Anda di halaman 1dari 28

Seorang Wanita 74 tahun Penderita Ketoasidosis

Diabetikum dengan Hipertensi Urgensi, Konstipasi,


Acute Kidney Injury, Hipokalemia dan Hiponatremia

Oleh:
dr. Febrian Ramadhan Pradana

Pembimbing:
dr. Yudith Annisa, Sp. PD

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


INTERNSIP ANGKATAN III
RSUD PLOSO JOMBANG
2018
PENDAHULUAN

Diabetes melitus merupakan penyakit kompleks dan kronik yang


membutuhkan pengobatan yang terus-menerus dengan beragam faktor resiko dan
membutuhkan strategi khusus untuk mengontrol kadar glukosa.1,2

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan


karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Fungsi insulin adalah zat utama yang bertanggung jawab dalam
mempertahankan kadar gula darah yang tepat.3

World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global


diabetes melitus tipe 2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366
juta tahun 2030. WHO memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia
dalam hal jumlah penderita diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat.4

Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut diabetes melitus


yang serius yang terjadi akibat defisiensi insulin absolut maupun relatif, dengan
angka kematian rata-rata yang meningkat hingga mencapai 5% pada pusat pelayanan
kesehatan.5,6,7 Suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi. KAD memerlukan
pengelolaan yang cepat dan tepat, mengingat angka kematiannya yang tinggi.
Pencegahan merupakan upaya penting untuk menghindari terjadinya KAD.3,4

Infeksi, penyakit yang mengenai jantung (miokard infark), saluran pencernaan


(pankreatitis), endokrin (akromegali, cushing sindrome) dan stress akibat tindakan
pembedahan berkontribusi terhadap terjadinya KAD oleh karena dehidrasi.8,9

Penanganan pasien penderita ketoasidosis diabetikum adalah dengan


memperoleh riwayat menyeluruh dan tepat serta melaksanakan pemeriksaan fisik
sebagai upaya untuk mengidentifikasi kemungkinan faktor-faktor pemicu.
Pengobatan utama terhadap kondisi ini adalah rehidrasi awal (dengan menggunakan
isotonic saline) dengan pergantian potassium serta terapi insulin dosis rendah.10,11.
KASUS
Seorang wanita, Ny.S, usia 74 tahun, suku Jawa, pendidikan SMA, ibu rumah
tangga, berdomisili Plandaan, dirawat di bangsal penyakit dalam RSUD Ploso
dengan keluhan utama lemas.
Tanggal 31 Mei 2018
Heteroanamnesa
Pasien mengeluhkan lemas seluruh tubuh sejak 1 hari lalu. Lemas dirasakan
secara tiba-tiba. Sebelumnya pasien mengaku datang ke IGD dengan keluhan tidak
bisa buang air besar sejak 4 hari lalu disertai perut terasa sebah. Pasien mengaku
sudah menggunakan microlax namun tetap tidak bisa buang air besar. Pasien juga
mengalami sering terbangun dimalam hari untuk buang air kecil, disertai sering
haus. Saat ini pasien hanya mengeluhkan lemas, mual dan nyeri di perut kiri bawah.
Keluhan lain seperti sesak, muntah, mengigau, nyeri dada, demam, lemah separuh
badan, kesemutan maupun bicara pelo disangkal.
Dari riwayat penyakit dahulu, pasien memiliki riwayat diabetes melitus sejak
5 tahun lalu tetapi tidak pernah kontrol dan tidak pernah minum obat secara rutin.
Pasien pun memiliki riwayat hipertensi sejak 4 tahun lalu tetapi tidak pernah control
dan tidak pernah minum obat secara rutin. Dan pasien pun memiliki riwayat nyeri
dada. Riwayat alergi dan penyakit ginjal disangkal.

Pemeriksaan fisik :
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan GCS 456, composmentis. Tekanan
darah 180/100mmHg, nadi 94x/menit, pernapasan 20x/menit tanpa disertai
kussmaul, suhu 36,9 C. Kepala dan leher tidak didapatkan anemia, ikterus, sianosis
maupun dispnoe, JVP pun tidak meningkat. Pada pemeriksaan jantung didapatkan
bunyi jantung ictus cordis tidak terlihat dan teraba, I II regular, murmur (-), gallop (-
), pada pemeriksaan paru didapatkan pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-),
vocal fremitus simetris, sonor/sonor, bunyi nafas dasar vesikuler, rhonki -/-,
wheezing -/-. Pemeriksaan abdomen didapatkan perut tampak datar, bising usus
4x/menit, timpani disemua kuadran abdomen, supel, nyeri tekan (+) region iliaca
sinistra, hepar dan lien tidak teraba membesar. Pada ekstremitas ditemukan akral
hangat, capillary refill time <2”, edema -/-, sianosis -/-.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 30 Mei 2018 didapatkan Hb
10,4gr/dL, leukosit 14.700 sel/mm2, limphosit 18%, midel 4%, granulosit 76%,
trombosit 303.000 sel/mm2, hematokrit 31%, eritrosit 3,5juta/mm2, MCV 87 FL,
MCH 28 Pg, MCHC 32g/dl, creatinin 3.0 mg/dl, BUN 49 mg/dl, Natrum
129mmol/L, Kalium 2,9mmol/L, Klorida 93mmol/L, GDA 234 mg/dl.
Pada pemeriksaan laboratorium urin lengkap protein ++, glukosa ++, keton +,
eritrosit 3-5lpb, leukosit 2-4lpb, epitel 4-6lpb, GDP 297 mg/dl, GD2PP 525 mg/dl,
natrium 135 mmol/L, kalium 3,4 mmol/L, klorida 9,8 mmol/L. GDA 100 mg/dl.
Lalu dari hasil pemeriksaan foto polos abdomen didapatkan kesimpulan
spondilosis lumbalis. Dan dari hasil pemeriksaan USG didapatkan kista ginjal kiri.

Diagnosis kerja
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium maka didiagnosis
sebagai ketoasidosis diabetikum disertai hipertensi urgensi, konstipasi disertai acute
kidney injury. hipokalemia dan hiponatremia. Pix: Dual line Infus PZ 2 liter dalam 2
jam (500cc/30menit), lalu dilanjutkan 80tpm/6 jam dan seterusnya 28tpm/24 jam +
Infus PZ 500cc + KCL 25mEq 21tpm, insulin drip novorapid 2,5U/jam, diet bubur
kasar 2100kkal/hari, injeksi ceftriaxone 2x1gr, injeksi ondancetron 2x8 mg,, injeksi
omeprazole 2x20mg, injeksi metoclopramide 3x10mg, drip metronidazole 2x500mg,
amlodipin 1x10mg, spironolakton 1x100mg lalu 12 jam kemudian insulin drip
diturunkan 1ml/jam lalu diturunkan 0,5ml/jam.

Tanggal 1 Juni 2018


Keluhan pasien nyeri perut kiri bawah masih ada disertai belum bisa buang air
besar namun lemasnya berkurang. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah
165/60mmHg, nadi 76x/menit, respiratory rate 18x/menit, suhu 36,2 C. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan GDA 53mg/dl, Hb 9,7gr/dL, leukosit
13.000sel/mm2, trombosit 299.000sel/mm2, hematokrit 30%, eritrosit 3,4juta/mm2,
ureum 40 mg/dl, creatinin 2,1 mg/dl, lalu 9 jam kemudian GDA 182mg/dl, natrium
152mmol/L, kalium 3,9mmol/L, klorida 116mmol/L. Ptx: Diet bubur kasar
2100kkal/hari, IVFD dual line PZ 28tpm, IVFD PZ 500cc+KCL 25 mEq 21tpm, inj
D40% 1 flc, inj. ceftriaxone 2x1gr, inj. omeprazole 2x20mg, inj. metoclopramide
3x10mg, inj. ondancetron 2x8mg, drip metronidazole 2x500mg, inj.novorapid 3x8U
SC, amlodipin 1x10mg, spironolakton 1x100mg, captopril 3x12,5mg. lalu setelah 9
jam kemudian pasien ruang rawat biasa, drip KCL stop, IVFD PZ 21 tpm, lactulac
syr. 3x2C.

Tanggal 2 Juni 2018


Keluhan pasien nyeri perut kiri bawah sudah tidak ada, sudah bisa BAB dan
tidak ada keluhan lain. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah
120/80mmHg, nadi 72x/menit, suhu 36,2 C, respiration rate 20x/menit. Dan dari
pemeriksaan GDA didapatkan 281mg/dl. Lalu penderita diperbolehkan pulang dan
mendapat obat pulang amlodipin 1x10mg, spironolakton 1x100mg, bisoprolol
1x5mg, novorapid 3x8U, levemir 0-0-14U.

Pembahasan

Diabetes melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang


ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Menurut
American Diabetes Association (ADA) DM merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelaianan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.12

Diabetes Melitus merupakan suatu penyakit dengan gejala konsentrasi


glukosa dalam darah yang meningkat (hiperglikemia) dan lama kelamaan dapat
menimbulkan terjadinya komplikasi kronis pada mata, ginjal, saraf, jantung, dan
pembuluh darah. Jadi dapat disimpulkan Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit
kronik yang mengalami kelainan metabolisme yang ditandai dengan keadaan
hiperglikemia akibat terjadi gangguan pada produksi insulin, kerja insulin atau
keduanya yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal,
saraf, dan pembuluh darah.13

DM dibagi menjadi beberapa tipe yang berbeda, klasifikasi DM dibagi


berdasarkan penyebab, perjalanan klinis dan terapinya. Adapun klasifikasi yang
paling utama DM dibagi menjadi DM tipe I dan tipe II. DM tipe I terjadi jika
pankreas hanya menghasilkan sedikit atau sama sekali tidak menghasilkan insulin,
sehingga penderita selamanya tergantung insulin dari luar, umumnya terjadi pada
penderita yang berusia kurang dari 30 tahun. DM tipe II terjadi pada keadaan
pankreas tetap menghasilkan insulin, terkadang lebih tinggi dari normal, tetapi tubuh
membentuk kekebalan terhadap efeknya. Biasanya terjadi pada usia diatas 30 tahun
karena kadar gula darah meningkat secara ringan namun progresif setelah usia 50
tahun terutama pada orang yang tidak aktif dan mengalami obesitas.13

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.14

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya


DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi
pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.14

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi criteria normal atau criteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).14

 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma


puasa antara 100-125mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam
<140mg/dl;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2
jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa
<100mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1 yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.14
Pada pasien ini terdapat keluhan klasik DM seperti poliuria dan polidipsia
dan dari hasil laboratorium didapatkan gula darah acak 234mg/dl.

Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi dua kategori


mayor yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikas-komplikasi vaskular jangka
panjang. Keadaan yang termasuk komplikasi akut dari DM adalah diabetic
ketoacidosis (DKA) dan hiperglikemia hiperosmolar koma nonketotik (HHNK).15

Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan kelainan pada


pembuluh-pembuluh darah kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh darah
sedang dan besar (makroangiopati). Makroangiopati diabetik mempunyai
histopatologis berupa aterosklerosis. Mikroangiopati merupakan lesi spesifik
diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus
ginjal (nefropati diabetik), dan saraf-saraf perifer (neuropati perifer diabetik).
Patogenesis kelainan vaskular pada penderita DM disebabkan karena adanya
ketidakseimbangan metabolik maupun hormonal. Jaringan kardiovaskular, jaringan
saraf, sel endotel pembuluh darah dan sel retina serta lensa memiliki kemampuan
untuk memasukkan glukosa dari jaringan sekitar sel masuk ke dalam sel tanpa
bantuan insulin (insulin independent), agar jaringan-jaringan penting tersebut
mendapat cukup pasokan glukosa seb elum glukosa tersebut digunakan sebagai
energi di otot atau di simpan sebagai cadangan lemak. Lebih lanjut Waspadiji
menjelaskan pada keaadan hiperglikemia kronik, tidak cukup terjadi down regulation
dari sistem tranportasi glukosa yang tidak memerlukan insulin tersebut, sehingga
glukosa dengan jumlah yang berlebih akan masuk kedalam sel, keadaan ini disebut
dengan hiperglisolia. Hiperglisolia yang terus menerus terjadi dalam waktu yang lama
akan mengubah homeostasis biokimiawi sel tersebut yang akan berpotensi untuk
terjadinya perubahan dasar terbentuknya komplikasi kronik diabetes, yang meliputi
beberapa jalur biokimiawi seperti jalur reduktase aldosa, jalur stress oksidatif
sitoplasmik, jalur pleiotropik protein kinase C dan terbentuknya spesies glikolisasi
lanjut intraseluler.15

Pada pasien ini komplikasi yang terjadi yaitu pasien mengalami ketoasidosis
diabetikum.

Ketoasidosis diabetikum adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik


yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif.16

Ketoasidosis Diabetikum (KAD) merupakan kegawatan di bidang


endokrinologi yang paling sering dihadapi oleh para dokter dalam praktek sehari-hari.
Walaupun KAD paling sering ditemukan pada penderita diabetes melitus tergantung
insulin (DM Tipe 1 = Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM), penderita
diabetes melitus tidak tergantung insulin (DM Tipe 2 = Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus/NIDDM), pada keadaan tertentu juga beresiko untuk mendapatkan
KAD.17
Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester menunjukan bahwa insidens
KAD sebesar 8 per 1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur,
sedangkan untuk kelompok usia dibawah 30 tahun sebesar 13,4 per 1000 pasien DM
per tahun. Di Negara maju dengan sarana lengkap, angka kematian KAD berkisar
antara 9-10%, sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut
angka kematian dapat mencapai 25-50%.16

Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang menyertai
KAD seperti sepsis, syok yang berat, infark miokard akut yang luas, pasien usia
lanjut, konsentrasi kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia dan konsentrasi
keasaman darah yang rendah.16

Pada penelitian retrospektif oleh Wachtel dan kawan-kawan ditemukan bahwa


dari 613 pasien yang diteliti, 22% adalah pasien KAD. Tingkat kematian pasien
dengan ketoasidosis (KAD) adalah <5% pada sentrum yang berpengalaman, bila
mortalitas akibat KAD distratifikasi berdasarkan usia maka mortalitas pada kelompok
usia 60-69 tahun adalah 8%, kelompok usia 70-79 tahun 27%, dan 33% pada
kelompok usia > 79 tahun.18

Tingkat kematian pasien dengan ketoasidosis (KAD) adalah < 5% pada centre
yang berpengalaman, sedangkan tingkat kematian pasien dengan hiperglikemia
hiperosmoler (SHH) masih tinggi yaitu 15%. Prognosis keduanya lebih buruk pada
usia ekstrim yang disertai koma dan hipotensi.7,11
Pada kasus pasien ini, usia pasien tersebut adalah 74 tahun. Jadi angka
kejadian pada kelompok usia tersebut termasuk tinggi presentasinya pada penderita
DM.
Ada sekitar 20% pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk
pertama kali. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat
dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam
pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang. Faktor pencetus yang berperan
untuk terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard akut, pancreatitis akut,
penggunaan steroid, menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Sementara itu 20%
pasien KAD tidak didapatkan faktor pencetus.16

Pada pasien ini faktor pencetusnya berupa infeksi, karena dari hasil
laboratorium didapatkan leukosit meningkat menjadi 14.700. Dan pasien tidak rutin
mengkonsumsi obat-obatan anti hiperglikemik,
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin secara relative
maupun absolut dan peningkatan hormone kontra regulator (glucagon, katekolamin,
kortiosol dan hormon pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi
glukosa hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil
akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia bervariasi dan tidak menentukan berat-
ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD dapat dikelompokkan menjadi
dua bagian yaitu akibat hiperglikemia dan akibat ketosis.16

Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem homeostatis


tubuh terus teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam jumlah banyak sehingga
terjadi hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi
hormon kontra regular terutama epinefrin, mengaktivasi hormone lipase sensitif pada
jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi
benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolic asidosis. Benda keton utama
ialah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 hidoksi butirat (3HB); dalam keadaan normal
konsentrasi 3HB meliputi 75-85% dan aseton darah merupakan benda keton yang
tidak begitu penting. Meskipun sudah tersedia bahan bakar tersebut. Sel-sel tubuh
masih tetap lapar dan memproduksi glukosa.16

Hanya insulin yang dapat menginduksi transport glukosa ke dalam sel,


member signal untuk proses perubahan glokosa menjadi glikogen, menghambat
lipolisis pada sel lemak (menekan pembentukan asam lemak bebas), menghambat
glukoneogenesis pada sel hati serta mendorong proses oksidasi melalui siklus krebs
dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi tersebut akan dihasilkan ATP yang
merupakan sumber energi utama sel.16

Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi


insulin relatif. Meningkatnya hormon kontra regulator insulin, meningkatnya asam
lemak bebas, hiperglikemia, gangguan keseimbangan elktrolit dan asam basa dapat
mengganggu sensitivitas insulin.16
Pada KAD terjadi defisiensi insulin absolute atau relatif terhadap hormon
kontra regulasi yang berlebihan (glucagon, epinefrin, kortisol dan hormone
pertumbuhan). Defisiensi insulin dapat disebabkan oleh resistensi insulin atau suplai
insulin endogen atau eksogen yang berkurang. Defisiensi aktivitas insulin tersebut,
menyebabkan 3 proses patofisiologi yang nyata pada 3 organ yaitu, sel-sel lemak, hati
dan otot. Perubahan yang terjadi terutama melibatkan metabolism lemak dan
karbohidrat.16

Diantara hormon-hormon kontraregulator, glucagon yang paling berperan


dalam patogenesis KAD. Glukagon menghambat proses glikolisis dan menghambat
pembentukan malonyl CoA. Malonyl CoA adalah suatu penghambat carnitine acyl
transferase (CPT1 dan 2) yang bekerja pada transfer asam lemak bebas ke dalam
mitokondria. Dengan demikian peningkatan glucagon akan merangsang oksidasi beta
asam lemak dan ketogenesis.16

Pada pasien DM tipe 1, konsentrasi glukagon darah tidak teregulasi dengan


baik. Bila konsentrasi insulin rendah maka konsentrasi glukagon darah sangat
meningkat serta mengakibatkan reaksi kebalikan respons insulin pada sel-sel lemak
dan hati.16

Konsentrasi epinefrin dan kortisol darah meningkat pada KAD. Hormon


pertumbuhan pada awal terapi KAD konsentrasinya kadang-kadang meningkat dan
lebih meningkat lagi dengan pemberian insulin.16

Keadaan stress sendiri meningkatkan hormone kontra regulasi yang pada


akhirnya akan menstimulasi pembentukan benda-benda keton, glukoneogenesis serta
potensial sebagai pencetus KAD. Sekali proses KAD terjadi maka akan terjadi stress
yang berkepanjangan.16

Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan
ini tentunya sangat membantu untuk mengenali KAD akan lebih cepat sebagai
komplikasi akut DM dan segera mengatasinya.16
Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai
pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit
berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok.
Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium.16

Nyeri abdomen sering terjadi pada KAD. Diperlukan perhatian khusus untuk
pasien yang mengeluh nyeri abdomen,sebab gejala ini bisa merupakan akibat ataupun
faktor penyebab (terutama pada pasien muda) DKA. Evaluasi lebih lanjut harus
dilakukan jika keluhan ini tidak berkurang dengan perbaikan dehidrasi dan asidosis
metabolik.10
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai komposmentis, delirium, atau
depresi sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan
penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum
alkohol).16

Pada pasien ini didapatkan gejala klinis berupa lemas disertai nyeri perut
namun kesadaran pasien masih baik yaitu komposmentis dan juga tidak didapatkan
pernapasan kussmaul.

Ketoasidosis diabetik perlu dibedakan dengan ketosis diabetik ataupun


hiperglikemia hiperosmolar nonketotik. Beratnya hiperglikemia, ketonemia dan
asidosis dapat dipakai dengan kriteria diagnosis KAD. Walaupun demikian penilaian
kasus per kasus selalu diperlukan untuk menegakkan diagnosis.16

Langkah pertama yang harus diambil pada pasien dengan KAD terdiri dari
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama
memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular
dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan
laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera
mulai tanpa adanya penundaan.16
Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera
dilakukan setelah dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan
konsentrasi glukosa darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan urine dengan
menggunakan urine strip untuk melihat secara kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat,
dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium lengkap untuk dapat menilai
karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi konsentrasi HCO3, anion gap, pH
darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan AcAc dan laktat serta 3HB.16

Kriteria Diagnosis KAD

Kadar Glukosa >250mg/dl

pH <7,35

HCO3 rendah

Anion Gap yang tinggi

Keton serum positif

Pada pasien ini didapatkan kadar GDP 297mg/dl dan GD2PP 525mg/dl
disertai ketonuria, glukosuria, proteinuria dan leukosit 2-4lpb pada pemeriksaan
urin lengkap. Dan didapatkan kadar kalium pada pasien ini sebesar 2,9mmol/L.

Klasifikasi Ketoasidosis Diabetikum 19

Stadium Macam, KAD PH Darah Bikarbonat Darah

1. Ringan KAD Ringan 7,30-7,35 15-20 mEq/l

2. Sedang Perkoma diabetik 7,20-7,30 12-15 mEq/l

3. Berat Koma diabetic 6,90-7,20 8-12 mEq/l

4. Sangat berat KD Berat <6,90 <8 mEq/l


Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk
suntikan.14,20,21

Berdasarkan cara kerjanya, obat anti hiperglikemia oral dibagi menjadi 5


golongan :

a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

 Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh
sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan
berat badan. Hati-hati menggunakan sulfonylurea pada pasien dengan risiko
tinggi hipoglikemia (orang tua, gangguan faal hati, dan ginjal).14
 Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri
dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivate asam benzoat) dan Nateglinid
(derivate fenilalanin). Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian
secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi
hiperglikemia post prandial. Efek samping yang mungkin terjadi adalah
hipoglikemia.14

b. Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin

 Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DMT2.
Dosis Metformin diturunkan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(GFR 30- 60 ml/menit/1,73m2). Metformin tidak boleh diberikan pada
beberapa keadaan seperti: GFR<30mL/menit/1,73m2, adanya gangguan hati
berat, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya
penyakit serebro- vaskular, sepsis, renjatan, PPOK,gagal jantung [NYHA FC
III-IV]). Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan
seperti halnya gejala dispepsia.14
 Tiazolidindion (TZD)
Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara
lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa,
sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Tiazolidindion
meningkatkan retensi cairan tubuh sehingga dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung (NYHA FC III-IV) karena dapat memperberat
edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila diberikan
perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat yang masuk dalam golongan
ini adalah Pioglitazone.14

c. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan

 Penghambat Alfa Glukosidase.


Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbs glukosa dalam usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.
Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan pada keadaan:
GFR≤30ml/min/1,73m2, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel
syndrome. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan
gas dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek
samping pada awalnya diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan
ini adalah Acarbose.14

d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase- IV)

 Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV


sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi
dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan
menekan sekresi glucagon bergantung kadar glukosa darah (glucose
dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin.14

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co- transporter 2)

 Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis


baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal
dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang
termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin.14
Termasuk anti hiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan
kombinasi insulin dan agonis GLP-1.14

a. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan :

 HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik


 Penurunan berat badan yang cepat
 Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
 Krisis Hiperglikemia
 Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
 Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
 Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
 Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
 Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
 Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni :

 Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin)


 Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)
 Insulin kerja menengah (Intermediate-acting insulin)
 Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)
 Insulin kerja ultra panjang (Ultra long- acting insulin)
 Insulin campuran tetap, kerja pendek dengan menengah dan kerja cepat
dengan menengah (Premixed insulin).14
b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru


untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga terjadi
peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan,
menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan. Efek penurunan
berat badan agonis GLP-1 juga digunakan untuk indikasi menurunkan berat badan
pada pasien DM dengan obesitas. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti
memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada pemberian
obat ini antara lain rasa sebah dan muntah. Obat yang termasuk golongan ini adalah:
Liraglutide, Exenatide, Albiglutide, dan Lixisenatide. Salah satu obat golongan
agonis GLP-1 (Liraglutide) telah beredar di Indonesia sejak April 2015, tiap pen
berisi 18 mg dalam 3 ml. Dosis awal 0.6 mg perhari yang dapat dinaikkan ke 1.2mg
setelah satu minggu untuk mendapatkan efek glikemik yang diharapkan. Dosis bisa
dinaikkan sampai dengan 1.8mg. Dosis harian lebih dari 1.8mg tidak
direkomendasikan. Masa kerja Liraglutide selama 24 jam dan diberikan sekali
sehari secara subkutan.14

Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam
penatalaksanaan DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan
pemberian obat antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini. Pemberian
obat antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.
Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose
combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai
dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat
antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis
dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dapat diberikan kombinasi
tiga obat anti-hiperglikemia oral.14
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan
pemberian insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang). Insulin
kerja menengah harus diberikan jam 10 malam menjelang tidur, sedangkan insulin
kerja panjang dapat diberikan sejak sore sampai sebelum tidur. Pendekatan terapi
tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik dengan
dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi adalah 6-10
unit. Kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa darah puasa
keesokan harinya. Dosis insulin dinaikkan secara perlahan apabila kadar glukosa
darah puasa belum mencapai target. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah
sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka
perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, sedangkan pemberian
obat antihiperglikemia oral dihentikan dengan hati-hati.14

Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah:

a. Penggantian cairan dan garam yang hilang

b. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan
pemberian insulin.

c. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD

d. Mengembalikan keadaan fisiologis normal dan menyadari pentingnya


pemantauan serta penyesuaian pengobatan.

Untuk mengatasi dehidrasi digunkaan larutan garam fisiologis. Berdasarkan


perkiraan hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 ml per kg berat badan, maka
pada jam pertama diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter. Ada dua
keuntungan rehidrasi pada KAD: memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan
hormon kontraregulator insulin. Bila kadar glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu
diberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5 % atau 10 %).16

Insulin regular intravena memiliki waktu paruh 4–5 menit, sementara


pemberian insulin secara intramuskular atau subkutan memiliki waktu paruh sekitar
2–4 jam. Insulin infus intravena dosis rendah berkelanjutan (continuous infusion of
low dose insulin) merupakan standar baku pemberian insulin di sebagian besar pusat
pelayanan medis. Panduan terapi insulin pada KAD dan SHH dapat dilihat pada tabel.

Tabel 1. Terapi insulin pada KAD

Pemberian infus dosis rendah berkelanjutan dikaitkan dengan komplikasi


metabolik seperti hipoglikemia, hipokalemia, hipofosfatemia, hipomagnesema,
hiperlaktatemia, dan disequilibrium osmotik yang lebih jarang dibandingkan dengan
cara terapi insulin dengan dosis besar secara berkala atau intermiten.16,21

Pada mayoritas pasien, terapi insulin diberikan secara simultan dengan cairan
intravena. Apabila pasien dalam keadaan syok atau kadar kalium awal kurang dari 3,3
mEq/L, resusitasi dengan cairan intravena atau suplemen kalium harus diberikan
lebih dahulu sebelum infus insulin dimulai. Insulin infus intravena 5-7 U/jam
seharusnya mampu menurunkan kadar glukosa darah sebesar 50–75 mg/dL/jam serta
dapat menghambat lipolisis, menghentikan ketogenesis, dan menekan proses
glukoneogenesis di hati.16
Kecepatan infus insulin harus selalu disesuaikan. Bila faktor-faktor lain
penyebab penurunan kadar glukosa darah sudah dapat disingkirkan dan penurunan
kadar glukosa darah kurang dari 50 mg/dL/jam, maka kecepatan infus insulin perlu
ditingkatkan. Penyebab lain dari tidak tercapainya penurunan kadar glukosa darah,
antara lain rehidrasi yang kurang adekuat dan asidosis yang memburuk.16

Bila kadar glukosa darah sudah turun < 250 mg/dL, dosis insulin infus harus
dikurangi menjadi 0,05-0,1 U/kgBB/jam sampai pasien mampu minum atau makan.
Pada tahap ini, insulin subkutan dapat mulai diberikan, sementara infus insulin harus
dilanjutkan paling sedikit 1–2 jam setelah insulin subkutan kerja pendek
diberikan.16,22

Pada awalnya KAD biasanya kadar ion K serum meningkat hiperkalemia


yang fatal sangat jarang dan bila terjdi harus segera diataasi dengan pemberian
bikarbonat. Bila pada elektrokardiogram ditemukan gelombang T yang tinggi,
pemberian cairan dan insulin dapat segera mengatasi keadaan hiperkalemi tersebut.16

Yang perlu menjadi perhatian adalah hipokalemiayang dapat fatal selaama


pengobatan KAD. Ion kalium terutama terdapat di intraselular. Pada keadaan KAD,
ion K bergerak ke luar sel dan selanjutnya dikeluarkan melalui urine. Total defisit K
yang terjadi selama KAD diperkirakan mencapai 3-5 mEq/kg BB. Selama terapi
KAD, ion K kembali mempertahankan kadar K serum dalam batas normal., perlu
pemberian kalium. Pada pasien tanpa gagal ginjal serta tidak ditemukannya
gelombang T yang lancip dan tinggi pada elektrokardiogram, pemberian kalium
segera dimulai setelah jumlah urine cukup adekuat.16

Terapi bikarbonat pada KAD menjadi topik perdebatan selama beberapa


tahun. Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat. Adapun alasan
keberatan pemberian bikarbonat adalah untuk menurunkan pH intraselular akibat
difusi CO2 yang dilepas bikarbonat, efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan,
hipertonis dan kelebihan natrium, meningkatkan insidens hipokalemia, gangguan
fungsi serebral, terjadi hiperkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keton.
Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari 7,1 walaupun
demikian komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang mengancam tetap
merupakan indikasi pemberian bikarbonat.16

Perbedaan derajat terapi KAD tergantung pada stadiumnya. Protokol terapi


KAD terdiri atas 2 fase yaitu : fase I (fase gawat) dan fase II (fase rehabilitasi)
dengan batas kadar glukosa darah antara dua fase tersebut sekitar 250mg/dl.19

Fase Uraian Terapi

Fase I 1. Rehidrasi : NaCl 0,9% atau RL 2L/2jam pertama, lalu


80tt/m selama 4 jam, lalu 30tt/m selama 18 jam (4-6L/24jam), diteruskan
sampai 24 jam berikutnya (20tt/m)

2. IDR IV : 4 unit/jam IV

3. Infus K per 24jam : 25mEq (Bila K = 3,0-3,5 mEq/l), 50mEq (K =


2,5-3,0), 75mEq (bila K = 2,0-2,5) dan 100mEq (bila K < 2,0meQ)

4. Infus BIK : Bila pH <7,2-7,3 atau BIK < 12 mEq/l: 50-100


mEq drip dalam 2 jam (bolus BIK 50-100 mEq diberikan bila pH <7,0)

5. Antibiotika : Dipilih yang up to date dan dosis adekuat

Glukosa darah ± 𝟐𝟓𝟎𝒎𝒈/𝒅𝒍 atau reduksi ±

Fase II 1. Rumatan : NaCl 0,9% atau pot. R (IR 4-8u), Maltosa 10%
(IR 6-12u) bergantian : 20tt/m (dimulai perlahan, berjalan perlahan,
diakhiri perlahan)

2. Kalium : p.e (bila K < 4mEq/l) atau per os (air


tomat/kaldu)

3. IR : 3 x 8-12 u SC

4. Makanan lunak, karbohidrat komplek per oral

Pada pasien ini telah diberikan fase I dan fase II dari penatalaksanaan KAD.
Penatalaksanaan fase pertama pada pasien ini diberikan rehidrasi sebanyak 2L NaCl
0,9% dalam waktu 2 jam pertama lalu dilanjutkan 80tpm selama 6 jam lalu diberikan
18tpm selama 24 jam berikutnya. Lalu diberikan insulin drip novorapid 2,5U/jam
dan tetap diberikan novorapid 3x8U SC. Lalu diberikan KCL drip 25mEq dalam
infus NaCL0,9% dan diberikan antibiotik ceftriaxone 2x1gr. Lalu setelah selesai
pada fase pertama, pasien diberikan penatalaksanaan fase kedua dengan diberikan
cairan rumatan NaCL 0,9% 21tpm, novorapid 3x8U SC dan diberikan diet B1
2100kkal/hari.

Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam pengobatan KAD


mengingat penyesuaian terapi perlu dilakukan selama terapi berlansung. Untuk itu
perlu dilaksanakan pemeriksaan kadar glukosa darah tiap jam dengan glukometer
elektrolit tiap 6 jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaan dan analisis gas
darah, bila pH <7 waktu masuk periksa setiap 6 jam sampai pH >7,1, selanjutnya
setiap hari sampai keadaan stabil.19

Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi selama pengobatan KAD ialah


sebagai berikut edema paru, hipertrigiliseridemia, infark miokard akut dan komplikasi
iatrogenik. Komplikasi iatrogenik tersebut ialah hipoglikemia, hipokalemia,
hiperkloremia, edema otak dan hipokalsemia.19

Pada pasien ini didapatkan komplikasi berupa hipoglikemia pada saat


pengobatan dan didapatkan hipokalemia pada saat terdiagnosis KAD.
Ringkasan

Didapatkan seorang wanita 74 tahun dengan diagnosis ketoasidosis


diabetikum dengan hipertensi urgensi, konstipasi, acute kidney injury, hipokalemia
dan hiponatremia. Pasien datang dengan keluhan lemas seluruh tubuh sejak 1 hari lalu
dirasakan tiba-tiba. Sebelumnya pasien mengaku tidak bisa buang air besar sejak 4
hari lalu. Pasien juga mengaku suka terbangun di malam hari untuk buang air kecil
dan sering haus disertai mual. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah
180/90mmHg dan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan gula darah puasa
297mg/dl dan gula darah 2 jam post prandial 525mg/dl, kalium 2,9mmol/L, natrium
129mmol/L disertai ketonuria ++. Setelah ditegakkan diagnosis tersebut, pasien
masuk ke ruang HCU dengan mendapat penatalaksanaan rehidrasi IVFD dual line PZ
2 liter dalam waktu 2 jam (500cc/30mnt) dilanjutkan 80 tpm dalam 6 jam lalu
dilanjutkan 28 tpm dalam 24 jam disertai dengan IVFD PZ 500cc + KCL 25mEq
21tpm dan diberikan insulin drip novorapid 2,5U/jam, lalu diberikan diet bubur kasar
2100 kkal/hari dengan obat-obatan penyerta injeksi ceftriaxon 2x1gr, injeksi
omeprazole 2x20mg, injeksi metoclopramid 3x10mg, injeksi ondancetron 2x8mg,
drip metronidazole 2x500mg, novorapid 3x8U SC, amlodipin 1x10mg dan
spironolakton 1x100mg. Setelah 4 hari perawatan, pasien diperbolehkan pulang
dengan keadaan sembuh dan diberikan obat pulang berupa amlodipin 1x10mg,
spironolakton 1x100mg, bisoprolol 1x5mg, novorapid 3x8U, levemir 0-0-14U.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association. Medical Management of Type 2 Diabetes. 7th ed.


Kaufman FR, Ed. Alexandria, VA, American Diabetes Association, 2012
2. American Diabetes Association. Standards Of Medical Care In Diabetes. Ceffalu William
T, Bakris George et al. American Diabetes Association, 2017.
3. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. Acute
complications of diabetes mellitus. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th edition.
USA : The McGraw-Hill Inc. 2008.
4. Umpierrez GE. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic hyperosmolar syndrome. Journal
Diabetes Spectrum, 2002;15(1):p28-36.
5. Gosmanov AR, Gosmanova EO, Dillard-Cannon E. Management of Adult Diabetic
Ketoacidosis. Diabetes Metabolic Syndrome Obes: Targ Ther 2014;7:255-64.
6. Gosmanov AR, Kitabchi AE. Diabetic Ketoacidosis. In: De Groot LJ, Beck-Peccoz,
Chrousos G, Dungan K, Grossman A, Hershman JM, et al. editors. Endotext. South
Dartmouth, MA;2000.
7. Xu Y, Bai J, Wang G, Zhong S, Su X, Huang Z, et al. Clinical profile of diabetic
ketoacidosis in tertiary hospitals in China: a multicentre, clinic-based study. Diabetic Med: J
Br Diabet Assoc 2016;33:261-8.
8. Kitabchi AE, Nyenwe EA. Hypergycemic crises in diabetes mellitus: diabetic ketoacidosis
and hyperglycemic hyperosmolar state. Endocrinol Metab Clin North Am. 2006;35(4):725-
751, viii.
9. Randall L, Begovic J, Hudson M, et al. Recurrent diabetic ketoacidosis in inner city
minority patients: behavioral, socioeconomic, and psychosocial factors. Diabetes Care.
2011;34(9):1891-1896.
10. Kitabchi AE, Fisher JN, Murphy MB , Rumbak MJ : Diabetic ketoacidosis and the
hyperglycemic hyperosmolar nonketotic state. In Joslin’s Diabetes Mellitus. 13th ed. Kahn
CR, Weir GC, Eds. Philadelphia, Lea & Febiger, 1994, p. 738–770.
11. Gaglia JL, Wyckoff J, Abrahamson MJ . Acute hyperglycemic crisis in elderly. Med Cli
N Am 88: 1063-1084, 2004.
12. PERKENI. Konsesnsus pengelolaan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia 2011.
Semarang: PB PERKENI.
13. Soegondo S, Soewondo P, Subekti I. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus Terkini.
Editor. Penatalaksanaan Diabetes Melitus terpadu bagi dokter maupun editor diabetes.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
14. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto H, Soewondo P. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. PB PERKENI.2015.
15. Price, S.A, Wilson L. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6,
Volume 1. Jakarta:EGC.2006.
16. Sudoyo Aru W, Setyohadi B, Alwi I et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 5th.EGC,
Jakarta.2009.1906-10.
17. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et al. Acute
complications of diabetes mellitus. Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th edition.
USA : The McGraw-Hill Inc. 2008.
18. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Murphy MB, Malone JI, Wall BM, Barret EJ, et al.
Management of hyperglycemic crises in patients with diabetes. Diabetes Care ADA.
2001;24(1):131
19. Askandar T, Poemomo B S, Djoko S, Gatot S et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Surabaya: Airlangga University Press. 2007.
20. Garber A, Abrahamson M, Barsilay J et al. AACE Comprehensive Diabetes Management
Alghorithm 2013, Endocrine Practice. 2013, 19, 327-336.
21. Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Omnious Octet: A New Paradigm for
the Treatment of Type 2 Diabetes Melitus. Diabetes. 2009;58:773-95.
22. Trachtenbarg DE. Management of Diabetic Ketoacidosis. American Family Physician.
2005;71(9):p1705-1714.

Anda mungkin juga menyukai