Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN KASUS

ULKUS DIABETIKUM, ANEMIA, DAN SEPSIS


Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Disusun oleh:
M. Ariq Muzakki 21501101057
Safira Firdaus 21601101026

Dosen Pembimbing:
dr. Diah Andriana,Sp.B
dr. Dina Mariyati

RSI UNISMA MALANG


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2020
DAFTAR ISI

Halaman judul...........................................................................................................................i
Daftar Isi…...............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................4
Latar belakang masalah........................................................................................................5
Tujuan penulisan...................................................................................................................5
1.3.Manfaat penulisan…………………………………………………….…...,,,...............5
BAB II STATUS PASIEN
Anamnesa..............................................................................................................................6
Pemeriksaan fisik..................................................................................................................8
Pemeriksaan Penunjang.......................................................................................................10
Resume Kasus.....................................................................................................................11
Diagnosis Kerja...................................................................................................................11
Planning dan Monitoring.....................................................................................................12
Penatalaksanaan...................................................................................................................12
SOAP...................................................................................................................................12
BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................................................15
Diabetes Mellitus Tipe II.....................................................................................................15
Diabetic Foot.......................................................................................................................18
3.3 Anemia.........................................................................................................................24
BAB IV PEMBAHASAN........................................................................................................27
Ulkus Diabetikum...............................................................................................................27
Anemia................................................................................................................................27
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................................29
Kesimpulan….....................................................................................................................29
Saran…...............................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA …………………………………….........………....….…...…….....

ii
BAB I
LATAR BELAKANG
Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) adalah suatu kondisi
kronis yang terjadi ketika tubuh tidak bisa menghasilkan
cukup insulin atau tidak dapat menggunakan insulin yang
ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa darah,
berdasarkan International Diabetes Federation (2015)
1
. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1,
yang dikenal sebagai insulin dependent, dimana pankreas
gagal menghasilkan insulin ditandai dengan kurangnya
produksi insulin dan DM tipe 2, yang dikenal dengan non
insulin dependent, disebabkan ketidakmampuan tubuh
menggunakan insulin secara efektif yang dihasilkan oleh
pankreas2,3. Diabetes tipe 2 jauh lebih umum dan
menyumbang sekitar 90% dari semua kasus diabetes di
seluruh dunia. Hal ini paling sering terjadi pada orang
dewasa, namun juga semakin meningkat pada remaja2.
Penyakit DM ini merupakan salah satu ancaman utama
bagi umat manusia pada abad 21 ini. Badan WHO
memperkirakan, pada tahun 2000 jumlah pengidap
penyakit DM yang berusia di atas 20 tahun berjumlah 150
juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian
pada tahun 2025, jumlah itu akan meningkat menjadi 300
juta orang3. Menurut Riskesdas 2013, prevalensi DM
berdasarkan wawancara di Indonesia meningkat pada
tahun 2013, yaitu sebesar 2,1% jika dibandingkan dengan
tahun 2007 (1,1%)4.
Pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi
pada semua tingkat sel dan semua tingkatan anatomik.
Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat
mikrovaskular (retinopati diabetik, nefropati diabetik,
neuropati diabetik, dan kardiomiopati) maupun
makrovaskular (stroke, penyakit jantung koroner,
peripheral vascular disease). Komplikasi lain dari DM
dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi akibat
1
mudahnya terjadi dan amputasi dapat ditekan3,6. Di Indonesia, ulkus diabetik
infeksi saluran masih merupakan masalah yang rumit dan tidak terkelola
kemih, dengan maksimal.
tuberkulosis paru, Peran dokter dalam menurunkan komplikasi DM
dan infeksi kaki, yaitu ulkus diabetik sangatlah penting. Pada hakekatnya
yang kemudian ulkus diabetik dapat dicegah dengan cara melakukan
dapat skrining dini serta edukasi penatalaksanaan kaki diabetes
berkembang pada individu berisiko tinggi. Demikian pula
menjadi
ulkus/gangren
diabetik3,5.
Ulkus
diabetik sering
mengecewakan
baik bagi dokter,
pasien maupun
keluarganya, serta
dapat berakhir
dengan amputasi
bahkan kematian.
Di negara maju,
ulkus diabetik
masih merupakan
masalah
kesehatan yang
besar. Dengan
adanya
perkembangan
metode dan
teknologi
penatalaksanaan
ulkus diabetik
serta klinik kaki
diabetes maka
angka kematian
2
pencegahan dan pengelolaan yang tepat terhadap faktor-faktor penyebab dasar patogenesis
kaki diabetes, yakni neuropati, penyakit arteri perifer dan deformitas dapat mencegah
timbulnya ulkus diabetik serta segala konsekuensinya. Pendidikan kesehatan kepada
penderita dan keluarganya akan sangat berarti bagi penderita, dan edukasi cara mencegah
terjadinya serangan ulang juga penting.

Rumusan Masalah
1. Apa definisi ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
2. Bagaimana patofisiologi ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
3. Bagaimana gambaran klinis ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
4. Bagaimana penegakan diagnosa ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
5. Bagaimana penatalaksanaan ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?

Tujuan
1. Untuk mengetahui ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
2. Untuk mengetahui patofisiologi ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
3. Untuk mengetahui gambaran klinis ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
4. Untuk mengetahui penegakan diagnosa ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan ulkus diabetik, anemia, dan sepsis?

Manfaat
1. Diharapkan laporan kasus ini dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang
ulkus diabetik.
2. Sebagai Sebagai pembelajaran bagi Dokter Muda yang sedang mengikuti
kepaniteraan klinik bagian ilmu penyakit dalam.
BAB II
LAPORAN KASUS

Anamnesis
Identitas
Nama: Tn. B
Jenis Kelamin: Laki-laki
Alamat: Klojen, Malang
Usia: 67 tahun
Tanggal Lahir: 09-Juli-1953
Suku: Jawa
Pendidikan: SD
Pekerjaan: Pedagang
Status Perkawinan: Sudah menikah
Agama: Islam
No. RM: 11-XXXX
Tanggal Rawat Inap: 23 Oktober 2020-sekarang (26 Oktober 2020)

Keluhan Utama
Nyeri pada ibu jari kaki kanan

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri pada ibu jari kanan sejak ±1/2 bulan yang lalu, nyeri
dirasakan selama 1-10 menit dengan frekuensi sering, nyeri terasa cekot-cekot dan skala
nyeri mencapai 4 (1-10). Saat ini pasien menderita diabetes mellitus.

Keluhan penyerta:
Pasien merasa mual

Riwayat Penyakit Dahulu:


Diabetes mellitus dan hipertensi

Riwayat Pengobatan:
Pengobatan DM tidak rutin dilakukan

Riwayat Penyakit Keluarga:


-

Riwayat Sosial-Ekonomi:
Menengah kebawah

Riwayat Alergi:
-
Pemeriksaan Fisik
General Appearance: sakit sedang
GCS: 456 (compos mentis)

Vital Sign
BP: 151/81 mmHg
HR: 110x/menit
RR: 22x/menit
Tax: 36,5°C

SpO2: 97%
GDS: 654 mg/dL

Pemeriksaan Head to toe


Kepala-leher: conjungtiva anemis
Thorax: DBN
Abdomen: Bising usus (+), flat, shoevel (+), nyeri tekan abdomen bagian hipochondriaca
sinistra.
Extremitas: Ulkus pada digiti 1 pedis dextra
Status Lokalis: ulkus digiti 1 pedis dextra dengan gangren (+), lesi (+),jaringan nekrotik
(+), eksudat (+), dan slough (+)

Diagnosa Banding
-DM
-ulkus diabetikum
-anemia
-Gastritis
-CKD
-Sepsis

Pemeriksaan Penunjang
Darah Lengkap:
Hb: 79,1
Leu.: 23.840↑
Tro.: 663.000↑
RDW-CV:16,7%↑
Limf.: 6,27%↓
Monosit: 5,32%↑
Neutrofil: 85,36%↑
Kimia Darah: BUN 79↑, kreatinin 2,48↑
Foto thorax: DBN
EKG: DBN
Foto rontgen regio pedis:
-Osteomyelitis pedis dextra
-Bayangan lusen soft tissue regio phalanx proximal digiti I pedis dextra
USG: belum dilaksanakan
Diagnosis Kerja
-DM
-Ulkus Diabetikum
-Anemia
-Sepsis

Planning dan monitoring


Penatalaksanaan di IGD
-Loading NS 1000cc/i jam-20 tpm
-Injeksi omeprazol 40 mg
-Injeksi santogesik 1000
Penatalaksanaan Rawat Inap
-Loading NS 1000cc/i jam_20 tpm
-Injeksi omeprazol 40 mg
-Injeksi santogesik 1000
-Cetoperazone 2x 1gr
-Neurobion 5000 1x1.
-Furosemid 10 mg pro transfusi
-insulin short acting 20 unit
-insulin long acting 22 unit
-Ondansentron 4 mg
-ranitidine 50 mg
SOAP

Tanggal S O A P
23-10-2020 -Luka di ibu GCS 456 DDx: Tx:
(IGD) jari kanan (compos mentis) -Ulkus -Loading NS
menghitam, VS diabetikum 1000cc/i jam_20
bernanah, nyeri BP: 151/81 -DM tpm
dan cekot-cekot HR: 110 hiperglikemi -Injeksi
, RR: 22 -anemia omeprazol 40
-lemas, Tax: 36,5 -gastritis mg
-mual Pmx. fisik -CKD -Injeksi
-Konjungtiva - Sepsis santogesik 1000
anemis WDx:
-nyeri tekan -DM, Pmx.
abdomen -anemia, Penunjang:
hipochondriaca -Ulkus -EKG
sinistra Diabetikum -Foto thorax
-lokalis: ulkus -Nyeri e.c. -kultur
pada digiti 1 proses infeksi
pedis dextra:
nyeri akut skala
4 durasi1-10
menit dan
frekuensi sering,
gangren +, lesi
+,jaringan
nekrotik +,
eksudat +.
Slough +.
DL
Hb: 7,91↓
Leu.: 23.840↑
Tro.: 663.000↑
RDW-
CV:16,7%↑
Limf.: 6,27%↓
Monosit:
5,32%↑
Neutrofil:
85,36%↑
LED: 104↑

SpO2: 97%
GDA: 654
23-10-2020 -Luka di ibu GCS 456 DDx: Tx.
(rawat inap) jari kanan (compos mentis) -Ulkus -Loading NS
menghitam, VS diabetikum 1000cc/i jam_20
bernanah, nyeri BP: 151/81 -DM tpm
dan cekot-cekot HR: 110 hiperglikemi -Injeksi
, RR: 20 -anemia omeprazol 40
-lemas, Tax: 36,5 -gastritis mg
-mual Pmx. fisik -CKD -Injeksi
-Konjungtiva -Sepsis santogesik 1000
anemis -Cetoperazone
-ulkus digiti 1 WDx: 2x 1gr
pedis dextra -DM, -Neurobion
Pmx. Penunjang -anemia, 5000 1x1.
-EKG: DBN -Ulkus -Furosemid 10
-Foto thorax: Diabetikum mg pro transfusi
DBN -Nyeri e.c. -insulin short
proses infeksi acting 20 unit
SpO2: 98% -insulin long
GDA: 533 acting 22 unit
-ondansentron 4
mg
-ranitidine 50
mg
24-10-2020 Nyeri pada kaki GCS 456 DDx: Tx.
(kunjungan jam , (compos mentis) -Ulkus -insulin short
ke-1) VS diabetikum acting 20 unit
BP: 130/64 -DM -transfusi darah:
HR: 76 hiperglikemi PRC 2 labu
RR: 20 -anemia -mengatasi nyeri
Tax: 36 -CKD -Mengajarkan
GDS1: 401 -Sepsis teknik relaksasi
mg/dl di rumah
WDx: -Memberikan
KD -DM, posisi nyaman
-Hemostatis -anemia, -Cek GD2
baik -Ulkus
-BUN: 79↑ Diabetikum
-Creatinin:2,48↑-Nyeri e.c.
proses infeksi
-Sepsis
24-10-2020 Jari menghitam GCS 456 WDx: Tx.
(kunjungan jam (compos mentis) -DM, -insulin short
ke-2) GDS2: 172 -anemia, acting 8 unit
mg/dL -Ulkus -Operasi
Gol darah: O Diabetikum: amputasi digiti 1
rhesus + Dead finger pedis sinistra
Digiti 1: Digiti 1 pedis bila Hb >8
nekrosis (+) dextra
Nyeri (+) -Sepsis
Kemerahan (+)
Hangat(+)
24-10-2020 Mual Persiapan Tx.
(kunjungan jam Operasi -infus NS 20
ke-3) TPM
-Injeksi
ondansetron 4
mg
-injeksi
ranitidhin 50 mg
-Puasa mulai
jam 10 malam
-Operasi mulai
jam 6

24-10-2020 GDS: 193 mg/dl Terpasang PRC Tx.


(kunjungan jam labu ke-2 -insulin long
ke – 4) acting 10 unit
-Cek DL post
operasi
-Foto pedis di
radiologi
-Hubungi OK
untuk informasi
ulang
25-10-2020 GDS1: 82 mg/dl WDx: Tx.
(kunjungan jam GDS2: 92 -DM - Terapi lanjut
ke-1) mg/dL -Post-operasi - Metamizol 3x1
Hb: 9,34↓ amputasi -Boleh langsung
Hct:26,5 ↓ -Anemia makan
Leu: 29.360↑ -Ulkus -Cek GD2PP
Tro: 562.100↑ Diabetikum
Eri:3,44↓ -Nyeri akut
MCV: 76,9↓ -Sepsis
RDW-CV:18,3↑
Limfosit : 6,00
%↑
Neu:88,30↑
LED:104↑
25-10-2020 Nyeri digiti I VS Tx.
(kunjungan jam pedis dextra BP: 144/77 -insulin short
ke-2) setelah pus HR: 83 acting 10 unit
debridement RR: 20 -Infus NS 20tpm
nyeri berkurang Tax: 36 - bila kesakitan
diberi
GD2PP: 196 ekstratramadol
mg/dL 50 mg iv + 50
mg drip
-Posisi supinasi
12 jam
26-10-2020 Lemas KU cukup Ketidakstabilan Tx.
(kunjungan jam GCS 456 gula darah Prioritas:
ke-1) Compos Mentis menstabilkan
VS gula darah
BP : 169/78
HR: 84x/menit
RR: 20
Tax: 36

GDS: 148
mg/dL
26-10-2020 Luka dikaki -KU sedang -Ulkus Tx.
(kunjungan jam kanan - VS stabil diabetikum -rawat luka
ke-2) -GD1: 148 digiti 1 pedis dengan dokter
mg/dL dextra penanggung
- GDA: 212 -cellulitis jawab pelayanan
mg/dl -amputated -infus NS 20
digiti 1 pedis tpm
dextra -insulin short
-Sepsis acting 6 unit

Planning
Diagnostic
-USG Abdomen
untuk
mengidentifikasi
DDx berupa
CKD
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Diabetes Mellitus tipe II


Definisi
Diabetes tipe 2 adalah jenis yang paling umum dari diabetes lainnya. Biasanya terjadi
pada orang dewasa, tetapi saat ini semakin terlihat pada anakanak dan remaja. Pada diabetes
tipe 2, tubuh mampu memproduksi insulin tetapi tubuh tidak mampu memanfaatkannya
secara efisien sehingga terjadi resisten insulin. Resistensi insulin dan defisiensi menyebabkan
tingginya kadar glukosa darah.

Patofisiologi
Proses pencernaan dan pengolahan bahan makanan dimulai di mulut kemudian ke
lambung dan selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan makanan dipecah menjadi
bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino dan
lemak menjadi asam lemak. Didalam tubuh, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui
proses metabolisme, dan hasil akhirnya timbulnya energi. Insulin bertugas memasukkan
glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar.
Insulin memainkan peranan sebagai transportasi untuk menghantar glukosa memasuki
ke dalam sel-sel. Tanpa insulin, sel-sel akan kekurangan glukosa untuk digunakan sebagai
sumber energi meskipun adanya glukosa di dalam aliran darah. Akhirnya, glukosa yang lebih
ini atau glukosa yang tidak digunakan ini akan diekskresikan dalam urin.
Selain membantu glukosa memasuki sel-sel, insulin juga penting dalam mengatur
tingkat glukosa dalam darah. Setelah makan, kadar glukosa darah akan meningkat, untuk
mengatasi peningkatan kadar glukosa, pankreas biasanya melepaskan lebih banyak insulin ke
dalam aliran darah untuk membantu glukosa memasuki sel-sel dan menurunkan kadar
glukosa darah setelah makan. Ketika kadar glukosa darah diturunkan, maka pelepasan insulin
dari pankreas dihentikan. Dalam DM tipe II, pasien dapat memproduksi insulin, tetapi tidak
dapat menggunakannya secara adekuat, terutama pada pasien yang mengalami resistensi
insulin.

Gambaran Klinis
Diabetes Mellitus sering muncul tanpa gejala. Berdasarkan PERKENI (2011),
kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat gejala klasik DM seperti dibawah ini:
a. Gejala klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
b. b. Gejala lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi
ereksi pada pria serta pruritas vulvae pada wanita.

Diagnosis
Diagnosis diabetes mellitus ditegakkan berdasarkan hasil identifikasi adanya
hiperglikemia kronik. World Health Organization (WHO) dan American Diabetes
Association (ADA) telah menetapkan bahwa diabetes diindikasikan bila nilai glukosa plasma
puasa (fasting plasma glucose, FPG) lebih atau sama dengan 7 mmol/L. Hal ini berawal dari
hasil studi epidemiologi tahun 1990-an yang menunjukkan bahwa risiko komplikasi
mikrovaskuler (seperti retinopati) meningkat secara drastis dengan nilai ambang FPG 7
mmol/L. Satu bukti bahwa diagnostik diabetes ditegakkan dari nilai HbAIC >6,5% (48
mmol/mol) dapat dilihat dari retinopati moderat, yang dalam penelitian terkini angkanya
jarang berada dibawah nilai ambang tersebut.
Menurut American Diabetes Association (2015) terdapat beberapa cara untuk
mendiagnosis diabetes, yaitu:
a. HbA1C ≥6,5%
b. Kadar glukosa puasa plasma acak (sewaktu-waktu) ≥200 mg/dL pada individu yang
memiliki gejala khas diabetes
c. Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL)
d. Kadar glukosa plasma ≥200 mg/dL) 2 jam setelah glukosa diberikan sebanyak 75 g per
oral (oral glucosa tolerance test, OGTT).
Glukosa darah diikat pada molekul hemoglobin (Hb). Ini disebut HbA1c, yang
merupakan singkatan dari Glycolated Hemoglobin atau Glycosylated Hemoglobin dan sering
juga disebut Glycohemoglobin atau A1c.
Manfaat HbA1c selama ini lebih banyak dikenal untuk menilai kualitas pengendalian
glikemik jangka panjang dan menilai efektivitas terapi, namun beberapa studi terbaru
mendukung pemanfaatan HbA1c yang lebih luas, bukan hanya untuk pemantauan, tetapi juga
bermanfaat dalam diagnosis ataupun skrining diabetes melitus tipe 2. Hemoglobin A1c telah
digunakan secara luas sebagai indikator kontrol glikemik, karena mencerminkan konsentrasi
glukosa darah 1-2 bulan sebelum pemeriksaan dan tidak dipengaruhi oleh diet sebelum
pengambilan sampel darah.
Pada beberapa keadaan, HbA1c tidak dapat mencerminkan kontrol glukosa darah. Hal
ini penting diketahui karena dapat menyebabkan under atau over treatment. Yang dapat
meningkatkan kadar HbA1c dari nilai sebenarnya adalah: anemia defisiensi besi, usia,
polisitemia rubra vera, kehamilan trimester kedua, kadar ureum darah yang tinggi, HbF atau
HbG, hipertrigliseridemia berat, hiperbilirubinemia, konsumsi alkohol berlebihan,
splenektomi, anemia aplastik, penggunaan salisilat dosis tinggi dalam jangka panjang.
Kebanyakan negara tidak mempunyai kebijakan skrining yang sistematik untuk
diabetes sehingga diperkirakan hingga 50% pasien diabetes tidak terdiagnosis. Skrining
sewaktu-waktu terhadap kelompok risiko tinggi menjadi lebih sering dilakukan. Pengukuran
glukosa plasma puasa atau FPG murah dan cepat, namun tidak dapat digunakan untuk
penderita hiperglikemia pascaterapi yang diisolasi. Nantinya, HbA1C akan semakin banyak
digunakan untuk skrining dan diagnosis. Kebijakan skrining sebaiknya ditargetkan untuk
kelompok risioko tinggi.
Pasien risiko tinggi yang sebaiknya di skrining per tahun untuk diabetes tipe 2 yaitu:
a. Sindrom metabolik
b. Pasien berusia lebih dari 45 tahun, terutama pasien obesitas
c. Pasien yang memiliki orang tua atau saudara kandung yang menderita DM tipe 2
d. Pasien yang mempunyai faktor risiko kardiovaskuler, seperti hipertensi atau dislipedemia,
dan pasien penyakit aterosklerosis
e. Wanita yang pernah menderita diabetes gestasional
f. Wanita yang menderita sindrom ovarium polikistik
g. Pasien IFG (Impaired Fasting Glicaemia) atau IGT (Impaired Glucose Tolerance).

Komplikasi
Diabetes mellitus yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan komplikasi
akut dan kronis. Komplikasi akut termasuk hipoglikemia, hiperglikemia, Ketoasidosis
Diabetik (KAD) dan Status Hiperglikemik Hiperosmolar (HHS). Selain komplikasi akut,
pada penyandang DM dapat terjadi komplikasi kronik, yaitu komplikasi yang terjadi pada
semua tingkat sel dan semua tingkat anatomik. Manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi
pada tingkat pembuluh darah kecil (mikrovaskular) berupa kelainan pada retina mata,
glomerulus ginjal, syaraf dan pada otot jantung (kardiomiopati). Pada pembuluh darah besar,
manifestasi komplikasi kronik DM dapat terjadi pada pembuluh darah serebral, jantung
(penyakit jantung koroner) dan pembuluh darah perifer (tungkai bawah).
Komplikasi lain DM dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi dengan akibat
mudahnya terjadi infeksi saluran kemih, tuberkolosis paru dan infeksi kaki, yang kemudian
dapat berkembang menjadi ulkus atau ganggren diabetes. Kaki diabetes merupakan salah satu
komplikasi DM yang paling ditakuti karena sering berakhir dengan kecacatan dan kematian.
3.2. Diabetic Foot
Definisi
Kaki diabetik adalah infeksi, ulserasi, dan atau destruksi jaringan ikat dalam yang
berhubungan dengan neuropati dan penyakit vaskuler perifer pada tungkai bawah, selain itu
ada juga yang mendefinisikan sebagai kelainan tungkai kaki bawah akibat diabetes melitus
yang tidak terkendali dengan baik yang disebabkan oleh gangguan pembuluh darah,
gangguan persyarafan dan infeksi7.
Ulkus kaki diabetik merupakan kelainan atau luka yang kompleks pada pasien DM
yang dapat mengakibatkan amputasi ekstremitas bawah, sehingga membutuhkan penanganan
yang terbaik8.

Klasifikasi
Klasifikasi ulkus kaki diabetik diperlukan untuk berbagai tujuan, diantaranya yaitu
untuk mengetahui gambaran lesi agar dapat dipelajari lebih dalam tentang bagaimana
gambaran dan kondisi luka yang terjadi. Terdapat beberapa klasifikasi luka yang sering
dipakai untuk mengklasifikasikan luka diabetes dalam penelitian-penelitian terbaru,
diantaranya termasuk klasifikasi Kings College Hospital, University of Texas klasifikasi,
klasifikasi PEDIS, dll. Tetapi tedapat dua sistem klasifikasi yang paling sering digunakan,
dianggap paling cocok dan mudah digunakan yaitu klasifikasi menurut Wagner-Meggitt dan
University of Texas9.
Tabel 3.1. Klasifikasi Ulkus Kaki Berdasarkan University of Texas9

Pada Klasifikasi Wagner-Meggitt terdapat beberapa stadium:


Derajat 0 : Kulit utuh
Derajat 0 ditandai antara lain kulit tanpa ulserasi dengan satu atau lebih faktor risiko berupa
neuropati sensorik yang merupakan komponen primer penyebab ulkus, peripheral vascular
disease, kondisi kulit yaitu kulit kering dan terdapat callous (yaitu daerah yang kulitnya
menjadi hipertropik dan anastesi), terjadi deformitas berupa claw toes yaitu suatu kelainan
bentuk jari kaki yang melibatkan metatarsal phalangeal joint, proximal interphalangeal joint
dan distal interphalangeal joint. Deformitas lainnya adalah depresi caput metatarsal, depresi
caput longitudinalis dan penonjolan tulang karena arthropati charcot.
Derajat 1: Ulkus superficial
Derajat 1 terdapat tanda-tanda seperti pada grade 0 dan menunjukkan terjadinya neuropati
sensori perifer dan paling tidak satu faktor risiko seperti deformitas tulang dan mobilitas
sendi yang terbatas dengan ditandai adanya lesi kulit terbuka, yang hanya terdapat pada kulit,
dasar kulit dapat bersih atau purulen (ulkus dengan infeksi yang superfisial terbatas pada
kulit).
Derajat 2 : Ulkus dalam sampai tendon, tulang
Pasien dikategorikan masuk grade 2 apabila terdapat tanda-tanda pada grade 1 dan ditambah
dengan adanya lesi kulit yang membentuk ulkus. Dasar ulkus meluas ke tendon, tulang atau
sendi. Dasar ulkus dapat bersih atau purulen, ulkus yang lebih dalam sampai menembus
tendon dan tulang tetapi tidak terdapat infeksi yang minimal.
Derajat 3 : ulkus dalam dengan infeksi
Apabila ditemui tanda-tanda pada grade 2 ditambah dengan adanya abses yang dalam dengan
atau tanpa terbentuknya drainase dan terdapat osteomyelitis. Hal ini pada umumnya
disebabkan oleh bakteri yang agresif yang mengakibatkan jaringan menjadi nekrosis dan luka
tembus sampai ke dasar tulang, oleh karena itu diperlukan hospitalisasi/perawatan di rumah
sakit karena ulkus yang lebih dalam sampai ke tendon dan tulang serta terdapat abses dengan
atau tanpa osteomielitis.
Derajat 4 : Ulkus dengan gangren pada 1-2 jari kaki
Derajat 4 ditandai dengan adanya gangren pada satu jari atau lebih, gangren dapat pula terjadi
pada sebagian ujung kaki. Perubahan gangren pada ekstremitas bawah biasanya terjadi
dengan salah satu dari dua cara, yaitu gangren menyebabkan insufisiensi arteri. Hal ini
menyebabkan perfusi dan oksigenasi tidak adekuat. Pada awalnya mungkin terdapat suatu
area focal dari nekrosis yang apabila tidak dikoreksi akan menimbulkan peningkatan
kerusakan jaringan yang kedua yaitu adanya infeksi atau peradangan yang terus-menerus.
Dalam hal ini terjadi oklusi pada arteri digitalis sebagai dampak dari adanya edema jaringan
lokal.
Derajat 5 : Ulkus dengan gangren luas seluruh kaki
Derajat 5 ditandai dengan adanya lesi/ulkus dengan gangren-gangren diseluruh kaki atau
sebagian tungkai bawah. Sebagian besar penderita ulkus kaki diabetik datang dan rawat inap
di rumah sakit dengan kategori ulkus derajat 2, 3, 4 dan 5 (Decroli, dkk, 2008). Hal tersebut
dikarenakan pada derajat 2, 3, 4, dan 5 sudah menunjukkan tanda-tanda ulkus yang serius dan
membutuhkan perawatan yang komprehensif8.
Berdasarkan pembagian diatas, maka tindakan pengobatan atau pembedahan dapat ditentukan
sebagai berikut :
a. Derajat 0 : perawatan lokal secara khusus tidak ada
b. Derajat I-IV : pengelolaan medik dan tindakan bedah minor
c. Derajat V : tindakan bedah minor, bila gagal dilanjutkan dengan tindakan bedah mayor
(amputasi diatas lutut atau amputasi bawah lutut)7.
Klasifikasi muthakhir dianjurkan oleh International Working Group on Diabetic Foot
(klasifikasi PEDIS 2003).
P : Perfusi terganggu
1. Tidak ada gangguan perfusi
2. Ada perifer arterial disease tetapi tak kritis
3. Ishemia yang membuat perfusi kaki
kritis E : Extent in mm2 : luas yang terkena
mm2
D : Depth : jaringan yang hilang
1 : Superficial tak mencapai dermis.
2. Ulkus dalam, dibawah dermis, fascia, otot atau tendon.
3. Semua jaringan, tulang dan sendi.
I : Infeksi
1 : tak ada tanda infeksi
2 : Infeksi di kulit
3 : Eritema > 2 cm, infeksi subcutan. Tidak ada infeksi sistemik
2 : Infeksi sistemik
S : Sensasi
1. Tak ada gangguan sensasi
2. Ada gangguan sensasi
Dengan klasifikasi PEDIS akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih dominan, vaskular,
infeksi, atau neuropatik, sehingga arah pengelolaan pun dapat tertuju dengan lebih baik8 .

Epidemiologi7
Menurut laporan dari beberapa tempat di Indonesia, angka kejadian dan komplikasi
diabetes melitus cukup tersebar sehingga bisa dikatakan sebagai salah satu masalah nasional
yang harus mendapat perhatian, selain itu sampai saat ini masalah kaki diabetik kurang
mendapat perhatian sehingga masih muncul konsep dasar yang kurang tepat bagi pengelolaan
penyakit ini. Dampaknya banyak penderita yang penyakitnya berkembang menjadi penderita
osteomielitis dan amputasi pada kakinya. Pada negara maju kaki diabetik memang masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat, tetapi dengan kemajuan cara pengelolaan dan
adanya klinik kaki diabetik yang aktif maka nasib penyandang kaki diabetik menjadi lebih
baik sehingga angka kematian dan amputasi menurun 45%-85%.
Kaki diabetik merupakan penyebab tersering dilakukannya amputasi yang didasari
oleh kejadian non traumatik. Risiko amputasi 15-40 kali lebih sering pada penderita diabetes
melitus dibandingkan dengan non diabetes melitus. Kaki diabetik juga menyebabkan lama
rawat penderita diabetes melitus menjadi lebih lama.
Prevalensi penderita diabetes melitus dengan kaki diabetik di Amerika Serikat sebesar
15-20%, risiko amputasi 15-46 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penderita non diabetes
melitus. Prevalensi penderita diabetes melitus dengan kaki diabetik di negara berkembang
didapatkan jauh lebih besar dibandingkan dengan negara maju, yaitu antara 20-40%.
Prevalensi penderita diabetes melitus dengan kaki diabetik di Indonesia sekitar 15%, angka
25 mortalitas 32% dan kaki diabetik merupakan sebab perawatan rumah sakit yang terbanyak
sebesar 80% untuk diabetes melitus. Prevalensi angka kematian akibat ulkus dan gangren
berkisar 17-23%, sedangkan angka amputasi berkisar 15-30%. Angka kematian 1 (satu) tahun
pasca amputasi sebesar 14,8%. Jumlah itu meningkat pada tahun ketiga menjadi 37%,
ratarata umur pasien hanya 23,8 bulan pasca amputasi.

Faktor Risiko7,10
Faktor risiko terjadi ulkus diabetikum pada penderita penyakit DM adalah:
a. Jenis kelamin
Laki-laki menjadi faktor predominan berhubungan dengan terjadinya ulkus. Menurut
Prastica dkk pasien ulkus diabetikum yang diteliti di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang
adalah laki-laki (56,3%). Penyebab perbedaan prevalensi kaki diabetik diantara pria
dan wanita dalam penelitian lainnya mengenai kaki diabetik dengan ulkus neuropati
dan neuroiskemik antara lain dapat disebabkan oleh beberapa alasan yaitu: faktor
hormonal (adanya hormon estrogen pada wanita yang dapat mencegah komplikasi
vaskuler yang berkurang seiring bertambahnya usia), perbedaan kebiasaan hidup
seperti kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol pada laki-laki.
b. Usia
Penelitian di Amerika Serikat yang melaporkan bahwa persentase kaki diabetik paling
tinggi pada usia ≥45 tahun, seperti diketahui usia lanjut biasanya memiliki
keterbatasan gerak, penglihatan yang buruk dan masalah penyakit yang lain. Tubuh
mengalami banyak perubahan terutama pada organ pankreas yang memproduksi
insulin dalam darah pada usia ≥45 tahun, kejadian kaki diabetik sangat tinggi pada
usia ini karena fungsi tubuh secara fisiologis menurun.
c. Lama Penyakit Diabetes Melitus (DM)
Lamanya durasi DM menyebabkan keadaan hiperglikemia yang lama. Keadaan
hiperglikemia yang terus menerus menginisiasi terjadinya hiperglisolia yaitu keadaan
sel yang kebanjiran glukosa. Hiperglosia kronik akan mengubah homeostasis
biokimiawi sel tersebut yang kemudian berpotensi untuk terjadinya perubahan dasar
terbentuknya komplikasi kronik DM. Seratus pasien penyakit DM dengan ulkus
diabetikum, ditemukan 58% adalah pasien penyakit DM yang telah menderita
penyakit DM lebih dari 10 tahun. Hasil analisis regression kepada semua pasien rawat
jalan di klinik penyakit dalam Veteran Affairs, Washington menyimpulkan bahwa
rerata lama pasien penyakit DM ulkus diabetikum sebanyak 162 orang adalah 11.40
tahun dengan RR 1.18 (95% CI).
d. Neuropati
Neuropati menyebabkan gangguan saraf motorik, sensorik dan otonom. Gangguan
motorik menyebabkan atrofi otot, deformitas kaki, perubahan biomekanika kaki dan
distribusi tekanan kaki terganggu sehingga menyebabkan kejadian ulkus meningkat.
Gangguan sensorik disadari saat pasien mengeluhkan kaki kehilangan sensasi atau
merasa kebas. Rasa kebas menyebabkan trauma yang terjadi pada pasien penyakit
DM sering kali tidak diketahui. Gangguan otonom menyebabkan bagian kaki
mengalami penurunan ekskresi keringat sehingga kulit kaki menjadi kering dan
mudah terbentuk fissura. Saat terjadi mikrotrauma keadaan kaki yang mudah retak
meningkatkan risiko terjadinya ulkus diabetikum. Menurut Boulton AJ pasien
penyakit DM dengan neuropati meningkatkan risiko terjadinya ulkus diabetikum tujuh
kali dibanding dengan pasien penyakit DM tidak neuropati.
e. Peripheral Artery Disease
Penyakit arteri perifer adalah penyakit penyumbatan arteri di ektremitas bawah yang
disebakan oleh atherosklerosis. Gejala klinis yang sering ditemui pada pasien PAD
adalah klaudikasio intermitten yang disebabkan oleh iskemia otot dan iskemia yang
menimbulkan nyeri saat istirahat. Iskemia berat akan mencapai klimaks sebagai
ulserasi dan gangren. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan untuk deteksi
PAD adalah dengan menilai Ankle Brachial Indeks (ABI) yaitu pemeriksaan sistolik
brachial tangan kiri dan kanan kemudian nilai sistolik yang paling tinggi
dibandingkan dengan nilai sistolik yang paling tinggi di tungkai. Nilai normalnya
dalah 0,9 - 1,3. Nilai dibawah 0,9 itu diindikasikan bawah pasien penderita DM
memiliki penyakit arteri perifer.
f. Riwayat ulserasi pada kaki
Riwayat ulserasi yang ditandai dengan luka terbuka pada permukaan kulit, nekrosis
jaringan karena gangguan peredaran darah ke organ perifer ditandai dengan
menurunnya pulsasi arteri dorsalis pedis dan neuropati ditandai dengan menurunnya
sensasi rasa pada penderita diabetes melitus tipe 2. Beberapa penelitian mempunyai
hasil yang sama bahwa riwayat kaki diabetik sebelumnya mempunyai faktor risiko
terhadap kaki diabetik. Ini didukung oleh hasil penelitian dimana masingmasing
dengan RR 1,6 dan p= 0,003.
g. Riwayat trauma pada kaki
h. Perawatan kaki
Edukasi perawatan kaki harus diberikan secara rinci pada semua orang dengan ulkus
maupun neuropati perifer atau peripheral Artery disease (PAD). Menurut penelitian
Purwanti OK perawatan kaki terdiri dari perawatan perawatan kaki setiap hari,
perawatan kaki reguler, mencegah injuri pada kaki, dan meningkatkan sirkulasi.

Patofisiologi
Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang
menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik
sensorik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit
dan otot, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak
kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap
infeksi menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah
yang kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes. Gangguan
neuropati dan vaskular merupakan faktor utama yang berkonstribusi terhadap kejadian luka,
luka yang terjadi pada pasien diabetes berkaitan dengan adanya pengaruh saraf yang terdapat
pada kaki yang dikenal dengan nuropati perifer, selain itu pada pasien diabetes juga
mengalami gangguan sirkulasi, gangguan sirkulasi ini berhubungan dengan peripheral
vascular diseases. Efek dari sirkulasi inilah yang mengakibatkan kerusakan pada saraf-saraf
kaki8,9.
Neuropati motorik menyebabkan atrofi otot, deformitas kaki, perubahan biomekanik
dan redistribusi tekanan pada kaki yang semuanya dapat mengarah pada ulkus. Neuropati
sensorik memengaruhi dan ketidak nyamanan, yang menunjang kearah trauma berulang pada
kaki. Saraf otonom yang rusak menyebabkan penurunan pengeluaran keringat sehingga kulit
menjadi kering dan pecah-pecah disertai fisura yang akibatnya dapat menjadi pintu masuk
bakteri yang akhirnya menyebabkan infeksi yang menyebar. Kerusakan persarafan simpatis
pada kaki menimbulkan taut (shunting) arteriovenosa dan distensi vena. Kondisi tersebut
memintas bantalan kapiler pada area yang terkena dan dapat menghambat suplai nutrisi serta
oksigen. Penyakit mikrovaskular dapat juga mengganggu suplai nutrisi oleh darah kejaringan
kaki8.

Gambar 3.1. Mekanisme Diabetic Foot7

Gambaran Klinis7
Tanda dan gejala kaki diabetes melitus seperti sering kesemutan, nyeri pada kaki saat
istirahat, sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan denyut nadi arteri
dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal serta kulit
kering.

Penegakan Diagnosa8
Diagnosis kaki diabetik harus dilakukan secara teliti. Diagnosis kaki diabetik
ditegakkan oleh riwayat kesehatan pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang.
a. Riwayat kesehatan pasien dan keluarga meliputi : lama diabetes; managemen diabetes
dan kepatuhan terhadap diet, olahraga dan obat-obatan; evaluasi dari jantung, ginjal
dan mata; alergi; pola hidup, medikasi terakhir; kebiasaan merokok dan minum
alkohol. Selain itu, yang perlu diwawancara adalah tentang pemakaian alas kaki,
pernah terekspos dengan zat kimia,
adanya kallus dan deformitas, gejala neuropati dan gejala iskemia, riwayat luka atau
ulkus. Pengkajian pernah adanya luka dan ulkus meliputi lokasi, durasi, ukuran, dan
kedalaman, penampakan ulkus, temperatur dan bau.
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi meliputi kulit dan otot. Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti warna,
turgor kulit, pecah-pecah; berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi; ada kalus atau
bula; bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi pada otot seperti sikap dan
postur dari tungkai kaki; deformitas pada kaki membentuk clawtoe atau charcot
joint; keterbatasan gerak sendi; tendon; cara berjalan; kekuatan kaki.
2) Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilamen ditambah dengan
tunningfork 128-Hz, pinprick sensation, reflek kaki untuk mengukur getaran,
tekanan dan sensasi.
3) Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut nadi pada arteri
kaki, capillary refiling time, perubahan warna, atropi kuit dan kuku dan
pengukuran ankle- brankhial index
4) Pengukuran alas kaki meliputi bentuk alas kaki yang sesuai dan nyaman, tipe
sepatu dan ukurannya.

c. Pemeriksaan laboratorium dibutuhkan untuk mengetahui status klinis pasien, yaitu:


pemeriksaan glukosa darah baik glukosa darah puasa atau sewaktu, glycohemoglobin
(HbA1c), Complete blood Count (CBC), urinalisis, dan lain-lain.
d. Pemeriksaan penunjang meliputi X-ray, EMG dan pemeriksaan laboratorium untuk
mengetahui apakah ulkus diabetika menjadi infeksi dan menentukan kuman
penyebabnya.
Tatalaksana9,11
Tujuan utama pengelolaan diabetic foot/ulkus kaki diabetik (UKD) yaitu untuk
mengakses proses kearah penyembuhan luka secepat mungkin karena perbaikan dari ulkus
kaki dapat menurunkan kemungkinan terjadinya amputasi dan kematian pasien diabetes.
Secara umum pengelolaan UKD meliputi penanganan iskemia, debridemen, penanganan
luka, menurunkan tekanan plantar pedis (off-loading), penanganan bedah, penanganan
komorbiditas dan menurunkan risiko kekambuhan serta pengelolaan infeksi. Manajemen
perawatan ulkus kaki diabetik harus meliputi: mengatasi penyakit penyerta, revaskularisasi,
perawatan luka dan pemilihan dressing yang tepat. Beberapa terapi tambahan yang dapat
mempercepat proses penyembuhan luka akhir-akhir ini sedang berkembang diantaranya:
Living Skin Equivalents (LSEs), Hyperbaric Oxygen Therapy (HBOT), Negative Pressure
Wound Therapy (NPWT),
Platelet-rich plasma, Gene therapy, Extracorporeal shock-wavetherapy, Laser therapy,
Angiotension II analog, dan Terapi Lactoferrin.
a. Penanganan iskemia
Perfusi arteri merupakan hal penting dalam proses penyembuhan dan harus dinilai
awal pada pasien UKD. Penilaian kompetensi vaskular pedis pada UKD seringkali
memerlukan bantuan pemeriksaan penunjang seperti MRI angiogram, doppler
maupun angiografi. Pemeriksaan sederhana seperti perabaan pulsasi arteri poplitea,
tibialis posterior dan dorsalis pedis dapat dilakukan pada kasus UKD kecil yang tidak
disertai edema ataupun selulitis yang luas. Ulkus atau gangren kaki tidak akan sembuh
bahkan dapat menyerang tempat lain di kemudian hari bila penyempitan pembuluh
darah kaki tidak diatasi. Bila pemeriksaan kompetensi vaskular menunjukkan adanya
penyumbatan, bedah vaskular rekonstruktif dapat meningkatkan prognosis dan
selayaknya diperlukan sebelum dilakukan debridemen luas atau amputasi parsial.
Beberapa tindakan bedah vaskular yang dapat dilakukan antara lain angioplasti
transluminal perkutaneus (ATP), tromboarterektomi dan bedah pintas terbuka (by
pass). Berdasarkan penelitian, revaskularisasi agresif pada tungkai yang mengalami
iskemia dapat menghindarkan amputasi dalam periode tiga tahun sebesar 98%. Bedah
bypass dilaporkan efektif untuk jangka panjang. Kesintasan (survival rate) dari
ekstremitas bawah dalam 10 tahun pada mereka yang memakai prosedur bedah bypass
lebih dari 90%. Penggunaan antiplatelet ditujukan terhadap keadaan insufisiensi arteri
perifer untuk memperlambat progresifitas sumbatan dan kebutuhan rekonstruksi
pembuluh darah.
b. Debridemen
Debridemen merupakan upaya untuk membersihkan semua jaringan nekrotik, karena
luka tidak akan sembuh bila masih terdapat jaringan nonviable, debris dan fistula.
Tindakan debridemen juga dapat menghilangkan koloni bakteri pada luka.Saat ini
terdapat beberapa jenis debridemen yaitu autolitik, enzimatik, mekanik, biologik dan
tajam. Debridemen dilakukan terhadap semua jaringan lunak dan tulang yang
nonviable. Tujuan debridemen yaitu untuk mengevakuasi jaringan yang
terkontaminasi bakteri, mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat
penyembuhan, menghilangkan jaringan kalus serta mengurangi risiko infeksi lokal.
Debridemen yang teratur dan dilakukan secara terjadwal akan memelihara ulkus tetap
bersih dan merangsang terbentuknya jaringan granulasi sehat sehingga dapat
mempercepat proses penyembuhan ulkus.
c. Perawatan luka
Prinsip perawatan luka yaitu menciptakan lingkungan moist wound healing atau
menjaga agar luka senantiasa dalam keadaan lembab. Bila ulkus memroduksi sekret
banyak maka untuk pembalut (dressing) digunakan yang bersifat absorben.
Sebaliknya bila ulkus kering maka digunakan pembalut yang mampu melembabkan
ulkus. Bila ulkus cukup lembab, maka dipilih
pembalut ulkus yang dapat mempertahankan kelembaban. Disamping bertujuan untuk
menjaga kelembaban, penggunaan pembalut juga selayaknya mempertimbangkan
ukuran, kedalaman dan lokasi ulkus. Untuk pembalut ulkus dapat digunakan pembalut
konvensional yaitu kasa steril yang dilembabkan dengan NaCl 0,9% maupun
pembalut modern yang tersedia saat ini. Beberapa jenis pembalut modern yang sering
dipakai dalam perawatan luka, seperti: hydrocolloid, hydrogel, calcium alginate, foam
dan sebagainya. Pemilihan pembalut yang akan digunakan hendaknya senantiasa
mempertimbangkan cost effective dan kemampuan ekonomi pasien.
d. Menurunkan tekanan pada plantar pedis (off-loading)
Tindakan off-loading merupakan salah satu prinsip utama dalam penatalaksanaan
ulkus kronik dengan dasar neuropati. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi
tekanan pada telapak kaki. Tindakan offloading dapat dilakukan secara parsial
maupun total. Mengurangi tekanan pada ulkus neuropati dapat mengurangi trauma
dan mempercepat proses penyembuhan luka. Kaki yang mengalami ulkus harus
sedapat mungkin dibebaskan dari penekanan. Sepatu pasien harus dimodifikasi sesuai
dengan bentuk kaki dan lokasi ulkus. Metode yang dipilih untuk off-loading
tergantung dari karakteristik fisik pasien, lokasi luka, derajat keparahan dan ketaatan
pasien. Beberapa metode off loading antara lain: total non-weight bearing, total
contact cast, foot cast dan boots, sepatu yang dimodifikasi (half shoe, wedge shoe),
serta alat penyanggah tubuh seperti cruthes dan walker.
e. Penanganan bedah: amputasi atau debridemen jaringan nekrotik.
f. Mencegah kambuhnya ulkus
Pencegahan dianggap sebagai elemen kunci dalam menghindari amputasi kaki. Pasien
diajarkan untuk memperhatikan kebersihan kaki, memeriksa kaki setiap hari,
menggunakan alas kaki yang tepat, mengobati segera jika terdapat luka, pemeriksaan
rutin ke podiatri, termasuk debridemen pada kapalan dan kuku kaki yang tumbuh ke
dalam. Sepatu dengan sol yang mengurangi tekanan kaki dan kotak yang melindungi
kaki berisiko tinggi merupakan elemen penting dari program pencegahan.
g. Pengelolaan infeksi
Infeksi pada UKD merupakan faktor pemberat yang turut menentukan derajat
agresifitas tindakan yang diperlukan dalam pengelolaan UKD. Dilain pihak infeksi
pada UKD mempunyai permasalahan sendiri dengan adanya berbagai risiko seperti
status lokalis maupun sistemik yang imunocompromised pada pasien DM, resistensi
mikroba terhadap antibiotik, dan jenis mikroba yang adakalanya memerlukan
antibiotik spesifik yang mahal dan berkepanjangan. Dasar utama pemilihan antibiotik
dalam penatalaksanaa UKD yaitu berdasarkan hasil kultur sekret dan sensitivitas sel.
Cara pengambilan dan penanganan sampel berpengaruh besar terhadap ketepatan hasil
kultur kuman. Apabila hasil kultur belum ada, maka yang dilakukan di lapangan
adalah pemberian antibiotik triple blind therapy yang terdiri atas Ceftriaxone,
Ciprofloxacin, dan Metronidazole. Kombinasi ini dimaksudkan sebagai antibiotik
spektrum luas, yang dapat mencegah berkembangnya bakteri gram positif, gram
negatif, maupun bakteri anaerob. Terapi ini bersifat agresif sebab pada penderita kaki
diabetik terdapat vaskulopati dan hiperglikemi yang merupakan lingkungan kondusif
bagi bakteri untuk berkembang biak dan memperlambat sembuhnya luka.Telah
dilaporkan bahwa terdapat perbedaan jenis kuman yang didapat pada bahan sekret
yang diambil superfisial dengan yang deep swab.
Infeksi disebut mengancam bila UKD berupa ulkus yang dalam sampai mengenai
tulang dengan selulitis yang lebih dari 2 cm dan/atau disertai gambaran klinis infeksi
sistemik berupa demam, edema, limfangitis, hiperglikemia, leukositosis dan iskemia.
Perlu diperhatikan, tidak semua pasien diabetes dengan infeksi yang relatif berat akan
menunjukkan tanda dan gejala sistemik seperti tersebut diatas. Jika ulkus mencapai
tulang atau sendi, kemungkinan besar akan terjadi osteomyelitis.
Pasien dengan infeksi yang mengancam ekstremitas harus dirawat di rumah sakit
untuk manajemen yang tepat. Debridemen dilakukan sejak awal dengan tetap
memperhitungkan ada/tidaknya kompetensi vaskular tungkai. Jaringan yang diambil
dari luka dikirim untuk kultur. Tindakan ini mungkin perlu dilakukan berulang untuk
mengendalikan infeksi. Terapi empiris untuk infeksi berat harus berspektrum luas dan
diberikan secara intravena dengan mempertimbangkan faktor lain seperti biaya,
toleransi pasien, alergi, potensi efek yang merugikan ginjal atau hati, kemudahan
pemberian dan pola resistensi antibiotik setempat. Infeksi kronik dan berat yang
mengancam tungkai umumnya disebabkan oleh infeksi polimikroba yang mencakup
organisme aerob gram positif dan negatif serta anaerob. Pseudomonas sering
diperoleh dari isolasi luka yang menggunakan pembalutan basah; enterokokus
umumnya dibiakkan dari pasien yang sebelumnya telah diterapi sefalosporin; kuman
anaerob sering ditemukan pada luka dengan keterlibatan jaringan yang dalam dan
nekrosis; dan methicillin-resistant Staphylococcy aureus (MRSA) sering diperoleh
pada pasien yang sebelumnya pernah di rawat inap atau diberikan terapi
antibiotika.Bila terjadi infeksi berulang meskipun terapi antibiotik tetap diberikan,
perlu dilakukan kultur ulang jaringan untuk menyingkirkan infeksi superimposed.
Lamanya pemberian antibiotik tergantung pada gejala klinis, luas dan dalamnya
jaringan yang terkena serta beratnya infeksi. Pada infeksi ringan sampai sedang
antibiotik dapat diberikan 1-
2 minggu, sedangkan pada infeksi yang lebih berat antibiotik diberikan 2-4 minggu.
Debridemen yang adekuat, reseksi atau amputasi jaringan nekrosis dapat
mempersingkat waktu pemberian antibiotik. Pada kasus osteomielitis, jika tulang
terinfeksi tidak dievakuasi, maka antibiotik harus diberikan selama 6-8 minggu,
bahkan beberapa literatur menganjurkan sampai 6 bulan. Jika semua tulang yang
terinfeksi dievakuasi, antibiotik dapat diberikan lebih singkat, yaitu 1-2 minggu dan
ditujukan untuk infeksi jaringan lunak.
3.3. Anemia
Anemia adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan jumlah absolut sel darah merah yang
beredar atau suatu kondisi di mana jumlah sel darah tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan fisiologis. Pada tingkat populasi dan dalam praktek klinis, konsentrasi Hb adalah
metode penilaian hematologi yang paling umum digunakan dan indikator yang paling umum
digunakan untuk menentukan anemia. Peran penting Hb untuk membawa oksigen ke jaringan
menjelaskan gejala klinis yang paling umum dari anemia, yang meliputi kelelahan, sesak
napas, denyut nadi atau palpitasi, dan pucat konjungtiva dan palmar. Tanda-tanda klinis dan
riwayat medis digunakan untuk mendiagnosis anemia ketika data hematologi tidak tersedia,
tetapi kemampuannya terbatas untuk mendeteksi anemia. Efek negatif pada kesehatan dan
perkembangan hasil dari anemia timbul dari dampak penurunan pengiriman oksigen ke
jaringan (di mana banyak sistem organ mungkin terpengaruh), serta efek yang terkait dengan
penyebab yang mendasari anemia, yang sulit diuraikan. Misalnya, pada anemia defisiensi
besi (IDA), penurunan ketersediaan zat besi memiliki efek negatif pada perkembangan dan
fungsi otak .
Kadar hb untudk diagnostidk anemia :

Batas Hb WHO untuk anemia diterapkan secara luas secara global dan berdasarkan jenis
kelamin, usia, dan kehamilan. Batas ini pertama kali ditetapkan pada tahun 1968 oleh
kelompok studi anemia gizi di WHO menggunakan batas statistik daripada ambang batas
yang terkait dengan kesehatan yang berarti. Kategori dimodifikasi menjadi pembagian usia
tambahan di antara anak-anak, penyesuaian untuk anak-anak dalam kelompok usia 5-11
berdasarkan data anak-anak yang tidak kekurangan zat besi dari Amerika Serikat, dan
pembuatan kategori "ringan , ”Anemia“ sedang, ”dan“ berat ”. Pemutusan juga didukung oleh
temuan di antara peserta Survei Pemeriksaan Kesehatan dan Gizi Nasional Kedua (NHANES
II) yang tidak kekurangan zat besi.
PENYEBAB ANEMIA
Pada tingkat biologis, anemia berkembang karena ketidakseimbangan kehilangan eritrosit
relatif terhadap produksi, hal ini dapat disebabkan oleh eritropoiesis yang tidak efektif atau
kurang (misalnya, dari kekurangan nutrisi, peradangan, atau kelainan Hb genetik) dan
kehilangan eritrosit yang berlebihan (karena hemolisis, kehilangan darah, atau keduanya).
Anemia sering diklasifikasikan berdasarkan mekanisme biologis penyebabnya (misalnya,
IDA, anemia hemolitik, anemia inflamasi (AI) dan morfologi RBC.
Tabel (2)
Tabel (2) menampilkan daftar parsial dari beberapa anemia umum dan mekanisme biologis
yang dengannya mereka berkembang dan parameter RBC yang digunakan untuk
membedakannya satu sama lain.Kebanyakan anemia memiliki penampilan RBC yang khas,
yang dapat memberikan wawasan untuk diagnosis anemia . Namun, seperti yang ditunjukkan
Tabel (2), beberapa faktor dapat menyebabkan jenis morfologi sel darah merah yang serupa.
Selain itu, karena anemia dapat memiliki banyak penyebab, bahkan pada individu yang sama,
manifestasi hematologis dari penyebab tertentu dapat disamarkan oleh penyebab lain.
Misalnya, ciri anemia yang disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 atau folat adalah
anemia makrositik. Meskipun ada indeks dalam praktik klinis untuk membedakan etiologi
anemia berdasarkan parameter RBC (misalnya, IDA versus β-thalassemia — keduanya
menyebabkan hipokromia dan mikrositosis).
KLASIFIKASI ANEMIA BERDASARKAN PENYEBABNYA
A. ANEMIA KARENA DEFISIENSI NUTRISI
Anemia defisiensi nutrisi terjadi ketika konsentrasi nutrisi hematopoietik yang terlibat dalam
produksi atau pemeliharaan sel darah merah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Penyebab defisiensi nutrisi termasuk asupan makanan yang tidak memadai,
peningkatan kehilangan nutrisi (misalnya kehilangan darah dari parasit, perdarahan yang
terkait dengan persalinan, atau kehilangan menstruasi yang banyak), gangguan absorpsi
(misalnya, kurangnya faktor intrinsik untuk membantu penyerapan vitamin B12, asupan
tinggi fitat, atau infeksi Helicobacter pylori yang mengganggu penyerapan zat besi), atau
perubahan metabolisme nutrisi (misalnya kekurangan vitamin A atau riboflavin yang
mempengaruhi mobilisasi toko besi).
1. defisiensi FE
2. defisiensi vitamin A
3. defisiensi vitamin B (B12, riboflavin, dan folat)
B. ANEMIA KARENA INFEKSI DAN INFLAMASI
Banyak penyakit yang terkait dengan anemia melalui berbagai mekanisme, termasuk efek
spesifik penyakit pada kehilangan darah, hemolisis atau eritropoiesis, dan melalui efek
peradangan pada metabolisme zat besi. Adanya jumlah retikulosit rendah yang tidak tepat
untuk derajat anemia digunakan secara klinis untuk menunjukkan kondisi akibat defisiensi
nutrisi, penurunan kadar eritropoietin, anemia aplastik, atau sindrom kegagalan sumsum
tulang yang diturunkan. Dalam analisis global beban anemia antara tahun 1990 dan 2010,
cacing tambang, schistosomiasis, dan malaria merupakan tiga penyebab utama anemia. Di
bawah ini,
kami menjelaskan anemia inflamasi serta mekanisme spesifik untuk beberapa penyakit utama
yang terkait dengan anemia dan lazim di LMICs.
1.anemia karena inflamasi
Anemia penyakit kronis atau anemia inflamsi umumnya normositik dengan jumlah retikulosit
rendah dan ditandai menjadi ringan hingga sedang (konsentrasi Hb 8-10 g / L) .Dalam
anemia inflamasi, sitokin proinflamasi dilepaskan dalam respons pertahanan tubuh terhadap
infeksi (IL
-6 khususnya , tetapi sitokin lain juga terlibat) mengubah metabolisme zat besi sehingga zat
besi diasingkan di dalam sel sistem retikuloendotelial (hati dan limpa) dan enterosit usus, dan
produksi sel darah merah serta masa hidup berkurang. Efeknya pada Metabolisme besi
dimediasi oleh hepcidin sehingga sitokin inflamasi meningkatkan produksinya, yang
menurunkan regulasi ekspresi ferroportin dalam enterosit usus, makrofag, dan hepatosit,
sehingga menghalangi absorpsi besi dan mobilisasi besi dari penyimpanan ke sirkulasi.
Sitokin inflamasi juga berkontribusi untuk memperpendek masa hidup RBC (berpotensi
dengan mengaktifkan makrofag), serta mengganggu produksi dan fungsi EPO dan
menghambat eritrosit normal. proliferasi dan diferensiasi sel progenitor tiroid.
2.Anemia karena tuberculosis
3. Anemia karena HIV
4. Anemia karena malaria
5. Anemia karena schistosomiasis
C. ANEMIA KARENA GENETIK
Secara global, diperkirakan 330.000 anak lahir setiap tahun dengan kelainan Hb bawaan yang
serius (83% dengan anemia sel sabit atau salah satu variannya; 17% dengan bentuk talasemia)
dan sekitar 80% dari kelahiran ini terjadi di LMIC. Secara kasar, 5% dari populasi global
diperkirakan membawa varian Hb yang signifikan (misalnya, varian gen yang dapat
menyebabkan gangguan serius termasuk penyakit sel sabit atau bentuk talasemia);
persentasenya jauh lebih tinggi di Afrika (18%) dan Asia (7%). 31 Gangguan sel sabit (SCD),
yang berhubungan dengan anemia hemolitik kronis, adalah kelainan Hb genetik yang paling
umum ditemukan terutama di sub-Sahara Afrika (di mana Ini adalah kelainan genetik yang
paling umum), diikuti oleh β- dan α-thalassemia, terkonsentrasi di Asia Tenggara terutama.
Meskipun tidak dibahas secara rinci di sini, defisiensi G6PD adalah salah satu kelainan enzim
yang diturunkan yang paling umum pada manusia, dan distribusinya cenderung tumpang
tindih dengan daerah endemik malaria. Menanggapi pemicu tertentu — misalnya, konsumsi
kacang fava dan paparan antimalaria primaquine — anemia hemolitik akut dapat terjadi;
defisiensi G6PD diperkirakan berada dalam 35 penyebab teratas anemia secara global.
Proporsi anemia karena kelainan Hb genetik — yang saat ini merupakan penyebab anemia
yang tidak dapat diubah — di LMICs hanya diharapkan meningkat karena penyebab lain
(mis., defisiensi nutrisi dan penyakit menular) tepat er dikendalikan. Hal ini membutuhkan
pemahaman yang lebih baik tentang kontribusi kelainan darah yang diturunkan terhadap
beban anemia; studi terbaru dari Malawi menemukan bahwa 60% sampel yang dianalisis
untuk kelainan darah yang diturunkan (sel sabit, defisiensi G6PD, dan α-thalassemia) di
antara PSC dalam Survei Demografi dan Kesehatan Malawi memiliki setidaknya satu hasil
abnormal. Contohnya sickle cell disorder dan talasemia

3.4.Sepsis
Sepsis merupakan keadaan disfungsi organ karena adanya disregulasi respon tubuh
terhadap infeksi. Sepsis merupakan keadaan yang melibatkan aktivasi awal dari respon pro-
inflamasi dan anti-inflamasi tubuh. Bersamaan dengan kondisi ini, abnormalitas sirkular seperti
penurunan volume intravaskular, vasodilatasi pembuluh darah perifer, depresi miokardial, dan
peningkatan metabolisme akan menyebabkan ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen
sistemik dengan kebutuhan oksigen yang akan menyebabkan hipoksia jaringan sistemik atau
syok. Pasien syok dapat mengalami penurunan kesadaran, takikardia, penurunan kesadaran,
anuria. Syok merupakan manifestasi awal dari keadaan patologis yang mendasari. Tingkat
kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat dibutuhkan untuk mengidentifikasi tanda
awal syok dan memulai penanganan awal.
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal ini akan
memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi dan antiinflamasi, dimulai
dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan neutrofil yang berinteraksi dengan sel endotelial.
Respon tubuh selanjutnya meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular
dan disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor nekrosis faktor,
interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive oxygen species, nitrit oksida, asam
arakidonat, platelet activating factor, dan eikosanoid. Sitokin proinflamasi seperti tumor
nekrosis faktor α, interleukin-1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan
menghambat fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator
penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis dan
menghambat proses trombosis dan inflamasi. Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan
turut memperkuat proses tersebut. Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling
dominan terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular, trombosis, dan
kebocoran kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Gangguan
endotelial ini memegang peranan dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan
global.
Berikut kriteria SIRS dan sepsis, serta sepsis berat hingga syok:

Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh SCCM dan
ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Surviving Sepsis Guidelines pertama kali
dipublikasi pada tahun 2004, dengan revisi pada tahun 2008 dan 2012. Pada bulan Januari 2017,
revisi keempat dari Surviving Sepsis Guidelines dipresentasikan pada pertemuan tahunan
SCCM dan dipublikasikan di Critical Care Medicine dan Intensive Care Medicine dimana
didapatkan banyak perkembangan baru pada revisi yang terbaru.13 Komponen dasar dari
penanganan sepsis dan syok septik adalah resusitasi awal, vasopressor/ inotropik, dukungan
hemodinamik, pemberian antibiotik awal, kontrol sumber infeksi, diagnosis (kultur dan
pemeriksaan radiologi), tata laksana suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan
infeksi.
BAB IV
PEMBAHASA
N

4.1. Ulkus Diabetikum


Berdasarkan anamnesis yang dilakukan, diketahui bahwa pasien tersebut
mengeluhkan nyeri pada jempol kaki kanannya selama setengah bulan. Karakter nyeri
tersebut dideskripsikan sebagai nyeri cekot-cekot dengan skala 4 yaitu nyeri sedang, dimana
nyeri ini digolongkan sebagai nyeri akut berdasarkan pada durasi 1-10 menit dan frekuensi
yang sering terjadi. Pasien merupakan penderita diabetes mellitus, sehingga dari anamnesis
dapat diindikasikan adanya ulkus diabetikum.
Setelah anamnesis, dilakukanlah pengambilan data dari pemeriksaan fisik yang
menerangkan bahwa pasien tersebut memiliki kualitas kesadaran compos mentis dengan vital
sign beerupa tekanan darah yang melebihi batas normal untuk usia >60 tahun. Tekanan darah
yang meningkat ini bisa dikarenakan nyeri akut yang mengaktifasi ssaraf simpatis sehingga
menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah sehingga tekanan darah meningkat. Selain dari
vital sign, ditemukan pula pada pemeriksaan fisik status lokalis berupa adanya ulkus pada
digiti 1 regio pedis dextra, ulkus ini terlihat dengan gangren (+), lesi (+),jaringan nekrotik
(+), eksudat (+), dan slough (+). Dari gambaran yang terlihat, indikasi adanya ulkus
diabetikum dapat ditegakkan.
Ulkus diabetikum yang terjadi pada pasien pada dasarnya disebabkan oleh trias klasik
yang dimiliki oleh penderita DM, yaitu neuropati, iskemia, dan infeksi. Neuropati akibat
hiperglikemia menyebabkan penurunan kemampuan sensoris yang menyebabkan pasien tidak
merasakan adanya lesi kecil yang akhirnya berkembang menjadi ulkus, sedangkan iskemia
terjadi akibat hiperglikemia yang menyebabkan vascular damage dengan penurunan nitrit
oxide pada pembuluh darah vaskuler yang akhirnya menjadikan vasokontriksi pembuluh
darah. Selain adanya neuropati dan vaskulopati, pasien DM memiliki imunitas yang rentan
(imunocompromise) sehingga memudahkan infeksi pada luka, mengingat hiperglikemi juga
merupakan media perkembangan bakteri yang baik, termasuk S. aureus atau β-hemolityc
streptococci yang biasanya menyebabkan infeksi pada kaki. Posisi ulkus pada kaki juga
merupakan temuan yang sering pada penderita DM dikarenakan terbentuknya callus yang
berasal dari tekanan plantar yang tinggi (sebagai tumpuan badan) dan kulit kering (Singh, et
al, 2013)
Berdasarkan urutan perjalanan kaki diabetes (Edmonds 2004-2005), kondisi kaki
pasien mencapai stage 5-6, dikarenakan telah muncul jaringan nekrosis dan menyebabkan
kaki tidak dapat diselamatkan kecuali dengan amputasi. Berdasarkan klasifikasi texas,
stadium ulkus pada pasien mencapai stadium 3D yaitu adanya ulkus sampai tulang/sendi
dengan infeksi dan iskemia. Sedangkan berdasarkan klasifikasi PEDIS International
Consensus on the Diabetic Foot 2003, ulkus diabetikum ini diklasifikasikan sebagai berikut:
Impaired Perfusion 3 (critical limb ischemia)
Extent 3 (Including bone or joint)
Infection 4 (Infection with systemic manifestation)
Impaired Sensation 1 (present)
Selain dua klasifikasi diatas, klasifikasi yang masih banyak digunakan yaitu Wagner, dimana
pada pasien ini, ulkus diabetikum ada pada klasifikasi tingkat 4 yaitu adanya tukak atau ulks
dengan gangren pada 1 jari kaki. Indikasi amputasi harus dilaksanakan karena jaringan pada
digiti 1 pedis dextra pasien sudah berubah menjadi gangren dan mencapai stage akhir yaitu
unsalvable (PAPDI, 2014).
Selama perawatan inap, kondisi pasien diprioritaskan untuk penstabilan gula darah
dikarenakan selalu ditemukan gula darah yang naik dan turun secara tidak stabil pada tanggal
23-26 Oktober 2020. Pengendalian gula darah juga sangat penting untuk persiapan operasi
amputasi. Operasi amputasi dijadwalkan pada tanggal 25 Oktober 2020 pukul 06.00 WIB,
pada observasi yang dilakukan pasca operasi menunjukkan tanda vital yang baik namun dari
pemeriksaan darah lengkap didapatkan tanda-tanda leukositosis dan anemis.

4.2. Anemia
Anemia ditemukan ada pasien dengan manifestasi klinis berupa konjungtiva anemis
dan rasa mual. Rasa mual ini dapat dikarenakan oleh anemia atau penyebab lainseperti pada
diagnosa banding yaitu gastritis. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium (darah lengkap)
ditemukan Hb <13 g/dL (laki-laki dewasa) dengan RDW-CV:16,7% (meningkat) yang berarti
menandakan anemia, melihat pada nilai MCV yang masih di rentang 80-95 pg dan MCHC
yang masih dalam rentang 27-34 pg maka anemia ini dikategorikan sebagai anemia
normokrom normositer. Adapun berdasarkan morfologinya, anemia ini bisa disebabkan
akibat penyakit kronik seperti yang diderita pasien. Anemia akibat penyakit kronik termasuk
dalam kategori ringan-sedang, dan keluhan dari penyakit lain lebih menonjol daripada gejala
anemia itu sendiri.
Selain pemeriksaan darah lengkap, juga dilakukan pemeriksaan faal ginjal, yang
didapatkan hasil berupa peningkatan nilai BUN dan kreatinin. Mengingat penyakit kronik
yang dapat mendasari anemia juga bisa berasal dari penyakit kronik berupa chronic kidney
disease, maka observasi dan pemeriksaan lebih lanjut untuk CKD dapat dilaksanakan.
Diagnosa banding berupa CKD juga dikaitkan dengan temuan adanya nyeri tekan pada
hipokondriaka sinistra yang dapat berasal dari gaster maupun renal. Pada tanggal 26 Oktober
2020, penanganan pasien masih berfokus pada penstabilan gula darah dan perawatan post-
operasi, maka kemungkinan pemeriksaan lanjutan untuk CKD belum dapat dilaksanakan.

4.3. Sepsis

Berdasarkan respon tubuh pasien dalam menghadapi infeksi yang terlihat dari vital sign,
pasien dicurigai mengalami sepsis atau keadaan dimana adanya disfungsi organ karena
disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Pada pemeriksaan, didapatkan data yang masuk
dalam kategori sepsis, yaitu:
1. HR 110x/menit
2. RR 22x/menit
3. Leukosit 23.840
Maka diagnosa tersebut sudah memenuhi SIRS. Adanya dugaan infeksi berdasarkan
hasil pemeriksaan fisik dan DL, maka telah memenuhi kriteris SEPSIS, untuk penanganan yang
lebih spesifik, disarankan untuk melakukan pemeriksaan kultur, namun pemeriksaan ini belum
dilakukan.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan data yang didapatkan, pasien didiagnosa dengan penyakit ulkus
diabetikum stage 6 yaitu unsalvable dan harus dilakukan prosedur operasi amputasi pada
digiti 1 pedis dextra. Selain ulkus diabetikum, pasien juga mengalami anemia dengan
morfologi normokrom normositer. Anemia ini dapat dikarenakan adanya penyakit kronik
yang telah dimiliki pasien berupa infeksi atau penyakit lain seperti CKD mengingat BUN dan
kreatinin yang meningkat sehingga mengindikasikan fungsi ginjal yang menurun, terlebih
pasien ini merupakan pasien DM yang rentan mengalami nefropati. Namun diagnosis CKD
belum dapat ditegakkan dan masih harus dilakukan pemeriksaan lanjutan dan penunjang
berupa USG abdomen.

Saran
-Mengetahui secara spesifik etiologi dari anemia dan sepsis
-Pasien disarankan untuk USG abdomen dan kultur
-Melakukan KIE kepada pasien untuk mendukung dalam pengontrolan gula darah
DAFTAR PUSTAKA

PAPDI (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed. VI. Jakarta Pusat: Interna Publishing.
Singh S, Pai DR, Yuhhui C (2013). Diabetic Foot Ulcer-Diagnosis and management. Clinical
Research on Foot abd Ankle, 1(3): 120.

Anda mungkin juga menyukai