Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

HONK

NURA SAFI’I

202191039

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN BAITURRAHIM

2021
A. Pengertian Hiperosmolar Non Ketotik

Hiperosmolar Non Ketotik adalah suatu komplikasi akut dari diabetes melitus
di mana penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan kebingungan
mental, pusing, kejang dan suatu keadaan yang disebut koma. Ini terjadi pada penderita
diabetes tipe II.
Hiperosmolar Non-Ketotik adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa darah
sangat tinggi sehingga darah menjadi sangat “kental”, kadar glukosa darah
DM bisa sampai di atas 600 mg/dl. Glukosa ini akan menarik air keluar sel dan
selanjutnya keluar dari tubuh melalui kencing. Maka, timbullah kekurangan cairan tubuh
atau dehidrasi. Hiperosmolar Non Ketogenik adalah sindrom berkaitan dengan
kekurangan insulin secara relative, paling sering terjadi pada panderita NIDDM. Secara
klinik diperlihatkan dengan hiperglikemia berat yang mengakibatkan hiperosmolar dan
dehidrasi, tidak ada ketosis/ada tapi ringan dan gangguan neurologis Hiperosmolar Non
Ketosis adalah keadaan koma akibat dari komplikasi diabetes melitus di mana terjadi
gangguan metabolisme yang menyebabkan: kadar gula darah sangat tinggi, meningkatkan
dehidrasi hipertonik dan tanpa disertai ketosis serum, biasa terjadi pada DM tipe II.Koma
Hiperosmolar Hiperglikemik NonKetotik ialah suatu sindrom yang ditandai dengan
hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ketoasidosis, disertai penurunan
kesadaran.
B. Etiologi
Etiologi dari hiperosmolar non ketotik adalah
a. Insufisiensi insulin
1) Diabetes melitus
2) Pankreatitis
3) Pankreatektomi
4) Agen farmakologi (Phenitoin, thiazid)
b. Increase exogenous glukose
1) Hiperalimentation
2) High kalori enteral feeding
c. Increase endogenous glukosa
1) Acute stress (AMI, infeksi)
2) Farmakologi (glukokortikoid, steroid, thyroid
d. Infeksi
1) Virus rubella, Mumps
2) Human coxsackievirus B4
e. Penyakit akut
1) Perdarahan gastrointestinal
2) Pankreatitis
3) Gangguan kardiovaskular
f. Pembedahan / operasi
g. Pemberian cairan hipertonik
h. Luka bakar

C. Faktor resiko
Faktor resiko Hiperosmolar Non ketotik yaitu
a. Kelompok usia dewasa tua (>40 tahun)
b. Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman, atau IMT>27 (kg/m2)
c. Tekanan darah tinggi (TD > 140/90 mmHg)
d. Riwayat keluarga DM
e. Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
f. Riwayat DM pada kehamilan
g. Dislipidemia (HDL<35 mg/dl dan/atau trigliserida>250 mg/dl)
h. Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa
Terganggu)

D. Manifestasi Klinik
Menurut Hudak dan Gallo, koma hiperosmolar adalah komplikasi dari
diabetes yang ditandai dengan :
1. Hiperosmolaritas dan kehilangan cairan yang hebat
2. Asidosis ringan
3. Sering terjadi koma dan kejang lokal
4. Kejadian terutama pada lansia
5. Angka kematian yang tinggi
E. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala umum pada klien dengan HONK adalah haus, kulit terasa hangat dan
kering, mual dan muntah, nafsu makan menurun, nyeri abdomen, pusing, pandangan kabur,
banyak kencing, mudah lelah.
Gejala-gejala meliputi :
1. Agak mengantuk, insiden stupor atau sering koma.
2. Poliuria selam 1 -3 hari sebelum gejala klinis timbul.
3. Tidak ada hiperventilasi dan tidak ada bau napas
4. Penipisan volume sangat berlebihan (dehidrasi, hipovolemi)
5. Glukosa serum mencapai 600 mg/dl sampai 2400 mg/dl
6. Kadang-kadang terdapat gejala-gejala gastrointestinal
7. Hipernatremia
8. Kegagalan mekanisme haus yang mengakibatkan pencernaan air tidak adekuat
9. Osmolaritas serum tinggi dengan gejala SSP minimal (disorientasi, kejang setempat)
10. Kerusakan fungsi ginjal
11. Kadar HCO3 kurang dari 10 mEq/L
12. Kadar CO2 normal
13. Celah anion kurang dari 7 mEq/L
14. Kalium serum biasanya normal
15. Tidak ada ketonemia
16. Asidosis ringan

E. Patofisiologi
Sindrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik mengambarkan
kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon glukagon. Penurunan insulin
menyebabkan hambatan pergerakan glukosa ke dalam sel, sehingga terjadi akumulasi
glukosa di plasma. Sel beta pancreas gagal atau terhambat oleh beberapa keaadan stress
yang menyebabkan sekresi insulin menjadi tidak adekuat. Pada keadaan stress tersebut
terjadi peningkatan hormon gluikagon. Peningkatan hormon glukagon menyebabkan
glycogenolisis yang dapat meningkatkan kadar glukosa plasma. Peningkatan kadar
glukosa mengakibatkan hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar serum akan menarik cairan
intraseluler ke dalam intra vaskular, yang dapat menurunkan volume cairan intraselluler.
Bila klien tidak merasakan sensasi haus akan menyebabkan kekurangan cairan.

Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal, sehingga timbul
glycosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik secara berlebihan ( poliuria ).
Dampak dari poliuria akan menyebabkan kehilangan cairan berlebihan dan diikuti
hilangnya potasium, sodium dan phospat.

Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi glikogen
sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi. Ginjal tidak dapat
menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk gula darah adalah 180 mg%
sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi
sejumlah glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka
semua kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan keadaan
glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang disebut poliuria. Poliuria
mengakibatkan dehidrasi intra selluler, hal ini akan merangsang pusat haus sehingga
pasien akan merasakan haus terus menerus sehingga pasien akan minum terus yang
disebut polidipsi. Perfusi ginjal menurun mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat
lagi dan timbul hiperosmolar hiperglikemik. Produksi insulin yang kurang akan
menyebabkan menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan
makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena
digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan merasa lapar
sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia. Kegagalan tubuh
mengembalikan ke situasi homestasis akan mengakibatkan hiperglikemia, hiperosmolar,
diuresis osmotik berlebihan dan dehidrasi berat. Disfungsi sistem saraf pusat karena
ganguan transport oksigen ke otak dan cenderung menjadi koma. Hemokonsentrasi akan
meningkatkan viskositas darah dimana dapat mengakibatkan pembentukan bekuan darah,
tromboemboli, infark cerebral, jantung.
G. Pemeriksaan Penunjang Hiperosmolar Non Ketotik
1. Kadar glukosa darah > 600 mg/dl
2. Aseton negatif
3. Hipernatremia
4. Hiperkalemia
5. Azotemia
6. Kadar Blood Urea Nitrogen (BUN) : kreatinin = 30 : 1 (normal 10 : 1)
7. Bikarbonat serum > 17,4 mEq/l

H. Penatalaksanaan
1. Pengobatan utama adalah rehidrasi dengan menggunakan cairan
Pasien dengan DKA dan HHS dengan defisit air diperkirakan ~ 100 ml / kg berat badan.
Terapi cairan awal diarahkan ekspansi volume intravaskular dan pemulihan perfusi ginjal.
Saline isotonik (0,9% NaCl) diinfuskan dengan kecepatan 500-1.000 mL / jam selama 2 jam
pertama biasanya cukup, tetapi pada pasien dengan syok hipovolemik, satu liter ketiga atau
keempat saline isotonik mungkin diperlukan untuk mengembalikan tekanan darah normal
dan perfusi jaringan. Setelah penurunan volume intravaskular telah diperbaiki, laju infus
normal saline harus dikurangi menjadi 250 mL / jam atau berubah menjadi 0,45% saline
(250-500 mL / jam) tergantung pada konsentrasi natrium serum dan keadaan hidrasi.
Tujuannya adalah untuk mengganti setengah dari defisit air diperkirakan selama 12-24 jam.
Setelah mencapai glukosa plasma 250 mg / dl pada DKA dan 300 mg / dl di HHS, cairan
pengganti harus mengandung 5-10% dekstrosa untuk memungkinkan pemberian insulin
dilanjutkan sampai ketonemia dikendalikan sambil menghindari hipoglikemia. Sebuah aspek
penting dari manajemen cairan tambahan pada hiperglikemia adalah untuk menggantikan
volume urin yang hilang. Kegagalan untuk menyesuaikan penggantian cairaan dapat
menunda koreksi elektrolit dan defisit air.

2. Insulin
Penelitian acak prospektif telah ditetapkan dengan jelas keunggulan terapi insulin dosis
rendah dalam dosis yang lebih kecil dari hasil insulin dalam waktu kurang hipoglikemia dan
hipokalemia. insulin meningkatkan pemanfaatan glukosa perifer dan menurunkan produksi
glukosa hepatik, sehingga menurunkan konsentrasi glukosa darah. Selain itu, terapi insulin
menghambat pelepasan FFA dari jaringan adiposa dan penurunan ketogenesis, baik yang
mengarah pada pembalikan ketogenesis. Pada pasien sakit kritis, insulin reguler diberikan secara
intravena dengan infus kontinu yang merupakan pengobatan pilihan. Pasien tersebut harus
dirawat di unit perawatan intensif atau unit step down di mana perawatan yang memadai dan
perputaran cepat dari hasil tes laboratorium yang tersedia. Sebuah bolus intravena awal insulin
reguler 0,15 Unit / kg berat badan, diikuti dengan infus kontinu insulin reguler dengan dosis 0,1
Unit / kg / jam (5-10 Unit / jam) harus diberikan. Hal ini akan mengakibatkan penurunan yang
cukup diprediksi dalam konsentrasi glukosa plasma pada tingkat 65-125 mg / jam. Ketika kadar
glukosa plasma mencapai 250 mg / dl di DKA atau 300 mg / dl di HHS, laju infus insulin
berkurang menjadi 0,05 Unit / kg / jam (3-5 unit / jam), dan dextrose (5-10%) harus ditambahkan
ke cairan infus. Setelah itu, tingkat pemberian insulin mungkin perlu disesuaikan untuk
mempertahankan nilai-nilai glukosa di atas sampai ketoasidosis diperbaiki.

Selama terapi, glukosa darah kapiler harus ditentukan setiap 1-2 jam di samping tempat tidur
menggunakan strip reagen oksidase glukosa. Darah harus diambil setiap 2-4 jam untuk
penentuan elektrolit serum, glukosa, nitrogen urea darah, kreatinin, magnesium, fosfor, dan pH
vena. Seorang pasien sadar dengan ringan DKA bisa dirawat di bangsal rumah sakit umum. Pada
pasien tersebut, pemberian insulin secara teratur setiap 1-2 jam dengan subkutan atau
intramuskular telah terbukti efektif dalam menurunkan glukosa darah dan konsentrasi badan
keton sebagai memberikan seluruh dosis insulin dengan infus intravena. Selain itu, telah
ditunjukkan bahwa penambahan albumin di infusate itu tidak diperlukan untuk mencegah
adsorpsi insulin ke tabung IV atau tas. Pasien tersebut harus menerima dosis insulin reguler 0,4
Unit / kg berat badan, diberikan setengah bolus intravena dan setengah sebagai injeksi subkutan
atau intramuskular. Efektivitas pemberian intramuskular atau subkutan telah terbukti. Namun,
suntikan subkutan lebih mudah dan lebih menyakitkan
3. Kalium
Meskipun total defisit kalium ~ 3-5 mEq / kg berat badan, kebanyakan pasien dengan DKA
memiliki tingkat kalium serum pada atau di atas batas atas normal. Tingkat tinggi terjadi karena
pergeseran kalium dari intrasel ke ekstraselular ruang karena asidemia, defisiensi insulin, dan
hipertonisitas. Kedua terapi insulin dan koreksi asidosis penurunan kadar kalium serum dengan
merangsang serapan kalium seluler di jaringan perifer. Oleh karena itu, untuk mencegah
hipokalemia, kebanyakan pasien memerlukan kalium intravena selama terapi DKA. penggantian
dengan kalium intravena (dua pertiga sebagai kalium klorida [KCl] dan satu pertiga sebagai
kalium fosfat [KPO4]) harus dimulai segera setelah konsentrasi serum kalium di bawah 5,0
mEq / L. Tujuan pengobatan adalah untuk mempertahankan serum kadar kalium dalam kisaran
normal 4-5 mEq / L. Pada beberapa pasien hiperglikemia dengan kekurangan kalium yang parah,
pemberian insulin dapat memicu hipokalemia yang mendalam, yang dapat menginduksi aritmia
yang mengancam jiwa dan kelemahan otot pernapasan. Jadi, jika kalium serum awal lebih
rendah dari 3,3 mEq / L, kalium penggantian harus dimulai segera dengan infus KCl pada tingkat
40 mEq / jam, dan terapi insulin harus ditunda sampai kalium serum ≥ 3,3 mEq / L.
4. Bikarbonat
Asidosis metabolik yang berat dapat menyebabkan gangguan kontraktilitas miokard,
vasodilatasi serebral dan koma, dan beberapa komplikasi gastrointestinal. Namun, alkalinisasi
cepat dapat menyebabkan hipokalemia, asidosis paradoks sistem saraf pusat, dan memperburuk
asidosis intraseluler (sebagai akibat dari peningkatan produksi karbon dioksida) dengan alkalosis
dihasilkan. Studi terkontrol telah gagal untuk menunjukkan manfaat dari terapi bikarbonat pada
pasien dengan DKA dengan pH arteri antara 6,9 dan 7. Namun, kebanyakan ahli di lapangan
merekomendasikan penggantian bikarbonat pada pasien dengan pH <7,0. Pada pasien dengan
DKA dengan pH arteri ≥ 7,0, atau pada pasien dengan HHS, terapi bikarbonat tidak dianjurkan.

5. Fosfat
Kekurangan fosfat total secara universal hadir pada pasien dengan DKA, tetapi relevansi
dan manfaat dari terapi penggantian klinis tetap tidak menentu. Beberapa studi telah gagal untuk
menunjukkan efek menguntungkan dari penggantian fosfat pada hasil klinis.

Keuntungan teoritis terapi fosfat meliputi pencegahan depresi pernapasan dan generasi
eritrosit 2,3-diphosphoglycerate. Karena manfaat potensial, penggantian fosfat hati dapat
diindikasikan pada pasien dengan disfungsi jantung, anemia, depresi pernafasan, dan pada
mereka dengan konsentrasi serum fosfat lebih rendah dari 1.0-1.5 mg / dl. Jika penggantian
fosfat diperlukan, itu harus diberikan sebagai garam kalium, dengan memberikan setengah KPO4
dan setengah KCl. Pada pasien tersebut, karena risiko hipokalsemia, kalsium dan fosfat serum
tingkat harus dipantau selama infus fosfat.
I. Komplikasi
Hipoglikemia adalah komplikasi yang paling umum selama infus insulin. Meskipun
penggunaan protokol insulin dosis rendah, hipoglikemia masih dilaporkan dalam 10-25%
pasien dengan DKA. Kegagalan untuk mengurangi laju infus insulin dan / atau
menggunakan larutan dekstrosa ketika kadar glukosa darah mencapai 250 mg / dl
merupakan faktor risiko yang paling penting yang terkait dengan hipoglikemia selama
infus insulin. Pemantauan glukosa darah Sering (setiap 1-2 jam) wajib untuk mengenali
hipoglikemia dan komplikasi serius. Banyak pasien dengan krisis hiperglikemik yang
mengalami hipoglikemia selama pengobatan tidak mengalami manifestasi adrenergik,
berkeringat, gugup, kelelahan, kelaparan, dan takikardia meskipun kadar glukosa darah
yang rendah. Dokter harus menyadari bahwa episode berulang dari hipoglikemia
mungkin berhubungan dengan kondisi hipoglikemia ketidaksadaran (hilangnya persepsi
peringatan gejala hipoglikemia berkembang), yang dapat mempersulit manajemen
diabetes setelah resolusi krisis hiperglikemik. Hipoglikemia tidak sering diamati pada
pasien dengan HHS. Nilai glukosa darah <60 mg / dl telah dilaporkan dalam <5% dari
pasien HHS selama terapi insulin intravena. Meskipun konsentrasi kalium serum masuk
umumnya meningkat pada pasien dengan DKA dan HHS, selama pengobatan,
konsentrasi plasma kalium akan selalu menurun. Kedua terapi insulin dan koreksi tingkat
asidosis penurunan kalium serum dengan merangsang seluler serapan kalium dalam
jaringan perifer. Jadi, untuk mencegah hipokalemia, penggantian dengan kalium
intravena segera setelah konsentrasi serum kalium ≤5.0 mEq / L diindikasikan (batas atas
mungkin berbeda di laboratorium).

Pada pasien yang dirawat dengan normal atau berkurang kalium serum, pemberian
insulin dapat memicu hipokalemia mendalam. Jadi, jika kalium serum awal <3,3 mEq / L,
pengganti kalium intravena harus dimulai segera, dan terapi insulin harus diadakan sampai
kalium serum adalah ≥3.3 mEq / L (lihat Gambar 1 dan 2). Edema serebral merupakan
komplikasi yang jarang namun serius dari DKA. Hal ini terjadi di ~ 1% dari episode DKA
pada anak-anak dan berhubungan dengan angka kematian 40-90% .40 klinis, edema serebral
ditandai dengan tingkat penurunan kesadaran dan sakit kepala, diikuti oleh kejang,
inkontinensia sfingter, perubahan pupil, edema papil, bradikardia, dan pernapasan. Telah
dihipotesiskan bahwa otak edema pada anak dengan DKA dapat disebabkan oleh perubahan
cepat dalam cairan ekstraseluler dan intraseluler dan perubahan osmolalitas akibat akumulasi
osmolit di sel-sel otak terkena hiperosmolar kondisi. Penurunan cepat dalam osmolalitas
ekstraseluler selama pengobatan maka akan mengakibatkan pembengkakan osmotik
dimediasi otak. Meskipun. Faktor osmotik dan mekanisme lain mungkin memainkan peran
dalam perkembangan edema serebral, data terakhir menunjukkan bahwa edema serebral
pada anak dengan DKA adalah terkait dengan iskemia otak. Pada anak-anak dengan DKA,
baik hipokapnia (yang menyebabkan vasokonstriksi serebral) dan dehidrasi ekstrim
(sebagaimana ditentukan oleh serum awal yang tinggi konsentrasi nitrogen urea) dikaitkan
dengan peningkatan risiko untuk edema serebral. Hiperglikemia ditumpangkan pada
penghinaan iskemik meningkatkan tingkat kerusakan neurologis, disfungsi penghalang
darah-otak, dan pembentukan edema.
Selain itu, telah ditunjukkan bahwa konsentrasi natrium serum rendah yang tidak
menyelesaikan selama terapi mungkin terkait dengan peningkatan risiko edema serebral.
Terjadinya lebih sering edema serebral pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa dapat
dijelaskan sebagian oleh fakta bahwa otak anak-anak memiliki kebutuhan oksigen lebih tinggi
daripada orang dewasa dan dengan demikian lebih rentan terhadap iskemia. Langkah-langkah
yang dapat menurunkan risiko edema serebral pada pasien berisiko tinggi adalah penggantian
bertahap natrium dan air defisit pada pasien dengan osmolalitas serum tinggi (pengurangan
maksimal osmolalitas 3 mOsm / kg / jam) dan penambahan dekstrosa untuk solusi hydrating
setelah glukosa darah mencapai 250 mg / dl di DKA dan 300 mg / dl di HHS. Pasien dengan
edema serebral harus ditransfer ke unit perawatan intensif pengaturan. Jika tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi otak yang hadir, hanya 7-14% dari pasien sembuh
tanpa permanen cacat neurologis yang signifikan. Perawatan termasuk penggunaan langsung
manitol intravena, pengurangan tingkat pemberian cairan, dan ventilasi mekanis mungkin untuk
membantu mengurangi pembengkakan otak. Kortikosteroid dan terapi diuretik tidak memiliki
manfaat terbukti atas penggunaan langsung manitol intravena.
1. PENGKAJIAN
1. Primery Survey
1. Air way
Kemungkinan ada sumbatan jalan nafas, terjadi karena adanya penurunan kesadaran/koma
sebagai akibat dari gangguan transport oksigen ke otak.
2. Breathing
Tachypnea, sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan oksigen.
3. Circulation
Sebagai akibat diuresis osmotik, akan terjadi dehidrasi. Visikositas darah juga akan mengalami
peningkatan, yang berdampak pada resiko terbentuknya trombus. Sehingga akan menyebabkan
tidak adekuatnya perfusi organ.
4. Disability
2. Sekunder Survey
Bilamana managemen ABC menghasilkan kondisi yang stabil, perlu pengkajian dengan
menggunakan pendekatan head to toe.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan pasien dalam keadaan apatis sampai koma, tanda-tanda
dehidrasi seperti turgor turun disertai tanda kelainan neurologist, hipotensi postural, bibir dan
lidah kering, tidak ada bau aseton yang tercium dari pernapasan, dan tidak ada pernapasan
Kussmaul.
Pemeriksaan fisik
1. Neurologi (Stupor, Lemah, disorientasi, Kejang, Reflek normal,menurun atau tidak ada.
2. Pulmonary (Tachypnae, dyspnae, Nafas tidak bau acetone, Tidak ada nafas kusmaul.
3. Cardiovaskular (Tachicardia, Hipotensi postural, Mungkin penyakit
kardiovaskula( hipertensi, CHF ), Capilary refill > 3 detik.
4. Renal (Poliuria( tahap awal ), Oliguria ( tahap lanjut ), Nocturia, inkontinensia
5. Integumentary (Membran mukosa dan kulit kering, Turgor kulit tidak elastis, Mata
lembek, Mempunyai infeksi kulit, luka sulit sembuh.
6. Gastrointestinal (Distensi abdomen danPenurunan bising usus)

3. Tersier Survey
1. Riwayat Keperawatan
1. Persepsi-managemen kesehatan
 Riwayat DM tipe II
 Riwayat keluarga DM
 Gejala timbul beberapa hari, minggu.
2. Nutrisi – metabolik
 Rasa haus meningkat, polidipsi atau tidak ada rasa haus.
 Anorexia
 Berat badan turun.
3. Eliminasi
 Poliuria, nocturia.
 Diarhe atau konstipasi.
4. Aktivitas – exercise
 lelah, lemah.
5. Kognitif
 Kepala pusing, hipotensi orthostatik.
 Penglihatan kabur.
 Gangguan sensorik.
2. Pemeriksaan Diagnostik
1. Serum glukosa: 800-3000 mg/dl.
2. Gas darah arteri: biasanya normal.
3. Elektrolit  biasanya rendah karena diuresis.
4. BUN dan creatinin serum  meningkat karena dehidrasi atau ada gangguan renal.
5. Osmolalitas serum: biasanya lebih dari 350 mOsm/kg.
6. pH > 7,3.
7. Bikarbonat serum> 15 mEq/L.
8. Sel darah putih  meningkat pada keadaan infeksi.
9. Hemoglobin dan hematokrit  meningkat karena dehidrasi.
10. EKG  mungkin aritmia karena penurunan potasium serum.
11. Keton urine tidak ada atau hanya sedikit.

2. Prioritas Masalah.
1. Volume cairan kurang dari kebutuhan
2. Gangguan perfusi jaringan
3. Jalan napas tidak efektif
4. Intoleransi aktivitas

Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

No DIAGNOSA NOC NIC


1 Gangguan pertukaran -       Respiratory Status : Gas -   Posisikan pasien
gasb.d  perubahan exchange untuk memaksimalkan
membran alveolar dan -       Keseimbangan asam Basa, ventilasi.
kapiler Elektrolit -   Auskultasi suara
-       Respiratory Status : ventilation nafas, catat adanya
-       Vital Sign Status suara tambahan.
Setelah dilakukan tindakan -   Berikan O2.
keperawatan selama ….Gangguan -   Monitor respirasi dan
pertukaran pasien teratasi dengan status O2.
kriteria hasi: -   Catat pergerakan
          Mendemonstrasikan dada, amati
peningkatan ventilasi dan kesimetrisan,
oksigenasi yang adekuat penggunaan otot
          Memelihara kebersihan paru tambahan, retraksi otot
paru dan bebas dari tanda tanda supraclavicular dan
distress pernafasan intercostal.
          Mendemonstrasikan batuk -   Monitor pola nafas :
efektif dan suara nafas yang bradipena, takipenia,
bersih, tidak ada sianosis dan kussmaul,
dyspneu (mampu mengeluarkan hiperventilasi.
sputum, mampu bernafas dengan -   Auskultasi suara
mudah, tidak ada pursed lips) nafas, catat area
          Tanda tanda vital dalam penurunan / tidak
rentang normal adanya ventilasi dan
          AGD dalam batas normal suara tambahan.
Status neurologis dalam batas -   Monitor TTV, AGD,
normal elektrolit dan ststus
mental.
-   Jelaskan pada pasien
dan keluarga tentang
persiapan tindakan dan
tujuan penggunaan alat
tambahan (O2, Suction,
Inhalasi).
2 Kekurangan Vol. Cairan    Fluid balance -    Pertahankan catatan
b.d  kehilangan cairan -         Hydration intake dan output yang
aktif -         Nutritional Status : Food and akurat.
Fluid Intake -    Monitor status hidrasi
Setelah dilakukan tindakan (kelembaban membran
keperawatan selama….. defisit mukosa, nadi adekuat,
volume cairan teratasi dengan tekanan darah
kriteria hasil: ortostatik), jika
-         Mempertahankan urine output diperlukan.
sesuai dengan usia dan BB, BJ -    Monitor hasil lab
urine normal, yang sesuai dengan
-         Tekanan darah, nadi, suhu retensi cairan (BUN ,
tubuh dalam batas normal Hmt , osmolalitas urin,
-         Tidak ada tanda tanda albumin, total protein).
dehidrasi, Elastisitas turgor kulit -    Monitor vital sign.
baik, membran mukosa lembab, -    Kolaborasi pemberian
tidak ada rasa haus yang cairan IV.
berlebihan -    Monitor intake dan
-         Orientasi terhadap waktu dan urin output setiap 8 jam
tempat baik
-         Jumlah dan irama pernapasan
dalam batas normal
-         Elektrolit, Hb, Hmt dalam
batas normal
-         pH urin dalam batas normal
-         Intake oral dan intravena
adekuat

3 Ketidakseimbangan -       Nutritional status: Adequacy of -    Kaji adanya alergi


nutrisi kurang dari nutrient makanan.
kebutuhan tubuh -       Nutritional Status : food and -    Kolaborasi dengan
b.d ketidakmampuan Fluid Intake ahli gizi untuk
untuk mengabsorbsi -       Weight Control menentukan jumlah
nutrisi Setelah dilakukan tindakan kalori dan nutrisi yang
keperawatan selama….nutrisi dibutuhkan pasien.
kurang teratasi dengan indikator: -    Yakinkan diet yang
          Albumin serum dimakan mengandung
          Pre albumin serum tinggi serat untuk
          Hematokrit mencegah konstipasi.
          Hemoglobin -    Monitor adanya
          Total iron binding capacity penurunan BB dan gula
Jumlah limfosit darah.
-    Monitor intake
nuntrisi.
-    Informasikan pada
klien dan keluarga
tentang manfaat nutrisi.
-    Atur posisi semi
fowler atau fowler
tinggi selama makan.
-    Pertahankan terapi IV
line.

Anda mungkin juga menyukai