Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN HYPERGLYCEMIC HYPEROSMOLAR SINDROME

(HHS) DI RUANG 26 I RSUD dr. SAIFUL ANWAR MALANG

1. DEFINISI
Hyperglicemic hyperosmolar nonketotic syndrome (HHNS) atau Sindrom
hiperglikemik hiperosmolar (SHH) adalah komplikasi yang mengancam nyawa
dari penyakit diabetes mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol. Pertama diketahui lebih
dari seabad yang lalu namun jarang didiagnosis sampai adanya laporan dari
Sament dan Schwartz pada tahun 1957 (Venkatraman & Singhi, 2006). Sindrom
Hiperglikemik hiperosmolar (SHH) ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa
yang ekstrim dalam darah yang disertai dengan hiperosmolar tanpa adanya
ketosis yang signifikan, dan biasanya jarang terjadi pada anak-anak. Namun hasil
studi kasus belakang ini menjelaskan bahwa kejadian SHH pada anak diprediksi
akan meningkat (Zeitler at al., 2011).
Epidemiologi SHH pada anak dan dewasa telah diketahui belakangan ini
(Zeitler at al., 2011) HHNS berjumlah sekitar 5-15% dari seluruh kasus emergensi
hiperglikemi pada diabetes anak-anak maupun dewasa. Pada dewasa HHS terjadi
dengan frekuensi 17,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Sementara data
kejadian pada anak-anak belum sepenuhnya diketahui, namun diprediksi dari
sejumlah 4% anak-anak yang baru terdiagnosis DM di Amerika Serikat akan
menderita SHH dengan estimasi sekitar 12% kasus fatal (Venkatraman & Singhi,
2006).

2. ETIOLOGI
1. Insufisiensi insulin
a. DM, pankreatitis, pankreatektomi
b. Agen pharmakologic (phenitoin, thiazid)
2. Increase exogenous glucose
a. Hiperalimentation (tpn)
b. High kalori enteral feeding
3. Increase endogenous glukosa
a. Acute stress (ami, infeksi)
b. Pharmakologic (glukokortikoid, steroid, thiroid)
4. Infeksi: pneumonia, sepsis, gastroenteritis.
5. Penyakit akut: perdarahan gastrointestinal, pankreatitits dan gangguan
kardiovaskular.
6. Pembedahan/operasi.
7. Pemberian cairan hipertonik.
8. Luka bakar.

Faktor risiko Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik :


1. Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun)
2. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman, atau IMT>27 (kg/m2)
3. Tekanan darah tinggi (TD > 140/90 mmHg)
4. Riwayat keluarga DM
5. Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
6. Riwayat DM pada kehamilan
7. Dislipidemia (HDL<35 mg/dl dan/atau trigliserida>250 mg/dl)
8. Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah
Puasa Terganggu)

3. PATOFISIOLOGI
Sindrom hiperglikemik hiperosmotik ditandai dengan adanya peningkatan
hiperglikemi parah yang dapat dilihat peningkatan osmolaltias serum dan bukti klinis
adanya dehidrasi tanpa akumulasi α-hidroksibutirat atau acetoacetic ketoacids.
Hiperglikemi disebabkan karena defisiensi absolut/relatif dari insulin karena
penurunan respon insulin dari jaringan (resistensi insulin). Hal ini menyebabkan
peningkatan glukoneogenesis dan glikogenolisis yang dapat meningkatkan proses
pembentukan glukosa dari glikogen dan senyawa lain di dalam tubuh, selain itu
terjadi penurunan uptake dan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer sehingga
menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (Venkatraman & Singhi, 2006).
Kejadian yang menginisiasi pada SHH adalah glucosuric dieresis. Munculnya
kadar glukosa dalam urin memperburuk kapasitas pengenceran urin oleh ginjal,
sehingga menyebabkan kehilangan air yang lebih parah. Dalam kondisi yang
normal, ginjal berperan sebagai katup penfaman untuk mengeluarkan glukosa yang
melewati ambang batas dan mencegah akumulasi glukosa lebih lanjut. Penurunan
volume intravascular atau penyakit ginjal dapat menurunkan LFG (Laju filtrasi
glomerulus) menyebabkan kadar glukosa meningkat. Pengeluaran lebih banyak air
daripada natrium menyebabkan hiperosmolar. Insulin diprosuksi, namun tidak cukup
mampu untuk menurunkan kadar glukosa, terutama pada kondisi resistansi insulin
pada penderita Diabetes Melitus (Stoner, 2005)
Penelitian hipertonisitas kronik menunjukkan bahwa sel otak memproduksi
“idiogenic osmoles” yaitu substansi aktif yang secara osmotik mempertahankan
volume intraseluler melalui peningkatan osmolalitas intraseluler. Penderita dipercaya
memiliki faktor resiko edema serebral jika jumlah penurunan osmolalitas serum
melebihi batas kemampuan sel otak unruk eliminasi partikel osmotik. Oleh karena
itu, secara teori anak-anak dengan SHH yang prolonged, peristen hieprtonisitas
merupakan resiko terbesar untuk edema serebral dibandingkan dengan pasien DKA
(diabetic ketoacidosis).

Gambar 1. Patofisiologi Sindrom Hiperglikemik Hiperosmolar (Zeitler at al., 2011)


Defisiensi insulin relatif pada penderita DM dapat menyebabkan penurunan
penggunaan glukosa, peningkatan glukoneogenesis dan peningkatan pemecahan
glikogen menjadi glukosa melalui proses glikogenolisis. Glikogenolisis juga
dipengaruhi secara tidak langsung oleh stress fisiologis melalui peningkatan hormon
glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan, dan kortisol. Keadaan ini selanjutnya
akan menyebabkan hiperglikemia (peningkatan kadar glukosa darah). Hiperglikemi
menyebabkan munculnya glukosa dalam urin (glucosuria) dan peningkatan
osmolalitas intravaskular. Glucosuria selanjutnya menyebabkan kehilangan air dan
elektrolit dalam jumlah yang cukup sehingga menyebabkan gmunculnya gejala
dehidrasi yang selanjutkan akan mempengaruhi fungsi ginjal. Kondisi dehidrasi dan
peningkatan osmolalitas intravaskular akan menimbulkan kondisi hiperosmolar. Hal
ini menyebabkan munculnya sindrom hiperglikemi hiperosmolar (Stoner, 2005;
Zeitler at al., 2011).

4. MANIFESTASI KLINIS
Biasanya penderita yang mengalami SHH adalah pasien lanjut usia dan yang
tidak tediagnosis diabetes atau diabetes tiper 2 yang diterapi dengan diet dengan
atau tanpa pengobatan diabetes oral. Penderita sering menggunakan pengobatan
yang malah memperparah keluhan, seperti penggunaan diuretic yang dapat
menyebabkan dehidrasi ringan. Penderita SHH biasanya lemas, gangguan
penglihatan, atau keram pada tungkai. Mual dan muntah juga kadang terjadi, tetapi
lebih sering pada pasien diabetes ketoasidosis. Kadang-kadang pasien
memperlihatkan gejala letargi, pusing, bingun, dan hemiparesis, kejang atau koma
(Stoner, 2005).
Perubahan pada status mental biasanya terjadi pada konsentrasi osmolalitas
cairan dalam tubuh >330 mosmol/kg. konstelasi dari mata cekung, jalur longitudinal
pada lidah dan kelemahan ekstremitas berkorelasi dengan peningkatan kadar urea
darah. (Gross 1992, Sinert 2005 dalam Joint British Diabetes Societies 2012).
Hipovolemik yang parah dapat menimbulkan manifestasi seperti takikardi
(nadi>100x/menit) dan atau hipotensi (TD sistol<100mmHg) (Lapides 1965, Delaney
2000, Kavouras 2002 dalam Joint British Diabetes Societies 2012).
5. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK)
meliputi lima pendekatan (Soewondo, 2009) :
a. Rehidrasi intravena agresif
b. Penggantian elektrolit
c. Pemberian insulin intravena
d. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
e. Pencegahan

Penatalaksanaan Medikamentosa
a. Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK adalah
penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200
mL per kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan larutan isotonik akan dapat
menyebabkan overload cairan dan cairan hipotoni mungkin dapat
mengkoreksi deficit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan
kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya
diberikan 1L normal saline per jam. Jika pasiennya mengalami
syok hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam
keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik
(Soewondo, 2009).
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan
sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang
baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa
darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini
biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang ata gangguan ginjal
(Soewondo, 2009).
b. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena
konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium
yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan
mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit
harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien juga harus
dimonitor (Soewondo, 2009).
Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L), pemberian
insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat
sampai tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq per L). Jika
konsentrasi kalium lebih besar dari 5,0 mEq per L (5,0 mmol per L),
konsentrasi kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per
L, namun sebaiknya konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua
jam. Jika konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30
mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan
(2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan
konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per L
(Soewondo, 2009).
c. Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pamberian
cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum
pemberian cairan, maka cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi
menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskular, atau kematian.
Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena,
dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah
turun antara 250 mg per dL (13,9 mmol per L) sampai 300 mg per Dl. Jika
konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis
yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika konsentrasi glukosa darah
sudah mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa
secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale
sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar (Soewondo,
2009).

Penatalaksanaan Non Medikamentosa


Pasien Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (KHHNK) biasanya
datang dengan keadaan penurunan kesadaran dan dalam keadaan gawat
darurat, oleh karena itu pemberian obat secara non farmakologi akan kurang tepat
karena memberikan efek yang cukup lama. Penatalaksaan yang tepat bagi pasien
(KHHNK) yaitu secara medikamentosa. Selain itu dapat juga dengan dilakukan
pencegahan penyakit Diabetes Melitus yang biasanya merupakan penyebab awal
KHHNK, meliputi (Yunir, 2009) :
a. Terapi gizi
Prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada
status gizi diabetesi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan
individual.

b. Latihan jasmani
Latihan jasmani pada diabetesi akan menimbulkan perubahan
metabolik, yang dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan, dan tingkat
kebugaran, juga oleh kada insulin plasma, kadar glukosa darah, kadar
benda keton dan imbangan cairan tubuh

c. Identifikasi dan Mengatasi Faktor Penyebab


Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotic kepada
semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi antibiotik
dianjurkan sambil menunggu kultur pada pasien usia lanjut dan pada pasien
hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini, peningkatan konsentrasi C-reactive
protein dan interleukin-6 merupakan indicator awal sepsis pada pasien
dengan HHNK (Soewondo, 2009).

d. Pencegahan
Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya penyuluhan
mengenai pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa darah dan
compliance yang tinggi terhadap pengobatan yang diberikan. Hal lain yang
juga perlu diperhatikan adalah adanya akses terhadap persediaan air. Jika
pasien tinggal sendiri, teman atau anggota keluarga terdekat sebaiknya
secara rutin menengok pasien untuk memperhatikan adanya perubahan
status mental dan kemudian menghubungi dokter jika hal tersebut ditemui
(Soewondo, 2009).
Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam perawatan harus
diberikan edukasi yang memadai mengenai tanda dan gejala HHNK dan juga
edukasi mengenai pentingnya asupan cairan yangmemadai dan pemantauan yang
ketat (Soewondo, 2009).
Kemudian diet yang baik merupakan salah satu pencegahan dari HHNK.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik
sebagai berikut :
a. Karbohidrat : 60-70%
b. Protein : 10-15%
c. Lemak : 20-25%

6. Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan laboratorium Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik sangat
membantu untuk membedakan dengan ketoasidosis diabetik. Kadar glukosa darah >
600 mg%, aseton negative, dan beberapa tambahan yang perlu diperhatikan :
adanya hipertermia, hiperkalemia, azotemia, kadar blood urea nitrogen (BUN):
kreatinin = 30 : 1 (normal 10:1), bikarbonat serum > 17,4 mEq/l.

7. Komplikasi
a) Koma.
b) Gagal jantung.
c) Gagal ginjal.
d) Gangguan hati.
e) Iskemia/infark organ
f) Hipo/hiperglikemia
g) Hipokalemia
h) Hiperkhloremia
i) Edema serebri
j) Kelebihan cairan
k) ARDS
l) Tromboemboli
m) Rhabdomiolisis
Konsep Asuhan Keperawatan Hyperglycemic Hyperosmolar Sindrome (HHS)

Pengkajian
Fokus utama pengkajian pada klien Diabetes Mellitus adalah melakukan
pengkajian dengan ketat terhadap tingkat pengetahuan dan kemampuan untuk
melakukan perawatan diri. Pengkajian secara rinci adalah sebagai berikut
A. PENGKAJIAN PRIMER
Pengkajian dilakukan secara cepat dan sistemik,antara lain :
1. Airway + cervical control
a) Airway
b) Lidah jatuh kebelakang (coma hipoglikemik), Benda asing/ darah pada
rongga mulut
c) Cervical Control : -
2. Breathing + Oxygenation
a) Breathing :
 Ekspos dada, Evaluasi pernafasan
 KAD : Pernafasan kussmaul
 HONK : Tidak ada pernafasan Kussmaul (cepat dan dalam)
b) Oxygenation : Kanula, tube, mask
3. Circulation + Hemorrhage control
a) Circulation :
 Tanda dan gejala schok
 Resusitasi: kristaloid, koloid, akses vena.
b) Hemorrhage control : -
4. Disability : pemeriksaan neurologis è GCS
A : Allert :sadar penuh, respon bagus
V : Voice Respon :kesadaran menurun, berespon thd suara
P : Pain Respons :kesadaran menurun, tdk berespon thd suara,
berespon thd rangsangan nyeri
U : Unresponsive kesadaran menurun, tdk berespon thd suara, tdk
bersespon thd nyeri
B. PENGKAJIAN SEKUNDER
Pemeriksaan sekunder dilakukan setelah memberikan pertolongan
atau penenganan pada pemeriksaan primer.
Pemeriksaan sekunder meliputi :
1) AMPLE : alergi, medication, past illness, last meal, event
2) Pemeriksaan seluruh tubuh : Head to toe
3) Pemeriksaan penunjang : lebih detail, evaluasi ulang

Pemeriksaan Diagnostik
1) Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200mg/dl).
Biasanya, tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar
glukosa meningkat dibawah kondisi stress.
2) Gula darah puasa normal atau diatas normal.
3) Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
4) Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
5) Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan
ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada
terjadinya aterosklerosis.

Anamnese
a) Keluhan Utama
Cemas, lemah, anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, nafas pasien
mungkin berbau aseton pernapasan kussmaul, poliuri, polidipsi, penglihatan
yang kabur, kelemahan dan sakit kepala
b) Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya penyakit (Coma Hipoglikemik, KAD/ HONK),
penyebab terjadinya penyakit (Coma Hipoglikemik, KAD/ HONK) serta upaya
yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
c) Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada
kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya
riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis
yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh
penderita.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat atau adanya faktor resiko, riwayat keluarga tentang penyakit,
obesitas, riwayat pankreatitis kronik, riwayat melahirkan anak lebih dari 4 kg,
riwayat glukosuria selama stress (kehamilan, pembedahan, trauma, infeksi,
penyakit) atau terapi obat (glukokortikosteroid, diuretik tiasid, kontrasepsi
oral).
e) Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami
penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga
terhadap penyakit penderita.
f) Kaji terhadap manifestasi Diabetes Mellitus: poliuria, polidipsia, polifagia,
penurunan berat badan, pruritus vulvular, kelelahan, gangguan penglihatan,
peka rangsang, dan kram otot. Temuan ini menunjukkan gangguan elektrolit
dan terjadinya komplikasi aterosklerosis.
g) Kaji pemahaman pasien tentang kondisi, tindakan, pemeriksaan diagnostik
dan tindakan perawatan diri untuk mencegah komplikasi.

Diagnosa yang Mungkin Muncul


a) Nyeri akut b.d agen injuri biologis (penurunan perfusi jaringan perifer)
b) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d.
ketidakmampuan menggunakan glukose (tipe 1)
c) Ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh b.d. kelebihan
intake nutrisi (tipe 2)
d) Defisit Volume Cairan b.d Kehilangan volume cairan secara aktif,
Kegagalan mekanisme pengaturan
e) Resiko ketidakseimbangan kadar glukosa darah
f) Perfusi jaringan tidak efektif b.d hipoksemia jaringan.
RENCANA KEPERAWATAN HYPERGLYCEMIC HYPEROSMOLAR SINDROME (HHS)

NO DIAGNOSA TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)


1 Nyeri akut NOC: Manajemen nyeri :
berhubungan dengan ü Tingkat nyeri a) Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif
agen injuri biologis ü Nyeri terkontrol termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
(penurunan perfusi ü Tingkat kenyamanan frekuensi, kualitas dan ontro presipitasi.
jaringan perifer) Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama b) Observasi reaksi nonverbal dari
3 x 24 jam, klien dapat : ketidaknyamanan.
 Mengontrol nyeri, dengan indikator : c) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
 Mengenal faktor-faktor penyebab mengetahui pengalaman nyeri klien
 Mengenal onset nyeri sebelumnya.
 Tindakan pertolongan non d) Kontrol ontro lingkungan yang mempengaruhi
farmakologi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan,
 Menggunakan analgetik kebisingan.
 Melaporkan gejala-gejala nyeri e) Kurangi ontro presipitasi nyeri.
kepada tim kesehatan. f) Pilih dan lakukan penanganan nyeri
 Nyeri terkontrol (farmakologis/non farmakologis)..
 Menunjukkan tingkat nyeri, dengan g) Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi,
indikator: distraksi dll) untuk mengetasi nyeri..
 Melaporkan nyeri h) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
 Frekuensi nyeri i) Evaluasi tindakan pengurang nyeri/ontrol nyeri.
 Lamanya episode nyeri j) Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain
 Ekspresi nyeri; wajah tentang pemberian analgetik tidak berhasil.
 Perubahan respirasi rate k) Monitor penerimaan klien tentang manajemen
 Perubahan tekanan darah nyeri.
 Kehilangan nafsu makan Administrasi analgetik :.
. a. Cek program pemberian analogetik; jenis,
dosis, dan frekuensi.
b. Cek riwayat alergi..
c. Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian
dan dosis optimal.
d. Monitor TTV sebelum dan sesudah
pemberian analgetik.
e. Berikan analgetik tepat waktu terutama saat
nyeri muncul.
f. Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan
gejala efek samping.
2 Ketidakseimbangan Nutritional Status : Food and Fluid Intake Nutrition Management
nutrisi kurang dari  Intake makanan peroral yang adekuat a. Monitor intake makanan dan minuman yang
kebutuhan tubuh b.d.  Intake NGT adekuat dikonsumsi klien setiap hari
ketidakmampuan  Intake cairan peroral adekuat b. Tentukan berapa jumlah kalori dan tipe zat
menggunakan glukose  Intake cairan yang adekuat gizi yang dibutuhkan dengan berkolaborasi
(tipe 1)  Intake TPN adekuat dengan ahli gizi
c. Dorong peningkatan intake kalori, zat besi,
protein dan vitamin C
d. Beri makanan lewat oral, bila memungkinkan
e. Kaji kebutuhan klien akan pemasangan NGT
f. Lepas NGT bila klien sudah bisa makan
lewat oral
3 Ketidakseimbangan Nutritional Status : Nutrient Intake Weight Management
nutrisi lebih dari  Kalori a. Diskusikan dengan pasien tentang kebiasaan
kebutuhan tubuh b.d.  Protein dan budaya serta faktor hereditas yang
kelebihan intake nutrisi  Lemak mempengaruhi berat badan.
(tipe 2)  Karbohidrat b. Diskusikan resiko kelebihan berat badan.
 Vitamin c. Kaji berat badan ideal klien.
 Mineral d. Kaji persentase normal lemak tubuh klien.
 Zat besi e. Beri motivasi kepada klien untuk
 Kalsium menurunkan berat badan.
f. Timbang berat badan setiap hari.
g. Buat rencana untuk menurunkan berat
badan klien.
h. Buat rencana olahraga untuk klien.
i. Ajari klien untuk diet sesuai dengan
kebutuhan nutrisinya.
4 Defisit Volume Cairan NOC: NIC :
b.d Kehilangan volume  Fluid balance 1) Fluid management
cairan secara aktif,  Hydration a) Timbang popok/pembalut jika diperlukan
Kegagalan mekanisme  Nutritional Status : Food and Fluid Intake b) Pertahankan catatan intake dan output yang
pengaturan Kriteria Hasil : akurat
 Mempertahankan urine output sesuai c) Monitor status hidrasi ( kelembaban membran
dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT mukosa, nadi adekuat, tekanan darah
normal ortostatik ), jika diperlukan
 Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam d) Monitor vital sign
batas normal e) Monitor masukan makanan / cairan dan hitung
 Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas intake kalori harian
turgor kulit baik, membran mukosa lembab, f) Kolaborasikan pemberian cairan IV
tidak ada rasa haus yang berlebihan g) Monitor status nutrisi
h) Berikan cairan IV pada suhu ruangan
i) Dorong masukan oral
j) Berikan penggantian nesogatrik sesuai output
k) Dorong keluarga untuk membantu pasien
makan
l) Tawarkan snack ( jus buah, buah segar )
m) Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih
muncul meburuk
n) Atur kemungkinan tranfusi
o) Persiapan untuk tranfusi
5 Resiko Setelah dilakukan askep….x24 jam diharapkan Managemen Hipoglikemia:
ketidakseimbangan perawat akan menangani dan meminimalkan a) Monitor tingkat gula darah sesuai indikasi
kadar glukosa darah episode hipo/ hiperglikemia. b) 2. Monitor tanda dan gejala hipoglikemi ;
kadar gula darah < 70 mg/dl, kulit dingin,
lembab pucat, tachikardi, peka rangsang,
gelisah, tidak sadar , bingung, ngantuk.
c) 3. Jika klien dapat menelan berikan jus
jeruk / sejenis jahe setiap 15 menit sampai
kadar gula darah > 69 mg/dl
d) Berikan glukosa 50 % dalam IV sesuai
protokol
e) K/P kolaborasi dengan ahli gizi untuk dietnya.
Managemen Hiperglikemia
a) Monitor GDR sesuai indikasi
b) Monitor tanda dan gejala diabetik ketoasidosis
; gula darah > 300 mg/dl, pernafasan bau
aseton, sakit kepala, pernafasan kusmaul,
anoreksia, mual dan muntah, tachikardi, TD
rendah, polyuria, polidypsia,poliphagia,
keletihan, pandangan kabur atau kadar
Na,K,Po4 menurun.
c) Monitor v/s :TD dan nadi sesuai indikasi
d) Berikan insulin sesuai order
e) Pertahankan akses IV
f) Berikan IV fluids sesuai kebutuhan
g) Konsultasi dengan dokter jika tanda dan gejala
Hiperglikemia menetap atau memburuk
h) Dampingi/ Bantu ambulasi jika terjadi hipotensi
i) Batasi latihan ketika gula darah >250 mg/dl
khususnya adanya keton pada urine
j) Pantau jantung dan sirkulasi ( frekuensi &
irama, warna kulit, waktu pengisian kapiler,
nadi perifer dan kalium
k) Anjurkan banyak minum
l) Monitor status cairan I/O sesuai kebutuhan
6 Perfusi jaringan tidak NOC : NIC :
efektif b.d hipoksemia  Circulation status Peripheral Sensation Management (Manajemen
jaringan.  Tissue Prefusion : cerebral sensasi perifer)
Kriteria Hasil : a) Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka
 mendemonstrasikan status sirkulasi terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
 Tekanan systole dandiastole dalam b) Monitor adanya paretese
rentang yang diharapkan c) Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit
 Tidak ada ortostatikhipertensi jika ada lsi atau laserasi
 Tidak ada tanda tanda peningkatan d) Gunakan sarun tangan untuk proteksi
tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15 e) Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
mmHg) f) Monitor kemampuan BAB
 mendemonstrasikan kemampuan kognitif g) Kolaborasi pemberian analgetik
yang ditandai dengan: h) Monitor adanya tromboplebitis
 berkomunikasi dengan jelas dan i) Diskusikan menganai penyebab perubahan
sesuai dengan kemampuan sensasi
 menunjukkan perhatian,
konsentrasi dan orientasi
 memproses informasi
 membuat keputusan dengan
benar
DAFTAR PUSTAKA

Zeiter, P., Haqq, A., Rosenbloom, A. & Glaser, N. 2011. Hyperglicemic


Hyperosmolar Syndrome in Children: Pathophysiological consideration and
Suggested Guidelines for Treatment. The Journal of Pediatric 2011(4):1

Venkatraman, R. & Singhi, S.C. 2008. Hyperglicemic Hyperosmolar Nonketotic


Syndrome. Indian Journal of Pediatric, 2008(73):1

Joint British Diabetes Societies. 2012. The Management of The Hyperosmolar State
(HHS) in Adults with Diabetes.

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC

Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi
6. Jakarta: EGC

Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC

Indriastuti, Na. 2008. Laporan Asuhan Keperawatan Pada Ny. J Dengan Efusi
Pleura dan Diabetes Mellitus Di Bougenvil 4 RSUP dr Sardjito
Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius

Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second


Edition. New Jersey: Upper Saddle River

Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT Alumni

Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta:


Prima Medika

Anda mungkin juga menyukai