Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman, pola penyakit yang diderita
masyarakat telah bergeser dari penyakit infeksi dan kekurangan gizi ke arah
penyakit degeneratif salah satunya adalah Diabetes Mellitus. Diabetes
Mellitus merupakan penyakit sillent killer yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah dan kegagalan sekresi insulin atau penggunaan insulin
dalam metabolisme yang tidak adekuat. Hal ini yang menyebabkan
metabolisme terganggu yang ditandai dengan hiperglikemi yang berhubungan
dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak, protein yang
disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin
atau keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis mikrovaskular,
makrovaskular, dan neuropati (Sudoyo dkk, 2009).
Diabetes merupakan penyakit kronis yang disebutkan oleh Resolusi
PBB No. 61 tahun 2006 sebagai pandemi global yang mengancam kesehatan
dunia secara serius, tidak hanya karena efek komplikasinya seperti kerusakan
pembuluh darah dan syaraf, ketoasidosis diabetik (KAD) dan Status
Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH). Beberapa faktor yang berkaitan dengan
DM dan peningkatan kadar glukosa darah adalah obesitas, riwayat keluarga
dan pola hidup yang kurang beraktivitas. Kadar glukosa darah yang tidak
terkontrol pada pasien diabetes akan menyebabkan berbagai komplikasi, baik
yang bersifat akut maupun kronis. Kadar glukosa darah yang sangat tinggi
(pada KAD 300 – 600 mg/dL, pada SHH 600 – 1200 mg/dL), komplikasi akut
pasien biasanya tidak sadarkan diri dengan angka kematiannya yang tinggi,
dan komplikasi akut seperti makroangiopati, mengenai jantung, stroke,
retinopati diabetika (mengenai retina mata) dan nefropati diabetika (mengenai
ginjal), mata, glaukoma, penciuman menurun, mudah terjangkit Tuberculosis
(TB), dan kaki/ulkus diabetika (diabetic foot). Oleh karena itu, sangatlah
penting bagi para pasien untuk memantau kadar glukosa darahnya secara
rutin.
Setiap tahun, tren jumlah penderita diabetes kian meningkat.
Berdasarkan survei yang dilakukan Badan Kesehatan Dunia atau World
Health Organization (WHO) tahun 2011 jumlah penderita DM di dunia 200
juta jiwa, dan Indonesia kini menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah
penderita Diabetes Mellitus di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat.
Dari jumlah tersebut, terdapat penderita Diabetes Mellitus (50%) yang sadar
mengidapnya dan diantara mereka baru sekitar 30% diantaranya melakukan
pengobatan secara teratur. Penelitian Masfufah yang dilaksanakan pada tahun
2013 menuturkan bahwa dari 36 penderita yang melakukan pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa secara teratur terdapat sebanyak 16.7% dimana
penderita memiliki kadar glukosa darah baik yaitu kurang dari 100 mg/dl,
sebanyak 5.5% penderita memiliki kadar glukosa darah antara 100 – 126
mg/dl, dan sebanyak 77.8% memiliki kadar glukosa darah buruk atau tidak
terkontrol yaitu lebih dari 126 mg/dl.
DM tipe 2 menjadi masalah kesehatan dunia karena prevalensi dan
insiden penyakit ini terus meningkat, baik di negara industri maupun negara
berkembang, termasuk juga Indonesia. DM tipe 2 merupakan suatu epidemi
yang berkembang, mengakibatkan penderitaan individu dan kerugian ekonomi
yang luar biasa. Meningkatnya prevalensi DM tipe 2 di beberapa negara
berkembang harus diantisipasi oleh pembuat kebijaksanaan dalam upaya
menentukan rencana jangka panjang kebijakan pelayanan kesehatan. Dalam
hal ini sangat diperlukan tindakan preventif dan promotif yang dapat
membantu masyarakat dalam memahami dan menjalankan perilaku hidup
sehat.
Penderita DM tipe 2 mempunyai risiko penyakit jantung dan
pembuluh darah dua sampai empat kali lebih tinggi dibandingkan orang tanpa
diabetes, mempunyai risiko hipertensi dan dislipidemia yang lebih tinggi
dibandingkan orang normal. Kelainan pembuluh darah sudah dapat terjadi
sebelum diabetesnya terdiagnosis, karena adanya resistensi insulin pada saat
prediabetes.
Diabetes melitus tipe 2 meliputi lebih 90% dari semua populasi
diabetes. Prevalensi DMT2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% pada
populasi dewasa.International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2011
mengumumkan 336 juta orang di seluruh dunia mengidap DMT2 dan
penyakit ini terkait dengan 4,6 juta kematian tiap tahunnya, atau satu kematian
setiap tujuh detik. Penyakit ini mengenai 12% populasi dewasa di Amerika
Serikat dan lebih dari 25% pada penduduk usia lebih dari 65 tahun. World
Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM
di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada
tahun 2030. International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya
kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014
menjadi 14,1 juta pada tahun 2035.
DM Tipe 2 memegang 90-95% dari keseluruhan populasi penderita
diabetes. DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi
karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara
normal (Depkes RI, 2005). Penderita diabetes mellitus tipe 2 ini semakin lama
semakin bertambah disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat. Banyak
penderita diabetes mellitus yang tidak mengetahui bahwa mereka menderita
diabetes mellitus sehingga penderita tersebut terlambat mengendalikan kadar
glukosa darah, dan akibatnya terjadi komplikasi. Serta ada yang memandang
bahwa diabetes mellitus merupakan penyakit yang dapat langsung sembuh
dalam satu kali pemeriksaan.
Standar pemeriksaan kadar glukosa darah idealnya dilakukan minimal
sebulan sekali setelah kunjungan pertama, yang meliputi pemeriksaan kadar
glukosa darah puasa, kadar glukosa darah 2 jam setelah makan, dan kadar
glukosa darah sewaktu. Rutin melakukan kunjungan berobat (kontrol) di
Pelayanan Kesehatan merupakan salah satu cara pencegahan komplikasi yang
mampu dilakukan oleh penderita diabetes mellitus. Dengan melakukan
pemeriksaan kadar glukosa darah secara teratur dapat memperlihatkan
berhasil atau tidaknya pelaksanaan olahraga, diet makan, usaha pengobatan,
dan usaha menurunkan berat badan yang dilakukan oleh penderita DM. Salah
satu indikator keberhasilan dalam pengobatan dipengaruhi oleh kepatuhan
pasien terhadap pengoabatan yang merupakan faktor utama dari outcome
terapi (Morello,2011)
Kepatuhan merupakan hal yang sangat penting terutama pada
pengobatan jangka panjang, salah satunya dalam pemeriksaan kadar gula
darah pada penderita diabetes. Kepatuhan pemeriksaan kadar gula darah
adalah kemampuan atau perilaku pasien dalam melakukan pemeriksaan gula
darah secara teratur 2 kali sebulan baik dilakukan/diobservasi dengan
menggunakan tabel monitoring, skala nominal. Kondisi kadar gula yang
drastis menurun akan cepat menyebabkan seseorang tidak sadarkan diri
bahkan memasuki tahapan koma, dimana hal ini dikenal dengan hipoglikemia
dimana suatu kondisi seseorang mengalami penurunan nilai gula dalam darah
dibawah normal. Dan seseorang dapat mengalami hiperglikemia apabila kadar
gula dalam darah jauh diatas nilai normal. Kadar gula ini tentu dapat terjadi
peningkatan setelah makan dan mengalami penurunan diwaktu pagi hari
bangun tidur.
Kepatuhan pemeriksaan kadar gula darah dapat diukur dengan
menggunakan skala delapan item Morisky Medication Adherence (MMAS-8),
merupakan suatu alat dari WHO yang sudah divalidasi dan digunakan untuk
menilai kepatuhan pengobatan pasien dengan penyakit kronik, salah satunya
yaitu Diabtes Mellitus. Alfian, R. 2015 melakukan penelitian sebelumnya
yang menggunakan instrument MMAS-8 menunjukkan bahwa pasien diabetes
melitus dengan tingkat kepatuhan tinggi 20 pasien (18,2%), tingkat kepatuhan
sedang 43 pasien (39,1%), dan tingkat kepatuhan rendah 47 pasien (42,7%).
Penelitian lain juga menunjukan dengan menggunakan metode yang sama
yaitu MMAS-8, diperoleh bahwa tingkat kepatuhan pasien sebagian besar
masih rendah (Ramadhan dkk., 2015).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Diabetes Mellitus dapat
dipicu oleh pengetahuan dan kepatuhan pasien untuk melakukan pemeriksaan
glukosa darah sebagai indikator pada keberhasilan pengobatannya untuk
menjaga kadar glukosa darah dalam rentang normal. Oleh karena itu, penulis
memandang perlunya penelitian tentang “Gambaran Pengetahuan dan
Kepatuhan Pemeriksaan Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II
Di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit PMI Kota Bogor”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas, peneliti merumuskan
masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana Gambaran Pengetahuan dan
Kepatuhan Pemeriksaan Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe II
Di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit PMI Kota Bogor”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran
pengetahuan dan kepatuhan pemeriksaan glukosa darah pada pasien
diabetes mellitus tipe II di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit
PMI Kota Bogor.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik pasien Diabetes Mellitus Tipe II yang
meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan.
b. Mengetahui gambaran pengetahuan pasien Diabetes Mellitus
Tipe II.
c. Mengetahui gambaran kepatuhan pemeriksaan glukosa darah
pasien Diabetes Mellitus Tipe II.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Karya ilmiah ini diharapkan dapat meningkatkan ilmu
pengetahuan, wawasan dan memberikan pengalaman berharga untuk
peneliti dalam melaksanakan penelitian ilmiah.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Karya ilmiah ini dapat dijadikan bahan rujukan dalam
pengembangan ilmu keperawatan, serta sebagai bahan acuan bagi
mahasiswa kesehatan khususnya mahasiswa keperawatan tentang
Medikal Bedah terutama mengenai gambaran pengetahuan dan
kepatuhan pemeriksaan kadar glukosa darah pada pasien diabetes
mellitus tipe II sebagai data dasar penelitian selanjutnya.
3. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan masukan bagi
seluruh tenaga kesehatan, khususnya perawat untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan mengenai pengetahuan dan kepatuhan
pemeriksaan kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus tipe II.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Konsep Penyakit Diabetes Mellitus
a. Pengertian Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme yang ditandai
dengan hiperglikemi yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan
oleh penurunan sekresi insulin atau penurunan sensitivitas insulin
atau keduanya dan menyebabkan komplikasi kronis
mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati (Sudoyo dkk, 2009)
Diabetes Melitus (DM) atau disingkat Diabetes adalah
gangguan kesehatan yang berupa kumpulan gejala yang
disebabkan oleh peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat
kekurangan ataupun resistensi insulin. Penyakit ini sudah lama
dikenal, terutama di kalangan keluarga, khususnya keluarga
‘berbadan besar’ (kegemukan) bersama dengan gaya hidup
‘tinggi’. Kemudian, DM menjadi penyakit masyarakat umum,
menjadi beban kesehatan masyarakat, meluas dan membawa
banyak kematian (Bustam, 2007; 100)
Diabetes mellitus (DM) merupakan sebuah penyakit, dimana
kondisi kadar glukosa di dalam darah melebihi batas normal. Hal
ini disebabkan karena tubuh tidak dapat melepaskan atau
menggunakan insulin secara adekuat. Insulin adalah hormon yang
dilepaskan oleh pankreas dan merupakan zat utama yang
bertanggungjawab untuk mempertahankan kadar gula darah dalam
tubuh agar tetap dalam kondisi seimbang. Insulin berfungsi
sebagai alat yang membantu gula berpindah ke dalam sel sehingga
bisa menghasilkan energi atau disimpan sebagai cadangan energi
(Mahdiana, 2010)
Penyakit Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit
metabolik yang ditandai dengan kadar gula darah yang tinggi
(hiperglikemia) yang diakibatkan oleh gangguan sekresi insulin,
dan resistensi insulin atau keduanya. Hiperglikemia yang
berlangsung lama (kronik) pada Diabetes Melitus akan
menyebabkan kerusakan gangguan fungsi, kegagalan berbagai
organ, terutama mata, organ, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh
darah lainnya (Suastika K., et al., 2011)

b. Klasifikasi Diabtes Mellitus


Klasifikasi diabetes mellitus mengalami perkembangan dan
perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan
berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang
muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile diabetes”,
sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45
tahun disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini
sudah tidak layak dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-
kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang
menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya. Pada
tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes
melitus memperkuat rekomendasi National Diabetes Data Group
pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus,
yaitu "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) disebut juga
Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes
Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2.
Tabel 2.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan
Etiologinya (ADA, 2003)
1 Diabetes Mellitus Tipe 1 : IDDM
Disebabkan oleh destruksi sel β pulau langerhans akibat
proses autoimun, umumnya menjurus ke arah defisiensi
insulin absolut
A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
B. Idiopatik
2 Diabetes Mellitus Tipe 2 : NIDDM
Disebabkan oleh kegagalan relatif sel β dan resistensi
insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan
insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh
jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa
oleh hati:
 Tipe II dengan obesitas
 Tipe II tanpa obesitas
3 Diabetes Mellitus Tipe Lain
A. Defek genetik fungsi sel β:
 Kromosom 12, HNF-1 α (dahulu disebut
MODY 3)
 Kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut
MODY 2)
 Kromosom 20, HNF-4 α (dahulu disebut
MODY 1)
 DNA mitokondria
B. Defek genetik kerja insulin
C. Penyakit eksokrin pankreas:
 Pankreatitis
 Trauma/Pankreatektomi
 Neoplasma
 Cistic Fibrosis
 Hemokromatosis
 Pankreatopati fibro kalkulus
D. Endokrinopati:
1. Akromegali
2. Sindroma Cushing
3. Feokromositoma
4. Hipertiroidisme
E. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid,
hormon tiroid, asam nikotinat, pentamidin, vacor,
tiazid, dilantin, interferon
F. Diabetes karena infeksi
4 Diabetes Mellitus Gestasional
Diabetesmellitus yang muncul pada masa kehamilan,
5 Pra-diabetes:
A. IFG (Impaired Fasting Glucose) = GPT (Glukosa
Puasa Terganggu)
B. IGT (Impaired Glucose Tolerance) = TGT
(Toleransi Glukosa Terganggu)
Sumber: (Tulis nama buku)

c. Dasar – Dasar Terjadinya DM Tipe 2


Dua patofisiologi utama yang mendasari terjadinya kasus DM
tipe 2 secara genetik adalah resistensi insulin dan defek fungsi sel
beta pankreas. Resistensi insulin merupakan kondisi umum bagi
orang-orang dengan berat badan overweight atau obesitas. Insulin
tidak dapat bekerja secara optimal di sel otot, lemak, dan hati
sehingga memaksa pankreas mengkompensasi untuk
memproduksi insulin lebih banyak. Ketika produksi insulin oleh
sel beta pankreas tidak adekuat guna mengkompensasi
peningkatan resistensi insulin, maka kadar glukosa darah akan
meningkat, pada saatnya akan terjadi hiperglikemia kronik.
Hiperglikemia kronik pada DM tipe 2 semakin merusak sel beta di
satu sisi dan memperburuk resistensi insulin di sisi lain, sehingga
penyakit DM tipe 2 semakin progresif.
Secara klinis, makna resistensi insulin adalah adanya
konsentrasi insulin yang lebih tinggi dari normal yang dibutuhkan
untuk mempertahankan normoglikemia. Pada tingkat seluler,
resistensi insulin menunjukan kemampuan yang tidak adekuat dari
insulin signaling mulai dari pre reseptor, reseptor, dan post
reseptor. Secara molekuler beberapa faktor yang diduga terlibat
dalam patogenesis resistensi insulin antara lain, perubahan pada
protein kinase B, mutasi protein Insulin Receptor Substrate (IRS),
peningkatan fosforilasi serin dari protein IRS,
Phosphatidylinositol 3 Kinase (PI3 Kinase), protein kinase C, dan
mekanisme molekuler dari inhibisi transkripsi gen IR (Insulin
Receptor).
Pada perjalanan penyakit DMT2 terjadi penurunan fungsi sel
beta pankreas dan peningkatan resistensi insulin yang berlanjut
sehingga terjadi hiperglikemia kronik dengan segala dampaknya.
Hiperglikemia kronik juga berdampak memperburuk disfungsi sel
beta pankreas. Disfungsi sel beta pankreas terjadi akibat
kombinasi faktor genetik dan faktor lingkungan. Jumlah dan
kualitas sel beta pankreas dipengaruhi oleh beberapa hal antara
lain proses regenerasi dan kelangsungan hidup sel beta itu sendiri,
mekanisme selular sebagai pengatur sel beta, kemampuan adaptasi
sel beta ataupun kegagalan mengkompensasi beban metabolik dan
proses apoptosis sel.
Sebelum diagnosis DMT2 ditegakkan, sel beta pankreas dapat
memproduksi insulin secukupnya untuk mengkompensasi
peningkatan resistensi insulin. Pada saat diagnosis DMT2
ditegakkan, sel beta pankreas tidak dapat memproduksi insulin
yang adekuat untuk mengkompensasi peningkatan resistensi
insulin oleh karena pada saat itu fungsi sel beta pankreas yang
normal tinggal 50%. Pada tahap lanjut dari perjalanan DMT2, sel
beta pankreas diganti dengan jaringan amiloid, akibatnya produksi
insulin mengalami penurunan sedemikian rupa, sehingga secara
klinis DMT2 sudah menyerupai DMT1 yaitu kekurangan insulin
secara absolut. Pada DMT2, sel beta pankreas yang terpajan
dengan hiperglikemia akan memproduksi reactive oxygen species
(ROS). Peningkatan ROS yang berlebihan akan menyebabkan
kerusakan sel beta pankreas. Hiperglikemia kronik merupakan
keadaan yang dapat menyebabkan berkurangnya sintesis dan
sekresi insulin di satu sisi dan merusak sel beta secara gradual

d. Etiologi Diabetes Mellitus


a) Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes tipe ini merupakan diabetes yang jarang atau
sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari
keseluruhan populasi penderita diabetes. Gangguan produksi
insulin pada DM Tipe 1 umumnya terjadi karena kerusakan
sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi
otoimun. Namun ada pula yang disebabkan oleh bermacam-
macam virus, diantaranya virus Cocksakie, Rubella,
CMVirus, Herpes, dan lain sebagainya. Ada beberapa tipe
otoantibodi yang dihubungkan dengan DM Tipe I, antara lain
ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies), ICSA (Islet cell
surface antibodies), dan antibodi terhadap GAD (glutamic
acid decarboxylase).
ICCA merupakan antibodi utama yang ditemukan pada
penderita DM Tipe 1. Hampir 90% penderita DM Tipe 1
memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-
diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Oleh sebab itu,
keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat
untuk DM Tipe 1. pada pulau Langerhans kelenjar pankreas
terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel δ. Sel-sel β
memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon,
sedangkan sel-sel δ memproduksi hormon somatostatin.
Namun demikian, nampaknya serangan otoimun secara
selektif menghancurkan sel-sel β.
Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans
kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defisiensi sekresi
insulin. Defisiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan
metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defisiensi
insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM
Tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM Tipe 1
ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α
pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan
menurunkan sekresi glukagon, namun pada penderita DM
Tipe 1 hal ini tidak terjadi, sekresi glukagon tetap tinggi
walaupun dalam keadaan hiperglikemia. Hal ini memperparah
kondisi hiperglikemia.
Diabetes yang tergantung insulin ditandai dengan
penghancuran sel – sel β pancreas yang disebabkan oleh:
 Faktor genetic penderita tidak mewarisi diabtes tipe itu
sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau
kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes tipe 1
 Faktor imunologi (autoimun)
 Faktor lingkungan: virus atau toksin tertentu dapat
memicu proses autoimun yang menimbulkan estruksi
sel β
b) Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih
umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM
Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari
keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di
atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di
kalangan remaja dan anak-anak populasinya
meningkat.Penyebab DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang
belum sepenuhnya terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan
pengaruh lingkungan cukup besar dalam menyebabkan
terjadinya DM tipe 2 antara lain obesitas, diet tinggi lemak
dan rendah serat, serta kurang gerak badan.
Pada penderita DM Tipe 2, terutama yang berada pada
tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin yang
cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga
tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan
oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran
insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara normal.
Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”.
Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju
seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari
obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat
juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa
hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi
pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun
sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian
defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya
bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam
penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian
insulin.
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam
dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah
stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase
kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal
perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan
pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani
dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya
penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β
pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan
mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita
memerlukan insulin eksogen.
Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita DM
Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok:
1) Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal
< 140 mg/dL → normal
1. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal,
disebut juga Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)
140 < 200 mg/dL → toleransi glukosa terganggu
2) Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa
minimal (kadar glukosa plasma puasa < 140 mg/dL
3) Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa
tinggi (kadar glukosa plasma puasa > 140 mg/dL)

Tabel 2.2 Perbandingan Perbedaan DM tipe 1 dan 2


Kondisi DM Tipe 1 DM Tipe 2
Awal muncul Umumnya masa Pada usia tua,
kanak – kanak umumnya > 40
dan remaja, tahun
walaupun ada
juga pada masa
dewasa < 40
tahun
Keadaan klinis Berat Ringan
saat diagnosis
Kadar insulin Rendah, tak ada Cukup tinggi,
darah normal
Berat badan Biasanya kurus Gemuk atau
normal
Pengelolaan yang Terapi insulin, Diet, olahraga,
disarankan diet, dan olahrga dan minum
hipoglikemik oral
Sumber: (Tulis nama buku)
e. Patofisiologi Diabetes Mellitus

- Faktor genetik Keruskan sel beta Ketidakseimbangan Gula dalam darah


- Infeksi virus produksi insulin tidak dapat dibawa
masuk dalam sel
- Pengruskan imunologik

Glukosuria Batas melebihi ambang Hiperglikemia Anabolisme protein


ginjal menurun

Diuresis osmotik Vikositas darah meningkat Syok hiperglikemik Kerusakan pada antibodi

Poliuri → Retensi Urine Aliran darah lambat Koma diabetik Kekebalan tubuh menurun

Kehilangan elektrolit Neuropati sensori perifer


Iskemik jaringan Resiko infeksi
dalam sel

Dehidrasi Ketidakefektifan perfusi Nekrosis luka Klien tidak merasa sakit


jaringan perifer

Resiko Syok Kehilangan kalori Gangrene Kerusakan integritas kulit


Merangsang Hipotalamus Sel kekurangan bahan Protein dan lemak Berat badan menurun
untuk metabolisme dibakar

Pusat lapar dan haus


Keletihan
Katabolisme lemak Pemecahan protein

Polidipsia
Polipalgia
Asam lemak Ureum
Keton

Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan Ketoasidosis
tubuh
f. Manifestasi Klinis
Selain melihat garis turunan dari anggota keluarga yang
menderita diabetes dapat dideteksi dari timbulnya beberapa gejala,
yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria
(sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia
(banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering pula muncul
keluhan penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh
terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal
yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan
menurun tanpa sebab yang jelas.
a) Poliuria
Umumnya tubuh mengeluarkan urine sebanyak 1.5 liter
per hari, tetapi pada penderita diabetes dapat mengeluarkan
urine hingga lima kali lipat. Pengeluaran urine tersebut
mengakibatkan dehidrasi dan hanya dapat diganti dengan
minum dalam jumlah banyak. Sering buang air kecil yang
dialami penderita diabetes diakibatkan oleh konsumsi air
berlebih karena haus.
b) Polidipsia
Pada penderita diabetes volume urine yang besar akan
mengakibatkna kehausan. Pada tahap awal, kehausan
biasanya ringan dan kebanyakan orang tidak menyadari arti
pentingnya rasa haus tersebut. Seseorang dengan diabetes
yang tidak terdiagnosis akan sering membawa tempat air
sampai ke tempat tidur, bangun di malam hari untuk
memuaskan dahaga mereka dan buang air kecil, dan masih
belum menyadari bahwa ada sesuatu yang salah.
c) Polifagia
Sumber energi tubuh berasal dari glukosa yang
diperoleh dari pencernaan gula atau makanan yang
mengandung pati. Penderita diabetes yang tidak diobati tidak
mampu menggunakan dan menyimpan glukosa dalam tubuh.
Glukosa yang tidak terpakai berada di aliran darah dan
dibuang melalui urine. Seseorang yang sudah terkena diabetes
parah akan kehilangan glukosa sebanyak 500g dalam waktu
24 jam, yakni setara dengan kehilangan 2000 kalori per hari.
d) Gatal
Perempuan penderita diabetes akan mengalami rasa
gatal di sekitar vagina yang disebut Prutus Vulva. Hal ini
dapat pula terjadi pada pria. Mereka akan merasa gatal
disekitar ujung penis yang disebut balanitis. Kulup penis yang
terasa gatal dapat mengeras (fimosis) sehingga kulit tidak
elastis dan sulit dibersihkan. Masalah tersebut disebabkan
oleh adanya infeksi, terutama oleh jamur kulit, Candida, yang
berkembang karena adanya penumpukan glukosa disekitar
alat kemaluan. Obat antujamur hanya dapat mengurangi
pertumbuhan jamur dan cara yang paling efektif ialah dengan
menghilangkan gula dalam urine.
e) Gangguan Mata
Umumnya penglihatan yang rabun dapat diatasi
penggunaan kaca mata. Akan tetapi, hal tersebut tidak dapat
diterapkan pada rabun yang disebabkan oleh diabetes.
Diabetes dapat mengakibatkan lensa mata membengkak dan
penglihatan menjadi rabun. Hal ini disebabkan karena
rusaknya retina yang disebut retinopathy. Retina telah rusak
selama bertahun – tahun karena diabetes yang tidak disadari.
Dalam kasus yang sangat jarang, lensa mata dapat rusak
secara permanen atau disebut katarak karena diabetes yang
tidak terkontrol. Kondisi ini dapat diatasi dengan melakukan
operasi katarak. Lensa mata ini akan kembali normal setelah
diabetes dapat dikendalikan.

g. Komplikasi
Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik dapat menimbulkan
komplikasi akut dan kronis. Berikut ini akan diuraikan beberapa
komplikasi yang sering terjadi dan harus diwaspadai.
a) Hipoglikemia
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis
penderita merasa pusing, lemas, gemetar, pandangan
berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap), keluar
keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang
kesadaran. Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi
kerusakan otak dan akhirnya kematian.
Pada hipoglikemia, kadar glukosa plasma penderita
kurang dari 50 mg/dl, walaupun ada orang-orang tertentu
yang sudah menunjukkan gejala hipoglikemia pada kadar
glukosa plasma di atas 50 mg/dl. Kadar glukosa darah yang
terlalu rendah menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat
pasokan energi sehingga tidak dapat berfungsi bahkan dapat
rusak. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada penderita
diabetes tipe 1, yang dapat dialami 1 – 2 kali perminggu.
Dari hasil survei yang pernah dilakukan di Inggris
diperkirakan 2 – 4% kematian pada penderita diabetes tipe 1
disebabkan oleh serangan hipoglikemia.
Pada penderita diabetes tipe 2, serangan hipoglikemia
lebih jarang terjadi, meskipun penderita tersebut mendapat
terapi insulin. Serangan hipoglikemia pada penderita
diabetes umumnya terjadi apabila penderita:
 Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang
atau malam)
 Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang
disarankan oleh dokter atau ahli gizi
 Berolah raga terlalu berat
 Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih
besar dari pada seharusnya
 Minum alkohol
 Stress
 Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat
meningkatkan risiko hipoglikemia

Pada penderita DM perlu diperhatikan apabila penderita


mengalami hipoglikemik, kemungkinan penyebabnya
adalah:
 Dosis insulin yang berlebihan
 Saat pemberian yang tidak tepat
 Penggunaan glukosa yang berlebihan misalnya
olahraga anaerobik berlebihan
 Faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan
kepekaan individu terhadap insulin, misalnya
gangguan fungsi adrenal atau hipofisis
b) Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah
melonjak secara tiba-tiba. Keadaan ini dapat disebabkan
antara lain oleh stress, infeksi, dan konsumsi obat-obatan
tertentu. Hiperglikemia ditandai dengan poliuria, polidipsia,
polifagia, kelelahan yang parah (fatigue), dan pandangan
kabur. Apabila diketahui dengan cepat, hiperglikemia dapat
dicegah tidak menjadi parah. Hipergikemia dapat
memperburuk gangguan-gangguan kesehatan seperti
gastroparesis, disfungsi ereksi, dan infeksi jamur pada
vagina. Hiperglikemia yang berlangsung lama dapat
berkembang menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya,
antara lain ketoasidosis diabetik (Diabetic Ketoacidosis =
DKA) dan (HHS), yang keduanya dapat berakibat fatal dan
membawa kematian. Hiperglikemia dapat dicegah dengan
kontrol kadar gula darah yang ketat.
c) Komplikasi Makrovaskular
Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum
berkembang pada penderita diabetes adalah penyakit jantung
koroner (coronary heart disease = CAD), penyakit pembuluh
darah otak, dan penyakit pembuluh darah perifer (peripheral
vascular disease = PVD). Walaupun komplikasi
makrovaskular dapat juga terjadi pada DM tipe 1, namun
yang lebih sering merasakan komplikasi makrovaskular ini
adalah penderita DM tipe 2 yang umumnya menderita
hipertensi, dislipidemia dan atau kegemukan. Kombinasi
dari penyakit-penyakit komplikasi makrovaskular dikenal
dengan berbagai nama, antara lain Syndrome X, Cardiac
Dysmetabolic Syndrome, Hyperinsulinemic Syndrome, atau
Insulin Resistance Syndrome.
Karena penyakit-penyakit jantung sangat besar
risikonya pada penderita diabetes, maka pencegahan
komplikasi terhadap jantung harus dilakukan sangat penting
dilakukan, termasuk pengendalian tekanan darah, kadar
kolesterol dan lipid darah. Penderita diabetes sebaiknya
selalu menjaga tekanan darahnya tidak lebih dari 130/80 mm
Hg. Untuk itu penderita harus dengan sadar mengatur gaya
hidupnya, termasuk mengupayakan berat badan ideal, diet
dengan gizi seimbang, berolah raga secara teratur, tidak
merokok, mengurangi stress dan lain sebagainya.
d) Komplikasi Mikrovaskular
Komplikasi mikrovaskular terutama terjadi pada
penderita diabetes tipe 1. Hiperglikemia yang persisten dan
pembentukan protein yang terglikasi (termasuk HbA1c)
menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi makin
lemah dan rapuh dan terjadi penyumbatan pada pembuluh-
pembuluh darah kecil. Hal inilah yang mendorong
timbulnya komplikasi-komplikasi mikrovaskuler, antara lain
retinopati, nefropati, dan neuropati. Disamping karena
kondisi hiperglikemia, ketiga komplikasi ini juga
dipengaruhi oleh faktor genetik. Oleh sebab itu dapat terjadi
dua orang yang memiliki kondisi hiperglikemia yang sama,
berbeda risiko komplikasi mikrovaskularnya. Namun,
prediktor terkuat untuk perkembangan komplikasi
mikrovaskular tetap lama (durasi) dan tingkat keparahan
diabetes. Satu-satunya cara yang signifikan untuk mencegah
atau memperlambat jalan perkembangan komplikasi
mikrovaskular adalah dengan pengendalian kadar gula darah
yang ketat. Pengendalian intensif dengan menggunakan
suntikan insulin multi-dosis atau dengan pompa insulin yang
disertai dengan monitoring kadar gula darah mandiri dapat
menurunkan risiko timbulnya komplikasi mikrovaskular
sampai 60%.

h. Penalataksanaan

B. Konsep Dasar Pengetahuan


1. Pengertian Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2011:121) pengetahuan merupakan hasil
“tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap
objek tertentu. Jadi pengetahuan ini diperoleh dari aktivitas pancaindra
yaitu penglihatan, penciuman, peraba dan indra perasa, sebagian besar
pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan/kognitif
merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang (Notoatmodjo, 2011:121).
Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua
aspek yaitu aspek positive dan aspek negative. Kedua aspek ini yang
akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif
terhadap dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap
makin positif terhadap objek tertentu (Wawan dan Dewi,2011)
Penelitian Rogers (1974) dalam buku pendidikan dan perilaku
kesehatan (Notoatmodjo, 2003 dan Nursalam 2007) mengungkapkan
bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang
tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu:
a. Awareness (kesadaran) ketika seseorang menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek)
b. Interest (tertarik), ketika seseorang mulai tertarik pada stimulus
c. Evaluaton (menimbang – nimbang) terhadap baik dan tidaknya
stimulus tersebut baginya
d. Trial (mencoba), ketika seseorang telah mencoba perilaku baru
e. Adaption (adaptasi), ketika seseorang telah berperilaku baru
yang sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya
terhadap stimulus.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengetahuan merupakan hasil “tahu”


yang diperoleh dari aktivitas pancaindra untu membentuk tindakan
seseorang. Pengetahuan seseorang memiliki dua aspek yakni aspek
positif dan aspek negatif. Jika penerima perilaku baru atau adopsi
perilaku melalui proses seperti ini yaitu dengan didasari oleh
pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku itu akan
bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak
didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, perilaku itu tidak akan
berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003:121)
2. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo dan Wawan (2011), faktor – faktor yang
mempengaruhi pengetahuan adalah:
1) Faktor Internal
a) Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan. Pendidikan mempengaruhi
proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin
mudah seseorang untuk menerima informasi. Tetapi, bukan
berarti seseorang yang berpendidikan rendah berpengetahuan
rendah pula.
b) Usia
Usia dapat mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir
seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang
pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga pengetahuan
yang diperolehnya semakin membaik.

2) Faktor Eksternal
a) Informasi atau Media Massa
Informasi adalah sesuatu yang diketahui. Dimana
informasi ini diartikan sebagai suatu teknik untuk
mengumpulkan dan menyiapkan, menyimpan dan
memanipulasi, mengumumkan, menganalisis, dan
menyebarkan informasi yang diperoleh baik dari pendidikan
formal maupun nonformal dan dapat memberikan pengaruh
jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan
perubahan atau peningkatan pengetahuan.
b) Sosial Budaya
Sistem sosial budaya yang ada di masyarakat dapat
mempengaruhi sikap dalam menerima informasi.
c) Lingkungan
Lingkungan adalah sesuatu yang ada disekitar individu,
baik lingkungan fisik, biologis maupun sosial. Lingkungan
berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam
individu yang berada dalam lingkungan tersebut.
d) Pengalaman
Pengalaman adalah suatu cara untuk memperoleh
kebenaran pengetahuan dengan mengulang kembali pengetahuan
yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa
lalu.
3. Cara Memperoleh Pengetahuan
Cara memperoleh pengetahuan menurut Notoatmodjo (2012), yaitu:
1) Cara Tradisional atau Non Ilmiah
a) Cara Coba Salah
Cara coba – coba ini dilakukan dengan menggunakan
beberapa kemungkinan dalam memecahkan masalah, dan
apabila kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba
kemungkinan yang lainnya sampai masalah tersebut dapat
dipecahkan.
b) Secara Kebetulan
Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena
tidak disengaja.
c) Cara Kekuasaan atau Otoritas
Pengetahuan dapat diperoleh berdasarkan pada
pemegang otoritas, yakni orang yang mempunyai wibawa
dan kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas
pemimpin, otoritas agama, maupun ahli ilmu pengetahuan
atau ilmuan.
d) Berdasarkan Pengalaman Pribadi
Megulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam
memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang
lalu.
e) Melalui Wahyu
Ajaran dan agama adalah suatu kebeneran yang
diwahyukan dari tahun ke tahun melalui nabi. Kebenaran
ini harus diterima dan diyakini oleh pengikut – pengikut
agama yang bersangkutan, terlepas dari apakah kebenaran
tersebut rasional atau tidak.
f) Kebenaran Secara Intuitif
Kebenaran secara intuitif diperoleh oleh manusia
secara cepat sekali melalui proses diluar kesadaran tanpa
melalui proses penalaran atau berpikir. Kebenaran yang
diperoleh melaui intuitif sukar dipercaya karena kebenaran
ini tidak menggunakan cara – cara rasional dan sistematis.
g) Melalui Jalan Pikiran
Dalam memperoleh kebenaran pengetahuan, manusia
telah menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi
maupun dedukasi.
2) Cara Ilmiah
Cara baru atau modern dalam memperoleh pengetahuan
dengan lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut
metode penelitian ilmiah, atau lebih populer disebut dengan
Metodologi Penelitian (Notoatmodjo,2012)
4. Cara Mengkukur Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2012), pengukuran pengetahuan dapat
dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyenangkan tentang
materi yang ingin diukur dalam subjek penelitian atau responden.
Menurut Sujearweni (2014), mengatakan bahwa teknik skala mengukur
pengetahuan adalah teknik skala Guttman. Skala pengukuran Guttman
akan didapatkan jawaban yang tegas, diantaranya ya atau tidak, benar
atau salah.
Menurut Arikunto dan Notoatmodjo (2011), hasil pengukuran dapat
diproses dengan cara menjumlahkan dan membandingkan dengan
jumlah yang diharapkan, dapat dinilai dengan rumus:
Skema 2.1 Formula Pengukuran Pengetahuan
Jumlah jawaban yang benar
x 100%
Jumlah soal total

Setelah itu data dipresentasikan dan diinterpretasikan dengan skala


yang bersifat kualitatif, yaitu:
Baik : Hasil Presentase 76 – 100 %
Cukup : Hasil Presentase 56 – 75 %
Kurang : Hasil Presentase < 55 %
C. Konsep Dasar Kepatuhan
1. Pengertian Kepatuhan
Kepatuahan merupakan tingkat pasien dalam melaksanakan cara
pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokter atau paramedis,
sebagaimana ketentuan yang disarankan pada penderita diabetes
mellitus, hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktir diantaranya tidak
menjalani diit dengan baik (Tjokroprawiro, 2003)
Menurut Kozier (2010), kepatuhan adalah perilaku individu seperti
minum obat, mematuhi diet, atau melakukan perubahan gaya hidup
sesuai anjuran terapi dan kesehatan. Sedangkan Sarafino (dalam Yetti,
dkk 2011) mendefinisikan kepatuhan sebagai tingkat pasien
melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh
tenaga kesehatan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Penderita DM harus
rutin mengontrol kadar gula darah sesuai dengan jadwal yang
ditentukan, agar diketahui nilai kadar gula darah untuk mencegah
gangguan dan komplikasi yang mungkin muncul agar ada penanganan
yang cepat dan tepat. Disini peran perawat sebagai pendidik adalah
memberikan pengetahuan tentang manfaat dari kepatuhan klien diabetes
melitus dalam menjalankan kepatuhan kontrol, sehingga diharapkan
terjadi perubahan tingkah laku pasien DM (Tjandra, 2008)

2. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan


Kebanyakan penderita DM tidak memeriksakan kadar gula darah
bila tidak ada keluhan. Mereka akan memeriksakan kesehatan bila
merasa ada gangguan. Semakin buruk kontrol seseorang terhadap kadar
gula darah, maka semakin mudah seseorang terkena komplikasi
(Tandra, 2008). Hal inilah yang menyebabkan beberapa faktor faktor
yang berhubungan dengan kepatuhan klien diabetes melitus dalam
mengontrol gula darah, diantaranya:
a. Pengetahuan
Hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan klien
diabetes melitus dalam mengontrol gula darah, dimana responden
yang memiliki pengetahuan yang baik tetapi tidak menggunakan
pengetahuannya tersebut dengan baik karena faktor kemalasan
atau kesibukannya. Seperti pendapat Notoatmodjo yang
menyatakan bahwa perilaku baru terutama pada orang dewasa
dimulai pada domain kognitif dalam arti subjek tahu terlebih
dahulu terhadap stimulus yang berupa materi objek diluarnya
menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap. Akhirnya
rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari
sepenuhnya tersebut akan menimbulkan respon lebih jauh lagi
yaitu berupa tindakan terhadap stimulus atau objek.
Jadi, dalam hal ini pengetahuan merupakan langkah awal
dari seseorang untuk menentukan sikap dan perilakunya. Sehingga
tingkat pengetahuan akan sangat berpengaruh terhadap
penerimaan suatu program (Notoatmodjo, 2003). Oleh karena itu
perawat sebagai pendidik memberikan informasi atau pengetahuan
yang mendalam tentang manfaat dari kepatuhan mengontrol kadar
glukosa darah, sehingga diharapkan terjadi perubahan tingkah laku
pasien DM.
b. Perilaku
Menurut Notoatmodjo (2003), menyatakan bahwa Perilaku
adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan,
berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca,
dan sebagainya. Kesadaran klien diabetes untuk melakukan
kontrol gula darah masih kurang. Dalam mengontrol gula darah
hendaknya rutin dilakukan klien Diabetes melitus karena untuk
mengetahui adanya keluhan-keluhan yang mengarah ke
komplikasi Diabetes melitus sehingga dapat dideteksi dan diatasi
secara dini.
Menurut Rifki (2005) mengatakan bahwa untuk
penatalaksanaan suatu penyakit diperlukan adanya kerja sama atau
pendekatan yang baik antara petugas kesehatan dengan individu
atau kelompok masyarakat. Petugas kesehatan diharapkan dapat
membantu mereka mengikuti tahap-tahap pengenalan dan
pemecahan masalah yang dihadapi secara rasional. Dengan
demikian, semakin baik perilaku klien maka klien semakin patuh
dalam mengontrol gula darah dan semakin kurang baik perilaku,
klien tidak patuh dalam mengontrol gula darah.
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan
sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang rendah
akan mempersulit seseorang atau masyarakat menerima dan
mengerti pesan-pesan kesehatan yang disampaikan sedangkan
tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang
atau masyarakat untuk menyerap informasi dan
mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-
hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Pendidikan dapat
mempengaruhi kemampuan seseorang dalam memberikan
penilaian, termasuk mengartikan pentingnya patuh terhadap
jadwal kontrol, semakin tinggi tingkat pendidikan pasien maka
dapat meningkatkan kepatuhan, selama pendidikan tersebut yang
aktif, misalnya membaca berbagai buku dan mendapatkan
pendidikan kesehatan atau penyuluhan dari petugas kesehatan
(Sugiarto, 2012).

3. Strategi Untuk Meningkatkan Kepatuhan


Menurut Smet dalam Suparyanto (2012) ada beberapa cara untuk
meningkatkan kepatuhan, diantaranya:
a. Dukungan profesional kesehatan
Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk
meningkatkan kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal
dukungan tersebut adalah dengan adanya teknik komunikasi.
Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang
baik diberikan oleh profesional kesehatan baik dokter atau perawat
dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.
b. Dukungan sosial
Dukungan sosial ini salah satunya adalah keluarga. Para
profesional kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien
untuk menjunjung peningkatan kesehatan pasien maka
ketidakmampuan dapat dikurangi atau diatasi.
c. Perilaku sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien
dengan diabetes diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk
menghindari dari komplikasi lebih lanjut apabila menderita
diabetes. Modifikasi gaya hidup dan kontrol pemeriksaan kadar
glukosa darah secara teratur atau suntik insulin sangat perlu bagi
pasien diabetes.
d. Pemberian informasi
Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga
mengenai penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya.
Dengan begitu dapat meningkatkan kepatuhan.

4. Jenis – Jenis Kepatuhan


Menurut Carpenito (2009), kepatuhan dapat dibedakan menjadi:
a. Kepatuhan penuh (total compliance), dimana penderita tidak
hanya berobat secara teratur sesuai batas waktu yang ditetapkan
melainkan juga patuh memeriksa kadar glukosa darah dan
meminum obat teratur sesuai petunjuk.
b. Penderita yang sama sekali tidak patuh (Non compliance), dimana
penderita yang putus berobat, tidak menggunkan obat sama sekali,
dan tidak pernah memeriksa kadar glukosa darah.
5. Cara Mengukur Kepatuhan
Kepatuhan dapat diukur dengan cara memberikan kuesioner. Kuesionar
yang digunakan untuk mengukur kepatuhan dengan menggunakan skala
depan – item Morisky Medication Adherence (MMAS – 8). Kuesioner
MMAS – 8 adalan alat penilaian dari WHO yang sudah divalidasi dan
digunakan untuk menilai kepatuhan pengobatan pasien dengan penyakit
kronik, seperti diabetes mellitus yang berisi delapan pertanyaan dengan
pilihan jawaban dikotomi (Ya atau Tidak) dan salah satu pertanyaan
dengan pilihan jawaban likert. Hasil uji validitas dan reliabilitas
kuesioner MMAS – 8 sebesar 0.6565 dan 0.7956. Skor “Ya” bernilai 1,
jika hasil menunjukkan skor tinggi artinya tingkat kepatuhan penderita
semakin rendah.

D. Kerangka Teori
Skema 2.1 Kerangka Teori

Pasien DM Umur
Jenis Kelamin
Pendidikan
Terapi Antidiabetes Oral Pekerjaan
Jumlah Obat
Efek Samping
Obat
Mengontrol Durasi DM
Glukosa Darah Diet
Olahraga

Evaluasi

Patuh Tidak Patuh

MMAS – 8 rendah MMAS – 8 tinggi


Sumber: American Diabetes Association (2009), Djokromoelyanto (2007)

BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN

A. Kerangka Konsep

Pengetahuan Pemeriksaan Gula Kepatuhan Pemeriksaan Gula


Darah Pada Penderita Diabetes Darah Pada Penderita Diabetes
Mellitus Tipe II Mellitus Tipe II

Peneliti meneliti pengetahuan dan kepatuhan pemeriksaan kadar glukosa


darah pada pasien Diabetes Mellitus tipe 2 untuk mengetahui tingkat
pengetahuan dan kepatuhan pada penderita Diabetes Mellitus tipe 2. Dimana
penyakit ini merupakan penyakit kronik yang tidak menyebabkan kematian
secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal apabila pengobatannya tidak
dilakukan dengan baik. Berhasil tidaknya pengelolaan diabetes mellitus sangat
tergantung pada pasien dalam melaksanakan kepatuhan menjalankan terapi
pengobatan pada penderita diabetes mellitus seperti pemeriksaan kadar
glukosa darah, dan minum obat antidiabetes. Meskipun memerlukan tingkat
kepatuhan yang tinggi, kenyataannya tingkat kepatuhan pasien dalam
menjalankan pemeriksaan kadar glukosa darah tidak cukup baik.
Kepatuhan merupakan hal yang sangat penting terutama pada
pengobatan jangka panjang. Sangatlah penting untuk memperhatikan pasien
diabetes dalam hal kepatuhan pemeriksaan kadar glukosa darah agar tercapai
target terapi dan terhindar komplikasi. Apabila pasien memiliki kepatuhan
yang rendah maka dapat berakibat tidak terkontrolnya kadar glukosa darah
dan terjadinya komplikasi. Efek langsung dan tidak langsung pada gangguan
vaskular manusia akibat tidak terkontrolnya glukosa darah adalah peningkatan
morbiditas dan mortalitas pada pasien diabetes tipe 2. Secara umum, efek
merugikan dari hiperglikemia adalah komplikasi makrovaskular (coronary
heart disease: CAD), penyakit pembuluh darah otak, dan penyakit pembuluh
darah perifer (peripheral vascular disease: PVD) dan komplikasi
mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan neuropati).
Menurut Abrecht (2011), terdapat beberapa hal yang dapat
mempengaruhi complience pasien terhadap kepatuhan pengobatan, seperti
lupa, ketakutan terhadap nilai glukosa darah, tingginya biaya pengobatan,
jumlah obat, jenis penyakit dan efektifitas pengobatan, kurangnya dukungan
sosial, depresi dan stres. Masalah ketidakpatuhan terhadap pemeriksaan kadar
glukosa darah pada penderita diabetes mellitus tipe 2 ini yang dapat menjadi
masalah yang serius karena dapat mengakibatkan tidak terkontrolnya kadar
glukosa darah, terjadi komplikasi, dan meningkatnya angka hospitalisasi.
Oleh karena itu penelitian ini sangatlah penting untuk mengetahui
gambaran pengetahuan dan kepatuhan pemeriksaan kadar glukosa darah pada
penderita diabetes mellitus tipe 2 dan diharapkan akan mendapat gamabaran
yang nantinya dijadikan intervensi selanjutnya dalam masalah kesehatan.
B. Variabel dan Definisi Operasional
1. Variabel
Variabel adalah karakteristik yang diamati yang mempunyai
variasi nilai dan merupakan operasionalisasi dari sutu konsep agar
dapat diteliti secara empiris atau ditentukan tingkatannya. Dalam
mengidentifikasi suatu variabel untuk diteliti, peneliti harus
memutuskan bagaimana menentukan variabel yang akan diukur.
Identifikasi variabel yang jelas akan memberikan petunjuk bagi suatu
proyek riset. Jadi segala sesuatu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian
ditarik kesimpulannya maka disebut sebagai suatu variabel.
Menurut Sujarweni (2014), variabel adalah suatu hal yang
berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari
sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut dan kemudian
ditarik kesimpulannya. Variabel ini berguna untuk mempersiapkan alat
dan metode pengumpulan data, mempersiapkan metode
analisis/pengolahan data untuk pengujian hipotesis.

2. Definisi Operasional
Menurutt Setiadi (2013), definisi operasional adalah penjelasan
semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian
secara operasional sehingga akhirnya mempermudah pembaca dalam
mengartikan makna penelitian, pada definisi operasional akan
dijelaskan secara padat mengenai unsur penelitian yang meliputi
bagaimana caranya menetukan variaber dan mengukur suatu variabel.
Tabel 3.1 Variabel dan Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala


. Operasional Ukur
1 Karakteristik Usia responden Kuesioner A Responden 1.30 – 49 tahun Ordinal
Responden yang terhitung yang mengisi 2.50 – 59 tahun
a. Usia dari sejak berisikan data kuesioner A 3.60 – 70 tahun
dilahirkan demografi yang berisi
sampai dengan data usia
ulang tahun responden
terakhir
b. Jenis Penafsiran dua Kuesioner A Responden 1. Laki – laki Nominal
Kelamin jenis kelamin yang mengisi 2. Perempuan
manusia yang berisikan data kuesioner A
ditentukan demografi yang berisi
secara biologis data usia
responden
c. Pendidikan Jenjang Kuesioner A Responden 1. SD Ordinal
pendidikan yang mengisi 2. SMP
formal yang berisikan data kuesioner A 3. SMA
telah demografi yang berisi 4. PT
diselesaikan data tingkat
responden pendidikan
responden
d. Pekerjaan Mata Kuesioner A Responden 1. Bekerja Ordinal
pencaharian yang mengisi 2. Tidak
yang dilakukan berisikan data kuesioner A Bekerja
secara rutin demografi yang berisi
sebagai upaya data
untuk pekerjaan
memenuhi responden
kebutuhan diri
dan keluarga
e. Mendapat Mendapat Kuesioner A Responden 1. Pernah Nominal
informasi informasi yang mengisi 2. Belum
mengenai berisikan data kuesioner A Pernah
kepatuhan demografi yang berisi
pemeriksaan informasi
kadar glukosa yang
darah didapatkan
oleh
responden
f. Sumber Segala hal yang Kuesioner A Responden 1. Media Cetak Nominal
Informasi dapat yang mengisi 2. Media
digunakan oleh berisikan data kuesioner A elektronik
seseorang demografi yang berisi 3. Petugas
sehingga informasi kesehatan
mengetahui yang 4. Masyarakat
tentang hal didapatkan umum
yang baru oleh
responden
mengenai
DM tipe II
g. Lama Lama Kuesioner A Responden 1. < 4 tahun Ordinal
Menderita terdiagnosa yang mengisi 2. > 4 tahun
DM DM tipe 2 yang berisikan data kuesioner A
dialami pasien demografi yang berisi
lama
menderita
DM oleh
responden
2 Pengetahuan Segala sesuatu Kuesioner B Memberikan 1. Baik: hasil Ordinal
klien Diabetes atau informasi yang kuesioner presentase
Mellitus yang responden berisikan data yang > 75%
terhadap ketahui tentang demografi berisikan 10 2. Cukup:
pemeriksaan kepatuhan, pertanyaan hasil
kadar glukosa tanda, dan dengan cara presentase
darah komplikasi responden 56 – 74%
pemeriksaan mengisi salah 3. Kurang:
kadar glukosa satu pilihan hasil
darah jawaban presentase
dengan tepat. < 55%
Benar: 1 (Arikunto,
Salah: 0 2006 dalam
buku
Budiman &
Agus,
2013)

3 Kepatuhan Perilaku yang Kuesioner C Responden 1. Kepatuhan Ordinal


pemeriksaan menunjukkan menggunaka mengisi tinggi bila
kadar glukosa sejauh mana n kuesioner kuesioner C skor < 6
darah penderita DM yang sudah yang berisi 2. Kepatuhan
tipe II baku menurut kepatuhan sedang bila
memeriksa skala delapan pemeriksaan skor total 6
kadar glukosa – item kadar glukosa -<8
darah untuk Morisky darah oleh 3. Kepatuhan
menunjang Medication responden rendah bila
kesembuhannya Adherence skor ≤ 8
(MMAS-8)
dengan
menjawab
pertanyaan
tentang
kepatuhan
pemeriksaan
kadar glukosa
darah dengan
memilih
jawaban (Ya
atau Tidak)
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
adalah metode penelitian deskriptif. Metode penelitian deskriptif yang
dilakukan untuk membuat deskripsi atau gambaran tentang suatu keadaan
yang terjadi didalam suatu populasi tertentu. Penelitian deskriptif adalah
penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai masing – masing variabel,
baik satu variabel atau lebih sifatnya independen tanpa membuat hubungan
atau perbandingan dengan variabel lain. Variabel tersebut dapat
menggambarkan secara sistematik dan akurat mengenai populasi atau
mengenai bidang tertentu (Sujarweni,2014)
Kelebihan dari penelitian deskriptif relatif mudah dilaksanakan, tidak
membutuhkan kelompok, kontrol atau pembanding, memperoleh banyak
informasi penting, dan dapat ditentukan apakah temuan yang diperoleh
membutuhkan penelitian lanjut atau tidak. Kekurangan dari penelitian
deskriptif ini, pengamatan pada subjek hanya satu kali, diibaratkan potret
hingga tidak dapat diketahui perubahan – perubahan yang terjadi dengan
berjalannya waktu, dan tidak dapat menentukan hubungan sebab – akibat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan
kepatuhan pemeriksaan kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus tipe
2, selanjutnya hasil penelitian ini dapat dijadikan data dasar untuk penelitian
selanjutnya. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data melalui
pertanyaan terstruktur atau kuesioner penelitian, setalah itu data mengenai
pengetahuan dan kepatuhan pemeriksaan kadar glukosa darah pada pasien
diabetes mellitus tipe 2 diolah dengan analisa dan perhitungan statistik
kemudian disimpulan dalam sebuah laporan karya tulis imiah.

B. Waktu dan Tempat Penelitian


1. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kalender
akademik dimulai pada tanggal 02 Agustus 2019 sampai dengan 09
Desember 2019.

Tabel 4.1
Waktu Penelitian
No. Kegiatan Waktu Pelaksanaan
1 Pembuatan proposal KTI 02 Agustus 2019 s/d 23 September
2019
2 Uji Proposal 26 September 2019 s/d 31
September 2019
3 Pengumpulan Data 23 Oktober 2019 s/d 28 Oktober
2019
4 Sidang Hasil KTI 04 November 2019 s/d 09 Juni 2019

2. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit PMI Kota Bogor
tepatnya di Poliklinik Penyakit Dalam. Adapun alasan pemilihan tempat
ini adalah karena Rumah Sakit PMI Kota Bogor merupakan salah satu
rumah sakit rujukan dan rumah sakit besar di Kota Bogor.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang
ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka
penelitiannya merupakan penelitian populasi (Arikunto,2010)
Populasi merupakan seluruh subjek (manusia, binatang, percobaan,
data laboraratorium, dll) yang diteliti dan memenuhi karakteristik yang
ditentukan (Riyanto,2011). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
pasien diabetes mellitus tipe 2 yang melakukan rawat jalan di Poliklinik
Penyakit Dalam Rumah Sakit PMI Kota Bogor.

2. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Elfindri, 2011). Pada
penelitian ini yang akan dijadikan sampel penelitian adalah pasien
diabetes mellitus tipe 2 yang melakukan rawat jalan di Poliklinik
Penyakit Dalam Rumah Sakit PMI Kota Bogor yang sampelnya sebagai
berikut:
a. Jumlah sampel yang dihitung berdasarkan rumus perhitungan
sampel minimal
b. Kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan peneliti
c. Teknik yang akan dipakai dalam pengambilan sampel
Dibawah ini akan dijelaskan mengenai jumlah sampel, kriteria
sampel, dan teknik yang akan dipakai, yaitu sebagai berikut:
a. Jumlah sampel
Menurut Notoatmodjo (2012) jumlah sampel penelitian
tergantung pada dua hal yaitu pertama, adanya sumber – sumber
yang dapat digunakan untuk menentukan batas maksimal dati
besarnya sampel. Kedua, kebutuhan dari rencana analisis yang
menentukan batas minimal dari besarnya sampel. Dalam
menghitung minimum besarnya sampel yang dibutuhkan bagi
ketepatan dalam membuat perkiraan atau estimasi proporsi,
maka perlu diketahui perkiraan proporsi untuk sifat tertentu yang
terjadi dalam populasi, presisi atau derajat ketetapan yang
diinginkan.
Untuk menghitung jumlah sampel peneliti menggunakan rumu
sebagai berikut:

Skema 4.1 Rumus Jumlah Sampel

Z 1−α x P(1−P)
n=
d

Keterangan:
n = Besar sampel
Z1- α = Nilai Z pada derajat kepercayaan 1 – α, dengan
derajat kemaknaan / α tertentu
Α 1% 5% 10%
Z1- α 2.57 1.96 1.64
P = Proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi, bila
tidak diketahui proporsinya, ditetapkan 50% (0.50)
D =Derajat penyimpangan terhadap populasi yang
diinginkan 10% (0.10), 5% (0.05) atau 1% (0.01)

Menurut data statistik dari Poli Penyakit Dalam


menunjukkan bahwa pasien Diabetes Mellitus yang melakukan
rawat jalan di Poli Penyakit Dalam pada tiga bulan pasien
dengan prevalensi terus meningkat, peneliti menggunakan
tingkat kepercayaan 5% dan presisi 1%. Berdasarkan rumus
diatas, maka:
Tingkat kepercayaan 95% Z1- α = 1.96%
Presisi d = 1% (0.01)
Perkiraan proporsi P = 50 % (0.50)
Z 1−α x P (1−P)
n=
d
1.96 x 0.50(1−0.50)
n=
0.01
0.98 x 0.5
n=
0.01
0.49
n=
0.01
n = 49 orang

Untuk mengantisipasi kemungkinan subjek terpilih yang


drop out, loss to follow up atau subjek yang tidak taat
(Sostroasmoro, 2010). Maka perlu dilakukan koreksi terhadap
jumlah sampel yang dihitung, dengan menambah jumlah subjek
agar besar sampel tetap terpenuhi. Untuk itu tersedia formula
sederhana untuk penambahan subjek sebagai berikut:
Skema Formula Drop Out
n
n’ =
(1−f )
Keterangan:
n’ = Besar sampel yang akan dihitung
n = Besar sampel yang dihitung
f = Perkiraan proporsi drop out (10% atau 0.10)

Berdasarkan keterangan diatas, maka diperoleh hasil sebagai


berikut:
Antisipasi drop out:
n
n’ =
(1−f )
49
n’ =
(1−0.10)
49
n’ =
0.9

n’ = 54.4 = 54 orang

Berdasarkan hasil perhitungan diatas, jumlah sampel


minimal yang didapatkan adalah 49 responden dan ditambah
dengan drop out menjadi 54 responden. Sehingga pengambilan
sampel berdasarkan pembagian pasien diabetes mellitus tipe 2
yang menjalani rawat jalan di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah
Sakit PMI Kota Bogor sebanyak 54 orang.
b. Kriteria Sampel
Dalam penelitian, agar karakteristik sampel tidak
menyimpang dari populasinya, maka sebelum dilakukan
pengambilan sampel perlu ditentukan kriteria (Notoatmodjo,
2010). Kriteria sampel meliputi kriteria inklusi dan kriteria
ekslusi, dimana kriteria itu menentukan dapat dan tidaknya
sampel tersebut digunakan (Hidayat, 2013)
a) Kriterian Inklusi
Kriteria inklusi merupakan karakteristik umum subjek
penelitian dari suatu populasi target dan terjangkau yang
akan diteliti (Setiadi, 2013). Kriteria dimana subjek
penelitian mewakili sampel penelitian yang memenuhi
syarat sebagai sampel (Hidayat,2013).
Kriteria inklusi dalam penelitian adalah pasien diabetes
mellitus tipe 2 yang berobat jalan di poliklinik penyakit
dalam RS PMI Kota Bogor.
1) Mampu berkomunikasi dengan baik
2) Bersedia menjadi responden
3) Responden berusia ≥ 40 tahun
4) Responden yang masih bisa beraktivitas fisik secara
normal
b) Kriteria Eksklusi
Kriteria ekslusi (krteria yang tidak layak diteliti)
adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek yang
memenuhi kriteria inklusi (setiadi, 2013). Kriteria ekslusi
pada penelitian ini adalah:
1) Terdapat keadaan atau penyakit yang mengganggu,
seperti: gangguan penglihatan dan gangguan
pendengaran
2) Responden menolak berpartisipasi
3) Responden yang menggunakan alat bantu berjalan
(kruk, kursi, roda)
c. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Non Probability Sampling yaitu
pengambilan sampel bukan secara acak atau non random. Teknik
pengambilan ini terdiri atas berbagai jenis, yakni: Purposive
Sampling, Accidental Sampling. Dan Quota Sampling
(Notoatmodjo, 2010). Teknik yang digunakan peneliti yaitu
teknik Purposive Sampling, didasarkan pada suatu pertimbangan
tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri. Berdasarkan sifat –
sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo,
2010).
Teknik pengambilannya dimulai dari pasien diabetes
mellitus tipe 2 yang datang ke Poliklinik Penyakit Dalam RS
PMI Kota Bogor pada hari pengumulan data penelitian. Peneliti
mengidentifikasi pasien berdasarkan kriteria inklusi yang telah
ditetapkan. Pasien yang memenuhi kriteria akan ditetapkan
sebagai responden dalam penelitian. Selanjutnya, peneliti
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian terhadap responden
tersebut. Responden mendatangani informed consent kemudian
peneliti melakukan wawancara dengan menggunakan quesioner.

D. Pengumpulan Data
1. Instrumen Penelitian
2. Teknik Pengumpulan Data
3. Prosedur Penelitian
E. Pengolahan Data
F. Analisa Data
G. Interpretasi Data

Anda mungkin juga menyukai