Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Hiperglikemia adalah salah satu karakteristik dari Diabetes Melitus yang merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik.Hiperglikemia merupakan suatu kondisi medik dimana
terdapat peningkatan kadar glukosa darah melebihi batas yang dapat dsebabkan karena kelainan
sekresi insulin, kelainan kerja insulin, atau keduanya. 1 Onset dari Diabetes Melitus adalah suatu
penyakit yang berlangsung kronik dan kompleks serta memerlukan manajemen medis yang
berkelanjutan.2 Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan adanya kerusakan
jangka panjang dan disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, yang meliputi mata, ginjal,
saraf, jantung, dan pembuluh darah.3

American Diabetes Association (ADA) mengklasifikasikan diabetes menjadi empat, yaitu


diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes melitus gestasional, dan diabetes tipe spesifik karena
penyebab lainnya.2

World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa pada tahun 2014, sekitar 422
juta orang dengan usia lebih dri 18 tahun telah menderita DM, dimana prevalensi tertingginya
diduduki oleh negara bagian Asia Tenggara dan Pasifik Barat. International Diabetes Federation
(IDF) mengestimasikan bahwa Indonesia akan mengalami peningkatan dalam jumlah
penyandang DM sebesar 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035.
Berdasarkan data RISKESDAS tahun 2007, prevalensi nasional DM di Indonesia untuk usia di
atas 15 tahun mencapai 5,7%. Hal ini membuat Indonesia menempati peringkat kelima dalam
jumlah penyandang DM terbanyak di dunia.1,4

Terapi diabetes melitus bertujuan untuk menurunkan kadar glukosa sampai mencapai
kadar glukosanormal tanpa terjadi hipoglikemia serta meningkatan kualitas hidup yang lebih
baik. Pilar-pilar terapi DM sebanyak lima komponen yang harus diperhatikan dan diikuti oleh
pasien DM yaitu diet, latihan, pemantauan kadar glukosadarah, terapi serta pendidikan. 5 Penyulit
dari tujuan terapi diabetes itu sendiri adalah penyakit ini seringkali tidak terdeteksi, sehingga
morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus ini. Morbiditas dan mortalitas tersebut dapat
berasal dari komplikasi akut maupun kronik dari diabetes.
Komplikasi akut dapat berupa krisis hiperglikemia dan hipoglikemia, komplikasi kronik
meliputi makroangiopati, mikroangiopati, dan neuropati. Salah satu contoh dari komplikasi
kronik adalah kaki diabetes, dimana proses terjadinya kaki diabetes diawali oleh angiopati,
neuropati, dan infeksi. Kaki diabetes sering berakhir dengan kecacatan dan bahkan kematian. 3

Diabetes adalah penyebab utama komplikasi termasuk kebutaan akibat retinopati diabetik, gagal
ginjal dan dialisis yang dihasilkan, amputasi lutut non-traumatis. Kerusakan saraf terjadi pada
60-70% populasi diabetes. Ulkus kaki diabetik adalah komplikasi diabetes melitus yang paling
ditakuti.Kaki diabetik adalah komplikasi diabetes kronis parah yang terdiri dari lesi di jaringan
dalam yang terkait dengan gangguan neurologis dan penyakit pembuluh darah perifer pada
tungkai bawah. Insiden kaki diabetes telah meningkat karena prevalensi diabetes mellitus di
1,2
seluruh dunia dan harapan hidup pasien diabetes yang berkepanjangan.

Semua pasien diabetes memiliki risiko 15- 20% ulkus kaki seumur hidup. Faktor risiko
utama adalah penyakit pembuluh darah perifer, neuropati perifer, beban tekanan plantar
abnormal, dan infeksi. Semua ulkus kaki diabetik dapat berkembang menjadi jaringan nekrotik,
dan itu menyebabkan amputasi jari kaki, kaki, atau anggota badan. Risiko amputasi pada
penyakit ulkus kaki diabetic lebih dari 15%. Amputasi akibat ulkus kaki diabetic dapat
meningkatkan angka morbiditas, mortalitas, dan biaya kesehatan yang cukup besar pada
3,4
penderita diabetes. Selain itu ulkus ini sulit disembuhkan dan menjadi luka kronis.

Perawatan luka sangat menantang. Proses Perawatan luka dan penyembuhan luka nya
merupakan proses yang kompleks. Oleh karena itu sangat penting bagi pasien diabetes untuk
memiliki kadar glukosa darah yang terkontrol secara optimal dengan secara ketat mematuhi
5
terapi pengobatan, diet dan olahraga untuk mengurangi komplikasi jangka panjang .

Neuropati merupakan salah satu etiologi dari ulkus kaki diabetes, hal ini dialami oleh 82%
pasien diabetes dengan luka kaki. Kurangnya sensasi perlindungan akibat neuropati perifer,
dikombinasikan dengan kelainan bentuk kaki yang tidak diakomodasi, membuat pasien berisiko
mengalami pembentukan ulkus pada akhirnya dengan risiko infeksi dan kemungkinan amputasi.
6,7
Riwayat kasus ini menunjukkan salah komplikasi diabetes pada kaki yaitu ulkus kaki diabetic.
Melihat tingginya jumlah orang yang diestimasikan menderita diabetes melitus dan kemungkinan
tingginya morbiditas serta mortalitas yang dialami penderita diabetes melitus, baik karena
komplikasi akut maupun komplikasi kronik, penulis tertarik untuk membahas lebih dalam lagi
mengenai diabetic foot akibat komplikasi neuropati yang dialami dari DM Tipe 2 sebelumnya.

1.2 Tujuan Penulisan

 Untuk mengetahui diagnosis dan tatalaksana awal dari diabetic foot pada DM tipe II.
 Untuk mengetahui tatalaksana definitif dari diabetic foot
 Untuk mengetahui prognosis akhir dari pasien diabetic foot.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama Pasien : Ny. Pariyem


Usia : 54 tahun
Alamat : Tidung Mariolo, Makassar
Jenis Kelamin : Perempuan
No. RM : 416342
Status : BPJS PBI
Agama : Islam

2.2 Anamnesis
Pasien Perempuan usia 54 tahun datang ke RSUD pada tanggal 10 Februari 2023
dilakukan autoanamnesis dengan hasil sebagai berikut:
a. Keluhan Utama : Luka pada kaki kiri
b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RS dengan keluhan luka pada kaki kiri sejak 2 bulanm terakhir disertai
nyeri pada kaki kiri, demam tidak ada, mual muntah tidakada, nafsu makan menurun.Luka
semakin hari semakin membesar dan bernanah dan sulit sembuh. Mual muntah tidak ada. Nyeri
uluh ati tidak ada. BAB dan BAK kesan normal.Pasien mengatakan dalam waktu kurang lebih
seminggu, luka tersebut semakin dalam dan borok, hingga pasien tidak berani lagi berjalan kaki.
Kaki dikatakan semakin bengkak dan kemerahan tersebut menyebar semakin naik ke arah lutut.
Pasien mengatakan masih merasa nyeri dan disertai rasa kesemutan di sekitar area lukanya yang
menjalar ke atas. Kesemutan pada kaki pasien dikeluhkan sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu,
sebelum timbulnya rasa gatal pada punggung kaki kanan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu

Didapatkan Riwayat DM sejak 3 tahun terakhir namun tidak rutin kontrol.

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa.

e. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 pak per hari, makan makanan manis.

f. Riwayat Lingkungan dan Sosial


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, suaminya adalah seorang buruh. Pasien
menggunakan BPJS PBI. Pasien selama ini tinggal di rumah bersama suami dan dan
kakak-kakanya. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol. Pasien
mengatakan sejak awal didiagnosis dengan diabetes melitus, pasien tidak ada mengubah
pola makan atau aktivitasnya, dikatakan sama saja seperti sebelumnya. Pasien
mengatakan di rumah tidak menggunakan alas kaki untuk di dalam rumah, dan keluar
rumah beraktivitas ringan pun jarang menggunakan alas kaki.

2.3. Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan Umum : tampak lemah.
b. Kesadaran : GCS 15 (E4M6V5)
c. Tanda Vital

Tekanan darah 127/82 mmHg


Nadi 102 x/menit
Pernapasan 20 x/menit
Suhu 36.5℃
SpO2 99 % room air
a. Status Generalis
Kepala
 Bentuk normocephali, rambut warna hitam, sedikit beruban, rontok (-), mudah
dicabut (-), luka (-)
 Wajah: Simetris, eritema (-), ruam muka (-), luka (-).

 Mata: Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem palpebra
(-/-), sianosis (-), pupil anisokor (2mm/ 3mm), reflek cahaya direct/indirect
(-/+), perdarahan subkonjungtiva (-/-)
 Telinga: Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-) gangguan fungsi
pendengaran (-)
 Hidung: Deviasi septum nasi (-), epistaksis (-), napas cuping hidung (-), sekret
(-), fungsi pembau baik
 Mulut Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), pucat(-) lidah
tifoid (-), papil lidah atropi (-), luka pada sudut bibir (-)

Leher
Leher simetris, retraksi suprasternal (-), deviasi trakea (-), JVP R0, pembesaran
KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thorax
 Bentuk normochest, simetris, retraksi intercostalis (-) pernapasan
thorakoabdominal, sela iga melebar (-), jejas (-)

Jantung

 Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak

 Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat 6

 Perkusi : Batas jantung Kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra, Kiri bawah
: ICS V 2 cm medial linea midclavicularis sinistra, Kanan atas : ICS II linea
parasternalis dextra, Kanan bawah : ICS IV linea parasternalis dextra,
Pinggang jantung : ICS II-III parasternalis sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, reguler, bising (-), gallop (-).

Paru-paru
 Inspeksi: Normochest, sela iga tidak melebar, gerakan pernafasan simetris
kanan kiri, retraksi intercostae (-).
 Palpasi: vokal fremitus : simetris dextra et sinistra
 Perkusi: sonor dextra et sinistra
 Auskultasi: vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Abdomen

- Inspeksi Dinding perut sejajar dinding dada, distended (-), umbilikus


tampak dan tidak ada inflamasi, kaput medusa (-), venektasi (-), sikatrik
bekas operasi (-).
- Auskultasi Peristaltik (+) normal.
- Perkusi Timpani (+), ascites (-), shifting dullnes (-) 4)
- Palpasi Supel, nyeri tekan epigastrium (-), lien dan hepar tidak teraba
membesar, ginjal tidak teraba, nyeri ketok costovertebrae (-), defans
muskular (-)

Ekstremitas
Akral hangat (+), Motorik : 55/55, sensoris dalam batas normal,
Tampak lateralisasi pada bagian kanan, refleks patologis (+), refleks fisiologis
meningkat.

Status lokalis regio pedis sinistra


Regio pedis sinistra
Look : Tampak Ulkus pada regio sinsitra meliputi area seluas 4 cm x 10 cm, disertai
dengan gangrene di sekitarnya; gangrene pada plantar pedis sinistra dan sisi lateral pedis
sinsitra.
Feel : Hangat, nyeri tekan (+), pulsasi arteri dorsalis pedis lemah
Move : ROM terbatas
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan EKG 10-4-2023
EKG dalam batas normal

b. Laboratorium 10-04-2023

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


WBC 18.02 x 10 /uL 4.4 – 11.3 x 103/uL
3

RBC 5.39 x 106/uL 3.8 – 5.2 x 106/uL


HGB 9,0 gr/dL 11.7 – 15.5 gr/dL
HCT 47.4% 35.0 – 47.0%
3
PLT 200 x 10 /uL 150 – 450 x 103/uL
LED 12 mm 0 – 20 mm
GDS 130 80-140 md/dl
Ureum 88 10-50 mg/dl
Kreatinin 1.5 L : 0.6-1.1 , P : 0,5-
0.9 mg/dl
Antigen Negatif Negatif
Albumin 1,9 mg/dl

c. Xray pedis Sinistra 10/4/23

Kesan:
Gas gangren pada pedis sinista, yang terproyeksi pada regio 1/3 distal os tibia dan
fibula dextra hingga distal metatarsal I-V hingga phalanx proksimal digiti II-V
pedis sisnitra Calcaneal spur pedis sisnitra.

2.4 Diagnosis

1. Diabetic Foot Wagner VV Pedis Sinistra


2. Diabetes Mellitus tipe II
3. Anemia Normokrom-Normositer
4. Hipoalbuminemia

2.5 Prognosis

- Ad vitam : dubia
- Ad functionam : dubia
- Ad sanationam : dubia
2.6 Tatalaksana
IVFD Nacl 0,9 % 500ml /24jam
Novorapid 3x6 unit/ SC
Lantus 0-0-10 unit/ SC
Neurosanbe 1 amp/ 12jam/IV
Omeprazole 40 mg/12jam/IV
Vitamin C 500 mg/ 24jam/IV
Megabal 2x1 tab/PO
Vip albumin sachet 1x1/PO
Nutriflar 3x1 tab/PO
Diet DM 1700 kkal

Definitif :
- Debridement +amputasi
- Rawat luka/ 2 hari

2.7 Resume

Pasien datang ke RS dengan keluhan luka pada kaki kiri sejak 2 bulanm terakhir disertai
nyeri pada kaki kiri, demam tidak ada, mual muntah tidakada, nafsu makan menurun.Luka
semakin hari semakin membesar dan bernanah dan sulit sembuh. Mual muntah tidak ada. Nyeri
uluh ati tidak ada. BAB dan BAK kesan normal.Pasien mengatakan dalam waktu kurang lebih
seminggu, luka tersebut semakin dalam dan borok, hingga pasien tidak berani lagi berjalan kaki.
Kaki dikatakan semakin bengkak dan kemerahan tersebut menyebar semakin naik ke arah lutut.
Pasien mengatakan masih merasa nyeri dan disertai rasa kesemutan di sekitar area lukanya yang
menjalar ke atas. Kesemutan pada kaki pasien dikeluhkan sejak kurang lebih 1 bulan yang lalu,
sebelum timbulnya rasa gatal pada punggung kaki kanan. Didapatkan Riwayat DM sejak 3 tahun
terakhir namun tidak rutin kontrol.
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga, suaminya adalah seorang buruh. Pasien
menggunakan BPJS PBI. Pasien selama ini tinggal di rumah bersama suami dan dan kakak-
kakanya. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol. Pasien mengatakan
sejak awal didiagnosis dengan diabetes melitus, pasien tidak ada mengubah pola makan atau
aktivitasnya, dikatakan sama saja seperti sebelumnya. Pasien mengatakan di rumah tidak
menggunakan alas kaki untuk di dalam rumah, dan keluar rumah beraktivitas ringan pun jarang
menggunakan alas kaki. Pada pemeriksaan fisik status lokalisTampak Ulkus pada regio sinsitra
meliputi area seluas 4 cm x 10 cm, disertai dengan gangrene di sekitarnya; gangrene pada plantar
pedis sinistra dan sisi lateral pedis sinsitra.Pada foto rontgen pedis sinistra didapatkan Gas
gangren pada pedis sinista, yang terproyeksi pada regio 1/3 distal os tibia dan fibula dextra
hingga distal metatarsal I-V hingga phalanx proksimal digiti II-V pedis sisnitra Calcaneal spur
pedis sisnitra. Pasien kemudian didiagnosis Diabetic Foot Wagner VV Pedis Sinistra , Diabetes
Mellitus tipe II ,Anemia Normokrom-Normositer, dan Hipoalbuminemia. Untuk tatalaksana
definitive pasien diberikan Tindakan debridement untuk membersihkan luka dan menghilang
jaringan nekrotik yang ada, serta dilakukan amputasi pada bagian yang ganggren dari bagian
yang sudah tidak dapat diselamatkan. Untuk kontrol diabetes mellitusnya, pasien diberikan terapi
insulin berkala sesuai kadar glukosa darah nya.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Resiko Infeksi DM tipe 2 dan Ulkus Diabetikum


Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme yang
ditandai dengan hiperglikemia (Kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL dan atau glukosa
darah sewaktu ≥ 200 mg/dL) yang disebabkan karena kelainan dalam proses insulin,
kinerja insulin, ataupun keduanya. Hiperglikemia kronis akibat DM dapat menyebabkan
kerusakan jangka Panjang, disfungsi, dan kegagalan berbagai organ, terutama mata,
ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Penderita DM juga memiliki risiko yang
sangat tinggi untuk mengalami infeksi. Penyebab dari risiko infeksi ini adalah karena
adanya luka ganggren dan perawatan luka ganggren yang kurang tepat. Risiko infeksi ini
juga disebabkan karena adanya ketidaknormalan neurologis yang bisa menimbulkan
adanya proses inflamasi, sehingga dapat memicu predisposisi terhadap infeksi bakteri dan
jamur.3

Ulkus diabetikum adalah luka yang dialami oleh penderita diabetes pada area kaki
dengan kondisi luka mulai dari luka superficial, nekrosis kulit, sampai luka dengan
ketebalan penuh (full thickness), yang meluas kejaringan lain seperti tendon tulang dan
persendian. Terjadinya ulkus diabetikum disebabkan karena adanya angiopati, neuropati
dan risiko infeksi. Neuropati perifer menimbulkan adanya rasa baal atau menurunnya
sensasi nyeri pada luka di kaki dan mengakibatkan trauma tanpa terasa yang bisa
mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki. Bila hiperglikemia terjadi terus menerus pada
ulkus diabetikum akan mempunyai dampak buruk yang mengakibatkan pembuluh darah
tidak berkontraksi dan kurang relaksasi, hal tersebut mengakibatkan sirkulasi darah tubuh
menurun terutama kaki. Penurunan sirkulasi darah pada daerah kaki akan menghambat
proses penyembuhan pada luka luka, akibatnya kuman akan masuk ke dalam luka dan
dapat menyebabkan terjadinya infeksi bila tidak ditangani lebih lanjut.2

3.2 Etiologi Ulkus Diabetikum


Ada beberapa faktor menyebabkan terjadinya ulkus diabetikum diantarannya :2
 Neuropati sensori perifer yang menyebabkan insensitifitas nyeri
 Trauma hal ini berhubungan dengan tekanan yang terlalu tinggi pada telapak kaki
selama proses berjalan
 Deformitas kaki yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada plantar
 Iskemia merupakan kekurangan darah dalam jaringan sehingga jaringan mengalami
 Infeksi dan edema
 Kontrol gula darah yang tidak bagus
 Hiperglikemia yang terjadi selama berkepanjangan dan keterbatasan perawatan
kaki

3.3 Patofisiologi
Ulkus diabetikum diawali dari terjadinya hiperglikemia yang menyebabkan
kelainan pada bagian pembuluh darah dan neuropati. Neuropati, sensorik, motorik atau pun
autonomik dapat menyebabkan berbagai perubahan pada bagian kulit dan otot yang
kemudian dapat mengakibatkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada bagian
telapak kaki lalu akan mempermudah timbulnya ulkus. Adanya resiko rentan terhadap
infeksi menjadikan infeksi menjadi mudah melebar dan semakin luas. Faktor aliran darah
yang tidak cukup juga menjadikan semakin susahnya pengelolaan pada kaki diabetes.3
Hiperglikemi juga memicu timbulnya neuropati diabetik. Neuropati motorik yang
menyebabkan terjadinya atrofi otot, perubahan biomekanik, deformitas pada kaki dan
redistribusi tekanan pada kaki hal tesebut yang dapat mengarah pada terjadinya ulkus.
Neuropati sensorik menimbulkan ketidaknyamanan yang membuat trauma berulang pada
kaki. Syaraf otonom yang mengalami kerusakan menjadi penyebab penurunan keringat
sehingga kulit menjadi kering, pecah-pecah ditandai dengan adanya fisura yang
mempermudah masuknya bakteri. Kerusakan pada bagian persyarafan simpatis pada kaki
membuat timbulnya taut (shunting) arteriovenosa dan distensi vena. Kondisi itu memintas
bantalan kapiler pada bagian yang terkena dan menghambat adanya suplai oksigen dan
nutrisi. Sehingga kebutuhan nutrisi dan metabolisme di area tersebut tidak tercukupi dan
tidak dapat mencapai daerah tepi atau perifer. Efek ini mengakibatkan gangguan pada kulit
yang menjadi kering dan mudah rusak sehingga mudah untuk terjadi luka dan infeksi.4
Pada saat terjadinya luka dan infeksi maka akan memicu terjadinya proses pro-
inflamasi. Proses inflamasi ini terbagi ada 2 fase yaitu fase awal (hemostasis) dan fase
inflamasi akhir. Pada inflamasi awal (hemostasis) saat jaringan luka mengalami
pendarahan, reaksi tubuh pertama sekali yaitu berusaha untuk menghentikan pendarahan
dengan mengaktifkan faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik, yang mengarah ke agregasi
platelet dan formasi slot vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang putus
(retraksi) dan reaksi hemostasis. Saat reaksi hemostasis akan terjadi karena darah yang
keluar dari kulit yang terluka akan memicu kontak dengan kolagen dan matriks
ekstraseluler, hal ini akan menyebabkan pengeluaran platelet atau dikenal juga dengan
trombosit dengan mengKadar glikoprotein pada membran sel, sehingga trombosit dapat
beragregasi menempel satu sama lain dan membentuk massa (clotting). Massa ini akan
mengisi cekungan luka dan membentuk matriks provisional sebagai scaffold untuk migrasi
sel-sel radang pada fase inflamasi. 9,11
Adanya Agregasi trombosit menyebabkan pembuluh darah mengalami
vasokonstriksi selama 5 sampai dengan 10 menit, lalu memicu terjadinya hipoksia,
peningkatan glikolisis dan penurunan PH yang akan direspon dengan terjadinya
vasodilatasi, dan akan terjadi migrasi sel leukosit dan trombosit ke jaringan luka yang telah
membentuk scaffold tadi. Migrasi sel leukosit dan trombosit juga dipicu oleh aktivasi
associated kinase membrane yang meningkatkan permeabilitas membran sel terhadap ion
Ca2+ dan mengaktivasi kolagenase dan elastase, serta merangsang migrasi sel tersebut ke
matriks provisional yang telah terbentuk. Setelah sampai di matriks provisional, sel
trombosit mengalami degranulasi, mengeluarkan sitokin - sitokin dan mengaktifkan jalur
intrinsik dan ekstrinsik yang menstimulasi sel-sel netrofil bermigrasi ke matriks
provisional dan memulai fase inflamasi. Sitokin yang di sekresi sel trombosit berfungsi
untuk mensekresi faktor-faktor inflamasi dan melepaskan berbagai faktor pertumbuhan
yang potensial seperti Transforming Growth Factor-β (TGF- β), Platelet Derived Growth
Factor (PDGF), Interleukin-1 (IL-1), Insulin-like Growth Factor-1 (IGF-1), Epidermal
Growth Factor (EGF), dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), sitokin dan
kemokin. Mediator tersebut sangat diperlukan pada memicu adanya penyembuhan luka.
Netrofil, limfosit dan makrofag merupakan sel yang pertama kali mencapai daerah luka.
Fungsi utama dari sel tersebut yaitu, melawan infeksi dan membersihkan debris matriks
seluler dan benda-benda asing. Agen kemotaktik seperti produk bakteri, yaitu (Damage
Associated Molecules Pattern) DAMP dan (Pathogen Spesific Associated Molecules
Pattern) PAMP, complement factor, histamin, prostaglandin, dan leukotriene. Agen
tersebut akan ditangkap oleh reseptor TLRs (toll like receptor) dan merangsang aktivasi
jalur signalling intraseluler yaitu jalur NFκβ dan MAPK. Ketika jalur ini diaktifkan akan
menghasilkan Kadar gen yang terdiri dari sitokin dan kemokin pro-inflamasi yang
menstimulasi leukosit untuk ekstravasasi keluar dari sel endotel ke matriks provisional.
Leukosit melepaskan bermacam-macam faktor untuk menarik sel yang akan memfagosit
debris, bakteri, dan jaringan yang rusak, serta pelepasan sitokin yang akan memulai
proliferasi jaringan. Leukosit yang terdapat pada luka di 2 hari pertama adalah neutrofil,
biasanya terdeteksi pada luka dalam 24 jam sampai dengan 36 jam setelah terjadi luka, lalu
sel ini membuang jaringan mati dan bakteri dengan fagositosis. Proses inflamasi akhir
dimulai segera setelah terjadinya trauma sampai hari ke-5 pasca trauma. Tujuan utama fase
ini yaitu menyingkirkan jaringan yang mati, dan pencegahan kolonisasi maupun infeksi
oleh agen mikrobial patogen. Setelah hemostasis tercapai, sel radang akut serta neutrofil
akan menginvasi daerah radang dan menghancurkan semua debris dan bakteri. Dengan
adanya neutrophil tersebut maka dimulai respon peradangan yang ditandai dengan cardinal
symptoms, yaitu tumor, kalor, rubor, dolor dan functio laesa. Netrofil mensekresi sitokin
pro inflamasi seperti TNF-α, Interleukin-1β, IL-6 juga mengeluarkan protease untuk
mendegradasi matriks ekstraseluler yang tersisa. Setelah melakukan fungsi fagositosis,
neutrofil akan difagositosis oleh makrofag atau mati. Meskipun neutrofil mempunyai peran
dalam mencegah infeksi, keberadaan neutrofil yang persisten pada luka dapat
menyebabkan luka sulit untuk mengalami proses penyembuhan. Hal tersebut bisa
menyebabkan luka akut berprogresi menjadi luka kronis. Pada hari ke tiga luka, monosit
berdiferensiasi menjadi makrofag masuk ke dalam luka melalui mediasi monocyte
chemoattractant protein 1 (MCP-1). Makrofag sebagai sel yang sangat penting dalam
penyembuhan luka memiliki fungsi fagositosis bakteri dan jaringan matin akan berubah
menjadi makrofag efferositosis (M2) yang mensekresi sitokin anti inflamasi seperti IL-4,
IL-10, IL- 13. Makrofag mensekresi proteinase yang digunakan untuk mendegradasi
matriks ekstraseluler (ECM) dan penting untuk membuang material asing, merangsang
pergerakan sel, dan mengatur pergantian ECM. Lalu makrofag akan menggantikan peran
polimorfonuklear sebagai sel predominan. Platelet dan faktor-faktor lainnya menarik
monosit dari pembuluh darah. Ketika monosit mencapai lokasi luka, maka ia akan
dimatangkan menjadi makrofag.7,8,11

3.4 Klasifikasi
Klasifikasi Wagner-Meggit paling banyak digunakan secara menyeluruh untuk
penilaian lesi pada ulkus kaki diabetikum. Sistem penilaian ini memiliki 6 kategori, yaitu :
 Empat kelas pertama (Kelas 0,1,2 dan 3) berdasarkan kedalaman pada lesi, jaringan
lunak pada kaki.
 Dua nilai terakhir (Kelas 4 dan 5) berdasarkan pada tingkat gangrene serta perfusi
yang sudah hilang.
Kelas 4 lebih mengacu pada gangrene kaki parsial, kelas 5 lebih kepada gangrene
yang menyeluruh. Luka superficial yang mengalami infeksi ataupun disvaskular yang
tidak bisa diklasifikasikan oleh sistem tersebut. Klasifikasi ini hanya terbatas untuk
mengidentifikasi gambaran penyakit vascular sebagai faktor resiko independent.10

Tabel 1 Klasifikasi Wagner-Meggit10

Derajat Lesi
Grade 0 Tidak terdapat ulkus pada kaki yang beresiko tinggi
Grade 1 Ulkus superfisial yang melibatkan seluruh bagian lapisan
kulit tanpa menyebar ke bagian jaringan
Grade 2 Ulkus dalam, menyebar sampai ligament, otot, tapi tidak
ada keterlibatan dengan tulang serta pembentukan abses
Grade 3 Ulkus dalam disertai oleh pembentukan abses atau
selulitis sering disertai dengan osteomyelitis
Grade 4 Gangren pada satu lokasi kaki
Grade 5 Gangren melebar hingga seluruh kaki
Gambar 1 Klasifikasi Wagner-Meggit111

3.5 Faktor Resiko Terjadinya Ulkus Diabetikum

Faktor resiko terjadinya kaki diabetik yaitu :12


1. Usia Umur ≥ 45 tahun sangat beresiko terjadinya Diabetes melitus tipe 2 karena
pengaturan diet glukosa yang sangat rendah akan menyebabkan penyusutan sel-sel
beta pankreas. Sel beta pankreas yang masih tersisa pada dasarnya masih aktif
tetapi sekresi insulinya yang semakin menurun. Pada lansia mengalami penurunan
syaraf perifer dan kelenturan jaringan juga menurun sehingga akan menimbulkan
adanya luka diabetic.
2. Lamanya penyakit diabetes melitus yang diderita menyebabkan hiperglikemia yang
semakin menginisiasi terjadinya hiperglisolia yang merupakan keadaan sel
kelebihan glukosa. Hiperglisolia kronik mampu mengubah homeostasis biokimiawi
yang kemudian berpotensi terjadinya perubahan dasar komplikasi kronik DM.
Neuropati Neuropati dapat mengakibatkan gangguan syaraf motorik, otonom dan
sensorik. Gangguan motorik mengakibatkan terjadinya atrofi otot, deformitas kaki,
perubahan biomekanika kaki dan distribusi tekanan pada bagian kaki mengalami
gangguan sehingga ulkus akan meningkat. Gangguan sensorik dirasakan ketika
pasien mulai mengeluhkan kakinya merasa kehilangan sensasi rasa atau kebas.
Gangguan otonom mengakibatkan kaki mengalami penurunan ekskresi keringat
sehingga menjadi kering dan terbentuk fisura. Saat terjadi mikrotrauma keadaan
kaki yang rentan retak akan meningkatkan terjadinya ulkus diabetikum.
3. Pola Makan atau kepatuhan diet pasien diabetes sangat mempengaruhi dalam
mengontrol kadar glukosa darah, kolestrol dan trigliserida mendekati normal
sehingga dapat mencegah adanya komplikasi kronik seperti ulkus kaki diabetik.
Kontrol makanan dapat menjadi upaya kontrol terhadap luka karena kontrol
makanan merupakan bagian dari kontrol metabolik dalam pendekatan multidisplin
dalam penatalaksanaan luka diabetic karena dapat mempengaruhi terakit terjadinya
hiperglikemia dan menghambat proses penyembuhan.
4. Penyakit arteri perifer merupakan penyumbatan pada bagian arteri ekstermitas
bawah yang disebabkan karena artherosklerosis. Gejala yang sering ditemukan
pada pasien penderita arteri perifer yaitu klaudikasio intermitten yang dikarenakan
iskemia otot dam iskemia yang menimbulkan rasa nyeri saat beristirahat. Iskemia
berat akan mencapai puncak sebagai ulserasi dan gangrene
5. Kontrol glikemik buruk atau kadar glukosa darah yang sangat tidak terkontrol
(GDP lebih dari 100 mg/dl dan GD2JPP lebih dari 144 mg/dl) dapat mengakibatkan
terjadinya komplikasi kronik untuk jangka panjang baik makrovaskuler atau
mikrovaskluer salah satunya adalah ulkus diabetika
6. Perawatan kaki pada penderita diabetes melitus dapat dilakukan dengan rutin
menjaga kebersihan area kaki. Jika tidak di bersihkan maka akan mengalami
gangguan peredaran darah dan syaraf mengalami kerusakan yang mengakibatkan
sensitivitas terhadap rasa nyeri sehingga akan sangat mudah mengalami cidera
tanpa di sadari. Masalah yang sering timbul pada area kaki yaitu kapalan, mata
ikan, cantengan (kuku masuk ke dalam), kulit kaki mengalami retak atau pecah-
pecah, luka karena kutu air dan kutil pada telapak kaki.
7. Penggunaan alas kaki yang tidak tepat pada pasien diabetes dapat meneybabkan
terjadinya ulkus diabetikum. Maka penggunaan alas kaki untuk pasien DM harus
sesuai dengan ukuran dan nyaman saat digunakan, lalu untuk ruang di dalam sepatu
yang cukup untuk jari-jari. Bagi penderita diabetes atau ulkus diabetikum tidak
boleh berjalan tanpa menggunakan alas kaki karena akan memperburuk kondisi
luka dan mempermudah sekali untuk terjadinya trauma terutama apabila terjadi
neuropati yang membuat sensasi rasa berkurang atau hilang, jangan menggunakan
sepatu atau alas kaki yang berukuran kecil karena sangat beresiko melukai kaki.

3.6 Konsep Penyembuhan Ulkus Diabetikum


Proses penyembuhan luka adalah proses restorasi alami luka yang melibatkan
sebuah proses yang kompleks, dinamis dan terintegrasi pada sebuah jaringan karena
adanya kerusakan. Dalam kondisi normal proses tersebut dapat dibagi menjadi 4 fase
yaitu :13,14,16
1. Fase Hemostasis
2. Fase Inflamasi
3. Fase Proliferasi
4. Fase Remodeling.
Proses penyembuhan luka pada ulkus kaki diabetik pada dasarnya sama dengan
proses penyembuhan luka secara umum, tetapi proses penyembuhan ulkus kaki diabetik
memerlukan waktu yang lebih lama pada fase-fase tertentu karena terdapat berbagai
macam penyulit diantaranya : 20
 Kadar glukosa darah yang tinggi,
 Infeksi pada luka dan luka yang sudah mengarah dalam keadaan kronis. Hal
tersebut memperpanjang fase inflamasi penyembuhan luka karena zat inflamasi
dalam luka kronis lebih tinggi dari pada luka akut.

Hemostasis adalah fase pertama dalam proses penyembuhan luka, setiap kejadian
luka akan melibatkan kerusakan pembuluh darah yang harus dihentikan. Pembuluh darah
akan mengalami vasokonstriksi akibat respon dari cidera yang terjadi, cedera jaringan
menyebabkan pelepasan tromboksan A2 dan prostaglandin 2-alpha ke dasar luka yang
diikuti adanya pelepasan platelet atau trombosit. Tidak terkontrolnya kadar glukosa dalam
darah menyebabkan adanya gangguan pada dinding endotel kapiler, hal ini dikarenakan
oleh adanya respon vasodilatasi yang terbatas dari membrane basal endotel kapiler yang
menebal pada penderita diabetes. Kadar glukosa darah yang tinggi juga berpengaruh pada
fungsi enzim aldose reduktase yang berperan dalam konversi jumlah glukosa yang tinggi
menjadi sorbitol sehingga menumpuk pada sel yang menyebabkan tekanan osmotik
mendorong air masuk ke dalam sel dan mengakibatkan sel mengalami kerusakan.
Penebalan membrane kapiler yang disebabkan oleh tingginya kadar glukosa darah
menyebabkan peningkatan viskositas darah dan berpengaruh pada penebalan membrane
kapiler tempat menempelnya eritrosit, trombosit dan leukosit pada lumen pembuluh darah.
Hal-hal tersebut dapat menjadi penyebab gangguan dari fase inflamasi yang memperburuk
proses penyembuhan luka.19,20
Fase proliferasi pada proses penyembuhan ulkus kaki diabetik juga mengalami
perubahan dan perbedaan dengan fase proliferasi penyembuhan pada luka normal, pada
luka normal fase proliferasi berakhir dengan pembentukan jaringan granulasi dan
kontraktur yang sudah terjadi, pembuluh darah yang baru menyediakan titik masuk ke luka
pada sel-sel seperti makrofag dan fibroblast. Epitelisasi akan menjadi fase awal dan diikuti
makrofag yang terus memasok faktor pertumbuhan merangsang angiogenesis lebih lanjut
dan fibroplasia proses angiogenesis, granulasi dan kontraksi pada luka. Pada fase
proliferasi ulkus kaki diabetik mengalami pemanjangan fase yang menyebabkan terjadinya
pembentukan granulasi terlebih dahulu pada dasar luka, granulasi akan mengisi celah yang
kosong dan epitelisasi akan menjadi bagian terakhir pada fase ini. Hal ini juga disebabkan
karena kekurangan oksigen pada jaringan, oksigen berperan sebagai pemicu aktivitas dari
makrofag. Epitelisasi pada luka ini juga mengalami gangguan migrasi dari keratinosit yang
nantinya akan membentuk lapisan luar pelindung atau stratum korneum sehingga
mengakibatkan kelembaban dari luka akan berkurang yang membuat proses penyembuhan
akan sangat lambat. Karena terjadi gangguan pada tahap penyembuhan luka maka luka
menjadi kronis yang menyebabkan fase proliferasi akan memanjang yang berakibat pada
fase remodeling berlangsung selama berbulan-bulan dan dapat berlangsung hingga
bertahun-tahun. 17,18

3.7 Faktor Penyembuhan Ulkus Diabetikum


Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan ulkus, antara lain : 15,19,20
a. Lingkungan luka yang lembab
b. Stres
c. Kurang tidur/ istirahat
d. Obat obatan yang mengandung antisepstik dan zat pembersih (Iodine
peroksida, alcohol, dll)
e. Sel debris, jaringan mati dan benda asing
f. Infeksi
g. Stres mekanik (gesekan dan tekanan)
h. Radiasi
i. Anemia
j. Usia
k. Sistem imum
l. Rokok
m. Gangguan vaskularisasi perifer
n. Kadar glukosa darah
o. Status gizi dan nutrisi

3.8 Penatalaksanaan

Pengelolaan kaki diabetes terdiri dari 2 kelompok, yaitu pencegahan kaki diabetes dan
ulkus (pencegahan primer sebelum terjadi perlukaan kulit) dan pencegahan kecacatan yang lebih
parah (pencegahan sekunder dan pengelolaan ulkus atau gangren diabetik). Pengelolaan ulkus
atau gangren diabetik meliputi wound control, microbiological control-infection control,

mechanical control pressure control, educational control.14

a. Wound Control

Klasifikasi ulkus pedis dilakukan setelah debridement adekuat. Proses penyembuhan luka
dapat terhalangi oleh jaringan nekrotik, selain itu jaringan nekrotik juga menyediakan tempat
untuk bakteri, sehingga diperlukan tindakan debridement.Debridement yang baik dan adekuat
akan sangat membantu mengurangi jaringan nekrotik, dengan demikian akan sangat mengurangi
produksi pus/cairan dari ulkus/gangren. Debridement dapat dilakukan dengan beberapa metode
seperti mekanikal, surgikal, enzimatik, autolisis, dan biokemis. Cara yang paling efektif adalah
dengan metode autolisis.14
b. Microbiological control-infection control

Data pola kuman perlu diperbaiki secaraberkala, umumnya didapatkan infeksi bakteri
multipel, anaerob, dan aerob. Antibiotik yang diberikan harusselalu sesuai dengan hasil biakan
kuman danresistensinya. Lini pertama antibiotik spektrumluas, mencakup kuman gram negatif
danpositif (misalnya sefalosporin), dikombinasi dengan obat untuk kuman anaerob(misalnya
metronidazole).14

c. Mechanical control-pressure control

Berbagai cara surgikal dapat digunakan untuk mengurangi tekanan pada luka, yaitu
dengan dekompresi ulkus/gangren dengan insisi abses dan prosedur koreksi bedah seperti operasi
hammer toe, metatarsal head resection, Achilles tendon lengthening, partial calcanectomy. 14

d. Educational control

Edukasi sangat penting untuk semua tahap pengelolaan kaki diabetes. Penyuluhan yang
baik membuat penderita DM dengan ulkus/gangren diabetik maupun keluarganya mampu
membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka yang
optimal.3

Pada kasus dengan gangren yang parah dan debridement tidak mampu menolong, amputasi
mungkin perlu dipertimbangkan. Amputasi bisa mencegah gangren menyebar ke bagian tubuh
yang lainnya, infeksi nekrotik dari jaringan lunak ini dikaitkan dengan tingginya angka
mortalitas dan bisa digunakan untuk menghilangkan bagian tubuh yang telah rusak parah
sehingga anggota tubuh artifisial (prostetis) bisa digunakan.17,18
BAB IV
PEMBAHASAN

Diabetes
melitus menyebabkan komplikasi berupa neuropati perifer yang dapat bermanifestasi
8
menjadi neuropati sensorik, fokal/multifokal dan otonom. Kejadian 80% amputasi terjadi setelah
2
ulserasi kaki atau cedera yang disebabkan oleh neuropati diabetes. Neuropati perifer juga dapat
menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks, terutama di pergelangan kaki, yang
menyebabkan perubahan dalam cara seseorang berjalan dan deformitas pada kaki. Adanya Lepuh
1,9
dan luka dapat muncul di area kaki yang mati rasa karena tekanan atau cedera tidak diketahui

Jika tidak diobati, infeksi bakteri dan jamur, serta bisul kaki, dapat menyebabkan
amputasi. Tujuan utama penatalaksanaan kaki diabetes melibatkan berbagai strategi pencegahan,
termasuk mengedukasi pasien dan keluarga, keterlibatan, dan kepatuhan terhadap pengobatan
yang diberikan dokter, serta mempertahankan kadar glukosa darah yang terkontrol, melakukan
10,11
perawatan dan pengamatan pada kulit, kaki dan kuku secara rutin.

Kepatuhan atau adeherensi terhadap pengobatan dikaitkan dengan kadar glukosa darah
terkontrol, hemoglobin terglikasi (HbA1c), tekanan darah dan profil lipid dan penurunan
pembiayaan kesehatan pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 (T2D) dan juga dapat
12
meningkatkan kualitas hidup pasien. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi rendahnya
adeherensi adalah banyak nya jumlah regimen obat, kekhawatiran terhadap efek samping
pengobatan, dan kurang nya pengetahuan mengenai penyakit diabetes melitus tipe 2. Faktor lain
13
nya termasuk usia yang mempengaruhi kepatuhan mengkonsumsi obat.

Kasus ini menunjukkan komplikasi diabetes mellitus karena kurang nya kepatuhan pengobatan
akibat faktor usia. Pasien memiliki neuropati diabetic yang membuat pasien tidak menyadari
cedera pada kakinya. Ulkus itu tidak diobati tepat waktu dan berkembang menjadi serius dan
14
menyebabkan amputasi pada jari kakinya. Pada pasien ini, penting untuk mengatasi alasan
ketidakpatuhan dan langkah-langkah untuk memperbaikinya. Di sini dokter berperan selain
memberikan terapi farmakoterapi dan non farmakoterapi, juga mengedukasi pasien dan keluarga
mengenai penyakitnya dan pentingnya kepatuhan terhadap pengobatan, pemantauan glukosa
13,15
darah agar terkontrol dan perawatan luka yang tepat.

Pada kasus diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta


pemeriksaan penunjang. Pasien datang untuk kontrol luka yang tidak sembuh di kaki kanannya
yang telah dialami sejak 2 bulan yang lalu.. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tandatanda kaki
diabetes stage 4 Wagner. Pasien didiagnosis dengan DMDF Wagner IV Pedis Sinistra, dimana
pasien direncakan untuk dilakukan pembersihan luka serta tindakan operasi berupa amputasi
untuk menghentikan perluasan dari gangren yang sudah terjadi. Pasien diberikan juga edukasi
yaitu untuk tetap mengontrol gula darah. Edukasi pasien dan keluarga mengenai penyakit yang
dimiliki serta penatalaksanaan yang dilakukan. Mengenai masalah kebutuhan nutrisi pasien,
peran keluarga dalam membantu mengawasi pola makan pasien sangat diperlukan. Sehingga
diperlukan pengawas dalam pemberian nutrisi dan kontrol gula darah pasien di rumah oleh salah
satu anggota keluarga. Pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan gula darah rutin.
Meskipun tidak bergejala atau tidak menimbulkan keluhan, pemeriksaan gula darah rutin
diperlukan untuk mengetahui perkembangan penyakit pasien. Di samping itu, pemeriksaan gula
darah secara rutin juga diperlukan sebelum dan sesudah pasien melakukan latihan jasmani untuk
menghindari keadaan- keadaan yang dapat memperparah kondisi fisiknya. Pasien disarankan
untuk memakai alas kaki untuk menghindari adanya luka baru juga diimbangi aktivitas fisik dan
jasmani.
BAB V
KESIMPULAN

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-
duanya. Sekitar 90-95% insiden diabetes merupakan diabetes melitus tipe 2. Manifestasi klinis
DM tipe 2 bisa berupa keluhan klasik dan keluhan lainnya. Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan darah vena. Terapi untuk pasien DM tipe 2 dapat berupa obat oral
maupun obat suntik. Komplikasi DM tipe 2 bisa berupa komplikasi akut maupun komplikasi
kronik. Salah satu contoh komplikasi kronik adalah kaki diabetes. Proses terjadinya kaki diabetes
diawali oleh angiopati, neuropati, dan infeksi. Diagnosis kaki diabetes dilakukan dengan menilai
ulkus dan keadaan umum ekstremitas, penilaian risiko insufisiensi vaskuler, serta penilaian risiko
neuropati perifer. Terapi yang diberikan meliputi wound control, microbiological control-
infection control, mechanical control-pressure control, educational control.

Ketidakpatuhan pada pengobatan diabetes adalah penyebab utama terjadinya komplikasi


seperti diabetes ulkus kaki pada pasien diabetes. . Di sini dokter berperan selain memberikan
terapi farmakoterapi dan non farmakoterapi, juga mengedukasi pasien dan keluarga mengenai
penyakitnya dan pentingnya kepatuhan terhadap pengobatan, pemantauan glukosa darah agar
terkontrol dan perawatan luka yang tepat. Pemberian edukasi yang tepat akan meningkatkan
pengetahuan pasien tentang penyakit, pengobatan dan perawatan diri serta dapat meningkatkan
pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Perkeni. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta:
PB Perkeni. 2015.
2. ADA. Standards of Medical Care in Diabetes 2017. American Diabetes Association. 2017;
vol.40(Supplement 1).
3. Kemenkes RI. Infodatin Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2014.
4. Cheng D. Prevalence, predisposition and prevention of type II diabetes. Nutr Metab (Lond).
2005;2:29.
5. Shaw JE, Sicree RA, Zimmet PZ. Global estimates of the prevalence of diabetes for 2010 and
2030. Diabetic Reserach and clincal practice. 2010;87:4-14.
6. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas. 2015.
7. Ozougwu JC, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba, CB. The pathogenesis and
pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. J. Physiol. Pathophysiol. 2013;4(4):46-
57.
8. Jameson JL. Harrison's Endocrinology 3rd Edition. McGrawHill. 2013.
9. Hariftyani AS, Novida H, Edward M. Profile of Diabetic Foot Ulcer Patients at Tertiary Care
Hospital in Surabaya, Indonesia. J Berk Epidemiol. 2021;9(3):293.
10. Jeffcoate WJ, Vileikyte L, Boyko EJ, Armstrong DG, Boulton AJM. Current challenges and
opportunities in the prevention and management of diabetic foot ulcers. Diabetes Care.
2018;41(4):645–52.
11. Ibrahim AM. Diabetic foot ulcer: synopsis of the epidemiology and pathophysiology. Int J
DiabetesEndocrinol. 2018;3:23.
12. Ndosi M, Wright-Hughes A, Brown S, Backhouse M, Lipsky BA, Bhogal M, et al. Prognosis of
the infected diabetic foot ulcer: a 12-month prospective observational study. Diabet Med.
2018;35(1):78–88.
13. Armstrong DG, Boulton AJM, Bus SA. Diabetic foot ulcers and their recurrence. N Engl J Med.
2017;376(24):2367–75.
14. Syafril S. Pathophysiology diabetic foot ulcer. In: IOP Conference Series: Earth and
Environmental Science. 2018. hal. 12161.
15. Irawan H, Yasa KP. A case report of diabetic foot ulcer underwent an autolytic debridement
using hydrogel and hydrocellular foam combination. Bali Med J. 2017;6(3):93.
16. Fitria E, Nur A, Marissa N, Ramadhan N. Karakteristik Ulkus Diabetikum pada Penderita
Diabetes Mellitus di RSUD dr. Zainal Abidin dan RSUD Meuraxa Banda Aceh. Bul Penelit
Kesehat. 2017;45(3):153–60.
17. Del Core MA, Ahn J, Lewis III RB, Raspovic KM, Lalli TAJ, Wukich DK. The evaluation and
treatment of diabetic foot ulcers and diabetic foot infections. Foot \& Ankle Orthop.
2018;3(3):2473011418788864.
18. Ivan Netten JJ, Seng L, Lazzarini PA, Warnock J, Ploderer B. Reasons for (non-) adherence to
self- care in people with a diabetic foot ulcer. Wound Repair Regen. 2019;27(5):530 –9.

Anda mungkin juga menyukai