Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes Melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah (Hiperglikemia) akibat kerusakan pada sekresi
insulin, kerja insulin, atau keduanya. Komplikasi yang berkaitan dengan diabetes
mellitus di klasifikasikan sebagai komplikasi akut dan kronik. Komplikasi akut terjadi
akibat intoleransi glukosa yang berlangsung dalam jangka waktu pendek, komplikasi
kronik biasanya terjadi 10-15 tahun komplikasinya mencakup Penyakit
Makrovaskuler yaitu mempengaruhi sirkulasi koroner, Penyakit Mikrovaskuler yaitu
retinopati dan nefropatik, dan penyakit neuropatik mempengaruhi saraf sensori
motorik dan otonom serta berperan memunculkan sejumlah masalah seperti ulkus
diabetikum (Smeltzer & Bare, 2016). Kondisi hiperglikemia yang lama pada pasien
diabetes melitus menyebabkan arteroskelosis, penebalan membrane basalis dan
perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya ulkus diabetikum
(Handayani, 2016).

Sistem endokrin adalah sistem kontrol kelenjar tanpa saluran yang menghasilkan
hormon yang tersirkulasi di tubuh melalui aliran darah untuk mempengaruhi organ-
organ lain yang terdiri dari beberapa kelenjar diantaranya adalah hipotalamus, gonad,
adrenal, hipofise, tyroid, parathyroid, dan pankreas (Manurung, Magdalena, &
Nixson, 2017). Santosa (2012) dalam simposium ilmiah perkembangan endokrin,
diagnosa dan terapi menyebutkan gangguan endokrin terbanyak terjadi di kelenjar
pankreas yang memunculkan penyakit diabetes, dimana diabetes merupakan 75%
penyakit dari gangguan endokrin secara keseluruhan. Gangguan lainnya terjadi pada
kelenjar tiroid, yaitu penyakit gondok sebanyak 15-20%. Sisanya gangguan pada
kelenjar lain yang memunculkan berbagai penyakit, seperti disfungsi ereksi, gangguan
hormonal, gangguan hipofisis, bahkan kanker.

Diabetes Melitus (DM) merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai


dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat Kerusakan pada
sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (Smeltzar & Bare, 2016). Diabetes
Melitus (DM) terbagi menjadi empat meliputi Daibetes Melitus tipe I, Diabetes
Melitus tipe II, Diabetes Melitus gestasional dan Diabetes Melitus yang lainnya,
dimana Diabetes Melitus tipe II memiliki jumlah terbesar dari keseluruh Diabetes
Melitus (Elsevier 2014).

World Health Organization (WHO) 2018, data yang dikumpulkan menunjukkan


bahwa 422 juta orang hidup dengan Diabetes Melitus diseluruh dunia pada tahun
2018, dan bahwa jumlah ini akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2025, yang
sebagian besar disebabkan oleh Diabetes Melitus tipe II. Pevalensi Diabetes Tipe II
jauh lebih umum dan menyumbang 90% dari semua kasus diabetes di seluruh dunia.

Riskesdas (2018) melaporkan prevalensi kasus diabetes mellitus berdasarkan


pemeriksaan darah pada penduduk umur ≥15 tahun adalah 6,9% di tahun 2013 dan
mengalami peningkatan 8,5% di tahun 2018. Sedangkan prevalensi diabetes mellitus
berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk usia ≥15 tahun di Indonesia juga
mengalami peningkatan dari 1,5% pada tahun 2013 menjadi 2,0% pada tahun 2018.
Prevalensi tertinggi tahun 2018 terdapat di Ibu kota DKI Jakarta dengan prevalensi
3,4%, Kalimantan Timur 2,9% dan Yogyakarta 2,8%. Sementara itu Sumatera Barat
menempati urutan ke 22 dari 35 Provinsi di Indonesia. Prevalensi tersebut mengalami
peningkatan dari 1,3% di tahun 2013 dan 1,7% ditahun 2018.

Profil kesehatan kota Padang 2017 menyatakan bahwa pada tahun 2016 diabetes
mellitus menempati urutan ke enam dari sepuluh penyakit terbanyak di kota Padang,
yaitu sebanyak 22.523 kasus. Sedangkan pada tahun 2017 Diabetes Mellitus tanpa
komplikasi menempati urutan ke 7 Dari sepuluh penyakit terbanyak di kota Padang
yaitu sebanyak 13.795 kasus. Sedangkan menurut profil Kesehatann kota Padang
Tahun 2019 mengatakan penemuan kasus dari 171.594 orang penduduk berusia ≥ 15
tahun pada tahun 2019, ditemukan penderita Diabetes Melitus sebanyak 17.017 orang.
Penderita yang mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar sebanyak 15.017
orang atau sebanyak 91,6%. Pelayanan kesehatan sesuai standar yang didapatkan
berupa pengukuran gula darah yang dilakukan minimal satu kali sebulan di fasilitas
pelayanan kesehatan, edukasi perubahan gaya hidup dan nutrisi serta melakukan
rujukan jika diperlukan.
Price and Wilson (2011), menyatakan diabetes melitus tipe II berdampak terhadap
permasalahan seperti masalah fisiologis, psikologis, sosial, dan ekonomi. Adapun
dampak komplikasi diabetes melitus akut dan kronis adalah Komplikasi akut terjadi
akibat intoleransi glukosa yang berlangsung dalam jangka waktu pendek, sedangkan
komplikasi kronik biasanya terjadi 10-15 tahun setelah awitan diabetes melitus
Komplikasi (Smeltzer & Bare 2013). Komplikasi akut dari DM tipe II antara lain
terjadinya hipoglikemia dan koma asidosis Dampak fisiologis diabetaes mellitus tipe
II yang mengalami perubahan fisik terdiri dari sering buang air, merasa lapar, merasa
haus, dimana menurut Infodatin, (2014) 0,6% penduduk usia 15 tahun keatas
merasakan gejala tersebut namun belum dipastikan apakah menderita DM atau tidak.
Selain itu pasien DM juga mengalami gejala hipoglikemia ringan seperti berkeringat
dingin, gemetaran dan pusing. Komplikasi kronik diabetes melitus tipe II terjadi pada
semua organ tubuh dimana 50% mengakibatkan penyakit jantung koroner dan 30%
mengakibatkan gagal ginjal. Selain kematian, DM tipe II juga dapat menyebabkan
kecacatan. Sebanyak 3% pasien DM tipe II mengalami kebutaan akibat komplikasi
retinopati dan 10% mengalami amputasi tungkai kaki (Mashudi dalam Dalimunthe &
Nasution, 2016)

Sementara itu dampak psikologis yang muncul akibat diabetes mellitus tipe II berupa
beban psikologis (stress) bagi klien maupun keluarga. Hasil penelitian Sari, (2018)
menyebutkan dari 37 pasien DM 46% mengalami stress ringan, 10,8% mengalami
stress sedang, 35,1% mengalami stress yang sangat berat dan 8,1% mengalami stress
berat. Respon emosional negatif terhadap diagnosis penyakit diabetes mellitus tipe II
dapat berupa penolakan atau tidak mau mengakui kenyataan, cemas, marah, merasa
berdosa dan depresi. Masalah sosial yang muncul akibat diabetes mellitus tipe II yaitu
berkurangnya intekrasi sosial dan hubungan interpersonal terganggu akibat perasaan
putus asa yang dialami oleh klien akibat penyakit yang dideritanya. Sedangkan
masalah ekonomi yang muncul dapat berupa penurunan produktifitas akibat kerja
yang akan berdampak terhadap pendapatan selain itu pengendalian diabetes mellitus
tipe II dilakukan dalam jangka panjang waktu lama dan kompleks sehingga
membutuhkan biaya yang besar dan berdampak pada ekonomi keluarga.

Peran perawat untuk pada pasien dengan Diabetes Melitus Tipe II dengan melakukan
asuhan keperawatan yaitu pengkajian keperawatan, merumuskan diagnosa
keperawatan, membuat perencanaan keperawatan melakukan implementasi
keperawatan dan evaluasi keperawatan. Penetalaksanaan Daibetes Melitus Tipe II
yaitu: manajemen diet, latihan fisik, pengelolaan farmakologi, monitoring glukosa
darah, dan penyuluhan (Smeltzer & Bare, 2016)
Berdasarkan data yang didapatkan pada salah satu rumah sakit di kota Padang. Pada
tahun 2018, penyakit DM sebanyak 533 kasus, kasus terbanyak pada bulan September
yaitu 60 kasus yang menempati nomor urut 2 dari 10 penyakit yang menonjol. Pada
tahun 2019, penyakit DM sebanyak 660 kasus dan kasus terbanyak pada bulan
November yaitu 73 kasus yang DM menempati nomor urut 2 dari 10 penyakit yang
menonjol. Sedangkan pada tahun 2020 kasus DM sebanyak 526 kasus dimana kasus
terbanyak pada bulan Februari yaitu sebanyak 80 kasus yang menempati nomor urut 2
dari 10 penyakit.

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas maka penulis membuat makalah
berjudul “Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Diabetes Melitus Tipe II”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang rumusan masalah yaitu “Bagaimana penerapan asuhan
keperawatan pada pasien Diabetes Melitus Tipe II”.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian adalah mendeskripsikan asuhan keperawatan pada
pasien Diabetes Melitus Tipe II.

2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian pada pasien dengan Diabetes
Melitus Tipe II.
b. Mendeskripsikan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Diabetes
Melitus Tipe II.
c. Mendeskripsikan intervensi keperawatan pada pasien dengan
Diabetes Melitus Tipe II.
d. Mendeskripsikan implementasi keperawatan pada pasien dengan
Diabetes Melitus Tipe II.
e. Mendeskripsikan evaluasi pada pasien dengan Diabetes Melitus Tipe
II.

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan penulis terutama mengenai asuhan
keperawatan pada pasien Hepatitis tipe II.
2. Bagi instansi (Rumah sakit/Puskesmas)
Menjadi acuan dalam menerapkan asuhan keperawatan pada pasien Hepatitis
tipe II.
3. Bagi tenaga kesehatan
Memberikan sumbangan pikiran dan digunakan sebagai referensi sehingga
dapat meningkatkan keilmuan pada pasien dengan Hepatitis tipe II.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep dasar Diabetes Melitus


1. Pengertian
Diabetes mellitus adalah sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat kerusakan
pada kerja insulin,sekresi insulin atau keduanya,tiga komplikasi akut tersebut
terkait ketidakseimbangan kadar glukosa yang berlangsung dalam jangka
waktu pendek (Brunner & Suddarth, 2017). Diabetes Melitus tipe II
dikarakteristikkan dengan hiperglikemia, resistensi insulin dan keruskan
relatif sekresi insulin (Damayanti, 2015) Diabetes Melitus tipe II atau dikenal
dengan diabetes melitus tidak tergantung insulin, dapat terjadi akibat obesitas,
atau penyakit seperti infeksi, trauma, dan infark miokard (Lee & Weaver,
2013). Faktor Resiko DM tipe II antara lain faktor keturunan dan obesitas, 80-
90% dm tipe II mengalami obesitas (Rahayu, 2015). Diabetes melitus tipe II
terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin atau akibat penurunan
produksi insulin. Diabetes melitus tipe II banyak terjadi pada usia dewasa
lebih dari 45 tahun, karena berkembang lambat dan terkadang tidak terdeteksi
(Tarwoto, 2012).

2. Klasifikasi
Menurut Smeltzer & Bare (2016) dan Hans Tandra (2017)
mengklasifikasikan Diabetes Melitus menjadi:

a. Diabetes Melitus tipe 1


Diabetes Melitus tipe 1 atau Insulin Dependen Diabetes Melitus
(INDDM) yaitu Diabetes Melitus yang bergantung pada insulin. Yang
menderita penyakit ini tidak banyak, namun jumlah nya terus
meningkat 3% setiap tahun. Diabetes Melitus tipe I ini disebab karena
kerusakan sel beta pankreas yang menghasilkan insulin.
Hal ini berhubungan dengan kombinasi antara faktor genetik,
imunologi dan lingkungan, seperti virus.

Terdapat juga hubungan terjadi Diabetes Melitus I dengan beberapa


antigen leukosit manusia (HLAs) dan adanya autoimun antibody sel
islet (ICAs) yang dapat merusak sel-sel beta pankreas.
Ketidakmampuan sel beta manghasilkan insulin megakibatkan
glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati
dan tetap berada dalam darah sehingga menimbulkan hiperglikemia.

Peningkatan glukosa darah tinggi lebih dari 180 mg/100 ml,


menyebab kan glukosa keluar melalui urin (glukosuria), hal ini
disebabkan karena ketidakmampuan ginjal kembali menyerap glukosa
(reabsorpsi) yang telah difiltrasi melebihi ambang batas filtrasi
glukosa oleh glumelurus. Krtika glukosa yang berlebihan disekresikan
disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan karena
tubulus ginjal tidak mengabsorbsi air secara optimal, keadaan ini
disebut dieresis osmotik, sebagai akibat banyaknya urin yang
diproduksi maka akan mengalami peningkatan berkemih (poiuria)
serta rasa haus (polidipsia). Defesiensi insulin juga mengganggu
metabolisme protein dan lemak dan menurunkan simpangan atau
cadangan makanan, mengakibatkan kelaparan sel dan merangsang
selera makan (polifagia).

b. Diabetes Melitus tipe II


Diabetes Melitus tipe II atau Non Insulin Dependen Diabetes Melitus
(NIDDM). Kurang lebih 90% sampai 95% penderita Diabetes Melitus
adalah Diabetes Melitus tipe ini. Diabetes Melitus tipe II masih bisa
memproduksi insulin, tetapi kualitas insulinnya buruk, tidak dapat
berfungsi dengan baik sebagai kunci untuk memasukkan gula ke
dalam sel. Akibatnya, gula dalam darah meningkat, pasien biasanya
tidak perlu tambahan suntukan insulin dalam pengobatannya, tetapi
memerlukan obat untuk memperbaiki fungsi inslin, menurunkan
glukosa darah dan memperbaiki pengelolaan gula di hati. Normalnya
insulin terkait oleh reseptor khusus pada permukaan sel dan mulai
terjadi rangkaian reaksi termasuk metabolisme glukosa. Pada Diabetes
Melitus tipe II reaksi dalam sel kurang efektif karena kurangnya
insulin yang berperan dalam menstimulasi glukosa masuk ke jaringan
dan pengaturan pelepasan glukosa dihati.

c. Diabetes Melitus Gestasional


Diabetes Melitus Gestasional yaitu Diabetes Melitus yang terjadi pada
masa kehamilan, dapat di diagnosa dengan menggunakan test toleran
glukosa, terjadi kira-kira pada 24 minggu kehamilan. Individu
Diabetes Melitus gestasional 25% akan berkembang menjadi Diabetes
Melitus.

d. Diabetes Melitus tipe lain


Diabetes Melitus tipe lain adalah Diabetes Melitus sekunder atau
akibat dari penyakit lain, yang mengganggu produksi insulin atau
memengaruhi kerja insulin atau mengurangi kerja insulin. Penyebab
Diabetes Melitus ini seperti penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis,
neoplasma, trauma atau pankreatectomy), endokrineopati (akromegali,
pheochromacytoma, dan cushing’s syndrome), obat-obatan atau zat
kimia (glikokortiroid, hormon tiroid, dan dilantin), penyakit infeksi
(congenital rubella, infeksi cytomegal rubella, infeksi
cytomegalovirus), serta syndrome genetik diabetes (syndrome down).

3. Etiologi dan faktor resiko Diabetes Melitus tipe II


Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan
sekresi insulin pada diabetes melitus tipe II masih belum diketahui. Faktor
genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
(Padila, 2012). Menurut Tarwoto (2012) faktor resiko yang menyebabkan
timbulnya penyakit DM tipe II antara lain:
1. Usia diatas 45 tahun, hal ini karena adanya perubahan anatomis,
fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat sel, kemudian
berlanjut pada tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang
dapat mempengaruhi homoeostasis.
2. Obesitas atau kegemukan yaitu berat badan lebih dari 20% dari berat
badan ideal atau BMI (Body Mass Index). Obesitas menyebabkan
respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa darah berkurang,
selain itu reseptor insulin pada sel diseluruh tubuh termasuk di otot
berkurang jumlah dan keaktifannya.
3. Riwayat keluarga dengan DM tipe II.
4. Lingkungan seperti virus yang dapat memicu teerjadinya autoimun
danmenghancurkan sel-sel pancreas, obat-obatan dan zat kimia.
5. Riwayat adanya gangguan toleransi glukosa (IGT) atau gangguan
glukosapuasa (IFG).
6. Hipertensi, dengan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg atau
hiperlipidemia,kolestrol atau trigiserida lebih dari 150 mg/dl
7. Riwayat gestasional DM atau riwayat melahirkan bayi diatas 4 kg.
8. Polystic ovarium syndrome yang diakibatkan resistensi dari insulin.
9. Pada keadaan ini wanita tidak terjadi ovulasi (keluarnya sel telur
dari ovarium), tidak terjadi menstruasi, tumbuhnya rambut secara
berlebihan, tidak bisa hamil.
10. Etnik, banyak terjadi pada orang Amerika keturunan Afrika, Asia.
11. Kebiasaan diet dan kurang olahraga atau kurang beraktifitas fisik.

4. Tanda dan Gejala Diabetes Melitus


Gejala dan tanda-tanda DM dapat digolongkan menjadi 2 yaitu gejala akut
dan gejala kronik (PERKENI, 2015).
a. Gejala akut penyakit DM
Gejala penyakit DM bervariasi pada setiap penderita, bahkan mungkin
tidakmenunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu. Permulaan
gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli) yaitu banyak
makan (poliphagi), banyak minum (polidipsi), dan banyak kencing
(poliuri). Keadaan tersebut, jika tidak segera diobati maka akan timbul
gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang
atau berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4
minggu), mudah lelah, dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa
mual (PERKENI, 2015).

b. Gejala kronik penyakit DM


Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah
kesemutan, kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa
tebal di kulit, kram, mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering
ganti kacamata, gatal di sekitar kemaluan terutama pada wanita, gigi
mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun, dan
para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin
dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg
(PERKENI, 2015).

5. Patofisiologi
Pada DM tipe II merupakan suatu kelainan metabolik dengan karakteristik
utama adalah terjadinya hiperglikemik kronik. Faktor genetik dikatakan
memiliki peranan yang sangat penting dalam munculnya DM tipe II. Faktor
genetik ini akan berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan seperti gaya
hidup, obesitas, rendahnya aktivitas fisik, diet, dan tingginya kadar asam
lemak bebas (Smeltzer dan Bare, 2015). Diabetes melitus tipe II sebelumnya
disebut sebagai non insulin-dependent atau adult-onset diabetes, ditandai
dengan resistensi insulin, peningkatan pelepasan glukosa hati, rusaknya
penyimpanan glukosa, dan defisiensi insulin. Tujuan jangka pendek dari
manajemen diabetes yaitu untuk menyeimbangkan asupan makanan dengan
pengeluaran energi dan memastikan jumlah insulin yang cukup (endogen
atau eksogen) untuk mempertankan kadar glukosa darah mendekati normal.
Mekanisme terjadinya DM tipe II umumnya disebabkan karena resistensi
insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat
dengan reseptor khusus pada permukaan
sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu
rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada
DM tipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin
menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk
mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus
terjadi peningkatan jumlah insulin yang disekresikan (Smeltzer dan Bare, 2015).

Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin
yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal
atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel β tidak mampu mengimbangi
peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
DM tipe II. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas
DM tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk
mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya. Karena
itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada DM tipe II. Diabetes melitus tipe II
disebabkan oleh intoleransi glukosa yang progresif dan berlangsung perlahan dan
mengakibatkan hiperglikemia jangka panjang, dan berperan menyebabkan
komplikasi mikrovaskular kronik seperti penyakit mata, neuropati dan penyakit
ginjal. Diabetes juga dikaitkan dengan peningkatan insidensi penyakit
makrovaskular seperti penyakit arterisklerosis, penyakit serebrovaskular (stroke) dan
luka ganggren. Komplikasi ini dapat muncul sebelum diagnosis ditegakkan.
Diagnosa keperawatan yang diangkat saat pasien mengalami ulkus adalah resiko
infeksi. (Smeltzer & Bare, 2015).

6. Manifestasi Klinis
Adanya penyakit diabetes mellitus ini pada awalnya seringkali tidak
dirasakan dan tidak disadari oleh penderita. Manifestasi klinis Diabetes
Melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Jika
hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka
timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang
meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) jika melewati ambang ginjal
untuk ekskresi glukosa yaitu ± 180 mg/dl serta timbulnya rasa haus
(polidipsia). Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul
sebagai akibat kehilangan kalori (Price dan Wilson, 2012).

Pasien dengan diabetes melitus tipe II mungkin sama sekali tidak


memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan
pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa.
Pada hiperglikemia yang lebih berat pasien tersebut mungkin menderita
polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami
ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun
hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk
mnenghambat ketoasidosis (Price dan Wilson, 2012).

7. Komplikasi
Kadar glukosa darah yang tidak terkontrol pada pasien DM tipe II akan
menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi DM tipe II terbagi dua
berdasarkan lama terjadinya yaitu: komplikasi akut dan komplikasi kronik
(Smeltzer dan Bare, 2015, PERKENI, 2015).
1. Komplikasi akut
a. Ketoasidosis diabetik (KAD)
KAD merupakan komplikasi akut DM yang ditandai dengan
peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL),
disertai dengan adanya tanda dan gejala asidosis dan plasma keton
(+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan
terjadi peningkatan anion gap (PERKENI, 2015).

b. Hiperosmolar non ketotik (HNK)

Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi


(600-1200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas
plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-),
anion gap normal atau sedikit meningkat (PERKENI, 2015).

c. Hipoglikemia

Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah


mg/dL. Pasien DM yang tidak sadarkan diri harus dipikirkan
mengalami keadaan hipoglikemia. Gejala hipoglikemia terdiri dari
berdebar-debar, banyak keringat, gementar, rasa lapar, pusing,
gelisah, dan kesadaran menurun sampai koma (PERKENI, 2015).
2. Komplikasi kronik
Komplikasi jangka panjang menjadi lebih umum terjadi pada pasien
DM saat ini sejalan dengan penderita DM yang bertahan hidup lebih
lama. Penyakit DM yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama
akan menyebabkan terjadinya komplikasi kronik.

Kategori umum komplikasi jangka panjang terdiri dari :

1) Komplikasi makrovaskular

Komplikasi makrovaskular pada DM terjadi akibat aterosklerosis


dari pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat
timbunan plak ateroma. Makroangiopati tidak spesifik pada DM
namun dapat timbul lebih cepat, lebih sering terjadi dan lebih
serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan bahwa angka
kematian akibat penyakit kardiovaskular dan penderita DM
meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal. Komplikasi
makroangiopati umumnya tidak ada hubungan dengan kontrol
kadar gula darah yang baik. Tetapitelah terbukti secara
epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor
resiko mortalitas kardiovaskular dimana peninggian kadar
insulin dapat menyebabkan terjadinya risiko kardiovaskular
menjadi semakin tinggi. Kadar insulin puasa > 15 mU/mL
akanmeningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat.
Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar antara lain
adalah pembuluh darah jantung atau penyakit jantung koroner,
pembuluh darah otak atau stroke, dan penyakit pembuluh darah.
Hiperinsulinemia juga dikenal sebagai faktor aterogenik dan
diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi
makrovaskular (Smeltzer dan Bare, 2015).
2) Komplikasi mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terjadi akibat penyumbatan pada
pembuluh darah kecil khususnya kapiler yang terdiri dari
retinopati diabetik dan nefropati diabetik. Retinopati diabetik
dibagi dalam 2 kelompok, yaitu retinopati non proliferatif dan
retinopati proliferatif. Retinopati non proliferatif merupakan
stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma,
sedangkan retinopati proliferatif, ditandai dengan adanya
pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya
hipoksia retina. Seterusnya, nefropati diabetik adalah gangguan
fungsi ginjal akibat kebocoran selaput penyaring darah.
Nefropati diabetik ditandai dengan adanya proteinuria persisten
(>0,5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Kerusakan
ginjal yang spesifik pada DM mengakibatkan perubahan fungsi
penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat
masuk ke dalam kemih (albuminuria). Akibat dari nefropati
diabetik tersebut dapat menyebabkan kegagalan ginjal progresif
dan upaya preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme
dan kontrol tekanan darah (Smeltzer dan Bare, 2015).
3) Neuropati
Diabetes neuropati adalah kerusakan saraf sebagai komplikasi
serius akibat DM. Komplikasi yang tersering dan paling penting
adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal dan
biasanya mengenai kaki terlebih dahulu, lalu ke bagian tangan.
Neuropati berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan
amputasi. Gejala yang sering dirasakan adalah kaki terasa
terbakar dan bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam
hari. Setelah diagnosis DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu
dilakukan skrining untuk mendeteksi adanya polineuropatidistal.
Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki
yang memadai akan menurunkan risiko amputasi. Semua
penyandang DM yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki
(PERKENI, 2015).

8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penderita diabetes melitus. Tujuan penatalaksanaan meliputi :
1. Tujuan jangka pendek : menghilangkan keluhan DM, memperbaiki
kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang : mencegah dan menghambat progresivitas
penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas
DM. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian
glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid (mengukur
kadar lemak dalam darah), melalui pengelolaan pasien secara
komprehensif.

Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan


disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-
4 minggu). Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat
memenuhi kadar sasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan
intervensi farmakologik dengan obat - obat anti diabetes oral atau
suntikan insulin sesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi
metabolik berat, misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada
keadaan tertentu obat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai
dengan indikasi dan dosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar
glukosa darah bila dimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah,
setelah mendapat pelatihan khusus untuk itu (PERKENI, 2015).

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Glukosa darah. Pada pasien DM tipe II biasanya meningkat 100-200
mg/dl, atau lebih. Pemeriksaan gula darah terdiri dari:
1) Pemeriksaan gula darah puasa atau fasting blood sugar (FBS)
Pasien dalam keadaan puasa selama 12 jam, diperbolehkan
minum. Darah diambil dari pembuluh darah vena. Hasil normal
gulah darah puasa adalah 80-120 mg/100 ml serum. Pada pasien
DM tipe II biasanya meningkat 100- 200 mg/dl, atau lebih
2) Pemeriksaan gula darah postprandial
Bertujuan untuk menentukan gula darah setelah makan. Pasien
diberi makan kira-kira 100 gr karbohidrat, dua jam kemudian
diambil darah venanya. Nilai normal gula darah postprandial
adalah kurang dari 120 mg/100 ml serum
3) Pemeriksaan gula darah sewaktu bisa delakukan kapan saja, nilai
normalnya adalah 70 – 200 mg/dl.
4) Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan bebam glukosa 75 gram.
b. Pemeriksaan HbA1c > 6,5% dengan menggunakan metode High-
Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
c. Aseton plasma (keton) didapat hasil positif secara menyolok.
d. Asam lemak bebas didapat kadar lipid dan kolestrol meningkat,
karena ketidakadekuatan kontrol glikemik.
e. Osmolitas serum meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 mOsm/L
f. Natrium mungkin normal, meningkat atau menurun tergantung pada
jumlah cairan yang hilang (dehidrasi).
g. Kalium normal atau peningkatan semu (perpindahan seluler),
selanjutnya akan menurun Hemoglobin dan hematokrit menurun
disebabkan oleh kegagalan ginjal untuk melaksanakan fungsinya,
salah satu nya adalah menghasilkan eritropoetin, fungsi eritropoetin
adalah penghasil eritrosit. Hal ini mengakibatkan anemia sehingga
kadar hematokrit dan hemaglobin menurun
h. Amilase darah. Mungkinn meningkat yang mengindikasikan adanya
pankreatitis akut sebagai penyebab dari Diabetes melitus (Diabetik
Ketodasidosis).
i. Pemeriksaan fungsi tiroid. peningkatan aktifitas hormon tiroid dapat
meningkatkan glukosa darah dan kebutuhan akan insulin.
j. Pemeriksaan glukosa urin. Adanya glukosauria menunjukkan bahwa
ambang gilnjal terhadap glukosa terganggu. Biasanya didapat hasil
urine gula dan asetan positif, berat jenis dan osmolalitas mungkin
meningkat
k. Kultur dan sensitivitas, kemungkinan adanya infeksi saluran kemih,
infeksi pernafasan, dan infeksi pada luka
(PERKENI, 2015, Tarwoto, 2012 dan Sari, 2013)

B. Konsep Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus


1. Pengkajian
Menurut (Bararah, 2013) konsep asuhan keperawatan diabetes
mellitus. Data yang perlu didapatkan adalah:
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab)
Biasanya identitas klien/ penanggung jawab dapat meliputi:
nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, suku, bangsa,
pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa
medis, nomor registrasi, hubungan klien dan penanggungjawab.
2. Keluhan utama
Biasanya pasien masuk ke rumah sakit dengan keluhan utama gatal-
gatal pada kulit yang disertai bisul atau lalu tidak sembuh-sembuh,
kesemutan atau rasa berat, mata kabur, kelemahan tubuh. Disamping
itu pasien juga mengeluh poliuri, polidipsi, anoreksia, mual dan
muntah, BB menurun, diare kadang-kadang disertai nyeri perut,
kram otot, sakit kepala sampai penurunan kesadaran.
3. Riwayat kesehatan sekarang
a) Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya pasien datang degan keluhan yang dominan adalah
sering buang air kecil (poliuria), sering lapar dan haus (polidipsi
dan polifagia), sebelum pasien mempunyai berat badan yang
berlebih, biasanya pasien belum menyadari kalau itu merupakan
perjalanan penyakit diabetes mellitus. Pasien baru tahu kalau
sudah memeriksakan diri di pelayanan kesehatan.
b) Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya pasien DM pernah dirawat karna kadar glukosa darah
tinggi. Adanya faktor resiko yang mempengaruhi seperti genetic,
obesitas, usia, minimnya aktivitas fisik, pola makan yang
berlebihan atau salah.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya dari genogram keluarga terdapat salah satu anggota
keluarga yang juga menderita diabetes mellitus.
5. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik menurut Riyadi (2014) antara lain:
a) Status penampilan kesehatan
Biasanya yang sering muncul adalah kelemahan fisik.
b) Tingkat kesadaran
Biasanya normal, latergi, stupor, koma (tergantung kadar gula
darah yang dimiliki dan kondisi fisiologis untuk melakukan
kompensasi kelebihan gula darah).
c) Rambut
Biasanya lebat, tipis ( banyak yang rontok karena kekurangan
nutrisi dan sirkulasi yang buruk). Kulit kepala biasanya normal.
d) Mata
Sklera: biasanya normal dan ikterik
Conjungtiva: bisanya anemis pada pasien kekurangan nutrisi dan
pasien yang sulit tidur karena sering buang air kecil di malam
hari.

Pupil: biasanya miosis, midrosis atau anisokor.


e) Telinga
Biasanya simetris kiri dan kanan, gendang telinga biasanya
masih bisa berfungsi dengan baik apabila tidak ada mengalami
infeksi sekunder.
f) Hidung
Biasanya jarang terjadi polip dan sumbatan hidung kecuali ada
infeksi sekunder seperti influenza.
g) Mulut
Biasanya sianosis, pucat (apabila mengalami asidosis atau
penurunan perfusi jaringan).
h) Leher
Biasanya jarang distensi vena jugularis dan pembesaran kelenjar
limfe.
i) Thorak dan paru-paru
Auskultas terdengar stridor (penderitaa mengalami obstruksi
jalan nafas), whezzing (apabila penderita mempunyai riwayat
asma dan bronkithis kronik).
j) Sistem kardiovaskuler
Biasanya perfusi jaringan menurun, nadi perifer lemah, takikardi
atau bradikardi, hipertensi atau hipotensi, aritmia, dan
kardiomegalis merupakan tanda dan gejala penderita diabetes
mellitus.
k) Sistem gastrointestinal
Biasanya terdapat polifagia, polidipsi, mual, muntah, diare,
konstipasi, dehidrasi, perubahan berat badan, peningkatan
lingkat abdomen, dan obesitas.
l) Sistem muskuloskletal
Biasanya terjadi penurunan massa otot,cepat lelah, lemah, nyeri,
dan adanya ganggren di ekstremitas.

m) Sistem neurologis
Biasanya terjadi penurunan sensoris, sakit kepala , latergi, mengantuk, reflek
lambat, dan disorientasi. Pemeriksaan penunjang

n) Pemeriksaan gula darah puasa atau fasting blood sugar (FBS)


o) Untuk menentukan jumlah glukosa darah pada saat puasa, klien
tidak makan dan boleh minum selama 12 jam sebelum test.
Hasil normal 80- 120 mg/ 100 mlserum dan abnormal 140
mg/100 ml atau lebih.
p) Pemeriksaan gula darah postprandial
q) Untuk menentukan gula darah 2 jam setelah makan, dengan
hasil normal kurang dari 120 mg/100 ml serum dalam abnormal
lebih dari 200 mg/100 dl atau indikasi Diabetes Melitus.
r) Pemeriksaan gula darah sewaktu bisa dilakukan kapan saja, nilai
normalnya adalah 70 – 20 mg/dl.
s) Pemeriksaan toleransi glukosa oral atau oral rolerance test
(TTGO) untuk menentukan toleransi terhadap respons
pemberian glukosa. Pasien tidak boleh makan selama 12 jam
sebelum test dan selama test, pasien boleh minum air putih,
tidak boleh merokok, ngopi atau minum teh selama
t) Pemeriksaan (untuk mengatur respon tubuh terhadap
karbohidrat) sedikit aktivitas, kurangi stress, (keadaan banyak
aktivitas dan stress menstimulasi epinephrine dan kartisol
karena berpengaruh terhadap peningkatan glukoneogenesis).
Hasil normal puncaknya 1 jam pertama setelah pemberian 140
mg/dl dan kembali normal 2 atau 3 jam kemudian dan abnormal
jika peningkatan tidak kembali setelah 2 atau 3 jam, urine positif
glukosa.
u) Pemeriksaan kolesterol dan kadar serum trigliserida, dapat
meningkat karena ketidakadekuatan kontrol glikemik.
v) Pemeriksaan hemoglobin glikat (HbAIc). Tes ini mengukur
presentase glukosa yang melekat pada hemoglobin selama hidup
sel darah merah. HbAIc digunakan untuk mengkaji kontrol
glukosa jangka panjang, sehingga dapat memprediksi resiko
komplikasi. Rentang normalnya adalah 5-6 %.
w) Urinalisa positif terhadap glukosa dalam keton. Pada respon
terhadap defisiensi intraseluler, protein lemak diubah menjadi
glukosa (glukoneogenesis) untuk energi. Selama proses
pengubahan ini, asam lemak bebas dipecah menjadi badan keton
oleh hepar. Ketoasidosis terjadi ditunjukkan oleh ketonuria.
Adanya ketonuria menunjukkan adanya ketoasidosis (Tarwoto,
2012
C. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017):
1. Resiko ketidakstabilan berhubungan dengan kadar glukosa darah
2. Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan.
3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan tingkat pengetahuan.
4. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini
5. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan
aktif.
D. Intervensi keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi

1 Resiko ketidakstabilan b/d Setelah dilakukan tindakan Manajemen hiperglikemia


kadar glukosa darah keperawatan, tingkat Observasi :
keletihan teratasi dengan 1. Identifikasi kemungkinan
kriteria hasil: penyebab hiperglikemia
- Mual berkurang 2. Identifikasi situasi yang
- Perubahan status menyebabkan kebutuhan
mental membaik insulin meningkat
- Peningkatan kadar mis : penyakit kambuhan
glukosa darah 3. Monitor kadar glukosa
membaik darah, jika perlu
- Kelemahan berkurang 4. Monitor intake dan output
- Pusing berkurang cairan

Terapeutik :
1. Berikan asupan cairan
oral
2. Konsultasi dengan medis
jika tanda dan gejala
hiperglikemia tetap ada
atau buruk
Edukasi :
1. Anjurkan menghindari
olahraga saat kadar
glukosa darah lebih
dari 250 mg/dl
2. Anjurkan monitor
kadar glukosa darah
secara mandiri
3. Anjurkan kepatuhan
terhadap diet dan
olahraga
4. Ajarkan pengelolan
diabetes, Mis :
penggunaan insulin,
obat oral

Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
insulin, jika perlu

2 Defisit Nutrisi b/d Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutri :


ketidakmampuan keperawatan, status nutrisi Observasi :
menelan makanan. teratasi dengan kriteria 1. Identifikasi status nutrisi
hasil: 2. Identifikasi alergi dan
- Porsi makanan yang intoleransi makanan
dihabiskan 3. Identifikasi makanan yang
meningkat disukai
- Kekuatan otot 4. Identifikasi kebutuhan
menelan meningkat Kalori dan Jenis nutrient
5. Monitor asupan makan
- Perasaan cepat 6. Monitor berat badan
kenyang menurun
- Sariawan menurun Terapeutik :
- Diare menurun 1. Fasilitasi menentukan
- Nafsu makan program diet
membaik 2. Sajikan makanan secara
- Berat badan membaik menarik dan suhu yang
- Membran mukosa sesuai
membaik 3. Berikan makanan yang
tinggi kalori dan protein
4. Berikan suplemen
makanan, jika perlu

Edukasi :
1. Ajarkan diet
yang
diprogramkan

Kolaborasi :
1. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan,
jika perlu.

3 Defisit Pengetahuuan Setelah dilakukan tindakan Edukasi Kesehatan


berhubungan dengan keperawatan, diharapkan Observasi :
tingkat pengetahuan tingkat pengetahuan 1. Identifikasi kesipan
meningkat dengan kriteria dan kemampuan
hasil: menerima informasi
- Perilaku sesuai 2. Identifikasi faktor-faktor
anjuran meningkat yang dapat meningkatkan
- Kemampuan dan menurunkan
menjelaskan motivasi perilaku hidup
pengetahuan tentang bersih dan sehat
suatu topik meningkat
- Perilaku sesuai

dengan pengetahuan Terapeutik :


meningkat 1. Sediakan materi
- Pertanyaan tentang dan media
masalah yang pendidikan
dihadapi menurun kesehatan
- Persepsi yang 2. Berikan kesempatan
keliru terhadap untuk bertanya
masalah menurun
- Perilaku membaik Edukasi :
1. Jelaskan faktor resiko
yang dapat
mempemgaruhi kesehatan
2. Ajarkan perilaku
hidup bersih dan sehat
E. Implementasi keperawatan
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan
dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan
sesudah pelaksaan tindakan, serta menilai data yang baru (PPNI, 2019). Faktor-faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan keperawatan antara lain: kemampuan intelektual, teknikal, dan interpersonal; kemampuan
menilai data baru; kreativitas dan inovasi dalam membuat modifikasi rencana tindakan; penyesuaian selama
berinteraksi dengan klien; kemampuan mengambil keputusan dalam memodifikasi pelaksanaan; kemampuan
untuk menjamin kenyamanan dan keamanan serta efektivitas tindakan (PPNI, 2019).

F. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari rangkaian proses keperawatan yang berguna apakah tujuan
dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau perlu pendekatan lain. Evaluasi keperawatan
mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam
memenuhi kebutuhan klien. Penilaian adalah tahap yang menentukan apakah tujuan tercapai. Evaluasi selalu
berkaitan dengan tujuan yaitu pada komponen kognitif, afektif, psikomotor, perubahan fungsi dan tanda
gejala yang spesifik.
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
1. Identitas

Nama : Tn.M
Umur : 51 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Alamat : Belakang balok

Diagnosa medis : Hepatitis tipe II

2. Keluhan utama

Badan terasa lemah, kepala terasa pusing, gemetaran serta berkeringat


dingin,GDR 424 mg/dl

3. Riwayat Kesehatan Sekarang


klien mengatakan kepala masih terasa pusing, badan lemah dan letih. Klien mengatakan mudah
merasa haus, sering BAK, penurunan BB sejak 3 bulan terakhir dari 58 kg menjadi 49 kg. Klien
mengatakan nafsu makan menurun, klien hanya menghabiskan seperempat diet yang diberikan
rumah sakit. Klien tampak lesu dan dibantu keluarga ketika melakukan aktifitas.
4. Riwayat Kesehatan dahulu
Klien mengatakan mengidap diabetes melitus tipe II sejak tahun 2014. Klien mengatakan suka
makan yang bersantan, suka makan yang manis-manis, makan tidak teratur, dan klien suka ngemil.
Ny.Z mengatakan klien sangat suka minum teh manis , kopi, dan minuman instan. Klien mengatakan
mengalami Diabetes Melitus Tipe II sejak tahun 2014 dan pernah dirawat dengan keluhan yang sama
pada tahun 2014.

5. Riwayat Kesehatan Keluarga


Klien mengatakan ayah pasien juga mempunyai riwayat diabetes. Tidak ada anggota keluarga
lainnya yang memiliki penyakit yang sama seperti yang dialami klien saat ini ataupun penyakit
keturunan lainnya seperti hipertensi, penyakit jantung, stroke dan lainnya
.
6. Pemeriksaan Fisik
Tekanan Darah : 144/87 mmHg
Suhu : 37,5 0C
Nadi : 82x / Menit
Pernafasan : 20x/ Menit
a. Rambut
Tidak ada tampak benjolan dan tidak terdapat lesi pada kepala, warna rambut hitam, sedikit
berketombe dan rambut tidak mudah rontok.
b. Telinga
Kedua telinga simetris antara kiri dan kanan, bersih, klien mengatakan pendengaran tidak
terganggu dan masih terdengar jelas.
c. Mata
Mata kiri dan kanan simetris, mata bersih, konjungtiva anemis, sklera tidak
ikterik, pupil isokor kiri dan kanan, klien mengatakan penglihatan masih
jelas.
d. Hidung
Lubang hidung klien simetris kiri dan kanan, tidak ada pernafasan cuping
hidung, tidak ada kotoran.
e. Mulut
Mulut simetris, mukosa bibir agak kering dan agak pucat, tidak ada karies
gigi, tidak ada sariawan.
f. Leher
Tidak ada ditemukan pembengkakan kelenjar tiroid dan tidak ada
pembesaran vena jugularis.
g. Thoraks
I : Dada kiri dan kanan simetris, pergerakan dada sama antara kiri dan kanan dan tidak ada
lesi.
P : Fremitus kiri dan kanan sama
P : Hasil perkusi didapatkan sonor
A :Bunyi nafas vesikuler dan tidak terdengar bunyi suara napas tambahan.
h. Abdomen
I : Perut datar, tidak ada lesi, tidak ada asites, tidak ada distensi
P : Abdomen tidak teraba pembesaran hati dan limfa
P : Terdengar bunyi timpani
A :Bising usus 12x/menit

i. Kulit
Tidak terdapat edema, tidak terdapat lesi, akral teraba hangat, kulit tampak kering
j. Ekstremitas
Atas : Terpasang infus RL 8 jam/kolf di tangan kanan, CRT <2 Detik
Bawah : Tidak terdapat edema, tidak terdapat lesi, CRT <2 detik dan akral teraba hangat

7. Kebutuhan dasar

a. Makan

Sehat : Makan 2-3x/hari dengan porsi nasi, lauk dan terkadang sayur, jarang mengkonsumsi buah-
buahan. Klien rutin makan sebelum tidur.

Sakit : Klien hanya menghabiskan ¼ porsi diet rumah sakit MBDD 1700 kkal dengan nasi, lauk, sayur dan
buah.

b. Minum

Sehat : Klien setiap pagi rutin minum teh kadang susu 1 gelas/hari, minum air putih ±3500 cc / hari.

Sakit : Klien minum air putih sekitar ±1800 cc setiap hari dan masih sering merasa haus.

c. Tidur

Sehat : Klien kadang-kadang tidur siang, dan tidur malam ±7 jam/hari.

Sakit : Klien mengatakan tidur siang ±4 jam/hari dan tidur malam ±9 jam/hari.

d. Mandi

Sehat : Klien biasanya mandi 2x/hari

Sakit : Klien mandi 1x/hari


e. Eliminasi

Sehat : Klien biasanya BAB 1x/hari dengan konsistensi padat, BAK 5- 6x/hari warna bening
kekuningan

Sakit : Klien BAB 1x/hari, BAK 8-9x/hari.

f. Aktifitas pasien

Sehat : Aktivitas dilakukan mandiri dan tidak pernah berolahraga.

Sakit : Aktivitas klien kadang dibantu oleh keluarga klien.

8. Data Psikologis
Status emosional : Emosional klien tampak stabil, klien menerima keadaan nya saat ini
Pola koping : Baik, klien mengatakan sering berdoa setelah sholat dan yakin akan sembuh dari penyakitnya.
Gaya komunikasi : Klien berkomunikasi menggunakan bahasa minang
ANALISA DATA

NO DATA PENYEBAB MASALAH


Ds :
a. Klien mengatakan
sering merasa haus
b. Klien mengatakan
sering buang air kecil
c. Klien mengeluh
nafsu makan
menurun Hiperglikemia : Ketidakstabilan
d. Klien mengatakan Resistensi insulin Kadar Gula Darah
badan terasa lemah dan
letih
Do :
a. Klien tampak lemah
b. IMT klien dalam
kategori kurus (18,1)
dengan TB/BB = 165
cm/49kg mengalami
penurunan berat badan
dari 58kg menjadi 49kg
sejak tiga bulan
terakhir.
c. GDR : 424 mg/dl

Ds :
a. Klien mengatakan
nafsu makan menurun
b. Klien mengeluh badan
lemah.
Do : Ketidakmampuan Defisit Nutrisi
a. Membran mukosa klien mengabsorbsi
tampak pucat dan kering nutrien
b. Konjungtiva klien
tampak anemis
c. IMT klien berada dalam
kategori kurus (18,1)
dengan TB/BB = 165
cm/49kg mengalami
penurunan berat badan
dari 58kg menjadi 49kg
sejak tiga bulan terakhir.
d. Klien mengalami
penurunan BB dari 58kg
menjadi 49kg dalam tiga
bulan terakhir.
e. GDR : 424 mg/dl

Ds :
a. Klien mengatakan badan
terasa lemah dan letih.
Do : Kondisi Fisiologis : Keletihan
Penyakit kronis
a. Klien tampak lemas
b. Klien tampak
mengantuk
c. Aktivitas klien
tampak dibantu
keluarga

B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan hiperglikemia:resistensi insulin.
2. Defisit mutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien.
3. Keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis:penyakit kronis.
C. Intervensi keperawatan

Perencanaan
No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi

1. Ketidakstabilan kadar glukosa darah Setelah dilakukan Manajemen


berhubungan dengan hiperglikemia : tindakan keperawatan Hiperglikemia :
resistensi insulin 1x24 jam, diharapkan Observasi :
ketidakstabilan gula 1. Identifikasi penyebab
darah dapat teratasi hipergllikemia
dengan KH : 2. Identifikasi situasi
a. Kesadaran meningkat yang menyebabkan
b. Mengantuk menurun kebutuhan insulin
c. Pusing menurun meningkat
d. Lelah/lesu menurun 3. Monitor kadar
e. Keluhan lapar glukosa darah
menurun 4. Monitor tanda dan
f. Mulut kering gejala hiperglikemia
menurun (mis. poliuria,
g. Rasa haus menurun polidipsi,
h. Kadar glukosa polifagia,kelemahan,
dalam darah penglihatan kabur,
membaik sakit kepala)

Terapeutik :
1. Berikan asupan
cairan oral
2. Konsultasi dengan
medis jika tanda dan
gejala hiperglikemia
tetap ada atau
memburuk

Edukasi :
1. Anjurkan
menghindari
olahraga saar
kadar glukosa
darah lebih dari
250 mg/dl.
2. Anjurkan kepatuhan
terhadap diet dan
olahraga
Kolaborasi :
1. Kolaborasi
pemberian insulin,
Jika perlu
2. Kolaborasi
pemberian cairan
IV, Jika perlu

2. Defisit nutrisi berhubungan dengan Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi :


ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien tindakan keperawatan
1x24 jam, diharapkan Observasi :
defisit nutrisi dapat 1. Identifikasi
teratasi dengan Status perubahan berat
Nutrisi, dengan kriteria badan
hasil : 2. Identifikasi pola
a. Porsi makanan makan (mis,
yang dihabiskan kesukaan/ketidaksu
meningkat kaan makanan,
b. Pengetahuan tentang konsumsi makanan
pilihan makanan cepat saji)
yang sehat 3. Monitor warna
meningkat konjungtiva
c. Sikap terhadap 4. Monitor asupan
makanan/minuman oral
sesuai dengan tujuan 5. Monitor hasil
kesehatan meningkat laboratorium
d. Berat badan
membaik Terapeutik :
e. IMT membaik 1. Jelaskan tujuan
f. Frekuensi makan dan prosedur
membaik pemantauan.
g. Nafsu makan 2. Menganjurkan
membaik pasien terkait
h. Membran mukosa dengan kebutuhan
membaik diet untuk sakit

Edukasi :
1. Ajarkan diet
yang
diprogramkan
Kolaborasi :
1. Kolaborasi dengan
ahli gizi untuk
menentukan jumlah
kalori dan nutrien
yang dibutuhkan,
Jika perlu.

3. Keletihan berhubungan dengan kondisi Setelah dilakukan Manajemen Energi :


fisiologis : penyakit kronis tindakan keperawatan
1x24 jam, diharapkan Observasi :
keletihan dapat teratasi 1. Monitor ttv,
dengan Tingkat identifikasi fungsi
Keletihan, dengan tubuh yang
kriteria hasil : mengakibatkan
a. Tenaga meningkat kelelahan
b. Kemampuan 2. Monitor kelelahan
melakukan aktivitas fisik dan emosional
rutin meningkat 3. Monitor pola
c. Verbalisasi lelah dan jam tidur
menurun
d. Lesu menurun Terapeutik :
e. Selera makan 1. Fasilitasi duduk
membaik ditempat tidur, jika
tidak dapat
berpindah atau
berjalan

Edukasi :
1. Anjurkan
melakukan
aktivitas secara
bertahap
2. Anjurkan
menghubungi
perawat jika tanda
dan gejala
kelelahan tidak
berkurang
Kolaborasi
1. Kolaborasi
dengan ahli gizi
tentang cara
meningkatkan
asupan makanan
D. Implementasi keperawatan
Implementasi yang dilakukan pada pasien dengan diagnosa ketidakstabilan kadar glukosa darah
dilakukan dengan manajemen hiperglikemia yaitu dengan memonitor ttv 2x/hari, memonitor
kadar glukosa darah 3x/hari, memberikan terapi insulin novorapid 8 unit kepada pasien sesuai
anjuran dokter , memonitor tanda dan gejala hiperglikemia : poliuria, polidipsi, polifagi, dan
kelemahan, memberikan obat ceftriaxone 2x1 gr secara iv.

Implementasi yang dilakukan pada pasien dengan diagnosa defisit nutrisi dilakukan dengan
ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien yaitu dengan mengidentifikasi perubahan berat badan
pasien : BB = 49kg, mengetahui kesukaan pasien mengkonsumsi makanan dari luar rumah
sakit, memonitor warna konjungtiva pasien : anemis, memonitor hasil laboratorium pasien
penurunan hemoglobin = 10,8, dan hematokrit = 42%, memberikan obat ranitidine 2x1 amp
secara iv, menganjurkan pasien terkait dengan kebutuhan diet untuk kondisi sakit, pastikan
diet yang mencakup makanan tinggi kandungan serat untuk mencegah konstipasi.

Impelementasi yang dilakukan pada pasien dengan diagnosa keletihan dilakukan dengan
kondisi psikologis yaitu mengkaji status fisiologis pasien, menganjurkan pasien untuk
melakukan latihan jasmani secara bertahap dan teratur, berjalan – jalan di sekitar ruangan,
memonitor intake asupan nutrisi pasien
E. Evaluasi keperawatan

Setelah dilakukan intervensi pada pasien dengan diagnosa keperawatan ketidakstabilan kadar
glukosa darah didapatkan evaluasi yaitu pada hari kelima masalah mulai teratasi dan intervensi
dilanjutkan, ditandai dengan pasien mengatakan letih berkurang, pasien mengatakan haus mulai
berkurang, pasien mengatakan BAK 7-8x/hari, pasien tampak mulai segar, TD : 133/80 mmHg,
Nadi : 80x/i, pusingnya sudah berkurang. membutuhkan pelayanan kesehatan Pernapasan :
20x/i, GDR 202 mg/dl.

Pada diagnosa keperawatan defisit nutrisi didapatkan evaluasi yaitu pada hari kelima masalah
teratasi dan intervensi dihentikan, ditandai dengan pasien mengatakan mulai bertenaga, pasien
mengatakan nafsu makan membaik, pasien tampak menghabiskan diit yang diberikan rumah
sakit.

Pada diagnosa keperawatan keletihan didapatkan evaluasi yaitu hari kelima masalah teratasi
intervensi dihentikan, ditandai dengan pasien mengatakan letih mulai berkurang, pasien
mengatakan nafsu makan mulai meningkat, pasien mulai bertenaga, pasien tampak sudah
melakukan beraktivitas secara mandiri.

BAB IV
PEMBAHASAN

A. Pengkajian

keluhan utama pada pasien yaitu badan terasa lemas, kepala terasa pusing, gemetaran
serta berkeringat dingin, GDR pasien = 424 mg/dl.

Berdasarkan teori menurut Menurut PER KENI (2011), untuk


menentukan diagnosis diabetes melitus pada pasien yaitu dengan kadar
gula darah puasa > 126 mg/dl dan pada tes gula darah sewaktu >200
mg/dl.

Saat dilakukan pengkajian Pasien mengatakan kepala masih terasa


pusing, badan lemah dan letih, pasien mengatakan mudah merasa haus,
sering BAK, penurunan BB sejak dalam 3 bulam terakhir 59 kg menjadi
49 kg, pasien mengatakan nafsu makan berkurang, pasien hanya
menghabiskan seperempat diet yang diberikan rumah sakit, pasien
tampak lesu dan aktivitas dibantu oleh keluarga.
Keluhan yang dirasakan pasien saat pengkajian sesuai dengan teori
(Manurung 2018) penurunan berat badan yang berlangsung dalam waktu
relative singkat harus menimbulkan kecurigaan, hal ini disebabkan
glukosa dalam darah tidak dapat masuk kedalam sel sehingga sel
kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. untuk kelangsungan
hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain yaitu sel lemak
dan otot. Akibatnya pasien kehilangan lemak dan otot sehingga menjadi
kurus.

Berdasarkan teori (Riyadi, Sukarmin 2008) Kelainan pada mata,


penglihatan kabur, pada kondisi kronis, keadaan hiperglikemia
menyebabkan aliran darah menjadi lambat, sirkulasi ke vaskuler tidak
lancar, termasuk pada mata yang merusak retina serta kekeruhan pada
lensa. Kelemahan dan keletihan, kurangnya cadangan energi, dan
kehilangan potassium menjadi akibat pasien mudah letih dan lelah.

Menurut Rakhmadany dalam (Manurung 2018) faktor resiko diabetes


yang dapat diubah atau berdasarkan gaya hidup salah satunya adalah
stress dan kecemasan, stress cenderung membuat seseorang mencari
makanan yang manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan serotonin
otak. Serotonin ini memiliki efek penenang sementara untuk meredakan
stress, tetapi gula dan lemak itulah yang berbahaya bagi mereka yang
beresiko terkena diabetes mellitus.

Berdasarkan hasil penelitian pada pemeriksaan fisik pasien yang


mengalami gangguan yaitu penglihatan kabur, konjungtiva anemis.
Berdasarkan teori (Bararah & Jauhar 2013) dalam pemeriksaan fisik pada
pasien diabetes mellitus terdapat gangguan dalam sistem neurologis
diantaranya terjadi penurunan sensoris.

Menurut Riyadi (2008) pemeriksaan fisik pada penderita diabetes antara


lain: status penampilan kesehatan: biasanya yang sering muncul adalah
kelemahan fisik, tanda-tanda vital: hipertensi (karena peningkatan
viskositas darah oleh glukosa sehingga terjadi peningkatan tekanan pada
dinding pembuluh darah dan beresiko terbentuknya plak pada pembuluh
darah. Kondisi ini terjadi pada fase diabetes melitus yang sudah lama
atau penderita yang memeng mempunyai bakat hipertensi). Berat badan:
melalui penampilan atau pengukuran, biasanya kurus (pada diabetes
melitus pada fase lanjutan dan lama tidak mengalami terapi), gemuk
(pada fase awal penyakit tau penderita lanjutan dengan pengobatan yang
rutin dan pola makan yang masih tidak terkontrol). Mata : konjungtiva
anemis biasanya terjadi pada pasien yang mengalami gangguan nutrisi.
Sistem muskuloskletal : biasanya terjadi penurunan massa otot,cepat
lelah, lemah, nyeri, dan adanya ganggren di ekstremitas

B. Diagnosa keperawatan.

Menurut Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia ( SDKI ) tahun 2017,


diagnosa yang muncul pada hasil penelitian dan observasi yaitu sebanyak
3 diagnosa keperawatan diantaranya ketidakstabilan kadar glukosa darah
berhubungan dengan hiperglikemia, defisit nutrisi berhubungan dengan
ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien, keletihan berhubungan dengan
kondisi fisiologis.

Pada diagnosis keperawatan pertama, ketidakstabilan kadar glukosa darah


berhubungan dengan hiperglikemia, ditandai dengan data subjektif pasien
mengatakan sering merasa haus, pasien mengatakan sering buang air
kecil, pasien mengeluh nafsu makannya menurun, pasien mengatakan
badan terasa lemah dan letih dan data objektif pasien tampak lemah, GDR
: 424 mg/dl, memiliki riwayat diabetes semenjak 7 tahun yang lalu.

Teori dalam SDKI tahun 2017 dikatakan bahwa diagnosis ketidakstabilan


kadar glukosa darah adalah variasi kadar glukosa darah yang naik dari
rentang normal dengan tanda dan gejala mayor lelah dan lesu, kadar
glukosa darah urin tinggi , sedangkan untuk tanda gejala minor mulut
kering, haus meningkat. Menurut penulis terdapat kesamaan antara
masalah keperawatan ketidakstabilan kadar glukosa darah pada pasien
dengan teori yang ada

Pada diagnosis keperawatan kedua, defisit nutrisi berhubungan dengan


ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien ditandai dengan data subjektif
pasien mengatakan nafsu makan berkurang, pasien mengeluh badan
lemah dan data objektif membran mukosa pasien tampak pucat dan
kering, konjungtiva pasien tampak anemis, IMT pasien berada dalam
kategori kurus, pasien mengalami penurunan BB dari 58 kg menjadi 49
kg dalam tiga bulan terakhir.
Teori dalam SDKI tahun 2017 dapat ditegakkan bila ketidakmampuan
memakan makanan, kurang minat pada makanan, penurunan berat badan
dengan asupan makan adekuat, kurang informasi.

Pada diagnosis keperawatan ketiga, keletihan berhubungan dengan


kondisi fisiologis ditandai dengan data subjektif pasien mengatakan
badan terasa lemah dan letih dan data objektif pasien tampak lemas,
pasien tampak mengantuk, aktivitas pasien tampak dibantu keluarga,
GDR : 424 mg/dl.

Teori dalam SDKI tahun 2017 menjelaskan bahwa diagnosis keletihan


adalah merupakan perasaan subjektif yang tidak teratasi dengan istirahat
dan intervensi keperawatan tidak difokuskan untuk meningkatkan daya
tahan beraktivitas (endurance), melainkan untuk membantu pasien
beradaptasi dengan kondisi yang dialaminya. Diharapkan dengan gejala
dan tanda mayor pasien mengungkapkan merasa energi tidak pulih
walaupun telah tidur, merasa kurang tenaga, mengeluh lelah, tidak
mempu mempertahankan aktivitas rutin, lesu. Menurut penulis terdapat
kesamaan diagnosis keletihan pada pasien dengan teori yang ada.

C. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan pada diagnosis ketidakstabilan kadar glukosa
darah berhubungan dengan hiperglikemia dapat mengidentiikasi factor
resiko, dengan kriteria hasil kestabilan kadar glukosa darah: tidak ada
mengantuk, tidak ada pusing, tidak ada lesu/lelah, tidak ada keluhan
lapar, tidak ada keluhan haus, kadar glukosa dalam darah dalam rentang
normal kadar, kadar glukosa dalam urine dalam rentang normal dan
palpitasi membaik .Kontrol resiko : menunjukkan kemampuan
mengidentifikasi faktor resiko meningkat, kemampuan melakukan
strategi control resiko meningkat, kemampuan modifikasi gaya hidup
meningkat, kemampuan menghindari factor resiko meningkat, dan
adanya penggunaan fasilitas kesehatan. Kontrol resiko : menunjukkan
kemampuan mengidentifikasi faktor resiko meningkat, kemampuan
melakukan strategi control resiko meningkat, kemampuan modifikasi
gaya hidup meningkat, kemampuan menghindari factor resiko
meningkat, dan adanya penggunaan fasilitas kesehatan.
Rencana tindakan meliputi manajemen hiperglikemi yaitu observasi :
identifikasi kemungkinan penyebab hiperglikemi, monitor kadar
glukosa darah monitor tanda dan gejala hiperglikemi, kadar glukosa
darah, elektorlit, tekanan darah ortostatik dan frekuensi. Terapeutik :
berikan asupan cairan oral, konsultasi dengan medis jika tanda dan
gejala hiperglikemia tetap ada atau memburuk. Edukasi : anjurkan
menghindari olahraga saat kadar glukosa darah lebih dari 250 mg/dl,
anjurkan kepatuhan terhadap diet dan olahraga, ajarkan pengelolaan
diabetes. kolaborasi: kolaborasi pemberian insulin, kolaborasi
pemberian cairan. Identifikasi resiko yaitu observasi: identifikasi resiko
biologis, lingkungan maupun perilaku, dan identifikasi risiko secara
berkala. Terapeutik: tentukan metode pengobatan resiko yang baik dan
ekonomis, dan lakukan pengelolaan resiko secara efektif

Rencana keperawatan yang akan dilakukan pada pasien dengan


diagnosis defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan
mengabsorbsi nutrien intervensi yang direncanakan yaitu :
mengidentifikasi perubahan berat badan, mengidentifikasi pola makan
(mis : kesukaan/ketidaksukaan makanan cepat saji), memonitor warna
konjungtiva, memonitor asupan oral, memonitor hasil laboratorium,
menjelaskan tujuan dan prosedur pemantauan, menganjurkan pasien
terkait dengan kebutuhan diet untuk kondisi sakit, pastikan diet yang
mencakup makanan tinggi kandungan serat untuk mencegah konstipasi.

Rencana keperawatan yang akan dilakukan pada pasien dengan


diagnosis keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis intervensi
yang direncanakan yaitu : memonitor tanda tanda vital,
mengidentifikasi fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan,
memonitor kelelahan fisik dan emosional, memonitor pola makan dan
jam tidur, menganjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang, menganjurkan melakukan aktivitas secara
bertahap, menganjurkan meningkatkan asupan makanan.
D. Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan yang dilakukan berkaitan dengan diagnosa ketidakstabilan


kadar glukosa darah berhubungan dengan hiperglikemia yaitu mengukur kadar glukosa
darah, mengukur tanda dan gejala hiperglikemia, poliuria, polidipsia, polifagi, malaise,
pandangan kabur, atau sakit kepala, mengukur tanda-tanda vital, berkolaborasi dalam
pemberian injeksi insulin sebelum makan, edukasi pasien jika kekhawatiran atau stress
bisa menyebabkan kadar glukosa dalam darah meningkat serta pelaksanaan manajemen
stress dengan teknik relaksasi mendengarkan tilawah Al Quran dan dzikir.

Penelitian yang dilakukan oleh (Derek, Rottie & Kallo 2017) stress dapat memicu kadar
darah dalam tubuh yang semakin meningkat sehingga semakin tinggi stress yang
dialami oleh penderita diabetes mellitus maka diabetes yang dialami akan semakin
tambah buruk, maka diperlukan manajemen relaksasi penurun stress. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh (Labindjang, Kadir & Salamanja 2015) Kondisi yang
relaks dapat mengembalikan kotra-regulasi hormone stress dan memungkinkan tubuh
untuk menggunakan insulin lebih efektif.

Implementasi keperawatan yang dilakukan berkaitan dengan diagnosa pada diagnosa


defisit nutrisi yang berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien,
tindakan keperawatan yang dilakukan yaitu mengidentifikasi perubahan berat badan
pasien, mengetahui kesukaan pasien mengonsumsi makanan dari luar rumah sakit,
gula memonitor warna konjongtiva pasien : anemis, memonitor hasil laboratorium
pasien, memberikan obat rinitidine 2x1 amp secara iv menganjurkan pasien terkait
dengan kebutuhan diet untuk kondisi sakit, pastikan diet yang mencakup makanan
tinggi kandungan serat untuk mencegah konstipasi.

Implementasi keperawatan yang dilakukan berkaitan dengan diagnosa pada diagnose


keletihan yang berhubungan dengan kondisi fisiologis tindakan keperawatan yang
dilakukan yaitu mengkaji status fisiologis pasien, menganjurkan pasien untuk
melakukan latihan jasmani secara bertahap dan teratur, berjalan – jalan di sekiitar
ruangan, memonitor intake asupan nutrisi pasien.
Menurut (Alfiani, Yulitah &Sutriningsih 2017) kepatuhan dalam diet dan pengobatan
pasien diabetes sangat dibutuhkan, kepatuhan terjadi bila aturan menggunakan obat
yang diresepkan serta pemberiannya diikuti dengan benar. Penelitian yang dilakukan
oleh (Essy dan Widiyaningsih 2013) kepatuhan penderita dalam menaati diet diabetes
mellitus sangat berperan penting untuk menstabilkan kadar glukosa pada pasien
diabetes mellitus, kepatuhan membutuhkan dukungan agar menjadi biasa dengan
perubahan yang dilakukan dengan cara mengatur untuk meluangkan waktu dan
kesempatan yang dibutuhkan untuk menyesuaikan diri.

E. Evaluasi Keperawatan
Intervensi dilanjutkan untuk diagnosa ketidakstabilan kadar glukosa darah
berhubungan dengan hiperglikemia antara lain, pasien mengatakan badan
masih terasa letih, pasien mengatakan masih sering BAK : 8-9x/hari,
pasien mengatakan sering merasa haus, pasien masih tampak lemah, TD :
144 / 87 mmHg, nadi : 82x/i, pernapasan : 20x/i, GDR : 424 mg/dl. Pada
hari ke lima pasien mengatakan letih berkurang, pasien mengatakan haus
mulai berkurang, pasien mengatakan BAK 7-8x/hari, pasien tampak mulai
segar, tanda-tanda vital : TD : 133/80 mmHg, nadi : 80x/i, pernapasan :
20x/i. GDR : 202 mg/dl

Evaluasi dari hasil tindakan keperawatan yang telah diberikan kepada pasien
dengan defisit nutrisi yang berhubungan dengan ketidakmampuan
mengabsorbsi nutrien didapatkan evaluasi yaitu pada hari kelima masalah
teratasi dan intervensi dihentikan, pasien mengatakan mulai bertenaga,
pasien mengatakan nafsu makan membaik, pasien tampak menghabiskan
diit yang diberikan rumah sakit.

Evaluasi dari hasil tindakan keperawatan yang telah diberikan kepada pasien
dengan diagnosa keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis hari
pertama sampai hari keempat dengan masalah teratasi dan intervensi
dihentikan, pasien mengatakan letih mulai berkurang, pasien mengatakan
nafsu makan mulai meningkat, pasien tampak mulai bertenaga, pasien
tampak beraktivitas secara mandiri.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hasil pengkajian yang didapatkan badan pasien terasa lemah, kepala
terasa pusing, gemetaran serta berkeringat dingin, GDR pasien = 424
mg/dl, sering BAK, nafsu makan menurun, pasien memiliki riwayat
keluarga yang mengalami diabetes mellitus.
2. Diagnosis keperawatan yang muncul pada penelitian ini yaitu
ketidakstabilan kadar glukosa darah berhubungan dengan hiperglikemia,
defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi
nutrien, keletihan berhubungan dengan kondisi fisiologis.
3. Intervensi keperawatan disusun berdasarkan diagnosis keperawatan
yang ditemukan dan sesuai dengan SDKI, SIKI-SLKI, diantaranya
manajemen hiperglikemia, manajemen nutrisi, manajemen energi.
4. Implementasi keperawatan yang dilakukan kepada pasien sesuai dengan
rencana tindakan yang telah disusun : mengidentifikasi penyebab
hiperglikemia, memonitor kadar glukosa darah, memonitor tanda dan
gejala hiperglikemia, mengidentifikasi perubahan berat badan,
mengidentifikasi pola makan, memonitor tanda tanda vital,
mengidentifikasi fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan.
5. Hasil evaluasi yang dilakukan selama lima hari dalam bentuk SOAP
terhadap tiga diagnosis keperawatan didapatkan hasil, diagnosis defisit
nutrisi teratasi pada hari kelima dengan tanda nafsu makan membaik,
pasien menghabiskan diit yang diberikan rumah sakit. Diagnosis
keletihan teratasi pada hari kelima dengan tanda letih mulai berkurang,
pasien tampak bertenaga, pasien mengatakan letih mulai berkurang, dan
diagnosis ketidakstabilan kadar glukosa darah mulai teratasi dan
intervensi dilanjutkan dengan pasien mengatakan letih berkurang,
pasien mengatakan haus berkurang, GDR : 202 mg/dl, TD : 133/80
mmHg
.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, peneliti memberikan saran sebagai berikut:
1. Bagi Puskesmas/rumah sakit
Hasil dari studi kasus ini dapat dipergunakan sebagai tambahan informasi
dan meningkatkan kualitas pemberian asuhan keperawatan kepada pasien
dengan Diabetes melitus tipe II
2. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan penelitian ini dapat sebagai tambahan informasi dan dapat
dijadikan bahan kepustakaan dalam pemberian asuhan keperawatan pada
pasien Diabetes melitus tipe II
3. Bagi Penulis Selanjutnya
Bagi penulis selanjutnya bisa dijadikan data pembanding dalam penerapan
asuhan keperawatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Arisman. (2010). Obesitas, Diabetes Melitus dan dislipidemia. Jakarta:


EGC

Bararah, T., & Jauhar, M. (2013). Asuhan Keperawatan Panduan


Lengkap Menjadi Perawat Profesional (1st ed.; U. A. Kurniati, Ed.).
Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Bataha, Y. B. (2017). Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Melitus, 5.

Dalimunthe, D. Y., & Nasution, J. D. (2016). Jurnal Mutiara Kesehatan


Masyarakat Jurnal Mutiara Kesehatan Masyarakat, 1(1), 53–61.
http://download.portalgaruda.org.

Damayanti. (2015). Diabetes Melitus & Penatalaksanaan Keperawatan


Yogyakarta: Nuha Medika.

Dinas Kesehatan Kota Padang. (2017). Profil Kesehatan Kota

Padang. Dinas Kesehatan Kota Padang. (2018). Profil Kesehatan

Febty, I. K. A., Chiptarini, D., Studi, P., Keperawatan, I., Kedokteran, F.,
Ilmu D. A N., Jakarta, H. (2014). Penatalaksanaan Dm Pada Pasien
Dm Di Puskesmas.

Joyce M. Black, & Jane Hokanson Hawks (2014). Keperawatan Medikal


Bedah (edisi 8). Singapore : Elsevier Pte Ltd.

Kemenkes, R. (2017). Profile Kesehatan Indonesia Tahun 2017. Ministry


of Health Indonesia. https://doi.org/10.1002/qj

Kemenkes. (2016). PTM Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak


Menular di Indonesia.

Labindjang, Kadir, and Salamanja. 2015. “Hubungan Stres Dengan Kadar


Glukosa Darah Pada Penderita Diabetes Mellitus Di Puskesmas
Bolangitang Barat Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.”

Manurung, N. (2018). Keperawatan Medical Bedah Konsep Mind Maping


dan NANDA NIC NOC. Jakarta: CV. Trans Info Media.
PERKENI. (2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia.

PERKENI. (2015). Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2


di indonesia 2015.

Price, S.A. & Wilson, L. M (2013) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit. Edisi VI. Jakarta: EGC

Raharjo, Muji. 2018. “Asuhan Keperawatan Ny.N Dengan Diabetes Melitus


Di Ruang Kirana Rumah Sakit TK.III DR. Soetarto Yogyakarta.”
Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Yogyakarta.

Rudianto, A. D. (2015). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes


Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Pengurus Besar Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI).

Sari, K. (2013). Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. (2013). Textbook of medical-surgical nursing.


Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. (2017). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : buku


kedokteran EGC
Tandra, H. (2017). Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui tentang
Diabetes. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Tarwoto. (2012). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Trans Info Media.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2019. Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia: Defenisi dan Indikator Diagnostik, Edisi 1. Jakarta:
DPP PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2019. Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia: Defenisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta:
DPP PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan


Indonesia: Defenisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................
B. Rumusan masalah....................................................................................
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................
D. Manfaat penulisan....................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Konsep dasar Diabates Melitus
1. Pengertian............................................................................................
2. Klasifikasi...........................................................................................
3. Etiologi................................................................................................
4. Tanda dan gejala.................................................................................
5. Patofisiologi........................................................................................
6. Komplikasi............................................................................................
7. Penatalaksanaan....................................................................................
8. Pemeriksaan penunjang......................................................................

B. Konsep Asuhan Keperawatan Teoritis


1. Pengkajian Keperawatan.......................................................................
2. Diagnosa keperawatan..........................................................................
3. Intervensi keperawatan.........................................................................
4. Implementasi Keperawatan...................................................................
5. Evaluasi Keperawatan...........................................................................

BAB III TINJAUAN KASUS


1. Pengkajian Keperawatan..................................................................
2. Diagnosis Keperawatan...................................................................
3. Intervensi Keperawatan...................................................................
4. Implementasi Keperawatan..............................................................
5. Evaluasi Keperawatan......................................................................

BAB IV PEMBAHASAN
1. Pengkajian Keperawatan..................................................................
2. Diagnosis Keperawatan...................................................................
3. Intervensi Keperawatan...................................................................
4. Implementasi Keperawatan.............................................................
5. Evaluasi Keperawatan....................................................................

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................
B. Saran......................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
.
.

Anda mungkin juga menyukai