Anda di halaman 1dari 8

Rehidrasi Intravena Agresive, Koreksi Elektrolit Dan Terapi Insulin Pada Pasien Hiperglikemik Hiperosmolar Non-Ketotik (Hyperosmotik Hyperosmolar

State)
Abstrak
Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik ialah suatu sindrom yang ditandai hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ditandai adanya ketosis, disertai menurunnya kesadaran. Faktor yang mempengaruhi koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik diantara adalah infeksi, diabetes mellitus yang tidak terdiagnosis dan penyalahgunaan obat. Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air. Penegakan diagnosis selain dari keluhan pasien, pemeriksaan fisik, juga dengan hasil laboratorium yang menunjukkan konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi, osmolaritas serum yang tinggi dan juga pH lebih besar dari 7.30 dan disertai ketonemia ringan atau tidak. Penatalaksanaan medikamentosa dengan cara rehidasi intravena agresif, penggantian elektrolit dan pemberian insulin.

Isi
Seorang laki laki, Bapak A usia 40 tahun datang ke IGD karena gula darahnya tinggi tidak bisa di cek dengan menggunakan glucose stick (tertera = high), pasien mengeluh nyeri kepala, pusing, mual dan muntah 2 kali sejak pagi tadi. Gula darah pasien tinggi sejak 3 minggu yang lalu, karena obat DM pasien habis dan pasien tidak mau periksa ke dokter dan minum sisa obat yang dibeli istrinya. Pasien memiliki riwayat penyakit DM sejak 7 tahun yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan Kesan Umum : Baik Kesadaran Vital Sign : Compos Mentis :

Tekanan darah : 200/120 mmHg Nadi : 88 x/menit

Suhu badan Pernafasan

: 36,4oC : 24 x/menit

Head to toe examination ( Kepala, Leher, Thorax, Abdomen, Ekstremitas ) dalam batas normal Tidak didapatkan kelainan neurologis (Reflek fisiologis dan patologis, sensibilitas, tonus dan kekuatan otot) dalam batas normal. Pasien dinyatakan mondok oleh dokter. 2 jam kemudian pasien mengalami penurunan kesadaran GCS E1V1M5, KU sedang Pupil = isokor, Kesan lateralisasi kiri. Tekanan darah = 170/110, RR = 16, HR = 68, T = 36,3. Pasien dipindah ke ICU dan dilakukan pemantauan ketat gula darah. Didapatkan hasil pemeriksaan gula darah dengan hasil sbb :
GDS = 784 (siang) GDS = 496 (sore) GDS = 360 (malam) GDS = 95 (21.00) GDS = 285 GDS = 101 GDS = 204 GDS = 165

Diagnosis
Hyperglycemic Hyperosmolar State dengan Hipertensi Emergensi

Terapi
1. O2 3-5 l/m 2. IVFD NaCl loading 2l 60 tpm, lanjutkan 20 tpm (monitoring RBB dan VS) 3. Pasang DC 4. Pasang NGT 5. RI 5 unit/jam dengan syringe pump, s/d GDS 250 mg/dl (cek GDS tiap jam), lanjutkan dengan RI 2 unit (cek GDS tiap 4 jam) 6. Inj. Ceftriaxon 1g/12 jam 7. Inj. Ranitidin 1A/12 jam 8. Nifedipin 3x1 (target tekanan darah turun 25% MAP) Nifedipine 2 x 1 9. KCL 3 x 1 10. Masuk ICU

Diskusi
Pasien laki laki 40 th dengan keluhan gula darah dikatakan tinggisejak +- 3 minggu SMRS. Pasien dating dari IGD dengan keluhan gula darah dikaakan tinggi dari pemeriksaan di peuskesmas. Gula darah tinggi sejak -+3 minggu. Pasien diantare oleh istri dengan kondisi penurunan kesadaran. Nyeri perut (-), mual (-), muntah (+), Nyeri kepala (+), sesak nafas (+), BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat gula darah tinggi. Pasien diberi obat penurun gula darah tetapi tidak mau diminum. Riwayat Penyakit Dahulu riwayat hipertensi (+) riwayat diabetes mellitus (+) 7 tahun riwayat asma disangkal riwayat penyakit jantung disangkal riwayat alergi obat disangkal Riwayat Penyakit Keluarga - riwayat hipertensi (+) - riwayat diabetes mellitus disangkal - riwayat asma disangkal - riwayat penyakit jantung disangkal - riwayat alergi obat disangkal Pembahsan : Dari data tersebut, dapat diperoleh bahwa pasien memiliki factor resiko untuk terkena HONK yaitu riwayat penyakit diabetes mellitus yang sudah lam diderita nya. Berdasaran onsetnya penyakit tersebut merupakan diabetes mellitus tipe II yang mana lebih sering menyebabkan HONK. Dari sumber American Diabetic Association, menyebutkan bahwa kebanyakan komplikasi HHS/HONK terjadi pada penderita diabetes tipe II / non-insulin dependent. Pada pasien tersebut tidak memiliki riwayat penyakit infeksi kronis maupun infeksi akut yang sedang dialami, sehingga kemungkinan untuk terjadi infeksi sedikit kecil. Namun pada data di atas disebutkan bahwa pasien tidak mau meminum obat antidiabetes yang diberikan untuk menjaga agar glukosa darahnya tetap terkontrol. Hal ini membuktikan bahwa un-compliance menjadi factor presipitasi untuk timbulnya kopmplikasi HONK pada pasien ini. Sebagai mana dari penelitian yang dilakukan oleh Guillermo, 2012 dan Abbas et al., 2006 disebutkan bahwa

un-compliance menjadi penyebab terbanyak dalam timbulnya komplikasi HHS/HONK. Uncompliance sendiri menyumbang 50% pada kasus studi yang dilakukan oleh Guillermo, 2006 2012, yang mana infeksi menyumbang data yang variatif (SD luas) antara 30 50%, yang mana infeksi terbanyak adalah pneumonia. Keluhan nyeri perut, sesak nafas, nyeri kepala dan penurunan kesadaran yang terjadi pada pasien serupa dengan manifestasi klinis yang terjadi pada HHS/HONK. Akibat adanya peningkatan kadar glukosa darah, terjadilah kopndisi hiperosmolaritas serum hingga mencapai 320 mOsm. Pada penderita kali ini dijumpai kadar glukosa darah saat tiba di IGD naik tinggi 969 mg/dl yang menyebabkan kenaikan osmolaritas cukup tinggi sehingga dijumpai penurunan kesadaran walaupun tidak sampai pada tahap koma. Pada pasien tidak dijumpai kondisi syok karena tekanan darahnya justru tinggi.

Penatalaksanaan Pada pasien ini telah diberikan ke lima poin penting untuk terapi yaitu, rehidrasi intravena agresif, koreksi elektrolit, pemberian insulin intravena, pelacakan penyebab presipitasi dan pencegahan. Pasien diberikan terapi saat tiba di IGD sbb., O2 3-5 l/m IVFD NaCl loading 2l 60 tpm, lanjutkan 20 tpm (monitoring RBB dan VS) Pasang DC Pasang NGT RI 5 unit/jam dengan syringe pump, s/d GDS 250 mg/dl (cek GDS tiap jam), lanjutkan dengan RI 2 unit (cek GDS tiap 4 jam) Inj. Ceftriaxon 1g/12 jam Inj. Ranitidin 1A/12 jam Nifedipin 3x1 KCL 3 x 1 Masuk ICU

Rehidrasi Cairan Intravena Agresif

Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK adalah penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200 mL per kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan larutan isotonik akan dapat menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat mengkoreksi defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1L normal saline per jam. Jika pasiennya mengalami syok hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik (Soewondo, 2009). Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal (Soewondo, 2009). Elektrolit Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor (Soewondo, 2009). Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L), pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq per L). Jika konsentrasi kalium lebih besar dari 5,0 mEq
per L (5,0 mmol per L), konsentrasi kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per L, namun

sebaiknya konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per L (Soewondo, 2009).

Pemberian KCL pada pasien ini adalah untuk mengkoreksi kdar kalium pasien yang rendah. Karena jika tidak, kadar kalium akan semakin turun karena insulin berefek memasukan kalium

ke intrasel. Pada pasien ini diberikan terapi anibiotik karena dengan alasan tertentu dicurigai adanya infeksi sebagai penyebab/ presipitasi timbulnya HONK, meskipun penyebab yang sebenarnya sudah dikoreksi dan dilakukanedukasi untuk penceghan. Pemberian antihipertensi disini bertujuan untuk menurunkan tekanan darah pasien dengan target turun 25% dari MAP atau sekitar 160/ 90 mmHg sesuai protap hipertensi emergensi. Pasien diransfer di ICU untuk mendapatkan perawatan lebih intensif sehubungan dengan penurunan kesadaran dan resiko syok hipovolemik yang mana perlu pemantauan ketat dan pemeriksaan darah secara rutin. Terapi Insulin Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pamberian cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena, dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah turun antara 250 mg per dL (13,9 mmol per L) sampai 300 mg per Dl. Jika konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika konsentrasi glukosa darah sudah mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar (Soewondo, 2009). Pengecekan GDS dilakukan secara intensif tiap jam. Setelah GDS pasien stabil selama 3 jam, pengecekan GDS dapat diperpanjang setiap 2 jam.

Pemberian insulin pada pasien dilakukan persis seperti pada teori penatalaksanaan HHS/HONK yaitu diberikan bolus insulin sampai dengan GDS 250. Kemudian GDS dan elektrolit diperiksa rutin untuk mengetahui ap[akah terjadi hipokalemiapada pasien atau tidak.

Pemberian insulin kemudian dilakukan dengan insulin sliding scale dengan dosis sesuai dengan GDS pasien.

Kesimpulan
A. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik ialah suatu sindrom yang ditandai hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ditandai adanya ketosis, disertai menurunnya kesadaran. B. Faktor yang mempengaruhi koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik diantara adalah infeksi, diabetes mellitus yang tidak terdiagnosis dan penyalahgunaan obat C. Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat kehilangan air D. Penegakan diagnosis selain dari keluhan pasien, pemeriksaan fisik, juga dengan hasil laboratorium yang menunjukkan konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi, osmolaritas serum yang tinggi dan juga pH lebih besar dari 7.30 dan disertai ketonemia ringan atau tidak. E. Penatalaksanaan medikamentosa dengan cara rehidasi intravena agresif, penggantian elektrolit dan pemberian insulin intravena sedangkan penatalaksanaan non

medikamentosanya tidak bisa dilakukan hal ini disebabkan karena pasien tidak koperatif

Referensi
American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes. Diabetes Care. 2004;27(Suppl 1):S15-S35. Foster, Daniel W. 2000. Diabetes Mellitus. Dalam : Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam edisi 13/ editor edisi bahasa inggris, Kurt J. Isselbacher et al; editor bahasa Indonesia, Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC. Hemphill, Robert R. 2012. Hyperosmolar Hyperglicemic State. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1914705-overview#a0156 Kurnia. 2010. Mekanisme Terjadinya Diabetes. Available at : http://id.shvoong.com/medicineand-health/epidemiology-public-health/2094446-mekanisme-terjadinyadiabetes/#ixzz1PmiprcMK

Mansjoer, Arif, Triyanti, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3. Jakarta : Media Aesculapuis. Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry Hartono, Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta : EGC. Soegondo S. Obesitas. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk (Eds). Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007; 4;3:191925. Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik. Dalam : Aru W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing. Stoner, Hyperglycemic hyperosmolar state, American Academy of Family Physician, http://www.aafo.org/afp/20050501/1723.html Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : FKUI WHO. Diabetes Mellitus, WHO Geneva, Available at : Http//www.who.int.inf.fs/en/fact 138.html Yunir, Em, Soebardi, dan Suharko. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta : Interna Publishing.

Penulis
Araafi Hariza Mahandaru, Stase Ilmu Penyakit Dalam, RSUD Panembahan Senopati Bantul, DIY, 2013.

Anda mungkin juga menyukai