Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. latar belakang
Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu Masalah kesehatan yang berdampak
pada produktivitas dan dapat menurunkan Sumber Daya Manusia. Penyakit ini tidak hanya
berpengaruh secara individu, tetapi sistem kesehatan suatu negara. Walaupunbelum ada
survei nasional, sejalan dengan perubahan gaya hidup termasuk pola makan masyrakat
indonesia diperkirakan penderita DM semakin meningkat, terutama pada kelompok umur
dewasa keatas pada seluruh status sosial ekonomi.
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar. Data
dari studi global menunjukan bahwa jumlah penderita Diabetes Melitus pada tahun 2011
telah mencapai 366 juta orang. Jika tidak ada tindakan yang dilakukam, jumlah tersebut
diperkirakan akan meningkat menjadi 552 juta pada tahun 2030 (WHO, 2011).
International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan bahwa sebanyak 183 juta orang
tidak menyadari bahwa mereka mengidap DM. Sebesar 80% orang dengan DM tinggal di
negara berpenghasilan rendah dan menengah, (IDF, 2011). Ada beberapa jenis DM yaitu
Diabetes Mellitus Tipe I, Diabetes Mellitus Tipe II, Diabetes Mellitus Tipe Gestasional,
dan Diabetes Mellitus Tipe Lainnya. Jenis Diabetes Mellitus yang paling banyak diderita
adalah Diabetes Mellitus Tipe 2. Diabetes Mellitus Tipe 2 (DM Tipe 2) adalah penyakit
gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan gulah darah akibat penurunan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas dan atau ganguan fungsi insulin (resistensi insulin) (Depkes,
2007).
Perkembangan teknologi semakin lama semakin pesat dan menyentuh hampir semua
bidang kehidupan manusia. Pada akhirnya setiap individu harus mempunyai pengetahuan
dan keterampilan untuk menggunakan teknologi, agar dapat beradaptasi terhadap
perkembangan tersebut. Hal ini juga berlaku untuk profesi keperawatan, khususnya area
keperawatan kritis di ruang perawatan intensif (intensif care unit/ICU).
Di ruang perawatan kritis, pasien yang dirawat disana adalah pasien-pasien yang
memerlukan mesin-mesin yang dapat menyokong kelangsungan hidup mereka, diantaranya
mesin ventilator, monitoring, infus pump, syringe pump, dll. Dengan adanya keadaan
tersebut maka tenaga kesehatan terutama perawat yang ada di ruang perawatan kritis,
seharusnya menguasai dan mampu menggunakan teknologi yang sesuai dengan mesin-
mesin tersebut, karena perawat yang akan selalu ada di sisi pasien selama 24 jam.
Pemanfaatan teknologi di area perawatan kritis terjadi dengan dua proses yaitu
transfer dan transform teknologi dari teknologi medis menjadi teknologi keperawatan.
Tranfer teknologi adalah pengalihan teknologi yang mengacu pada tugas, peran atau
penggunaan peralatan yang sebelumnya dilakukan oleh satu kelompok profesional kepada
kelompok yang lain. Sedangkan transform (perubahan) teknologi mengacu pada
penggunaan teknologi medis menjadi bagian dari teknologi keperawatan untuk
meningkatkan asuhan keperawatan yang diberikan dan hasil yang akan dicapai oleh pasien.
Ventilasi mekanik yang lebih dikenal dengat ventilator merupakan teknologi medis yang
ditransfer oleh dokter kepada perawat dan kemudian ditransform oleh keperawatan
sehingga menjadi bagian dari keperawatan. Perawat pemula yang pengetahuan dan
pengalaman teknologinya masih kurang akan menganggap ventilator sebagai beban kerja
tambahan, karena mereka hanya bisa melakukan monitoring dan merekam hasil observasi
pasien. Sedangkan pada perawat yang sudah berpengalaman akan memanfaatkan dan
menggunakan ventilator sebagai bagian dari keperawatan untuk meningkatkan kualitas
asuhan keperawatan kepada pasien di ruang kritis dan akan berdampak positif terhadap
profesi keperawatan.
Penguasaan terhadap teknologi akan menjadi modal bagi perawat untuk mengontrol
pekerjaannya (Alasad, 2002). Perawat sebagai ujung tombak pelayanan di rumah sakit
khususnya perawat ICU (Intensive Care Unit) perlu memiliki pemahaman dasar mengenai
penggunaan ventilator mekanik. Pemahaman yang tepat sangat membantu perawat dalam
memberikan pelayanan secara optimal. Tidak jarang pasien pasien yang terpasang ventilasi
mekanik di sertai dengan penyakit bawaan atau penyakit penyerta seperti penyakit diabetes
milletus. Penyakit dibetes milletus sendiri merupakan penyakit degenerative yang menjadi
ancaman utama pada umat manusia. Diabetes milletus merupakan salh satu penyakit tidak
menular yang prevalensinya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Diabettes ,illetus
sering juga di sebut dengan the great imitator, yaitu penyakit yang mengenai semua organ
tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Penyakit ini timbul secara perlahan
sehingga seseorang tidak menyadari bahwa adanya berbagai macam perubahan pada
dirinya. Perubahan seperti minum banyak, buang air kecil menjadi lebih sering, berat badan
terus menurun, dan berlangsung cukup lama,biasanya tidak di perhatikan, hinggan baru di
ketahui setelah kondisi menurun dan stelah di bawa ke rumah sakit lalu di periksa kadar
glukosa darahnya. (Mirza,2012).

Penderita Diabetes milletus dapat terjadi komplikasi pada semua tingkat sel dan
semua tingkat anatomik, manifestasi komplikasi kronik dapat terjadi pada tingkat
pembuluh darah kecil (microvaskular) berupa kelainan pada retina mata, glomerulus ginjal,
saraf dan otot jantung (kardiomiopati). Pada pembuluh darah serebral, jantung (penyakit
jantung koroner) pada pembuluh darah perifer (tungkai bawah). Komplikasi lain pda
diabetes milletus dapat berupa kerentanan berlebih terhadap infeksi dengan akibat
mudahnya terjadi infeksi kaki, yang kemudian dapat berkembang menjadi ulkus atau
gangren diabetes.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk memberikan asuhan
keperawatan yang profesional dan bermutu tentang penyakit sistem endokrin : diabetes
milletus on ventilator, sehingga penulis mengambil judul laporan makalah ”Asuhan
keperawatan pada Tn. E dengan diabetes miletus on ventilator di ruang icu 2 Rsud pasar
minggu”.

B. Tujuan penulis
1. Tujuan umum
Penulis mampu memberikan asuhan keperawatan secara profesional dan bermuutu pada
pasien dengan sistem endokrin: diabetes miletus on ventilator secara komprehensif
yang meliputi aspek biologis, psikologis, sosiologis dan spiritual.
2. Tujuan khusus
Makalah inidibuat untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk melakukan uji
kompetensi perawat Klinis II (PK II) yang dilakukan di rumah Sakit RSUD Pasar
Minggu

C. Metode penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan
penjabaran masalah-masalah yang ada dan menggunakan studi kepustakaan dari literatur
yang ada, baik di perpustakaan maupun di internet.

BAB II
TINJAUAN TEORI
DIABETES MILLETUS DAN VENTILASI MEKANIK

A. Diabetes milletus
1. Pengertian
Diabetes mellitus (DM) atau penyakit kencing manis adalah penyakit yang
disebabkan karena kurangnya produksi insulin oleh pankres atau tubuh tidak dapat
menggunakan insulin yang telah dihasilkan oleh pannreas secara efektif (Yunita Sari,
2015). Jumlah penderita DM semakin meningkat di seluruh dunia.Pada tahun 1995,
jumlah penderita DM adalah sekitar 135 juta orang dan meningkat menjadi 285 pada
tahun 2010 (International Diabetic, 2014).
Di Indonesia, penderita DM juga mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu
sekitar 8,4 juta pada tahun 2000 dan diperkirakan akan mencapai 21,3 juta jiwa pada
tahun 2030. WHO menyatakan bahwa Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam
jumlah penderita DM di dunia (Yunita Sari, 2015). Berdasarkan Diabetes militus (DM)
yaitu kelianan pada seseorang yang ditandai naiknya kadar glukosa dalam darah
(hiperglikemia) yang diakibatkan karena kurangnya produksi insulin oleh pankreas.
2. Klasifikasi
a. Klasifikasi Diabetes Militus (DM) menurut World Health Organization (WHO,
2008) terbagi dalam 3 bagian yaitu :
1) Diabetes tipe 1 Gejala penderita DM tipe 1 termasuk peningkatan ekskresi urin
(poliuria), rasa haus (polidipsia), lapar, berat badan turun, pandangan terganggu,
lelah, dan gejala ini dapat terjadi sewaktu‐waktu (tiba‐ tiba).
2) Diabetes tipe 2 Gejala DM tipe 2 mirip dengan tipe 1, hanya dengan gejala yang
samar. Gejala bisa diketahui setelah beberapa tahun, kadang‐kadang komplikasi
dapat terjadi. Tipe DM ini umumnya terjadi pada orang dewasa dan anak‐anak
yang obesitas
3) Diabetes Gestational
b. DM ini terjadi akibat kenaikan kadar gula darah pada kehamilan Diabetes Militus
(DM) menurut (Padila, 2012) Klasifikasi Diabetes militus sebagai berikut:
1) Tipe I : Diabetes militus tergantung insulin (IDDM)
2) Tipe II : Diabtes militus tidak tergatung insulin (NIDDM)
3) Diabetes militus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya.
4) Diabetes militus gestasional (GDM)

3. Etiologi
a. DM menurut (Padila, 2012)
1) Diabetes tipe I
1) Faktor genetik
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi
suatu predisposisi atau kecenderungan genentik ini ditemukan pada individu
yang memiliki tipe antigen HLA.
2) Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana
antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap
jaringan tersebut jaringan tersebut yang dianggapnya seolah- olah sebagai
jaringan asing otoanbodi terhadap seolah-olah sebagai jaringan asing. Yaitu
otoanbodi terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen.
3) Faktor lingkungan Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun
yang menimbulkan destruksi selbeta.
2) Diabetes tipe II
Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui fakktor genetik
memegang peranan dalam proses terjadinya terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko
a) Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada meningkat pada usia
diatas 6 tahun).
b) Obesitas
c) Riwayat keluarga
b. Etiologi menurut (PERKEPNI, 2006 dalam Faisol, 2015) 1)
1) Diabetes mellitus tipe
a) Autoimun
b) Idiopatik
2) Diabetes mellitus tipe 2
a) Resistensi insulin
3) Diabetes tipe lain
a) Defek genetik fungsi sel beta
b) Defek genetik kerja insulin
c) Penyekit eksokrin pankreas
d) Endokrinopati
e) Karena obat atau zat kimia
f) Infeksi
g) Sebab imunologi yang jarang
h) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan dengan diabetes mellitus.
c. Etiologi menurut (Rudy, 2014) adalah :
1) Diabetes mellitus tipe 1
a) Autoimun
b) Genetik
c) Apoptosis
d) Toksin
2) Diabetes mellitus tipe 2
a) Resistensi insulin
b) Inflamasi
c) Genetik d) Disfungsi sel beta

Dari ketiga teori para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa etiologi
diabetes mellitus secara umum memiliki kesamaan, yakni Genetik, resistensi
insulin, disfungsi sel beta, sindrom penyakit, faktor lingkungan, inflamasi, dan
dari ketiga teori diatas menggambarkan bahwa DM merupakan penyakit yang
berat.

4. Patofisiologi DM
5. Manifestasi
a. Manifestasi klinis DM dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin
(Price&Wilson dalam nanda, 2015)
1) Kadar glukosa puas tidak normal
2) Hiperglikemia berakibat glu kosuria yang akan menjadi dieresis osmotik yang
meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (Polidipsia)
3) Rasa lapar yang semakin besar (polifagia),BB berkurang
4) Lelah dan mengantuk
5) Gejala lain yang dikeluhkan adalah kesemutan, gatal, mata kabur, impotensi,
peruritas vulva.
b. Manifestasi klinis DM menurut (Brunner& Suddarth edisi 12, 2013) adalah
1) Poliuria : Urin encer yang banyak setiap hariny
2) Polidipsia : Klien terus menerus menerus merasa haus. c) Poliuria terus
walaupun tanpa penggantian cairan
c. Manifestasi klinis DM menurut (Mirza, 2015) adalah :
1) Poliuri : Urinasi yang sering
2) Polidipsi : Banyak minum akibat kehausan
3) Polifagi: meningkatnya hasrat untuk makan
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Kadar glukosa darah
b. Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes militus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan
1) Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2) Glukosa plasma puasa > 140 mg / dl (7,8 mmol/L)
3) Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp)> 200 mg/dl.
c. Tes labolatorium DM Jenis tes pada pasien DM dapat berupa tes saring, tes
diagnostik, tes pemantauan terapi dan tes untuk mendeteksi komplikasi.
d. Tes saring Tes T– tes saring pada DM adalah :
1) GDP,GDS
2) Tes Glukosa Urin
3) Tes konvensional (Metode reduksi/Benedict)
4) Tes carik celup (Metode glucose / hexokinase)
5) Tes diagnostik Tes - tes diagnostik pada DM adalah : GDP, GDS, GGD2PP
(Glukosa darah 2 jam post prandial), glukos jam ke-2 TTGO.
6) Tes monitoring terapi DM adalah :
a) GDP : Plasma vena,darah kapiler
b) GD2 PP :Plasma vena
c) A1C : Darah vena,darah kapiler
7) Tes untuk mendeteksi komplikasi adalah Mikroalbuminuria :
a) Urin
b) Ureum,kreatinin,asam urat
c) Kolestrol total : Plasma vena (Puasa)
d) Kolestrol LDL : Plasma vena (Puasa)
e) Kolestrol HDL : Plasma vena (Puasa)
f) Trigliserida : Plasma vena (Puasa)
7. Penatalaksanaan
Tujuan utama terapi diabetes militus adalah mencoba menormalkan aktifitas insulin dan
kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi kompliksas vaskuler serta
neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes dalah mencapai kadar glukosa
darah normal.
Ada 5 komponen dalam pelaksanaan diabetes :
a. Diet
b. Latihan
c. Pemantauan
d. Terapi (jika diperlukan)
e. Pendidikan kesehatan
B. Pengertian ventilator mekanik
Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan negatif atau positif yang dapat
mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu yang lama. (Brunner dan
Suddarth, 1996). Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu sebagian
atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi. (Carpenito, Lynda Juall
2000). Ventilasi mekanik dengan alatnya yang disebut ventilator mekanik adalah suatu alat
bantu mekanik yang berfungsi memberikan bantuan nafas pasien dengan cara memberikan
tekanan udara positif pada paru-paru melalui jalan nafas buatan. Ventilator mekanik
merupakan peralatan “wajib” pada unit perawatan intensif atau ICU. ( Corwin, Elizabeth J,
2001)
Ventilator adalah suatu system alat bantuan hidup yang dirancang untuk menggantikan atau
menunjang fungsi pernapasan yang normal. Tujuan utama pemberian dukungan ventilator
mekanik adalah untuk mengembalikan fungsi normal pertukaran udara dan memperbaiki
fungsi pernapasan kembali ke keadaan normal. (Bambang Setiyohadi, 2006).
1. Klasifikasi ventilator
a. Ventilator tekanan negative
Ventilator tekanan negatif mengeluarkan tekanan negatif pada dada
eksternal. Dengan mengurangi tekanan intratoraks selama inspirasi
memungkinkan udara untuk mengalir ke dalam paru-paru, sehingga memenuhi
volumenya. Secara fisiologis, jenis ventilasi terbaru ini serupa dengan ventilasi
spontan. Ventilator jenis ini digunakan terutama pada gagal nafas kronik yang
berhubungan dengan kondisi neurovaskular seperti poliomielitis,
distrofimuskular, sklerosis lateral amiotrofik, dan miasteniagravis.
Penggunaannya tidak sesuai untuk pasien yang tidak stabil atau pasien yang
kondisinya membutuhkan perubahan ventilatori sering.
Ventilator tekanan negatif adalah alat yang mudah digunakan dan tidak
membutuhkan intubasi jalan nafas pasien. Ventilator ini digunakan paling sering
untuk pasien dengan fungsi pernafasan borderline akibat penyakit neuromuskular.
Akibatnya, ventilator ini sangat baik untuk digunakan di lingkungan rumah.
Terdapat beberapa jenis ventilator tekanan negatif: iron lung, body wrap, dan
chest cuirass.
Drinker Respirator Tank (Iron Lung). Iron Lung adalah bilik tekanan
negatif yang digunakan untuk ventilasi. Alat ini pernah digunakan secara luas
selama epidemik polio pada masa lalu dan sekarang digunakan oleh pasien-pasien
yang selamat dari penyakit polio dan kerusakan neuromuskular lainnya. Body
Wrap (Pneumowrap) dan Chest Cuirass (Tortoise Shell). Kedua alat portabel ini
membutuhkan sangkar atau shell yang kaku untuk menciptakan bilik tekanan
negatif disekitar toraks dan abdomen. Karena masalah-masalah dengan ketepatan
ukuran dan kebocoran sistem, jenis ventilator ini hanya digunakan dengan hati-
hati pada pasien tertentu.
b. Ventilator tekanan positif
Ventilator tekanan positif menggembungkan paru-paru dengan
mengeluarkan tekanan positif pada jalan nafas, serupa dengan mekanisme di
bawah, dan dengan demikian mendorong alveoli untuk mengembang selama
inspirasi. Ekspirasi terjadi secara pasif.
Pada ventilator jenis ini diperlukan intubasi endotrakea atau trakeostomi.
Ventilator ini secara luas digunakan di lingkungan rumah sakit dan meningkat
penggunaannya di rumah untuk pasien dengan penyakit paru primer.

2. Indikasi ventilasi mekanik


Jika pasien mengalami penurunan kontinu oksigenasi (PaO2), peningkatan kadar
karbondioksida arteri (PaCO2), dan asidosis persistem (penurunan pH), maka ventilasi
mekanis kemungkinan diperlukan. Selain itu pada kondisi kondisi di bawah ini
diindikasikan menggunakan ventilator mekanis.
a. Gagal Napas
Pasien dengan distres pernapasan gagal napas (apnue) maupun hipoksemia yang
tidak teratasi dengan pemberian oksigen merupakan indikasi ventilator mekanik.
Idealnya pasien telah mendapat intubasi dan pemasangan ventilator mekanik
sebelum terjadi gagal napas yang sebenarnya. Distress pernapasan disebabkan
ketidakadekuatan ventilasi dan atau oksigenisasi. Prosesnya dapat berupa
kerusakan (seperti pada pneumonia) maupun karena kelemahan otot pernapasan
dada (kegagalan memompa udara karena distrofi otot).
b. Insufisiensi Jantung
Tidak semua pasien dengan ventilator mekanik memiliki kelainan pernapasan
primer. Pada pasien dengan syok kardiogenik dan CHF, peningkatan kebutuhan
aliran darah pada system pernapasan (system pernapasan sebagai akibat
peningkatana kerja napas dan konsumsi oksigen) dapat mengakibatkan kolaps.
Pemberian ventilator untuk mengurangi beban kerja system pernapasan sehingga
beban kerja jantung juga berkurang.
c. Disfungsi Neurologis
Pasien dengan GCS 8 atau kurang, beresiko mengalami apnoe berulang juga
mendapatkan ventilator mekanik. Selain itu ventilator mekanik berfungsi untuk
menjaga jalan napas pasien. Ventilator mekanik juga memungkinkan pemberian
hiperventilasi pada klien dengan peningkatan tekanan intra cranial.
d. Tindakan operasi
Tindakan operasi yang membutuhkan penggunaan anestesi dan sedative sangat
terbantu dengan keberadaan alat ini. Resiko terjadinya gagal napas selama operasi
akibat pengaruh obat sedative sudah bisa tertangani dengan keberadaan ventilator
mekanik.

3. Mode operasional ventilator


Untuk menentukan modus operasional ventilator terdapat beberapa parameter yang
diperlukan untuk pengaturan pada penggunaan volume cycle ventilator, yaitu :
a. Frekuensi pernafasan permenit
Frekuensi napas adalah jumlah pernapasan yang dilakukan ventilator dalam satu
menit. Setting normal pada pasien dewasa adalah 10-20 x/mnt. Parameter alarm
RR diseting diatas dan dibawah nilai RR yang diset. Misalnya set RR sebesar
10x/menit, maka setingan alarm sebaliknya diatas 12x/menit dan dibawah
8x/menit. Sehingga cepat mendeteksi terjadinya hiperventilasi atau hipoventilasi.
b. Tidal volume
Volume tidal merupakan jumlah gas yang dihantarkan oleh ventilator ke pasien
setiap kali bernapas. Umumnya disetting antara 8 - 10 cc/kgBB, tergantung dari
compliance, resistance, dan jenis kelainan paru. Pasien dengan paru normal
mampu mentolerir volume tidal 10-15 cc/kgBB, sedangkan untuk pasien PPOK
cukup dengan 5-8 cc/kgBB. Parameter alarm tidal volume diseting diatas dan
dibawah nilai yang kita seting. Monitoring volume tidal sangat perlu jika pasien
menggunakan time cycled.
c. Konsentrasi oksigen (FiO2)
FiO2 adalah jumlah kandungan oksigen dalam udara inspirasi yang diberikan
oleh ventilator ke pasien. Konsentrasinya berkisar 21-100%. Settingan FiO2
pada awal pemasangan ventilator direkomendasikan sebesar 100%. Untuk
memenuhi kebutuhan FiO2 yang sebenarnya, 15 menit pertama setelah
pemasangan ventilator dilakukan pemeriksaan analisa gas darah. Berdasarkan
pemeriksaan AGD tersebut maka dapat dilakukan penghitungan FiO2 yang tepat
bagi pasien.
d. Rasio inspirasi : ekspirasi
Rumus Rasio inspirasi : Ekspirasi
Waktu inspirasi + waktu istirahat
Waktu ekspirasi
Keterangan :
1) Waktu inspirasi merupakan waktu yang diperlukan untuk memberikan
volume tidal atau mempertahankan tekanan.
2) Waktu istirahat merupakan periode diantara waktu inspirasi dengan
ekspirasi
3) Waktu ekspirasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan
udara pernapasan
4) Rasio inspirasi : ekspirasi biasanya disetiing 1:2 yang merupakan nilai
normal fisiologis inspirasi dan ekspirasi. Akan tetapi terkadang diperlukan
fase inspirasi yang sama atau lebih lama dibandingkan ekspirasi untuk
menaikan PaO2.
e. Limit pressure / inspiration pressure
Pressure limit berfungsi untuk mengatur jumlah tekanan dari ventilator volume
cycled. Tekanan terlalu tinggi dapat menyebabkan barotrauma.
f. Flow rate/peak flow
Flow rate merupakan kecepatan ventilator dalam memberikan volume tidal
pernapasan yang telah disetting permenitnya.
g. Sensitifity/trigger
Sensitifity berfungsi untuk menentukan seberapa besar usaha yang diperlukan
pasien dalam memulai inspirasi dai ventilator. Pressure sensitivity memiliki nilai
sensivitas antara 2 sampai -20 cmH2O, sedangkan untuk flow sensitivity adalah
antara 2-20 L/menit. Semakin tinggi nilai pressure sentivity maka semakin
mudah seseorang melakukan pernapasan. Kondisi ini biasanya digunakan pada
pasien yang diharapkan untuk memulai bernapas spontan, dimana sensitivitas
ventilator disetting -2 cmH2O. Sebaliknya semakin rendah pressure sensitivity
maka semakin susah atau berat pasien untuk bernapas spontan. Settingan ini
biasanya diterapkan pada pasien yang tidak diharapkan untuk bernaps spontan.
h. Alarm
Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu untuk
mewaspadakan perawat tentang adanya masalah. Alarm tekanan rendah
menandakan adanya pemutusan dari pasien (ventilator terlepas dari pasien),
sedangkan alarm tekanan tinggi menandakan adanya peningkatan tekanan,
misalnya pasien batuk, cubing tertekuk, terjadi fighting, dan lain-lain. Alarm
volume rendah menandakan kebocoran. Alarm jangan pernah diabaikan tidak
dianggap dan harus dipasang dalam kondisi siap.
i. Positive end respiratory pressure (PEEP)
PEEP bekerja dengan cara mempertahankan tekanan positif pada alveoli diakhir
ekspirasi. PEEP mampu meningkatkan kapasitas residu fungsional paru dan
sangat penting untuk meningkatkan penyerapan O2 oleh kapiler paru.

4. Komplikasi
Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan pasien, Pasien dengan ventilator
mekanis memerlukan observasi, keterampilan dan asuhan keperawatan berulangtapi
bila perawatannya tidak tepat bisa, menimbulkan komplikasi seperti:
a. Komplikasi pada jalan nafas
Aspirasi dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah intubasi. Kita dapat
meminimalkan resiko aspirasi setelah intubasi dengan mengamankan selang,
mempertahankan manset mengembang, dan melakukan penghisapan oral dan selang
kontinu secara adekuat. Bila resusitasi diperpanjang dan distensi gastrik terjadi,
jalan nafas harus diamankan sebelum memasang selang nasogastrik untuk
dekompresi lambung. Bila aspirasi terjadi potensial untuk terjadinya SDPA
meningkat. Kebanyakan pasien dengan ventilator perlu dilakukan restrein pada
kedua tangan, karena ekstubasi tanpa disengaja oleh pasien sendiri dengan aspirasi
adalah komplikasi yang pernah terjadi. Selain itu self-extubation dengan manset
masih mengembang dapat menimbulkan kerusakan pita suara.
Prosedur intubasi itu sendiri merupakan resiko tinggi. Contoh komplikasi
intubasi meliputi:
1) Intubasi lama dan rumit meningkatkan hipoksia dan trauma trakea.
2) Intubasi batang utama (biasanya kanan) ventilasi tak seimbang, meningkatkan
laju mortalitas.
3) Intubasi sinus piriformis (jarang) abses faringeal.
4) Pnemonia Pseudomonas sering terjadi pada kasus intubasi lama dan selalu
kemungkinan potensial dari alat terkontaminasi.
b. Masalah Selang Endotrakeal
Bila selang diletakkan secara nasotrakeal, infeksi sinus berat dapat terjadi.
Alternatifnya, karena posisi selang pada faring, orifisium ke telinga tengah dapat
tersumbat, menyebabkan otitis media berat, kapanpun pasien mengeluh nyeri sinus
atau telinga atau terjadi demam dengan etiologi yang tidak diketahui, sinus dan
telinga harus diperiksa untuk kemungkinan sumber infeksi.
Beberapa derajat kerusakan trakeal disebabkan oleh intubasi lama. Stenosis
trakeal dan malasia dapat diminimalkan bila tekanan manset diminimalkan.
Sirkulasi arteri dihambat oleh tekanan manset kurang lebih 30 mm/Hg. Penurunan
insiden stenosis dan malasia telah dilaporkan dimana tekanan manset dipertahankan
kurang lebih 20 mm/Hg. Bila edema laring terjadi, maka ancaman kehidupan
paskaekstubasi dapat terjadi.
c. Masalah Mekanis
Malfungsi ventilator adalah potensial masalah serius. Tiap 2-4 jam ventilator
diperiksa oleh staf keperawatan atau pernafasan. VT tidak adekuat disebabkan oleh
kebocoran dalam sirkuit atau manset, selang atau ventilator terlepas, atau obstruksi
aliran. Selanjutnya disebabkan oleh terlipatnya selang, tahanan sekresi,
bronkospasme berat, spasme batuk, atau tergigitnya selang endotrakeal. Secara
latrogenik menimbulkan komplikasi melampaui kelebihan ventilasi mekanis yang
menyebabkan alkalosis respiratori dan karena ventilasi mekanis menyebabkan
asidosis respiratori atau hipoksemia. Penilaian GDA menentukan efektivitas
ventilasi mekanis. Perhatikan, bahwa pasien PPOM diventilasi pada nilai GDA
normal mereka, yang dapat melibatkan kadar karbondioksida tinggi.
d. Barotrauma
Ventilasi mekanis melibatkan “pemompaan” udara kedalam dada, menciptakan
tekanan positif selama inspirasi. Bila TEAP ditambahkan, tekanan ditingkatkan dan
dilanjutkan melalui ekspirasi. Tekanan positif ini dapat menyebabkan robekan
alveolus atau emfisema. Udara kemudian masuk ke area pleural, menimbulkan
tekanan pneumotorak-situasi darurat. Pasien dapat mengembangkan dispnea berat
tiba-tiba dan keluhan nyeri pada daerah yang sakit. Tekanan ventilator
menggambarkan peningkatan tajam pada ukuran, dengan terdengarnya bunyi alarm
tekanan. Pada auskultasi, bunyi nafas pada area yang sakit menurun atau tidak ada.
Observasi pasien dapat menunjukkan penyimpangan trakeal. Kemungkinan paling
menonjol menyebabkan hipotensi dan bradikardi yang menimbulkan henti jantung
tanpa intervensi medis. Sampai dokter datang untuk dekompresi dada dengan
jarum, intervensi keperawatannya adalah memindahkan pasien dari sumber tekanan
positif dan memberi ventilasi dengan resusitator manual, memberikan pasien
pernafasan cepat.
e. Penurunan Curah Jantung.
Penurunan curah jantung ditunjukkan oleh hipotensi bila pasien pertama kali
dihubungkan ke ventilator ditandai adanya kekurangan tonus simpatis dan
menurunnya aliran balik vena. Selain itu hipotensi adalah tanda lain dan gejala
dapat meliputi gelisah yang tidak dapat dijelaskan, penurunan tingkat kesadaran,
penurunan haluarana urine, nadi perifer lemah, pengisian kapiler lambat, pucat,
lemah, dan nyeri dada. Hipotensi biasanya diperbaiki dengan meningkatkan cairan
untuk memperbaiki hipovolemia.
f. Keseimbangan air positif
Penurunan aliran balik vena ke jantung dirangsang oleh regangan reseptor vagal
pada atrium kanan. Manfaat hipovolemia ini merangsang pengeluaran hormon
antidiuretik dari hipofise posterior. Penurunan curah jantung menimbulkan
penurunan haluaran urine melengkapi masalah dengan merangsang respons
aldosteron renin-angiotensin. Pasien yang bernafas secara mekanis, hemodinamik
tidak stabil, dan yang memerlukan jumlah besar resusitasi cairan dapat mengalami
edema luas, meliputi edema sakral dan fasial.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DIABETES MILLETUS ON VENTILATOR


A. PENGKAJIAN
Asuhan keperawatan pada tn.E di ruang icu 2 Rsud pasar minggu Jakarta selatan
Anamnesa
Tanggal MRS : 13 – 05 – 2018
Tanggal Pengkajian : 14 – 05 – 2018
No. Registrasi : 09 94 04
Diagnosa Medis : Rf with ETT diabetes milettus tipe 2 suspek pneumonia
post
op craniotomy ec sol

1. IDENTITAS KLIEN
Nama Pasien : Tn E
Usia : 51 tahun
Jenis Kelamin : laki – laki
Alamat : Jakarta selatan
Pendidikan : sarjana
Pekerjaan : wiraswasta
Agama : islam
Sumber Informasi : Keluarga

2. RIWAYAT KEPERAWATAN
a. Riwayat kesehatan sekarang
Klien saat ini dirawat hari ke 2, terpasang ventilator. Factor pencetus pemasangan
ventilator ditemukannya indiksi penykit SOL. Penyebabbya tidak diketahui.
Riwayat SMRS klien mengatakan mata terasa kabur jika berjalan terasa pusing,
kebas pada kaki kiri hilang timbul
b. Riwayat kesehatan masa lalu
Klien memiliki riwayat DM tapi klien tidak mengetahuinya dan tidk meminum
obat gula
c. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga tidak memiliki riwayat penyakit pada keluarga baik dm maupun
hipertensi
d. Riwayat psikologis
Orang terdekat klien dengan anak yang pertama, komunikasi yang dilakukan
secara terbuka sering melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan
e. Pola kebiasaan
1. Pola nutrisi
Sebelum sakit : klien makan 3x /hari, tidak menjalani diet dm atau pantangan
dalam makanan. Tidak ada masalah terhadap nafsu makan
Di RS : diet DM, mc 6x 100 terpasang NGT pada tanggal 14 Mei 2018
2. Pola eliminasi
Sebelum sakit : menurut keluarga klien tidak mengalami keluhan dalam pola
eliminasi
Di RS : terpasang DC, urine berwarna kuning jernih
3. Pola personal hygiee
Sebelum sakit : menurut keluarga klien, klien mandi 2 x per hari
Di Rs : personal hygiene dilakukan setiap 2 x perhari
4. Pola istirahat dan tidur
Sebelum sakit Menurut keluarga klien, klien tidak mengalami gangguan
istirahat tidur
Di RS : kesadarannya dibawah pengaruh obat
5. Pola aktivitas
Sebelum sakit: aktivitas klien menurut keluarga sudah tidak bekerja
Di RS : Bedrest ditempat tidur dan semua ADL dibantu oleh perawat
6. Pola kebiasaan : klien tidak merokok dan tidak meminum-minuman alkohol

3. PENGKAJIAN FISIK
a. Pemerikasaan fisik umum
Bb 65 kg, td : 112/78, N 105, S : 36,8, RR :16, klien tamapak sakit berat, dengan
ventilator dengan pola O2 on Venti mode PCV5 RR 15 FIO 2 50 persen, TV 450,
IE 1:2
b. System penglihatan
Mata klien tamapak simetris, konjungtiva ananemis, penglihatan kabur
c. System bicara
Klien terpasang ventilator GCS 10 ETT ( E4, M6, V ETT)
d. System pendengaran
Tingkat kesadaran klien DPO, serumen telinga normal
e. System pernafasan
ventilator dengan pola O2 on Venti mode PCV5 RR 15 FIO 2 50 persen, TV 450,
IE 1:2
f. System cardiovaskuler
td : 112/78, N 105, S : 36,8, RR :16, nadi teraba kuat, tidak ada kelainan jantung
g. Sistem saraf pusat
Tingkat kesadaran DPO
h. System pencernaan
Muntah tidak ada, BU kurang lebih 12 kali permenit
i. System urogenital
Terpasang DC, BAK kuning jernih
j. System intugement
Turgor baik, akral hangat
k. System mukuloskeletal
Tidak ada kelainan hanaya dalam pengaruh obat
l. Data penunjang
1. Hasil lab: Hb: 10,5, Ht: 33, lk: 21,5, Tr: 350
AGD : Ph: 7,41, pCO2 : 31,4, PO2: 60,8 , HCO3: 20,2 SPo2: 91,6
2. Hasil RO: Pulmo normal
3. Hasil CT Scan: Lesi hiperdens di mid line lobus paretal kanan dengan edema
perifokal minimal yang menyempitkan sulci corticalis disekitarnya, mendesak
ventrikel lateralis kana kiri dd SOL dan sinusitis maksilaris
4. Terapi yang diberikan
- Metformin 3x 500
- Ulsafat 3x 10 cc
- Cordaron 2 x 200
- Candesartan 1x 8 mg
- Concor 1x 2,5
- Phenytoin 3x 100
- Inhalasi ventolin 3x perhari
- Levoflokasasin 1x 750 mg
- Meropenem 3x 1 gr
- Omz 2x 40 mg
- Transamin 3 x 500 mg
- NAC 3 x1
- Pct drip 4x 1 gr
- Insulin 3 unit per jam
- Raivask 8 mg/50 ml
4. ANALISA DATA
DATA MASALAH KEPERAWATAN
DS: Pola nafas tidak efektif: ketidakmampuan
DO: Klien terpasang ventilator dengan pola ventilasi spontan
O2 on Venti mode PCV5 RR 15 FIO 2 50
persen, TV 450, IE 1:2
AGD : Ph: 7,41, pCO2 : 31,4, PO2: 60,8 ,
HCO3: 20,2 SPo2: 91,6
GCS 10 ETT
Otot-otot bantu nafas (positif)

DS: Bersihan jalan nafas tidak efektif


DO: Kesadaran DPO , KU berat RR 16
dengan ventilator
Ronkhi (positif)
Secret (positif) berwarna kuning dan kental
td : 112/78, N 105, S : 36,8, RR :16
Reflek batuk (positif)
DS : Perubahan perfusi jaringan serebral
DO: Tingkat kesadaran DPO
td : 112/78, N 105, S : 36,8, RR :16
Klien terpasang ventilator dengan pola O2
on Venti mode PCV5 RR 15 FIO 2 50
persen, TV 450, IE 1:2
Hasil CT scan dd/ SOL

5. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pola nafas tidak efektif: ketidakmampuan ventilasi spontan berhubungan dengn
depresi pusat pernafasan
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidak mapuan batuk,
terpasangnya ETT
c. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan adanya SOL

6. INTERVENSI KEPERAWATAN
No Tanggal DX Keperawatan Tujuan dan kriteria Intervensi Rasional
hasil
1. 14 Mei Pola nafas tidak Setelah dilakukan 1. Kaji etiologi gagal 1. Memberi dasar
2018 efektif: tindakan nafas pemahaman
ketidakmampuan keperawatan 3x 24 intervensi
ventilasi spontan jam diharapakan 2. Observsi pola selanjutnya
berhubungan pola nafas tidak nafas berkala, 2. Klien dengan
dengn depresi efektif dapat catat frekuensi ventilator dapat
pusat pernafasan teratasi dengan nafas, jarak mengalami hipo/
KH: anatara nafas hiperventilasidipsnue
DS: 1. AGD normal sponta dan , takipne, sebagai
DO: Klien 2. Ronkhi ventilator kompensasi
terpasang negative 3. Berikan posisi
ventilator dengan 3. Mempertankan head up 30 derajat 3. Peninggian kepala
pola O2 on Venti pola dan anatomis pasien semntara
mode PCV5 RR pernafasan masih dengan
15 FIO 2 50 dengan ventilasi secara fisi
persen, TV 450, ventilator 4. Kaji penggunaan dan psikologi
IE 1:2
AGD : Ph: 7,41, 4. Otot bantu ventilatorsecara menguntungkan
pCO2 : 31,4, nafas tidak ada rutin 4. Mempertahankan
PO2: 60,8 , parameter dalma
HCO3: 20,2 5. Kaji volume tidal batas benar dna
SPo2: 91,6 catat adanya sesuai
GCS 10 ETT perubahan 5. Mengawasi jumlah
Otot-otot bantu udara atau IE
nafas (positif) perubahan dapat
menunjukan
6. Observasi FI02 compliance, paru
atau kebocorn selang
6. FIO2 adalah nilai
untuk
memperthankan
7. Auskultasi dada persentasi oksigen
secara periodic yang dapat diterima
klien
7. Memberikan
8. Hitung RR informasi adanya
kliendalam satu obtruksi, adanya
menit komplikasi paru
8. Takipne dapat
9. Periksa selang menyebabkan
takut terjadinya alkalosis respiratorik,
obtrukis (selang bradipnoe
terlipat) 9. Liptan pada selang
10. Periksa fungsi dapat mencegah
alrm jgn matikan pengiriman volume
alrm yang adekuat
10.Meningkatkan
kewaspadaan
terhadap prubahan
11. Perencanaan kondidi klien dan
wheaning bertahap kepatenan ventilator
11.Meminimalkn
12. Kolaborasi ketergantungan klien
pemeriksaan LAB terhadap ventilator
AGD
12.Untuk mengetahui
apakah klien dapat
menerima
konsentrasi oksigen
yang diimgimkan
2 14 Mei Bersihan jalan Setelah dilakukan 1. Observasi 1. Onstruksi dalam
2018 nafas tidak efektif tindakan kepatenan jalan disebabkan oleh
berhubungan keperawatan nafas aakumulasi secret
dengan ketidak selama 3x 24 jam 2. Obersvasi gerakan 2. Pergerakan dada
mapuan batuk, duharapakan dada dan simetris dengan
terpasangnya bersihan jalan auskultasi bunyi bunyi nafas melalui
ETT nafas klien teratasi nafas area paru
dengan KH menunjukan selang
DS: 1. Klien dapat tepat dan dan tidak
DO: Kesadaran mempertahanka menutup jalan nafas
DPO , KU berat n jalan nafas 3. Awasi letak 3. Selang ETT dpat
RR 16 dengan yang paten selang ETT masuk ke bronkus
ventilator 2. Ronkhi tidak kanan sehingga
Ronkhi (positif) ada menyumbat alkran
Secret (positif) 3. Sianosis tidak udara ke paru kiri
berwarna kuning ada 4. Catat adanya 4. Klien dengna
dan kental 4. Rr 12-20 kali peningkatan intubasi mengalami
td : 112/78, N per menit Dsipnoe batuk tak efektif
105, S : 36,8, 5. Secret tidak ada diunjukan dengan
RR :16 adanya dipnoe dan
reflek batuk adanya larm
positif 5. Lakukan suction ventilator
sesuai indikasi 5. Penghisapan secret
untuk mencegah
6. Obersvasi hipoventilasi
hunidifikasi 6. Meningkatkan
ventilator drainase dan
7. Kolaborasi mengencerkan secret
pemberian 7. Menngkatkan
bronkodilator dan ventilasi dan
inhalsi pengenceran secret

3 14 Mei Perubahan perfusi Setelah dilakukan 1. Observasi TTV 1. Hipertensi dapat


2018 jaringan cerebral tindakan menyebabka
berhubungan keperawatan peningkatan TIK,
dengan adanya selama 3 x 24 jam bradikardi dan
SOL diharapakan hipotensi terjadinya
DS : perubahan perfusi tanda-tanda syok
DO: Tingkat jaringan teratasi 2. Observasi pola 2. Ketidak teraturan
kesadaran DPO degan KH dan irama nafas pernafas,
td : 112/78, N 1. Tingkat memberikan
105, S : 36,8, kesadaran gambaran adanya
RR :16 membaik peningkatan TIK
Klien terpasang 2. TTV dalam 3. Evaluasi pupil 3. Reaksi pupl
ventilator dengan batas normal dan reflek berfungsi
pola O2 on Venti 3. Tidak ada terhadap cahaya menentukan apakah
mode PCV5 RR peningkatan batang otak
15 FIO 2 50 TIK berfungsi baik
persen, TV 450, 4. Nilai AGD ukuran dan
IE 1:2 normal kesamaan pupil
Hasil CT scan dd/ ditentukan oleh
SOL keseimbangan saraf
simpatis dn para
simpatasi
4. Observasi status 4. Mengetahui tingkat
neurologis secara kesdaran dan potensi
berkala peningkatn TIK serta
untuk mengethui
kemajuan atau
kerusakan system
saraf pusat
5. Cegah terjadinya 5. Dpata meningkatan
palsapa maneuver TIK dan
memperbesar
terjadinya resiko
6. Berikan posisi perdarahan
head up dan 6. Menurunkan tekana
antomis arteri dengan
meningkatna
drainase dan
sirkulasi perfusi
7. Oberservasi serebral
adanyatanda- 7. Peningkatan TIK
tanda peningkatan mempengarui tinkat
TIK kesadaran, mencegah
terjadinya edema
8. Kolaborasi sesuai serebri
indikasi 8. Memperbaiki
sirkulasi cerebral
mencegah thrombus,
kejang, mencegah
palsafa manuver
7. CATATAN PERKEMBANGAN

Tgl/jam No. Dx Implementasi Evaluasi

15 Mei 3 1. Mengevaluasi status neurologis


2018 Kesadaran DPO
jam Terpasang ventilator
2. Mengobservasi TTV
Td: 127/76
N: 62
S: 36
RR: 16
3. Mengkaji perfusi cerebral dengan hasil CT scan
4. Memnadikan paien
5. Melakukan pemeriksaan AGD S: kelurga klien menyakan kondisi
6. Memberikan terapi klien
7. mengevaluasi hail AGD O: klien terpasang DC, kesadaran
8. mengevaluasi hasil ventilator klien DPO
9. Mengevaluasi status klien Sat 93-94 persen
10. Menjelaskan keada keluarga erkembangan klien Klien terpaang ventilator

A: menentukan masalah
16 Mei 1 1. Mengobservasi ttv keperawatan
2018 2. Mempertahanan posisi head up 30 derajat 1. Pola nafas tidak efektif
jam 3. Melakukan pemeriksaan AGD 2. Bersihan jalan nafas tidak
4. Memberikan terapi efektif
5. Mengevaluasi AGD 3. Perubahan perfusi jaringan
6. Mengevaluasi ventilator serebral
7. Mengevaluasi status klien
8. Mengevaluasi neurologis P: menentukan rencana tindakan
dan melakukan intervensi awal
17 Mei 2 1. Melakukan inhalasi
2018 2. Mengauskultasi nafas
3. Melakkan suction
4. Melakukan pemeriksaan AGD
5. Mengevaluasi TTV
6. Mengevaluasi AGD
7. Mengobservasi TTV
8. Implemetasi keperawatan
9. Evaluasi keperawatan
Evaluasi merupakan tahap akhir dalam proses keperawatan yang dapat digunakan sebagai alat ukur kerberhasilan suatu asuhan
keperawatan yang dibuat. Evaluasi berguna untuk menilai setiap langkah dalam perencanaan, mengukur kemajuan klien dalam
mencapai tujuan akhir dan untuk mengevaluasi reaksi dalam menentukan keefektifan rencana atau perubahan dalam membantu
asuhan keperawatan.
Hasil yang diharapkan:
1. Menunjukkan pertukaran gas, kadar gas darah arteri, tekanan arteri pulmonal, dan tanda-tanda vital adekuat.
2. Menunjukkan ventilasi yang adekuat dengan akumulasi lendir yang minimal.
3. Bebas dari cedera atau infeksi seperti yang dibuktikan dengan suhu tubuh dan jumlah sel darah putih.
4. Dapat aktif dalam keterbatasan kemampuan.
5. Berkomunikasi secara efektif melalui pesantertulis, gerak tubuh, alat komunikasi lainnya.
6. Dapat mengatasi masalah secara efektif.

Anda mungkin juga menyukai