Tifanny Carolina
NIM: 102014003, Kelompok F1
Email: tifanny.2014fk003@civitas.ukrida.ac.id
Pendahuluan
Anamnesis
1
Riwayat penyakit dahulu
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam riwayat penyakit dahulu: Apakah pasien
pernah ikterus? Adakah riwayat hematemesis atau melena? Adakah riwayat hepatitis
sebelumnya? Jika ya, didapat dari mana (misalnya transfusi darah, penggunaan obat
intravena)? Apakah pasien pernah menjalani transfusi darah? 1
Riwayat keluarga
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam riwayat penyakit keluarga: Adakah
riwayat penyakit hati dalam keluarga (misalnya penyakit Wilson, defisiensi α1
antitripsin)? Adakah riwayat gejala neurologis dalam keluarga (misalnya gejala
parkinsonian atau distonik pada penyakit Wilson)? Adakah riwayat diabetes melitus
dalam keluarga (pertimbangkan hemokromatosis)? 1
Obat-obatan
Riwayat pemakaian obat-obatan juga perlu ditanyakan yaitu, antara lain; Obat
apa yang sedang dikonsumsi pasien? Adakah baru- baru ini terdapat perubahan
pemakaian obat? Apakah pasien mengkonsumsi jamu? Apakah pasien pernah
mengkonsumsi obat ilegal, terutama intravena? 1
Alkohol
Riwayat konsumsi alkohol juga perlu ditanyakan yaitu, antara lain;
Bagaimana konsumsi alkohol harian/mingguan pasien? Apakah pasien pernah minum
bir, anggur, minuman keras lainnya? 1
Dalam skenario ini, didapatkan ada deman tinggi sejak 3 hari, mual terus
menerus, mata kuning tidak disadari, riwayat maag 2 tahun, dan sejak setahun yang
lalu diketahui ada batu empedu, tapi OS menolak operasi.
Pemeriksaan Fisik
2
tingkat kesadaran, serta pemeriksaan tanda-tanda vital dengan inspeksi, palpasi,
perkusi dan auskultasi.
Didapati pasien dari hasil pemeriksaan fisik
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Respiratory rate : 24x / menit
Denyut nadi : 98x / menit
Suhu : 38.5C
Sklera ikterik (+)
Murphy Sign (+)
Pemeriksaan Penunjang
Ultrasonografi (USG)
Merupakan sarana diagnosis pencitraan pilihan dan pemeriksaan rutin untuk menilai
penyakit batu empedu. Hati dan pankreas juga secara rutin dievaluasi. Sensitivitas
untuk mendeteksi batu kandung empdu lebih dari 96%. Penemuan yang
khas berupa focus ekogenik disertai bayangan akustik. Ultrasonografi juga
akan menampakkan ketebalan dinding, gas intramural dan pengumpulan cairan
perikolesistik. Cairan perikolesistik dan gas intramural sangat spesifik untuk
kolesistitis akut. Dapat juga ditemukan lumpur bilier yang biasa ditemukan pada
obstruksi bilier ekstrahepatik. Adanya tanda Murphy sonografik (rasa nyeri
maksimum tepat di atas kandung empedu) juga khas pada kolesistitis akut.3,4
USG dapat juga secara akurat mengidentifikasi pelebaran saluran empedu baik intra
dan ekstrahepatik, selain juga lesi parenkim hati atau pankreas. Batu di koledokus
bisa juga terlihat dengan USG walau sensitivitas tidak lebih dari 50%. Ketiadaan
gambaran sonografi baru batu pada duktus koledokus tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya batu koledokus. 3,4
3
Gambar 2: Ultrasonografi pada Kandung Empedu dengan batu empedu (tanda panah)
(Sumber: Patel PR. Lecture notes: radiologi. Edisi ke-2.Jakarta: Erlangga.; 2007. h.
140-1.)
MRCP
MRCP merupakan suatu adaptasi MRI dengan sensitivitas dan spesivitas lebih dari
90% untuk batu saluran empedu dibandingkan dengan ERCP. MRCP merupakan
pilihan terbaik apabila terdapat kecurigaan adanya batu di saluran empedu. Bila
dicurigai kuat ada batu koledokus, ERCP didahulukan karena bisa diikuti oleh
ekstraksi batu perendoskopi. Keuntungan MRCP adalah noninvasif dan tidak
menggunakan bahan kontras.3
4
Gambar 3. Pemeriksaan Penunjang dengan MRCP.4
Pasien yang diduga mengalami komplikasi batu empedu, pemeriksaan darah lengkap
sebaiknya dilakukan, selain dengan pemeriksaan fungsi hati dan pemeriksaan amilase
dan lipase. Kolesistitis akut biasanya dihubungkan dengan polymorphonuclear
leukositosis, walaupun terdapat 1/3 pasien yang menderita kolesistitis tidak
terdapat manifestasi leukositosis saat pemeriksaan. Peningkatan serum lipase dan
amilase pada pemeriksaan juga menunjukkan bahwa terjadi obstruksi di duktus
pankreatikus oleh batu di ampula Vater.
Kadar normal amilase dalam serum adalah 40-140 U/L, dan kadar normal amilase
dalam urine adalah 24-400 U/L, sedangkan kadar normal lipase 0-50 U/L.3,4
Diagnosis Kerja
Kolesistitis Akut
Kolesistitis merupakan peradangan yang terjadi pada kandung empedu.
Kolesistitis terbagi menjadi dua yaitu kolesistitis akut dan kolesistitis kronik.
Kolesistitis akut adalah suatu reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang
disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam. Kolesistitis kronik
lebih sering karena batu dan biasanya disebabkan oleh kolesistitis akut berulang yang
menyebabkan penebalan dinding kandung empedu dan lama-kelamaan efisiensinya
berkurang. Pada kasus diatas, pasien diduga menderita Kolesistitis Akut.2
5
Kolesistitis akut umumnya muncul sebagai komplikasi dari kolelitiasis.
Kolesistitis akut tanpa kandung empedu disebut kolesistitis akalkulosa yang dapat
ditemukan pasca bedah.2
Kolesistitis akut merupakan inflamasi akut pada kandung empedu. Penyebab tersering
kolesistitis akut adalah obstruksi terus-menerus duktus sistikus oleh batu empedu
yang mengakibatkan peradangan akut kandung empedu. Pada hampir 90% kasus
disertai dengan kolelitiasis. Gejala ikterus menunjukkan obstruksi duktus koledokus.2
Gangren dan perforasi dapat terjadi pada hari ketiga setelah serangan penyakit, tetapi
kebanyakan pada minggu kedua. Hampir 90% kandung empedu yang diangkat
dengan kolesistektomi menunjukkan jaringan parut lama, yang berarti di masa lalu
pernah menderita kolesistitis, tetapi pada umumnya penderita menyangkal dan tidak
pernah merasa ada keluhan. 2
Diagnosis Banding
b. Pankreatitis Akut
6
diagnosa. Perjalanan penyakit dari ringan self limited sampai berat yang disertai
renjatan gangguan ginjal dan paru-paru yang bisa berakibat fatal.
c. Koledokolitiasis
7
terutama Asia Timur, terdapat insiden batu saluran empedu dan baru intrahepatik
(batu pigmen cokelat) yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara barat.4
Etiologi
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang
terletak di duktus sistikus sehingga menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan
sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus).2
Epidemiologi
Kasus batu empedu sering ditemukan di Amerika Serikat, yaitu mengenai 20%
penduduk dewasa. Setiap tahunnya, beberapa ratus ribu orang yang menderita
penyakit ini menjalani pembedahan saluran empedu. Batu empedu relatif jarang
terjadi pada usia dua dekade pertama. Namun wanita yang meminum obat
kontrasepsi oral atau yang hamil akan lebih berisiko menderita batu empedu, bahkan
pada usia remaja dan usia 20-an. Faktor ras dan familial tampaknya berkaitan dengan
semakin tingginya insiden terbentuknya batu empedu. Insiden sangat tinggi pada
orang Amerika asli, diikuti oleh orang kulit putih, dan akhirnya orang Afro-Amerika.
Kondisi klinis yang dikaitkan dengan semakin meningkatnya insidensi batu empedu
adalah diabetes, sirosis hati, pankreatitis, kanker kandung empedu, dan penyakit atau
reseksi ileum. Faktor risiko lain yang berkaitan dengan timbulnya batu empedu adalah
obesitas, multiparitas, pertambahan usia, jenis kelamin perempuan, dan ingesti segera
makanan yang mengandung kalori rendah atau lemak rendah (puasa).2
Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis
cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Penyebab
utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang terletak di duktus
sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus
kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu. Kolesistitis kalkulus akut
disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu yang menyebabkan
distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah dan drainase limfatik menurun dan
menyebabkan iskemia mukosa dan nekrosis. Diperkirakan banyak faktor yang
berpengaruh seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan
8
prostaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh
reaksi inflamasi dan supurasi.5
9
Manifestasi Klinis
Sebanyak 75% orang yang memiliki batu empedu tidak memperlihatkan
gejala. Sebagian besar gejala timbul bila batu menyumbat aliran empedu, yang
seringkali terjadi karena batu yang kecil melewati ke dalam duktus koledokus.
Penderita batu empedu sering memiliki gejala kolesistitis akut atau kronis. Bentuk
akut ditandai oleh nyeri hebat mendadak pada epigastrium atau abdomen kuadran
kanan atas; nyeri dapat menyebar ke punggung dan bahu kanan dan kenaikan suhu
tubuh disertai mengigil. Penderita dapat berkeringat banyak atau berjalan mondar-
mandir atau berguling ke kanan dan ke kiri di atas tempat tidur. Anoreksia, nausea
dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat
kambuh kembali setelah remisi parsial. Bila penyakit mereda, nyeri dapat ditemukan
di atas kandung empedu.
Kolesistitis akut sering disertai sumbatan batu dalam duktus sistikus dan
sering disebut kolik biliar. Berat ringannya keluhan bervariasi tergantung dari
beratnya inflamasi. Tanda radang peritoneum juga dapat ditemukan pada kolesistitis
akut apabila penderita merasa nyeri semakin bertambah pada saat menarik nafas
dalam.7
Komplikasi
Kolesistitis akut tidak jarang menjadi kolesistitis rekuren, kadang dapat berkembang
dengan cepat menjadi gangrene, empyema dan perforasi kandung empedu, fistel abses
hati dan peritonistis.2
Penatalaksanaan
Pengobatan umum termasuk istirahat total, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan,
obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik
pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi peritonitis, kolangitis, dan
septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazole cukup memadai
untuk mematikan kuman-kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti
E.coli, Strep.faecalis, dan Klebsiella.5
10
konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50% kasus akan
membaik tanpa tindakan bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan,
timbulnya gangrene dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dapat dihindarkan,
lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya dapat ditekan.
Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan penyebaran
infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses inflamasi
akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi. Sejak diperkenalkan tindakan
bedah kolesistektomi laparaskopik di Indonesia pada awal 1991, hingga saat ini sudah
sering dilakukan di pusat-pusat bedah digestif. Di luar negeri tindakan ini hampir
mencapai angka 90% dari seluruh kolesistektomi. Konversi ke tindakan kosistektomi
konvensional menurut Ibrahim A dkk, sevesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena
sukar mengenali duktus sistikus yang disebabkan perlengketan luas (27%),
perdarahan dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada
tindakan ini yaitu trauma saluran empedu (7%), perdarahan dan kebocoran empedu.
Menurut kebanyakan ahli bedah tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun
invasive mempunyai kelebihan seperti mengurangi rasa nyeri pasca operasi,
menurunkan angka kematian, secara kosmetik lebih baik, memperpendek lama
perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktifitas pasien.5
Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus sekalipun kandung empedu yang
menjadi tebal, fibrotic, penuh dengan batu dan tidak berfungsi lagi. Tindakan bedah
akut pada usia tua, (>75 tahun) mempunyai prognosis yang jelek disamping
kemungkinan timbul banuak komplikasi pasca bedah.5
Kesimpulan
11
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
3. Lesmana LA. Penyakit batu empedu. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi keenam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.h.2022-27.
4. Sulaiman A, Akbar N, Lesmana LA, Noer HMS, editors. Buku ajar ilmu penyakit hati. ed
1. Jakarta : Sagung Seto; 2012.h.171-88.
6. Steel PAD, Sharma R, Brenner BE, Meim SM. Cholecystitis and Biliary Colic in
Emergency Medicine. [Diakses pada: 11 Juni 2016]. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1950020-overview.
7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC; 2006. h. 502-3.
12