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan
pengendapan unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme
sfingter Oddi atau keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama
pada kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu yang lebih
lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan mukus.
Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu empedu
daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu.4

Meskipun mekanisme terjadinya kolesistitis akalkulus belum jelas, beberapa


teori telah diajukan untuk menjelaskan mekanisme terjadinya penyakit ini. Penyebab
utama penyakit ini dipikirkan akibat stasis empedu dan peningkatan litogenisitas
empedu. Pasien-pasien dalam kondisi kritis lebih mungkin terkena kolesistitis karena
meningkatnya viskositas empedu akibat demam dan dehidrasi dan akibat tidak
adanya pemberian makan per oral dalam jangka waktu lama sehingga menghasilkan
penurunan atau tidak adanya rangsangan kolesistokinin untuk kontraksi kandung
empedu. Selain itu, kerusakan pada kandung empedu mungkin merupakan hasil dari
tertahannya empedu pekat, suatu senyawa yang sangat berbahaya. Pada pasien dengan
puasa yang berkepanjangan, kandung empedu tidak pernah mendapatkan stimulus
dari kolesistokinin yang berfungsi merangsang pengosongan kandung empedu,
sehingga empedu pekat tersebut tertahan di lumen. Iskemia dinding kandung empedu
yang terjadi akibat lambatnya aliran empedu pada demam, dehidrasi, atau gagal
jantung juga berperan dalam patogenesis kolesistitis akalkulus.5

9
Manifestasi Klinis
Sebanyak 75% orang yang memiliki batu empedu tidak memperlihatkan
gejala. Sebagian besar gejala timbul bila batu menyumbat aliran empedu, yang
seringkali terjadi karena batu yang kecil melewati ke dalam duktus koledokus.
Penderita batu empedu sering memiliki gejala kolesistitis akut atau kronis. Bentuk
akut ditandai oleh nyeri hebat mendadak pada epigastrium atau abdomen kuadran
kanan atas; nyeri dapat menyebar ke punggung dan bahu kanan dan kenaikan suhu
tubuh disertai mengigil. Penderita dapat berkeringat banyak atau berjalan mondar-
mandir atau berguling ke kanan dan ke kiri di atas tempat tidur. Anoreksia, nausea
dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat
kambuh kembali setelah remisi parsial. Bila penyakit mereda, nyeri dapat ditemukan
di atas kandung empedu.
Kolesistitis akut sering disertai sumbatan batu dalam duktus sistikus dan
sering disebut kolik biliar. Berat ringannya keluhan bervariasi tergantung dari
beratnya inflamasi. Tanda radang peritoneum juga dapat ditemukan pada kolesistitis
akut apabila penderita merasa nyeri semakin bertambah pada saat menarik nafas
dalam.7

Komplikasi

Kolesistitis akut tidak jarang menjadi kolesistitis rekuren, kadang dapat berkembang
dengan cepat menjadi gangrene, empyema dan perforasi kandung empedu, fistel abses
hati dan peritonistis.2

Penatalaksanaan

Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan,
obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik
pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis, dan
septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazole cukup memadai
untuk mematikan kuman-kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti
E.coli, Strep.faecalis, dan Klebsiella.5

Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah


sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6-8 minggu setelah terapi

10
konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50% kasus akan
membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan,
timbulnya gangrene dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan,
lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya dapat ditekan.
Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran
infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi
akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi. Sejak diperkenalkan tindakan
bedah kolesistektomi laparaskopik di Indonesia pada awal 1991, hingga saat ini sudah
sering dilakukan di pusat-pusat bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir
mencapai angka 90% dari seluruh kolesistektomi. Konversi ke tindakan kosistektomi
konvensional menurut Ibrahim A dkk, sevesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena
sukar mengenali duktus sistikus yang disebabkan perlengketan luas (27%),
perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada
tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan dan kebocoran empedu.
Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun
invasive mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi,
menurunkan angka kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama
perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktifitas pasien.5

Prognosis

Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus sekalipun kandung empedu yang
menjadi tebal, fibrotic, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tindakan bedah
akut pada usia tua, (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek disamping
kemungkinan timbul banuak komplikasi pasca bedah.5

Kesimpulan

Perempuan berusia 46 tahun tersebut menderita Kolesistitis akut et causa


Kolelitiasis. Kolesistitis akut merupakan reaksi inflamasi akut dinding kandung
empedu dengan gejala klinis berupa nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam.
Penatalaksanaan utama penyakit ini merupakan bedah kolesistektomi dengan
laparaskopi. Prognosis kolesistitis dengan tindakan bedah pada usia tua buruk dan
memiliki kemungkinan timbul banyak komplikasi pasca bedah.

11
Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

2. Ndraha, Suzanna. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran


UKRIDA; 2013.h.129-140,187-203

3. Lesmana LA. Penyakit batu empedu. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi keenam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.h.2022-27.

4. Sulaiman A, Akbar N, Lesmana LA, Noer HMS, editors. Buku ajar ilmu penyakit hati. ed
1. Jakarta : Sagung Seto; 2012.h.171-88.

5. Pridady. Kolesistitis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S.


Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi keenam. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.h.2019-21.

6. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary Colic in
Emergency Medicine. [Diakses pada: 11 Juni 2016]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview.

7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC; 2006. h. 502-3.

12

Anda mungkin juga menyukai