Anda di halaman 1dari 15

TATALAKSANA KOMPREHENSIF SEORANG PASIEN DIABETES

MELITUS DENGAN PENYAKIT ARTERI PERIFER


Samudra Andi Yusuf
Deasy Ardiany

PENDAHULUAN

Diabetes melitus saat ini menjadi salah satu ancaman kesehatan global. Berbagai
penelitian epidemiologi menunjukkan adanya peningkatan angka insidensi dan prevalensi
DM tipe 2 secara global. Badan kesehatan dunia WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien
DM Tipe 2 di Indonesia mencapai lebih dari 2 kali lipat (dari 8,4 juta pada tahun 2000
menjadi sekitar 21,3 pada tahun 2030). International Federation of Diabetes (IDF)
memprediksi pada tahun 2019 -2030 akan terjadi peningkatan jumlah penderita DM dari 10,7
juta menjadi 13,7 juta pada tahun 2030 (Soelistijo SA, 2021).

Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) yang dilaksanakan pada tahun 2018


menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter
pada umur ≥ 15 tahun sebesar 2%. Persentase ini menunjukkan peningkatan dibandingkan
prevalensi diabetes mellitus pada penduduk ≥ 15 tahun pada hasil Riskesdas 2013 sebesar
1.5% (KEMENKES, 2019).

Komplikasi pada diabetes melitus secara garis besar terbagi menjadi 2 yaitu
komplikasi makrovaskular dan komplikasi mikrovaskular. Komplikasi makrovaskular
umumnya mengenai jantung, otak dan pembuluh darah. Sedangkan komplikasi
mikrovaskular dapat terjadi pada mata dan ginjal. Salah satu komplikasi makrovaskular yang
dapat terjadi pada penderita DM adalah penyakit arteri perifer (PAP). Penyakit arteri perifer
(PAP) merupakan kondisi dimana terjadi sumbatan pada aliran darah ke tungkai atau tangan
akibat penyempitan pembuluh darah yang berasal dari jantung. Individu dengan DM
mempunyai 4 kali risiko lebih besar untuk terkena PAP dan kematian dibandingkan dengan
individu tanpa riwayat DM. Bersamaan dengan penurunan kualitas hidup, penderita DM
dengan PAP juga berisiko untuk terjadinya disabilitas dan gangguan fungsi untuk
menjalankan aktivitas sehari-hari (Soelistijo SA, 2021). Salah satu penyebab disabilitas yang
banyak ditemui pada pasien DM dengan PAP adalah amputasi dimana prevalensi amputasi
kaki pada penderita DM dengan PAP sekitar 25% (Perez-Panero AJ, 2019).

Laporan Kasus Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 26 Juli 2023
Saat ini kejadian PAP masih sering tidak terdiagnosis karena sebagian besar tidak
menimbulkan gejala sehingga perlu deteksi dini. Selain itu, PAP menimbulkan morbiditas
dan mortalitas yang tinggi sehingga diperlukan penatalaksanaan yang komprehensif pada
pasien DM dengan PAP yang akan dibahas pada laporan kasus kali ini.

ILLUSTRASI KASUS

Seorang wanita berinisial Ny. SS usia 72 tahun datang ke RSUD Dr. Soetomo dengan
keluhan nyeri pada ibu jari kaki kanan dan jari kelingking kaki kiri sejak 2 bulan sebelum
masuk rumah sakit.

Pasien merupakan rujukan dari RS Soewandi dengan diagnosis diabetes melitus tipe
2, post koma hipoglikemia akibat low intake karena muntah-muntah, gangrene pedis digiti I
sinistra dan digiti V dextra dan riwayat hipertensi stage II INASH 2021. Sebelumnya pasien
sempat dirawat selama 3 hari di RS Soewandi karena mengalami penurunan kesadaran akibat
hipoglikemia. Saat datang ke IGD RSUD Dr. Soetomo pasien sudah sadar dan mengeluh
nyeri pada ibu jari kaki kanan, jari kelingking kaki kiri sampai ke daerah betis sejak 2 bulan
sebelum masuk rumah sakit. Nyeri awalnya dirasakan saat pasien beraktivitas saja, akan
tetapi sejak 1 minggu terakhir keluhan nyeri dirasakan terus menerus dan semakin memberat
disertai kemerahan pada ibu jari kaki kiri. Pasien juga mengeluh terdapat luka pada
kelingking kaki kanan yang disertai nyeri, kesemutan pada kedua kaki, disertai tebal pada
kedua tungkai sejak 1 bulan terakhir sebelum masuk rumah sakit. Sejak 2 minggu terakhir
jempol kiri pasien dan jari kelingking kanan pasien menghitam, nyeri dan terasa baal.
Keluhan lain pasien juga mengeluh rasa haus dan lapar meningkat. Pasien juga mengeluh
muntah-muntah sejak 5 hari terakhir, frekuensi muntah 4-5 kali, muntah berisi makanan,
volume muntah setengah gelas kecil.

Pada riwayat penyakit dahulu pasien mempunyai riwayat diabetes melitus sejak 25
tahun yang lalu dan riwayat hipertensi namun tidak teratur minum obat.

Pada riwayat pengobatan pasien saat ini rutin mendapatkan obat anti diabetik
glimepiride 2 mg OD dan metformin 500 mg TID sejak kurang lebih 20 tahun terakhir. Sejak
2 tahun terakhir pasien mulai menggunakan insulin glargine 8-unit OD di malam hari.

Laporan Kasus Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 26 Juli 2023
Pada riwayat sosial pasien sehari-harinya bekerja sebagai ibu rumah tangga dan
jarang melakukan aktivitas fisik. Sehari-harinya pasien sering mengkonsumsi makanan manis
dan gorengan. Riwayat merokok disangkal

Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan keadaan umum lemah, kesadaran


kompos mentis, tekanan darah 170/98 mmHg, nadi 104 kali per menit, saturasi oksigen 96%
udara bebas, pernafasan 20 kali per menit, berat badan 65 kg, tinggi badan 160 cm dan IMT
25,3 kg/m2 (Overweight). Pada pemeriksaan kepala dan leher tidak didapatkan konjungtiva
anemis, sklera ikterik, dyspnea maupun sianosis. Pada auskultasi paru didapatkan suara nafas
vesikuler di paru kanan dan kiri, tidak didapatkan ronki maupun wheezing. Pada pemeriksaan
jantung didapatkan bunyi jantung I dan II regular. Tidak didapatkan murmur maupun gallop.
Pada pemeriksaan status generalis pedis sinistra didapatkan nekrotik digiti I disertai nyeri dan
hiperemis. Pada pemeriksaan status generalis pedis dextra didapatkan nekrotik digiti V,
hiperemis disertai nyeri. Tidak didapatkan krepitasi pada hasil pemeriksaan pedis dextra dan
sinistra. Pada pemeriksaan status vaskular ekstremitas inferior didapatkan palpasi dextra dan
sinistra: pulsasi arteri femoralis dextra masih teraba kuat sedangkan pulsasi arteri femoralis
sinistra teraba lemah, pulsai arteri poplitea dextra dan sinistra teraba lemah, pulsasi arteri
tibialis posterior bilateral dan arteri dorsalis pedis bilateral sulit di evaluasi. Dari pemeriksaan
sensoris ekstremitas inferior dextra dan sinistra dalam batas normal, motorik extremitas
inferior bilateral masih baik, saturasi digiti I sampai dengan digiti IV 98%, digiti V sulit di
evaluasi, perabaan kedua tungkai hangat, ankle brachial index (ABI) 0,8/0,6. Pada
pemeriksaan dengan menggunakan USG doppler: flow arteri femoralis dextra dan sinistra
dalam batas normal, flow arteri poplitea dextra dan sinistra dalam batas normal, flow arteri
tibialis posterior dextra dalam batas normal sedangkan flow arteri tibialis posterior sinistra
tidak tervisualisasi dan flow di arteri dorsalis pedis bilateral tidak tervisualisasi.

Hasil pemeriksaan laboratorium saat perawatan hari pertama di RSUD Dr. Soetomo
menunjukkan hasil Hb 9 g/dl, hematokrit 28.7%, leukosit 12.600 sel/mm 3, trombosit
446.000/mm3, neutrophil 62.1%, limfosit 25.6%, MCV 84.9 fL, MCH 27.1 pg, albumin 2.7
g/dl, BUN 15 mg/dl, kreatinin 2.0 mg/dl, glukosa darah acak 447 mg/dl, natrium 133
mmol/L, kalium 3.6 mmol/L. Hasil pemeriksaan urinalisa lengkap menunjukkan adanya
glucosuria +2, proteinuria +2 dan albumin: creatinine ratio 80 mg/g Cr. Tidak didapatkan
adanya benda keton pada urine.

Laporan Kasus Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 26 Juli 2023
Hasil pemeriksaan rontgen thorax didapatkan kardiomegali disertai aterosklerosis dan
peradangan paru. Pada pemeriksaan EKG didapatkan: irama sinus takikardia dengan denyut
nadi 106 kali per menit regular.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, diagnosis


utama pada pasien ini adalah diabetes melitus tipe 2. Sedangkan diagnosis tambahan pada
pasien ini adalah : post hipoglikemia akibat low intake + hipertensi stage 2 INASH 2021 +
penyakit arteri perifer di ekstremitas inferior bilateral klasifikasi Rutherford grade 3 kategori
5 + gangrene pedis digiti I dextra dan digiti V sinistra + hipoalbuminemia + acute on chronic
kidney disease stage 4 (e-GFR 23 ml/min/1,73) + anemia normokromik normositer.

Rencana tatalaksana pasien selama perawatan diruangan antara lain adalah sebagai
berikut : (1) diet B3 2100 kkal/hari, (2) cairan dengan NaCl 0.9% 1000 ml setiap 24 jam, (3)
kombinasi antibiotik dengan seftriakson 1 gram IV BID dan metronidazole 500 mg IV TID,
(4) kontrol glukosa darah dengan kombinasi insulin aspart 4 unit subkutan setiap sebelum
makan dan insulin glargine 8 unit OD pada malam hari, (5) transfusi darah packed red cells
(PRC) 1 unit (6) transfusi albumin 20% 100 ml, (7) obat anti hipertensi dengan kombinasi
nifedipine GITS 30 mg OD dan lisinopril 10 mg OD, (8) pemberian anti platelet dengan
cilostazol 100 mg per oral BID, (9) sodium berraprost 20 mg per oral TID dan (10) injeksi
tramadol IV 100 mg BID bila nyeri. Pasien direncanakan pemeriksaan CT angiography pada
ekstremitas inferior untuk penegakkan diagnosis PAP. Selain itu, pasien direncanakan untuk
pemeriksaan kultur darah dan dasar luka, pemeriksaan glukosa darah serial untuk
penyesuaian dosis insulin. Pasien di rawat bersama dengan departemen bedah thorax &
kardiovaskular untuk penanganan PAP, gangrene pedis dan pertimbangan untuk dilakukan
tindakan revakularisasi.

Pada perawatan hari pertama, pasien mengeluh lemas, sedikit pusing, asupan makan
pasien berkurang karena mual. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan stabil. Hasil
evaluasi glukosa darah puasa di pagi hari didapatkan hipoglikemia dengan kadar gula darah
30 mg/dl sehingga dilakukan koreksi dengan glukosa 40% 75 ml IV dilanjutkan infus
Dextrosa 5% 1000 ml per 24 jam. Hasil evaluasi GDA 15 menit setelah pemberian glukosa
40% 75 ml IV adalah 50 mg/dl sehingga diberikan lagi glukosa 40% IV 25 ml. Pada saat 1
jam kemudian glukosa darah menunjukkan hasil 443 mg/dl sehingga infus diganti dengan
NaCl 0.9% 1000 ml per 24 jam dan dilakukan regulasi cepat insulin dengan injeksi aspart 4-
unit IV sebanyak 3 kali. Pasien direncanakan untuk dievaluasi kembali GDA 3 jam

Laporan Kasus Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 26 Juli 2023
kemudian. Sekitar 3 jam kemudian koreksi cepat insulin telah mencapai target dengan hasil
GDA 233 mg/dl.

Pada perawatan hari ketiga, keluhan nyeri pada jari jempol kaki kanan dan betis sudah
lebih berkurang. Pada pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah masih tinggi
140/80 mmHg, denyut nadi meningkat 101x/menit. Hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukkan hemoglobin meningkat dari 8.5 g/dl menjadi 10.7 g/dl setelah dilakukan
transfusi PRC 1 kolf. Pada pemeriksaan albumin didapatkan penurunan dari 2.70 g/dl
menjadi 2.56 g/dl. Pada pemeriksaan fungsi renal didapatkan hasil serum kreatinin membaik
dari 2.0 mg/dl menjadi 1.5 mg/dl. Pada pemeriksaan serum elektrolit didapatkan penurunan
kadar kalium yaitu 2.8 mmol/L. Hasil gula darah puasa pasien sekitar 100 mg/dl. Perubahan
terapi yang dilakukan adalah mengganti terapi cairan NaCl 0.9% 1000 ml per 24 jam dengan
2 vial KCL (25 meq) dalam NaCl 0.9% 500 ml per 24 jam, KSR tablet 600 mg TID dan
menambahkan VIP Albumin 2 caps TID.

Kesimpulan dari hasil CT Angiografi didapatkan tidak tampak kontras mengisi arteri
tibialis posterior kanan hingga cabang di distalnya dengan jarak +/- 1.5 cm dari bifurcation
arteri tibialis kanan. Stenosis arteri tibialis posterior kiri setinggi bifurcation arteri tibialis kiri.
Aortosclerosis dan arteriosclerosis. Pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan elektif
percutaneous transluminal angioplasty dan bila perlu dipasang stent.

Pada perawatan hari ketujuh, pasien mengeluh nyeri di jari jempol kaki kanan dan
terkadang kesemutan. Pada pengukuran tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah masih
tinggi 150/93 mmHg sehingga dosis Nifedipine GITS dinaikkan menjadi 30 mg per oral BID
dan lisinopril 10 mg per oral OD. Pada pemeriksaan laboratorium evaluasi didapatkan
leukositosis membaik dari 13.140 menjadi 11.000 setelah pemberian injeksi seftriakson dan
metronidazole hari ketujuh. Pada pemeriksaan fungsi ginjal didapatkan serum kreatinin juga
membaik dari 1.3 mg/dl menjadi 1.2 mg/dl. Albumin meningkat dari 2.56 g/dl menjadi 3.0
g/dl setelah diberikan VIP albumin. Hipokalemia juga telah terkoreksi dari 2.8 mmol/L
menjadi 4.30 mmol/L sehingga pemberian KCL premix dan KSR tablet dihentikan. Hasil
monitoring gula darah puasa 342 mg/dl dan hasil GD pre meal didapatkan 90 mg/dl. Hasil
profil lipid pasien menunjukkan: (1) kolesterol total 144 mg/dl, (2) HDL 45 mg/dl, (3) LDL
78 mg/dl dan (4) Trigliserida 110 mg/dl. Pasien direncanakan untuk dilakukan percutaneous
transluminal angiography dan stent bila perlu pada tanggal 16 Februari 2023. Perubahan
terapi yang diberikan kepada pasien adalah injeksi glargine dari 12-unit subkutan OD

Laporan Kasus Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 26 Juli 2023
menjadi 16-unit subkutan OD pada malam hari. Pasien juga diberikan simvastatin 20 mg per
oral karena LDL pasien belum mencapai target yaitu <70 mg/dl

Pada perawatan hari kedelapan, pasien dilakukan tindakan arteriografi dan


percutaneous transluminal angiography. Pada saat dilakukan tindakan didapatkan total oklusi
pada common femoral artery sinistra sehingga hanya dapat dilakukan ballooning pada
common femoral artery. Pada anamnesis pasien mengeluh nyeri cekot-cekot pada ujung jari
kaki kiri setelah tindakan arteriografi dan percutaneous transluminal angiography (PTA).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah telah mencapai target setelah diberikan
nifedipine GITS 30 mg BID dan lisinopril 10 mg OD yaitu 130/91 mmHg. Profil gula darah
puasa pre tindakan didapatkan 100 mg/dl sehingga dosis insulin basal dipertahankan.

Pada perawatan hari kesembilan, keluhan nyeri membaik dan pada lokasi bekas
insersi kateterisasi tidak didapatkan bengkak. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Hasil
GDP 122 mg/dl. Oleh karena kondisi pasien membaik dan pasien belum setuju untuk
dilakukan amputasi, pasien di rencanakan untuk pulang dari rumah sakit dan melanjutkan
pengobatan lewat rawat jalan.

PEMBAHASAN

Penyakit arteri perifer (PAP) merupakan gangguan sirkulasi yang menyebabkan


penurunan aliran darah yang melewati arteri. Pada sebagian besar kasus PAP, plak
atherosclerosis menyempitkan lumen pembuluh darah arteri yang menghambat aliran darah
ke ekstremitas bagian bawah. Penurunan aliran darah dapat menyebabkan nyeri pada paha
atau betis saat berjalan akibat iskemia dari otot-otot kaki saat aktivitas (Zemaitis MR, 2022).

Saat datang ke IGD RSUD Dr. Soetomo pasien mengeluh nyeri pada ibu jari kaki
kanan, jari kelingking kaki kiri sampai ke daerah betis sejak 2 bulan sebelum masuk rumah
sakit. Nyeri awalnya dirasakan saat pasien beraktivitas saja, akan tetapi sejak 1 minggu
terakhir keluhan nyeri dirasakan terus menerus dan semakin memberat disertai kemerahan
pada ibu jari kaki kiri.

Pasien dengan kecurigaan kearah PAP biasanya datang dengan keluhan nyeri pada
PAP yang muncul saat beraktivitas atau disebut dengan claudicatio intermittent. Adanya
faktor risiko penyakit lain seperti diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia disertai riwayat
kebiasaan merokok meningkatkan kemungkinan seseorang untuk menderita PAP (Wennberg
PW, 2013).
Laporan Kasus Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 26 Juli 2023
Nyeri awalnya dirasakan saat pasien beraktivitas saja, akan tetapi sejak 1 minggu
terakhir keluhan nyeri dirasakan terus menerus dan semakin memberat disertai kemerahan
pada ibu jari kaki kiri. Pada riwayat penyakit dahulu pasien mempunyai riwayat diabetes
melitus sejak 25 tahun yang lalu dan riwayat hipertensi namun tidak teratur minum obat.
Pada riwayat sosial pasien menyangkal adanya riwayat sebagai perokok.

Kecurigaan terhadap PAP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik perlu


dilanjutkan dengan pemeriksaan diagnostik sebagai upaya penegakkan diagnosis. Salah satu
pemeriksaan non invasif yang paling mudah untuk dikerjakan adalah pengukuran ankle
brachial index (ABI). ABI disarankan untuk diukur pada praktek klinis sehari-hari pada
kondisi berikut : (1) pasien dengan kecurigaan klinis kearah PAP dimana didapatkan keluhan
claudicatio intermittent atau tidak terabanya pulsasi nadi pada ekstremitas interior dan/atau
terdapat arterial bruit, (2) pasien-pasien dengan risiko terjadinya PAP akibat penyakit
atherosklerotik seperti penyakit jantung coroner dan kondisi lainnya seperti aneurisma aorta
abdominal, penyakit ginjal kronik dan gagal jantung, (3) individu yang tidak bergejala namun
mempunyai risiko terjadinya PAP yaitu pria dan wanita berusia >65 tahun, pria dan wanita
berusia >65 tahun yang mempunyai risiko kardiovaskular tinggi berdasarkan guidelines ESC
dan pria dan wanita berusia >50 tahun dengan riwayat keluarga PAP. Nilai ABI ≤ 0.90
diasosiasikan dengan 2-3 peningkatan risiko total kematian akibat kejadian kardiovaskular.
Nilai ABI >1.40 merepresentasikan kekakuan arteri (kalsifikasi arteri medial) dan juga
berkaitan dengan peningkatan angka kejadian dan risiko kematian akibat kardiovaskular.
Nilai ABI >1.40 lebih sering terjadi pada pasien usia tua, sebagian besar pada pasien diabetes
mellitus atau penyakit ginjal kronik (Aboyans V, 2017).

Gambar 1. Interpretasi nilai Ankle Brachial Index (Soyoye DO, 2021)

Laporan Kasus Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 26 Juli 2023
Pada pemeriksaan ankle brachial index didapatkan ABI kanan 0.8 dan ABI kiri 0.6.
Berdasarkan interpretasi hasil ABI, pada tungkai kanan didapatkan PAP derajat ringan
sedangkan tungkai kiri didapatkan PAP derajat sedang.

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis PAP adalah
duplex ultrasound (DUS). Pemeriksaan duplex ultrasound (DUS) dapat memberikan
informasi anatomi dan aliran darah (hemodinamik) pada arteri. Indikasi utama pemeriksaan
DUS adalah untuk mendeteksi stenosis atau oklusi arteri perifer dengan kecurigaan yang
berkaitan dengan PAP, termasuk nyeri kaki ketika aktivitas, diagnosis klaudikasio intermiten,
tidak adanya pulsasi distal dan ulkus yang tidak kunjung membaik. Kelemahan dari DUS
adalah pemeriksaanya sangat tergantung dari keahlian operator dan DUS tidak dapat
memberikan gambaran penuh secara jelas dari arterial bila dibandingkan dengan Computed
Tomography Angiography (CTA), Digital Substraction Angiography (DSA) dan Magnetic
Resonance Angiography (MRA) (Zubair A, 2023).

Baku emas untuk menegakkan diagnosis PAP saat ini adalah dengan Computed
Tomography Angiography (CTA). Keuntungan memilih CTA sebagai alat diagnostik untuk
PAP diantaranya adalah CTA merupakan metode diagnostic yang non invasif namun dapat
memberikan resolusi gambar yang tinggi dan juga 3 dimensi. Selain itu, CTA dapat
memberikan peta vaskularisasi yang bermanfaat untuk strategi intervensi (lokalisasi lesi dan
derajat keparahan). Kelemahan dari CTA adalah paparan terhadap radiasi dan zat kontras,
sehingga modalitas ini tidak bisa digunakan pada pasien dengan gangguan ginjal kronik.
Nefrotoksisitas dapat dikurangi dengan mengurangi volume zat kontras dan memastikan
hidrasi yang adekuat sebelum dan setelah pemeriksaan CTA dilakukan (Radha T, 2020).

Kesimpulan dari hasil CT Angiografi didapatkan tidak tampak kontras mengisi


a.tibialis posterior kanan hingga cabang di distalnya dengan jarak +/- 1.5 cm dari
bifurcation a.tibialis kanan. Stenosis a.tibialis posterior kiri setinggi bifurcation a.tibialis
kiri. Aortosclerosis dan arteriosclerosis

Berdasarkan The American College of Cardiology/American Heart Association


Practice Guidelines PAP dikelompokkan kedalam empat kategori: asimtomatik, klaudikasio,
iskemia tungkai kritis (CLI) dan iskemia tungkai akut (ALI). Iskemia ekstremitas kritis
didefinisikan oleh nyeri istirahat iskemik kronis, nyeri terlentang di malam hari, atau lesi
kulit iskemik yang mungkin termasuk ulkus atau gangren. Gejala biasanya muncul selama ≥

Laporan Kasus Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 26 Juli 2023
2 minggu. Sedangkan ALI mengacu pada pasien dengan penurunan perfusi ekstremitas secara
tiba-tiba yang menyebabkan ancaman langsung terhadap viabilitas ekstremitas. Presentasi
umumnya muncul < 2 minggu terakhir. Keluhan pasien ALI dapat disingkat dengan "6 Ps"
yaitu pain (nyeri), paralysis (kelumpuhan), parestesia, pulseless (tidak berdenyut),
poikilothermia, dan pallor (pucat). Rutherford membagi klasifikasi PAP menjadi iskemia
tungkai akut (ALI) dan juga iskemia tungkai kronik (CLI). Tabel dibawah berikut merupakan
klasifikasi CLI berdasarkan Rutherford’s (Hardman R, 2014).

Gambar 2. Klasifikasi Rutherford untuk Iskemia Tungkai Kronik

Pada laporan kasus didapatkan PAP pasien termasuk dalam klasifikasi Rutherford
grade 3 kategori 5 dikarenakan terdapat keluhan nyeri tungkai pada saat istirahat sejak 1
minggu terakhir dan gangrene pada pedis I sinistra dan pedis V dextra.

Target tatalaksana pasien PAP dengan DM adalah untuk meningkatkan aliran darah
pada kasus yang simptomatik dan melakukan tatalaksana faktor risiko vaskular dan
komorbid. European Society of Cardiology (ESC) dan American College of Cardiology
(ACC) merekomendasikan kepada pasien PAP dengan DM untuk berhenti merokok,
melakukan aktivitas fisik, menjaga berat badan ideal, kontrol tekanan darah <130/80, LDL
<70 dan HbA1c <7% (Rajan R, 2022).

Pada laporan kasus didapatkan riwayat sosial pasien sebagai ibu rumah tangga
sehingga jarang melakukan aktivitas fisik. BMI 25,3 kg/m 2 (Overweight) dengan berat badan

Laporan Kasus Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 26 Juli 2023
65 kg dan tinggi badan 160 cm. Tekanan darah pasien dapat mencapai kontrol saat pasien
dipulangkan yaitu 125/80 mmHg dengan kombinasi dua obat anti hipertensi Nifedipine GITS
30 mg per oral dan lisinopril 10 mg per oral. LDL pasien masih sedikit lagi dari target LDL
yang seharusnya. HbA1c saat awal diperiksa 8.2% akan tetapi pada saat dilakukan
pemeriksaan HbA1c kondisi pasien sedang dalam keadaan anemia sehingga hasilnya tidak
valid.

Latihan fisik yang teratur menurunkan frekuensi gejala claudicatio intermittent dan
juga meningkatkan kualitas hidup sekaligus menurunkan risiko terjadinya kejadian
kardiovaskular. ESC merekomendasikan jogging atau jalan santai selama minimal 30 menit,
3 kali dalam seminggu. Randomized controlled trials (RCT) pada 493 pasien dengan PAP
menunjukkan jalan santai / jogging dirumah dapat meningkatkan kemampuan berjalan pasien
dan juga meningkatkan 6-min walking test lebih signifikan dibandingkan latihan jogging
dengan treadmill yang disupervisi (Soyoye DO, 2021).

Terapi dengan statin intensitas tinggi juga direkomendasikan pada seluruh pasien
dengan PAP. Studi klinis observasional dan RCT menunjukkan bahwa terapi statin
menurunkan angka kematian pada pasien-pasien DM dengan PAP. Target LDL kolesterol
pada pasien DM dengan PAP adalah 70 mg/dl atau menurunkan ≥ 50% apabila nilai
baselinenya berada dikisaran (70-135 mg/dl). Apabila dengan penggunaan statin dosis
maksimal target LDL masih belum bisa tercapai oleh karena itu dapat ditambahkan dengan
penggunaan ezetimibe (Gerhard-Herman, M.D., 2016).

Pada kasus statin yang diberikan adalah statin golongan intermediate yaitu
simvastatin 20 mg / 24 jam diminum satu kali sehari pada malam hari.

Terapi dengan antiplatelet tunggal diindikasikan pada semua pasien dengan


simptomatik PAP dan pada pasien yang telah menjalani revaskularisasi. Agen antiplatelet
efektif dalam mencegah kejadian kardiovaskular dan komplikasi akibat iskemia pada tungkai.
Pada analisa post hoc CAPRIE (Clopidogrel vs Aspirin pada pasien dengan risiko kejadian
iskemik) menunjukkan bahwa pada 6542 pasien dengan gejala nyeri ekstremitas bawah
dalam 3 tahun kedepan, clopidogrel lebih superior dalam menurunkan angka kematian akibat
kardiovaskular (hazard ratio (HR) 0.76 (95% CI: 0.64 – 0.91) dan menurunkan risiko
kejadian kardiovaskular (hazard ratio 0.78 (95% CI: 0.64 -0.91). Oleh karena itu, clopidogrel
merupakan pilihan utama antiplatelet pada pasien dengan PAP (Soyoye DO, 2021).

Laporan Kasus Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 26 Juli 2023
Penghambat phosphodiesterase oral tipe III, cilostazol bermanfaat dalam mangurangi
keluhan akibat klaudikasio intermiten. Cilostazol menghambat agregasi platelet dan
menyebabkan vasodilatasi. Hasil penelitian RCT menunjukkan peningkatan jarak tempuh
jalan dan kualitas hidup dengan penggunaan cilostazol (Kalantzi K, 2020).

Pada kasus agen anti-platelet yang diberikan kepada pasien adalah cilostazol 100
mg per oral setiap 12 jam sekali dikombinasi dengan sodium berraprost 20 mg setiap 8 jam
sekali. Pertimbangan clopidogrel tidak diberikan sebagai agen anti platelet bisa disebabkan
karena efek samping cilostazol yang lebih minimal terhadap gastrointestinal dibandingkan
dengan clopidogrel.

Kendali kadar glukosa darah yang baik menurunkan risiko terjadinya komplikasi
mikrovaskular dan makrovaskular pada pasien DM. Parameter bahwa DM sudah terkendali
apabila didapatkan hasil pemeriksaan HbA1c <7%. Apabila saat awal diperiksa hasil HbA1c
<7.5% maka dapat diberikan monoterapi dengan metformin sebagai pilihan utama jika tidak
didapatkan kontraindikasi (Achim A, 2022). Kemudian, apabila hasil follow up HbA1c
setelah 3 bulan pemberian metformin hasilnya masih >7.5%, maka dapat diberikan
kombinasi obat anti diabetic (OAD) tambahan yang mempunyai mekanisme kerja berbeda
dengan metformin. Namun, apabila didapatkan pada saat awal diperiksa hasil HbA1C >9%
disertai gejala klinis, maka dapat diberikan langsung terapi insulin (Soelistijo SA, 2021).

Riwayat pengobatan pasien saat ini rutin mendapatkan obat anti diabetik glimepiride
2 mg setiap 24 jam sekali pada pagi hari dan metformin 500 mg setiap 8 jam sekali.
Kemudian sejak 2 tahun terakhir pasien juga mulai menggunakan insulin injeksi glargine 8
unit dimalam hari namun saat dilakukan pemeriksaan glukosa darah acak di IGD masih
didapatkan hasil yang tinggi yaitu 447 mg/dl. Kemudian pada pemeriksaa fisik dan hasil
pemeriksaan laboratorium awal juga didapatkan stress metabolik dimana terdapat gangrene
pedis dextra et sinistra dan peningkatan kadar serum kreatinin 2.0 mg/dl. Selain itu pasien
juga direncanakan untuk dilakukan tindakan percutaneous transluminal angioplasty
sehingga regulasi gula darah perlu dilakukan segera dengan menggunakan insulin.

ESC / European Society of Hypertension merekomendasikan target tekanan darah


sistolik <130 mmHg dan tekanan darah diastolic <80 mmHg pada pasien DM dengan PAP.
Diuretik, calcium channel blockers, angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEIs),
angiotensin receptor blockers (ARBs) dan beta blocker semuanya dapat digunakan pada

Laporan Kasus Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 26 Juli 2023
pasien PAP. Studi HOPE (Heart Outcomes Prevention) dan ONTARGET menunjukkan
bahwa ACEIs dan ARBs menurunkan kejadian kardiovaskular pada PAP. Oleh karena itu,
dipilih sebagai pilihan terapi utama pasien PAP dan Hipertensi dengan / tanpa DM (Soyoye
D, 2021).

Apabila dengan menggunakan terapi farmakologis keluhan tidak membaik dan


claudicatio menganggu kualitas hidup dapat dilakukan terapi revaskularisasi (Achim A,
2022). Strategi revaskularisasi yang dapat dilakukan terbagi menjadi dua yaitu terapi
endovascular (angioplasty, stents dan aterektomi), operasi terbuka atau kombinasi dari
keduanya. Terapi endovaskular direkomendasikan pada lesi oklusi yang pendek (<25 cm) dan
pada pasien dengan risiko operasi tinggi. Sedangkan operasi terbuka direkomendasikan pada
pasien dengan lesi oklusi yang panjang (≥ 25 cm) masih muda dan fit (Soyoye D, 2021).
Terapi endovaskular mencapai hasil yang maksimal ketika dilakukan pada lesi oklusif fokal
pada iliaka dan arteri femoralis superfisial. Tingkat kesuksesan dan daya tahan terapi
endovaskular berkurang pada pasien dengan total oklusi segmen yang panjang dan penyakit
oklusi arteri infrapopliteal (Zemaitis MR, 2022).

Pada kondisi dimana revaskularisasi gagal dilakukan, perlu dipertimbangkan untuk


dilakukan amputasi untuk menyelamatkan tungkai dan mencegah infeksi yang lebih meluas.
Tindakan amputasi terbagi menjadi amputasi minor dan amputasi mayor. Dikatakan amputasi
minor apabila hanya melibatkan jari-jari kaki sedangkan dikatakan amputasi mayor apabila
amputasi dilakukan pada level diatas sendi ankle. Indikasi amputasi minor diantaranya : (1)
Infeksi dengan perfusi yang adekuat (2) gangren jari kaki dengan penyakit arteri pembuluh
darah kecil, (3) kaki neurotrofik dengan perfusi yang adekuat, dan (4) kondisi osteomielitis
atau gangren dengan perfusi yang adekuat. Sedangkan indikasi amputasi mayor diantaranya :
(1) penyakit arteri yang tidak dapat direkonstruksi, (2) destruksi area bantalan beban utama
kaki, (3) ekstremitas inferior nonfungsional (4) pasien dengan kondisi komorbid yang berat
atau harapan hidup yang terbatas (Kim T.I. ,2020).

Pada kasus didapatkan tindakan revaskularisasi gagal untuk dilakukan karena


didapatkan total oklusi pada common femoral artery sinistra sehingga ada tempat untuk
dilakukan amputasi.

Prognosis pasien PAP berdasarkan analisa risiko indeks kematian dalam 10 tahun,
terdapat beberapa parameter yang meningkatkan risiko kematian pada pasien PAP.

Laporan Kasus Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 26 Juli 2023
Diantaranya termasuk (1) gangguan fungsi ginjal (+12), gagal jantung (+7), perubahan
segmen ST pada EKG (+5), usia lebih dari 65 tahun (+5), hiperkolesterolemia (+5), ABI lebih
rendah dari 0,60 (+4), gelombang-Q pada EKG (+4), diabetes (+3), penyakit serebrovaskular
(+3), dan penyakit paru (+3). Dilain pihak, statin (-6), aspirin (-4), dan beta-bloker (-4)
dikaitkan dengan penurunan angka kematian 10 tahun (Firnhaber, J.M., 2019). Pasien
dikelompokkan ke dalam kategori risiko rendah apabila hasil penjumlahan skor risiko (<0
poin), rendah-menengah (0-5 poin), tinggi-menengah (6-9 poin), dan tinggi (>9 poin).
Tingkat kematian sepuluh tahun masing-masing adalah 22,1%, 32,2%, 45,8%, dan 70,4% (P
< 0,001) (Feringa, H.H.H, 2007).

Pada kasus pasien dapat dikelompok kedalam kategori risiko tinggi-menengah


dengan penjumlahan skor risiko 9 terdiri dari gangguan fungsi ginjal (+12), diabetes (+3)
dan penggunaan statin (-6). Risiko kematian pasien dalam 10 tahun mendatang sebesar
45.8%.

KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus seorang wanita berusia 73 tahun dengan diagnosis
akhir diabetes melitus tipe 2, gangrene pedis digiti V dextra dan digiti I sinistra dan penyakit
arteri perifer extremitas inferior bilateral klasifikasi Rutherford grade 3 kategori 5, acute on
chronic kidney disease stage 3b (e-GFR 43 ml/min3/1.73), hipertensi stage 2 INASH 2021,
hipokalemia terkoreksi dan post hipoglikemia akibat low intake. Diabetes melitus yang tidak
terkontrol dalam jangka panjang dapat menyebabkan komplikasi mikrovaskular dan
makrovaskular. Salah satu komplikasi makrovaskular yang sering tidak terdiagnosis adalah
penyakit arteri perifer. Individu dengan DM mempunyai risiko 4x lipat untuk terkena
penyakit arteri perifer (PAP). Rekomendasi ESC dan ACC pada pasien DM dengan PAP
adalah dengan melakukan perubahan gaya hidup, mengontrol tekanan darah dibawah
<130/80, LDL <70 dan HbA1c <7% atau GDP 80-130 mg/dl atau GD2PP <180 mg/dl.
Terapi revaskularisasi ditujukan apabila dengan menggunakan terapi farmakologis tidak
menunjukkan perbaikan keluhan dan kualitas hidup yang menurun akibat gejala claudicatio
intermittent. Rencana tatalaksana lebih lanjut pada pasien ini adalah melakukan tindakan
amputasi akan tetapi dari pihak keluarga masih ingin berunding terlebih dahulu dan memilih
untuk melanjutkan perawatan via poliklinis.

Laporan Kasus Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 26 Juli 2023
DAFTAR PUSTAKA

1. Aboyans, V., Ricco, J.-B., Bartelink, M.-L.E.L., 2018. 2017 ESC Guidelines on the
Diagnosis and Treatment of Peripheral Arterial Diseases, in collaboration with the
European Society for Vascular Surgery (ESVS). European Heart Journal 39, 763–816.
https://doi.org/10.1093/eurheartj/ehx095.
2. Achim, A., Stanek, A., Homorodean, C. et al.2022. Approaches to Peripheral Artery
Disease in Diabetes: Are There Any Differences? IJERPH 19, 9801.
DOI: 10.3390/ijerph19169801
3. Feringa, H.H.H., 2007. A Prognostic Risk Index for Long-term Mortality in Patients
with Peripheral Arterial Disease. Arch Intern Med 167, 2482.
https://doi.org/10.1001/archinte.167.22.2482.
4. Firnhaber, J. M., & Powell, C. S. 2019. Lower Extremity Peripheral Artery Disease:
Diagnosis and Treatment. American family physician, 99(6), 362–369.
5. Gerhard-Herman, M.D., Gornik, H.L., Barrett, C., et al. 2017. 2016 AHA/ACC
Guideline on the Management of Patients With Lower Extremity Peripheral Artery
Disease: Executive Summary: A Report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Clinical Practice Guidelines.
Circulation 135. https://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000470.
6. Hardman, R., Jazaeri, O., Yi, J., et al. 2014. Overview of Classification Systems in
Peripheral Artery Disease. Semin intervent Radiol 31, 378–388.
https://doi.org/10.1055/s-0034-1393976.
7. Kalantzi, K., Tentolouris, N., Melidonis, A.J., et al. 2021. Efficacy and Safety of
Adjunctive Cilostazol to Clopidogrel‐Treated Diabetic Patients With Symptomatic
Lower Extremity Artery Disease in the Prevention of Ischemic Vascular Events.
JAHA 10, e018184. https://doi.org/10.1161/JAHA.120.018184
8. Kim, T.I., Mena, C., Sumpio, B.E., 2020. The Role of Lower Extremity Amputation
in Chronic Limb-Threatening Ischemia. Int J Angiol 29, 149–155.
https://doi.org/10.1055/s-0040-1710075.
9. Radha T, P.D., P.S, A., Annamalai, S., 2020. Diabetes Mellitus and Peripheral
Vascular Disease. IJCMR 7. https://doi.org/10.21276/ijcmr.2020.7.7.26
10. Soelistijo S.A., Suastika K, Lindarto D et al. 2021. Pedoman Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 Dewasa di Indonesia. PB PERKENI. Hal 1-85
11. Soyoye, D.O., Abiodun, O.O., Ikem, R.T., et al. 2021. Diabetes and peripheral artery
disease: A review. WJD 12, 827–838. https://doi.org/10.4239/wjd.v12.i6.827.

Laporan Kasus Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 26 Juli 2023
12. Thiruvoipati, T., Kielhorn CE and Armstrong EA. 2015. Peripheral artery disease in
patients with diabetes: Epidemiology, mechanisms, and outcomes. WJD 6, 961.
Available from : DOI: 10.4239/wjd.v6.i7.961
13. Wibisono S, Soetmadji D.W., Pranoto A et al. 2021. Pedoman Petunjuk Praktis Terapi
Insulin pada Pasien Diabetes Mellitus PB PERKENI. Hal 1-51
14. Zemaitis MR; Boll JM; Dreyer MA. 2022. Peripheral Artery Disease. StatPearls
Publishing. Available from : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430745/.

Laporan Kasus Departemen – SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair RSUD Dr. Soetomo
Surabaya, 26 Juli 2023

Anda mungkin juga menyukai