Disusun oleh:
M. Ariq Muzakki 21501101057
Safira Firdaus 21601101026
Dosen Pembimbing:
dr. Diah Andriana,Sp.B
dr. Dina Mariyati
Halaman judul...........................................................................................................................i
Daftar Isi…...............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................4
Latar belakang masalah........................................................................................................5
Tujuan penulisan...................................................................................................................5
1.3.Manfaat penulisan…………………………………………………….…...,,,...............5
BAB II STATUS PASIEN
Anamnesa..............................................................................................................................6
Pemeriksaan fisik..................................................................................................................8
Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................................10
Resume Kasus.....................................................................................................................11
Diagnosis Kerja...................................................................................................................11
Planning dan Monitoring.....................................................................................................12
Penatalaksanaan...................................................................................................................12
SOAP...................................................................................................................................12
BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................15
Diabetes Mellitus Tipe II.....................................................................................................15
Diabetic Foot.......................................................................................................................18
3.3 Anemia.........................................................................................................................24
BAB IV PEMBAHASAN........................................................................................................27
Ulkus Diabetikum...............................................................................................................27
Anemia................................................................................................................................27
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................................29
Kesimpulan….....................................................................................................................29
Saran…...............................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA …………………………………….........………....….…...…….....
ii
BAB I
LATAR BELAKANG
Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu kondisi
kronis yang terjadi ketika tubuh tidak bisa menghasilkan
cukup insulin atau tidak dapat menggunakan insulin yang
ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa darah,
berdasarkan International Diabetes Federation (2015)
1
. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1,
yang dikenal sebagai insulin dependent, dimana pankreas
gagal menghasilkan insulin ditandai dengan kurangnya
produksi insulin dan DM tipe 2, yang dikenal dengan non
insulin dependent, disebabkan ketidakmampuan tubuh
menggunakan insulin secara efektif yang dihasilkan oleh
pankreas2,3. Diabetes tipe 2 jauh lebih umum dan
menyumbang sekitar 90% dari semua kasus diabetes di
seluruh dunia. Hal ini paling sering terjadi pada orang
dewasa, namun juga semakin meningkat pada remaja2.
Penyakit DM ini merupakan salah satu ancaman utama
bagi umat manusia pada abad 21 ini. Badan WHO
memperkirakan, pada tahun 2000 jumlah pengidap
penyakit DM yang berusia di atas 20 tahun berjumlah 150
juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian
pada tahun 2025, jumlah itu akan meningkat menjadi 300
juta orang3. Menurut Riskesdas 2013, prevalensi DM
berdasarkan wawancara di Indonesia meningkat pada
tahun 2013, yaitu sebesar 2,1% jika dibandingkan dengan
tahun 2007 (1,1%)4.
Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi
pada semua tingkat sel dan semua tingkatan anatomik.
Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat
mikrovaskular (retinopati diabetik, nefropati diabetik,
neuropati diabetik, dan kardiomiopati) maupun
makrovaskular (stroke, penyakit jantung koroner,
peripheral vascular disease). Komplikasi lain dari DM
dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi akibat
1
mudahnya terjadi dan amputasi dapat ditekan3,6. Di Indonesia, ulkus diabetik
infeksi saluran masih merupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola
kemih, dengan maksimal.
tuberkulosis paru, Peran dokter dalam menurunkan komplikasi DM
dan infeksi kaki, yaitu ulkus diabetik sangatlah penting. Pada hakekatnya
yang kemudian ulkus diabetik dapat dicegah dengan cara melakukan
dapat skrining dini serta edukasi penatalaksanaan kaki diabetes
berkembang pada individu berisiko tinggi. Demikian pula
menjadi
ulkus/gangren
diabetik3,5.
Ulkus
diabetik sering
mengecewakan
baik bagi dokter,
pasien maupun
keluarganya, serta
dapat berakhir
dengan amputasi
bahkan kematian.
Di negara maju,
ulkus diabetik
masih merupakan
masalah
kesehatan yang
besar. Dengan
adanya
perkembangan
metode dan
teknologi
penatalaksanaan
ulkus diabetik
serta klinik kaki
diabetes maka
angka kematian
2
pencegahan dan pengelolaan yang tepat terhadap faktor-faktor penyebab dasar patogenesis
kaki diabetes, yakni neuropati, penyakit arteri perifer dan deformitas dapat mencegah
timbulnya ulkus diabetik serta segala konsekuensinya. Pendidikan kesehatan kepada
penderita dan keluarganya akan sangat berarti bagi penderita, dan edukasi cara mencegah
terjadinya serangan ulang juga penting.
Rumusan Masalah
1. Apa definisi ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
2. Bagaimana patofisiologi ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
3. Bagaimana gambaran klinis ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
4. Bagaimana penegakan diagnosa ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
5. Bagaimana penatalaksanaan ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
Tujuan
1. Untuk mengetahui ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
2. Untuk mengetahui patofisiologi ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
3. Untuk mengetahui gambaran klinis ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
4. Untuk mengetahui penegakan diagnosa ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
Manfaat
1. Diharapkan laporan kasus ini dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang
ulkus diabetik.
2. Sebagai Sebagai pembelajaran bagi Dokter Muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit dalam.
BAB II
LAPORAN KASUS
Anamnesis
Identitas
Nama: Tn. B
Jenis Kelamin: Laki-laki
Alamat: Klojen, Malang
Usia: 67 tahun
Tanggal Lahir: 09-Juli-1953
Suku: Jawa
Pendidikan: SD
Pekerjaan: Pedagang
Status Perkawinan: Sudah menikah
Agama: Islam
No. RM: 11-XXXX
Tanggal Rawat Inap: 23 Oktober 2020-sekarang (26 Oktober 2020)
Keluhan Utama
Nyeri pada ibu jari kaki kanan
Keluhan penyerta:
Pasien merasa mual
Riwayat Pengobatan:
Pengobatan DM tidak rutin dilakukan
Riwayat Sosial-Ekonomi:
Menengah kebawah
Riwayat Alergi:
-
Pemeriksaan Fisik
General Appearance: sakit sedang
GCS: 456 (compos mentis)
Vital Sign
BP: 151/81 mmHg
HR: 110x/menit
RR: 22x/menit
Tax: 36,5°C
SpO2: 97%
GDS: 654 mg/dL
Diagnosa Banding
-DM
-ulkus diabetikum
-anemia
-Gastritis
-CKD
-Sepsis
Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap:
Hb: 79,1
Leu.: 23.840↑
Tro.: 663.000↑
RDW-CV:16,7%↑
Limf.: 6,27%↓
Monosit: 5,32%↑
Neutrofil: 85,36%↑
Kimia Darah: BUN 79↑, kreatinin 2,48↑
Foto thorax: DBN
EKG: DBN
Foto rontgen regio pedis:
-Osteomyelitis pedis dextra
-Bayangan lusen soft tissue regio phalanx proximal digiti I pedis dextra
USG: belum dilaksanakan
Diagnosis Kerja
-DM
-Ulkus Diabetikum
-Anemia
-Sepsis
Tanggal S O A P
23-10-2020 -Luka di ibu GCS 456 DDx: Tx:
(IGD) jari kanan (compos mentis) -Ulkus -Loading NS
menghitam, VS diabetikum 1000cc/i jam_20
bernanah, nyeri BP: 151/81 -DM tpm
dan cekot-cekot HR: 110 hiperglikemi -Injeksi
, RR: 22 -anemia omeprazol 40
-lemas, Tax: 36,5 -gastritis mg
-mual Pmx. fisik -CKD -Injeksi
-Konjungtiva - Sepsis santogesik 1000
anemis WDx:
-nyeri tekan -DM, Pmx.
abdomen -anemia, Penunjang:
hipochondriaca -Ulkus -EKG
sinistra Diabetikum -Foto thorax
-lokalis: ulkus -Nyeri e.c. -kultur
pada digiti 1 proses infeksi
pedis dextra:
nyeri akut skala
4 durasi1-10
menit dan
frekuensi sering,
gangren +, lesi
+,jaringan
nekrotik +,
eksudat +.
Slough +.
DL
Hb: 7,91↓
Leu.: 23.840↑
Tro.: 663.000↑
RDW-
CV:16,7%↑
Limf.: 6,27%↓
Monosit:
5,32%↑
Neutrofil:
85,36%↑
LED: 104↑
SpO2: 97%
GDA: 654
23-10-2020 -Luka di ibu GCS 456 DDx: Tx.
(rawat inap) jari kanan (compos mentis) -Ulkus -Loading NS
menghitam, VS diabetikum 1000cc/i jam_20
bernanah, nyeri BP: 151/81 -DM tpm
dan cekot-cekot HR: 110 hiperglikemi -Injeksi
, RR: 20 -anemia omeprazol 40
-lemas, Tax: 36,5 -gastritis mg
-mual Pmx. fisik -CKD -Injeksi
-Konjungtiva -Sepsis santogesik 1000
anemis -Cetoperazone
-ulkus digiti 1 WDx: 2x 1gr
pedis dextra -DM, -Neurobion
Pmx. Penunjang -anemia, 5000 1x1.
-EKG: DBN -Ulkus -Furosemid 10
-Foto thorax: Diabetikum mg pro transfusi
DBN -Nyeri e.c. -insulin short
proses infeksi acting 20 unit
SpO2: 98% -insulin long
GDA: 533 acting 22 unit
-ondansentron 4
mg
-ranitidine 50
mg
24-10-2020 Nyeri pada kaki GCS 456 DDx: Tx.
(kunjungan jam , (compos mentis) -Ulkus -insulin short
ke-1) VS diabetikum acting 20 unit
BP: 130/64 -DM -transfusi darah:
HR: 76 hiperglikemi PRC 2 labu
RR: 20 -anemia -mengatasi nyeri
Tax: 36 -CKD -Mengajarkan
GDS1: 401 -Sepsis teknik relaksasi
mg/dl di rumah
WDx: -Memberikan
KD -DM, posisi nyaman
-Hemostatis -anemia, -Cek GD2
baik -Ulkus
-BUN: 79↑ Diabetikum
-Creatinin:2,48↑-Nyeri e.c.
proses infeksi
-Sepsis
24-10-2020 Jari menghitam GCS 456 WDx: Tx.
(kunjungan jam (compos mentis) -DM, -insulin short
ke-2) GDS2: 172 -anemia, acting 8 unit
mg/dL -Ulkus -Operasi
Gol darah: O Diabetikum: amputasi digiti 1
rhesus + Dead finger pedis sinistra
Digiti 1: Digiti 1 pedis bila Hb >8
nekrosis (+) dextra
Nyeri (+) -Sepsis
Kemerahan (+)
Hangat(+)
24-10-2020 Mual Persiapan Tx.
(kunjungan jam Operasi -infus NS 20
ke-3) TPM
-Injeksi
ondansetron 4
mg
-injeksi
ranitidhin 50 mg
-Puasa mulai
jam 10 malam
-Operasi mulai
jam 6
GDS: 148
mg/dL
26-10-2020 Luka dikaki -KU sedang -Ulkus Tx.
(kunjungan jam kanan - VS stabil diabetikum -rawat luka
ke-2) -GD1: 148 digiti 1 pedis dengan dokter
mg/dL dextra penanggung
- GDA: 212 -cellulitis jawab pelayanan
mg/dl -amputated -infus NS 20
digiti 1 pedis tpm
dextra -insulin short
-Sepsis acting 6 unit
Planning
Diagnostic
-USG Abdomen
untuk
mengidentifikasi
DDx berupa
CKD
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Patofisiologi
Proses pencernaan dan pengolahan bahan makanan dimulai di mulut kemudian ke
lambung dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan makanan dipecah menjadi
bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino dan
lemak menjadi asam lemak. Didalam tubuh, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui
proses metabolisme, dan hasil akhirnya timbulnya energi. Insulin bertugas memasukkan
glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar.
Insulin memainkan peranan sebagai transportasi untuk menghantar glukosa memasuki
ke dalam sel-sel. Tanpa insulin, sel-sel akan kekurangan glukosa untuk digunakan sebagai
sumber energi meskipun adanya glukosa di dalam aliran darah. Akhirnya, glukosa yang lebih
ini atau glukosa yang tidak digunakan ini akan diekskresikan dalam urin.
Selain membantu glukosa memasuki sel-sel, insulin juga penting dalam mengatur
tingkat glukosa dalam darah. Setelah makan, kadar glukosa darah akan meningkat, untuk
mengatasi peningkatan kadar glukosa, pankreas biasanya melepaskan lebih banyak insulin ke
dalam aliran darah untuk membantu glukosa memasuki sel-sel dan menurunkan kadar
glukosa darah setelah makan. Ketika kadar glukosa darah diturunkan, maka pelepasan insulin
dari pankreas dihentikan. Dalam DM tipe II, pasien dapat memproduksi insulin, tetapi tidak
dapat menggunakannya secara adekuat, terutama pada pasien yang mengalami resistensi
insulin.
Gambaran Klinis
Diabetes Mellitus sering muncul tanpa gejala. Berdasarkan PERKENI (2011),
kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat gejala klasik DM seperti dibawah ini:
a. Gejala klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. b. Gejala lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksi pada pria serta pruritas vulvae pada wanita.
Diagnosis
Diagnosis diabetes mellitus ditegakkan berdasarkan hasil identifikasi adanya
hiperglikemia kronik. World Health Organization (WHO) dan American Diabetes
Association (ADA) telah menetapkan bahwa diabetes diindikasikan bila nilai glukosa plasma
puasa (fasting plasma glucose, FPG) lebih atau sama dengan 7 mmol/L. Hal ini berawal dari
hasil studi epidemiologi tahun 1990-an yang menunjukkan bahwa risiko komplikasi
mikrovaskuler (seperti retinopati) meningkat secara drastis dengan nilai ambang FPG 7
mmol/L. Satu bukti bahwa diagnostik diabetes ditegakkan dari nilai HbAIC >6,5% (48
mmol/mol) dapat dilihat dari retinopati moderat, yang dalam penelitian terkini angkanya
jarang berada dibawah nilai ambang tersebut.
Menurut American Diabetes Association (2015) terdapat beberapa cara untuk
mendiagnosis diabetes, yaitu:
a. HbA1C ≥6,5%
b. Kadar glukosa puasa plasma acak (sewaktu-waktu) ≥200 mg/dL pada individu yang
memiliki gejala khas diabetes
c. Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL)
d. Kadar glukosa plasma ≥200 mg/dL) 2 jam setelah glukosa diberikan sebanyak 75 g per
oral (oral glucosa tolerance test, OGTT).
Glukosa darah diikat pada molekul hemoglobin (Hb). Ini disebut HbA1c, yang
merupakan singkatan dari Glycolated Hemoglobin atau Glycosylated Hemoglobin dan sering
juga disebut Glycohemoglobin atau A1c.
Manfaat HbA1c selama ini lebih banyak dikenal untuk menilai kualitas pengendalian
glikemik jangka panjang dan menilai efektivitas terapi, namun beberapa studi terbaru
mendukung pemanfaatan HbA1c yang lebih luas, bukan hanya untuk pemantauan, tetapi juga
bermanfaat dalam diagnosis ataupun skrining diabetes melitus tipe 2. Hemoglobin A1c telah
digunakan secara luas sebagai indikator kontrol glikemik, karena mencerminkan konsentrasi
glukosa darah 1-2 bulan sebelum pemeriksaan dan tidak dipengaruhi oleh diet sebelum
pengambilan sampel darah.
Pada beberapa keadaan, HbA1c tidak dapat mencerminkan kontrol glukosa darah. Hal
ini penting diketahui karena dapat menyebabkan under atau over treatment. Yang dapat
meningkatkan kadar HbA1c dari nilai sebenarnya adalah: anemia defisiensi besi, usia,
polisitemia rubra vera, kehamilan trimester kedua, kadar ureum darah yang tinggi, HbF atau
HbG, hipertrigliseridemia berat, hiperbilirubinemia, konsumsi alkohol berlebihan,
splenektomi, anemia aplastik, penggunaan salisilat dosis tinggi dalam jangka panjang.
Kebanyakan negara tidak mempunyai kebijakan skrining yang sistematik untuk
diabetes sehingga diperkirakan hingga 50% pasien diabetes tidak terdiagnosis. Skrining
sewaktu-waktu terhadap kelompok risiko tinggi menjadi lebih sering dilakukan. Pengukuran
glukosa plasma puasa atau FPG murah dan cepat, namun tidak dapat digunakan untuk
penderita hiperglikemia pascaterapi yang diisolasi. Nantinya, HbA1C akan semakin banyak
digunakan untuk skrining dan diagnosis. Kebijakan skrining sebaiknya ditargetkan untuk
kelompok risioko tinggi.
Pasien risiko tinggi yang sebaiknya di skrining per tahun untuk diabetes tipe 2 yaitu:
a. Sindrom metabolik
b. Pasien berusia lebih dari 45 tahun, terutama pasien obesitas
c. Pasien yang memiliki orang tua atau saudara kandung yang menderita DM tipe 2
d. Pasien yang mempunyai faktor risiko kardiovaskuler, seperti hipertensi atau dislipedemia,
dan pasien penyakit aterosklerosis
e. Wanita yang pernah menderita diabetes gestasional
f. Wanita yang menderita sindrom ovarium polikistik
g. Pasien IFG (Impaired Fasting Glicaemia) atau IGT (Impaired Glucose Tolerance).
Komplikasi
Diabetes mellitus yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi
akut dan kronis. Komplikasi akut termasuk hipoglikemia, hiperglikemia, Ketoasidosis
Diabetik (KAD) dan Status Hiperglikemik Hiperosmolar (HHS). Selain komplikasi akut,
pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi kronik, yaitu komplikasi yang terjadi pada
semua tingkat sel dan semua tingkat anatomik. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi
pada tingkat pembuluh darah kecil (mikrovaskular) berupa kelainan pada retina mata,
glomerulus ginjal, syaraf dan pada otot jantung (kardiomiopati). Pada pembuluh darah besar,
manifestasi komplikasi kronik DM dapat terjadi pada pembuluh darah serebral, jantung
(penyakit jantung koroner) dan pembuluh darah perifer (tungkai bawah).
Komplikasi lain DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi dengan akibat
mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberkolosis paru dan infeksi kaki, yang kemudian
dapat berkembang menjadi ulkus atau ganggren diabetes. Kaki diabetes merupakan salah satu
komplikasi DM yang paling ditakuti karena sering berakhir dengan kecacatan dan kematian.
3.2. Diabetic Foot
Definisi
Kaki diabetik adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam yang
berhubungan dengan neuropati dan penyakit vaskuler perifer pada tungkai bawah, selain itu
ada juga yang mendefinisikan sebagai kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes melitus
yang tidak terkendali dengan baik yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah,
gangguan persyarafan dan infeksi7.
Ulkus kaki diabetik merupakan kelainan atau luka yang kompleks pada pasien DM
yang dapat mengakibatkan amputasi ekstremitas bawah, sehingga membutuhkan penanganan
yang terbaik8.
Klasifikasi
Klasifikasi ulkus kaki diabetik diperlukan untuk berbagai tujuan, diantaranya yaitu
untuk mengetahui gambaran lesi agar dapat dipelajari lebih dalam tentang bagaimana
gambaran dan kondisi luka yang terjadi. Terdapat beberapa klasifikasi luka yang sering
dipakai untuk mengklasifikasikan luka diabetes dalam penelitian-penelitian terbaru,
diantaranya termasuk klasifikasi Kings College Hospital, University of Texas klasifikasi,
klasifikasi PEDIS, dll. Tetapi tedapat dua sistem klasifikasi yang paling sering digunakan,
dianggap paling cocok dan mudah digunakan yaitu klasifikasi menurut Wagner-Meggitt dan
University of Texas9.
Tabel 3.1. Klasifikasi Ulkus Kaki Berdasarkan University of Texas9
Epidemiologi7
Menurut laporan dari beberapa tempat di Indonesia, angka kejadian dan komplikasi
diabetes melitus cukup tersebar sehingga bisa dikatakan sebagai salah satu masalah nasional
yang harus mendapat perhatian, selain itu sampai saat ini masalah kaki diabetik kurang
mendapat perhatian sehingga masih muncul konsep dasar yang kurang tepat bagi pengelolaan
penyakit ini. Dampaknya banyak penderita yang penyakitnya berkembang menjadi penderita
osteomielitis dan amputasi pada kakinya. Pada negara maju kaki diabetik memang masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi dengan kemajuan cara pengelolaan dan
adanya klinik kaki diabetik yang aktif maka nasib penyandang kaki diabetik menjadi lebih
baik sehingga angka kematian dan amputasi menurun 45%-85%.
Kaki diabetik merupakan penyebab tersering dilakukannya amputasi yang didasari
oleh kejadian non traumatik. Risiko amputasi 15-40 kali lebih sering pada penderita diabetes
melitus dibandingkan dengan non diabetes melitus. Kaki diabetik juga menyebabkan lama
rawat penderita diabetes melitus menjadi lebih lama.
Prevalensi penderita diabetes melitus dengan kaki diabetik di Amerika Serikat sebesar
15-20%, risiko amputasi 15-46 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penderita non diabetes
melitus. Prevalensi penderita diabetes melitus dengan kaki diabetik di negara berkembang
didapatkan jauh lebih besar dibandingkan dengan negara maju, yaitu antara 20-40%.
Prevalensi penderita diabetes melitus dengan kaki diabetik di Indonesia sekitar 15%, angka
25 mortalitas 32% dan kaki diabetik merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak
sebesar 80% untuk diabetes melitus. Prevalensi angka kematian akibat ulkus dan gangren
berkisar 17-23%, sedangkan angka amputasi berkisar 15-30%. Angka kematian 1 (satu) tahun
pasca amputasi sebesar 14,8%. Jumlah itu meningkat pada tahun ketiga menjadi 37%,
ratarata umur pasien hanya 23,8 bulan pasca amputasi.
Faktor Risiko7,10
Faktor risiko terjadi ulkus diabetikum pada penderita penyakit DM adalah:
a. Jenis kelamin
Laki-laki menjadi faktor predominan berhubungan dengan terjadinya ulkus. Menurut
Prastica dkk pasien ulkus diabetikum yang diteliti di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
adalah laki-laki (56,3%). Penyebab perbedaan prevalensi kaki diabetik diantara pria
dan wanita dalam penelitian lainnya mengenai kaki diabetik dengan ulkus neuropati
dan neuroiskemik antara lain dapat disebabkan oleh beberapa alasan yaitu: faktor
hormonal (adanya hormon estrogen pada wanita yang dapat mencegah komplikasi
vaskuler yang berkurang seiring bertambahnya usia), perbedaan kebiasaan hidup
seperti kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol pada laki-laki.
b. Usia
Penelitian di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa persentase kaki diabetik paling
tinggi pada usia ≥45 tahun, seperti diketahui usia lanjut biasanya memiliki
keterbatasan gerak, penglihatan yang buruk dan masalah penyakit yang lain. Tubuh
mengalami banyak perubahan terutama pada organ pankreas yang memproduksi
insulin dalam darah pada usia ≥45 tahun, kejadian kaki diabetik sangat tinggi pada
usia ini karena fungsi tubuh secara fisiologis menurun.
c. Lama Penyakit Diabetes Melitus (DM)
Lamanya durasi DM menyebabkan keadaan hiperglikemia yang lama. Keadaan
hiperglikemia yang terus menerus menginisiasi terjadinya hiperglisolia yaitu keadaan
sel yang kebanjiran glukosa. Hiperglosia kronik akan mengubah homeostasis
biokimiawi sel tersebut yang kemudian berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar
terbentuknya komplikasi kronik DM. Seratus pasien penyakit DM dengan ulkus
diabetikum, ditemukan 58% adalah pasien penyakit DM yang telah menderita
penyakit DM lebih dari 10 tahun. Hasil analisis regression kepada semua pasien rawat
jalan di klinik penyakit dalam Veteran Affairs, Washington menyimpulkan bahwa
rerata lama pasien penyakit DM ulkus diabetikum sebanyak 162 orang adalah 11.40
tahun dengan RR 1.18 (95% CI).
d. Neuropati
Neuropati menyebabkan gangguan saraf motorik, sensorik dan otonom. Gangguan
motorik menyebabkan atrofi otot, deformitas kaki, perubahan biomekanika kaki dan
distribusi tekanan kaki terganggu sehingga menyebabkan kejadian ulkus meningkat.
Gangguan sensorik disadari saat pasien mengeluhkan kaki kehilangan sensasi atau
merasa kebas. Rasa kebas menyebabkan trauma yang terjadi pada pasien penyakit
DM sering kali tidak diketahui. Gangguan otonom menyebabkan bagian kaki
mengalami penurunan ekskresi keringat sehingga kulit kaki menjadi kering dan
mudah terbentuk fissura. Saat terjadi mikrotrauma keadaan kaki yang mudah retak
meningkatkan risiko terjadinya ulkus diabetikum. Menurut Boulton AJ pasien
penyakit DM dengan neuropati meningkatkan risiko terjadinya ulkus diabetikum tujuh
kali dibanding dengan pasien penyakit DM tidak neuropati.
e. Peripheral Artery Disease
Penyakit arteri perifer adalah penyakit penyumbatan arteri di ektremitas bawah yang
disebakan oleh atherosklerosis. Gejala klinis yang sering ditemui pada pasien PAD
adalah klaudikasio intermitten yang disebabkan oleh iskemia otot dan iskemia yang
menimbulkan nyeri saat istirahat. Iskemia berat akan mencapai klimaks sebagai
ulserasi dan gangren. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan untuk deteksi
PAD adalah dengan menilai Ankle Brachial Indeks (ABI) yaitu pemeriksaan sistolik
brachial tangan kiri dan kanan kemudian nilai sistolik yang paling tinggi
dibandingkan dengan nilai sistolik yang paling tinggi di tungkai. Nilai normalnya
dalah 0,9 - 1,3. Nilai dibawah 0,9 itu diindikasikan bawah pasien penderita DM
memiliki penyakit arteri perifer.
f. Riwayat ulserasi pada kaki
Riwayat ulserasi yang ditandai dengan luka terbuka pada permukaan kulit, nekrosis
jaringan karena gangguan peredaran darah ke organ perifer ditandai dengan
menurunnya pulsasi arteri dorsalis pedis dan neuropati ditandai dengan menurunnya
sensasi rasa pada penderita diabetes melitus tipe 2. Beberapa penelitian mempunyai
hasil yang sama bahwa riwayat kaki diabetik sebelumnya mempunyai faktor risiko
terhadap kaki diabetik. Ini didukung oleh hasil penelitian dimana masingmasing
dengan RR 1,6 dan p= 0,003.
g. Riwayat trauma pada kaki
h. Perawatan kaki
Edukasi perawatan kaki harus diberikan secara rinci pada semua orang dengan ulkus
maupun neuropati perifer atau peripheral Artery disease (PAD). Menurut penelitian
Purwanti OK perawatan kaki terdiri dari perawatan perawatan kaki setiap hari,
perawatan kaki reguler, mencegah injuri pada kaki, dan meningkatkan sirkulasi.
Patofisiologi
Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang
menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik
sensorik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit
dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak
kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap
infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah
yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes. Gangguan
neuropati dan vaskular merupakan faktor utama yang berkonstribusi terhadap kejadian luka,
luka yang terjadi pada pasien diabetes berkaitan dengan adanya pengaruh saraf yang terdapat
pada kaki yang dikenal dengan nuropati perifer, selain itu pada pasien diabetes juga
mengalami gangguan sirkulasi, gangguan sirkulasi ini berhubungan dengan peripheral
vascular diseases. Efek dari sirkulasi inilah yang mengakibatkan kerusakan pada saraf-saraf
kaki8,9.
Neuropati motorik menyebabkan atrofi otot, deformitas kaki, perubahan biomekanik
dan redistribusi tekanan pada kaki yang semuanya dapat mengarah pada ulkus. Neuropati
sensorik memengaruhi dan ketidak nyamanan, yang menunjang kearah trauma berulang pada
kaki. Saraf otonom yang rusak menyebabkan penurunan pengeluaran keringat sehingga kulit
menjadi kering dan pecah-pecah disertai fisura yang akibatnya dapat menjadi pintu masuk
bakteri yang akhirnya menyebabkan infeksi yang menyebar. Kerusakan persarafan simpatis
pada kaki menimbulkan taut (shunting) arteriovenosa dan distensi vena. Kondisi tersebut
memintas bantalan kapiler pada area yang terkena dan dapat menghambat suplai nutrisi serta
oksigen. Penyakit mikrovaskular dapat juga mengganggu suplai nutrisi oleh darah kejaringan
kaki8.
Gambaran Klinis7
Tanda dan gejala kaki diabetes melitus seperti sering kesemutan, nyeri pada kaki saat
istirahat, sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan denyut nadi arteri
dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal serta kulit
kering.
Penegakan Diagnosa8
Diagnosis kaki diabetik harus dilakukan secara teliti. Diagnosis kaki diabetik
ditegakkan oleh riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang.
a. Riwayat kesehatan pasien dan keluarga meliputi : lama diabetes; managemen diabetes
dan kepatuhan terhadap diet, olahraga dan obat-obatan; evaluasi dari jantung, ginjal
dan mata; alergi; pola hidup, medikasi terakhir; kebiasaan merokok dan minum
alkohol. Selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas kaki,
pernah terekspos dengan zat kimia,
adanya kallus dan deformitas, gejala neuropati dan gejala iskemia, riwayat luka atau
ulkus. Pengkajian pernah adanya luka dan ulkus meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan
kedalaman, penampakan ulkus, temperatur dan bau.
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi meliputi kulit dan otot. Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti warna,
turgor kulit, pecah-pecah; berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi; ada kalus atau
bula; bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi pada otot seperti sikap dan
postur dari tungkai kaki; deformitas pada kaki membentuk clawtoe atau charcot
joint; keterbatasan gerak sendi; tendon; cara berjalan; kekuatan kaki.
2) Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilamen ditambah dengan
tunningfork 128-Hz, pinprick sensation, reflek kaki untuk mengukur getaran,
tekanan dan sensasi.
3) Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut nadi pada arteri
kaki, capillary refiling time, perubahan warna, atropi kuit dan kuku dan
pengukuran ankle- brankhial index
4) Pengukuran alas kaki meliputi bentuk alas kaki yang sesuai dan nyaman, tipe
sepatu dan ukurannya.
Batas Hb WHO untuk anemia diterapkan secara luas secara global dan berdasarkan jenis
kelamin, usia, dan kehamilan. Batas ini pertama kali ditetapkan pada tahun 1968 oleh
kelompok studi anemia gizi di WHO menggunakan batas statistik daripada ambang batas
yang terkait dengan kesehatan yang berarti. Kategori dimodifikasi menjadi pembagian usia
tambahan di antara anak-anak, penyesuaian untuk anak-anak dalam kelompok usia 5-11
berdasarkan data anak-anak yang tidak kekurangan zat besi dari Amerika Serikat, dan
pembuatan kategori "ringan , ”Anemia“ sedang, ”dan“ berat ”. Pemutusan juga didukung oleh
temuan di antara peserta Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional Kedua (NHANES
II) yang tidak kekurangan zat besi.
PENYEBAB ANEMIA
Pada tingkat biologis, anemia berkembang karena ketidakseimbangan kehilangan eritrosit
relatif terhadap produksi, hal ini dapat disebabkan oleh eritropoiesis yang tidak efektif atau
kurang (misalnya, dari kekurangan nutrisi, peradangan, atau kelainan Hb genetik) dan
kehilangan eritrosit yang berlebihan (karena hemolisis, kehilangan darah, atau keduanya).
Anemia sering diklasifikasikan berdasarkan mekanisme biologis penyebabnya (misalnya,
IDA, anemia hemolitik, anemia inflamasi (AI) dan morfologi RBC.
Tabel (2)
Tabel (2) menampilkan daftar parsial dari beberapa anemia umum dan mekanisme biologis
yang dengannya mereka berkembang dan parameter RBC yang digunakan untuk
membedakannya satu sama lain.Kebanyakan anemia memiliki penampilan RBC yang khas,
yang dapat memberikan wawasan untuk diagnosis anemia . Namun, seperti yang ditunjukkan
Tabel (2), beberapa faktor dapat menyebabkan jenis morfologi sel darah merah yang serupa.
Selain itu, karena anemia dapat memiliki banyak penyebab, bahkan pada individu yang sama,
manifestasi hematologis dari penyebab tertentu dapat disamarkan oleh penyebab lain.
Misalnya, ciri anemia yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 atau folat adalah
anemia makrositik. Meskipun ada indeks dalam praktik klinis untuk membedakan etiologi
anemia berdasarkan parameter RBC (misalnya, IDA versus β-thalassemia — keduanya
menyebabkan hipokromia dan mikrositosis).
KLASIFIKASI ANEMIA BERDASARKAN PENYEBABNYA
A. ANEMIA KARENA DEFISIENSI NUTRISI
Anemia defisiensi nutrisi terjadi ketika konsentrasi nutrisi hematopoietik yang terlibat dalam
produksi atau pemeliharaan sel darah merah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Penyebab defisiensi nutrisi termasuk asupan makanan yang tidak memadai,
peningkatan kehilangan nutrisi (misalnya kehilangan darah dari parasit, perdarahan yang
terkait dengan persalinan, atau kehilangan menstruasi yang banyak), gangguan absorpsi
(misalnya, kurangnya faktor intrinsik untuk membantu penyerapan vitamin B12, asupan
tinggi fitat, atau infeksi Helicobacter pylori yang mengganggu penyerapan zat besi), atau
perubahan metabolisme nutrisi (misalnya kekurangan vitamin A atau riboflavin yang
mempengaruhi mobilisasi toko besi).
1. defisiensi FE
2. defisiensi vitamin A
3. defisiensi vitamin B (B12, riboflavin, dan folat)
B. ANEMIA KARENA INFEKSI DAN INFLAMASI
Banyak penyakit yang terkait dengan anemia melalui berbagai mekanisme, termasuk efek
spesifik penyakit pada kehilangan darah, hemolisis atau eritropoiesis, dan melalui efek
peradangan pada metabolisme zat besi. Adanya jumlah retikulosit rendah yang tidak tepat
untuk derajat anemia digunakan secara klinis untuk menunjukkan kondisi akibat defisiensi
nutrisi, penurunan kadar eritropoietin, anemia aplastik, atau sindrom kegagalan sumsum
tulang yang diturunkan. Dalam analisis global beban anemia antara tahun 1990 dan 2010,
cacing tambang, schistosomiasis, dan malaria merupakan tiga penyebab utama anemia. Di
bawah ini,
kami menjelaskan anemia inflamasi serta mekanisme spesifik untuk beberapa penyakit utama
yang terkait dengan anemia dan lazim di LMICs.
1.anemia karena inflamasi
Anemia penyakit kronis atau anemia inflamsi umumnya normositik dengan jumlah retikulosit
rendah dan ditandai menjadi ringan hingga sedang (konsentrasi Hb 8-10 g / L) .Dalam
anemia inflamasi, sitokin proinflamasi dilepaskan dalam respons pertahanan tubuh terhadap
infeksi (IL
-6 khususnya , tetapi sitokin lain juga terlibat) mengubah metabolisme zat besi sehingga zat
besi diasingkan di dalam sel sistem retikuloendotelial (hati dan limpa) dan enterosit usus, dan
produksi sel darah merah serta masa hidup berkurang. Efeknya pada Metabolisme besi
dimediasi oleh hepcidin sehingga sitokin inflamasi meningkatkan produksinya, yang
menurunkan regulasi ekspresi ferroportin dalam enterosit usus, makrofag, dan hepatosit,
sehingga menghalangi absorpsi besi dan mobilisasi besi dari penyimpanan ke sirkulasi.
Sitokin inflamasi juga berkontribusi untuk memperpendek masa hidup RBC (berpotensi
dengan mengaktifkan makrofag), serta mengganggu produksi dan fungsi EPO dan
menghambat eritrosit normal. proliferasi dan diferensiasi sel progenitor tiroid.
2.Anemia karena tuberculosis
3. Anemia karena HIV
4. Anemia karena malaria
5. Anemia karena schistosomiasis
C. ANEMIA KARENA GENETIK
Secara global, diperkirakan 330.000 anak lahir setiap tahun dengan kelainan Hb bawaan yang
serius (83% dengan anemia sel sabit atau salah satu variannya; 17% dengan bentuk talasemia)
dan sekitar 80% dari kelahiran ini terjadi di LMIC. Secara kasar, 5% dari populasi global
diperkirakan membawa varian Hb yang signifikan (misalnya, varian gen yang dapat
menyebabkan gangguan serius termasuk penyakit sel sabit atau bentuk talasemia);
persentasenya jauh lebih tinggi di Afrika (18%) dan Asia (7%). 31 Gangguan sel sabit (SCD),
yang berhubungan dengan anemia hemolitik kronis, adalah kelainan Hb genetik yang paling
umum ditemukan terutama di sub-Sahara Afrika (di mana Ini adalah kelainan genetik yang
paling umum), diikuti oleh β- dan α-thalassemia, terkonsentrasi di Asia Tenggara terutama.
Meskipun tidak dibahas secara rinci di sini, defisiensi G6PD adalah salah satu kelainan enzim
yang diturunkan yang paling umum pada manusia, dan distribusinya cenderung tumpang
tindih dengan daerah endemik malaria. Menanggapi pemicu tertentu — misalnya, konsumsi
kacang fava dan paparan antimalaria primaquine — anemia hemolitik akut dapat terjadi;
defisiensi G6PD diperkirakan berada dalam 35 penyebab teratas anemia secara global.
Proporsi anemia karena kelainan Hb genetik — yang saat ini merupakan penyebab anemia
yang tidak dapat diubah — di LMICs hanya diharapkan meningkat karena penyebab lain
(mis., defisiensi nutrisi dan penyakit menular) tepat er dikendalikan. Hal ini membutuhkan
pemahaman yang lebih baik tentang kontribusi kelainan darah yang diturunkan terhadap
beban anemia; studi terbaru dari Malawi menemukan bahwa 60% sampel yang dianalisis
untuk kelainan darah yang diturunkan (sel sabit, defisiensi G6PD, dan α-thalassemia) di
antara PSC dalam Survei Demografi dan Kesehatan Malawi memiliki setidaknya satu hasil
abnormal. Contohnya sickle cell disorder dan talasemia
3.4.Sepsis
Sepsis merupakan keadaan disfungsi organ karena adanya disregulasi respon tubuh
terhadap infeksi. Sepsis merupakan keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari respon pro-
inflamasi dan anti-inflamasi tubuh. Bersamaan dengan kondisi ini, abnormalitas sirkular seperti
penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh darah perifer, depresi miokardial, dan
peningkatan metabolisme akan menyebabkan ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen
sistemik dengan kebutuhan oksigen yang akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau
syok. Pasien syok dapat mengalami penurunan kesadaran, takikardia, penurunan kesadaran,
anuria. Syok merupakan manifestasi awal dari keadaan patologis yang mendasari. Tingkat
kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat dibutuhkan untuk mengidentifikasi tanda
awal syok dan memulai penanganan awal.
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini akan
memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinflamasi, dimulai
dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi dengan sel endotelial.
Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular
dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor,
interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit oksida, asam
arakidonat, platelet activating factor, dan eikosanoid. Sitokin proinflamasi seperti tumor
nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan
menghambat fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator
penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan
menghambat proses trombosis dan inflamasi. Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan
turut memperkuat proses tersebut. Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling
dominan terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan
kebocoran kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan
endotelial ini memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan
global.
Berikut kriteria SIRS dan sepsis, serta sepsis berat hingga syok:
Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh SCCM dan
ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Surviving Sepsis Guidelines pertama kali
dipublikasi pada tahun 2004, dengan revisi pada tahun 2008 dan 2012. Pada bulan Januari 2017,
revisi keempat dari Surviving Sepsis Guidelines dipresentasikan pada pertemuan tahunan
SCCM dan dipublikasikan di Critical Care Medicine dan Intensive Care Medicine dimana
didapatkan banyak perkembangan baru pada revisi yang terbaru.13 Komponen dasar dari
penanganan sepsis dan syok septik adalah resusitasi awal, vasopressor/ inotropik, dukungan
hemodinamik, pemberian antibiotik awal, kontrol sumber infeksi, diagnosis (kultur dan
pemeriksaan radiologi), tata laksana suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan
infeksi.
BAB IV
PEMBAHASA
N
4.2. Anemia
Anemia ditemukan ada pasien dengan manifestasi klinis berupa konjungtiva anemis
dan rasa mual. Rasa mual ini dapat dikarenakan oleh anemia atau penyebab lainseperti pada
diagnosa banding yaitu gastritis. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium (darah lengkap)
ditemukan Hb <13 g/dL (laki-laki dewasa) dengan RDW-CV:16,7% (meningkat) yang berarti
menandakan anemia, melihat pada nilai MCV yang masih di rentang 80-95 pg dan MCHC
yang masih dalam rentang 27-34 pg maka anemia ini dikategorikan sebagai anemia
normokrom normositer. Adapun berdasarkan morfologinya, anemia ini bisa disebabkan
akibat penyakit kronik seperti yang diderita pasien. Anemia akibat penyakit kronik termasuk
dalam kategori ringan-sedang, dan keluhan dari penyakit lain lebih menonjol daripada gejala
anemia itu sendiri.
Selain pemeriksaan darah lengkap, juga dilakukan pemeriksaan faal ginjal, yang
didapatkan hasil berupa peningkatan nilai BUN dan kreatinin. Mengingat penyakit kronik
yang dapat mendasari anemia juga bisa berasal dari penyakit kronik berupa chronic kidney
disease, maka observasi dan pemeriksaan lebih lanjut untuk CKD dapat dilaksanakan.
Diagnosa banding berupa CKD juga dikaitkan dengan temuan adanya nyeri tekan pada
hipokondriaka sinistra yang dapat berasal dari gaster maupun renal. Pada tanggal 26 Oktober
2020, penanganan pasien masih berfokus pada penstabilan gula darah dan perawatan post-
operasi, maka kemungkinan pemeriksaan lanjutan untuk CKD belum dapat dilaksanakan.
4.3. Sepsis
Berdasarkan respon tubuh pasien dalam menghadapi infeksi yang terlihat dari vital sign,
pasien dicurigai mengalami sepsis atau keadaan dimana adanya disfungsi organ karena
disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Pada pemeriksaan, didapatkan data yang masuk
dalam kategori sepsis, yaitu:
1. HR 110x/menit
2. RR 22x/menit
3. Leukosit 23.840
Maka diagnosa tersebut sudah memenuhi SIRS. Adanya dugaan infeksi berdasarkan
hasil pemeriksaan fisik dan DL, maka telah memenuhi kriteris SEPSIS, untuk penanganan yang
lebih spesifik, disarankan untuk melakukan pemeriksaan kultur, namun pemeriksaan ini belum
dilakukan.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan data yang didapatkan, pasien didiagnosa dengan penyakit ulkus
diabetikum stage 6 yaitu unsalvable dan harus dilakukan prosedur operasi amputasi pada
digiti 1 pedis dextra. Selain ulkus diabetikum, pasien juga mengalami anemia dengan
morfologi normokrom normositer. Anemia ini dapat dikarenakan adanya penyakit kronik
yang telah dimiliki pasien berupa infeksi atau penyakit lain seperti CKD mengingat BUN dan
kreatinin yang meningkat sehingga mengindikasikan fungsi ginjal yang menurun, terlebih
pasien ini merupakan pasien DM yang rentan mengalami nefropati. Namun diagnosis CKD
belum dapat ditegakkan dan masih harus dilakukan pemeriksaan lanjutan dan penunjang
berupa USG abdomen.
Saran
-Mengetahui secara spesifik etiologi dari anemia dan sepsis
-Pasien disarankan untuk USG abdomen dan kultur
-Melakukan KIE kepada pasien untuk mendukung dalam pengontrolan gula darah
DAFTAR PUSTAKA
PAPDI (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. VI. Jakarta Pusat: Interna Publishing.
Singh S, Pai DR, Yuhhui C (2013). Diabetic Foot Ulcer-Diagnosis and management. Clinical
Research on Foot abd Ankle, 1(3): 120.