Anda di halaman 1dari 4

Defenisi

Perdarahan postpartum adalah perdarahan lebih dari 500cc yang terjadi setelah bayi lahir
pervaginam atau lebih dari 1.000 ml setelah prsalinan abdominal. Kondisi dalam persalinan
menyebabkan kesulitan untuk menetukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah
perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal yang telah menyebabkan perubahan
tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea,
tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi >100/menit, kadar Hb >8 g /dL.

Perdarahan obstetri dapat terjadi setiap saat, baik selama kehamilan, persalinan, maupun masa
nifas. Oleh karena itu, setiap perdarahan yang terjadi dalam masa kehamilan, persalinan dan nifas
harus dianggap sebagai suatu keadaan akut dan serius, karena dapat membahayakan ibu dan janin.
Kematian maternal lebih banyak terjadi dalam 24 jam pertama postpartum yang sebagian besar karena
terlalu banyak mengeluarkan darah.

Perdarahan pasca-persalinan pada saat kala III tujuanya adalah untuk menghasilkan kontruksi
yang lebih efektif untuk menghasilkan kontruksi yang lebih efektif sehingga dapat memperpendek
waktu kontraksi kala II persalinan dan mengurangi kehilangan darah dibandingkan dengan
penatalaksanaan fisiologi. Keuntungan penanganan kala III yaitu:

1. Persalinan lebih lanjut


2. Mengurangi jumlah kehilangan darah
3. Mengurangi kejadian Retensio Plasenta

(Wirakusumah, Firman F. (2011). Obstetri fisiologi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.)

Definisi baru mengatakan bahwa setiap perdarahan yang dapat mengganggu homeostasis
tubuh atau mengakibatkan tanda hipovolemia termasuk dalam kategori perdarahan pasca persalinan.
Perdarahan sebanyak lebih dari 1/3 volume darah atau 1000 ml harus segera mendapatkan
penanganan. Perdarahan pasca persalinan dapat terjadi segera setelah janin lahir, selama pelepasan
plasenta atau setelah plasenta lahir. (Siswosudarmo, R., 2008. Obstetri Fisiologi Yogyakarta: Pustaka
Cendekia)

Pendarahan pasca-persalinan dapat dibagi menjadi, yaitu:

1. Perdarahan pasca-persalinan dini ialah perdarahan > 500 cc pada 24 jam pertama
setelah persalinan.
2. Perdarahan paca-persalinan lambat ialah > 500 cc setelah 24 jam persalinan.

Perdarahan postpartum primer dapat disebabkan oleh atonia uteri yang mengakibatkan uterus
tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta
lahir sehingga terjadi perdarahan postpartum primer. Kemudian plasenta yang tetap tertinggal dalam
uterus setengah jam setelah anak lahir juga dapat mengakibatkan perdarahan postpartum primer,
penyebab lain adalah robekan jalan lahir dan gangguan pembekuan darah.

Atonia Uteri

Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan


sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan
fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan
pada atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta
yang lepas sebagian atau lepas seluruhnya. Atonia uteri menyebabkan terjadinya perdarahan yang
cepat dan parah dan juga shock hypovolemik. Dari semua kasus perdarahan postpartum sebesar 70 %
disebabkan oleh atonia uteri 11 . Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan
bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan postpartum, lapisan
tengah miometrium tersusun sebagai anyaman dan ditembus oleh pembuluh darah. Masing-masing
serabut mempunyai dua buah lengkungan sehingga setiap dua buah serabut kira-kira membentuk
angka delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti diatas, jika otot berkontraksi akan
menjempit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan
terjadinya perdarahan postpartum 11 . Kekuatan kontraksi dari miometrium yang efektif sangat
penting untuk menghentikan kehilangan darah setelah persalinan. Kompresi yang dihasilkan dari
vaskular uterus adalah untuk mengganggu aliran darah 800 ml / menit pada bantalan plasenta
(placenta bed) 12 .

Faktor Risiko Atonia Uteri Penilaian faktor risiko perdarahan postpartum pada wanita sangat
penting dalam mengidentifikasi terjadinya peningkatan risiko atonia uteri, sehingga memungkinkan
untuk tindakan preventif, adanya faktor risiko perdarahan postpartum meningkatkan risiko perdarahan
2 - 4 kali lipat dibandingkan dengan wanita tanpa faktor risiko. Dengan demikian wanita yang
memiliki faktor risiko harus persalinan di rumah sakit dengan fasilitas yang memadai untuk
mengelola perdarahan postpartum. Namun, perlu dicatat bahwa kejadian atonia uteri tak dapat
diprediksi pada wanita yang tidak mempunyai faktor risiko. Sehingga diperlukan protokol yang ketat
untuk pengelolaan perdarahan postpartum di tempat yang menyediakan perawatan kebidanan 12 .
Faktor –faktor predisposisi terjadinya atonia uteri 12:

1. Uterus yang teregang berlebihan : Kehamilan kembar, anak sangat besar (BB > 4000 gram)
dan polihidramnion;
2. Kehamilan lewat waktu;
3. Partus lama;
4. Grande multipara;
5. Penggunaan uterus relaxants (Magnesium sulfat);
6. Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia );
7. Perdarahan antepartum (Plasenta previa atau Solutio plasenta);
8. Riwayat perdarahan postpartum;
9. Obesitas;
10. Umur > 35 tahun;
11. Tindakan operasi dengan anestesi terlalu dalam.

Pencegahan Atonia Uteri Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko
perdarahan postpartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai
terapi. Manajemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan
kebutuhan transfusi darah 13 . Manajemen aktif kala III terdiri atas intervensi yang direncanakan
untuk mempercepat pelepasan plasenta dengan meningkatkan kontraksi uterus dan untuk mencegah
perdarahan postpartum dengan menghindari atonia uteri. Atonia uteri dapat dicegah dengan
Manajemen aktif kala III, yaitu:

1. Memberikan obat oksitosin 10 IU segera setelah bahu bayi lahir;


2. Melakukan penegangan tali pusat terkendali;
3. Masase uterus segera setelah plasenta dilahirkan agar uterus tetap berkontraksi.

Anderson J, Etches D, Smith D. Postpartum haemorrhage. In Damos JR, Eisinger SH, eds. Advanced
Life Support in Obstetrics (ALSO) provider course manual. Kansas: American Academy of Family
Physicians, 2000:1–15 12. Nelson GS, Birch C. Compression jahitans for uterine atony and
hemorrhage following Sesareaean delivery. Int J Gynecol Obstet 2006;92:248–250. 13. Schuurmans,
et al, 2000, SOGC Clinical Practice Guidelines, Prevention and Management of postpartum
Haemorrhage, No. 88, April 2000)

Sisa Plasenta

Sewaktu suatu bagian dari plasenta tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara
efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Perdarahan postpartum yang terjadi segera
jarang disebabkan oleh retensi potonganpotongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah
persalinan bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus harus
dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan.

Robekan Jalan lahir

Robekan jalan lahir dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan
dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan serviks atau vagina
(Saifuddin, 2002). Setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum.
Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum juga perlu dilakukan setelah persalinan. Robekan
jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya. Perdarahan yang
berasal dari jalan lahir selalu harus dievaluasi yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat
diatasi.

Sumber perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptura
uteri). Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan bersifat
arterill atau pecahnya pembuluh darah vena. Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat
dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan spekulum setelah sumber perdarahan
diketahui dengan pasti, perdarahan dihentikan dengan melakukan ligasi.

Kelainan pembekuan darah


Kegagalan pembekuan darah atau koagulopati dapat menjadi penyebab danakibat
perdarahan yang hebat. Gambaran klinisnya bervariasi mulai dari perdarahanhebat
dengan atau tanpa komplikasi trombosis, sampai keadaan klinis yang stabilyang hanya
terdeteksi oleh tes laboratorium. Setiap kelainan pembekuan, baik yangidiopatis
maupun yang diperoleh, dapat merupakan penyulit yang berbahaya bagikehamilan dan
persalinan, seperti pada defisiensi faktor pembekuan, pembawa faktor hemofilik A (carrier),
trombopatia, penyakit Von Willebrand, leukemia, trombopeniadan purpura trombositopenia.
Dari semua itu yang terpenting dalam bidang obstetridan ginekologi ialah purpura
trombositopenik dan hipofibrinogenemia.
a. Purpura trombositopenik
Penyakit ini bersifat idiopatis dan sekunder. Yang terakhir disebabkan oleh keracunan
obat-obat atau racun lainnya dan dapat pula menyertai anemia aplastik, anemia hemolitik
yang diperoleh, eklamsia, hipofibrinogenemia karena solutio plasenta, infeksi, alergi, dan
radiasi.
b. Hipofibrinogenemia
Adalah turunanya kadar fibrinogen dalam darah sampai melampaui batas tertentu, yakni
100 mg/%, yang lazin disebut ambang bahaya (critical level. Dalam kehamilan kadar
berbagai faktor pembekuan meningkat, termask kadar fibrinogen. Kadar fibrinogen
normal pada pria dan wanita rata-rata 300mg% (berkisar 200-400mg%) dan pada wanita
hamil menjadi 450mg% (berkisar antara 300-600mg%).

Anda mungkin juga menyukai