Anda di halaman 1dari 12

1

LAPORAN KASUS

“Seorang Pasien Terdiagnosis Diabetes Melitus Post Terinfeksi


Covid 19 dengan Riwayat CKD post Transplantasi Ginjal”

Daniel Zaputra1, Ketut Suastika2, Yenny Kandarini3


1
Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia
2
Divisi Endokrin Metabolik Departemen / KSM Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia
3
Divisi Ginjal Hipertensi Departemen / KSM Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah, Denpasar, Bali, Indonesia

Korespondensi: Daniel Zaputra / No. HP: 082153434312 /


Email: zaputra.daniel@gmail.com

ABSTRACT

Diabetes mellitus is a condition when blood sugar levels exceed normal limits,
with the prevalence of cases in Indonesia based on RISKESDAS 2018 of 1.5%
with the highest number of cases being in the 55-64 year age group. Many factors
can cause diabetes mellitus with various mechanisms. Recent studies have shown
that COVID-19 infection is also associated with newly diagnosed diabetes
mellitus after COVID-19 infection. In the following, a case is presented regarding
a post-transplant patient who developed diabetes mellitus after being infected with
Covid 19. The mechanism of new-onset diabetes in this case was associated with
steroid-induced diabetes mellitus, cytokine storm affecting the kidneys and a
previous history of CKD.

Keywords: Corticosteroids ,Covid-19 infection, Diabetes Mellitus, Steroid


Induced Diabetes Mellitus, Renal Transplantation.
2

PENDAHULUAN

Diabetes melitus merupakan suatu keadaan ketika kadar gula melewati


batas normal, yang didapat dari hasil glukosa plasma puasa ≥126mg/dl atau
glukosa plasma 2-jam setelah tes toleransi glukosa oral (TTGO) ≥200 dengan
beban glukosa 75 gram atau glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL dengan keluhan
klasik atau krisis hiperglikemia atau pemeriksaan Hba1c >6.5% dengan metode
terstandarisasi. Menurut International Diabetes Federation (IDF), diprediksi
terjadi peningkatan jumlah pasien DMT-2 dari 10,7 juta kasus pada tahun 2019
menjadi 13,7 juta kasus pada tahun 2030.1 Hasil Riskesdas 2018 menunjukkan
bahwa prevalensi diabetes melitus di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter pada
semua umur yaitu sebesar 1,5% dengan jumlah kasus terbanyak berada pada
kelompok usia 55-64 tahun.2
Banyak faktor yang dapat menyebabkan diabetes melitus dengan berbagai
mekanisme. Studi terbaru menunjukkan bahwa infeksi COVID-19 juga terkait
dengan kejadian diabetes melitus yang baru terdiagnosis pasca infeksi COVID-19.
Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) memiliki hubungan dua arah dengan COVID-
19.3 Diabetes yang tidak terkontrol dengan baik meningkatkan keparahan COVID-
19 dan dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Pandemi
COVID-19 juga mengakibatkan kontrol diabetes yang buruk, perkembangan
pradiabetes menjadi diabetes, peningkatan jumlah diabetes onset baru dan
peningkatan diabetes yang diinduksi kortikosteroid.4,5 Terapi kortikosteroid untuk
COVID-19 dengan dosis tinggi disebutkan dapat menyebabkan hiperglikemia
berat, ketidakseimbangan elektrolit dan miopati.6

COVID-19 dapat menyebabkan diabetes melalui mekanisme langsung dan


tidak langsung. Mekanisme langsung terjadi melalui serangan langsung pada sel
pankreas yang mengekspresikan reseptor angiotensin converting enzyme 2 (ACE-
2), melalui stres hiperglikemia akibat badai sitokin dan perubahan metabolisme
glukosa yang disebabkan oleh infeksi, sehingga mempresipitasi pradiabetes
menjadi diabetes.7 Persentase kasus diabetes baru ini kemungkinan terjadi pada
3

orang dengan pradiabetes, yang terjadi pada satu dari lima remaja di Amerika
Serikat. Pengobatan steroid selama rawat inap dapat menyebabkan hiperglikemia
secara sementara namun disebutkan insiden diabetes yang diinduksi obat hanya
sebesar 1,5%-2,2%. Mekanisme tidak langsung COVID-19 yang menyebabkan
DMT-2 yaitu akibat peningkatan risiko diabetes melalui peningkatan indeks
massa tubuh terkait pandemi, dan komorbiditas penyakit.8

Hingga saat ini, data yang tersedia mengenai DMT-2 onset baru pasca
COVID-19 masih terbatas dengan perbedaan perjalanan klinis dan luaran setelah
pemulihan dari COVID-19.3,8 Berikut akan disajikan sebuah kasus mengenai
pasien post transplantasi yang mengalami diabetes melitus setelah terinfeksi
Covid 19.

KASUS
Pasien IGA, laki laki usia 31 tahun datang ke UGD dengan keluhan masuk
berupa lemas yang dirasakan sejak 1 minggu yang lalu, sepulangnya dari rawat
inap di RSUP Sanglah. Pasien mengatakan bahwa keluhan lemas tersebut
membaik dengan istirahat dan memburuk jika beraktifitas. Pasien merasa lemas
beriringan dengan keluhan sering merasa haus meskipun telah banyak minum,
rasa lapar dan sering kencing. Pasien awalnya mengira bahwa makan banyak
dapat membantu pemulihan dari sakit, namun pasien merasa aneh karena berat
badan pasien justru menurun sebesar 6 kg selama kurang lebih 1 bulan, meskipun
mengalami peningkatan porsi makan. Pasien juga mengeluh terdapat pandangan
kabur yang dirasakan pasien pada saat masuk rumah sakit, yang belum pernah
dirasakan pasien sebelumnya.
Pasien dikatakan memiliki riwayat hipertensi dengan tekanan darah
terukur yaitu 170/100 yang diketahui sejak tahun 2012 namun tidak
mengkonsumsi obat untuk hipertensi. Pasien juga diketahui memiliki penyakit
gagal ginjal sejak tahun 2013 dan sempat dirawat dikarenakan keluhan awal mual
muntah yang tidak tertahankan. Pasien kemudian rutin melakukan cuci darah di
RSUP sanglah sejak tahun 2013 dengan akses di bagian femoral. Satu bulan
4

kemudian, pasien dilakukan AV shunt dan selama 2 tahun telah menggunakan AV


shunt sebagai akses hemodialisa tersebut. Pasien kemudian berhenti cuci darah
dan disarankan untuk beralih ke dialisis peritoneal sejak tahun 2015 hingga 2018.
Pasien kemudian menjalankan transplantasi ginjal pada awal febuari 2018 di
RSUP sanglah dan menggunakan obat rutin metilprednisolon 8mg tiap 24 jam,
mycophenolate mofetil 500mg tiap 12 jam, tacrolimus 1mg tiap 12 jam selama
kurang lebih 1 tahun.
Pasien sempat diketahui mempunyai gula darah tinggi dan sempat di
konsulkan ke bagian endokrin, kemudian dilakukan pemeriksaan gula darah pada
tanggal 17/9/2018 didapatkan (BSN 166 mg/dL), BS2 jam PP 192 mg/dL, Hb-
A1C 4.8%. Pada tanggal 27/3/2019: BSN 124 mg/dL, BS2 jam PP 125 mg/dL,
Hba1c 4.8%. Pada bulan Mei tahun 2019: BSA 131 mg/dL, 2 jam PP 192 mg/dL,
HBA1c 5.8%. Pada bulan Juli tahun 2019: BSN 127 mg/dL, 2 jam PP 137
mg/dL, Hba1c 4.7%. Pasien kemudian diberikan edukasi untuk diet rendah gula,
olahraga dan stop obat metilprednisolon. Pasien kontrol teratur ke poli dan
mengatakan gula darah sudah terkontrol serta tidak memiliki keluhan.
Pada pertengahan September 2021, pasien sempat di rawat selama kurang
lebih 14 hari dengan diagnosa COVID-19 derajat sedang di ruang rawat
flamboyan. Pada saat itu, pasien mengeluh demam, batuk dan sesak, kemudian
diberikan pengobatan berupa favipirafir selama 5 hari, dexametason 5 mg tiap 24
jam, allopurinol 100mg tiap 24 jam, asetilsistein 200mg tiap 24 jam, vitamin d3
1000iu tiap 24 jam, vitamin c 1000mg tiap 24 jam, zegavit tiap 24 jam, prograf
XL 500mg tiap 24 jam. Pasien kemudian dipulangkan dengan diagnosa
terkonfrimasi covid 19 derajat sedang, CKD stage IIIa post transplatasi ginjal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan 64 kilogram dengan tinggi
badan 175 sentimeter. Penderita sadar baik, tampak sakit sedang, Tekanan darah
saat datang adalah 120/80 mmHg dengan denyut nadi 92 x/menit, laju pernafasan
20 x/menit, saturasi oksigen perifer 96 % room air, suhu tubuh 37 derajat celsius.
Pada pemeriksaaan mulut dan lidah tampak kering. Pada inspeksi paru didapatkan
hemitoraks kanan dan kiri simetris, perkusi sonor, suara nafas vesikular bilateral,
ronkhi dan wheezing tidak ada. Pada pemeriksaan jantung didapatkan S1 dan S2
5

tunggal, reguler, tidak ada murmur. Abdomen tidak tampak distensi, bising usus
normal, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba membesar, perkusi
timpani. Pada ekstremitas teraba hangat dan tidak ditemukan adanya edema.
Pada hasil pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 14 oktober 2021
didapatkan WBC (White Blood Cell) 7,07 /L (4,1-110/L), Neutrofil 4,48 x
103/μl (2,25 – 7,50 x 103/μl), Limfosit 1,98 x 103/μl (1-4 x 103/μl), hemoglobin
12,9 g/dL (12,0 – 16,0 g/dL), Hematokrit 38,0 % (36 –46 %), MCV 83,7 fL (80 –
100 fL), MCH 28,4 pg (26 – 34 pg), trombosit 155,0 x 103/ μl (150 – 440 x 103/
μl), SGOT 23,4 U/L (11,0-27,0U/L), SGPT 58,9 U/L (11,0-34,0U/L), BUN 36,5
mg/dL (8-23 mg/dL), Kreatinin 3,20 mg/dL (0,5-0,9 mg/dL), Gula darah
puasa 772mg/dl (80-100mg/dl), Hb-a1c 11.8% (<6,5%), Natrium serum 125
mmol/L (136 – 45 mmol/L), corrected natrium 136 mmol/L, Kalium serum 3,74
mmol/L (3,5-5,1 mmol/L), PPT 14,5 detik (10,8-14,4 detik), kolesterol total 204
(0-200mg/dl), LDL 97 (<100mg/dl), HDL 31 (40-60mg/dl), trigliserid 477,2
(<150mg), Asam urat 7,5 (3,5-7,2 mg/dl). Pada pemeriksaan urine lengkap
didapatkan: berat jenis 1.025, PH 5,0 (4,5-8), warna jernih, leukosit negatif,
protein (1+), glukosa (4+), keton (-), darah (1+). Analisa gas darah didapatkan:
pH 7.34 mg/dl (7,35-7,45), pCo2 38,0 mmHg (35,0 – 45,0), Po2 90.0 mmHg
(80,0 – 100,0), BEcef -5,3 (-2 – 2), HCO3- 20,5 (22,0 – 26,0), SO2c 96% (95% -
100%) osmolaritas serum 345 mOsm, anion Gap 31,1 mEq/L. Kesan
laboratorium dan kimia darah didapatkan: Hiperglikemia, peningkatan ureum
kreatinin, hiperurisemia, dislipidemia serta asidosis metabolik.
Pada pemeriksaan radiologi, dilakukan pemeriksaan toraks foto PA
tanggal 15/10/2021 didapatkan hasil : kardiomegali dan pulmo tak tampak
kelainan.
6

Gambar 1. Hasil foto thoraks PA. Kesan kardiomegali dan Pulmo tak tampak
kelainan

Pasien pada akhirnya didiagnosis dengan Diabetes Mellitus tipe 2 dengan


Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS), terkonfirmasi covid 19 derajat sedang,
CKD stage IIIa post transplantasi Ginjal, hipokalemia ec susp shift. Pasien
diberikan terapi berupa infus NaCl 0,9% 20 tetes per menit setelah dilakukan
hidrasi, diet DM 1900Kkal/hari, Insulin lantus 20 unit tiap 24 jam secara
subkutan, Insulin Apidra 8 unit setelah dilakukan drip insulin sesuai protokol,
mycophenolate mofetil 500mg tiap 24 jam, tacrolimus lepas lambat 3mg tiap 24
jam.

DISKUSI
Pada kasus ini, seorang pasien memiliki kadar gula darah yang sempat
tinggi sebelum infeksi COVID-19 yaitu BSN 166 mg/dL kemudian kondisi
hiperglikemia memburuk paska infeksi covid-19 menjadi BSN 772 mg/dl. Studi
terbaru menunjukkan bahwa diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) onset baru memiliki
hubungan dengan infeksi COVID-19.3 Infeksi SARS-CoV-2 dapat menyebabkan
peningkatan kadar mediator inflamasi dalam darah, termasuk lipopolisakarida,
sitokin inflamasi dan metabolit toksik. Produksi IFNγ dapat meningkatkan
permeabilitas interstisial dan/atau vaskular. Selain itu, infeksi SARS-CoV-2
7

menyebabkan peningkatan produksi spesies oksigen reaktif (ROS). Produksi ROS


dan aktivasi virus dari sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) melalui
peningkatan ekspresi angiotensin II menyebabkan resistensi insulin, hiperglikemia
dan kerusakan endotel vaskular, yang semuanya berkontribusi pada kejadian
DMT-2, kardiovaskular, tromboemboli, dan disseminated intravascular
coagulation (DIC).9 Pada pasien dengan sindrom pernafasan akut yang parah,
SARS-CoV-2 dapat memasuki sel beta pankreas melalui ekspresi reseptor
angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2), mengganggu produksi insulin, dan
akibatnya, memperburuk DM yang sudah ada atau menyebabkan DM onset baru.3

Pada monosit manusia, peningkatan kadar glukosa secara langsung


meningkatkan replikasi SARS-CoV-2, dan glikolisis menopang replikasi SARS-
CoV-2 melalui produksi ROS mitokondria dan aktivasi faktor yang diinduksi
hipoksia 1α.10 Melalui peningkatan stres oksidatif, IL-6 dapat merusak protein,
lipid dan DNA, merusak struktur dan fungsi tubuh yang menyebabkan
perkembangan COVID-19 menjadi lebih cepat pada pasien dengan diabetes
mellitus. Kondisi hiperglikemia yang sudah ada sebelumnya juga dapat
mendukung proliferasi virus sehingga menimbulkan manifestasi klinis yang
serius9, begitu pula dengan temuan pada kasus ini. Pasien dengan COVID-19
dengan hiperglikemia memiliki respons interferon tipe I yang sangat terganggu
dengan aktivitas IFNα yang rendah dalam darah, menunjukkan viral load darah
tinggi, dan respons inflamasi yang berat.11 Beberapa mekanisme menjelaskan
bahwa peradangan yang diinduksi virus meningkatkan resistensi insulin.12
Misalnya, pada pneumonia yang disebabkan oleh virus corona, sel-sel inflamasi
akan menginvasi paru-paru dan menyebabkan cedera paru-paru akut hingga
ARDS. Beban besar sel inflamasi ini dapat mempengaruhi fungsi otot rangka dan
hati, yang merupakan organ utama yang responsif terhadap insulin dan
bertanggung jawab atas sebagian besar ambilan glukosa yang dimediasi insulin.13
Mekanisme lain dari DM onset baru paska COVID-19 yaitu adanya
steroid induce diabetes melitus (SIDM). Diabetes mellitus yang diinduksi steroid
didefinisikan sebagai peningkatan abnormal glukosa darah yang berhubungan
dengan penggunaan glukokortikoid pada pasien dengan atau tanpa riwayat
8

diabetes mellitus sebelumnya. Pada pasien ini, penggunaan steroid terjadi selama
pasien menjalani pengobatan akibat infeksi COVID-19. Salah satu mekanisme
SIDM didasarkan pada efek timbal balik glukokortikoid pada gliseronogenesis di
hati dan jaringan adiposa.14 Di jaringan adiposa, gliseronogenesis mengontrol laju
pelepasan asam lemak dalam darah, sedangkan di hati gliseronogenesis
bertanggung jawab atas sintesis triasilgliserol dari asam lemak dan gliserol 3-
fosfat. Pengaturan proses ini melalui enzim phosphoenylpyruvate carboxykinase
(PEPCK). Dengan adanya glukokortikoid, ekspresi gen PEPCK di jaringan
adiposa ditekan sehingga menghambat gliseronogenesis. Sebaliknya, PEPCK di
hati merangsang produksi gliserol dan konsentrasi asam lemak dalam darah
meningkat oleh aksi lipoprotein lipase. Oleh karena itu, hasil dari glukokortikoid
adalah peningkatan jumlah asam lemak yang dilepaskan ke dalam darah.
Peningkatan asam lemak mengganggu pemanfaatan glukosa dan menyebabkan
resistensi insulin, terutama pada otot rangka.14,15
Pada pasien ini juga ditemukan adanya dislipidemia dengan kolesterol
total 204 (0-200mg/dl), LDL 97 (<100mg/dl), HDL 31 (40-60mg/dl) dan
trigliserid 477,2 (<150mg). Infeksi COVID-19 dikaitkan dengan kejadian
dislipidemia pasca infeksi yaitu melalui ikatan virus SARSCov-2 dengan enzim
ACE2 melalui spike protein, yang memfasilitasi masuk ke dalam sel dengan
subsequent damage oleh makrofag alveolar. Selanjutnya, lingkungan mikro
jaringan melepaskan sitokin dan kemokin pro-inflamasi (IL-6, MCP1, dan MIP)
yang mendorong daya tarik makrofag, neutrofil, dan sel T. Aktivasi sel ini
menyebabkan peradangan yang tidak terkontrol dan disregulasi imun. Peradangan
yang persisten memuncak dalam modulasi apolipoprotein terkait HDL, seperti
penurunan apolipoprotein AI (ApoA-I), ApoE, dan peningkatan protein amiloid
serum A, yang berdampak buruk pada fungsi anti-inflamasi, antioksidan, dan
imunomodulator HDL.16
Gangguan fungsi enzim paraoxonase 1 (PON1) pada HDL, dan respon
inflamasi yang berlebihan menyebabkan oksidasi lipid, sehingga terjadi
perubahan transport lipoprotein dan gangguan jalur transport reverse-cholesterol
(RCT) yang ditandai dengan interaksi ApoA-I yang tidak mencukupi dengan
9

adenosine triphosphate-binding cassette transporter A1 (ABCA1) pada makrofag


dan penurunan esterifikasi kolesterol oleh lesitin kolesterol asiltransferase
(LCAT). Hal ini menyebabkan kembalinya ester kolesterol ke hati baik yang
menurun dengan dua mekanisme. Mekanisme pertama yaitu secara langsung
setelah interaksi dengan reseptor reseptor-B1 (SR-B1) hati, dan mekanisme secara
tidak langsung setelah transfer ke LDL oleh protein transfer ester kolesterol
(CETP) dan penyerapan oleh reseptor LDL hati (LDL- R). Rendahnya tingkat
ApoE dan ApoC-III pada HDL mengakibatkan penurunan aktivitas lipoprotein
lipase (LPL), yang menyebabkan akumulasi VLDL dan TG.16
Pasien ini juga menderita CKD dengan riwayat post transplantasi ginjal
dan menggunakan CAPD sebelum mengalami infeksi COVID-19. Studi
epidemiologi oleh Global Burden Disease menunjukkan bahwa CKD adalah
faktor risiko paling umum untuk manifestasi COVID-19 derajat berat di seluruh
dunia pada usia berapapun.17 Studi sebelumnya juga menjelaskan bahwa CKD
meningkatkan risiko keparahan penyakit terkait COVID-19. Sebuah meta-analisis
menunjukkan bahwa penyakit komorbid seperti kardiovaskular, hipertensi, dan
diabetes dikaitkan dengan peningkatan mortalitas dan keparahan gejala COVID-
19 dengan OR 2,50 (95% CI 1,74-3,59) pada diabetes. 18 Diketahui bahwa invasi
virus SARS-CoV-2 juga mempengaruhi organ selain paru-paru yaitu ginjal,
ileum, dan jantung. Studi baru-baru ini mengidentifikasi bahwa ginjal adalah
organ yang memiliki kerentanan tinggi terhadap kerusakan akibat COVID-19,
menurut ekspresi enzim pengubah angiotensin 2 (ACE2). Mekanisme terkait
kerusakan ginjal sebelumnya dapat memperparah kondisi COVID-19 yaitu
termasuk sindrom badai sitokin melalui jalur sepsis atau cedera sel tubulus ginjal
secara langsung oleh virus. Manifestasi utama kerusakan ginjal pada pasien
COVID-19 disebutkan bersifat akut, namun pada beberapa kasus dapat ditemukan
adanya makroalbuminuria/proteinuria dan atau hematuria dapat dikaitkan dengan
disfungsi endotel. Kondisi ini sesuai dengan temuan manifestasi klinis pada
pasien yaitu adanya proteinuria dan hematuria.19
Manajemen yang diberikan pada pasien ini yaitu berupa infus NaCl 0,9%
20 tetes per menit setelah dilakukan hidrasi , diet DM 1900Kkal/hari, diberikan
10

drip insulin sesuai protokol hingga target gula darah tercapai dan dilanjutkan
dengan pengobatan Insulin lantus 20 unit tiap 24 jam secara subkutan, Insulin
Apidra 8 unit, cellcept 500mg tiap 24 jam, Prograf XL 1 x 3mg. Pemberian drip
insulin pada saat awal perawatan dengan keadaan pasien critical ill dan
memerlukan regulasi gula darah cepat dan kemudian dilakukan pemberian insulin
lantus yang termasuk dalam insulin analog kerja panjang (Long-acting) dan
insulin Apidra yang tergolong insulin analog kerja cepat (Rapid-acting) pada
pasien ini yaitu karena keadaan HbA1C>9% (11,8%) dan gangguan fungsi ginjal
yang berat. Prograf XL yang memiliki kandungan tacrolimus ditujukan karena
pasien memiliki riwayat transplantasi ginjal untuk mencegah penolakan organ
baru.1

SIMPULAN
Pada artikel ini disajikan kasus pasien DM onset baru dengan riwayat
paska infeksi COVID-19 derajat sedang dan CKD stage IIIa post transplantasi
Ginjal. Pasien memiliki kesan laboratorium dan kimia darah berupa
hiperglikemia, peningkatan ureum kreatinin, hiperurisemia dislipidemia serta
asidosis metabolik dan gambaran foto thoraks didapatkan kardiomegali.
Mekanisme diabetes onset baru ini dikaitkan dengan steroid induce diabetes
melitus, badai sitokin yang mempengaruhi ginjal dan riwayat CKD sebelumnya.
11

DAFTAR PUSTAKA

1. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Pedoman Pengelolaan dan


Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2021. p. 1–119.
2. Kementerian Kesehatan RI. Hasil Utama RISKESDAS. 2018. p. 66–79.
3. Farag AA, Hassanin HM, Soliman HH, Sallam A, Sediq AM, Abd Elbaser
ES, et al. Newly Diagnosed Diabetes in Patients with COVID-19: Different
Types and Short-Term Outcomes. Trop Med Infect Dis. 2021;6(3):142.
4. Sathish T, Kapoor N, Cao Y, Tapp RJ, Zimmet P. Proportion of newly
diagnosed diabetes in COVID-19 patients: A systematic review and meta-
analysis. Vol. 23, Diabetes, obesity & metabolism. 2021. p. 870–4.
5. Smith SM, Boppana A, Traupman JA, Unson E, Maddock DA, Chao K, et
al. Impaired glucose metabolism in patients with diabetes, prediabetes, and
obesity is associated with severe COVID-19. J Med Virol.
2021;93(1):409–15.
6. Reddy PK, Kuchay MS, Mehta Y, Mishra SK. Diabetic ketoacidosis
precipitated by COVID-19: A report of two cases and review of literature.
Diabetes Metab Syndr. 2020/08/01. 2020;14(5):1459–62.
7. Bronson SC. Practical scenarios and day-to-day challenges in the
management of diabetes in COVID-19 - Dealing with the “double
trouble”. Prim Care Diabetes. 2021;15(4):737–9.
8. Barrett CE, Koyama AK, Alvarez P, Chow W, Lundeen EA, Perrine CG, et
al. Risk for Newly Diagnosed Diabetes >30 Days After SARS-CoV-2
Infection Among Persons Aged <18 Years - United States, March 1, 2020-
June 28, 2021. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2022;71(2):59–65.
9. Lim S, Bae JH, Kwon H-S, Nauck MA. COVID-19 and diabetes mellitus:
from pathophysiology to clinical management. Nat Rev Endocrinol.
2021;17(1):11–30.
10. Codo AC, Davanzo GG, Monteiro L de B, de Souza GF, Muraro SP,
Virgilio-da-Silva JV, et al. Elevated Glucose Levels Favor SARS-CoV-2
Infection and Monocyte Response through a HIF-1α/Glycolysis-
12

Dependent Axis. Cell Metab. 2020;32(3):437-446.e5.


11. Hadjadj J, Yatim N, Barnabei L, Corneau A, Boussier J, Smith N, et al.
Impaired type I interferon activity and inflammatory responses in severe
COVID-19 patients. Science. 2020;369(6504):718–24.
12. Šestan M, Marinović S, Kavazović I, Cekinović Đ, Wueest S, Turk
Wensveen T, et al. Virus-Induced Interferon-γ Causes Insulin Resistance in
Skeletal Muscle and Derails Glycemic Control in Obesity. Immunity.
2018;49(1):164-177.e6.
13. Channappanavar R, Perlman S. Pathogenic human coronavirus infections:
causes and consequences of cytokine storm and immunopathology. Semin
Immunopathol. 2017;39(5):529–39.
14. Hwang JL, Weiss RE. Steroid-induced diabetes: a clinical and molecular
approach to understanding and treatment. Diabetes Metab Res Rev.
2014;30(2):96–102.
15. Kim SY, Yoo C-G, Lee CT, Chung HS, Kim YW, Han SK, et al. Incidence
and risk factors of steroid-induced diabetes in patients with respiratory
disease. J Korean Med Sci. 2011;26(2):264–7.
16. Sorokin A V., Karathanasis SK, Yang ZH, Freeman L, Kotani K, Remaley
AT. COVID-19—Associated dyslipidemia: Implications for mechanism of
impaired resolution and novel therapeutic approaches. FASEB J.
2020;34(8):9843–53.
17. Council E-E, Group EW. Chronic kidney disease is a key risk factor for
severe COVID-19: a call to action by the ERA-EDTA. Nephrol Dial
Transplant. 2021;36(1):87–94.
18. Jdiaa SS, Mansour R, El Alayli A, Gautam A, Thomas P, Mustafa RA.
COVID-19 and chronic kidney disease: an updated overview of reviews. J
Nephrol. 2022/01/11. 2022;35(1):69–85.
19. D’Marco L, Puchades MJ, Romero-Parra M, Gorriz JL. Diabetic Kidney
Disease and COVID-19: The Crash of Two Pandemics [Internet]. Vol. 7,
Frontiers in Medicine . 2020.

Anda mungkin juga menyukai