Anda di halaman 1dari 94

APLIKASI II KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

SISTEM ENDOKRIN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN SIROSIS HEPATIS + DIABETES


MILITUS DENGAN MODEL KEPERAWATAN VIRGIA HENDERSON
DI RUANGAN PENYAKIT DALAM RS DR. M.DJAMIL PADANG

DISUSUN OLEH :
DWI NOVIYANI
1921312024

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya, karena penulis masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan Makalah mengenai “Asuhan Keperawatan Pasien Sirosis Hepatis +
Diabetes Militus Dengan Pendekatan Model Keperawatan Virigiana Henderson.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Aplikasi II
Keperawatan Medikal Bedah.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu dalam menyusun dan menyelesaikan makalah ini, sehingga Makalah ini
dapat selesai pada waktunya. penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih
banyak kekurangan, sehingga saran dan masukan dari berbagai pihak sangat kami
tunggu untuk perbaikan pada penyusunan berikutnya.
Semoga Makalah ini bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua dan dapat memberikan informasi bagi
pembaca. Amiin

Padang, November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I PENDUHULUAN.............................................................................................1
BAB II TINJAUAN TEORI..........................................................................................4
BAB III ASKEP SIROSIS HEPATIS + DIABETES ................................................34
BAB IV PENELUSURAN EBN ................................................................................74
BAB V DISCHAGE PLANNING .............................................................................82
BAB VI PENUTUP.....................................................................................................89
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................90

iii
BAB I
PENDUHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes merupakan salah satu dari empat penyakit tidak menular
yang menjadi prioritas. Hal ini dapat dilihat dari masih tingginya jumlah
kasus dan prevalensi penyakit diabetes di dunia. Pada tahun 2015 sebanyak
415 juta jiwa orang dewasa menderita diabetes dengan presentase 8,5% dan
diperkirkan jumlah ini akan meningkat menjadi 642 juta jiwa pada tahun 2040
(WHO, 2016).
Pada tahun 2012, diabetes merupakan penyebab kematian ke delapan
pada kedua jenis kelamin dan penyebab kematian kelima pada perempuan.
Gula darah tinggi bertanggung jawab atas 3,7 juta kematian di dunia dan dari
angka ini sebanyak 1,5 juta kematian disebabkan oleh diabetes ditahun 2012.
Empat puluh tiga persen (43%) dari 3,7 juta kematian ini terjadi sebelum usia
70 tahun. Persentase kematian yang disebabkan oleh diabetes yang terjadi
sebelum usia 70 tahun lebih tinggi di negara-negara berpenghasilan rendah
dan menengah daripada di negara-negara berpenghasilan tinggi (WHO, 2016).
Prevalensi Diabetes di Amerika yaitu sebanyak 62 juta jiwa dan di
Eropa sebanyak 64 juta jiwa pada tahun 2014. Jumlah terbesar orang dengan
diabetes diperkirakan berasal dari Asia Tenggara dengan 96 juta jiwa dan
Pasifik Barat dengan 131 juta jiwa, terhitung sekitar setengah kasus diabetes
di dunia yaitu 422 juta jiwa pada tahun 2014. Pada tahun 2012, sekitar 1 juta
orang dewasa di wilayah regional Asia Tenggara meninggal karena
konsekuensi dari gula darah tinggi termasuk didalamnya akibat langsung dari
diabetes maupun kematian karena komplikasi dan konsekuensi dari diabetes
(WHO, 2016).
Diabetes melitus (DM), atau sering disebut dengan diabetes dan
dikenal dengan penyakit gula (kencing manis) adalah penyakit kronis yang
terjadi ketika pankreas tidak mampu lagi memproduksi insulin, atau ketika

1
tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkan. Insulin adalah
hormon yang mengatur gula darah. Hiperglikemia atau gula darah yang
meningkat merupakan efek umum dari diabetes yang tidak terkontrol dan dari
waktu ke waktu menyebabkan kerusakan serius pada banyak sistem tubuh,
khususnya saraf dan pembuluh darah (World Health Organization (WHO),
2016).
DM merupakan salah satu penyakit serius yang dapat menimbulkkan
berbagai komplikasi dan kematian. Komplikasi yang paling sering dialami
pengidap DM tipe 2 adalah komplikasi pada kaki yang kini disebut kaki
diabetes (Akhtyo, 2009). Adanya masalah kaki pada pasien DM tipe 2
diakibatkan oleh kondisi hiperglikemia yang berlangsung lama sehingga gula
darah banyak menumpuk di pembuluh darah, keadaaan tersebut menyebabkan
sirkulasi darah di jaringan kurang termasuk kaki (Alfiyah & Virgianti, 2011;
Ariyanti, 2012). Penurunan sirkulasi darah pada jaringan kaki akan
menyebabkan kejadian neuropati dimana suatu kondisi kerusakan saraf yang
ditandai dengan penurunan sensasi nyeri pada kaki, sehingga penderita DM
akan mudah mengalami trauma tanpa terasa dan berlanjut pada terjadinya
ulkus (Frykberg, 2006).
Selain itu, diabetes menyebakan masalah gangguan metabolisme
dikarenakan glukosa dan trigliserida yang tidak dapat diolah oleh hati yag
membuat infiltrasi lemak pada hati dan terjadinya sirosis hati.
Sirosis hati telah menjadi masalah kesehatan yang signifikan di
seluruh dunia karena menyebabkan 1,34 juta kematian setiap tahun
(Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 2017). Pada sirosis hati, jaringan hati
yang sehat diubah menjadi jaringan parut yang secara substansial
menghalangi aliran darah normal di hati. Akhirnya, hati memburuk dengan
dan tidak dapat berfungsi secara normal karena cedera kronis atau
berkepanjangan.
Sirosis disebabkan oleh berbagai bentuk penyakit hati dan kondisi
seperti infeksi virus (virus hepatitis B dan C) dan ganguan metabolism. Virus

2
hepatitis dianggap sebagai faktor risiko utama berkembangnya sirosis kronis.
Sirosis lebih mungkin terjadi di antara orang yang mengalami infeksi virus
jangka panjang. Hasil dalam (Yang et al., 2011) menunjukkan bahwa sirosis
hadir pada 94% pasien dengan hepatitis B dan 97% pasien yang memiliki
hepatitis C dalam penelitian ini. Namun, setiap tahun virus hepatitis B dan
hepatitis C mempengaruhi 325 juta orang yang menyebabkan 1,4 juta
kematian di seluruh dunia. Tidak ada vaksinasi yang tersedia untuk virus
Hepatitis C, sedangkan hepatitis B dapat dicegah dengan vaksin. Hepatitis B
adalah infeksi hati yang berpotensi mengancam jiwa yang disebabkan oleh
virus hepatitis B (HBV). Virus hepatitis B (HBV) membuat orang berisiko
tinggi menyebabkan sirosis dan dengan demikian meningkatkan kemungkinan
kematian (Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 2017).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang ditemui yaitu
bagaimana asuhan keperawatan pasien diabetes melitus + sirosis hati dengan
pendekatan model keperawatan.

C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu menggunakan model teori keperawatan yang
sesuai berdasarkan kasus yang dikelola.
2. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian, menganalisa data dan
menegakkan diagnosa keperawatan serta memilih intervensi yang tepat
dalam merencanakan asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus
diabetes + sirosis hati.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. TEORI KASUS DIABETES MELITUS


1. Defenisi

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit atau


gangguan metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia
kronik pada DM berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi
dan kegagalan beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan
pembuluh darah (PERKENI, 2011).
Diabetes melitus (DM), atau sering disebut dengan diabetes dan
dikenal dengan penyakit gula (kencing manis) adalah penyakit kronis yang
terjadi ketika pankreas tidak mampu lagi memproduksi insulin, atau ketika
tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang dihasilkan. Insulin adalah
hormon yang mengatur gula darah. Hiperglikemia atau gula darah yang
meningkat merupakan efek umum dari diabetes yang tidak terkontrol dan dari
waktu ke waktu menyebabkan kerusakan serius pada banyak sistem tubuh,
khususnya saraf dan pembuluh darah (World Health Organization (WHO),
2016).

2. Klasifikasi Diabetes
Menurut American Diabetes Assosiation (ADA) terdapat 4 jenis
diabetes melitus yaitu:
a. DM tipe 1 atau dikenal dengan istilah insulin dependent diabetes mellitus
(IDDM). DM tipe 1 merupakan kondisi tidak terkontrolnya gula di dalam
tubuh karena kerusakan sel pankreas sehingga mengakibatkan
berkurangnya insulin sepenuhnya. Tipe ini biasanya disebabkan oleh
reaksi auto-imun dimana sistem pertahanan tubuh menyerang sel-sel yang

4
memproduksi insulin. Orang dengan DM tipe 1 menghasilkan sangat
sedikit atau tidak ada insulin. Penyakit ini dapat mempengaruhi orang-
orang dari segala usia, tetapi biasanya berkembang pada anak-anak atau
orang dewasa muda. Orang dengan bentuk diabetes perlu suntikan insulin
setiap hari untuk mengendalikan kadar glukosa dalam darah mereka. Tipe
ini terjadi 5-10% dari keseluruhan pasien DM (International Diabetes
Federation (IDF), 2015; ADA, 2010)
b. DM tipe 2 atau dikenal dengan istilah non insulin dependent diabetes
mellitus (NIDDM). DM tipe 2 merupakan jenis penyakit diabetes
melitus dimana individu mengalami penurunan sensitivitas terhadap
insulin atau yang lebih dikenal dengan resistensi insulin dan kegagalan
fungsi sel beta yang mengakibatkan penurunan produksi insulin. DM tipe
2 ini mengenai 90 -95 % pasien dengan DM. Insiden ini terjadi lebih
umum pada usia > 30 tahun, obesitas, kurangnya melakukan aktivitas
fisik. Orang dengan diabetes tipe 2 awalanya dapat mengelola kondisi
mereka melalui olahraga dan diet. Namun, seiring berjalannya waktu
kebanyakan orang akan membutuhkan obat oral dan atau insulin. (ADA,
2010; WHO, 2016; IDF, 2015).
c. Diabetes Melitus Gestasional, merupakan diabetes yang terjadi selama
kehamilan dan memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor resiko
terjadinya diabetes gestasional ialah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas,
riwayat keluarga, dan riwayat diabetes gestasional terdahulu (Price &
Wilson, 2006).
d. Diabetes Melitus Tipe Lain, merupakan jenis DM yang disebabkan karena
defek genetic fungsi sel beta, gangguan kerja insulin, penyakit eksokrin
pankreas (seperti fibrosis kistik), obat-obatan atau zat kimia (seperti
penatalaksanaan AIDS atau setelah transplantasi organ) (ADA, 2010).

5
3. Faktor resiko DM tipe 2
Faktor resiko DM tipe 2 terdiri dari faktor resiko yang tidak bisa
dimodifikasi, yang bisa dimodifikasi dan faktor lain yang terkait dengan risiko
DM Tipe 2 (PERKENI, 2011).
a. Faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi yaitu :
1) Ras dan etnik
2) Riwayat keluarga dengan DM
3) Umur (risiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring
dengan meningkatnya umur yaitu dari umur lebih dari 45 tahun harus
dilakukan pemeriksaan DM).
4) Riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi > 4000gram
atau riwayat pernah menderita diabetes gestational.
5) Riwayat lahir dengan berat badan kurang dari 2,5 kg (bayi yang lahir
dengan berat badan rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi
dibanding dengan bayi lahir dengan berat badan normal).
b. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi yaitu :
1) Berat badan lebih (IMT > 23kg/m2 )
2) Kurangnya aktivitas fisik
3) Hipertensi (> 140/90mmHg)
4) Dislipidemia (HDL<35mg/dL dan atau trigliserida >250mg/dL)
5) Diet yang tidak sehat (unhealthy diet), diat dengan tinggi gula dan
rendah serat akan meningkatkan risiko menderita prediabetes atau
intoleransi glukosa dan DM Tipe 2.
c. Faktor lain yang terkait dengan risiko DM tipe 2 yaitu :
1) Penderita Policystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain
yang terkait dengan resistensi insulin. PCOS merupakan kelainan
endokrinopati pada wanita usia reproduksi. PCOS lebih sering
dikaitkan dengan adanya timbunan lemak yang berlebih. Timbunan
lemak yang berlebih terutama di rongga perut dapat menyebabkan
penurunan sensitivitas insulin sehingga berdampak pada peningkatan

6
kadar glukosa darah;
2) Penderita sindrom metabolik memiliki riwayat Toleransi Glukosa
Terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT)
sebelumnya.
3) Penderita yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti
stroke, penyakit jantung koroner (PJK) atau Peripheral Arterial
Diseases (PAD). Pasien yang memiliki riwayat penyakit
kardiovaskular akan lebih beresiko mengalami DM karena kondisi
pembuluh darah dan hemostasis yang buruk akan menyebabkan
ketidakseimbangan endokrin dalam tubuh. (PERKENI, 2011).

4. Patofisiologis
1. Diabetes Mellitus tipe 1
DM tipe 1 tidak berkembang pada semua orang yang mempunyai
predis posisi genetic.Kadang mereka yang memiliki indikasi resiko penanda
gen (DR3 dan DR4 HLA), DM terjadi <1%.Lingkungan telah lama dicurigai
sebagai pemicu DM tipe 1 insiden meningkat, baik pada musim semi maupun
gugur, dan onset sering bersamaan dengan epidemic berbagai penyakit
virus.Autoimun aktif langsung menyerang sel beta pancreas dan prosuknya.
ICA dan antibody insulin secara progresif menurunkan keefektifan kadar
sirkulasi insulin (Black, 2014, p. 634).
Hal ini secara pelan – pelan terus menyerang sel beta dan molekul
insulin endogen sehingga menimbulkan onset mendadak. Hiperglikemia dapat
timbul akibat dari penyakit akut atau stress dimana meningkatkan kebutuhan
insulin melebihi cadangan dari kerusakan massa sel beta. Ketika penyakit akut
atau stress terobati klien dapat kembali pada status terkompensasi dengan
durasi yang berbeda – beda dimana pancreas kembali mengatur produksi
sejumlah insulin secara adekuat. Status kompensasi ini disebut sebagai
periode honeymoon, secara khas bertahan untuk tiga sampai 12 bulan proses
berakhir ketika massa sel beta yang berkurang tidak dapat memproduksi

7
cukup insulin untuk meneruskan kehidupan. Klien menjadi bergantung kepada
pemberian insulin eksogem (diproduksi di luar tubuh) untuk bertahan
hidup (Black, 2014, p. 634).

2. Diabetes Mellitus tipe 2


Pathogenesis DM tipe 2 berbeda signifikan dari DM tipe 1 .Respon
terbatas sel beta terhadap hiperglikemia tampak menjadi faktor mayor dalam
perkembangannya. Sel beta terpapar secara kronis terhadap kadar glukosa
darah tinggi menjadi secara progresif kurang efisien ketika merespon
peningkatan glukosa lebih lanjut. Fenomena ini dinamai desensitisasi, dapat
kembali dengan menormalkan kadar glukosa. Rasio proisulin(prekurso
insulin) terhadap insuli tersekresi juga meningkat (Black, 2014, p. 634).
Proses patofisiologi ke 2 dalam DM tipe 2 adalah resistensi terhadap
aktivitas insulin biologis, baik di hati maupun jaringan perifer. Keadaan ini
disebut sebagai resistansi insulin. Orang dengan DM tipe 2 memiliki
penurunan sensitivitas insulin terhadap kadar glukosa, yang mengakibatkan
produksi glukosa hepatic berlanjut, bahkan sampai dengan kadar glukosa
darah tinggi. Hal ini bersamaan dengan ketidakmampuan otot dan jaringan
lemak untuk meningkatkan ambilan glukosa.Mekanisme penyebab resistansi
insulin perifer tidak jelas; namun, ini tampak terjadi setelah insulin berikatan
terhadap reseptor pada permukaan sel (Black, 2014, p. 634).
Insulin adalah hormon pembangun (anabolic). Tanpa insulin, tiga
masalah metabolic mayor terjadi : 1) penurunan pemanfaatan glukosa, 2)
peningkatan mobilisasi lemak, dan 3) peningkatan pemanfaatan
protein (Black, 2014, p. 634).
 

8
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi utama dari DM sebagai berikut :
1. Poliuria
Air tidak di serap kembali oleh tubulus ginjal sekunder untuk
aktifitas osmotik glukosa,mengarah kepada kehilangan air,glukosa dan
elektrolit.Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui
membran dalam sel menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma
meningkat.
2. Polidipsi
Dehidrasi sekunder terhadap poliuria menyebabkan haus. Akibat
dari dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktifasi
menyebabkan orang haus terus dan ingin selalu minum.
3. Polifagi
Kelaparan sekunder terhadap ketabolisme jaringan menyebabkan
rasa lapar. Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari
menurunnya kadar insulin maka produksi energi menurun (Black, 2014, p.
639).
Manifestasi lain dari DM sebagai berikut :
a. Penurunan berat badan
Kehilangan awal sekunder terhadap penipisan simpanan
air,glukosadan trigliserid,kehilangan kronis sekunder terhadap penurunan
massa otot karena asam amino di alihkan untuk membentuk glukosa dan
keton.
b. Pandangan kabur berulang
Sekunder terhadap paparan kronis retina dan lensa mata terhadap
cairan hiperosmolar.
c. Ketonuria
Ketika glukosa tidak dapat di gunakan untuk energi oleh sel
tergantung insulin, asam lemak di gunakan untuk energi,asam lemak di
pecahkan menjadi keton dalam darah dan di ekskresikan oleh ginjal. Pada

9
DM tipe 2,insulin cukup untuk menekan berlebihan penggunaan asam
lemak tapi tidak cukup untuk penggunaan glukosa.
d. Lemah dan letih
Penurunan isi plasma mengarah kepada postural
hipertensi,kehilangan kalium dan katabolisme protein berkontribusi
terhadap kelemahan.
e. Sering asimtomatik
Tubuh dapat beradaptasi terhadap peningkatan pelan-pelan kadar
glukosa darah sampai tingkat lebih besar di bandingkan peningkatan yang
cepat (Black, 2014, p. 639).

6. Pemeriksaan Penunjang
 Kadar Hemoglobin Glikosilase
Glukosa secara normal melekat dengan sendirinya pada molekul
hemoglobin dalam sel darah merah. Sekali melekat, glukosa ini tidak dapat
dipisahkan. Oleh karena itu semakin tinggi kadar glukosa darah, kadar
hemoglobin glikosilase juga semakin tinggi (HbA1c). Batasan HbA1c dirujuk
sebagai A1C. A1C adalah kadar glukosa darah yang diukur 3 bulan
sebelumnya. A1C dinyatakan dalam presentase dan bermanfaat dalam
mengevaluasi pengendalian glikemia jangka panjang (Black, 2014).
Untuk menghindari komplikasi terkait diabetes, ADA merekomendasikan
menjadi kadar A1C dibawah 7%. ADA merekomendasikan bahwa tes A1C
dilakukan secara rutin pada semua orang dengan DM. A1C seharusnya
dilakukan tiap enam bulanan pada klien yang telah memenuhi target primer
pengendalian glikemik (<7%) dan tiap 3 bulanan pada klien yang belum
mencapai target primer pengendalian glikemik. Kondisi-kondisi yang
meningkatkan pergantian eritrosit, seperti perdarahan, kehamilan, atau
asplenia (tidak memiliki lien setelah operasi splenektomi), mengarah kepada
konsentrasi A1C rendah palsu. Dosis tinggi aspirin, alcohol, terapi heparin
dapat menyebabkan peningkatan kadar A1C palsu (Black, 2014).

10
 Gula darah meningkat
Kriteria diagnostik WHO untuk DM pada dewasa yang tidak hamil :
Pada sedikitnya 2 x pemeriksaan :
a. Glukosa plasma sewaktu/random > 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
b. Glukosa plasma puasa/nuchter > 140 mg/dl (7,8 mmol/L)
c. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial) > 200 mg/dl.
 Tes Toleransi Glukosa
Tes toleransi glukosa oral : pasien mengkonsumsi makanan tinggi kabohidrat
(150 – 300 gr) selama 3 hari sebelum tes dilakukan, sesudah berpuasa pada
malam hari keesokan harinya sampel darah diambil, kemudian karbohidrat
sebanyak 75 gr diberikan pada pasien.

7. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas
insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya
komplikasi vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe
diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal. (Suprapto &
Hasdianah, 2014).
Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes, yaitu terapi nutrisi
(diet), latihan, pemantauan, terapi farmakologi dan pendidikan (Smeltzer et
al., 2010).
1) Diet
Tujuan pengaturan pola makan (diet) pada klien DM tipe 2 adalah
membantu klien memperbaiki kebiasaan makan untuk mendapatkan
kontrol metabolik yang lebih baik, dengan cara : mempertahankan glukosa
darah dalam batas normal, mencapai dan mempertahankan kadar lipid
serum dalam batas normal, memberi cukup energi, mencapai atau
mempertahankan berat badan normal, meningkatkan sensitifitas reseptor

11
insulin dan menghindari atau menangani komplikasi akut maupun kronik
(Almatsier, 2006).
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang
seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak sesuai dengan
kecukupan gizi baik sebagai berikut karbohidrat 45-60%, protein 10-20%,
lemak 20-25%. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status
gizi, umur, stres akut dan kegiatan jasmani untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan idaman (Waspadji, 2009, dalam Soegondo,
2009).

2) Latihan
Klien diabetes melitus harus diajarkan untuk selalu melakukan
latihan setiap harinya. Latihan yang dilakukan setiap hari secara teratur
lebih dianjurkan daripada latihan sporadik. Latihan sangat penting dalam
penatalaksanaan diabetes, karena efeknya dapat menurunkan kadar
glukosa darah dan mengurangi faktor resiko kardiovaskular. Manfaat
latihan yaitu menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan
pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin,
memperbaiki sirkulasi darah dan tonus otot, mengubah kadar lemak darah
yaitu meningkatkan kadar HDL-kolesterol dan menurunkan kadar
kolesterol total serta trigliserida. Semua manfaat ini penting bagi
penyandang diabetes mengingat adanya peningkatan rasio untuk terkena
penyakit kardiovaskular pada diabetes (Smeltzer et al., 2010).
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan yang bersifat
aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dll. Latihan jasmani
sebaiknya disesuaikan berdasarkan umur dan kesegaran jasmani dan
hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan
(Soegondo, 2009).

12
3) Pemantauan (monitoring) kadar gula darah
Pemantauan kadar glukosa darah sendiri atau Self-Monitoring Blood
Glucose (SMBG) memungkinkan untuk deteksi dan mencegah
hiperglikemia atau hipoglikemia, serta berperan dalam memelihara
normalisasi glukosa darah, pada akhirnya akan mengurangi komplikasi
diabetik jangka panjang. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan bagi klien
dengan penyakit diabetes yang tidak stabil, kecendungan untuk mengalami
ketosis berat atau hiperglikemia, serta hipoglikemia tanpa gejala ringan.
Kaitannya dengan pemberian insulin, dosis insulin yang diperlukan klien
ditentukan oleh kadar glukosa darah yang akurat. SMBG telah menjadi
dasar dalam memberikan terapi insulin (Smeltzer et al., 2010).

4) Terapi Farmakologi
Tujuan terapi insulin adalah menjaga kadar gula darah normal atau
mendekati normal. Pada diabetes melitus tipe 2 akan membutuhkan
insulin apabila terapi jenis lain tidak dapat mencapai target pengendalian
kadar glukosa darah dan keadaan stress berat seperti pada infeksi berat,
tindakan pembedahan, infark miokard akut atau stroke (Soegondo, 2009).
Pada diabetes tipe 2, insulin diperlukan sebagai terapi jangka
panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat
hipoglikemia oral tidak berhasil mengontrolnya. Pada klien diabetes
melitus tipe 2 kadang membutuhkan insulin secara temporer selama
mengalami sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan atau beberapa kejadian
stress lainnya (Smeltzer et al., 2010).

Obat hiperglikemia oral (OHO), ada 2 jenis yaitu


a) Pemicu sekresi insulin (sulfonylurea dan glinid)
Sulfonyluera golongan obat yang bekerja dengan menstimulasi
sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan.
Sulfonylurea pada umunya diberikan dengan dosis rendah untuk

13
mencegah hipoglikemi. Jenis obat sulfonylurea adalah klorpropamid,
glibenklamid, glipizid, glikuidon, glimepirid. Glinid merupakan obat
yang cara kerjanya sama dengan sulfonylurea dengan meningkatkan
sekresi insulin fase pertama. Glinid terdiri dari 2 jenis obat seperti
repaglinid, dan nateglinid (Soegondo, dkk, 2011).
b) Obat penambah sensitivitas terhadap insulin seperti biguanid,
tiazolidindion, penghambat glukosidase alfa dan incretin mimetic.
Biguanid seperti metformin dan metformin XR. Metformin
menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja
insulin pada tingkat selular. Metformin tidak dapat menyebabkan
penurunan glukosa darah. Metformin ini dikenal juga dengan obat
anti hiperglikemik. Kombinasi supfoniluera dengan metformin
tanpak memberikan kombinasi yang rasional karena cara kerja yang
berbeda dan saling aditif. Tiazolidindion adalah obat yang
mempunyai efek farmakologis meningkatkan sensitivitas insulin/
dapat diberikan secara oral. Penghambat glukosidase alfa bekerja
secara kompetitif menghambat kerja enzim glukosidase alfa dalam
saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia postprandial. Golongan incretin memetic,
akan didapatkan kenaikan kadar insulin yang lebih besar pada
pemberian glukosa secara oral dibandingkan pemberian glukosa
secara intravena (Soegondo, dkk, 2011).
c) Insulin
Pasien Diabetes mellitus tipe 1 tidak mampu memproduksi insulin
dalam tubuh, sehingga sangat tergantung pada pemberian insulin.
Berbeda dengan Dm tipe 2, Indikasi pemberian insulin yaitu pada
kondisi dimana terapi lain tidak dapat mencapai target pengendalian
kadar glukosa darah, terjadi peningkatan metabolisme seperti stress
berat, infeksi, pembedahan, miocard infark dan stroke. Komplikasi akut

14
seperti ketoasidosis, sindrom hiperosmolar non ketotik juga menjadi
indikasi penggunaan insulin eksogen (Soegondo, dkk. 2011).
Insulin eksogen berdasarkan cara kerjanya (puncak kerja dan
jangka waktu efeknya) dibagi menjadi empat tipe, yaitu insulin kerja
singkat(short acting insulin), insulin kerja cepat (rapid acting insulin),
insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) dan insulin kerja
panjang (long acting insulin). Insulin dengan masa kerja pendek (2-4
jam) seperti regular insulin, actrapid. Insulin dengan masa kerja
menengah (6-12 jam) seperti neutral protamine hagedorn (NPH) insulin,
lente insulin. Insulin dengan masa kerja panjang (18-24 jam) seperti
protamine zinc insulin dan ultralente insulin. Insulin campuran yaitu
kerja cepat dan menengah, misalnya 70% NPH, 30% regular (Soegondo,
dkk. 2011).

5) Edukasi
Tujuan utama edukasi (informasi) bagi penyandang DM adalah
dapat meningkatkan pengetahuan dan merubah perilaku hidup yang sehat
sehingga bisa meningkatkan kepatuhan penyandang DM untuk
melaksanakan diet, olahraga, obat/insulin, dan pemantauan (Basuki, 2009,
dalam Soegondo, 2009).
Penyuluhan kesehatan tentang bagaimana memilih jenis makanan
(biasanya pembatasan karbohidrat), pelaksanaan olahraga, aturan minum
obat, perawatan kaki dan menggunakan hasil pemeriksaan glukosa darah
untuk memonitor dan mengevaluasi efektivitas manajemen diabetes
jangka pendek merupakan komponen penting yang harus diperhatikan
pada manajemen klien DM tipe 2 (Kusniawati, 2011)

15
8. Komplikasi
a. Hiperglikemia
Hiperglikemia akibat saat glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel
karena kurangnya insulin. Tanpa tersedianya KH untuk bahan bakar sel, hati
mengubah simpanan glikogennya kembali ke glukosa ( glikogenolisis) dan
meningkatkan biosintesis glukosa (gluconeogenesis). Sayangnya namun,
respon ini memperberat situasi dengan meningkatnya kadar glukosa darah
bahkan lebih tinggi.
b. Ketoasidosis
Asidosis metabolic berkembang dari pengaruh asam akibat keton
asetaoasetat dan hidrokisibutirat beta.Konsisi ini disebut ketoasidosis
diabetic.Asidosis berat mungkin menyebabkan klien diabetes kehulangan
kesadaran disebut koma diabetic.Ketoasidosis diabetic selalu dinyatakan
sebuah kegawatdaruratan medis dan memerlukan perhatian medis segera
c. Hipoglikemia
Hipoglikemia (juga dikenal sebagai reaksi insulin atau reaksi
hipoglikemi) adalah ciri umum dari DM tipe 1 dan juga dijumpai di dalam
klien DM tipe 2 yang diobati insulin atau obat oral.Kurang hati – hati atau
kesalahan sengaja dalam dosis insulin sering menyebabkan hipoglikemia.
Perubahan lain dalam jadwal makan atau pemberian insulin dapat
menyenankan hipoglikemia (Black, 2014, pp. 667-668).
Komplikasi kronis diabetes mellitus :
Komplikasi makrovaskular
Penyakit arteri coroner, penyakit sebrovaskular, dan penyakit
pembuluh perifer kebin umum, cenderung terjadi pada usia lebih awal,
dan lebih luas dan berat pada orang dengan DM. penyakit makrovaskular
(penyakit pembuluh besar) mencerminkan aterosklerosis dengan
penumpukan lemak pada lapisan dalam dinding pembuluh darah. Resiko
berkembangnya komplikasi makrovaskular lebih tinggi pada DM tipe 1
daripada tipe 2 (Black, 2014, pp. 674-677).

16
a. Penyakit aeteri coroner
Pasien dengan DM 2 – 4 kali lebih mungkin dibangdingkan
klien non DM untuk meninggal karena penyakit arteri coroner, dan
factor resiko relative untuk penyakit jantung pembuluh darah.Banyak
klien dengan DM, kejadian mikrovaskular atau proses seperti penyakit
arteri coroner adalah atipikal atau diam, dan sering seperti gangguan
pencernaan atau gangguan jantung tidak dapat di jelaskan, dyspnea
pada aktivitas berat atau nyeri epigastric
b. Penyakit serebrovaskular
Penyakit serebrovaskular, termasuk infark aterotromboembolik
dimanifestasikan dengan serangan iskemik transien
dan cerebrovascular attack (stroke), lebih sering dan berat pada klien
dengan DM. resiko relative lebih tinggi pada perempuan, tertinggi
pada usia 50 atau 60 an, dan lebih tinggi pada klien dengan hipertensi.
Klien yang dating dengan kadar stroke dan kadar glukosa darah tinggi
memiliki prognosis lebih buruk dibandingkan klien dengan
normoglikemik
c. Hipertensi
Hipertensi adalah factor resiko mayor untuk stroke dan
nefropati.Hipertensi yang diobati tidak adekuat memperbesar leju
perkembangan nefropati
d. Penyakit pembuluh perifer
Pada penderita DM idensial dan prevalensi bunyi abnormal
atau murmur, tidak ada denyut pedal (kaki), dan gangrene
iskemik meninkat.Lebih dari separuh amputasi tungkai bawah
nontraumatik berhubungan dengan perubahan diabeteik seperti
neuropati sensoris dan motoric, penyakit pembuluh darah perifer,
peningkatan resiko dan laju infeksi, penyembuhan buruk.Rangkaian
kejadian ini yang mungkin mengarah kepada amputasi

17
e. Infeksi
Infeksi saluran kencing adalah tipe infeksi paling sering
mempengaruhi klien DM, terutama perempuan.Salah satu factor
mungkin di hambat leukosit PMN saat glukosa ada.Glukosaria
berhubungan dengan hiperglikemia.Perkembangan kandung kemih
neurogenic akibat pengosongan tidak lengkap dan retensi urine,
mungkin juga berkontribusi terhadap resiko infeksi saluran
kencing.Infeksi kaki diabetic adalah sering.Kejadian kaki diabetek
secara langsung terkait tiga factor di atas dan hiperglikemia. Hamper
40% klien diabetic dengan infeksi kaki mungkin memerlukan
amputasi, dan 5-10% akan meninggal meskipun amputasi di daerah
yang terkena. Dengan edukasi yang tepat dan intervensidini, infeksi
kaki biasanya hilang dengan cara – cara yang tepat waktu. Perawatan
kaki efektif dapat menjadi pemutus awal rantai kejadian yang
mengarah pada keadaan amputasi.

Komplikasi mikrovaskular
Mikroanginopati merujuk pada perubahan yang terjadi di retina,
ginjal dan kapiler perifer pada DM. Uji komplikasi dan kontrol diabetes
telah membuat hal ini jelas bahwa control glikemik ketat dan konsisten
mungkin mencegah atau menghentikan perubahan mikrovaskular (Black,
2014, pp. 677-679).
a. Retinopati diabetic
Retinopati diabetic adalah penyebab utama kebutaan diantara
klien dengan DM; sekitar 80% memiliki beberapa bentuk retinopati 15
tahun setelah diagnosis.Penyebab pasti retinopati tidak dipahami baik
tapi kemungkinan multi factor dan berhubungan dengan glikosilasis
protein, iskemik dan mekanisme hemodinamik. Stress dari
peningkatan kekentalan darah adalah sebuah mekanisme hemodinamik
yang meningkatkan permeabilitas dan penurunan lastisitas kapiler

18
b. Nefropati
Nefropati diabetic adalah penyebab tunggal paling sering dari
penyakit ginjal kronis tahap 5, dikenal sebagai penyakit ginjal tahap
akhir.Sekitar 35-45 % klien dengan DM tipe 1 ditemukan memiliki
nefropati 15-20 tahun setelah diagnosis.Sekitar 20% klien dengan DM
tipe 2 ditemukan memiliki nefropati 5-10 tahun setelah
diagnosis.Sebuah konsekuensi mikroanginopati, nefropati melibatkan
kerusakan terhadap dan akhirnya kehilangan kapiler yang menyuplai
glomelurus ginjal. Kerusakan ini mengarah gilirannya kepada
perubahan dan gejala pathologic kompleks (glomerulosklerosis antar
kapiler, nephrosis, gross albuminuria, dan hipertensi)
c. Neuropati
Neuropati adalah komplikasi kronis paling sering dari DM.
hamper 60% klien DM mengalaminya. Oleh karena serabut saraf tidak
memiliki suplai darah sendiri, saraf bergantung pada difusi zat gizi dan
oksigen lintas membrane.Ketika akson dan denrit tidak mendapat zat
gizi, akumulasi sorbitol di jaringan saraf, selanjutnya mengurangi
fungsi sensoris dan motoris.Kedua masalah neurologis permanen
maupun sementara mungkin berkembang padaklien dengan DM
selama perjalanan penyakit. Klien dengan kadar glukosa darah tinggi
sering mengalami nyeri saraf. Nyeri saraf berbeda dengan tipe nyeri
lain seperti nyeri otot atau sendi keseleo. Nyeri saraf sering dirasakan
seperti mati rasa, menusuk, kesemutan, atau sensasi terbakar yang
membuat klien terjaga waktu malam atau berhenti melakukan
pekerjaan tugas harian

B. TEORI KASUS SIROSIS HEPATIS


1. Defenisi
Sirosis Hepatis adalah penyakit Hepar kronis yang dicirikan dengan
distorsi arsitektur Hepar yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan

19
nodul-nodul regenerasi sel Hepar yang tidak berkaitan dengan vaskulatur
normal. Nodul-nodul regenerasi ini dapat berukuran kecil (mikronodular) atau
besar (makronodular). Sirosis dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatik,
dan kasus lebih lanjut menyebabkan kegagalan fungsi Hepar secara bertahap
(Price dan Wilson, 2012).
Sirosis Hepatis adalah penyakit kronis yang di tandai oleh obstruksi
difus dan regenerasi fibrotik sel-sel Hepar (Kowalak, dkk,2012).
Sirosis Hepatis alkoholik adalah penyakit Hepar yang disebabkan oleh
asupan alkohol yang ditandai dengan steatosis (infiltrasi lemak), inflamasi,
dan fibrosis (Brashers, 2008).
Jadi, dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Sirosis
Hepatis adalah suatu keadaan patologis yang merupakan stadium akhir yang
diawali dengan penyakit Hepar kemudian menimbulkan jaringan fibrosis pada
sel-sel Hepar dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan fungsi Hepar.

2. Etiologi
Sirosis Hepatis dapat disebabkan oleh berbagai penyakit Hepar serta penyakit
bawaan lainnya. Etiologi dari berbagai jenis Sirosis belum dimengerti secara
pasti, namun ada beberapa faktor resiko yang mencetus terjadinya penyakit
Sirosis Hepatis. Adapun faktor resiko tersebut adalah alkoholisme dan
malnutrisi yang merupakan pencetus utama Sirosis Laennec (Price dan
Wilson,2012).
Menurut Baradero, dkk (2008) ada 4 macam jenis Sirosis yang diklasifikasikan
berdasarkan penyebabnya. Berikut ini di jelaskan etiologi dari berbagai jenis
Sirosis Hepatis :
a. Sirosis Laennec.
Sirosis Laennec disebut juga sebagai Sirosis alkoholik, porta dan Sirosis
gizi, karena jenis Sirosis ini disebabkan oleh alkoholisme dan diperberat
dengan malnutrisi.
b. Sirosis Pascanekrotik.

20
Sirosis pascanekrotik disebabkan oleh adanya virus Hepatitis (virus
Hepatitis tipe A, B, C, D, dan E) yang menyerang Hepar sebagai akibat
lanjut dari Hepatitis sebelumnya. Kebanyakan kasus Sirosis yang
ditemukan mempunyai riwayat mengalami penyakit Hepatitis.
c. Sirosis Biliaris.
Sirosis jenis ini disebut juga Sirosis Kolestatik. Sirosis biliaris ini terjadi
karena adanya obstruksi pada saluran empedu sehingga menyebabkan
penumpukan empedu dimassa Hepar.
d. Sirosis Jantung.
Sirosis Hepatis tipe lain merupakan Sirosis yang disebabkan oleh penyakit
gagal jantung kanan.
e. Sirosis metabolik, keturunan, dan terkait obat. Terjadi akibat kelainan
metabolik dan pemakaian obat-obatan.

3. Patofisiologi
Patofisiologi sirosis hepatis dimulai dengan pembentukan jaringan
parut atau fibrosis. Parut atau sikatriks ini berawal sebagai peningkatan
komponen matriks ekstrasel, yaitu kolagen yang membentuk fibril,
proteoglikan, fibronektin, dan asam hialuronat. Lokasi pengendapan kolagen
bervariasi menurut penyebabnya.
Fungsi hepatosit akhirnya akan terganggu karena terjadi perubahan
matriks. Sel-sel yang menyimpan lemak diyakini sebagai sumber
pembentukan komponen matriks yang baru. Pengerutan sel-sel ini juga dapat
turut menimbulkan disrupsi arsitektur lobulus hati dan obstruksi aliran darah
ataupun getah empedu. Perubahan seluler yang menghasilkan pita jaringan
parut juga menghancurkan struktur lobulus (Kowalak, dkk, 2012).
Perjalanan penyakit Sirosis Laennec diawali dengan konsumsi alkohol
dalam jangka waktu panjang dan disertai dengan malnutrisi. Seperti yang
telah kita ketahui senyawa alkohol (etanol) menimbulkan efek toksik langsung
terhadap Hepar, sehingga perubahan pertama yang ditimbulkan alkohol adalah

21
akumulasi lemak secara bertahap di dalam sel-sel Hepar. Penyebab
alkoholisme terhadap Sirosis Laennec diperberat dengan keadaan nutrisi yang
buruk (malnutrisi), karena defisiensi gizi dengan penurunan asupan protein
turut menimbulkan kerusakan Hepar (Brashers, 2008).
Sirosis pascanekrotik dapat terjadi akibat dari penyakit Hepar
sebelumnya (Hepatitis virus A, B, C, D, dan E). Sirosis pascanekrotik terjadi
karena kelanjutan dari virus Hepatitis yang menyerang sebelumnya dan telah
terjadi nekrotik pada jaringan Hepar sehingga sel Hepar mengalami kerusakan
(Kowalak, dkk, 2012).
Pada Sirosis Biliaris kerusakan Hepar diawali dengan obstruksi
saluran empedu kemudian terjadi penumpukan empedu di dalam Hepar
sehingga membentuk jaringan parut dan menjadi sirosis (Kowalak, dkk,
2012).
Penyakit lain juga berperan penting dalam kerusakan sel Hepar.
Individu yang menderita gagal jantung kanan yang kronik akan berkembang
menjadi Sirosis Hepatis yang disebut Sirosis Jantung. Perjalanan penyakit
gagal jantung kanan yang menahun, akan memberikan dampak pada organ
lain salah satunya yaitu Hepar yang akan menjadi Sirosis Hepatis (Kowalak,
dkk, 2012).
Ketika Hepar mengalami kerusakan sel, maka akan menyebabkan
inflamasi akut dan gangguan fungsi Hepar berupa gangguan metabolisme
pada Hepar. Kerusakan pada Hepar terbagi menjadi 2 stadium yaitu stadium
awal dan stadium lanjut. Stadium awal memberikan dampak seperti Inflamasi
akut serta gangguan metabolisme. Ketika Hepar mengalami inflamasi akut,
Hepar akan merangsang saraf-saraf perifer yang berada di sekitranya sehingga
menghantarkan rangsangan nyeri ke pusat otak. Gangguan metabolisme
meliputi gangguan metabolisme vitamin dan pembentukan empedu (Smeltzer
dan Bare, 2013).
Gangguan metabolisme vitamin akan menimbulkan anemia pada
penderita sehingga tidak jarang bahwa penderita akan mengalami kelelahan.

22
Gangguan pembentukan empedu menyebabkan lemak tidak dapat diserap oleh
usus halus sehingga pasien memiliki keluhan umum seperti mual, muntah
serta anoreksia. Hal tersebut akan memicu penurunan berat badan secara
perlahan (Price dan Wilson, 2012).
Pada stadium lanjut terdapat 2 hal yang terjadi pada Hepar yaitu gagal
hepatoselulser dan hipertensi porta. Gagal hepatoseluler menyebabkan
gangguan sekresi bilirubin. Gangguan metabolisme bilirubin dapat
menyebabkan bilirubin tak terkonjugasi tidak dapat diabsorpsi kembali,
sehingga akan menimbulkan ikterik pada penderita. Hipertensi porta yang
menjadi penyebab terjadinya Asites.
Ada 3 faktor yang mempengaruhi terjadinya Asites adalah tekanan
osmotik koloid plasma, tekanan vena porta, dan serta perubahan eletrolit.
Terganggunya fungsi Hepar yang berkaitan dengan gangguan metabolisme
protein akan menyebabkan hipoalbumin. Terjadinya hipoalbumin berpengaruh
pada pembentukan Asites.
Penurunan kadar albumin akan menyebabkan tekanan osmotik koloid
plasma juga menurun. Hepar tidak mampu mempertahankan fungsinya
sehingga terjadilah tranduksi cairan dari ruang intravaskuler ke ruang
interstisial (Kowalak, dkk, 2012).
Hipertensi porta mempengaruhi penurunan albumin. Pada hipertensi
porta terjadi peningkatan tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah
interstinal. Lebih banyak cairan yang masuk kedalam kavum peritonial dari
pada yang meninggalkan kavum peritonial menyebabkan terjadinya Asites
(Smeltzer dan Bare, 2013).
Cairan pada Asites mengandung tinggi protein sehingga memicu
terjadinya retensi natrium dan gangguan eksresi air. Hal tersebut akan
memberikan dampak pada kedua tungkai ekstemitas bawah mengalami
edema. Terjadinya penumpukan cairan dalam rongga peritonium dalam
jumlah yang besar, akan menekan diafragma. Penderita dengan Asites berat

23
akan mengalami sesak nafas karena ekspansi paru terganggu (Kowalak, dkk,
2012).

4. Manifestasi Klinis
Menurut Kowalak, dkk (2012) Semua jenis Sirosis memiliki gejala
klinis yang sama. Sirosis bersifat laten selama bertahun-tahun. Selama masa
laten yang panjang terjadi gangguan fungsi Hepar secara bertahap. Perubahan
patologis yang terjadi berkembang lambat sehingga penderita tidak menyadari
akan penyakit ini. Manifestasi klinis Sirosis Hepatis dapat klasifikasikan
menjadi 2 stadium yaitu stadium awal dan stadium akhir. Berikut dijelaskan
mengenai manifestasi klinis Sirosis Hepatis.
a. Stadium Awal.
Pada stadium awal, gejala Sirosis belum dirasakan oleh penderita. Sering
kali penderita menganggap bahwa gejala yang dirasakan merupakan sakit
biasa. Kadang-kadang penderita baru mengetahui penyakitnya ketika
melakukan pemeriksaan.
Manifestasi klinis yang timbul pada stadium awal adalah sebagai berikut :
1. Pada pemeriksaan palpasi abdomen didapatkan Hepar cenderung
membesar. Hal ini terjadi karena sel Hepar dipenuhi oleh lemak.
2. Nyeri tumpul pada abdomen kuadran kanan atas yang diakibatkan
terjadinya inflamasi dan pengerasan Hepar sehingga tepi
Heparmenjadi tajam.
3. Kelelahan yang terjadi karena gangguan pada metabolisme vitamin
sehingga terjadi penurunan fungsi sel darah merah.
4. Perubahan kebiasaan defekasi, bisa terjadi konstipasi atau diare.
5. Gejala umum seperti anoreksia, mual, dan muntah sehingga berat
badan cenderung menurun.
b. Stadium lanjut.
Pada perjalanan penyakit yang lebih lanjut, ukuran Hepar akan berkurang,
karena jaringan parut mengalami pengerutan. Manifestasi klinis pada

24
stadium lanjut terjadi akibat dua tipe gangguan fisiologis. Ganguan
tersebut adalah gagal sel Hepar dan hipertensi porta. Kedua gangguan ini
akan menyebabkan gejala klinis yang berbeda. Perbedaan gejala klinis
gagal sel Hepar dan hipertensi porta adalah sebagai berikut :
1. Gagal sel Hepar.
Gejala yang ditimbulkan dari gagal sel Hepar adalah :
a) Ikterus yang terjadi akibat gangguan sekresi. Gangguan sekresi
merupakan penurunan metabolisme bilirubin.
b) Edema perifer yang terjadi karena penurunan kadar protein
plasma.
c) Kecenderungan perdarahan yang disebabkan oleh
trombositopenia.
d) Eritema Palmaris.
e) Spider naevi.
f) Pruritus yang terjadi sekunder karena ikterus akibat
hiperbilirubinemia.
g) Ensefalopati hepatik akibat intoksikimia ammonia. Ensefalopati
hepatik meliputi letargi, perubahan mental, bicara pelo,
halusinasi, koma.
2. Hipertensi porta.
Gejala yang ditimbulkan dari hipertensi porta adalah sebagai
berikut :
a) Splenomegali terjadi karena gangguan hematologi.
b) Varises gastrointestinal terjadi karena obstruki aliran darah lewat
Hepar.
c) Asites terjadi karena penumpukan cairan dirongga peritoneal
yang banyak mengandung protein.

25
5. Komplikasi
Menurut Price dan Wilson (2012) suatu penyakit ketika sudah memasuki
stadium lanjut, sulit untuk diatasi. Ketika penyakit sudah dinyatakan kronik
dan tidak dilakukan penanganan, maka akan menyebabkan berbagai penyakit.
Sama halnya dengan penyakit Sirosis Hepatis kronik akan menimbulkan
berbagai komplikasi sebagai berikut :
a. Asites.
Asites merupakan penimbunan cairan serosa dalam rongga peritonium.
Pada Sirosis Hepatis, Asites disebabkan oleh beberapa faktor yaitu hipertensi
porta, hipoalbuminemia, meningkatnya tekanan darah vena porta karena
adanya bendungan, retensi natrium, dan gangguan eksresi air.
b. Efusi pluera.
Pada keadaan Asites yang berat akan menekan rongga perut dan
menyebabkan perpindahan cairan Asites ke dalam rongga pleura. Efusi pluera
menyebabkan ekspansi torak yang terbatas. Ekspansi torak yang terbatas
menyebabkan gangguan pada respirasi, sehingga penderita mengeluh susah
untuk bernafas.
c. Perdarahan saluran cerna.
Perdarahan saluran cerna diawali dengan terjadinya perdarahan varises
gastrointestinal. Penyebab lain perdarahan adalah tukak lambung dan
duodenum. Perdarahan saluran cerna merupakan penyebab dari sepertiga
kematian. Oleh karena itu perdarahan saluran cerna harus diatasi dengan
melakukan aspirasi lambung.
d. Ensefalopati hepatik.
Ensefalopatik hepatik terjadi karena Hepar tidak bisa lagi menetralisir
racun yang masuk melalui makanan. Racun tersebut kemudian akan dibawa
ke otak melalui aliran darah. Gejala ensefalopati hepatik ditandai dengan
perubahan kepribadian, hilang ingatan, iritabilitas, dan koma sehingga
berakhir pada kematian.

26
6. Penatalaksanaan
Menurut Kowalak, dkk (2012) ketika suatu penyakit telah menimbulkan
gejala dan komplikasi yang sangat serius, maka penderita akan mencari
pengobatan. Pengobatan pada penderita Sirosis Hepatis tidak ada yang
spesifik, sehingga penatalaksanaan yang diberikan didasarkan dengan gejala
yang ditimbulkan. Berikut ini akan dipaparkan mengenai terapi pada pasien
dengan Sirosis Hepatis.
a. Penghentian minum alkohol.
b. Pemberian antasida untuk mengurangi distress lambung dan
meminimalkan perdarahan.
c. Pemberian antihistamin untuk mengurangi pruritus.
d. Pemberian vitamin bersamaan dengan suplemen gizi untuk
penyembuhan kerusakan sel Hepar dan memperbaiki status gizi pasien.
e. Pemberian diuretik untuk mempertahankan kalium dan mengurangi
penumpukan cairan.
f. Intubasi esofagogastrik dengan kateter multilumen untuk
mengendalikan perdarahan dari varises esofagus.
g. Leave lambung dengan pemberian antasida dan antagonis histamin
untuk perdarahan. Leave lambung dilakukan sampai cairan yang
mengalir jernih.
h. Parasentesis untuk mengurangi tekanan intra abdomen dan
mengeluarkan cairan Asites.
i. Pemasangan shunt melalui pembedahan untuk mengendalikan
perdarahan dan menurunkan hipertensi porta.

Penataksaan Asites menurut Manjoer, dkk (2007) adalah sebagai berikut :


a. Istirahat dan diet rendah garam. Dengan istirahat dan diet rendah garam
(200-500 mg per hari), Asites dan edema dapat diatasi. Adakalanya
harus dibantu dengan membatasi jumlah pemasukan cairan selama 24
jam, hanya sampai 1 liter atau kurang.

27
b. Bila dengan istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan
diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat
ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila setelah 3-4 hari tidak terdapat
perubahan.
c. Bila terjadi Asites refrakter (Asites yang tidak dapat di kendalikan
dengan terapi medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi
parasentesis. Pada umumnya parasentesis aman apabila disertai dengan
infus albumin sebanyak 6-8 gram untuk setiap liter cairan Asites. Selain
albumin dapat pula digunakan dekstran 70%. Walaupun demikian untuk
mencegah pembentukan Asites setelah parasentesis, pengaturan diet
rendah garam dan diuretik biasanya tetap diperlukan.
d. Pengendalian cairan Asites diharapkan terjadi penurunan berat badan 1
kg/2 hari atau keseimbangan cairan negatif 600-800 ml/hari. Bila cairan
terlalu banyak di keluarkan dalam satu saat, dapat mencetus ensefalopati
hepatik.

Penatalaksanaan Keperawatan
Menurut Smeltzer dan Bare (2013) serta Bararah dan Jauhar (2013)
penatalaksanaan keperawatan yang dapat dilakukan pada pasien dengan
hematemesis melena antara lain sebagai berikut:
1. Pengaturan Posisi
a) Pasien dipertahankan istirahat sempurna, karena gerakan seperti batuk
akan meningkatkan tekanan intra abdomen sehingga perdarahan
berlanjut.
b) Meninggikan bagian kepala tempat tidur untuk mengurangi aliran darah
ke sistem porta dan mencegah refluk ke dalam esofagus.
2. Pemasangan NGT
Tujuannya adalah untuk aspirasi cairan lambung, bilas lambung
dengan air, serta pemberian obat-obatan seperti antibiotik untuk menetralisir
lambung.

28
3. Bilas Lambung
NGT harus diirigasi setiap 2 jam untuk memastikan kepatenannya dan
menilai perdarahan serta menjaga agar lambung tetap kosong. Darah tidak
boleh dibiarkan berada dalam lambung karena akan masuk ke intestine dan
bereaksi dengan bakteri menghasilkan ammonia yang akan diserap ke dalam
aliran darah dan akan menimbulkan kerusakan pada otak.
4. Pengaturan Diit
Pasien dianjurkan untuk berpuasa sekurang-kurangnya sampai 24 jam
setelah perdarahan berhenti. Penderita mendapat nutrisi secara parenteral
total sampai perdarahan berhenti. Setelah 24-48 jam perdarahan berhenti,
dapat diberikan diit makanan cair. Terapi total parenteral yang dapat
digunakan seperti tutofusin 500 ml, triofusin E 1000, dan aminofusin hepar
L 600.
5. Lubang hidung harus segela diperiksa, dibersihkan dan diberi pelumas
untuk mencegah area penekanan yang disebabkan area penekanan oleh
selang.

7. Pemeriksaan Diagnostik
Pada penderita Sirosis Hepatis yang sudah lanjut sering didapatkan
kadar SGPT dan SGOT dalam batas normal. Bila kita cermati maka kadar
SGOT akan lebih tinggi dari kadar SGPT. Hal ini terjadi karena jumlah sel
Hepar pada Sirosis berat sudah sangat kurang sehingga kerusakan sel Hepar
relatif sedikit. Tapi kadar bilirubin akan terlihat meninggi dengan
perbandingan albumin dan globulin akan terbalik (Widjaya, 2013).
Menurut Smeltzer dan Bare (2013) penyakit Hepar dan pengobatannya
ditentukan setelah mengkaji hasil-hasil pemeriksaan diagnostik. Ada banyak
pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk memberikan informasi
tentang fungsi Hepar. Adapun pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada
penderita Sirosis Hepatis adalah sebagai berikut :
a. Tes fungsi Hepar.

29
Pada disfungsi parenkim Hepar yang berat, kadar albumin serum
cenderung menurun dan kadar globulin serum meningkat. Pemeriksaan
enzim yang menunjukkan adanya kerusakan sel Hepar, yaitu kadar
alkali fosfatase, SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) atau
ALT (Alanin Aminotransferase) serta SGOT (Serum Glutamic
Oxaloacetic Transaminase) atau AST (Aspartat aminotransferase)
meningkat dan kadar kolinesterase serum dapat menurun. Pemeriksaan
bilirubin dilakukan untuk mengukur ekskresi empedu atau retensi
empedu.
b. Laparaskopi.
Pemeriksaan laparaskopi bersamaan dengan biopsi Hepar untuk melihat
Hepar secara langsung.
c. Ultrasonografi (USG).
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat ukuran organ-organ abdomen
dan mendeteksi adanya massa. Pemeriksaan USG juga untuk mengukur
perbedaan sel-sel parenkim Hepar dan adanya jaringan parut.
d. Analisis gas darah arterial.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat gangguan keseimbangan
ventilasi, perfusi, dan hipoksia pada Sirosis Hepatis.
e. Angiografi.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi sirkulasi Hepar dan
keberadaan sifat massa pada Hepar.
f. Biopsi Hepar.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan perubahan anatomis pada
jaringan Hepar.
g. Rontgen torak dan abdomen.
Foto torak untuk memastikan ada atau tidaknya efusi pleura sedangkan
foto polos abdomen menunjukkan adanya kesuraman yang merata dan
batas organ jaringan yang tidak jelas.

30
C. KONSEP UTAMA TEORI VIRGINIA HENDERSON
1. Definisi Keperawatan Menurut Virginia Henderson
Virginia Henderson memperkenalkan definition of nursing (definisi
keperawatan). Dia mendefinisikan keperawatan harus sertakan prinsip
keseimbangan fisiologis. Henderson mengemukakan definisi tersebut dimana
keperawatan ditinjau dari sisi fungsionalnya. Menurutnya, tugas unik
perawat adalah membantu individu, baik dalam keadaan sakit maupun sehat,
melalui upayanya melaksanakan berbagai aktifitas guna mendukung
kesehatan dan penyembuhan individu atau proses meninggal dengan tenang,
dapat dilakukan secara mandiri oleh individu saat ia memiliki kekuatan,
kemampuan, kemauan, atau pengetahuan untuk itu. Henderson juga
mengembangkan sebuah model keperawatan yang dikenal dengan “The
Actifities of Living”. Model tersebut menjelaskan bahwa tugas perawat adalah
membantu individu dalam meningkatkan kemandiriannya secepat mungkin.
Perawat dapat menjalankan tugasnya secara mandiri, tidak tergantung pada
team kesehatan lain (Asmadi, 2005).

2. Konsep Utama Teori Henderson


Konsep utama dalam teori Henderson mencakup manusia, keperawatan,
kesehatan, dan lingkungan. Henderson melihat manusia sebagai individu yang
membutuhkan bantuan untuk meraih kesehatan, kebebasan, atau kematian
yang damai, serta bantuan untuk meraih kemandirian. Definisi ilmu
keperawatan Henderson dalam kaitannya dengan praktik keperawatan 
menunjukkan bahwa perawat memiliki tugas utama sebagai pemberi asuhan
keperawatan langsung kepada pasien. Manfaat asuhan keperawatan ini terlihat
dari kemajuan kondisi pasien, yang semula bergantung pada orang lain
menjadi mandiri. Perawat dapat membantu pasien beralih dari kondisi
bergantung (dependent) menjadi mandiri (independent) dengan mengkaji,
merencanakan, mengimplementasikan, serta mengevaluasi 14 komponen
penanganan perawatan dasar (Hidayat, 2004).

31
Menurut Henderson, kebutuhan dasar manusia terdiri atas 14 komponen
yang merupakan komponen penanganan perawatan merujuk kepada
kebutuhan Maslow, Keempat belas kebutuhan adalah sebagai berikut:
1. Bernapas secara normal
2. Makan dan minum dengan cukup.
3. Membuang kotoran tubuh.
4. Bergerak dan menjaga posisi yang diinginkan.
5. Tidur dan istirahat.
6. Memilih pakaian yang sesuai.
7. Menjaga suhu tubuh tetab dalam batas normal dengan menyesuaikan
pakaian dan mengubah lingkungan.
8. Menjaga tubuh tetap bersih dan rapi.
9. Menghindari bahaya lingkungan yang bisa melukai.
10. Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengungkapkan emosi,
kebutuhan, rasa takut, atau pendapat.
11. Beribadah sesuai dengan keyakinan.
12. Bekerja dengan tata cara yang mengandung unsur prestasi.
13. Bermain atau terlibat dalam berbagai kegiatan rekreasi.
14. Belajar mengetahui atau memuaskan rasa penasaran yang menuntun pada
perkembangan normal dan kesehatan serta menggunakan fasilitas
kesehatan yang tersedia (Potter dan Perry, 2006).

3. Aplikasi Teori Henderson dalam Proses Keperawatan


Definisi ilmu keperawatan Henderson dalam kaitannya dengan praktik
keperawatan  menunjukkan bahwa perawat memiliki tugas utama sebagai
pemberi asuhan keperawatan langsung kepada pasien. Manfaat asuhan
keperawatan ini terlihat dari kemajuan kondisi pasien, yang semula
bergantung pada orang lain menjadi mandiri. Perawat dapat membantu pasien
beralih dari kondisi bergantung (dependent) menjadi mandiri (independent)

32
dengan mengkaji, merencanakan, mengimplementasikan, serta mengevaluasi
14 komponen penanganan perawatan dasar (Hidayat, 2004).

Pada tahap penilaian (pengkajian), perawat menilai kebutuhan dasar


pasien berdasarkan 14 komponen di atas. Dalam mengumpulkan data, perawat
menggunakan metode observasi, indra penciuman, peraba, dan pendengaran.
Setalah data terkumpul, perawat menganalisis data tersebut dan
membandingkannya dengan pengetahuan dasar tentang sehat-sakit. Hasil
analisis tersebut menentukan diagnosis keperawatan yang akan muncul.
Diagnosis keperawatan, menurut Henderson, dibuat dengan mengenali
kemampuan individu dalam memenuhi kebutuhannya-dengan atau tanpa
bantuan-serta dengan mempertimbangkan kekuatan atau pengetahuan yang
dimiliki individu (Parker, 2015).

Pada tahap perencanaan, menurut Henderson, meliputi aktivitas


penyusunan rencana perawatan sesuai kebutuhan individu-termasuk di
dalamnya perbaikan rencana jika ditemukan adanya perubahan-serta
dokumentasi bagaimana perawat membantu individu dalam keadaan sakit atau
sehat. Selanjutnya, pada tahap implementasi, perawat membantu individu
memenuhi kebutuhan dasar yang telah disusun dalam rencana perawatan guna
memelihara kesehatan individu, memulihkannya dari kondisi sakit, atau
membantunya meninggal dalam damai. Intervensi yang diberikan perawat
sifatnya individual, bergantung pada prinsip fisiologis, usia, latar belakang
budaya, keseimbangan emosional, dan kemampuan intelektual serta fisik
individu. Terakhir, perawat mengevaluasi pencapaian kriteria yang diharapkan
dengan menilai kemandirian pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
(Parker, 2015).

33
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SIROSIS


HEPATIS + DM TIPE 2 DENGAN PENDEKATAN
TEORI VIRGINIA HENDERSON

1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas pasien
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. RM : 01 02 99 88
Tanggal Lahir/usia : 05/07/1964, 56 Tahun
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Suku Bangsa/Daerah : Indonesia/ Minang
Alamat : Koto Gadang
Pendidikan : Sarjana
No. Telpon : 0811 0000 2020
Diagnose Medis : Sirosis hepatis + DM tipe 2

Identitas Penanggung Jawab


Nama : Ny E
Jenis kelamin : Perempuan
Hubungan dengan pasien : Istri
Pekerjaan : IRT
Alamat : Koto Gadang
No. Telp : 0812 2222 0000

34
b. Keluhan Utama
Nyeri perut yang dirasakan memberat dikarenakan perut yang membesar
sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri yang dirasakan hilang
timbul dengan durasi 30-60 detik, skala nyeri 3
c. Riwayat Kesehatan Sekarang
Nyeri perut yang dirasakan kian memberat dan perut yang membesar yang
dirasakan sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit, yang membuat pasien
diarikan ke IGD RS 31 Oktober 2020 setelah sebelumnya pasien sudah
minum obat penghilang nyeri namun tidak hilang. Kemudian pasien juga
merasa mual +, sendawa +, namun muntah tidak ada. Pasien mengatakan
ia tidak nafsu makan dan berat badan turun sejak 2 minggu yang lalu.
BAB terakhir 7 hari sebelum masuk RS, BAB berwarna hitam tidak ada,
BAK normal. Batuk +, sesak + . Pasien juga mengeluhkan kaki kiri dan
kanan bengkak + 5 hari sebelum masuk RS mendadak dirasakan makin
lama makin besar.

d. Riwayat Kesehatan Dahulu


Pasien memiliki riwayat :
 Riwayat Diabetes + 7 tahun yang lalu dengan pengobatan insulin 3
x 8 unit , novorapid, dan levomir
 Riwayat hipetensi disangkal
 Riwayat operasi 5 hari sebelum masuk RS, post amputasi digiti I-
IV
 Pasien sebelumnya dirawat di RST dan dilakukan operasi 5 hari
sebelum masuk RS M.Djamil
 Riwayat Berat badan berlebih
 Riwayat alergi tidak ada

35
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal adanya keluarga yang menderita penyakit yang sama
dengan pasien, namun dahulu orang tua perempuan pasien meninggal
karena stroke.

f. Data Laboratorium

Darah Lengkap
Parameter Nilai Tanggal Ket Tang Ket Tanggal Ket
Normal 06-11- gal 31-10-
2020 4-11- 2020
2020
Haemoglobin (13-16) 7,2 g/dl Menuru 7,7 Menuru 8,3 Menuru
n n n
Leukosit (5.000- 5.600/ Normal 8.260 Normal 13.640 Mening
10.000) mm3 kat
Haematokrit (40-48) 21% Menuru 22 Menuru 23 Menuru
n n n
Trombosit (150.000- 67.000mm Menuru 81.00 Menuru 83.000 Menuru
400.000) 3 n 0 n n
Eritrosit 4,50 – 2,36 Menuru 2,63 Menuru
5,50 n n
Basofil 0-1 0 Normal 0 Normal
eosinofil 1-3 2 Normal 1 Normal
Neutrofil 2-6 1 Menuru
Batang n
Neutrophil 50-70 65 Normal 86 Mening
segmen kat
Limfosit 20-40 25 Normal 8 Menuru
n
Monosit 2-8 7 Normal 5 Normal

Hemostasis
Tanggal Parameter Nilai normal Hasil Ket
06-11- 2020 D- Dimer <500 2111 ng/mL Meningkat
31-10-2020 APTT 22,29-29.69 31,7 Meningkat
APTT Control 26,6
PT 8,97 -12,17 14,7 Meningkat
INR <1,2 1,37 Meningkat
PT Control 10,9

Imnologi (02-11-2020)

36
Parameter Nilai normal Hasil Ket
Feritin 68 – 434 793,86 ng/mL Meningkat
hBSAg Non reaktif Reaktif
Anti HCV Non reaktif
Anti HIV Non reaktif

Kimia Klinik
Parameter Nilai Normal Tanggal Ket Tanggal Ket
06-11- 2020 31-10-2020
Total protein 6,6 – 8,7 6,9 g/dL Normal 6,9 Normal
Albumin (3,8-5) 2,0 g/dl Menurun 1,6 Menurun
Globulin 1,3 – 2,7 4,9 g/dl Meningkat 5,3 Meningkat
SGOT <38 27 U/L Normal 38 Normal
SGPT <41 8 U/L Normal 12 Normal
GDS <200 166 Normal
Ureum 10-50 58 mg/dL Meningkat
Darah
Kratinin 0,8-1,3 1,3 mg/dl Normal

Elektrolit (06-11- 2020)


Parameter Nilai Normal Hasil Ket
Natrium (136-145) 134 Mmol Menurun
Kalium (3,5-5,1) 4,1 Mmol Normal
Clorida (97-111) 108 Mmol Normal
Serum

37
g. Pola Kebutuhan Dasar Virginia Hendersom

No Komponen Nursing History Physical Examination Diagnostic & Treatment


Pengkajian
1 Bernapas TTV: TD: 197/91 mmHg, nadi: 79x/menit,
normal Sebelum Sakit : Pasien RR: 22x/menit (terpasang O2) Saat ini tepasang oksigen nasal kanul 3
mengatakan sebelumnya liter/menit
Hidung :Bentuk normal, tidak ada Hasil labor:
pasien tidak pernah peradangan. Oksigen terpasang 3 l/menit. Leukosit : 13.640meningkat (31/10/2020)
mengalami kesulitan Leukosit : 5.600/mm3normal (06/10/2020)
Paru: Ronsen Thoraktidak ada data
bernapas. Inspeksi : Pengobatan :
Bentuk normochest, pergerakan simetris N asetil sistein: 1 x 200 mg
kiri dan kanan, pernafasan dangkal, jenis
Saat sakit: Pasien mengeluh pernafasan torako abdominal, dan klien
sesak napas dengan perut menggunakan otot bantu pernafasan.
yang membesar sejak 2 hari Palpasi :
Gerakan paru sama kiri dan kanan,
sebelum masuk rumah sakit,
fremitus vokal sama kiri dan kanan.
Pasien juga mengeluhkan Perkusi :
batuk (+) Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi :
bronkovesikuler, rhonki ada, wheezing
tidak ada

Jantung: tidak ada masalah


Inspeksi : Iktus tak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba

38
satu jari medial linea medio klavikular
sinistra (LMCS) ruang intercostals
(RIC)V.
Perkusi : Batas jantung atas
pada RIC II kiri
Batas kiri satu jari medial LMCS RIC V
Batas kanan linea sternalis kanan
Auskultasi : Irama teratus, bunyi
jantung I & II normal, bising sistolik (-),
bising diastolik (-)

Leher: Tekanan vena jugularis 5 – 2


cmH20, Kelenjar getah bening tak
membesar, Kelenjar Thyroid tak
membesar
2 Makan minum Sebelum sakit        : Pasien MATA Hb: 7,2 g/dLmenurun
dengan cukup mengatakan selera makan Kedua mata simetris, palpebra tidak Total 6,9 g/dL 6,6 – 8,7
Normal
edema, konjunctiva anemis, sklera tak protein
baik dengan menu makanan
ikterik, kedua pupil sama besar dan Albumin 2,0 g/dl (3,8-5) Menurun
nasi dan lauk pauk. Pasien SGOT 27 U/L <38 Normal
bereaksi sama terhadap cahaya. Tidak ada
mengatakan makan sehari 3 gangguan dalam penglihatan SGPT 8 U/L <41 Normal
kali yaitu pagi, siang, dan GDS 166 <200 Normal
sore dengan porsi 1 piring Abdomen
setiap makan. Inspeksi: Imnologi (06-11-2020)
Perut tampak cembung, spenomegali (+) hBSAg Reaktif

Saat ini : Pasien mengeluh Palpasi:


shifting dullness (+), Hepar dan lien tidak USG Abdomentidak ada data
nafsu makan menurun. BB
teraba
menurun dalam 2 minggu Perkusi: redup Perhitungan kebutuhan kalori dengan
sebelum masuk RS. Pasien

39
mual (+), bersendawa (+) , Auskultasi: Bising Usus (+) normal Rumus Broca:
namun muntah tidak ada.  Berat badan ideal (BBI) = ( TB cm –
Pasien juga mengeluh nyeri BB 70 100 ) – 10 % = (168-100) – 10% =68 –
TB 168
perut, nyeri hilang timbul 6,8 = 61,2
Status gizi : 114,37 termasuk berat
dengan durasi 30-60 detik,  Status gizi = ( BB aktual : BB ideal ) x
badan berlebih
skala nyeri 3 100 % = 70 :61,2 x 100%= 114,37
termasuk berat badan berlebih
Keterangan kategori :
Diet pasien :ML DD . ML RG
– Berat badan kurang BB < 90 % BBI
Ektra
– Berat badan normal BB 90 – 110 % BBI
Putih telur + ikan gabus
– Berat badan lebih BB 110 – 120 % BBI
– Gemuk BB > 120 % BBI

Jumlah kebutuhan kalori perhari :


 kebutuhan kalori basal = BB ideal x 30
kalori = 61,2 x 30 kalori = 1836 kalori
 kebutuhan untuk aktivitas ditambah
20% = 20% x 1836 kalori = 367,2
kalori
 koreksi : karena kelebihan berat badan
dikurangi 10% , Koreksi Umur diatas
40 tahun : – 5 % dan Koreksi Stres
metabolik : +10-30 % (infeksi, operasi,
dll)
=( -10%-5%+10%) x 1836 kalori

40
= 5% x 1836 kalori = 91.8 kalori

Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk


penderita 1836 kalori + 367,2 kalori – 91,8
kalori = 2111 kalori.

Pengobatan:
Levomir sc : 1 x 12 unit koreksi
Novorapid sc : 3 x 8 unit dosis
Humon albumin 25% ekstra
Domperidon 2 x 10 mg
Lanzoprazole 1 x 3 mg

3 Eliminasi Sebelum sakit        : Pasien BAB ditempat tidur dengan Ureum, 58 mg/dLmeningkat
menggunakan pispot kreatinin 1,8 mg/dLnormal
Pasien mengatakan BAK
BAK : pasien terpasang kateter urin. Natrium 134 Mmol (136-145) Menurun
selalu di toilet dengan Karaketristik urin kuning. Kalium 4,1 Mmol (3,5-5,1) Normal
frekuensi BAK ± 5 kali sehari Clorida 108 Mmol (97-111) Normal
dengan konsistensi urin Serum
kuning pekat. Pasien
Pengobatan :
mengatakan tidak ada
Lactulac 3 x 15 cc
kesulitan dalam BAK. Pasien Lasix 1x 2 amp  aff
mengatakan BAB selalu di
toilet dengan frekuensi 1 kali
sehari dengan konsistensi
feses lembek berwarna
kuning kecoklatan. Pasien

41
mengatakan tidak ada
kesulitan dalam BAB dan
pasien tidak menggunakan
obat pencahar.

Saat ini: Pasien mengatakan


bahwa ia BAB terakhir 7 hari
yang lalu sebelum masuk RS,
BAB berwarna hitam tidak
ada.
BAK normal, pasien
terpasang kateter urin.
Karaketristik urin kuning.

4 Bergerak dan olah Sebelum sakit: tidak Kesadaran : composmentis Hb: 7,2 g/dLmenurun
raga untuk mengalami kesulitan GCS 15 E4 M6 V5 Trombosit : 67.000mm3menurun
menjaga postur bergerak, dan tidak Keadaan umum : sedang APTT:31,7  meningkat
tubuh menggunakan alat Bantu Ekstremitas : PT:14,7meningkat
untuk beraktivitas. Atas : Edema (-/-)
Saat ini : Pasien mengatakan Bawah : Edema (+/+), terdapat USG Vaskulertidak ada data
badan terasa lemah luka digiti sinistra 1-4 (post amputasi),
Pasien post operasi amputasi kekuatan otot menurun, paralise tidak ada,
kaki terasa kesemutan tidak ada
digiti 1-4 hari ke 5
Tingkat ketergantungan pasien : sedang
5 Tidur dan Sebelum sakit : Pasien Tidak ada keluhan
istirahat
mengatakan tidak ada

42
kebiasaan sebelum tidur dan
tidak ada kesulitan dalam
tidur baik tidur siang maupun
tidur malam.
Saat sakit : tidak ada keluhan
istirahat dan tidur. Pasien
istirahat/ tidur 6-8 jam/hari

6 Memilih pakaian Sebelum sakit : Pasien dapat


yang cocok berpakaian secara mandiri.

Selama perawatan pemilihan


pakaian dibantu perawat

7 Menjaga suhu Sebelum sakit : Pasien S: 36,5 C


tubuh tetap Pasien menggunakan selimut
normal mengatakan di rumahnya
lingkungan sejuk, dan terasa
dingin jika malam. Pada saat
tidur pasien memakai selimut.

Saat sakit  : Pasien

43
mengatakan ruangan
perawatan sejuk. pasien
menggunakan selimut
walaupun siang hari. Tidak
ada keluhan mengigil/ demam

8 Menjaga tubuh Sebelum sakit : Pasien Dibantu oleh perawat


bersih dan rapi
mengatakan mandi 2 kali
sehari secara mandiri dikamar
mandi dengan menggunakan
sabun. Saat sakit  : Pasien
mengatakan mandi 1 kali
sehari dengan bantuan istri.
Dengan dibantu oleh istri,
pasien tetap terlihat bersih,
penampilan rapi, dan baju
diganti sehari sekali.
9 Menghindari Saat ini : Pasien mengatakan Perawat ruangan memasang rail bed pada
bahaya dan hal badannya terasa lemah tempat tidur pasien, karena pasien berisiko
yang dapat jatuh.
menyakiti orang

44
lain

10 Berkomunikasi Sebelum sakit :Pasien biasa  Tidak ada masalah pendengaran dan
dengan orang lain berkomunikasi dengan bicara.Pasien mampu berkomunikasi
dalam
mengekspresikan keluarga, tetangga dan orang dengan baik
emosi, kebutuhan, lain dengan baik dan biasa  Pasien tampak cemas dan gelisah
ketakutan, dan menggunakan bahasa minang.  Sulit tidur tidak ada data
opini Saat sakit  :  RR: 22 x/m meningkat
 Tidak ada kesulitan  TD:197/91 mmHgmeningkat
dalam berkomunikasi  Muka tampak pucat
dengan orang lain. Pasien
 Pasien beroientasi pada masa lalu
dapat berbicara dan
 Tremor tidak ada data
mendengar dengan jelas.
 Pasien mengungkapkan
kecemasan dan
kekawatiran dengan
kondisinya saat in. Ia
merasa penyakitnya
semakin parah .
 Pasien mengungkapkan
kesedihan akan jari kaki
yang diamputasi dan
berangan angan
seandainya ia tidak
terlambat dan menunda
untuk mengobati kakinya

45
mungkin anggota
tubuhnya masih lengkap
 Pasien menganggap
dirinya sangat penting,
dikarenakan dirinya
merupakan seorang
suami dan ayah. Saat ini
karena sakit ia tidak bisa
menjalankan tugas dan
perannya. Sedagkan
istrinya adalah seorang
ibu rumah tangga yang
kini berada di RS sedang
mendapinginya
 Pasien memikirkan istri
dan anak-anaknya
dikarenakan ia seorang
suami dan ayah yang
bertanggung sebagai
kepala keluarga.
 Pasien bertanya
mengenai penyakit
dideritanya dan
menanyakan solusi.

46
11 Beribadah Pasien tampak masih melakukan ibadah
Sebelum sakit : Pasien semampunya di tempat tidur
sesuai dengan beragama islam. Dan sholat 5
kepercayaannya waktu selalu di mesjid.
Saat sakit  :
 Pasien cemas dan
gelisah. Ia berharap serta
terus berdoa semoga ia di
sembuhkan dari penyakit
ini. pasien merasa lebih
tenang dengan sholat.
 Pasien menganggap ini
suatu ujian dari Tuhan
baginya dan keluarga.
Beliau percaya ia dan
keluarganya bisa
melewati cobaan ini.
 Pasien beragama islam,
saat ini masih dapat
melaksanakan ibadahnya
dan berdoa semoga bisa
segera sembuh.

12 Bekerja dengan Pasien bekerja sebagai Pasien hanya menghabiskan waktu dengan
baik sehingga seorang pegawai swasta , tiduran
dapat melakukan pasien telah bekerja selama
pencapaian 22 tahun. Sejak pasien

47
tertentu diagnose diabetes pasien
sering beberapa kali izin kerja
karena sakit ataupun control
berobat ke rumah sakit. Ia
merasa badannya cepat sekali
lelah sehingga sedikit lambat
dalam menyelesaikan
perkerjaannya saat ini.
Hal ini membuat pasien
merasa tidak enak dengan
rekan kerjanya dan
memikirkannya.
13 Bermain atau Di rumah, pasien biasa Saat pengkajian Pasien hanya
berpartisipasi menghibur diri dengan menghabiskan waktu dengan tiduran dan
dalam berbagai menonton TV, mengobrol terkadang mengobrol dengan istrinya.
bentuk rekreasi dengan keluarga
 Pasien berharap semoga
cepat segera sembuh dan
bisa melaksanakan
aktivitas dan bekerja
seperti biasanya.
 Pasien menganggap
dirinya sangat penting,
dikarenakan dirinya
merupakan seorang
suami dan ayah. Saat ini
karena sakit ia tidak bisa
menjalankan tugas dan

48
perannya.
 Selama pasien
diadiagnosa penyakit
diabetes, pasien jarang /
tidak lagi mengikuti
kegaian social di
lingkungannya
dikarenakan ia harus
berobat bolak balik ke
RS untuk control dan
perawatan

14 Belajar Pasien biasa mandapatkan pasien mendapat informasi tentang


menemukan atau berita terkini dari TV dan penyakitnya dari tim kesehatan. Pasien
memuaskan rasa Koran bertanya mengenai penyakit dideritanya
ingin tahu dan dan menanyakan solusi.
menggunakan
fasilitas
kesehatan.

h. Terapi

49
TERAPI DOSIS RASIONAL
ML DD . ML RG Ektra Diet Diet Diabetes Diberikan dengan tujuan untuk mempertahankan kadar glukosa
Putih telur + ikan gabus darah mendekati normal, mencapai kadar serum lipid yang optimal dan mmberikan
energi yang cukup untuk mencapai atau mempertahankan berat badan normal.
RG diberikan karena pasien mengalami hipertensi, ascites dan edema sehingga diit
perlu pembatasan natrium, diet rendah garam dapat membantu diuresis sehingga
ascites dan edema berkurang
RL diberikan karena metabolisme empedu terganggu.Bentuk makanan yang
diberikan adalah saring dan diberikan secara oral
Ekstra putih telur diberikan karena pasien mengalami hipoalbumin.
Ikan gabus memiliki kandungan albumin yang tinggi dan berfungsi membentuk
jaringan sel baru dalam tubuh , bahkan ikan ini bermanfaat untuk menyembuhkan
bekas operasi.
IVFD Nacl 0,9% 12 J/K Merupakan cairan kristaloid yang mengandung natrium dan clorida. Cairan infus ini
digunakan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang, mengoreksi
ketidakseimbangan elektrolit, dan menjaga tubuh agar tetap terhidrasi dengan baik.
Lasix aff 2x1 amp Lasix merupakan obat yang mengandung furosemide, golongan obat diuretic yang
dapat mencegah tubuh dari menyerap terlalu banyak garam. Furosemide diberikan
untuk mengobati retensi cairan (edema) dan pembengkakan yang disebabkan oleh
kegagalan jantung kongestif, penyakit hati, penyakit ginjal.
Obat ini bekerja dengan bertindak pada ginjal untuk meningkatkan aliran urin
Cafoprazone 3x 1 g Obat golongan antibiotic sefalosporin yang digunakan untuk menangani infeksi
karena bakteri, obat ini bekerja dengan cara membunuh bakteri dan menekan laju
perkembangannya di dalam tubuh.
Beberapa jenis bakteri yang dapat diatasi dengan cefoperazone adalah:
Infeksi saluran pernafasan, peritonitis,septicemia, infeksi kulit,penyakit radang
panggul, endometritis, dan infeksi alat kelamin lainnya, infeksi saluran kencing.
Levoploxasin 1 x 750 mg Obat antibiotic golongan quinolone yang bermnfaat untuk mengobati penyakit akibat
infeksi bakteri ,seperti pneumonia, sinusitis, prostatitis, konjungtivitis, infeksi saluran

50
kemih, dan infeksi kulit.
Humon albumin 25% ektra Digunakan untuk pengobatan hipoproteinemia (kadar protein dalam darah dibawah
kisaran normal) , hipoalbuminemia ( kondisi ketika kadar albumin dalam darah di
bawah normal)
Novorapid sc 3 x 8 dosis Novorapid merupakan sediaan yang mengandung insulin. Obat ini digunakan untuk
koreksi mengurangi tingkat gula darah tinggi pada orang dewasa, remaja dan anak-anak yang
berusia 10 tahun ke atas dengan diabetes mellitus.obat ini berfungsi untuk membantu
memperbaiki produksi insulin dalam tubuh. Novorapid ini akan mulai untuk
menurukan gula darah 10-20 menit setelah menyuntikkannya ke dalam tubuh, efek
maksimal terjadi antara 1 dan 4 jam setelah injeksi dan efeknya bertahan hingga 24
jam.
Levomir sc 1 x 12 unit Levemir adalah insulin buatan yang digunakan untuk membantu kontrol gula darah
pada pasien diabetes. Insulin adalah hormone alami dalam tubuh manusia yang
berfungsi untuk menahan sel-sel tubuh agar dapat memasukkan glukosa dan
memecahya menjadi energy. Pada pasien diabetes, insulin yang dihasilkam biasanya
tidak dalam jumlah yang tepat untuk membantu pemecahan glukosa. Itu sebabnya
dibutuhhkan bantuan insulin tambahan untuk menjaga agar kadar guula dalam darah
dalam keadaan normal.
Paracetamol 3 x 500 g Paracetamol tablet merupakan obat yang digunakam untuk meringankan rasa sakit
pada sakit kepala, sakit gigi dan menurunkan demam. Paracetamol sebagai analgetik,
bekerja dengan meningkatkan ambang rasa sakit dan sebagai antipiretik yan bekerja
langsung pada pusat pengatur panas di hipotalamus.
Atorvastatin aff 1 x 20 mg Merupakan obat unyuk menurunkan LDL dan trigliserida, serta meningkatkan kadar
HDL di dalam darah.
Amlodipine aff 1 x 10 mg Merupakan obat antihipertensi calcium channel blockers (CCB) atau antagonis
kalsium golongan dihdropyridine. Obat ini digunakan untuk mengatasi hipertensi dan
membantu mencegah nyeri dada pada pasien angina pectoris.
Ramipril 1 x 5 mg Adalah obat ACE inhibitor yang bermanfaat untuk mengatasi hipertensi. Obat ini
bekerja dengan menghambat hormone yang mengubah angiotensin I menjadi

51
angiotensin II
Domperidon 2 x 10 mg Merupakan golongan antiemetic yang bermanfaat untuk meredakan rasa mual dan
muntah, gangguan pencernaan, dan refluks asam lambung (GERD).
Lanzoprazole 1 x 3 mg Obat yang bermanfaat untuk mengatasi gangguan pada lambung, seperti tukan
lambung, GERD dan sindrom Zollinger-Ellison. Cara kerjanya adalah dengan
menurunkan produksi asam lambung.
Lactulac 3 x 15 cc Merupakan obat konstipasi yang mengandung lactulose. Obat ini digunakan untuk
mengobati konstipasi kronis atau memperlancar BAB, ensefalopati sistemik.
Spironolactone 1 x 100 mg Obat ini digunaka untuk hipertensi esensial, edema akibat CHF, edema akibat sirosis
hati dengan atau tanpa asites, edema akibat sindroma nefrotik, diagnose dan
pengobatan hiperaldosteronisme primer, pencegahan hypokalemia pada penderita
yang mendapat digitalis apabila tindakan lain tidak berhasil.
N asetil sistein 1 x 200 mg Berfungsi mengencerkan dahak pada penyakit saluran pernafasan dimana terjadi
banyak lendir atau dahak. Obat ini digunakan sebagai terapi pada orang dengan
kondisi paru-paru tertentu seperti cystic fibrosis, emfisema, bronkitis, pneumonia,
atau tuberkulosis. Obat ini adalah agen mukolitik yang juga dikenal sebagai N-
acetylcysteine atau N-acetyl-L-cysteine (NAC)
Tranfusi PRC PRC adalah modalitas terapi yang digunakan untuk mengobati pasien anemia yang
hanya membutuhkan komponen sel darah merah saja. Contohnya anemia pada pasien
gagal ginjal kronik, keganasan atau thalasemia.
Oksigen 3 L/m Tujuannya mencegah dan mengurangi hipoksia.
Nasal kanul merupakan pemberian oksigen dengan konsentrasi rendah 24-40%
dengan kecepatan aliran 2-6 liter/menit

52
MAPPING KASUS Diabetes Tipe 2

Usia diatas >45 tahun Berat Badan Berlebih Riwayat keluarga Hipertensi
Usia Pasien 56 tahun Status gizi pasien: 114,37 DM Tipe 2 TD: 197/91 mmHg
termasuk berat badan berlebih

Kerusakan Sel Beta Prankreas

Penurunan produksi insulin


Peningkatan glukagon

Penurunan penggunaan glukosa

Jaringan Hati Otot

 Peningkatan lipolysis  Peningkatan ketogenesis  Penurunan sintesis glikogen


 Peningkatan gliserol  Peningkatan gluconeogenesis  Peningkatan katabolisme protein
 Peningkatan LDL kolesterol
 Penurunan HDL Kolesterol Infeksi Virus
Hepatitis Peningkatan asam amino
hiperglikemia

Dyslipidemia Nekrosis bercak pada


Penebalan membrane jaringan hepar Kelemahan Otot
dasar vaskuler

Infiltrasi lemak pada hepar Hepatosis dikelilingi Intoleransi Aktivitas


disfungsi endotel jaringan parut
disfungsi endotel
mikrovaskuler makrovaskuler
Sirosis Hepatis Kehilangan sel hepar

mikro angiopati aterosklerosis

Hepar dipenuhi Gang. metabolism Gang. pembentukan Peningkatan resistensi


Neuropati perifer retinopati nefropati lemak Vitamin empedu tekanan aliran darah yang
melintasi hepar

Ulkus diabetik Penurunan sintesis Lemak tidak dapat


Hepar membesar diemulsikan dan tidak
53 vitamin
dapat diserap oleh usus Hipertensi porta
Resiko Infeksi
Kerusakan integritas kulit/jaringan
Hepar mengeras dengan Usus mendorong Peningkatan tekanan
Gang. Asam Folat kembali isi makanan
tepi yang tajam hidrostatik dalam
jaringan pembuluh
darah intestisial
Mendesar saraf tepi Penurunan Fungsi Sel Kembali ke lambung
Darah Merah dan esofagus
Tranduksi (Eritrosit menurun Penurunan sintesis
HB menurun) yang dihasilkan sel
hati
Merangsang saraf Mual, muntah
perifer PT /APTT meningkat
Ferritin meningkat hipoalbuminia
D-Dimer meningkat
Transmisi Impuls Defisit Nutrisi
Penurunan tekanan
Neurotransmitter Resiko osmotic Koloid
Perdarahan
Peningkatan BPH
Tranduksi Cairan dari
ruang intravaskuler ke
Medula Spinalis ruang intertisial

Talamus
Pembentukan life
hepatic dalam rongga
Korteks Serebri peritonium

Nyeri Akut Asites

Cairan Asites tinggi protein


penimbunan cairan

Hiperaldosteronis Penekanan pada


me sekunder Diafragma

Ekspansi paru
Retensi natrium dan terganggu
gangguan ekresi air
Nafas Pendek
Edema
54
Kelebihan Ketidakefektifan
Volume Cairan Pola Nafas
Analisa Data

Komponen Data Diagnosa Keperawatan


Virginia
Henderson
Bernafas DS: Bersihan Jalan Napas
normal Pasien mengatakan batuk dan juga sesak Tidak Efektif b.d
DO: Fisiologis
 Paru: I: pernafasan dangkal, jenis
pernafasan torako abdominal, dan
klien menggunakan otot bantu
pernafasan. A: Brokovesikuler, rhonki
+
 RR: 22terpasang O2
 Leukosit :
13.640meningkat31/10/2020
 Ronsen Thoraktidak ada data

Makan dan DS: Hipervolemi b.d


minum dengan  Pasien mengeluh sesak nafas gangguan mekanisme
cukup  Pasien mengatakan nyeri perut yang regulasi
dirasakan karena perut yang membesar
sejak 2 hari sebelum masuk RS
 Pasien juga mengeluh kakinya
bengkak
 Pasien mengatakan dikenal menderita
diabetes sejak 7 tahun yang lalu

DO:
 RR: 22 x/m terpasang O2
 Pemeriksaan paru:
I: pernafasan dangkal, jenis pernafasan
torako abdominal, dan klien
menggunakan otot bantu pernafasan.
 Edem estremitas bawah +
 Pemeriksaan abdomen :
Inspeksi:Perut tampak cembung,
splenomegali
Palpasi:shifting dullness (+)
Perkusi :redup
 Haemoglobin 7,2 gr% menurun
 Haematokrit 21 % menurun
 Albumin 2,0 g/dl menurun
 SGOT 27 (N. < 38)normal

55
 SGPT 8 (N. <41)normal
 HBSag (+) (N. -)infeksi virus
hepatitis
 USG Abdomen:tidak ada data

 Pasien merasa mual dan bersendawa Resiko deficit nutrisi d.d


namun muntah tidak ada Peningkatan Metabolisme
 Pasien juga mengeluhkan tidak nafsu
makan
DO
 Penurunan berat badan dalam 2
minggu terakhir
 BB: 70 Kg TB : 168
 Status gizi : 114,37 termasuk berat
badan berlebih
 Haemoglobin 7,2 gr% menurun
 HBSag (+)
Total 6,9 g/dL 6,6 – 8,7 Normal
protein
Albumin 2,0 g/dl (3,8-5) Menurun
GDS 166 <200 Normal

Bergerak dan DS: Resiko Infeksi d.d


 Pasien mengatakan telah menjalani penyakit kronis (DM),
menjaga posisi
operasi 5 hari yang lalu sebelum efek procedure invasive,
yang diinginkan. masuk RS ketidakadekuatan
 Pasien mengatakan dikenal menderita pertahanan tubuh
diabetes sejak 7 tahun yang lalu primer (kerusakan
integritas kulit),
DO: ketidakadekuatan
 Amputasi digiti sinistra I-IV pertahanan tubuh
 Leukosit : 13.640meningkat sekunder (penurunan
(31/10/2020) Hb)
 Leukosit : 5.600/mm3normal
(06/10/2020)
 Haemoglobin 7,2 gr% menurun

DS:- Resiko Perdarahan d.d


gangguan fungsi hati,
DO: gangguan koagulasi
 Kesadaran : komposmentis (trombositopenia)
 Pasien tampak pucat, konjungtiva
anemis

56
 Haemoglobin 7,2 gr% menurun
 Haematokrit 21 % menurun
 Trombosit : 67.000mm3menurun
 SGOT 27 (N. < 38)normal
 SGPT 8 (N. <41)normal
 HBSag (+) (N. -)infeksi virus
hepatitis
 APTT:31,7  meningkat
 PT:14,7meningkat
 USG Abdomen: tidak ada data

Beribadah Pasien cemas dan gelisah. Ia berharap serta Kecemasan b.d Krisis
berdasarkan terus berdoa semoga ia di sembuhkan dari situasional
keyakinan penyakit ini. pasien merasa lebih tenang
dengan sholat.

Bekerja dengan Pasien bekerja sebagai seorang pegawai Kecemasan b.d Krisis
baik sehingga swasta , pasien telah bekerja selama 22 tahun. situasional
dapat melakukan Sejak pasien diagnose diabetes pasien sering
pencapaian beberapa kali izin kerja karena sakit ataupun
tertentu control berobat ke rumah sakit. Ia merasa
badannya cepat sekali lelah sehingga sedikit
lambat dalam menyelesaikan perkerjaannya
saat ini.
Hal ini membuat pasien merasa tidak enak
dengan rekan kerjanya dan memikirkannya.
Bermain atau Selama pasien diadiagnosa penyakit diabetes, -
terlibat dalam pasien jarang / tidak lagi mengikuti kegaian
berbagai social di lingkungannya serta pergi keluar
kegiatan untuk berekreasi bersama keluarga
rekreasi. dikarenakan ia harus berobat bolak balik ke
RS untuk control dan perawatan.

Berkomunikasi DS: Kecemasan b.d Krisis


dengan orang  Pasien mengungkapkan kecemasan situasional
lain dalam dan kekawatiran dengan kondisinya
mengekspresikan saat ini. Ia merasa penyakitnya
emosi, semakin parah .
kebutuhan,  Pasien mengungkapkan kesedihan
ketakutan, dan akan jari kaki yang diamputasi dan
opini berangan angan seandainya ia tidak
terlambat dan menunda untuk
mengobati kakinya mungkin anggota
tubuhnya masih lengkap

57
 Pasien menganggap dirinya sangat
penting, dikarenakan dirinya
merupakan seorang suami dan ayah.
Saat ini karena sakit ia tidak bisa
menjalankan tugas dan perannya.
Sedagkan istrinya adalah seorang ibu
rumah tangga yang kini berada di RS
sedang mendapinginya
 Pasien memikirkan istri dan anak-
anaknya dikarenakan ia seorang suami
dan ayah yang bertanggung sebagai
kepala keluarga.
 Pasien bertanya mengenai penyakit
dideritanya dan menanyakan solusi.
 Penurunan nafsu makan dan BB 2
minggu terakhir

DO:
 Pasien tampak gelisah
 Sulit tidur tidak ada data
 RR: 22 x/m dengan O2
 TD:197/91 mmHgmeningkat
 N:79 x/menit normal
 Penurun BB tidak ada data
 Muka tampak pucat
 Beroientasi pada masa lalu
 Pernafasan cuping hidung +
 Penggunaan otot bantu nafas +
 Tremor tidak ada data

58
Diagnosa Keperawatan , SLIKI, SIKI

Komponen Virginia Diagnosa SLIKI SIKI


Henderson Keperawatan
1 Bernapas normal Bersihan Jalan Nafas Bersihan Jalan Napas: Manajemen Jalan Nafas
Tidak Efektif b.d meningkat
Observasi
Fisiologis (proses 1. Batuk efektif
 Monitor pola napas (frekuensi,
infeksi) 2. Produksi sputum
kedalaman, usaha napas)
3. Dyspnea
4. Gelisah  Monitor bunyi nafas tambahan
5. Frekuensi nafas (mis: gurgling, mengi,
6. Pola nafas wheezing, ronkhi)
 Monitor sekret (jumlah, warna,
Tingkat Infeksi: Menurun bau, konsistensi).
1. Kebersihan tangan Tereputik
2. Kebersihan badan  Pertahankan kepatenan jalan
3. Nafsu makan nafas
4. Deman  Posisikan semi-Fowler/Fowler
5. Kemerahan  Berikan minum hangat
6. Nyeri  Lakukan fisioterapi dada
7. Bengkak  Lakukan penghisapan lendir
8. Kadar sel darah putih kurang dari 15 detik
9. Kultur darah  Berikan oksigen bila perlu
Edukasi
 Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
 Kolaborasi bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika

59
perlu

Pemantauan Respirasi
Observasi
1. Monitor frekuensi, irama,
kedalaman, upaya napas
2. Monitor pola nafas
3. Monitor kemampuan batuk
efektif
4. Monitor adanya produksi
sputum
5. Monitor adanya sumbatan jalan
nafas
6. Palpasi kesemetrisan ekspansi
paru
7. Auskultasi bunyi nafas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x- ray thorak
Terapeutik
11. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan

Terapi oksigen
1. Observasi
 Monitor kecepatan aliran

60
oksigen
 Monitor aliran oksigen
secara periodic dan pastikan
fraksi yang diberikan cukup
 Monitor efektifitas terapi
oksigen (mis. oksimetri,
analisa gas darah ), jika perlu
 Monitor kemampuan
melepaskan oksigen saat
makan
 Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
 Monitor tanda dan gejala
toksikasi oksigen dan
atelektasis
 Monitor tingkat kecemasan
akibat terapi oksigen
2. Terapeutik
 Bersihkan secret pada mulut,
hidung dan trachea, jika
perlu
 Pertahankan kepatenan jalan
nafas
 Berikan oksigen tambahan,
jika perlu
 Tetap berikan oksigen saat
pasien ditransportasi
 Gunakan perangkat oksigen
yang sesuai dengat tingkat

61
mobilisasi pasien
3. Edukasi
 Ajarkan pasien dan keluarga
cara menggunakan oksigen
dirumah
4. Kolaborasi
 Kolaborasi penentuan dosis
oksigen
 Kolaborasi penggunaan
oksigen saat aktivitas
dan/atau tidur

2 Makan dan minum dengan Hipervolemi b.d Keseimbangan cairan Manajemen Hipervolemi
gangguan mekanisme Kriteria hasil : Observasi
cukup.
regulasi 1. Vital sign dalam batas 1. Periksa tanda gejala
normal hipervolemi (edema)
2. BB dalam batas normal 2. Identifikasi penyebab
3. Keseimbangan elektrolit hipervolemi
4. Tidak ada odema perifer 3. Monitor status hemodinamik
5. Tidak asites 4. Monitor intake dan output
6. Membrane mukosa cairan
lembab, turgor kulit baik 5. Monitor tanda hemokonsentrasi
7. Hematokrit dalam batas 6. Monitor tanda peningkatan
normal onkotik plasma
8. Albumin dan protein total 7. Monitor kecepatan infuse
dalam batas normal 8. Monitor efek samping diuretik
Terapeutik
9. Timbang BB setiap hari pada
waktu yang sama

62
10. Batasi asupan cairan dan garam
11. Tinggikan kepala tempat tidur
30-40 derajat
Edukasi
12. Anjurkan melapor jika
haluaran urine <0,5 mL/kg/jam
dalam 6 jam
13. Anjurkan melapor jika BB
bertambah >1 kg dalam sehari
14. Ajarkan cara mengukur dan
mencatat asupan dan haluaran
cairan
15. Ajarkan cara membatasi cairan
Kalaborasi
16. Kalaborasi pemberian diuretic

Pemantauan Cairan
Observasi
1. Monitor frekuensi dan
kekuatan nadi
2. Monitor frekuensi napas
3. Monitor tekanan darah
4. Monitor berat badan
5. Monitor waktu pengisian
kapiler
6. Monitor elastisitas atau turgor
kulit
7. Monitor jumiah, warna dan
berat jenis urine

63
8. Monitor kadar albumin dan
protein total
9. Monitor hasii pemeriksaen
serum (mis. osmolaritas serum,
hematokrit, natrium, kalium,
BUN)
10. Monitor intake dan output
cairan
11. lderntifikasi tanda-tandá
hipervolemia (mis. dispnea,
edema perifer, edema anasarka
JVP meningkat, CVP
meningkat, refleks
hepatojugular positif, berat
badan menurun dalam waktu
singkat)
12. ldentifikasi faktor risiko
ketidakseimbangan cairan
(mis. prosedur pembedahan
mayor, trauma/perdarahan,
luka bakar, aferesis, obstruksi
intestinal, peradangan
pankreas, penyakit ginjal dan
kelenjar, disfungsi intestinal)
Terapeutik
13. Atur interval waktu
pemantauan sesuai dengan
kondisi pasien
14. Dokumentasikan hasil

64
pemantauan
Edukasi
15. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
16. Infomasikan hasil pemantauan

3 Bergerak dan menjaga Resiko Perdarahan d.d Timgkat Perdarahan: Pencegahan Perdarahan
gangguan fungsi hati Menurun Observasi
posisi yang diinginkan.
1. Hemoglobin 1. Monitior tanda dan gejala
2. Hematocrit perdarahan
3. Tekatan darah 2. Monitor nilai hematokrit
4. Denyut nadi apical /hemoglobin sebelum dan
5. Suhu tubuh setelah kehilangan darah
3. Monitor tanda-tanda vital
Toleransi Aktivitas ortostatik
Indikator: 4. Monitor koagulasi (mis.
1. Saturasi oksigen normal prothrombin time (PT). partial
dengan aktivitas thromboplastin time (PTT),
2. Tidak terdapat fibrinogen, degradasi fibrin
perubahan HR dengan dan atau platelet)
aktivitas Terapeutik
3. Tidak terdapat 5. Pertahankan bed rest selama
perubahan RR dengan perdarahan
aktivitas 6. Batasi tindakan invasif, jika
4. Bernafas dengan mudah perlu
dengan aktivitas 7. Gunakan kasur pencegah
5. Tidak ada perubahan Td dekubitus
dengan aktivitas 8. Hindari pengukuran suhu
6. Dapat melakukan ADL rektal
dengan mudah

65
Edukasi
9. jelaskan tanda dan gejala
perdarahan
10. Anjurkan menggunakan kaus
kaki saat ambulasi
11. Anjurkan meningkatkan
asupan cairan untuk
menghindari konstipasi
12. Anjurkan menghindari aspirin
atau antikoagıulan
13. Anjurkan meningkatkan
asupan makanan dan vitamin K
14. Anjurkan segera melapor jika
terjadi perdarahan
Kolaborasi
15. Kolaborasi pemberian obat
pengontrol perdarahan, jika
perlu
16. Kolaborasi pemberian produk
darah, jika perlu
17. Kolaborasi pemberian pelunak
tinja, jika perlu

Pencegahan Syok
Observasi
1. Monitor status kardiopuimonal
(frekuensi dan kekuatan nadi,
frekuensi napas, TD)
2. Monitor status oksigenasi

66
(oksimetri nadi, AGD)
3. Monitor status cairan (masukan
dan haluaran, turgor kulit, CRT
4. Monitor tingkat kesadaran dan
respon pupil
5. Periksa riwayat alergi
Terapeutik
6. Berikan Oksigen untuk
mempertahankan saturasi
oksigen >94%
7. Pasang jalur iv, jika perlu
8. Pasang kateter unine untuk
menilai produksi urine, jika
perlu
9. Lakukan skin test untuk
mencegah reaksi alergi
Edukasi
10. Jelaskan penyebab/faktor risiko
syok
11. Jelaskan tanda dan gejala awal
syok
12. Anjurkan melapor jika
menemukan/merasakan tanda
dan gejala awal syok
13. Anjurkan memperdanyak
asupan cairan oral
14. Anjurkan menghindan alergen
Kolaborasi
15. Kolaborasi pemberian IV, jika

67
perlu
16. Kolaborasi pemberian transfusi
darah, jika perlu
17. Kolaborasi pemberian
antiinfalamasi, jika perlu

Dukungan Perawatan Diri


Observasi
1. Identifikasi kebiasaan aktivitas
perawatan diri sesuai usia
2. Monitor tingkat kemandirian
3. Identifikasi kebutuhan alat
bantu kebersihan diri,
berpakaian, berhias, dan makan
Terapeutik
4. Sediakan lingkungan yang
terapeutik (mis. suasana
hangat, rileks, privasi)
5. Siapkan keperluan pribadi
(mis. parfum, sikat gigi, dan
sabun mandi)
6. Dampingi dalam melakukan
perawatan diri sampai mandiri
7. Fasilitasi untuk menerima
keadaan ketergantungan
8. Fasilitasi kemandirian, bantu
jika tidak mampu melakukan
perawatn diri
9. Jadwalkan rutinitas perawatan

68
diri
Edukasi
10. Anjurkan melakukan
perawatan diri secara konsisten
sesuai kemampuan

Bergerak dan menjaga Resiko Infeksi d.d Tingkat Infeksi: Menurun Pencegahan infeksi
penyakit kronis (DM), 10. Kebersihan tangan Observasi
posisi yang diinginkan.
efek procedure 11. Kebersihan badan Monitor tanda dan gejala infeksi lokal
invasive, 12. Nafsu makan dan sistemik
ketidakadekuatan 13. Deman Terapeutik
pertahanan tubuh 14. Kemerahan 1. Batasi jumlah pengunjung
primer (kerusakan 15. Nyeri 2. Berikan perawatan kulit pada
integritas kulit), 16. Bengkak area edema
ketidakadekuatan 17. Kadar sel darah putih 3. Cuci tangan sebelum dan
pertahanan tubuh 18. Kultur darah sesudah kontak dengan pasien
sekunder (penurunan dan lingkungan pasien
Hb) Integritas Kulit Dan 4. Pertahankan teknik aseptik
Jaringan : Meningkat pada pasien berisiko tinggi
1. Kerusakan jaringan Edukasi
2. Kerusakan lapisan 1. Jelaskan tanda dan gejala
kulit infeksi
3. Nyeri 2. Ajarkan cara mencuci tangan
4. Kemerahan dengan benar
5. Pigmentasi abnormal 3. Ajarkan cara memeriksa
6. Jaringan parut kondisi luka atau luka operasi
7. Suhu kulit 4. Anjurkan meningkatkan
8. Sensasi asupan nutrisi
9. Tektur 5. Anjurkan meningkatkan

69
asupan cairan

Perawatan Area Insisi


Observasi
1. Periksa lokasi insisi adanva
kemerahan, bengkak, atau
tanda-tanda dehisen atau
eviserasi
2. Monitor proses penyembuhan
area insisi
3. Monitor tanda dan gejala
inteksi
Terapeutik
1. Bersihkan area insisi dengan
pembersih yang tepat
2. Usap area insisi dan area yang
bersih menuju area yang
kurang bersih
3. Berikan salep antiseptik, jika
pertu
4. Ganti balutan luka sesuai
jadwal
Edukasi
1. Jelaskan prosedur kepada
pasien, dengan menggunakan
alat bantu
2. Ajarkan meminimalkan
tekanan pada tempat insisi
3. Ajarkan cara merawat area

70
insisi

4 Berkomunikasi dengan orang Kecemasan b.d Krisis Tingkat Kecemasan Terapi Relaksasi
lain dalam mengekspresikan situasional 1. Kekawatiran berkurang Observasi
emosi, kebutuhan, ketakutan, 2. Nyeri tidak ada 1. Identifikasi penurunan tingkat
dan opini 3. Rasa cemas yang energi, ketidakmampuan
disampaikan secara lisan berkonsentrasi, atau gejala
tidak ada lain yang mengganggu
4. Berkeringat dingin tidak kemampuan kognitif
ada 2. identifikasi teknik relaksasi
5. Kelemahan tidak ada yang pernah efektif digunakan
6. TTV dalam batas normal 3. ldentifikasi kesediaan,
7. Anoreksia tidak ada kemampuan, dan penggunaan
teknik sebelumnya
4. Periksa ketegangan otot,
frekuensi nadi, tekanan darah,
dan suhu sebelum dan sesudah
latihan
5. Monitor respons terhadap
terapi relaksasi
Terapeutik
6. Ciptakan ingkungan tenang
dan tanpa gangguan dengan
pencahayaan dan sj[uhu ruang
nyaman, jika memungkinkan
7. Berikan informasi tertulis
tentang persiapan dan
prosedur teknik relaksasi
Edukasi

71
8. Jelaskan tujuan, manfaat,
batasan, dan jenis relaksasi
yang tersedia (mis. musik,
meditasi
9. napas dalam, relaksasi otot
progresif)
10. Jelaskan secara rinci
intervensi relaksasi yang
dipilih
11. Anjurkan menganbil posisi
nyaman
12. Anjurkan rileks dan
merasakan sensasi relaksasi
13. Anjurkan sering mengulangi
atau melatih teknik yang
dipilih
14. Demonstrasikan dan latih
teknik relaksaşi (mis. napas
dalam, peregangan, atau
imajinasi
terbimbing)

Dukungan Proses Berduka


Observasi
1. Identifikasi proses kehilangan
yang dihadapi
2. Identifikasi Proses berduka
yang dialami
3. Identifikasi Reaksi awal

72
terhadap kehilangan
Terapeutik
4. Tunjukan sikap menerima dan
empati
5. Motivasi agar mau
mengungkapkan kehilangan
6. Motivasi untuk menguatkan
dukungan keluarga
7. Fasilitasi mengepresikan
perasaan dengan cara yang
nyaman
8. Fasilitasi melakukan
kebiasaan sesuai budaya,
agama dan norma sosial
9. Diskusi strategi koping yang
digunakan
Edukasi
10. Jelaskan pada pasien dan
keluarga bahwa sikap
mengingkari, marah, tawar
menawar dan menerima
adalah wajar
11. Anjurkan mengekpresikan
perasaan tentang kehilangan
12. Ajarkan melewati proses
berduka secara bertahap

73
BAB IV
PENELUSURAN EBN

Penjelasan dalam bab ini adalah pembahasan mengenai pelaksanaan praktik


keperawatan berbasis bukti/Evidence Based Nursing Practice (EBNP) yaitu
pemberian posisi kepala setinggi 15 derajat dengan masalah dyspnea pada pasien
sirosis hati dengan asites.

A. Latar Belakang
Peningkatan global dalam prevalensi diabetes mellitus (DM) saat ini telah sangat
mempengaruhi di bidang hepatologi. Diabetes mellitus secara independen
berhubungan dengan penyebab sirosis, karsinoma hepatoseluler, dan penyakit hati
berlemak nonalkohol, yang menjadi indikasi utama untuk transplantasi hati. Sebuah
penelitian terhadap 178 pasien sirosis menunjukkan peningkatan hampir enam kali
lipat risiko infeksi di antara mereka dengan DM. Karena infeksi bakteri telah
berulang kali dikaitkan dengan gagal hati onkronik akut, kegagalan banyak organ,
dan mortalitas jangka pendek yang tinggi di antara pasien dengan sirosis.
Dampak yang mungkin akan muncul pada pasien Sirosis Hepatis salah satunya
adalah penumpukan cairan (ascites) (PPHI, Indonesian Association For The Study Of
The Liver, Febuari, 2013). beberapa gejala yang muncul karena asites yaitu perut
yang terlihat membesar dan membengkak, muncul rasa kembung, sakit perut serta
sesak napas, terutama pada saat berbaring. Postur tubuh yang berbeda mempengaruhi
ventilasi paru dan tekanan parsial oksigen arteri. Dengan pemberian posisi yang tepat
masalah sesak pasien dengan asites pada pasien sirosis dapat berkurang dan
merupakan intervensi keperawatan klinis penting yang mempengaruhi pemulihan
pasien.

B. Tujuan
Postur tubuh dapat mempengaruhi ventilasi paru dan tekanan parsial oksigen
arteri. Saat merawat pasien sirosis asites, perawat harus membantu pasien untuk

74
memilih sudut yang paling nyaman untuk mereka tanpa batasan tertentu. Penelitian
terkait pemberian posisi pada pasien dypnea dengan asites dapat digunakan untuk
memandu perawat dalam membuat rencana pendidikan kesehatan dan keperawatan
yang meningkatkan kualitas perawatan untuk pasien penyakit hati kronis dan pasien
sirosis dengan asites dengan menurunkan sesak nafas, peningktan saturasi oksigen
dan detak jantung dalam rentang normal.
.
C. Metodologi Pencarian
1. Pertanyaan Klinis

Pertanyaan klinis pada rumusan masalah berdasarkan latar belakang


yang sudah penulis uraikan diatas maka “pada pasien sirosis dengan masalah
dyspnea terkait asites, apakah pengaturan pemberian posisi kepala oleh
perawat dapat mengurangi sesak nafas? Untuk lebih jelasnya akan
digambarkan dalam bentuk PICO seperti pada table dibawah ini:

Analisis PICO

Unsur PICO
Analisis Kata Kunci
(Terapi)
P Pasien sirosis dengan masalah Cirrhosis patient
dyspnea terkait asites dyspnea related ascites
I Pemberian posisi kepala head position
C Standar intervensi pada pasien Standard Of dyspnea
dyspnea terkait asites Intervention
O mengurangi dyspnea reduced dyspnea

75
D. Sumber Penelusuran dan Kata Kunci
Penelusuran jurnal yang berhubungan dengan manajemen penanganan

sirosis oleh perawat yang di dapat dari penelusuran menggunakan internet online

dari data base yaitu:

1. https://www.cochranelibrary.com/

2. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov

3. http://www.sci-hub.com

E. Temuan Penelusuran

Penulis menemukan jurnal yang relevan dengan topik EBN untuk mengatasi

masalah sesak nafas akibat asites pada pasien sirosis hati.

1. Effects of head posture on oxygenation saturation, comfort, and dyspnea in

patients with liver cirrhosis-related ascites. doi: 10.6224/JN.61.5.66.

2. Body Posture Angle Affects the Physiological Indices of Patients With Liver

Cirrhosis Ascites https://doi.org/10.1097/SGA.0000000000000204

3. Influence of an upright body position on the size of intrapulmonary blood

shunts in patients with advanced liver cirrhosis

76
F. Telaah Kritisi
Penulis akan menguraikan deskripsi jurnal utama yang digunakan dalam
menerapkan EBN. Penulis akan menjelaskan beberapa poin yang terkait jurnal
utama sebagai berikut:
1. Judul Penelitian
Effects of head posture on oxygenation saturation, comfort, and dyspnea in
patients with liver cirrhosis-related ascites
2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan menyelidiki efek postur kepala pada saturasi
oksigenasi, kenyamanan, dan dispnea pada pasien dengan asites terkait sirosis
hati.
3. Metode dan Prosedur Penelitian
Desain penelitian ini menggunakan randomized controlled trial (RCT)
design, dan dengan kuasi eksperimental. Data dianalisis menggunakan
statistik deskriptif. Persamaan estimasi umum (GEE) digunakan untuk analisis
statistik, dengan tingkat signifikansi ditetapkan pada: α =0.05.
Sampel :
Sebanyak 252 peserta direkrut dari rumah sakit pusat medis di Taiwan.
Peserta dialokasikan secara acak ke dalam tiga kelompok sudut ketinggian
tempat tidur: 15 derajat, 30 derajat, dan 45 derajat.
Kondisi sampel:
Kriteria inklusi adalah pasien harus sadar, didiagnosis dengan sirosis,
memiliki asites grade 2 atau 3, dan tidak menerima paracentesis pada hari itu.
Kriteria eksklusi adalah pasien didiagnosis dengan kanker hati, menggunakan
obat penenang atau pelemas otot, dan memiliki penyakit pernapasan atau
penyakit pada otak.

Penilaian asites pasien :

Grading klinis asites diatur sebagai berikut: (1) derajat 1, didefinisikan


sebagai ringan, hanya terlihat pada USG dan CT; (2) tingkat 2, didefinisikan

77
sebagai dapat dideteksi dari tonjolan di perut dan shifting dullness; dan (3)
tingkat 3, didefinisikan sebagai terlihat langsung, dikonfirmasi dengan
gelombang fluida / uji sensasi (Moore et al., 2003).

Alat yang digunakan dalam penelitian


(1) Alat ukur konsentrasi saturasi oksigen darah
Pada penelitian ini konsentrasi oksigen pasien diukur dengan alat yang
dihubungkan ke jari ( Pulse oxymetry ), untuk memantau konsentrasi saturasi
oksigen arteri pasien ( Sp O 2 ).  Saturasi oksigen darah  ( SO 2 ) adalah
hemoglobin oksigen terikat oleh oksigen dalam darah.
(2) Skala Peringkat Kenyamanan
Studi ini mengadopsi skala peringkat digital ( Numerical Rating
Scale, NRS ) . Devit T et al, di studi tahun 2011  juga menggunakan alat ini
untuk menilai tingkat posisi kenyamanan berbaring pasien yang berbeda. Oleh
karena itu ini adalah alat pengukuran klinis yang efektif dan
stabil. Mengukur dari 0 - 10 cm, 0 cm  merupakan yang sangat nyaman,
10 cm menunjukkan tidak nyaman. 
(3) Skala kesulitan bernapas
Penelitian ini mengacu pada Liu ( 1998 ) dan Wu, Chen,
Chen ( 2013 ) dan lainnya pada skala evaluasi digital untuk pasien dispnea
pada akhir kanker untuk menilai derajat sesak napas pada pasien, yang dapat
dengan cepat dan efektif mencerminkan perasaan subjektif pasien tentang
dispnea. Diterapkan pada studi skala peringkat numerik yang berbeda
memiliki reliabilitas dan validitas yang baik, termasuk pasien transplantasi
hati , pasien penyakit paru obstruktif kronik ( Corrêa, Karloh, Martins , DOS
Santos , & Mayer , 2011; Vaes et Al, 2012 ) atau orang dewasa yang
sehat. Skala ini 0 hingga 10 point untuk mengukur sesak,  poin 0 untuk tidak
ada perasaan sesak, pernapasan lembut/normal,  poin 10 mewakili kelelahan
pernapasan, kesulitan yang sangat serius. Ketika pasien mengubah postur

78
tubuhnya, dia diminta untuk menyatakan derajat dispnea saat itu, dan peneliti
mencatatnya.   
(4) Penggaris sudut multifungsi
Digunakan saat menyesuaikan berbagai sudut posisi berbaring
( 15 derajat, 30 derajat, 45 derajat), ini adalah busur derajat baja tahan
karat 100mm , model: CK-S4308 

Proses dan langkah penelitian


Elevasi kepala 15 derajat, 30 derajat dan 45 derajat pada ketiga
kelompok subjek yang masing-masing item mengukur konsentrasi saturasi
oksigen darah, derajat kenyamanan dan pengukuran dispnea . 
Pengukuran dilakukan pada saat, pengaturan sudut tempat
tidur dengan penyesuaian ketinggian kepala datar mulai 15 derajat ( Grup 1 ) ,
30 derajat ( Grup 2 ) dan 45 derajat ( Grup 3 ) , dan untuk pengukuran
konsentrasi oksigen dilakukan pengukurang pada menit 5 , 10 , 15 , 20 , 25 ,
30 menit. Sedangkan pengukuran pada skala tingkat kenyamanan dan skala
tingkat dyspnea dilakukan pengukurang langsung pada 30 menit sebelum
intervensi dan setelah intervensi.
Pasien diposisikan dengan posisi awal posisi tengkurap, kemudian
masing-masing kelompok menyesuaikan posisi berbaring berdasarkan
ketinggian kepala mulai 15 derajat, 30 derajat dan 45 derajat.
Sesuaikan perubahan tingkat oksigen darah dalam waktu 30 menit dari posisi
tengkurap untuk ditangani sesegera mungkin sehingga pasien dapat
mempertahankan oksigenasi yang cukup; kemudian 30 menit setelah
menyesuaikan sudut tempat tidur , gunakan skala tingkat kenyamanan dan
skala tingkat dispnea untuk mengevaluasi kenyamanan pasien dan kesulitan
bernafas secara sadar.

79
4. Hasil Penelitian
Perbandingan variabel efek antara berbagai kelompok kenyamanan dan
dispnea
Menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada
derajat kenyamanan. Untuk derajat dispnea, pasien berada pada tiga kelompok
pada sudut yang berbeda. Derajat dispnea yang diukur dengan posisi
signifikan secara statistik ( p <0.05 ), post-test menemukan bahwa pasien
dengan dispnea pada berbaring 45 derajat dibandingkan dengan 15 derajat
ternyata posisi 15 derajat lebih baik.

Hasil menunjukkan bahwa pasien dalam tiga kelompok memperoleh


skor yang sama untuk tingkat kesulitan nilai oksigen. Kelompok terlentang
memperoleh skor yang sangat berbeda dari dua kelompok lainnya dalam hal
nilai oksigen darah terkait waktu untuk mengubah sudut ketiga kelompok
pada lima menit setelah penyesuaian sudut (p <0,01). Studi ini tidak
menemukan perbedaan di antara ketiga kelompok dalam hal kenyamanan.
Dalam hal pernapasan, penelitian ini menemukan perbedaan yang signifikan
antara dispnea terlentang 45 derajat dan 15 derajat (p <0,05).
Oleh karena itu, pasien dengan asites pada 15 derajat terlentang
dengan akses yang lebih baik ke saturasi oksigen yang lebih baik memiliki
hasil yang lebih baik dibandingkan rekan mereka pada posisi terlentang 30
derajat dan 45 derajat. Selain itu, kelompok ini cenderung tidak merasakan
kesulitan bernapas. Bernardi et al. menunjukkan bahwa posisi berbaring pada

80
pasien asites lebih disukai pasien, pasien dapat meningkatkan aliran balik
vena dengan aliran istirahat, meningkatkan aliran darah ke tubuh secara
efektif. 

5. Kesimpulan
Hasil penelitian ini dapat memandu pendidikan dan perawatan kesehatan bagi
perawat guna meningkatkan kualitas pelayanan bagi pasien penyakit hati
kronis / sirosis dengan asites .
6. Keterbatasan penelitian
Untuk waktu lama pemberian posisi berbaring 15 derajat ini tidak ada
rekomendasi dari penelitian ini. Penelitian ini hanya mengukur derajat sesak
nafas yang dirasakan saat perubahan pemberian posisi 15 derajat setelah 30
menit. Selain itu, belum ada penelitian yang jelas mengenai pengaruh lamanya
waktu berbaring terhadap kelanjutan dari sesaknya sendiri. Hal ini juga tidak
dijelaskan pada SIKI (2017) yang juga tidak menyebutkan waktu berapa lama
pemberian posisi semi fowler efektif diberikan kepada pasien untuk
mengurangi sesak nafas dan waktu harus merubah posisi ke posisi lainnya.
Pada kelompok berbaring 15 derajat ini cenderung tidak merasakan kesulitan
bernapas pada pasien sirosis dengan asites. Pemberian posisi ini untuk
mengurangi sesak memang tidak sepenuhnya dapat menghilangkan sesak
yang dirasakan tetapi efektif membantu meringankan gejala sesak yang
dirasakan.

81
BAB V
DISCHARGE PLANNING

Kebutuhan Diagnosa SOAP


Berdasarkan Teori Keperawatan
Virginia Henderson
Bernafas normal Bersihan Jalan Nafas S:
Pasien mengatakan batuk masih ada namun sudah
Tidak Efektif b.d
berkurang, produksi dahak tidak ada
Fisiologis (proses Sesak yang dirakan tidak ada
Pasien mengatakan ia sudah bisa menghirup udara
infeksi)
tanpa bantuan selang hidung

O:
 Batuk efektif
 Produksi sputum berkurang
 Paru: I: bentuk dada normochest, jenis
pernafasan torako abdominal, pola pernafasan
reguler, sesak tidak ada dan tidak
menggunakan otot bantu pernafasan.
 A: vesikuler, rhonki -
 RR: 20normal
 Pasien tidak membutuhkan alat bantu nafas
/oksigen
 Leukosit :5.600/mm3normal (06/10/2020)
 Ronsen Thorakpneumonia tidak ada (tidak
ada data)

A:
Bersihan Jalan Napas: meningkat
Masalah teratasi

P:
1. Edukasi penggunaan obat
2. Edukasi etika batuk
3. Edukasi cara batuk efektif dengan modifikasi
alat yang bisa digunakan di rumah
4. Edukasi Saran Makanan/Cairan Yang Harus
Dihindari dan dikonsumsi Saat Batuk
5. Edukasi Penanganan sesak
6. Pemberian posisi untuk mengurangi sesak

82
Edukasi penggunaan obat
Jelaskan jenis obat, alasan pemberian, tindakan yang diharapkan, dan efek samping
obat. Pada diagnose keperawatan Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif b.d Fisiologis
(proses infeksi) biasanya pasien mendapatkan obat batuk dan antibiotic.
Nama obat Jenis obat / Fungsi obat Saran dalam Interaksi obat Efek
cara penggunaan obat samping
penggunaan
Levofloxacin Antibiotic digunakan untuk  Dapat  Obat-obatan  Gangguan
menangani infeksi dikonsumsi golongan antasida pencernaa
Dosis: 500 Diberikan
karena bakteri, sebelum dan dan sucralfate, serta n, seperti
mg melalui obat ini bekerja setelah makan multivamin dengan diare dan
dengan cara  Jika dosis kandungan zinc, sembelit.
oral/mulut
membunuh konsumsi atau zat besi, dapat  Mual dan
bakteri dan levofloxacin mengganggu muntah.
menekan laju satu kali per penyerapan dan
perkembangannya hari, kinerja
di dalam tubuh. sebaiknya levofloxacin.
konsumsi obat Jangan
di pagi hari. menggunakannya
Bila kurang dari 2 jam
diresepkan sebelum sampai 2
lebih dari satu jam setelah jadwal
kali per hari, konsumsi obat.
pastikan ada
jarak waktu
yang cukup
antar dosis
atau sesuaikan
dengan saran
dokter.
 Pastikan untuk
menghabiskan
seluruh dosis
obat yang
diresepkan
dokter meski
sudah merasa
lebih baik. Hal
ini penting
untuk
mencegah
kembalinya

83
infeksi. Jika
gejala tidak
membaik
setelah
menghabiskan
obat, segera
temui dokter.

N- Obat batuk Berfungsi Obat ini harus penggunaan obat ini gangguan
mengencerkan diberikan setelah bersamaan dengan pada saluran
acetylcysteine Diberikan
dahak pada asupan makanan antitusif lain (obat yang pencernaan
Dosis 600 mg melalui penyakit saluran terutama pada digunakan untuk misalnya
pernafasan pasien mengurangi mual, dan
oral/mulut
dimana terjadi penderita gastritis. gejala batuk akibat muntah.
banyak lendir berbagai sebab
atau dahak. termasuk infeksi virus  Catatan:
pada saluran napas Namun pasien
atas) dapat tidak perlu
menyebabkan stasis cemas akan
lendir karena obat-obat efek samping
yang memiliki efek obat karena
antitusif menekan pasien juga di
refleks batuk. Oleh damping
karena itu, kombinasi dengan obat
ini harus digunakan mual
dengan hati-hati.
Dikarenakan Obat ini
tidak dianjurkan untuk
pemakaian kronik.

Edukasi Etika Batuk


Batuk adalah mekanisme pertahanan tubuh disaluran pernafasan dan
merupakan gejala suatu penyakit atau reaksi tubuh terhadap iritasi ditenggorokan
karena adanya lendir, makanan, debu, asap dan sebagainya. Batuk berfungsi sebagai
refleks pelindung untuk membantu dalam mendeteksi dan membersihkan puing-puing
dan sekresi berlebih dari saluran pernapasan.
Etika batuk adalah tata cara yang baik dan benar untuk mengendalikan
penyebaran infeksi di sumbernya. Etika batuk bertujuan mencegah penyebaran suatu

84
penyakit secara luas melalui droplet dan membuat kenyamanan pada orang di
sekitarnya.

Tata cara etika batuk yang benar:


1. Sedikit berpaling dari orang yang ada di sekitar anda, tutup hidung dan mulut
dengan menggunakan tissue atau sapu tangan atau lengan dalam baju setiap
kali merasakan dorongan untuk batuk atau bersin.
2. Segera buang tissue yang sudah di pakai ke dalam tempat sampah tertutup.
3. Segera cuci tangan sesuai dengan standart atau hand-sanitizer alcohol-
based
4. Gunakan masker

Latihan batuk efektif


Pengertian Batuk Efeketif
Batuk efektif merupakan suatu metode batuk dengan benar dimana dapat
energi dapat dihemat sehingga tidak mudah lelah dan dapat mengeluarkan dahak
secara maksimal (Smeltzer, 2008).

Tujuan Batuk Efektif


1. Membebaskan jalan nafas dari akumulasi sekret
2. Mengeluarkan sputum untuk pemeriksaan diagnostik laboratorium
4. Mengurangi sesak nafas akibat akumulasi secret
5. Meningkatkan distribusi ventilasi.
6. Meningkatkan volume paru
7. Memfasilitasi pembersihan saluran napas

Alat dan Bahan yang disediakan


1. Tissue/sapu tangan
2. Wadah tertutup berisi cairan desinfektan (air sabun / detergen, air bayclin, air
lisol) atau pasir.

85
3. Gelas berisi air hangat

Cara Mempersiapkan Tempat Untuk Membuang Dahak


1. Siapkan tempat pembuangan dahak: kaleng berisi cairan desinfektan yang
dicampur dengan air (air sabun / detergen, air bayclin, air lisol)
2. Isi cairan sebanyak 1/3 kaleng
3. Buang dahak ke tempat tersebut
4. Bila berisi air desinfektan : buang di lubang WC, siram
5. Bersihkan kaleng dengan sabun

Teknik Batuk Efektif


Atur posisi semifowler atau fowler
Cara:
 Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan selama 2
detik, kemudian keluarkan dari mulut selama 8 detik
 Anjurkan menarik nafas dalam hingga 3 kali
 Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik nafas dalam yang ke 3
 Lakukan berulang kali sesuai kebutuhan, bila klien mampu diulang setiap 1
sampai 2 jam

Saran Makanan/Cairan Yang Harus Dihindari dan dikonsumsi Saat Batuk


 Hindari makan makanan yang berminyak atau gorengan
Sebenarnya bukan makanannya yang memperparah batuk, melainkan
minyak yang digunakan untuk menggoreng terutama minyak jelantah yang
telah dipakai berulang kali, menghasilkan senyawa akrolein yang akan
memicu rasa gatal di tenggorokan.
 Hindari makan makanan yang terlalu manis yang dapat menyebabkan
tenggorokan merasa gatal
 Hindari makanan pemicu alergi

86
Selain infeksi virus, batuk menjadi salah satu gejala dari reaksi alergi.
Kondisi alergi terjadi ketika adanya reaksi berlebihan dari sistem imun
terhadap zat di dalam makanan.
Ada beberapa makanan penyebab alergi sehingga memperburuk
kondisi batuk. Makanan tersebut dapat berupa makanan laut, telur, kacang,
dan lainnya. Mengenali makanan yang bisa memicu alergi dalam tubuh
sekaligus menghindarinya, adalah salah satu cara tepat untuk meredakan atau
bahkan mencegah batuk sama sekali. Selain menyebabkan batuk, terus
mengonsumsi makanan penyebab alergi juga dapat memicu reaksi alergi yang
lebih serius seperti kejang dan sesak napas. 
 Minum air hangat untuk melegakan tenggorokan

Pemberian posisi untuk mengurangi sesak


Pada pasien sesak dengan asites pemberian posisi berbaring 15 derajat lebih
efektif dalam mengurangi sesak nafas karena dapat meningkatkan aliran balik vena
dengan aliran istirahat , meningkatkan aliran darah ke tubuh secara efektif sehingga
ventilasi paru lebih baik. 
Pemberian posisi ini memang tidak sepenuhnya dapat menghilangkan sesak
yang dirasakan namun efektif membantu meringankan gejala sesak yang dirasakan.
Untuk teknik lainnya dalam mengurangi sesak yang dirasakan, pasien bisa juga
melakukan pernafasan bibir / Pursed Lip Breathing.

Latihan Pernapasan Bibir/ Pursed Lip Breathing untuk Mengurangi Sesak


Apa itu sesak nafas?
Sesak napas adalah ketidaknyamanan atau kesulitan bernafas. Selama sesak
napas, seseorang mungkin merasa tidak bisa bernapas atau mendapatkan cukup udara
dan / atau dada sesak.
Tujuan
 latihan pernapasan bibir yang mengerucut bermanfaat untuk mengurangi
sesak napas.

87
 melakukan pernapasan bibir juga sebagai sumber daya bagi mereka yang
terkena sesak napas sebelum mendapatkan perawatan medis lanjutan jika
sesak tidak berkurang.
Apa itu pernapasan bibir yang mengerucut dan mengapa itu penting?
 Mengerucutkan bibir merupakan latihan pernapasan yang dapat digunakan
untuk mengurangi gejala dyspnea / sesak nafas
 Strategi pernapasan yang sederhana dan mudah ini dapat membuat napas lebih
efektif dan menurunkan laju pernapasan
 Manfaat tambahan dari pernapasan bibir yang dikerutkan termasuk
memperbaiki pola pernapasan, melepaskan udara yang terperangkap di paru-
paru, meningkatkan relaksasi umum, menjaga saluran udara terbuka lebih
lama, dan memperpanjang pernapasan.

Bagaimana pernapasan bibir mengerucutkan?


Ikuti langkah-langkah berikut:
 Atur posisi yang nyaman. Tindakan ini dapat dilakukan dalam posisi duduk
ataupun berbaring
 Relakskan bahu dan otot leher Anda
 Dengan mulut tertutup, tarik napas perlahan (tarik napas) melalui hidung
setidaknya selama 2 detik. Mungkin membantu untuk menghitung sendiri
 Dengan mulut tertutup, perlahan hembuskan (hembuskan) semua udara di
paru-paru Anda dengan bibir mengerucutkan, "seolah-olah Anda akan bersiul
atau dengan lembut mengedipkan nyala lilin," selama setidaknya 4 detik.
Mungkin membantu untuk menghitung sendiri. Jangan memaksa udara keluar
 Menghembuskan napas harus dua kali lebih lama dari pernapasan masuk
 Lakukan pernafasan bibir hingga nafas menjadi normal.
 Jika Anda terus mengalami sesak napas setelah latihan ini, hubungi 911 atau
segera cari pertolongan medis
Catatan: Latihan ini bisa dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot perut.

88
BAB VI
PENUTUP

A  Kesimpulan
Metode pengkajian dengan pendekatan teori 14 kebutuhan dasar manusia
Virginia Henderson dapat menginterpretasi pengkajian respons pasien terhadap
penyakit yang dideritanya berdasarkan tingkat pemenuhan 14 kebutuhan dasar
tersebut. Metode ini mampu mengidentifikasi respons dan kebutuhan pasien secara
holistik sesuai tingkat ketergantungan pasien, sehingga dapat  digunakan oleh perawat
dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang menyeluruh dan berkesinambungan. 
Perawat dapat melaksanakan fungsinya membantu individu sehat ataupun
sakit untuk menggunakan kekuatan, keinginan dan pengetahuan yang dimilikinya
sehingga individu tersebut mampu melaksanakan aktivitas sehari–harinya, sembuh
dari penyakit ataupun meninggal dengan tenang.

B. Saran
Mahasiswa harus mampu memahami teori ini, lebih kreatif agar dalam
melakukan asuhan keperawatan apabila melakukan aplikasi teori Virginia Henderson,
dapat mengatasi dan membantu mengurangi atau menghilangkan keluhan pasien.

89
DAFTAR PUSTAKA

Aligood, M. R. (2017). Nursing Theorists: and Their Work (8th Ed). Missouri:
Elsevier.

Black M. J.& Hawks H. J. (2010). Medical Surgical Nursing. Clinical Management


for Positive Outcome. Volume 1. (8th Ed.). Saunders Elsevier. St. Louis.
Missouri.

Brashers, L. V. 2008. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan Manajemen.


Jakarta : EGC.
Kowalak, P. J., W. Welsh., B. Mayer. 2012. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Manjoer, Arif., K. Rutanti, R. Savitri. 2007. Kapita Selekta Kodokteran. Jakarta :
Media Aesculapius.
Price, A. S dan L. M. Wilson. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis ProsesProses
Penyakit. Jakarta : EGC.
Smeltzer, C. S dan B. G. Bare. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner dan Suddarth. Edisi 8. Jakarta : EGC.
&id=106 di akses pada hari Kamis tanggal 13 November 2014.
Wijaya, S. A dan Y. M. Putri. 2013. Keperawatan Medikal Bedah I. Bengkulu :
Nuha Medika.
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Persatuan Perawat
Nasional Indonesia.
Wen Chuan Hsu , Lun Hui Ho, Mei Hsiang Lin, Hsiu Ling Chiu, Effects Of Head
Posture On Oxygenation Saturation, Comfort, And Dyspnea In Patients With
Liver Cirrhosis-Related Ascites: Randomized Controlled Trial Chinese
Nursing Research (2014),  doi: 10.6224/JN.61.5.66.
Kowalak , J. (2011). Buku ajar patofisiologi. Jakarta: EGC.

90
Rab, T. (2010). Ilmu penyakit paru. Jakarta: TIM.
Tamsuri, A. (2008). Asuhan keperawatan klien gangguan pernafasan. Jakarta: EGC.

91

Anda mungkin juga menyukai