Anda di halaman 1dari 39

ABSTRAK

GAMBARAN PENYAKIT DIABETES MELLITUS DI PUSKESMAS RAPAK


MAHANG TAHUN 2018

Sinta, Sri1, J.N.Adam2

1
: dokter internship Puskesmas Rapak Mahang;

2
: staff dokter Puskesmas Rapak Mahang

LATAR BELAKANG :

Diabetes melitus (DM) sebagai salah satu ancaman kesehatan global. Prevalensi DM terus
meningkat diikuti dengan peningkatan prevalensi komplikasi DM. Diabetes mellitus telah
menjadi penyebab utama kebutaan, gagal ginjal, serangan jantung, stroke, dan amputasi kaki.
Diabetes mellitus yang tidak disertai komplikasi dapat ditangani dengan tuntas oleh dokter
umum di fasilitas pelayanan kesehatan primer.

TUJUAN :

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penyakit diabetes mellitus pada pasien
yang berkunjung ke Puskesmas Rapak Mahang pada tahun 2016 ditinjau dari angka
kesakitan, kelompok usia, jenis kelamin, dan prevalensi komplikasi DM yang diderita oleh
pasien.

METODE :

Metode penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan menggunakan data


sekunder yang diperoleh dari rekam medis Puskesmas Rapak Mahang.

HASIL :

Jumlah pasien DM yang datang ke Puskesmas Rapak Mahang tahun 2018 adalah 2048
pasien, yang terdiri dari 755 pria (36.87%) dan 1293 wanita (63.13%). Berdasarkan kategori
usia, tercatat 55 pasien (2.69%) pasien berusia 26-35 tahun, 263 pasien (12.84%) berusia 36-
45 tahun, 766 pasien (37.40%) berusia 46-55 tahun, 739 pasien (36.08%) berusia 56-65
tahun, 197 pasien (9.62%) berusia 66-75 tahun, dan 28 pasien (1.37%). Tidak ada pasien

1
yang berusia < 25 tahun atau > 85 tahun. Komplikasi yang ditemukan pada pasien DM adalah
hipertensi (78,21%), neruopati diabetik (10,14%), ulkus diabetik (7,83%), retinopati diabetik
(2,20%), nefropati diabetik (0,5%), penyakit jantung koroner (0,5%), dan stroke (0,6%).

KESIMPULAN :

Diabetes melitus lebih banyak dialami oleh wanita dan kelompok usia 46-55 tahun.
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah hipertensi dan neuropati diabetik.

KATA KUNCI :

Diabetes melitus, Diabetes melitus gestasional, neuropati diabetik, ulkus diabetik, retinopati
diabetik, penyakit jantung koroner, stroke, gangguan integritas kulit diabetik, Puskesmas
Rapak Mahang.

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

World Health Organization (WHO) telah menyatakan diabetes mellitus (DM) sebagai
salah satu ancaman kesehatan global. Prevalensi diabetes mellitus meningkat drastic, dari
4,7% pada tahun 1980 menjadi 8,5% di tahun 2014. Hal ini berarti jumlah penderita DM
yang pada tahun 1980 berjumlah 108 juta pasien, pada tahun 2014 berjumlah 422 juta pasien.
Diabetes mellitus juga merupakan penyebab utama kebutaan, gagal ginjal, serangan jantung,
stroke, dan amputasi kaki.1

World Health Organization memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di


Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan
ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada
tahun 2035. Penelitian lain yang dilakukan oleh International Diabetes Federation (IDF)
memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta pada
tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035. Laporan IDF ini juga menyebutkan
Indonesia berada pada peringkat ke-5 pada jumlah prevalensi diabetes mellitus terbanyak di
dunia.2

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada
tahun 2013 menemukan prevalensi Diabetes Mellitus di Indonesia pada mayarakat yang
berusia di atas 15 tahun adalah 6,9%.4 Prevalensi DM di provinsi Kalimantan Timur lebih
rendah dibandingkan prevalensi DM nasional dengan jumlah penderita diabetes mellitus
berkisar 64.000 jiwa atau sekitar 2,3%.5 Diabetes Mellitus berada pada peringkat kedelapan
dalam kategori penyakit yang paling sering ditemukan di puskesmas di Kalimatan Timur
pada tahun 2013.6 Sementara itu di Kabupaten Kutai Kartanegara, diabetes mellitus berada
pada peringkat kedua dalam kategori penyakit tidak menular yang paling sering ditemukan
pada tahun 2015. Jumlah kasus baru diabetes mellitus di Kabupaten Kutai Kartanegara adalah
2830 kasus.7

Puskesmas Rapak Mahang merupakan salah satu puskesmas percontohan di wilayah


Kutai Kartanegara yang memiliki cakupan kerja 40.565 orang yang terdapat di empat

3
kelurahan di wilayah kerjanya yaitu kelurahan Melayu, Jahab, Bukit Biru, dan Timbau.
Berdasarkan data yang terhimpun dari pusat data puskesmas rapak mahang selama tahun
2014, diabetes mellitus merupakan penyakit tidak menular dengan jumlah kunjungan ke
puskesmas paling banyak setelah hipertensi.
Peningkatan prevalensi diabetes mellitus tentu akan diikuti oleh peningkatan angka
kejadian komplikasi kronik diabetes mellitus. Berbagai penelitian prospektif menunjukkan
meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, seperti penyakit jantung
koroner, stroke, ulkus diabetikum, retinopati diabetik, neuropati diabetik dan juga nefropati
diabetik, yang merupakan komplikasi dari diabetes mellitus.8
Dokter umum sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan primer memegang peran
penting dalam penangan kasus diabetes mellitus. Kasus Diabetes Mellitus sederhana tanpa
penyulit dapat ditangani dengan tuntas oleh dokter umum di pelayanan kesehatan primer.
Konsultasi kepada dokter spesialis penyakit dalam atau dokter spesialis penyakit dalam
konsultan endokrin metabolik dan diabetes pada pelayanan kesehatan sekunder diperlukan
pada kasus kadar glukosa darah yang sulit terkendali atau pada pasien yang berpotensi
mengalami komplikasi dari diabetes mellitus. Setelah penanganan di rumah sakit rujukan
selesai, pasien dapat dikirim kembali kepada dokter pelayanan primer.2
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan, penulis merasa tertarik untuk
memberikan gambaran penyakit diabetes mellitus dan prevalensi komplikasinya yang
ditemukan di Puskesmas Rapak Mahang sepanjang tahun 2018.

B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana gambaran penyakit diabetes
mellitus pada pasien yang berkunjung ke Puskesmas Rapak Mahang pada periode 1 Januari
2016 - 31 Desember 2018 ditinjau dari angka kesakitan, jenis kelamin, sebaran usia, dan
angka kejadian penyulit diabetes mellitus.

C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah yang ditetapkan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui gambaran penyakit diabetes mellitus pada pasien yang berkunjung ke Puskesmas
Rapak Mahang pada periode 1 Januari 2018 - 31 Desember 2018 ditinjau dari angka
kesakitan, jenis kelamin, sebaran usia, dan angka kejadian penyulit diabetes mellitus.
4
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi Peneliti
Melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan peneliti mengenai
manajemen pengendalian penyakit diabetes mellitus di masyarakat.
2. Bagi Puskesmas Rapak Mahang
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu Puskesmas Rapak Mahang dalam
menenetukan strategi pengendalian penyakit diabetes mellitus pada pasien yang
berkunjung ke puskesmas. Berikut dengan bagian yang terkait seperti penyediaan obat-
obatan PTM, pemeriksaan penunjang untuk PTM dan program program pengembangan
terkait PTM termasuk posbindu.
3. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
mengenai angka kejadian diabetes mellitus serta pentingnya upaya untuk mencegah atau
mengendalikan progresifitas penyakit diabetes mellitus.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.2,8

B. KLASIFIIKASI DIABETES MELLITUS


Klasifikasi Diabetes Mellitus berdasarkan etiologi menurut PERKENI (Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia) 2016 : 2
1. Diabetes Mellitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi akibat kerusakan
dari sel beta pankreas.
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik, kadar insulin dapat
normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi insulin untuk metabolisme glukosa
tidak ada atau kurang.
3. Diabetes Mellitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional

6
KLASIFIKASI DIABETES MELLITUS PERKENI
1998

DM TIPE 1: DM TIPE 2 : DM TIPE LAIN : DM


Defisiensi Defisiensi insulin 1. Defek genetik fungsi sel beta : GESTASIONAL
A
insulin absolut relatif : Maturity onset diabetes of the young
akibat destuksi 1, defek sekresi Mutasi mitokondria DNA 3243 dan lain-lain
sel beta, insulin lebih 2. Penyakit eksokrin pankreas :Pankreatitis
karena: dominan daripada Pankreatektomy
1.autoimun resistensi insulin. 3.Endokrinopati : akromegali, cushing,
C. hipertiroidisme
2. idiopatik 2. resistensi insulin
lebih dominan 4.akibat obat : glukokortikoid, hipertiroidisme
daripada defek 5.Akibat virus: CMV, Rubella
sekresi insulin. 6.Imunologi: antibodi anti insulin
7. Sindrom genetik lain: sdr. Down, Klinefelter

Gambar 1. Klasifikasi Diabetes Mellitus berdasarkan etiologi menurut PERKENI 20162

C. PATOGENESIS DIABETES MELLITUS


Patogenesis diabetes mellitus tipe-2 berhubungan dengan resistensi insulin dan disfungsi
sel beta pankreas. Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin,
namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara
normal.Keadaan ini disebut sebagai “resistensi insulin.”2,9
Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta
penuaan.Pada penderita diabetes mellitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik
yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B Langerhans secara autoimun
seperti diabetes mellitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe
2 hanya bersifat relatif dan tidak absolut.2,9
Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada
sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin.
Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan
sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan
menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen.

7
Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut,
yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin. 2,9

D. KRITERIA DIAGNOSIS DIABETES MELLITUS


Diagnosis diabetes mellitus ditegaskkan berdasarkan hasil pemeriksaan kadar glukosa
darah. Kecurigaan adanya diabetes mellitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti :
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya.Keluhan ini merupakan gejala klasik diabetes mellitus. Gejala lain yang bisa
ditemukan adalah kelemahan badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria,
serta pruritus vulva pada wanita.2,8
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan
glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan
plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan
pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glucometer. Diagnosis DM tidak dapat ditegakkan
atas dasar adanya glukosuria.2,8

Gambar 2. Alur diagnosis diabetes mellitus2,8


Kriteria diagnostik diabetes mellitus :2,8
 Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan
terakhir, atau
 Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori
tambahan sedikit nya 8 jam, atau

8
 Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan standard
WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang
dilarutkan dalam air.
 Pemeriksaan HbA1c ≥ 6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh
National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP). Saat ini tidak semua
laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGS, sehingga harus hati-hati dalam
membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti
anemia, hemoglobinopati, riwayat transfuse darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-kondisi
yang mempengaruhi umur eritrosit, dan gangguan gungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat
dipakai sebagai alat diagnosis maupun evalasi.
Tata cara pelaksana tes toleransi glukosa oral (TTGO) berdasarkan pedoman WHO
’94 :2,8
 Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa.
 Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
 Diperiksa kadar glukosa darah puasa
 Diberikan glukosa 75 gram (dewasa) atau 1,75 g/kg BB (anak-anak) , dilarutkan dalam
250 ml air dan diminum dalam 5 menit.
 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
 Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa
 Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat
digolongkan ke dalam kelompok TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa
darah puasa terganggu) :2,8
 TGT : glukosa darah plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa
plasma puasa <100mg/dl;
 GDPT : glukosa darah plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO
glukosa plasma 2 jam <140 mg/dl;
 GDPT dan TGT dapat ditegakkan bersama-sama;

9
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang
menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakan diagnosis diabetes mellitus tipe-2


dan prediabetes pada kelompok tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik DM, yaitu :2,8
1. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥ 23 kg/m 2) yang
disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut :
a. Aktivitas fisik yang kurang
b. First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga)
c. Kelompok / ras etnis tertentu
d. Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4 kg
atau mempunyai riwayat diabetes mellitus gestasional
e. Hipertensi ( ≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi)
f. HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
h. Riwayat prediabetes
i. Obesitas berat, akantosis nigrikans
j. Riwayat penyakit kardiovaskular
2. Usia > 45 tahun tanpa faktor risiko di atas.2,8
Pemeriksaan penyaring (skrining) pada kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan
glukosa plasma normal sebaiknya diulang setiap 3 tahun, keucali pada kelompok prediabetes,
pemeriksaan diulang tiap 1 tahun.
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan TTGO,
pemeriksaan penyaring dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler
diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini perlu diperhatikan adanya
perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti
pada tabel dibawah ini :2

Gambar 3. Interpretasi hasil pemeriksaan glukosa darah2

10
E. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah peningkatan kualitas hidup penyandang
diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi :2,10
1. Tujuan jangka pendek : menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup,
dan mengurangi risiko komplikasi akut
2. Tujuan jangka panjang : mencegah dan menghambat progesivitas penyulit
makroangiopati dan mikroangiopati
3. Tujuan akhir pengelolaaan adalah turunya morbiditas dan mortalitas DM.

Pengelolaan DM setelah edukasi dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran,
dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan oleh pasien secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus.2,10

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid melalui pengelolaan pasien secara komprehensif. Saat ini
dikenal ada empat pilar penatalaksanaan diabetes mellitus, yaitu :2,10
1. Edukasi
Diabetes mellitus biasanya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan
edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi dan ini membutuhkan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Pengetahuan tentang pemantauan kadar
gula secara mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia, serta cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien.2,10
Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di pelayanan kesehatan primer yang
meliputi :2,10
 Materi tentang perjalanan penyakit DM
 Makna dan perlunya pendengalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan
 Penyulit DM dan risikonya
 Intervensi non-farmakologid dan farmakologis serta target pengobatan

11
 Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia
oral atau insulin serta obat-obatan lain.
 Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri ( hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia)
 Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia
 Pentingnya latihan jasmani yang teratur
 Pentingnya perawatan kaki

Edukasi perawatan kaki diberikan seara rinci pada semua orang yang mengalami
ulkus diabetik maupun neuropati perifer atau peripheral artery disease (PAD). Edukasi
yang diberikan adalah sebagai berikut :2,10

1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air
2. Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit terkelupas,
kemerahan, atau luka
3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya
4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim
pelembab pada kulit kaki yang kering
5. Potong kuku secara teratur
6. Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur dari kamar mandi
7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada
ujung-ujung jari kaki.
8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur
9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, guanakan alas kaki yang dibuat khusus
10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi
11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk
menghangatkan kaki
2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)
Merupakan bagian penting dari penatalaksanaan diabetes mellitus secara
komprehensif. Terapi gizi medis pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola
makan yang didasarkan pada status gizi pasien diabetes dan melakukan modifikasi diet
berdasarkan kebutuhan individual.2,10
Prinsip pengaturan makan pada penyandang DM hampir sama dengan anjuran makan
untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan

12
kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pasien DM perlu diberikan edukasi tentang
pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis, dan jumlah kandungan kalori. Komposisi
bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak,
serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian rupa
sehingga dapat memenuhi kebutuhan pasien diabetes dengan tepat.2,10
a. Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi sehari. Sukrosa
tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi. Makanan yang mengandung karbohidrat
diutamakan yang berserat tinggi. Pemanis alternative dapat digunakan sebagai
pengganti glukosa, asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily
Intake / ADI).2,10
b. Protein
Jumlah kebutuhan protein yang dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, tempe.
Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB/hr
atau 10% dari kebutuhan energi.Pada pasien diabetes mellitus yang sudah menjalani
hemodialysis, asupan protein dapat ditingkatkan hingga 1-1,2 g/kgBB per hari 2,10
c. Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan
melebihi 30% total asupan energi. Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori dan lemak
tidak jenuh ganda <10%, selebihnya dari lemak MUFA. Anjuran konsumsi kolesterol
<200mg/hr. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung
lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu full cream.2,10
d. Natrium
Anjuran asupan natriusi untuk penyandang DM sam dengan orang sehat yaitu
<2300 mg perhari. Penyandang DM yang juga menderita hipertensi perlu dilakukan
pengurangan natrium secara individual. Sumber natrium antara lain adalah garam
dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.2,10
e. Serat
Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan, buah, dan
sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat. Anjuran konsumsi serat adalah
20-35 gram/hari yang berasal dari berbagai sumber bahan makanan.2,10

13
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi diatas dibagi dalam 3 porsi
besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%) serta 2-3 porsi makanan
ringan (10-15%) diantaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin
perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk pasien diabetes yang mengidap
penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.2,10

Perhitungan jumlah kalori untuk penyandang DM ditentukan oleh status gizi, umur,
ada tidaknya stress akut, dan kegiatan jasmani. Perhitungan kebutuhan kalori basal adalah
sebesar 25-30 kalori/kg BB ideal dan ditambah atau dikurang oleh faktor-faktor tadi.
Perhitungan BBI (berat badan ideal) dengan rumus brocca yang dimodifikasi adalah
sbb:2,10

BBI = 90% x (tb dalam cm-100) x 1kg

Dimana bagi pria dengan tinggi dibawah 160cm dan wanita dibawah 150cm, tidak perlu
dikali 90%. Interpretasinya adalah:2,10

o BB normal : BB ideal ± 10%


o BB kurus : <BBI -10%
o BB gemuk : >BBI + 10%

Selain Broca juga terdapat perhitungan berat badan ideal menurut IMT (indeks massa
tubuh). IMT dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB (kg)/TB (m2). Klasifikasi IMT:2,10

 BB kurang : <18,5
 BB normal : 18,5-22,9
 BB lebih : ≥23,0

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:2,10

 Jenis kelamin: kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan
kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.
 Umur: Untuk pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%, untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69 tahun
dikurangi 15%, dan dikurangi 20% untuk umur diatas 70 tahun.

14
 Aktivitas fisik: Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada
keadaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.
 Berat badan: Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% bergantung pada tingkat
kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk
meningkatkan BB.

3. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur merupakan salah satu
pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Olahraga secara teratur sebanyak 3-5 kali per minggu
selama sekitar 30-45 menit, dengan total 150 menit perminggu. Jeda antar latihan tidak
lebih dari dua hari berturut-turut.2,10
Pasien DM dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum latihan
jasmani. Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien harus mengkonsumsi
karbohidrat terlebih dahulu, dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan
jasmani. Pada pasien DM dengan gula darah tak terkontrol, latihan jasmani akan
menyebabkan terjadi peningkatkan kadar glukosa darah dan terciptanya badan keton yang
dapat dapat mengakibatkan komplikasi berupa ketoasidosis diabetik.2,10
Olahraga yang dianjurkan berupa olahraga yang bersifat aerobic dengan intensitas
sedang (50- 70% denyut jantung maksimal, seperti: jalan cepat, bersepeda santai, jogging,
dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara mengurangi angka 220
dengan usia pasien.2,10
4. Intervensi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan


jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan. Berdasarkan cara kerjanya, obat anti hiperglikemia oral dibagi menjadi lima
golongan, yaitu :2,10

a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)


1. Sulfonilurea: Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oeh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk
pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh
diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Efek samping utama

15
adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Hati-hati menggunakan
sulfonilurea pada pasien dengan risiko tinggi hipoglikemia (orang tua,
gangguan faal hati, dan ginjal).2,10
2. Glinid: Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea
dengan penekanan pada meningkatkan insulin pada fase pertama.
Golongan ini terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid dan Nateglinid.
Obat ini kedua-duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara
oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati.2,10
b. Penambah sensitivitas terhadap insulin (Insulin Sensitizing)2,10
1. Biguanid (Metformin): mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di
jaringan perifer. Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian
besar kasus DMT2. Dosis metformin diturunkan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal. Metformin tidak bolehd iberikan pada beberapa
keadaan sperti: GFR<30 mL/menit/1,73 m 2, adanya gangguan hati berat,
serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya stroke,
sepsis, syok, PPOK, gagal jantung (NYHA FC III-IV). Efek samping yang
mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti gejala dispepsia.2,10
2. Tiazolidindion (TZD). Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor
inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini
mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan
jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan
glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion meningkatkan retensi cairan
tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung
(NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat edema/retensi cairan.
Contoh obat yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.2,10
c. Penghambat Absorpsi Glukosa (Penghambat Glukosidase Alfa) di Saluran
Pencernaan
1. Acarbose: Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam
usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah
sesudah makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada
keadaan gangguanfungsi ginjal, gangguan faal hati yang berat, irritable
bowel syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating
16
(penumpukan gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus.
Contoh obat golongan ini adalah Acarbose.2,10

d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl PeptidaseIV)


Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga
GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam
bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan
sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh
obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.2,10

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Cotransporter 2)


Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru
yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk
golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, dan
Ipragliflozin.2,10
Pemberian Insulin diperlukan pada keadaan: 2,10
 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi.
Saat ini tersedia berbagai jenis insulin, mulai dari human insulin sampai
insulin analog. Seperti telah diketahui, untuk memenuhi kebutuhan insulin basal dapat
digunakan insulin kerja menengah (intermediate-acting insulin) atau kerja panjang
(long-acting insulin); sementara untuk memenuhi kebutuhan insulin prandial (setelah

17
makan) digunakan insulin kerja cepat (sering disebut insulin regular/ short-acting
insulin) atau insulin kerja sangat cepat (rapid- atau ultra-rapid acting insulin).2,10

F. PENCEGAHAN KOMPLIKASI

Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang memiliki faktor
risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensi untu mendapat DM dan
kelompok intoleransi glukosa. Pencegahan primer dilakukan dengan tindakan penyuluhan
dan pengelolaan yang ditujukan untuk kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi
dan intoleransi glukosa.2,
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit pada
pasien yang telah terdiagnosis DM.Tindakan pencegahan sekunder dilakukan dengan
pengendalian kadar glukosa sesuai target terapi serta pengendalian faktor risiko penyulit yang
lain dengan pemberian pengobatan yang optimal. Melakukan deteksi dini adanya penyulit
merupakan bagian dari pencegahan sekunder. Tindakan ini dilakukan sejak awal pengelolaan
penyakit DM. Program penyuluhan memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan
pasien dalam menjalani program pengobatan sehingga mencapai target terapi yang
diharapkan.2
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang telah mengalami
penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut serta meningkatkan kualitas
hidup. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin, sebelum kecacatan menetap.
Pada upaya pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan pada pasien dan keluarga. Materi
penyuluhan termasuk upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencapai kualitas hidup
yang optimal. Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan komprehensif dan
terintegrasi antar disiplin yang terkait, terutama di rumah sakit rujukan. Kerjasama yang
baik antara para ahli di berbagai disiplin (jantung, ginjal, mata, saraf, bedah ortopedi, bedah
vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, dan lain-lain) sangat diperlukan dalam
menunjang keberhasilan pencegahan tersier.2

G. KOMPLIKASI
Berdasarkan onset terjadinya, komplikasi yang ditimbulkan oleh diabetes mellitus dapat
diklasifikasikan menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut meliputi
ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar hiperglikemik nonketotik, dan hipoglikemia.
Sedangkan komplikasi kronik diabetes mellitus juga dapat diklasifikan lagi menjadi

18
makroangiopati dan mikroangiopati. Komplikasi makroangiopati meliputi penyakit jantung
koroner, stroke, dan penyakit arteri perifer. Komplikasi mikroangiopati meliputi retinopati
diabetic, nefropati diabetik, dan neuropati diabetik.2,8,11

1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)

Ketoasidosis diabetic merupakan salah satu komplikasi akut diabetes mellitus yang sering
ditemukan. Prevalensi KAD berkisar 4-8 kasus pada setiap 1000 penderita diabetes, dan
masih menjadi masalah yang merepotkan di rumah sakit, terutama rumah sakit dengan
fasilitas minimal. Angka kematian berkisar 0,5-7% tergantung dari kualitas pusat pelayanan
yang mengelola KAD tersebut. Diagnosa dan tatalaksana yang tepat perlu ditegakkan
sesegera mungkin untuk menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitasnya.

Ketoasidosis diabetik erupakan suatu kondisi kegawatan medis yang ditandai dengan
keadaan hiperglikemia, hiperketonemia, asidosis metabolik. Faktor pencetus KAD yang
paling sering adalah infeksi. Pencetus lainnya adalah menghentikan atau mengurangi dosis
insulin, infark miokard, stroke akut, dan pankreatitis.

Adanya faktor-faktor pencetus KAD seperti sepsis, infark miokard, dan faktor pencetus
KAD lainnya dapat menyebabkan defisiensi insulin relatif. Adanya kondisi stress metabolik
ini membuat keberadaan insulin yang biasanya cukup untuk menekan lipolisis menjadi tidak
cukup secara relatif karena dibutuhkan lebih banyak insulin untuk metabolism dan untuk
menekan lipolisis.

Gambar 4. Patogenesis KAD

19
Untuk menegakkan diagnosis KAD, perlu dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang adekuat. Dari anamnesis bisa ditemukan riwayat mengidap
diabetes dengan keluhan poliuria, polidipsia, rasa lelah, kram otot, mual muntah, dan nyeri
perut. Pada keadaan yang berat dapat ditemukan keadaan penurunan kesadaran sampai koma.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda dehidrasi, nafas kussmaul, takikardi,
hipotensi, syok, dan beberapa tanda penyakit penyerta. Trias biokimiawi pada KAD adalah
hiperglikemia, ketonemia, dan atau ketonuria, serta asidosis metabolic. Pemeriksaan
penunjang yang diperlukan disesuaikan dengan keadaan klinis, umumnya dibutuhkan
pemeriksaan dasar gula darah, elektrolit, analisis gas darah, keton darah dan urin, osmolalitas
serum, darah perifer lengkap, EKG, dan foto polos dada.

Kesuksesan pengelolaan KAD membutuhkan koreksi keadaan dehidrasi, hiperglikemia,


gangguan elektrolit, komorbiditas, dan monitoring selama perawatan. Jika tidak ada masalah
kardiak atau penyakit ginjal kronik berat, cairan salin isotonic (NaCl 0m9%) diberikan
dengan dosis 15-20 cc/kgBB/jam pertama atau satu sampai satu setengah liter pada jam
pertama. Tindak lanjut cairan pada jam-jam berikutnya tergantung pada keadaan
hemodinamik, status dehidrasi, elektrolit, dan produksi urin.

Pemberian insulin juga diberikan sebagai farmakoterapi kausatif utama KAD. Pemberian
insulin intravena kontinyu lebih disukai karena waktu paruhnya pendek dan mudah dititrasi.

2. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Nonketotik

Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) merupakan salah satu komplikasi
akut DM yang paling sering terjadi. Sindrom HHNK ditandai oleh hiperglikemia,
hiperosmolar, tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utamanya adalah dehidrasi berat,
hiperglikemia berat, dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya
ketosis.

Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) biasanya terjadi pada orangtua
yang mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan.
Faktor pencetus lainnya adalah infeksi, pengobatan yang tidak adekuat, penyalahgunaan obat,
dan adanya penyakit penyerta. Infeksi merupakan penyebab tersering.

20
Patogenesis yang mengawali terjadinya HHNK adalah diuresis glukosuria. Glukosuria
mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang
akan semakin memperberat derajat kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi
mengeliminasi glukosa di atas ambang batas tertentu. Penurunan volume intravascular atau
penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan menurunkan laju filtrasi glomerular, yang
menyebkan konsentrasi glukosa meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibanding
natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk
menurunkan konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi insulin.

Tidak seperti pasien KAD, pasien HHNK tidak mengalami ketoasidosis, namun tidak
diketahui dengan jelas alasannya. Faktor yang diduga ikut berpengaruh adalah keterbatasan
ketogenesis karena keadaan hiperosmolar, konsentrasi asam lemak bebas yang rendah untuk
ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk menghambat ketogenesis, namun tidak
cukup untuk mencegah hiperglikemia, dan resistensi hepar terhadap glukagon.

Hiperglikemia mengakibatkan timbulnya diuresis osmotik dan mengakibatkan


menurunnya cairan tubuh total. Dalam ruang vascular, dimana gluconeogenesis dan masukan
makanan terus menambah glukosa, kehilangan cairan akan semakin mengakibatkan
hiperglikemia dan hilangnya volume sirkulasi. Hiperglikemia dan peningkatan konsentrasi
protein plasma yang mengikuti hilangnya cairan intravascular menyebabkan keadaan
hiperosmolar. Keadaan hiperosmolar ini memicu sekresi hormone anti diuretic. Keadaan
hiperosmolar ini juga akan memicu timbulnya rasa haus.

Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika kehilangan cairan tidak
dikompensasi dengan masukan cairan oral, maka akan timbul dehidrasi, lalu kemudian
hipovolemia. Hipovolemia akan mengakibatkan hipotensi, dan nantinya akan menyebabkan
gangguan pada perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan suatu stadium terakhir dari proses
hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam kaitannya dengan
hipotensi.

Penatalaksanaan HHNK meliputi lima pendekatan. Pertama, rehidrasi intravena agresif.


Kedua, penggantian elektrolit. Ketiga, pemberian insulin intravena. Keempat, diagnosis dan
manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta. Kelima, pencegahan.

3. Hipoglikemia

21
Hipoglikemia merupakan suatu keadaan yangditandai dengan menurunya kadar glukosa
darah < 70 mg/dl dengan atau tanpa adanya gejala-gejala sistem otonom. Penurunan
kesadaran yang terjadi pada pasien diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan disebabkan
oleh hipoglikemia.
Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin.
Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai
seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Pengawasan glukosa darah pasien
harus dilakukan selama 24-72 jam, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik atau
yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang. Hipoglikemia pada usia lanjut
merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya
penurunan kesadaran pada pasien.
Tanda & Gejala yang dialami pada pasien-pasien hipoglikemia adalah rasa lapar,
berkeringat, gelisah, paresthesia, palpitasi, lemah, lesu, pusing, penurunan eksadaran,
pandangan kabur, diplopia, pucat, takikardi, widened pulse-pressure, hipotermia, kejang, dan
koma. Pada pasien yang mengalami hipoglikemia, namun masih sadar, pasien disarankan
mengkonsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana). Glukosa 15–20g (2-3
sendok makan) yang dilarutkan dalam air merupakan terapi yang direkomendasikan.
Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15 menit pemberian
upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15menit setelah pengobatan hipoglikemia
masih tetap ada, pengobatan dapat diulang kembali. Pada pasien yang mengalami
hipoglikemia berat atau pasien yang membutuhkan bantuan orang lain untuk pemberian
karbohidrat, glukagon, atau resusitasi lainnya, pasien diberi terapi parenteral berupa
pemberian dekstrose 20% sebanyak 50cc (bila terpaksa bisa diberikan dextore 40% sebanyak
25cc), diikuti dengan infus D5% atau D10%. Selanjutnya, periksa glukosa darah 15 menit
setelah pemberian i.v tersebut. Bila kadar glukosa darah belum mencapai target, dapat
diberikan ulang pemberian dextrose 20%. Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah
setiap 12 jam kalau masih terjadi hipoglikemia berulang pemberian Dekstrose 20% dapat
diulang.

4. Retinopati Diabetik:

Retinopati adalah salah satu komplikasi mikrovaskular DM yang merupakan penyebab


utama kebutaan pada orang dewasa. The DiabCare Asia 2008 Study melibatkan 1 785

22
penderita DM pada 18 pusat kesehatan primer dan sekunder di Indonesia dan melaporkan
bahwa 42% penderita DM mengalami komplikasi retinopati.
Risiko menderita retinopati DM meningkat sebanding dengan semakin lamanya
seseorang menyandang DM. Faktor risiko lain untuk retinopati DM adalah ketergantungan
insulin pada penyandang DM tipe II, nefropati, dan hipertensi. Sementara itu, pubertas dan
kehamilan dapat mempercepat progresivitas retinopati DM.
Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati DM dan terjadi
melalui beberapa jalur. Pertama, hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygen
intermediates (ROIs) dan advanced glycation end products (AGEs). ROIs dan AGEs
merusak perisit dan endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif
seperti nitric oxide (NO), prostasiklin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin
yang akan memperparah kerusakan pembuluh darah.
Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan glikosilasi dan
ekspresi aldose reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi
sorbitol kemudian mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi enzim
endotel.
Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein kinase C (PKC).
Vascular endothelial growth factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi oleh
PKC. VEGF menstimulasi ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang
memicu terbentuknya ikatan antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut
menyebabkan kerusakan sawar darah retina, serta thrombosis dan oklusi kapiler retina.
Keseluruhan jalur tersebut menimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan inflamasi pada
retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan sehingga
merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan pada membrane
basalisnya, defisiensi taut kedap antarsel endotelnya, dan kekurangan jumlah perisit.
Akibatnya, terjadi kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous.
Sebagian besar penderita retinopati DM, pada tahap awal tidak mengalami gejala
penurunan tajam penglihatan. Apabila telah terjadi kerusakan sawar darah retina, dapat
ditemukan mikroaneurisma, eksudat lipid dan protein, edema, serta perdarahan
intraretin.Selanjutnya, terjadi oklusi kapiler retina yang mengakibatkan kegagalan perfusi di
lapisan serabut saraf retina sehingga terjadi hambatan transportasi aksonal. Hambatan
transportasi tersebut menimbulkan akumulasi debris akson yang tampak sebagai gambaran
soft exudates pada pemeriksaan oftalmoskopi. Kelainan tersebut merupakan tanda retinopati
DM nonproliferatif.
23
Deteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan primer dilakukan melalui pemeriksaan
funduskopi direk dan indirek. Dengan fundus photography dapat dilakukan dokumentasi
kelainan retina. Metode diagnostik terkini yang disetujui oleh American Academy of
Ophthalmology (AAO) adalah fundus photography. Di pelayanan primer pemeriksaan
fundus photography berperanan sebagai pemeriksaan penapis. Apabila pada pemeriksaan
ditemukan edema makula, retinopati DM nonproliferatif derajat berat dan retinopati DM
proliferatif maka harus dilanjutkan dengan pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis
mata.
Pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata terdiri dari pemeriksaan visus,
tekanan bola mata, slit-lamp biomicroscopy, gonioskop, funduskopi dan stereoscopic fundus
photography dengan pemberian midriatikum sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan dapat
dilanjutkan dengan optical coherence tomography (OCT) dan ocular ultrasonography bila
perlu.
Tata laksana retinopati DM dilakukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Retinopati
DM nonproliferatif derajat ringan hanya perlu dievaluasi setahun sekali. Penderita retinopati
DM nonproliferatif derajat ringan-sedang tanpa edema makula yang nyata harus menjalani
pemeriksaan rutin setiap 6-12 bulan. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang
dengan edema makula signifikan merupakan indikasi laser photocoagulation untuk
mencegah perburukan. Setelah dilakukan laser photocoagulation, penderita perlu dievaluasi
setiap 2-4 bulan. Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat berat dianjurkan untuk
menjalani panretinal laser photocoagulation, terutama apabila kelainan berisiko tinggi untuk
berkembang menjadi retinopati DM proliferatif. Penderita harus dievaluasi setiap 3-4 bulan
pascatindakan. Panretinal laser photocoagulation harus segera dilakukan pada penderita
retinopati DM proliferatif. Apabila terjadi retinopati DM proliferatif disertai edema makula
signifikan, maka kombinasi focal dan panretinal laser photocoagulation menjadi terapi
pilihan.
Peranan dokter umum dalam tata laksana retinopati DM adalah mengendalikan faktor
risiko, yaitu kadar gula, kadar lipid, dan tekanan darah yang abnormal. Pengendalian atas
ketiga faktor ini terbukti mampu menurunkan risiko dan memperlambat progresivitas
retinopati DM. Target optimal yang harus dicapai adalah kadar HbA1c <7%, kadar low-
density lipoprotein (LDL) <100 mg/dL, kadar high-density lipoprotein >50mg/dL, kadar
trigliserida <150 mg/dL dan tekanan darah <130/80 mmHg. Edukasi oleh dokter umum
mengenai DM dan komplikasi retinopati akan meningkatkan kesadaran dan kepatuhan
penderita DM menjalani pemeriksaan mata rutin. Dengan demikian rujukan ke dokter
24
spesialis mata dapat dilakukan pada saat yang tepat. Hal tersebut akan menurunkan angka
kebutaan akibat retinopati DM.

5. Nefropati Diabetik

Nefropati diabetik merupakan penyebab utama penyakit ginjal pada pasien yang
mendapat terapi pengganti ginjal. Prevalensi nefropati DM berkisar 15-40% pada pasien DM
tipe-1 dan 5-20% pada DM tipe-2.

Nefropati diabetik ditandai dengan adanya mikroalbuminuria (30mg/hari atau 20


ug/menit) tanpa adanya gangguan ginjal, disertai dengan peningkatan tekanan darah sehingga
mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus, yang pada akhirnya menyebabkan gagal
ginjal tahap akhir.

Manifestasi patologis nefropati diabetik adalah glomerulosklerosis dengan penebalan


membrane basalis di glomerulus dan ekspansi mesangial serta penimbunan MES. Perubahan
dini yang terjadi pada ginjal diabetic adalah hiperfiltrasi di glomerulus, hipertrofi glomerulus,
peningkatan ekskresi albumin urin (EAU), peningkatan ketebalan membrane basal, dan
ekspansi mesangial dengan penimbunan protein-protein MES seperti kolagen, fibronektin,
dan laminin. Nefropati diabetik lanjut ditandai dengan proteinuria, penurunan fungsi ginjal,
penurunan bersihan kreatinin, glomeruloskelerosis, dan fibrosis interstisial.

Pasien yang mengalami nefropati diabetik perlu melakukan kontrol gula darah yang lebih
baik, menurunkan tekanan derah dengan pemberian terapi ACE-inhibitor, dan pengurangan
faktor risiko risiko kardivaskular. Asupan Diet protein rendah sampai di bawah 0.8
gram/kgBB/hari tidak direkomendasikan karena tidak memperbaiki risiko kardiovaskuler dan
menurunkan GFR ginjal

6. Neuropati Diabetik

Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis yang paling sering dialami
oleh pasien diabetes mellitus. Risiko yang dihadapi pasien dengan neruopati diabetic adalah
infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh, dan amputasi jari/kaki. Kondisi inilah
yang menyebabkan bertambahnya angka kesakitan dan kematian pasien diabetes mellitus.

25
Pada neuropati perifer, hilangnya sensasi distal merupakan faktor penting yang berisiko
tinggi untuk terjadinya ulkus kaki yang meningkatkan risiko amputasi. Gejala yang sering
dirasakan berupa kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan terasa lebih sakit di malam
hari.

Setelah diagnosis DMT2 ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrinning untuk
mendeteksi adanya polineuropati distal yang simetris dengan melakukan pemeriksaan
neurologi sederhana (menggunakan monofilament 10 gram). Pemeriksaan ini kemudian
diulang paling sedikit setiap tahun.

Pada keadaan polineuropati distal perlu dilakukan perawatan kaki yang memadai untuk
menurunkan risiko terjadinya ulkus dan amputasi. Pemberian terapi antidepresan trisiklik,
gabapentin atau pregabalin dapat mengurangi rasa sakit.

7. Ulkus Diabetik

Penderita DM juga rentan terhadap infeksi kaki luka yang kemudian dapat berkembang
menjadi gangren, sehingga harus diamputasi. Studi epidemiologi melaporkan lebih dari satu
juta amputasi pada penyandang diabetes setiap tahun. Prevalensi ulkus kaki diabetik terjadi
pada 15% pasien diabetes mellitus.

Proses terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati, dan infeksi. Neuropati
menyebabkan gangguan sensorik yang menghilangkan atau menurunkan sensasi nyeri kaki,
sehingga ulkus dapat terjadi tanpa terasa. Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot tungkai
sehingga mengubah titik tumpu yang menyebabkan ulserasi kaki. Angiopati akan
mengganggu aliran darah ke kaki, sehingga penderita merasa nyeri tungkai sesudah berjalan
dalam jarak tertentu. Infeksi sering merupakan komplikasi akibat berkurangnya aliran darah
atau neuropati.

Ulkus kaki diabetes disebabkan tiga faktor yang sering disebut trias, yaitu: iskemi,
neuropati, dan infeksi. Kadar glukosa darah tidak terkendali akan menyebabkan komplikasi
kronik neuropati perifer berupa neuropati sensorik, motorik, dan autonom.

Neuropati sensorik biasanya cukup berat hingga menghilangkan sensasi proteksi yang
berakibat rentan terhadap trauma fisik dan termal, sehingga meningkatkan risiko ulkus kaki.
Sensasi propriosepsi yaitu sensasi posisi kaki juga hilang. Neuropati motoric mempengaruhi
semua otot, mengakibatkan penonjolan abnormal tulang, arsitektur normal kaki berubah,

26
deformitas khas seperti hammer toe dan hallux rigidus. Deformitas kaki menimbulkan
terbatasnya mobilitas, sehingga dapat meningkatkan tekanan plantar kaki dan mudah terjadi
ulkus. Neuropati autonomy ditandai dengan kulit kering, tidak berkeringat, dan peningkatan
pengisian kapiler sekunder akibat pintasan arteriovenosus kulit. Hal ini mencetuskan
timbulnya fisura, kerak kulit, sehingga kaki rentan terhadap trauma minimal. Hal tersebut
juga dapat karena penimbunan sorbitol dan fruktosa yang mengakibatkan akson menghilang,
kecepatan induksi menurun, parestesia, serta menurunnya refleks otot dan atrofi otot.

Penderita diabetes juga menderita kelainan vaskular berupa iskemi. Hal ini disebabkan
proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi jaringan yang ditandai oleh hilang atau
berkurangnya denyut nadi arteri dorsalis pedis, arteri tibialis, dan arteri poplitea;
menyebabkan kaki menjadi atrofi, dingin, dan kuku menebal. Selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan, sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai. Kelainan
neurovaskular pada penderita diabetes diperberat dengan aterosklerosis. Aterosklerosis
merupakan kondisi arteri menebal dan menyempit karena penumpukan lemak di dalam
pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot-otot kaki karena
berkurangnya suplai darah, kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka lama dapat
mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses
angiopati pada penderita DM berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer
tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal tungkai berkurang.

DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan tunika intima (hyperplasia


membran basalis arteri) pembuluh darah besar dan kapiler, sehingga aliran darah jaringan
tepi ke kaki terganggu dan nekrosis yang mengakibatkan ulkus diabetikum. Peningkatan
HbA1C menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen oleh eritrosit
terganggu, sehingga terjadi penyumbatan sirkulasi dan kekurangan oksigen mengakibatkan
kematian jaringan yang selanjutnya menjadi ulkus. Peningkatan kadar fibrinogen dan
bertambahnya reaktivitas trombosit meningkatkan agregasi eritrosit, sehingga sirkulasi darah
melambat dan memudahkan terbentuknya trombus (gumpalan darah) pada dinding pembuluh
darah yang akan mengganggu aliran darah ke ujung kaki.

Klasifikasi Wagner-Meggit dikembangkan pada tahun 1970-an, digunakan secara luas


untuk mengklasifikasi lesi pada kaki diabetes.

Tabel 1. Klasifikasi kaki diabetes berdasarkan Wagner-Meggit


Derajat 0 Simptom pada kaki seperti nyeri

27
Derajat 1 Ulkus superfisial
Derajat 2 Ulkus dalam
Derajat 3 Ulkus sampai mengenai tulang
Derajat 4 Gangren telapak kaki
Derajat 5 Gangren seluruh kaki

Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu pencegahan
kaki diabetes dan ulkus (pencegahan primer sebelum terjadi perlukaan kulit) dan pencegahan
kecacatan yang lebih parah (pencegahan sekunder dan pengelolaan ulkus/gangren diabetik).
Penyuluhan cara terjadinya kaki diabetes sangat penting, harus selalu dilakukan setiap
saat. Berbagai usaha pencegahan sesuai dengan tingkat risiko dengan melakukan
pemeriksaan dini setiap ada luka pada kaki secara mandiri ataupun ke dokter terdekat.
Deformitas (stadium 2 dan 5) perlu sepatu/ alas kaki khusus agar meratakan penyebaran
tekanan pada kaki.
Perawatan luka sejak awal harus dikerjakan dengan baik dan teliti. Evaluasi luka harus
secermat mungkin. Debridement yang baik dan adekuat akan sangat membantu mengurangi
jaringan nekrotik, dengan demikian akan sangat mengurangi produksi pus/cairan dari
ulkus/gangren. Debridement dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti mekanikal,
surgikal, enzimatik, autolisis, dan biokemis.
Pemberian antibiotik harus selalu sesuai dengan hasil biakan kuman dan resistensinya.
Lini pertama antibiotik spektrum luas, mencakup kuman gram negatif dan positif (misalnya
sefalosporin), dikombinasi dengan obat terhadap kuman anaerob (misalnya metronidazole).
Jika kemungkinan kesembuhan luka rendah atau kondisi klaudikasio intermitten hebat,
maka tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan. Sebelum tindakan, diperlukan pemeriksaan
arteriografi. Untuk oklusi panjang dianjurkan operasi bedah pintas terbuka.Untuk oklusi
pendek dapat dipikirkan prosedur endovaskular. Pada keadaan sumbatan akut dapat
dilakukan tromboarterektomi. Dengan berbagai teknik bedah tersebut,vaskularisasi daerah
distal dapat diperbaiki, sehingga pengelolaan ulkus diharapkan lebih baik.

8. Gangguan Integritas Kulit Diabetik


Manifestasi kulit berupa infeksi menjadi salah satu komplikasi kronik yang sering terlihat
pada pasien DM. Tingginya kadar glukosa darah menyebabkan meningginya kadar glukosa
kulit pada pasien DM sehingga mempermudah timbulnya manifestasi kulit berupa dermatitis,
infeksi bakterial, infeksi jamur, dan lain-lain. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya

28
menyebutkan bahwa terjadi abnormalitas sistem imun pada penderita DM sehingga berakibat
meningkatnya kejadian infeksi kulit. Kondisi sel epitel dan mukosa pada penderita DM juga
mengalami peningkatan adhesi terhadap beberapa mikroorganisme pathogen seperti Candida
albicans di mulut dan sel mukosa vagina serta Eschericia coli di sel epitel saluran kemih.
Patofisiologi timbulnya manifestasi penyakit kulit pada penderita DM belumsepenuhnya
diketahui. Kadar gula kulit merupakan 55% kadar gula darah pada orang biasa. Pada
penderita DM, rasio meningkat sampai 69-71% dari glukosa darah yang sudah meninggi.
Pada penderita yang sudah diobati pun rasio melebihi 55 %. Gula kulit berkonsentrasi tinggi
di daerah intertriginosa dan interdigitalis. Hal tersebut mempermudah timbulnya dermatitis,
infeksi bakterial (terutama furunkel), dan infeksi jamur (terutama kandidosis). Keadaan-
keadaan ini dinamakan diabetes kulit.
Kondisi hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya gangguan mekanisme sistem
imunoregulasi. Hal ini menyebabkan menurunnya daya kemotaksis, fagositosis dan
kemampuan bakterisidal sel leukosit sehingga kulit lebih rentan terkena infeksi. Pada
penderita DM juga terjadi disregulasi metabolisme lipid sehingga terjadi hipertrigliserida
yang memberikan manifestasi kulit berupa Xantoma eruptif. Pada DM tipe 2 terjadi resistensi
insulin sehingga sering terjadi hiperinsulinemia yang menyebabkan abnormalitas pada
proliferasi epidermal dan bermanifestasi sebagai Akantosis nigrikan.
Infeksi jamur yang sering menyerang penderita diabetes yaitu kandidiasis, merupakan
infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur Candida albicans. Jamur ini pada keadaan normal
terdapat pada tubuh manusia, namun pada keadaan tertentu, misalnya pada penderita diabetes
pertumbuhannya menjadi berlebihan sehingga menyebabkan infeksi. Infeksi biasanya
menyerang kulit di daerah lipatan seperti ketiak, bawah payudara,lipat paha atau sering juga
pada wanita menyebabkan gatal pada daerah kemaluan dan keputihan.

H. PROGNOSIS

Prognosis pasien diabetes mellitus adalah baik dengan regulasi kadar glukosa darah yang
baik dan kepatuhan pasien dengan regimen self-care yang dianjurkan. Komplikasi pada
diabetes mellitus tipe 2 akan memperburuk prognosis. Penyakit mata, ginjal, dan amputasi
dapat menyebabkan disabilitas permanen. Walaupun diabetes mellitus tipe 2 merupakan
suatu kondisi yang kronis, progresif dan belum diketahui pengobatan yang dapat

29
menyembuhkan penyakit ini, namun kondisi ini dapat dikontrol secara efektif dengan
edukasi pasien dan pengobatan yang tepat dan teratur.

I. DIABETES MELLITUS GESTASIONAL

Diabetes Mellitus Gestasional (GDM=Gestational Diabetes Mellitus) merupakan


keadaan diabetes atau intoleransi glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya
berlangsung hanya sementara atau temporer. Sekitar 4-5% wanita hamil diketahui menderita
GDM, dan umumnya terdeteksi pada atau setelah trimester kedua. Mayoritas wanita
penderita DMG gangguan toleransi glukosanya akan normal kembali setelah melahirkan,
tetapi beberap akan tetap menjadi DMG atau menjadi toleransi glukosa terganggu.
Selama kehamilan, resistensi insulin tubuh meningkat tiga kali lipat dibandingkan
keadaan tidak hamil. Pada kehamilan, penurunan sensitivitas insulin ditandai dengan defek
post-reseptor yang menurunkan kemampuan insulin untuk memobilisasi SLC2A4 (GLUT 4)
dari dalam sel ke permukaan sel. Hal ini mungkin disebabkan oleh peningkatan hormon
yang berkaitan dengan kehamilan. Meskipun kehamilan dikaitkan dengan peningkatan
massa sel Beta-pankreas dan peningkatan kadar insulin, beberapa wanita tidak dapat
meningkatkan produksi insulinnya relatif terhadap peningkatan resistensi insulin, sehingga
mengalami keadaan hiperglikemik dan menderita DMG.
Konsensus American Diabetic Association (ADA) 2015 merekomendasikan tes skrining
ibu penderita DMG 6-12 minggu post-partum dengan tes toleransi glukos oral. Wanita
dengan riwayat DMG harus menjalani skrining sekurang-kurangnya setiap 3 tahun, seumur
hidupnya untuk deteksi diabetes atau pra-diabetes. Bagi wanita yang memiliki riwayat DMG
dan menderita pra-diabetes harus mendapat edukasi modifikasi gaya hidup ataupun
metformin untuk mencegah diabetes.

30
BAB III

METODE PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendapat
gambaran angka kesakitan, sebaran usia, jenis kelamin, dan angka kejadian komplikasi DM
yang dialami oleh pasien diabetes mellitus yang datang ke Puskesmas Rapak Mahang pada
tahun 2018. Penelitian ini disajikan dalam bentuk grafik distribusi yang menggambarkan
persentase prevalensi diabetes mellitus dan komplikasinya pada pasien DM yang berobat di
Puskesmas Rapak Mahang.

B. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN


1. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 2 Januari 2018 sampai 31 Desember
2018.

2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Rapak Mahang, Kecamatan Tenggarong,
Kabupaten Kutai Kartanegara.

C. POPULASI DAN SUBYEK PENELITIAN


1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang berobat ke Puskesmas Rapak
Mahang pada periode 1 Januari – 31 Desember 2018.

31
D. SUBYEK PENELITIAN
Sampel pada penelitian ini adalah semua pasien Puskesmas Rapak Mahang yang
didiagnosis diabetes mellitus periode 1 Januari- 31 Desember 2018.

E. CARA PENGAMBILAN SUBYEK PENELITIAN


Pengambilan subyek penelitian dilakukan dengan mengambil data pasien yang
memenuhi kriteria inklusi sebagai subyek penelitian.

F. METODE PENGUMPULAN DATA


Data penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari rekam medis
Puskesmas Rapak Mahang periode Januari – Desember 2018.

G. KRITERIA SUBYEK PENELITIAN


1. Kriteria Inklusi
Subyek Penelitian adalah. pasien yang terdiagnosis diabetes mellitus, berdasarkan
data rekam medik Puskesmas Rapak Mahang selama periode 1 Januari - 31 Desember
2018
2. Kriteria Eksklusi
Pasien tidak diketahui usia, jenis kelamin, atau asal wilayah tempat tinggalnya.

H. VARIABEL PENELITIAN
a. Diabetes Mellitus
b. Diabetes Mellitus Gestasional
c. Neuropati diabetik
d. Nefropati diabetic
e. Retinopati diabetic
f. Ulkus Diabetik
g. Gangguan integritas kulit pada pasien DM

I. DEFINISI OPERASIONAL
1. Diabetes Mellitus

32
Pasien diketahui menderita diabetes mellitus tipe I, tipe II atau gestasional pada
rekam medik berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan laboratorium yang dilakukan
oleh dokter.
2. Diabetes Mellitus Gestasional
Pasien diketahui menderita diabetes mellitus gestasional pada rekam medik
berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan laboratorium yang dilakukan oleh dokter.
3. Neuropati Diabetik
Pasien diketahui menderita neuropati diabetik pada rekam medik berdasarkan
hasil pemeriksaan klinis dan laboratorium yang dilakukan oleh dokter.

4. Retinopati Diabetik
Pasien diketahui menderita retinopati diabetik pada rekam medik berdasarkan
hasil pemeriksaan klinis dan laboratorium yang dilakukan oleh dokter.
5. Ulkus Diabetik
Pasien diketahui menderita ulkus diabetik pada rekam medik berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis dan laboratorium yang dilakukan oleh dokter.
6. Gangguan Integritas Kulit pada Pasien Diabetes
Pasien diketahui menderita dermatitis atopi, tinea, kandidiasis, dan diabetes
mellitus pada rekam medik berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan laboratorium
yang dilakukan oleh dokter.

J. PENGOLAHAN DAN PENYAJIAN DATA


1. Pengolahan Data
Data pada penelitian ini diolah menggunakan program Microsoft Office Excel
2010.
2. Penyajian Data
Data penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan deskripsi.

K. ANALISIS DATA
Analisis data menggunakan analisis univariat pada masing-masing variabel dengan
menampilkan gambaran distribusi frekuensi dalam bentuk tabel, grafik, dan deskripsi. Rumus:
P= F ÷ N ×100 %. P= Besar Presentase, F= frekuensi, N= Jumlah Total

33
BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. DATA UMUM PUSKESMAS RAPAK MAHANG


1. Peta wilayah kerja

2. Gambaran umum
a. Keadaan Geografis
Puskesmas Rapak Mahang merupakan salah satu puskesmas yang ada di
Gambar 5. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Rapak Mahang

wilayah Tengah Kabupaten Kutai Kartanegara. Puskesmas Rapak Mahang dibangun


pada tahun 1992, beralamat di Jalan Pesut No 1B RT 14 Kelurahan Timbau
Tenggarong. Batas wilayah kerja Puskesmas Rapak Mahang adalah:

34
 Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Loa Ipuh Darat.
 Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Loa Ipuh dan Panji.
 Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tenggarong Seberang dan Loa
Kulu.
 Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Loa Kulu.
b. Keadaan Demografi
Data terbaru berdasarkan profil Puskesmas Rapak Mahang didapatkan jumlah
penduduk dari 4 kelurahan yaitu sebanyak 40.565 orang. Berikut adalah tabel jumlah
penduduk menurut kelurahan dan jumlah RT, jumlah penduduk menurut jenis
kelamin per kelurahan, dan per kelompok umur.

Tabel 2. Data Luas Wilayah, Jumlah penduduk, dan Jumlah RT per Kelurahan Tahun 2016

No Kelurahan Luas JumlahPenduduk Jumlah RT


Wilayah(Km2)
1 Timbau 1.345 15.707 34
2 Melayu 900 17.167 43
3 Bukit Biru 1.000 3.872 22
4 Jahab 25.300 3.819 16
JUMLAH 28.545 40.565 115
Tabel 3. Data Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin per Kelurahan di Wilayah
Puskesmas Rapak Mahang Tahun 2016
Jumlah JumlahPendudukMenurutJenisKelamin
No Kelurahan Penduduk
Laki-laki (%) Perempuan (%)
1. Timbau 15.707 8.195 52,2 7.512 47,8

2. Melayu 17.167 9.014 52,5 8.153 47,5

3. Bukit Biru 3.872 2.011 52 1.861 48

4. Jahab 3.819 2.025 53 1.794 47

JUMLAH 40.565 21.245 52,37 19.320 47,63

Sumber: Data Puskesmas Tahun 2016

c. Fasilitas Pelayanan Kesehatan

35
Fasilitas pelayanan kesehatan sangat penting diketahui dalam rangka
pelayanan kesehatan. Data mengenai fasilitas pelayanan kesehatan di Puskesmas
Rapak Mahang dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan per Kelurahan di Puskesmas Rapak Mahang Tahun 2016

JumlahFasilitasPelayananKesehatan
No Kelurahan

Desa Posyandu Posyandu Dokter Bidan Tok


Puskesmas Pustu
Siaga Balita Lansia Praktek Praktek Apotek Obat
1. Timbau 1 0 0 8 2 0 4 2 0
2. Melayu 0 0 0 9 1 11 2 6 3
3. Bukit Biru 0 1 1 6 4 0 2 1 0
4. Jahab 0 1 1 4 1 0 1 0 1
Jumlah 1 2 2 27 8 11 9 9 4
B. HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan untuk mendapat gambaran tentang angka kesakitan, jenis
kelamin, sebaran usia, jumlah penderita DM terkontrol dan tidak terkontrol, angka kejadian
diabetes di wilayah cakupan rapak mahang dan angka kejadian penyakit penyulit pada
penderita diabetes mellitus di Puskesmas Rapak Mahang tahun 2018. Hasil penelitian
disajikan dalam bentuk grafik distribusi yang menggambarkan persentase prevalensi penyulit
diabetes mellitus di Puskesmas Rapak Mahang.
Pengumpulan data penelitian dilakukan tanggal 2 Januari sampai dengan 31 Desember
2018. Data sekunder diambil dari catatan rekam medik pasien yang tercatat di Puskesmas
Rapak Mahang.
Dari data yang diperoleh didapatkan sebanyak 2048 orang pasien diabetes yang menjadi
subyek penelitian.Berdasarkan jenis kelamin, jumlah pasien diabetes mellitus terdiri dari 755
pria (36,87%) dan 1293 wanita (63,13%). Proporsi pasien diabetes mellitus berdasarkan jenis
kelamin dapat dilihat pada gambar 6.

Pria
36.87%
Pria
Wanita
Wanita
63.13%

Gambar 6. Grafik Jumlah Pasien Diabetes Mellitus berdasarkan Jenis Kelamin


36
Tabel 5 dan Gambar 7 menggambarkan sebaran distribusi pasien diabetes mellitus
berdasarkan kelompok usia. Diabetes mellitus paling sering dialami oleh kelompok usia 46-
55 tahun (37,40%), kemudian disusul oleh kelompok usia 56-65 tahun (36,08%), kelompok
usia 36-45 tahun (12,84%), kelompok usia 66-75 tahun (9,62%), kelompok usia 26-35 tahun
(2,69%), dan paling sedikit dialami oleh kelompok usia 76-85 tahun (1,37%). Tidak
ditemukan pasien diabetes mellitus yang berusia kurang dari 26 tahun.

900
800 766 739
700
600
500
400
300 263
197
200
100 55 28
0
26-35 36-45 46-55 56-65

Gambar 7. Grafik Jumlah Pasien Diabetes Mellitus berdasarkan Kategori Usia


Tabel. 5 Angka Kejadian Diabetes Melitus berdasarkan Kategori Usia

Jumlah (n) Persentase (%)

26-35 55 2,69

36-45 263 12,84

46-55 766 37,40

56-65 739 36,08

66-75 197 9,62

76-85 28 1,37

Gambar 8 dan Tabel 6 menunjukkan gambaran prevalensi komplikasi diabetes


mellitus yang dialami oleh pasien diabetes mellitus di Puskesmas Rapak Mahang sepanjang
tahun 2018. Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah hipertensi dialami oleh 799
pasien (78%), disusul oleh neuropati diabetik dialami oleh 101 pasien (10,14), ulkus
diabetikum dialami oleh 78 pasien (7,83%), retinopati diabetik dialami oleh 22 pasien (0,5%),
nefropati diabetik dialami oleh 5 pasien (0,5%), dan stroke dialami oleh 6 pasien (0,6%).
37
1000
779
800
600
400
200 101 78 22 5 5 6
0

Neuropati Ulkus
Hipertensi Retinopati
Nefropati Penyakit Jantung Koroner
Stroke

Gambar 8. Sebaran angka kejadian komplikasi DM

Tabel 6. Angka Kejadian Komplikasi Diabetes Mellitus

Jumlah (n) Persentase (%)

Neuropati Diabetik 101 10,14

Ulkus Diabetik 78 7,83

Hipertensi 779 78

Retinopati DM 22 2,20

Nefropati DM 5 0,5

Penyakit Jantung Koroner 5 0,5

Stroke 6 0,6

Gambar 9 dan tabel 7 menunjukkan gambaran pasien diabetes mellitus di wilayah cakupan
Puskesmas Rapak Mahang sepanjang tahun 2018. Wilayah dengan pasien diabetes melitus
terbanyak adalah Timbau (39.16%) kemudian disusul oleh luar wilayah (24.95%), Melayu
(22.26%), Bukit Biru (8.34%) dan yang terakhir Jahab (5.27%)

38
1000
802
800
600 456 511
400
200 108 171
0
Timbau Melayu Jahab

Gambar 9. Sebaran Pasien Diabetes Melitus di Wilayah Cakupan Puskesmas Rapak Mahang

Tabel 7. Gambaran Pasien Diabetes Mellitus di Wilayah Cakupan Puskesmas Rapak Mahang

Jumlah (n) Persentase (%)

Timbau 101 39,16

Melayu 78 22,26

Jahab 779 5,27

Bukit Biru 22 8,34

Luar Wilayah 5 24,95

Gambar 10 dan tabel 9 menunjukkan gambaran pasien diabetes mellitus terkontrol dan tidak
di Puskesmas Rapak Mahang sepanjang tahun 2018. Pasien tidak terkontrol sebanyak 54%
dan pasien terkontrol sebanyak 46%.

Terkontrol
46.00%
Terkontrol
Tidak Terkontrol
54.00% Tidak Terkontrol

Gambar 10. Sebaran angka kejadian DM terkontrol dan tak terkontrol

39

Anda mungkin juga menyukai