1. DEFINISI
Hyperglicemic hyperosmolar nonketotic syndrome (HHNS) atau Sindrom
hiperglikemik hiperosmolar (SHH) adalah komplikasi yang mengancam nyawa
dari penyakit diabetes mellitus tipe 2 yang tidak terkontrol. Pertama diketahui lebih
dari seabad yang lalu namun jarang didiagnosis sampai adanya laporan dari
Sament dan Schwartz pada tahun 1957 (Venkatraman & Singhi, 2006). Sindrom
Hiperglikemik hiperosmolar (SHH) ditandai dengan peningkatan konsentrasi glukosa
yang ekstrim dalam darah yang disertai dengan hiperosmolar tanpa adanya
ketosis yang signifikan, dan biasanya jarang terjadi pada anak-anak. Namun hasil
studi kasus belakang ini menjelaskan bahwa kejadian SHH pada anak diprediksi
akan meningkat (Zeitler at al., 2011).
Epidemiologi SHH pada anak dan dewasa telah diketahui belakangan ini
(Zeitler at al., 2011) HHNS berjumlah sekitar 5-15% dari seluruh kasus emergensi
hiperglikemi pada diabetes anak-anak maupun dewasa. Pada dewasa HHS terjadi
dengan frekuensi 17,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Sementara data
kejadian pada anak-anak belum sepenuhnya diketahui, namun diprediksi dari
sejumlah 4% anak-anak yang baru terdiagnosis DM di Amerika Serikat akan
menderita SHH dengan estimasi sekitar 12% kasus fatal (Venkatraman & Singhi,
2006).
2. ETIOLOGI
1. Insufisiensi insulin
a. DM, pankreatitis, pankreatektomi
b. Agen pharmakologic (phenitoin, thiazid)
2. Increase exogenous glucose
a. Hiperalimentation (tpn)
b. High kalori enteral feeding
3. Increase endogenous glukosa
a. Acute stress (ami, infeksi)
b. Pharmakologic (glukokortikoid, steroid, thiroid)
4. Infeksi: pneumonia, sepsis, gastroenteritis.
5. Penyakit akut: perdarahan gastrointestinal, pankreatitits dan gangguan
kardiovaskular.
6. Pembedahan/operasi.
7. Pemberian cairan hipertonik.
8. Luka bakar.
3. PATOFISIOLOGI
Sindrom hiperglikemik hiperosmotik ditandai dengan adanya peningkatan
hiperglikemi parah yang dapat dilihat peningkatan osmolaltias serum dan bukti klinis
adanya dehidrasi tanpa akumulasi α-hidroksibutirat atau acetoacetic ketoacids.
Hiperglikemi disebabkan karena defisiensi absolut/relatif dari insulin karena
penurunan respon insulin dari jaringan (resistensi insulin). Hal ini menyebabkan
peningkatan glukoneogenesis dan glikogenolisis yang dapat meningkatkan proses
pembentukan glukosa dari glikogen dan senyawa lain di dalam tubuh, selain itu
terjadi penurunan uptake dan penggunaan glukosa oleh jaringan perifer sehingga
menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah (Venkatraman & Singhi, 2006).
Kejadian yang menginisiasi pada SHH adalah glucosuric dieresis. Munculnya
kadar glukosa dalam urin memperburuk kapasitas pengenceran urin oleh ginjal,
sehingga menyebabkan kehilangan air yang lebih parah. Dalam kondisi yang
normal, ginjal berperan sebagai katup penfaman untuk mengeluarkan glukosa yang
melewati ambang batas dan mencegah akumulasi glukosa lebih lanjut. Penurunan
volume intravascular atau penyakit ginjal dapat menurunkan LFG (Laju filtrasi
glomerulus) menyebabkan kadar glukosa meningkat. Pengeluaran lebih banyak air
daripada natrium menyebabkan hiperosmolar. Insulin diprosuksi, namun tidak cukup
mampu untuk menurunkan kadar glukosa, terutama pada kondisi resistansi insulin
pada penderita Diabetes Melitus (Stoner, 2005)
Penelitian hipertonisitas kronik menunjukkan bahwa sel otak memproduksi
“idiogenic osmoles” yaitu substansi aktif yang secara osmotik mempertahankan
volume intraseluler melalui peningkatan osmolalitas intraseluler. Penderita dipercaya
memiliki faktor resiko edema serebral jika jumlah penurunan osmolalitas serum
melebihi batas kemampuan sel otak unruk eliminasi partikel osmotik. Oleh karena
itu, secara teori anak-anak dengan SHH yang prolonged, peristen hieprtonisitas
merupakan resiko terbesar untuk edema serebral dibandingkan dengan pasien DKA
(diabetic ketoacidosis).
4. MANIFESTASI KLINIS
Biasanya penderita yang mengalami SHH adalah pasien lanjut usia dan yang
tidak tediagnosis diabetes atau diabetes tiper 2 yang diterapi dengan diet dengan
atau tanpa pengobatan diabetes oral. Penderita sering menggunakan pengobatan
yang malah memperparah keluhan, seperti penggunaan diuretic yang dapat
menyebabkan dehidrasi ringan. Penderita SHH biasanya lemas, gangguan
penglihatan, atau keram pada tungkai. Mual dan muntah juga kadang terjadi, tetapi
lebih sering pada pasien diabetes ketoasidosis. Kadang-kadang pasien
memperlihatkan gejala letargi, pusing, bingun, dan hemiparesis, kejang atau koma
(Stoner, 2005).
Perubahan pada status mental biasanya terjadi pada konsentrasi osmolalitas
cairan dalam tubuh >330 mosmol/kg. konstelasi dari mata cekung, jalur longitudinal
pada lidah dan kelemahan ekstremitas berkorelasi dengan peningkatan kadar urea
darah. (Gross 1992, Sinert 2005 dalam Joint British Diabetes Societies 2012).
Hipovolemik yang parah dapat menimbulkan manifestasi seperti takikardi
(nadi>100x/menit) dan atau hipotensi (TD sistol<100mmHg) (Lapides 1965, Delaney
2000, Kavouras 2002 dalam Joint British Diabetes Societies 2012).
5. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK)
meliputi lima pendekatan (Soewondo, 2009) :
a. Rehidrasi intravena agresif
b. Penggantian elektrolit
c. Pemberian insulin intravena
d. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta
e. Pencegahan
Penatalaksanaan Medikamentosa
a. Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan HHNK adalah
penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan
mempertimbangkan perkiraan defisit cairan (biasanya 100 sampai 200
mL per kg, atau total rata-rata 9 L). Penggunaan larutan isotonik akan dapat
menyebabkan overload cairan dan cairan hipotoni mungkin dapat
mengkoreksi deficit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan
kematian dan lisis mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya
diberikan 1L normal saline per jam. Jika pasiennya mengalami
syok hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien dalam
keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik
(Soewondo, 2009).
Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun, bahkan
sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi indikator yang
baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi glukosa
darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dL per jam, hal ini
biasanya menunjukkan penggantian cairan yang kurang ata gangguan ginjal
(Soewondo, 2009).
b. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena
konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium
yang sebenarnya akan terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan
mengakibatkan kalium serum masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit
harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien juga harus
dimonitor (Soewondo, 2009).
Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol per L), pemberian
insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat
sampai tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq per L). Jika
konsentrasi kalium lebih besar dari 5,0 mEq per L (5,0 mmol per L),
konsentrasi kalium harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per
L, namun sebaiknya konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua
jam. Jika konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30
mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan
(2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk mempertahankan
konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per L (4,0 mmol per L) dan 5,0 mEq per L
(Soewondo, 2009).
c. Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pamberian
cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum
pemberian cairan, maka cairan akan berpindah ke intrasel dan berpotensi
menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps vaskular, atau kematian.
Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena,
dan diikuti dengan drip 0,1U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah
turun antara 250 mg per dL (13,9 mmol per L) sampai 300 mg per Dl. Jika
konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam, dosis
yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika konsentrasi glukosa darah
sudah mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya diberikan dekstrosa
secara intravena dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale
sampai pulihnya kesadaran dan keadaan hiperosmolar (Soewondo,
2009).
b. Latihan jasmani
Latihan jasmani pada diabetesi akan menimbulkan perubahan
metabolik, yang dipengaruhi selain oleh lama, berat latihan, dan tingkat
kebugaran, juga oleh kada insulin plasma, kadar glukosa darah, kadar
benda keton dan imbangan cairan tubuh
d. Pencegahan
Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya penyuluhan
mengenai pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa darah dan
compliance yang tinggi terhadap pengobatan yang diberikan. Hal lain yang
juga perlu diperhatikan adalah adanya akses terhadap persediaan air. Jika
pasien tinggal sendiri, teman atau anggota keluarga terdekat sebaiknya
secara rutin menengok pasien untuk memperhatikan adanya perubahan
status mental dan kemudian menghubungi dokter jika hal tersebut ditemui
(Soewondo, 2009).
Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam perawatan harus
diberikan edukasi yang memadai mengenai tanda dan gejala HHNK dan juga
edukasi mengenai pentingnya asupan cairan yangmemadai dan pemantauan yang
ketat (Soewondo, 2009).
Kemudian diet yang baik merupakan salah satu pencegahan dari HHNK.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik
sebagai berikut :
a. Karbohidrat : 60-70%
b. Protein : 10-15%
c. Lemak : 20-25%
6. Pemeriksaan Penunjang.
Pemeriksaan laboratorium Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik sangat
membantu untuk membedakan dengan ketoasidosis diabetik. Kadar glukosa darah >
600 mg%, aseton negative, dan beberapa tambahan yang perlu diperhatikan :
adanya hipertermia, hiperkalemia, azotemia, kadar blood urea nitrogen (BUN):
kreatinin = 30 : 1 (normal 10:1), bikarbonat serum > 17,4 mEq/l.
7. Komplikasi
a) Koma.
b) Gagal jantung.
c) Gagal ginjal.
d) Gangguan hati.
e) Iskemia/infark organ
f) Hipo/hiperglikemia
g) Hipokalemia
h) Hiperkhloremia
i) Edema serebri
j) Kelebihan cairan
k) ARDS
l) Tromboemboli
m) Rhabdomiolisis
Konsep Asuhan Keperawatan Hyperglycemic Hyperosmolar Sindrome (HHS)
Pengkajian
Fokus utama pengkajian pada klien Diabetes Mellitus adalah melakukan
pengkajian dengan ketat terhadap tingkat pengetahuan dan kemampuan untuk
melakukan perawatan diri. Pengkajian secara rinci adalah sebagai berikut
A. PENGKAJIAN PRIMER
Pengkajian dilakukan secara cepat dan sistemik,antara lain :
1. Airway + cervical control
a) Airway
b) Lidah jatuh kebelakang (coma hipoglikemik), Benda asing/ darah pada
rongga mulut
c) Cervical Control : -
2. Breathing + Oxygenation
a) Breathing :
Ekspos dada, Evaluasi pernafasan
KAD : Pernafasan kussmaul
HONK : Tidak ada pernafasan Kussmaul (cepat dan dalam)
b) Oxygenation : Kanula, tube, mask
3. Circulation + Hemorrhage control
a) Circulation :
Tanda dan gejala schok
Resusitasi: kristaloid, koloid, akses vena.
b) Hemorrhage control : -
4. Disability : pemeriksaan neurologis è GCS
A : Allert :sadar penuh, respon bagus
V : Voice Respon :kesadaran menurun, berespon thd suara
P : Pain Respons :kesadaran menurun, tdk berespon thd suara,
berespon thd rangsangan nyeri
U : Unresponsive kesadaran menurun, tdk berespon thd suara, tdk
bersespon thd nyeri
B. PENGKAJIAN SEKUNDER
Pemeriksaan sekunder dilakukan setelah memberikan pertolongan
atau penenganan pada pemeriksaan primer.
Pemeriksaan sekunder meliputi :
1) AMPLE : alergi, medication, past illness, last meal, event
2) Pemeriksaan seluruh tubuh : Head to toe
3) Pemeriksaan penunjang : lebih detail, evaluasi ulang
Pemeriksaan Diagnostik
1) Tes toleransi Glukosa (TTG) memanjang (lebih besar dari 200mg/dl).
Biasanya, tes ini dianjurkan untuk pasien yang menunjukkan kadar
glukosa meningkat dibawah kondisi stress.
2) Gula darah puasa normal atau diatas normal.
3) Essei hemoglobin glikolisat diatas rentang normal.
4) Urinalisis positif terhadap glukosa dan keton.
5) Kolesterol dan kadar trigliserida serum dapat meningkat menandakan
ketidakadekuatan kontrol glikemik dan peningkatan propensitas pada
terjadinya aterosklerosis.
Anamnese
a) Keluhan Utama
Cemas, lemah, anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen, nafas pasien
mungkin berbau aseton pernapasan kussmaul, poliuri, polidipsi, penglihatan
yang kabur, kelemahan dan sakit kepala
b) Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya penyakit (Coma Hipoglikemik, KAD/ HONK),
penyebab terjadinya penyakit (Coma Hipoglikemik, KAD/ HONK) serta upaya
yang telah dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
c) Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain yang ada
kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya penyakit pankreas. Adanya
riwayat penyakit jantung, obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis
yang pernah di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh
penderita.
d) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat atau adanya faktor resiko, riwayat keluarga tentang penyakit,
obesitas, riwayat pankreatitis kronik, riwayat melahirkan anak lebih dari 4 kg,
riwayat glukosuria selama stress (kehamilan, pembedahan, trauma, infeksi,
penyakit) atau terapi obat (glukokortikosteroid, diuretik tiasid, kontrasepsi
oral).
e) Riwayat psikososial
Meliputi informasi mengenai prilaku, perasaan dan emosi yang dialami
penderita sehubungan dengan penyakitnya serta tanggapan keluarga
terhadap penyakit penderita.
f) Kaji terhadap manifestasi Diabetes Mellitus: poliuria, polidipsia, polifagia,
penurunan berat badan, pruritus vulvular, kelelahan, gangguan penglihatan,
peka rangsang, dan kram otot. Temuan ini menunjukkan gangguan elektrolit
dan terjadinya komplikasi aterosklerosis.
g) Kaji pemahaman pasien tentang kondisi, tindakan, pemeriksaan diagnostik
dan tindakan perawatan diri untuk mencegah komplikasi.
Joint British Diabetes Societies. 2012. The Management of The Hyperosmolar State
(HHS) in Adults with Diabetes.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol 3.
Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik Klinis, edisi
6. Jakarta: EGC
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Indriastuti, Na. 2008. Laporan Asuhan Keperawatan Pada Ny. J Dengan Efusi
Pleura dan Diabetes Mellitus Di Bougenvil 4 RSUP dr Sardjito
Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit PT Alumni