Anda di halaman 1dari 28

RESPONSI

DIABETES MELITUS DENGAN DIABETIC FOOT

Oleh:
Aissyiyah Nur An Nisa (0610710006)
Trianggono Bagus A. (0610710133)
Made Ayu Hariningsih (0610713052)

Pembimbing:
dr. Laksmi Sasiarini, SpPD

LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR MALANG

2011
1. PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada dibetes

berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan

beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh

darah. Jika tidak ditangani dengan baik tentu saja angka kejadian komplikasi

kronik DM juga akan meningkat, termasuk komplikasi kaki diabetes.1

Kaki diabetes merupakan salah satu komplikasi kronik DM yang paling

ditakuti. Hasil pengobatan kaki diabetes sering mengecewakan baik bagi dokter

pengelola maupun bagi penderita dan keluarganya. Sering kaki diabetes sering

berakhir dengan kecacatan dan kematian.1

Tejadinya masalah kaki diawali dengan adanya hiperglikemia yang

menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neoropati,

baik sensorik maupun motorik dan autonomik akan menyebabkan berbagai

perubahan pada kulit dan otot. Perubahan ini kemudian mengakibatkan

terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan selanjutnya akan

mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi

menyebabkan infeksi mudah berkembang menjadi infeksi yang luas. Faktor

aliran darah yang kurang juga menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes.1

Menurut data WHO (World Health Organization), Indonesia menempati

urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita Diabetes Mellitus di dunia. Pada

tahun 2000 yang lalu saja, terdapat sekitar 8,2 juta penduduk Indonesia yang

mengidap diabetes. Secara epidemiologi, diperkirakan bahwa pada tahun 2030

prevalensi Diabetes Melitus (DM) di Indonesia mencapai 21,3 juta orang.


Sedangkan hasil Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh

bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun

di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%. Dan daerah

pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.2

Di Indonesia prevalensi kaki diabetes pada populasi jarang dilaporkan. Di

Poliklinik Endokrin RS Dr Kariadi Semarang dari data yang dikumpulkan mulai

bulan Januari 2001 sampai Juni 2002 didapatkan 4 % pasien DM yang dirujuk ke

poliklinik endokrin RS Dr Kariadi Semarang, mengalami komplikasi

makroangiopati berupa kaki diabetes.3 Di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo

angka kematian dan angka amputasi masih sangat tinggi, masing-masing 16 %

dan 25 % (data RSUPNCM tahun 2003). Sebanyak 14,3 % pasien akan

meninggal setahun pasca amputasi dan sebanyak 37 % akan meninggal 3 tahun

pasca amputasi.1

Tugas laporan kasus ini dibuat dengan tujuan untuk lebih memahami cara

mendiagnosis, dan mengetahui prinsip penatalaksanaan pada pasien DM

dengan komplikasi kaki diabetes. Sehingga diharapkan akan menambah

pengetahuan sebagai dokter umum dalam menangani kasus tersebut.


2. LAPORAN KASUS

Seorang wanita berusia 44 tahun datang dengan keluhan utama luka di

telapak kaki kanan. Pasien mengeluh terdapat luka di telapak kaki kanan sejak 1

bulan sebelum masuk rumah sakit yang tidak kunjung sembuh. Luka timbul

karena tertusuk paku yang berkarat. Awalnya luka kecil, diameter ± 1 cm.Oleh

pasien darah dikeluarkan, sempat direndam minyak tanah, air hangat, dan

alkohol dalam 1 minggu pertama, namun tidak membaik. Selama itu luka

dirasakan linu, cekot-cekot, dan kemudian bernanah. Kemudian dibawa ke

mantri, di sana dibersihkan nanahnya dan diberi amoksisilin selama 3 hari.

Setelah beberapa hari pasien ke mantri lain, lalu disuruh meminum pil 15 buah

lalu keesokan harinya kulit tebal di kaki dibersihkan. Sebelumnya pasien sering

merasa kesemutan di jari kaki kiri dan kanan sejak bulan yang lalu.

Pasien demam 11 hari sebelum masuk rumah sakit dan luka terasa sakit,

kemudian membeli obat penurun panas, panas turun beberapa jam, lalu timbul

lagi. Pasien lalu dibawa ke puskesmas Tumpang dan rawat inap di sana selama

10 hari. Saat dicek gula darah ternyata tinggi (233). Kemudian pasien mendapat

glibenklamid 2 x ½ tablet, amoksisilin, dan parasetamol.

Pasien sering merasa haus sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit,

setiap hari minum 14 gelas. Frekuensi BAK malam hari 3-4 kali, dalam sehari 9-

10 kali. Pasien terlihat semakin kurus dalam 6 bulan terakhir dan berat badan

turun 10 kg. Pasien mengalami penurunan nafsu makan sejak 1 bulan sebelum

masuk rumah sakit. Tidak ada keluhan penglihatan kabur.

Pasien baru tahu kalau menderita diabetes saat dirawat di puskesmas

tumpang. Tidak ada riwayat hipertensi, tetapi waktu di tumpang tekanan


darahnya 150/….. Ibu pasien memiliki penyakit dibetes dan hipertensi. Saat ini

pasien menggunakan KB suntik setiap 3 bulan.

Dari pemeriksaaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit ringan,

kesadaran compos mentis, GCS 456, berat badan 55 kg dan tinggi badan 155

cm, BMI 22, 9 kg/m2, tekanan darah 150/90 mm Hg, nadi 96 x/menit regular,

kuat, pernafasan 17 x/menit regular, simetris, temperatur aksila 36,9 °C.

Didapatkan ulkus di tumit plantar pedis dekstra,diameter ± 5 cm disertai abses,

terbuka dalam terlihat otot dan tendon, bernanah, terasa nyeri dan tidak berbau,

Pulsasi arteri dorsalis pedis teraba 100 x/menit.

Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit 17.600/ɥl,

hemoglobin, 9,2 g/dl, MCV 75 ɥm3, MCH: 24,4 pg, gula darah sewaktu 265 mg/dl,

albumin 3,03 mg/dl. Dari urinalisis didapatkan proteinuria (+) dan glukosuria (+).

Foto thorax AP disimpulkan normal. Dari foto pedis dekstra tanggal 10 Mei 2011

didapatkan suspek osteomielitis. Pemeriksaan EKG disimpulkan sinus takikardi

HR113 x/menit.

Dari hasil kultur pus pada tanggal 16 Mei 2011 sediaan langsung dengan

pewarnaan Gram didapatkan kokus Gram positif dan pada kultur didapatkan

Staphylococcus koagulase negatif. Pada tes kepekaan antibiotika, sensitif kuat

terhadap amoksisilin + clavulanat acid, cotrimoxazole, chloramphenicol, dan

doxycycline. Setelah dikultur ulang tanggal 30 Mei 2011 sediaan langsung

dengan pewarnaan Gram didapatkan batang Gram negatif dan pada kultur

didapatkan S. arizonal. Pada tes kepekaan antibiotika, sensitif kuat terhadap

nefilmicin dan meropenem.

Pasien dirawat di RSSA selama 38 hari sejak tanggal 5 Mei 2011 hingga

11 Juli 2011.
3. PEMBAHASAN

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu sindrom kelainan metabolik, ditandai

oleh adanya hiperglikemia yang disebabkan oleh defek sekresi insulin, defek

kerja insulin, atau keduanya.1

Diagnosa DM dapat ditegakkan bila:4

1. Terdapat gejala DM dan disertai gula darah acak ≥ 200 mg/dl (111,1 mmol/l).

Gula darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari

tanpa memerhatikan waktu makan terakhir. Gejala klasik diabetes meliputi

poliuri, polidipsi, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas

atau

2. Gula darah puasa ≥ 126 mg/dl (7,9 mmol/l). Puasa diartikan pasien tidak

mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

atau

3. Gula darah 2 jam post pandrial ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/l) pada TTGO 200

mg/dl. TTGO dilakukan dengan Standard WHO,menggunakan beban glukosa

yang setara dengan 75 g glukosa anhidrous yang dilarutkan dalam air.

Kaki diabetes ialah komplikasi paling sering dari DM dan penyebab utama

pasien masuk rumah sakit serta pemanjangan terapi. Faktor etiologi yang

berperan dalam terbentuknya ulkus antara lain neuropati perifer yang bisa

muncul sebagai gangguan sensoris (distibusi glove and stocking), neuropati

motorik, atau autonomik. Beberapa mekanisme yang terlibat dalam neuropati

yaitu akumulasi metabolit intraseluler berbahaya, gangguan konduksi membran,

dan penekanan saraf pada daerah yang bengkak yang berhubungan dengan

akumulasi air pada sel saraf. Pasien tidak menyadari luka kecil yang berasal dari

trauma berulang dan tidak melakukan langkah perlindungan karena respon


normal terhadap sakit dan trauma menghilang. Deformitas yang dapat menyertai

neuropati meliputi charcot foot, claw and hammer toes, hallex vagus/rigidus, pes

planus, caput metatarsal yang prominen, dan tekanan pada tulang yang

menonjol itu dapat memicu pecahnya kulit dan ulkus. Gangguan vaskuler dapat

berupa makro dan mikroangiopati. Perubahan aterosklerotik juga dapat

mengakibatkan iskemia dan gangguan penyembuhan luka.5

Gambar 3.1 Patofisiogi Terbentuknya Komplikasi Kaki Diabetes5

Penderita DM mempunyai keluhan klasik yaitu poliuri, polidipsi dan

penurunan berat badan. Riwayat pemeriksaan yang telah dilakukan sebelumnya

ke dokter dan laboratorium menunjang penegakkan diagnosis. Adanya riwayat

keluarga yang sakit seperti ini dapat ditemukan, dan memang penyakit ini

cenderung herediter.6,7,8
Anamnesis juga harus dilakukan meliputi aktivitas harian, sepatu yang

digunakan, pembentukan kalus, deformitas kaki, keluhan neuropati, nyeri tungkai

saat beraktivitas atau istirahat, durasi menderita DM, penyakit komorbid,

kebiasaan (merokok, alkohol), obat-obat yang sedang dikonsumsi, riwayat

menderita ulkus/amputasi sebelumnya.6,7,8

Riwayat berobat yang tidak teratur mempengaruhi keadaan klinis dan

prognosis seorang pasien, sebab walaupun penanganan telah baik namun terapi

diabetesnya tidak teratur maka akan sia-sia.6,7

Keluhan nyeri pada kaki dirasakan tidak secara langsung segera setelah

trauma. Gangguan neuropati sensorik mengkaburkan gejala apabila luka atau

ulkusnya masih ringan. Setelah luka bertambah luas dan dalam, rasa nyeri mulai

dikeluhkan oleh penderita dan menyebabkan datang berobat ke dokter atau

rumah sakit. 6,7

Banyak dari seluruh penderita diabetes melitus dengan komplikasi ulkus

atau bentuk infeksi lainnya, memeriksakan diri sudah dalam keadaan lanjut,

sehingga penatalaksanaannya lebih rumit dan prognosisnya lebih buruk

(contohnya amputasi atau sepsis). 6,7

Pada pemeriksaan fisik, seorang dokter akan menemukan ulkus ialah

defek pada kulit sebagian atau seluruh lapisannya (superfisial atau profunda)

yang bersifat kronik, terinfeksi dan dapat ditemukan nanah, jaringan nekrotik atau

benda asing. Ulkus yang dangkal mempunyai dasar luka dermis atau

lemak/jaringan subkutis saja. Ulkus yang profunda kedalamannya sampai otot

bahkan tulang.Ulkus sering disertai hiperemi di sekitarnya yang menunjukkan

proses radang.7,8
Abses adalah kumpulan pus atau nanah dalam rongga yang sebelumnya

tidak ada. Pada pemeriksaan fisik tampak kulit bengkak, teraba kistik dan

fluktuatif. Abses yang letaknya sangat dalam secara fisik sulit untuk didiagnosis,

kecuali nanah telah mencari jalan keluar dari sumbernya. 7,8

Flegmon atau selulitis mempunyai ciri klinis berupa udem kemerahan,

non pitting edema, teraba lebih hangat dari kulit sekitar, tak ada fluktuasi dan

nyeri tekan. Hal ini menandakan proses infeksi/radang telah mencapai jaringan

lunak atau soft tissue. 7,8

Gangren merupakan jaringan yang mati karena tidak adanya perfusi

darah. Klinis tampak warna hitam, bisa disertai cairan kecoklatan, bau busuk dan

teraba dingin. Jika terdapat krepitasi di bawah kulit maka disebut dengan gas

gangren.7,9

Melakukan penilaian ulkus kaki merupakan hal yang sangat penting

karena berkaitan dengan keputusan dalam terapi. Pemeriksaan fisik diarahkan

untuk mendapatkan deskripsi karakter ulkus, menentukan ada tidaknya infeksi,

menentukan hal yang melatarbelakangi terjadinya ulkus (neuropati, obstruksi

vaskuler perifer, trauma atau deformitas), klasifikasi ulkus dan melakukan

pemeriksaan neuromuskular untuk menentukan ada/tidaknya deformitas, adanya

pulsasi arteri tungkai dan pedis.7

Deskripsi ulkus DM paling tidak harus meliputi; ukuran, kedalaman, bau,

bentuk dan lokasi. Penilaian ini digunakan untuk menilai kemajuan terapi. Pada

ulkus yang dilatarbelakangi neuropati ulkus biasanya bersifat kering, fisura, kulit

hangat, kalus, warna kulit normal dan lokasi biasanya di plantar tepatnya sekitar

kaput metatarsal I-III, lesi sering berupa punch out. Sedangkan lesi akibat

iskemia bersifat sianotik, gangren, kulit dingin dan lokasi tersering adalah di jari.
Bentuk ulkus perlu digambarkan seperti; tepi, dasar, ada/tidak pus, eksudat,

edema atau kalus. Kedalaman ulkus perlu dinilai dengan bantuan probe steril.

Probe dapat membantu untuk menentukan adanya sinus, mengetahui ulkus

melibatkan tendon, tulang atau sendi. Berdasarkan penelitian Reiber, lokasi ulkus

tersering adalah di permukaan jari dorsal dan plantar (52%), daerah plantar

(metatarsal dan tumit: 37%) dan daerah dorsum pedis (11%).9,10

Pemeriksaan pulsasi merupakan hal terpenting dalam pemeriksaan

vaskuler pada penderita penyakit oklusi arteri pada ekstremitas bagian bawah.

Pulsasi arteri femoralis, arteri poplitea, dorsalis pedis, tibialis posterior harus

dinilai dan kekuatannya di kategorikan sebagai aneurisma, normal, lemah atau

hilang. Pada umumnya jika pulsasi arteri tibialis posterior dan dorsalis pedis

teraba normal, perfusi pada level ini menggambarkan patensi aksial normal.

Penderita dengan claudicatio intermitten mempunyai gangguan arteri femoralis

superfisialis, dan karena itu meskipun teraba pulsasi pada lipat paha namun

tidak didapatkan pulsasi pada arteri dorsalis pedis dan tibialis posterior.

Penderita diabetik lebih sering didapatkan menderita gangguan infra popliteal

dan karena itu meskipun teraba pulsasi pada arteri femoral dan poplitea tapi

tidak didapatkan pulsasi distalnya.8,9,10

Sedangkan untuk kaki diabetes, berdasarkan dalamnya luka, derajat infeksi

dan derajat gangren , maka dibuat klasifikasi derajat lesi pada kaki diabetik

menurut Wagner, yaitu:11

Derajat 0 Tidak ada lesi terbuka, kulit utuh dan mungkin disertai

kelainan bentuk kaki atau selulitis

Derajat I Ulkus superfisial dan terbatas di kulit

Derajat II Ulkus dalam mengenai tendon, kapsula sendi, atau fasia yang
dalam tanpa abses atau osteomielitis

Derajat III Ulkus yang dalam disertai abses, osteomielitis atau sepsis sendi

Derajat IV Gangren terlokalisasi pada kaki bagian depan atau tumit

Derajat V Gangren seluruh kaki dan sebagian tungkai bawah


Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk menegakkan

diagnosis secara pasti adalah dengan melakukan pemeriksaan lengkap yakni

pemeriksaan CBC (Complete Blood Count), pemeriksaan gula darah, fungsi

ginjal, fungsi hepar, elektrolit.9

Pemeriksaan foto polos radiologis pada pedis juga penting untuk

mengetahui ada tidaknya komplikasi osteomielitis. Pada foto tampak gambaran

destruksi tulang dan osteolitik.12

Pada pasien ini didapatkan gejala DM yaitu polidipsi, poliuri, dan

penurunan berat badan. Namun pasien tidak mengetahui bahwa dirinya memiliki

penyakit DM sehingga pasien tidak berobat. Sejak 1 minggu sebelum masuk

rumah sakit, pasien dirawat di puskesmas, di sinilah pasien didiagnosa DM,

kemudian diterapi dengan glibenklamid 2 x ½ tablet. Juga didapatkan riwayat DM

pada ibu pasien.

Luka di kaki kanan pasien awalnya karena tertusuk paku. Awalnya kecil

kemudian membesar. Oleh pasien sudah pernah dilakukan perawatan sendiri,

namun tidak sembuh, kemudian sempat dilakukan rawat luka di mantri dan di

puskesmas namun juga tidak membaik. Awalnya pasien sudah memeriksakan

diri ke puskesmas, namun penanganan luka tidak dilakukan sejak awal.

Menurut pasien luka terasa linu dan bernanah. pasien juga memiliki

riwayat demam. Dari keluhan tersebut dicurigai tanda-tanda infeksi. Pasien

sering merasa kesemutan di jari kaki kiri dan kanan sejak bulan yang lalu, hal ini

merupakan gejala adanya neuropati.


Pada pemeriksaan fisik ditemukan ulkus di tumit plantar pedis

dekstra,diameter ± 5 cm disertai abses, terbuka dalam terlihat otot dan tendon,

bernanah, terasa nyeri dan tidak berbau, Pulsasi arteri dorsalis pedis teraba 100

x/menit.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis, anemia

hipokrom mikrositer, gula darah acak 265, dan hipoalbuminemia. Leukositosis

menandakan adanya suatu infeksi. Gula darah tetap tinggi meskipun pasien

telah menggunakan glibenklamid. Sedangkan pada foto pedis didapatkan

gambaran lesi litik di os calcaneus sehingga diduga terdapat osteomielitis.

Dari anamnesa terdapat gejala klasik DM dan gula darah acak ≥ 200

mg/dl sehingga diagnosis DM dapat ditegakkan. Sedangkan kaki diabetes ini

diklasifikasikan Wagner 3 karena terdapat abses dan kecurigaan osteomielitis.

Pengelolaan kaki diabetes dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu

pencegahan terjadinya kaki diabetes dan terjadinya ulkus (pencegahan primer

sebelum terjadinya perlukaan kulit) dan pencegahan agar tidak terjadi kecacatan

yang lebih parah (pencegahan sekunder dan pengelolaan ulkus/gangren diabetik

yang terjadi).1

1. Pencegahan Primer:

Pengelolaan kaki diabetes terutama ditujukan untuk pencegahan

terajdinya ulkus. Peran ahli rehabilitasi medik dengan memberikan alas kaki yang

baik dapat mencegah faktor mekanik penyebabnya.1

Keadaan kaki penyandang diabetes oleh Frykberg digolongkan berdasar

risiko terjadinya dan risiko besarnya masalah yang mungkin timbul, yaitu:1

1. sensasi normal tanpa deformitas

2. sensasi normal dengan deformitas atau tekanan plantar tinggi


3. insensitivitas tanpa deformitas

4. iskemia tanpa deformitas

5. komplikasi

a. kombinasi insensivitas, iskemia, dan/atau deformitas

b. riwayat adanya tukak, deformitas Charcot

Penyuluhan diperlukan untuk semua kategori risiko. Untuk kaki yang

insensitif (kategori 3 dan 5), alas kaki perlu diperhatikan dengan benar. Apabila

telah terjadi deformitas (kategori 2 dan 5), perlu perhatian khusus mengenai

sepatu/alas kaki yang dipakai untuk meratakan penyebaran tekanan pada kaki.

Untuk kategori 4, karena terjadi permasalahan vaskuler, maka latihan kaki perlu

diperhatikan untuk memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk ulkus yang telah

mengalami komplikasi, perlu usaha lebih lanjut (sekunder).1

2. Pencegahan Sekunder

Penanganan dalam hal pengelolaan kaki diabetes meliputi:1

- mechanical control – pressure control

- wound control

- microbiological control – infection control

- vascular control

- metabolic control

- educatinal control

Penjabaran lebih rinci dari keenam aspek tersebut pada tingkat

pencegahan sekunder dan tersier yaitu:1

a. Kontrol Metabolik

Kadar glukosa darah diusahakan senormal mungkin untuk memperbaiki

berbagai faktor terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan


luka. Biasanya diperlukan insulin untuk menormalisasi kadar glukosa darah.

Status nutrisi harus diperhatikan, karena nutrisi yang baik akan membantu

proses penyembuhan luka. Kadar albumin serum, kadar Hb, derajat oksigenasi

jaringan, dan monitoring fungsi ginjal harus juga diperhatikan.

b. Kontrol Vaskuler

Keadaan vaskular yang buruk akan menghambat penyembuhan luka.

Kelainan pembuluh darah perifer dapat dikenali dengan cara sederhana seperti

warna dan suhu kulit, perabaan arteri dorsalis pedis, dan arteri tibialis posterior

serta pengukuran tekanan darah. Dapat juga dilakukan penilaian dengan ankle

brachial index, ankle pressure, toe pressure, TcPO2, dan pemeriksaan

echodoppler serta arteriografi.

Setelah dilakukan diagnosis keadaan vaskulernya, dapat dilakukan

pengelolaan kelainan pembuluh darah perifer dari sudut vaskuler, yaitu berupa:

1) Modifikasi Faktor Risiko

- stop merokok

- memperbaiki berbagai faktor risiko terkait aterosklerosis (hiperglikemia,

hipertensi, dislipidemia)

- walking program

2) Terapi Farmakologis

Mengacu pada berbagai penelitian pada kelainan akibat aterosklerosis di

tempat lain (jantung,otak), mungkin obat seperti aspirin dapat dimanfaatkan.

3) Revaskularisasi

Tindakan revaskularisasi dapat dianjurkan jika kemungkinan kesembuhan

luka rendah dan terdapat klaudikasio intermitten. Sebelum tindakan, dilakukan

pemeriksaan arteriografi. Oklusi vaskuler dapat dilakukan bedah terbuka atau


prosedur endovaskuler-PTCA pada oklusi pendek. Sumbatan akut dapat

dilakukan tromboarterektomi. Dengan perbaikan vaskularisasi daerah distal

diharapkan kesembuhan luka dapat membaik.

c. Wound Control

Perawatan luka sejak pasien datang pertama kali harus dikerjkan dengan

baik dan teliti. Evaluasi luka harus dikerjakan secermat mungkin. Tindakan

debridemen yang adekuat merupakan syarat mutlak yang harus dikerjakan

sebelum menilai dan mengklasifikasi luka. Debridemen yang adekuat akan

membantu mengurangi jaringan nekrotik sehingga dapat menurunkan produksi

pus luka. Demi menjaga suasana yang kondusif, luka dapat ditutup dengan kasa

yang diasahi dengan larutan salin.

Untuk kesembuhan luka kronis, suasana sekitar luka yang kondusif harus

dipertahankan. Luka dipastikan dalam keadaan optimal sehingga penyembuhan

luka dapat terjadi sesuai dengan tahapan normalnya. Apabila proses inflamasi

masih terjadi, proses penyembuhan tidak akan melanjut ke fase granulasi dan

epitelialisasi.

Untuk mempercepat kesembuhan luka dapat memanfaatkan sarana dan

penemuan baru wound control, seperti pemakaian graft.

d. Microbiological Control

Antibiotik yang diberikan harus sesuai dengan hasil biakan kuman dan

resistensinya. Untuk lini pertama pemberian antibiotik diberikan antibiotik dengan

spektrum luas mencakup kuman Gram positif dan negatif (seperti misalnya

golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat untuk

bakteri anaerob (misalnya metronidazole).

e. Pressure Control
Luka yang selalu mendapat tekanan akan memperlambat proses

penyembuhan. Diperlukan usaha untuk mengurangi beban pada kaki seperti

sepatu temporer, pemakaian kursi roda, alas kaki yang empuk, dan lain-lain.

Selain itu dapat pula dilakukan pembedahan untuk mengurangi tekanan pada

luka, seperti: dekompresi ulkus/abses, ataupun prosedur koreksi bedah seperti

hammer toe, partial calcanectomi, metatarsal head resection, dan lain-lain.

f. Educational Control

Edukasi sangat berperan dalam pengelolaa kaki diabetes. Dengan

penyuluhan yang baik diharapkan adanya dukungan dan bantuan dalam

tindakan penyembuhan baik dari penderita ataupun dari keluarganya.

Edukasi yang diberikan meliputi:5

- Membersihkan kaki setiap hari

- Memeriksa kaki setiap hari, semua area harus diperiksa, bila ada kemerahan,

luka, memar, bercak, atau trauma karena apapun segera memeriksakan diri

ke fasilitas kesehatan

- Memeriksakan kaki secara berkala ke fasilitas kesehatan, setidaknya 1 tahun

sekali, bila ada neuropati atau deformitas apapun harus lebih sering

memeriksakan

- Mengontrol kadar gula darah

- Menggunakan alas kaki yang tepat dan nyaman

- Mempertimbangkan penggunaan prothesa

- Memeriksa alas kaki sebelum dipakai

- Menggunakan kaos kaki yang bersih

- Hati-hati terhadap paparan suhu, misalnya penghangat kaki, gel pendingin

atau penghangat, dan lain-lain


- Jangan berjalan tanpa alas kaki

Pada pasien ini penatalaksaanaan dilakukan dengan mengontrol kadar

gula darah, yaitu dengan pemberian insulin long acting berupa insulatard 0-10 iu

subcutan. Kadar albumin diperbaiki dengan pemberian diet tinggi protein. Diet

tinggi protein juga bermanfaat untuk membantu kesembuhan luka.

Keadaan vaskular hanya diperiksa dengan melihat warna dan suhu kulit,

perabaan arteri dorsalis pedis, dan arteri tibialis posterior serta pengukuran

tekanan darah. Ankle brachial index, ankle pressure, toe pressure, TcPO2, dan

pemeriksaan echodoppler serta arteriografi tidak dilakukan.

Modifikasi faktor risiko vaskuler dilakukan dengan mengontrol kadar gula

darah dan tekanan darah. Kontrol tekanan darah dilakukan dengan pemberian

Captopril 3 x 12,5 mg dan diet rendah garam. Diberikan aspirin 1 x 80 mg untuk

pengelolaan kelainan pembuluh darah perifer.

Untuk perawatan luka, dilakukan rawat luka setiap hari. Untuk mengontrol

infeksi diberikan Ceftriaxone 2x1 gr iv dan Metronidzole 3x500 mg iv. Kemudian

berdasarkan kulturr pus tanggal 16 Mei 2011 sediaan langsung dengan

pewarnaan Gram didapatkan kokus Gram positif dan pada kultur didapatkan

Staphylococcus koagulase negatif. Pada tes kepekaan antibiotika, sensitif kuat

terhadap amoksisilin + clavulanat acid, cotrimoxazole, chloramphenicol, dan

doxycycline. Maka ditambahkan antibiotik klindamisin 2x300 mg po dan

amoksiklav 3x625 mg po.Setelah dikultur ulang tanggal 30 Mei 2011 sediaan

langsung dengan pewarnaan Gram didapatkan batang Gram negatif dan pada

kultur didapatkan S. arizonal. Pada tes kepekaan antibiotika, sensitif kuat

terhadap nefilmicin dan meropenem. Maka pada pasien ini juga diterapi dengan

meropenem 2x1 gr iv.


Igbinovia E. Diabetic Ulcer: 2009. Current Trend in Management. Journal of

Postgraduate medicine, Vol. 11 No. 1


FOLLOW UP

Tanggal Subyektif Obyektif Assesment Planning


6/5/11 - GCS 456 1. Diabetic Foot Wagner III Diet DM 1900 kkal/hari

T: 140/80 Pedis Dekstra IVFD NS 0.9 % 20 tpm

N: 104 x/menit 2. DM type 2 + normoweight Inj Ceftriaxone 2x1 gr iv

RR: 18 x/menit 3. Anemia Hipokrom mikrositer Inj Metronidzole 3x500 mg iv

GDP 125 mg/dl 3.1 Defisiensi Fe Inj Insulatard 0-10 iu sc

GD 2 jam PP 148 mg/dl 4. HT stage 1 Parasetamol 3 x 500 mg po (k/p)

Kolesterol total 157 mg/dl 4.1 Primary Rawat luka

HDL 28 mg/dl 4.2 Secondary

LDL 113 mg/dl 5. Hipoalbuminemia

Trigliserida 122 mg/dl 5.1 Hypercata-bolic state

Asam urat 2,3 mg/dl 5.2 Low intake


10/5/11 mual GCS 456 1. Diabetic Foot Wagner III Diet DM 1900 kkal/hari

T: 150/80 Pedis Dekstra IVFD NS 0.9 % 20 tpm

N: 102 x/menit 2. DM type 2 + normoweight Inj Ceftriaxone 2x1 gr iv


RR: 20 x/menit 3. Anemia Hipokrom mikrositer Inj Metronidzole 3x500 mg iv

Hb 8,4 g/dl 3.1 Defisiensi Fe Inj Ranitidine 50 mg iv (k/)

Leukosit 7700/mm3 4. HT stage 1 Inj insulatard 0-10 iu sc

LED 130 mm/jam 4.1 Secondary related with Inj Actrapid 4-4-4 iu sc

Trombosit 152.000/mm3 DM Parasetamol 3 x 500 mg po (k/p)

Hematokrit 26,1 % 4.2 Primary ASA 1x 80 mg po

MCV 79 ɥm3 5. Hipoalbuminemia Simvastatin 0 – 20 mg po

MCH 25 pg 5.1 Hypercata-bolic state Transfusi PRC 1 labu/hari, target

GDP 117 mg/dl 5.2 Low intake


Hb 10 g/dl
GD 2 jam PP 183 mg/dl
12/5/11 - GCS 456 1. Diabetic Foot Wagner III Diet DM 1900 kkal/hari

T: 160/90 Pedis Dekstra IVFD NS 0.9 % 20 tpm

N: 92 x/menit 2. DM type 2 + normoweight Inj Ceftriaxone 2x1 gr iv

RR: 20 x/menit 3. Anemia Hipokrom mikrositer Inj Metronidzole 3x500 mg iv

3.1 Defisiensi Fe Inj Ranitidine 50 mg iv (k/)

4. HT stage 2 Inj insulatard 0-10 iu sc


4.1 Secondary related with Inj Actrapid 4-4-4 iu sc

DM Parasetamol 3 x 500 mg po (k/p)

5. Hipoalbuminemia ASA 1x 80 mg po

5.1 Hypercata-bolic state Simvastatin 0 – 20 mg po

5.2 Low intake Rawat Luka


13/5/11 - GCS 456 1. Diabetic Foot Wagner III Diet DM 1900 kkal/hari

T: 160/90 Pedis Dekstra IVFD NS 0.9 % 20 tpm

N: 92 x/menit 2. DM type 2 + normoweight Inj Ceftriaxone 2x1 gr iv

RR: 20 x/menit 3. HT stage 2 Inj Metronidzole 3x500 mg iv

Leukosit 8900/mm3 3.1 Secondary related with Inj Ranitidine 50 mg iv (k/p)

Hb10,7 g/dl DM Inj insulatard 0-10 iu sc

Hematokrit 33,9 % 4. Hipoalbuminemia Inj Actrapid 4-4-4 iu sc

Trombosit 401.000/mm3 4.1 Hypercatabolic state Klindamisin 4 x 300 mg po

MCV 77 ɥm3 4.2 Low intake Parasetamol 3 x 500 mg po (k/p)

MCH 24,5 pg ASA 1x 80 mg po

Simvastatin 0 – 20 mg po
Rawat Luka
18/5/11 - GCS 456 1. Diabetic Foot Wagner III Diet DM 1900 kkal/hari

T: 140/90 Pedis Dekstra IVFD NS 0.9 % 20 tpm

N: 88 x/menit 2. DM type 2 + normoweight Inj Ceftriaxone 2x1 gr iv

RR: 18 x/menit 3. HT stage 1 Inj Metronidzole 3x500 mg iv

GDP 239 mg/dl 3.1 Secondary related with Inj insulatard 0-12 iu sc

GD 2 jam PP 279 mg/dl DM Inj Actrapid 6-6-6 iu sc

4. Hipoalbuminemia Parasetamol 3 x 500 mg po (k/p)

4.1 Hypercatabolic state ASA 1x 80 mg po

4.2 Low intake Simvastatin 0 – 20 mg po

Rawat Luka
19/5/11 GCS 456 1. Diabetic Foot Wagner III Diet DM 1900 kkal/hari

T: 130/80 Pedis Dekstra IVFD NS 0.9 % 20 tpm

N: 80 x/menit 2. DM type 2 + normoweight Inj Ceftriaxone 2x1 gr iv

RR: 20 x/menit 3. HT stage 1 Inj Metronidzole 3x500 mg iv

3.1 Secondary related with Inj insulatard 0-12 iu sc

DM Inj Actrapid 6-6-6 iu sc


4. Hipoalbuminemia Amoksiclav 3x625 mg po

4.1 Hypercatabolic state Parasetamol 3 x 500 mg po (k/p)

4.2 Low intake ASA 1x 80 mg po

Simvastatin 0 – 20 mg po

Rawat Luka
23/5/11 - GCS 456 1. Diabetic Foot Wagner III Diet DM 1900 kkal/hari

T: 150/80 Pedis Dekstra IVFD NS 0.9 % 20 tpm

N: 100 x/menit 2. DM type 2 + normoweight Inj Ceftriaxone 2x1 gr iv

RR: 20 x/menit 3. HT stage 1 Inj Metronidzole 3x500 mg iv

GDP 131 mg/dl 3.1 Secondary related with Inj Ranitidine 2x50 mg iv

GD 2 jam PP 166 mg/dl DM Inj Metoklopramid 10 mg iv (k/p)

4. Hipoalbuminemia Inj insulatard 0-12 iu sc

4.1 Hypercatabolic state Inj Actrapid 6-6-6 iu sc

4.2 Low intake Amoksiclav 3x625 mg

Parasetamol 3 x 500 mg po (k/p)

ASA 1x 80 mg po
Simvastatin 0 – 20 mg po
30/5/11 Pusing GCS 456 1. Diabetic Foot Wagner III Diet DM 1900 kkal/hari, rendah

Mual T: 160/90 Pedis Dekstra garam < 2 gram/hari

Nyeri perut N: 100 x/menit 2. DM type 2 + normoweight IVFD NS 0.9 % 20 tpm

RR: 20 x/menit 3. HT stage 2 Inj Meropenem 3x1 gr iv

Leukosit 6700/mm3 3.1 Secondary related with Inj Ranitidine 2x50 mg iv

Hb 11,6 g/dl DM Inj Metoklopramid 10 mg iv (k/p)

Hematokrit 34,2 % Inj insulatard 0-12 iu sc

Trombosit 314.000/mm3 Inj Actrapid 6-6-6 iu sc

LED 20 mm/jam Omeprazole 2x20mg po

Amoksiclav 3x625 mg

Parasetamol 3 x 500 mg po (k/p)

ASA 1x 80 mg po

Simvastatin 0 – 20 mg po

Captopril 3x12,5 mg
7/5/11 - GCS 456 1. Diabetic Foot Wagner III Diet DM 1900 kkal/hari, rendah

T: 150/80 Pedis Dekstra garam < 2 gram/hari


N: 100 x/menit 2. DM type 2 + normoweight IVFD NS 0.9 % 20 tpm

RR: 20 x/menit 3. HT stage 1 Inj Meropenem 3x1 gr iv

3.1 Secondary related with Inj insulatard 0-12 iu sc

DM Inj Actrapid 6-6-6 iu sc

Omeprazole 2x20mg po

ASA 1x 80 mg po

Simvastatin 0 – 20 mg po

Captopril 3x25 mg
11/6/11 - GCS 456 1. Diabetic Foot Wagner III KRS

T: 140/90 Pedis Dekstra Inj insulatard 0-12 iu sc

N: 92 x/menit 2. DM type 2 + normoweight Inj Actrapid 6-6-6 iu sc

RR: 20 x/menit 3. HT stage 2 Klindamisin 3x200 mg po

GDP 132 mg/dl 3.1 Secondary related with Omeprazole 2x20mg po

GD 2 jam PP 148 mg/dl DM ASA 1x 80 mg po

Simvastatin 0 – 20 mg po

Captopril 3x25 mg
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid III. Edisi IV.

Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia

2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Hari Diabetes Sedunia

2010. http://www.pppl.depkes.go.id/index.php?c=berita&m=fullview&id=61.

Diakses 15 Juni 2011

3. Pemayun T G D. 2002. Gambaran Makro dan Mikroangiopati Diabetik

di Poliklinik Endokrin, dalam Naskah lengkap Kongres Nasional V

Persatuan Diabetes Indonesia (Persadia) dan Pertemuan Ilmiah

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni). Semarang: Badan

Penerbit Universitas Diponegoro, p 87 – 97.

4. American Diabetes Association. Diagnosis and Classification of Diabetes

Mellitus. Diabetes Care, Volume 27, Supplement 1, January 2004

5. Igbinovia E. 2009. Current Trend in Management Diabetic Ulcer. Journal of

Postgraduate Medicine, Vol. 11 No. 1

6. Diabetes Care. Scope Management of Type 2 Diabetes : Prevention and

Management of Foot Problems. Volume 25, June 2002;S 1085 - 1094.

http://www.nice.org.uk/nicemedia/pdf/footcare_scope.pdf. Diakses 22 Juni

2011

7. Bethesda. 2001. Foot Care Kit For Diabetes Help Prevent Amputations

in National Diabetes Education Program .

http://ndep.nih.gov/materials/pubs/feet/feet.htm. Diakses 17 Juni 2011

8. Rossini A. 1999. The Healing Handbook for Persons with Diabetes; Skin and
Foot Care.http://www.umassmed.edu/healinghandbook/chapter11/index.aspx

9. Why is Foot Care is Important for Person with Diabetes. June 7, 2000.

http://VirtA Hospital Foot Care.htm

10. Sutjahjo A. 1997. Pengobatan Hiperbarik Pada Kaki Diabetik dalam

Makalah Kaki Diabetik Patogenesis dan Penatalaksanaan ,

Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro

11. Frykberg RG. Diabetic Foot Ulcers: Pathogenesis and Management. Am Fam

Physician. 2002 Nov 1;66(9):1655-1663

12. Masharani U, Karam J H. 2002. Diabetes Mellitus and Hipoglicemia in

Current Medical Diagnosis and Treatment. 41st Edition. McGraw-Hill.

p1233 – 1235

Anda mungkin juga menyukai