Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS JURNAL HIPERGLIKEMI HYPEROSMOLAR NON KATOTIK(HHNK)

DAN ASUHAN KEPERAWATAN


Dosen Pengajar : Arabta Malem Peraten Pelawi,S.Kep., Ns.,M.Kep

DISUSUN OLEH :
Ricardo Hajan Piran
Rika Alfian
Rohayati
Safinatunnajah A
Sekar Noedara
Sholeha
Siti Fatmila
Thalia Hanna Nababan
Tiara Sandia
Yulinda Hananing Tiyas
HALAMAN JUDUL
S1 ILMU KEPERAWATAN TAHUN AJARAN 2019/2020
STIKes MEDISTRA INDONESIA
JL.Cut Mutia No.88A Sepanjang Jaya,Bekasi
KONSEP DASAR

A. DEFINISI
HHNK (hiperglikemia hiperosmolaritas non ketotik) merupakan suatu komplikasi
yang sering terjadi pada diabetes mellitus tipe dua yang tak terkontrol. HHNK terjadi pada 5
dan 15% pada dewasa serta anak – anak yang mengalami kedaruratan diabetes hiperglikemik.
Kondisi ini biasanya terjadi pada pasien muda diikuti dengan stress akut pada sepsis atau
trauma, penggunaan beberapa obat dan kondisi lain tanpa hal – hal yang mendasari diabetes
mellitus tipe dua. (Venkatraman, 2006)
HHNK merupakan sindrom yang ditandai oleh hiperglikmia ekstrim dan deplesi
volume intravaskular tanpa ketonemia dan dengan asidosis dan ketonuria yang minimal atau
tidak ada. Influenza atau pneumonia bakterial dapat mencetuskan terjadinya HHNK pada
pasien diabetes mellitus tipe dua. (Stillwell, 2011).
HHNS atau Hyperosmolar Hyperglicemic Nonketotic Syndrome adalah kondisi serius
yang banyak terjadi pada orang tua. Kondisi ini dapat terjadi pada pasien yang menderita
diabetes tipe 1 ataupun 2 yang tidak terkontrol secara baik,tapi lebih sering terjadi pada
diabetes tipe 2. HHNS biasanya juga diikuti dengan kondisi lain seperti infeksi (American
Diabetes Association, 2013).

B. Etiologi
HHNK berkaitan dengan banyak faktor seperti ketidakadekuatan insulin, stres,
perubahan diet atau pengenalan obat baru pada regimen sehari-hari pasien yang mencakup
kortikosteroid, diuretik tiazid, furosemid, interferon, suplemen kalium, fenitoin natrium, dan
propranolol pada pasien diabetes melitus. Stresor fisiologis pencetus tersebut menyebabkan
gangguan metabolisme tubuh sehingga tubuh tidak mempunyai insulin yang cukup untuk
mencegah hiperglikemia,namun mempunyai insulin endogen yang cukup untuk mencegah
lipolisis dan ketosis. (Stillwell, 2011).
C. Patofisiologi
Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik mengambarkan kekurangan hormon insulin
dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan insulin menyebabkan hambatan pergerakan
glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan hormon
glukagon menyebabkan glycogenolisis yang dapat meningkatkan kadar glukosa plasma.
Peningkatan kadar glukosa mengakibatkan hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar serum akan
menarik cairan intraseluler ke dalam intra vaskular yang dapat menurunkan volume cairan
intraselluler dan akan menyebabkan kekurangan cairan.
Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal, sehingga timbul
glycosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan ( poliuria ). Dampak
dari poliuria akan menyebabkan kehilangan cairan berlebihan dan diikuti hilangnya potasium,
sodium dan phospat.
Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen
sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan
hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila
terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa
dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua kelebihan
dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan glukosuria maka
sejumlah air hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intra
selluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus
menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun
mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat lagi dan timbul hiperosmolar hiperglikemik.
Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya transport glukosa ke
sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein
menjadi menipis. Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh. Kegagalan
tubuh mengembalikan ke situasi homestasis akan mengakibatkan hiperglikemia,
hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan dan dehidrasi berat. Disfungsi sistem saraf pusat
karena ganguan transport oksigen ke otak dan cenderung menjadi koma (Setyohadi,2010).

D. Manifetasi Klinis
Pasien dengan HHNK umumnya berusia lanjut dan pasien DM tipe 2 yang mendapat
pengaturan diet dan atau obat hipoglikemik oral. Seringkali dijumpai penggunaan obat yang
semakin memperberat masalah,misalnya diuretik.
Keluhan pasien HHNK ialah rasa lemah,gangguan penglihatan atau kaki kejang.
Dapat pula ditemukan keluhan mual muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan dengan
KAD. Kadang pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi,
hemiparesis, kejang, atau koma.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor yang
buruk,mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ektremitas yang dingin dan denyut
nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu yang tak terlalu tinggi.
Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen yang membaik setelah rehidrasi
adekuat.
Perubahan status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai koma. Derajat
gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif
serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg(350 mmol
per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien dan dapat berupa kejang umum, lokal, maupun
mioklonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat reversibel dengan koreksi defisit
cairan.
Secara klinik HHNK akan sulit dibedakan dengan KAD terutama bila hasil
laboratorium seperti konsentrasi glukosa darah, keton dan analisis gas darah belm ada
hasilnya. Berikut ini gambaran tanda dan gejala yang membedakan keduanya:
1. Sering ditemukan pada usia lanjut yaitu usia lebih dari 60 tahun.
2. Hampir separuh pasien memiliki riwayat DM tanpa insulin.
3. Mempunyai penyakit dasar lain, ditemukan 85% mengidap penyakit ginjal atau
kardiovaskuler,pernah ditemukan penyakit akromegali, tirotoksikosis, dan penyakit
cushing.
4. Sering disebabkan oleh obat-obatan antara lain kortikosteroid, diuretik tiazid,
furosemid, interferon, suplemen kalium, fenitoin natrium, dan propranolol.
5. Mempunyai faktor pencetus misalnya infeksi, penyakit kardiovaskuler, aritmia,
perdarahan, gangguan keseimbangan cairan, pankreatis, koma hepatik dan operasi
(Sudoyo, 2010)
Diagnosa klinik dari HHNK meliputi :
1) Glukosa plasma 600 mg/dl atau lebih
2) Osmolalits serum 320 mOsm/ kg atau lebih
3) Dehidrasi berat (biasanya 8-12 liter) dengan peningkatan BUN
4) Ketonuria minimal,tidak ada ketonemia
5) Bikarbonat > 15 mEq/L
6) Perubahan dalam kesadaran (Setyohadi, 2010)

E. Pemeriksaan penunjang
Temuan laboratrium awal pada pasien dengan HHNK adalah konsentrasi glukosa
darah yang sangat tinggi (>600 mg per dl) dan osmolaritas serum yang tinggi (>320 mOsm
per kg air ( normal 290 ±5)), dengan pH lebih besar dari 7,30 dan disertai dengan ketonemia
ringan atau tidak. Separuh pasien akan menunjukkan asidosis metabolik dengan anion
gap yang ringan (10-12). Jika anion gap nya berat (>12), harus dipikirkan diagnosis
diferensial asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah dan penggunaan diuretik tiazid dapat
menyebabkan alkalosis metabolik yang dapat menutupi tingkat keparahan asidosis.
Konsentrasi kalium dapat meningkat atau normal. Konsentrasi kreatinin, blood urea
nitrogen (BUN), dan hematokrit hampir selalu meningkat. HHNK menyebabkan tubuh
banyak kehilangan berbagai macam elekttrolit (Setyohadi,2010).
Konsentrasi natrium harus dikoreksi jika konsentrasi glukosa darah pasien sangat
meningkat. Jenis cairan yang diberikan tergantung dengan dari onsentrasi natrium yang sudah
dikoreksi, yang dapat dihitung dengan rumus :

Sodium + 165x (Glukosa darah (mg/dl) – 100)


(mEq/L) 100
No
Elektrolit Hilang
.

1. Natrium 7-13 mEq per kg

2. Klorida 3-7 mEq pr kg

3. Kalium 5-15 mEq per kg

4. Fosfat 70-140 mmol per kg

5. Kalsium 50-100 mEq per kg

6. Magnesium 50-100 mEq per kg

7. Air 100-200 mEq per kg


F. Penatalaksanaan HHNK
Penatalaksanaan HHNK serupa dengan KAD, hanya cairan yang diberikan adalah
cairan hipotonis (1/2N, 2A). Pemantauan konsentrasi glukosa darah harus lebih ketat, dan
pemberian insulin harus lebih cermat dan hati-hati. Respon penurunan konsentrasi glukosa
darah lebih baik. Walaupun demikian, angka kematian lebih tinggi, karena lebih banyak
terjadi pada usia lanjut,yang tentu sajaebih banyak isertai kelainan organ-organ yang lainnya.
Penatalaksanaan HHNK memerlukan monitoring ketat terhadap kondisi pasien dan
responnya terhadap terapi yang diberikan. Pasien-pasien tersebut harus dirawat dan sebagian
besar dirawat di ruang rawat intensif atau intermediate. Penatalaksanaan HHNK meliputi
lima pendekatan yakni rehidrasi intravena agresif, penggantian elektrolit, pemberian insulin
intravena, diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit peserta, dan pencegahan
(Setyohadi,2010).
1. Cairan
Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksanaan HHNK adalah penggantian
cairan yang agresif, dimana sebaiknya dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan defisit
cairan (biasanya 100-200 ml per kg, atau total rata-rata 9 liter). Penggunaan cairan isotonik
akan dapat menyebabkan overload cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat mengkoreksi
defisit cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis mielin difus.
Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1 liter normal saline per jam. Jika pasien
mengalami syok hipovolemik,mungkin diberikan plasma expenders. Jika pasien dalam
keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor hemodinamik.
Pada orang dewasa resiko edema serebri rendah sedangkan konsekuensi dari terapi
yang tidak memadai meliputi oklusi vaskular dan peningkatan mortalitas. Pada awal terapi
konsentrasi glukosa darah akan menurun,bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat
menjadi indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan. Jika konsentrasi
glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-100 mg per dl per jam, hal ini biasanya
menunjukkan penggantian cairan yang kurang atau gangguan ginjal (Sudoyo, 2010).
2. Elektrolit
Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui pasti, karena konsentrasi
kalium dalam tubuh dapat normal atau tinggi. Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan
terlihat ketika diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum masuk ke
dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-menerus dan irama jantung pasien juga
harus dimonitor.
Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per liter (3,3 mmol per liter), pemberian
insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai
tercapai konsentrasi kalium setidaknya 3,3 mEq per liter). Jika konsentrasi kalium lebih besar
dari 5,0 mmol per liter, konsentrasi kalium harus diturunkan sampai dengan dibawah 5,0 mEq
per liter,namun sebaiknya konsntrasi kalium dimonitor setiap dua jam. Jika konsentrasi
kalium antara 3,3-5,0 mEq per liter, maka 20-30 mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter
cairan intravena yang diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk
mempertahankan konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per liter dan 5,0 mEq per liter (Sudoyo,
2010).
Sedangkan rumus untuk penghitungan natrium adalah sebagai berikut :
(2 x sodium (mEq per liter)) + glukosa darah (mg per dl)
3. Insulin
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pemberian yang cairan
yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan
akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps
vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan bolus awal 0,15 U/kgBB secara
intravena dan diikuti dengan drip 0,1 U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah
turun antara 2 50 mg per dl sampai 300 mg per dl. Jika konsentrasi glukosa dalam darah
tidak turun 50-70 mg/dl per jam, dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika konsentrasi
glukosa sudah mencapai di bawah 300mg/dl, sebaiknya diberikan dektrosa secara intravena
dan dosis insulin dititrasi secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan
hiperosmolar (Sudoyo, 2010).

G. Komplikasi
Komplikasi dari terapi yang tidak adekuat meliputi oklusi vaskular, infark miokard,
low-flow syndrome, diaseminated intravascular coagulapathy dan rabdomiolisis. Overhidrasi
dapat menyebabkan adults respiratory distress syndrome dan edem serebri yang jarang
ditemukan namun fatal bagi anak-anak dan dewasa muda. Edema serebri ditatalaksana denga
infus mnitol dengan dosis 1-2 g/kg BB selama 30 menit dan pemberian deksametason
intravena. Memperlambat koreksi hiperosmolar pada anak-anak dapat mencegah edema
serebri hiperosmolar (Sudoyo, 2010).
H. Pencegahan
Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya penyuluhan mengenai
pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa darah dan compliance yang tinggi terhadap
pengobatan yang diberikan. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya akses
terhadap persediaan air. Jika pasien tinggal sendiri, teman atau anggota keluarga terdekat
sebaiknya secara rutin menengok pasien untuk memperhatikan status mental dan kemudian
menghubungi dokter jika hal tersebut ditemui. Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat
dalam perawatan harus diberikan edukasi yang memadai mengenai tanda dan gelaja HHNK
dan juga edukasi mengenai pentingnya asupan cairan yang memadai dan pemantauan yang
ketat. Bagi pasien yang baru didiagnosa diabetes perawat perlu memberikan informasi
tentang patofisiologi penyait,tanda dan gejala komplikasi dan metode perawatan termasuk
obat-obatan, diet dan olahraga (Morton, 2012).

I. Prognosis
Prognosis HHNK biasanya buruk, tetapi sebenarnya kematian pasien bukan
disebabkan sindrom hiperosmolar sendiri namun oleh penyakit yang mendasari atau
menyertainya. Angka kematian berkisar antara 30-50%. Di negara maju dapat dikatakan
penyebab utama kematian adalah infeksi, usia lanjut dan osmolaritas darah yang tinggi. Di
negara maju, angka kematian dapat ditekan menjadi sekitar 12% (Sudoyo, 2010).
ANALISIS JURNAL

Peneliti Muji Raharjo

Prodi Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementrian


Yogyakarta

Tahun 2018

Judul Komplikasi Sistemik Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2


seperti HHS atau HHNK

Metode penelitian Pada penelitian ini jenis penelitian yang digunakan adalah
metode survei deskriptif

dengan menggunakan desain cross sectional melalui data


sekunder yang ada di Rumah

Sakit (Syahdrajat, 2019)

Waktu penelitian Juli 2018

Tempat penelitian Rumah Sakit TK III Dr. Soetarto Yogyakarta

Kriteria Responden Subjek dalam penelitian

berjumlah 72 pasien. Analisis data yang digunakan pada

penelitian ini adalah analisis univariat

Instrumen Instrumen penelitian menggunakan kuesioner

( alat ukur)

Cara penelitian Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit TK III Dr. Soetarto
Yogyakarta

Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2018


dengan meninjau data rekam medis pasien. Sampel penelitian
ini adalah data rekam medis pasien DM tipe 2 di Instalasi
Penyakit Dalam RS Yogyakarta tahun 2018 sebesar 72 orang.

Metode pengumpulan data menggunakan data sekunder dengan


data diambil dari data rekam medis di poli RS Yogyakarta.
Analisis univariat adalah analisis yang digunakan untuk
menganalisis setiap variabel (terikat atau bebas) yang akan

ditelti secara deskriptif untuk memperoleh gambaran pasien


DM tipe 2 dengan komplikasi sitemik data kemudian dalam
bentuk tabel frekuensi karakteristik

Hasil penelitian Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan distribusi frekuensi


komplikasi akut

berdasarkan jenis kelamin, dari 31 orang berjenis kelamin laki-


laki, sebanyak 2 orang

(6,5%) mengalami KAD, 5 orang (16,1%) mengalami


Hipoglikemia dan tidak ada yang mengalami Hyperosmolar.
Sedangkan dari 41 orang berjenis kelamin perempuan,

sebanyak 4 orang (9,8%) mengalami KAD, 3 orang (7,3%)


mengalami Hipoglikemia dan

tidak ada yang mengalami Hyperosmolar. Hasil penelitian ini


sejalan dengan penelitian

Himawan (2009) yang menunjukkan Kejadian KAD ini lebih


banyak pada perempuan 17 (43,6%) dibandingkan dengan laki-
laki 13 (33,3%).

Sedangkan distribusi frekuensi berdasarkan usia, dari 2 pasien


berusia < 40 tahun tidak

ada yang mengalami komplikasi akut, dari 16 pasien berusia


40-49 tahun, sebanyak 1 orang (6,3%) mengalami
hipoglikemia, dari 22 pasien berusia 50-59 tahun, sebabyak 2
orang (9.2%) mengalami hipoglikemia, dari 27 pasien berusia
60-69 tahun sebanyak 4 pasien (14.8%) mengalami KAD, 5
pasien (18,5%) mengalai hipoglikemia, sedangkan dari

5 pasien berusia ≥ 70 tahun sebanyak 2 orang (40%)


mengalami KAD.

Kelebihan 1.Jurnal ini mudah di pahami karena bahasa yang digunakan


adalah bahasa Indonesia

2. Junal ini sudah berkerjasama dengan jurnal jurnal


internasional. Sehingga memudahahkan kami dalam menilai
suatu jurnal untuk kami jadikan patokan

3. Pada jurnal ini terdapat tabel yang menunjukkan berapa


presentasi kompikasi DM dengan jelas
Kekurangan 1. Jurnal ini tidak memberitahu bagaimana cara mengurangi
jumlah kompikasi pada pasien DM

Anda mungkin juga menyukai