Anda di halaman 1dari 17

Pendekatan Klinis, Patofisiologi, dan Penatalaksanaan Sindrom Metabolik

Ersa Kurnia Wahyawibawa/ 102015233


Wahyu Bangkita/ 102016097
Nanbapalek Ekol/ 102017197
Prillyta Gladys Sutanto/ 102018018
Catherine Yudi Martono/ 102018032
Yani Andryani/ 102018054
Jeanette Sefanya Yefta/ 102018110
Nadia Adiasa/ 102018139
C5
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Krida Wacana
Email: jeanette.2018fk110@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Sindrom metabolik merupakan salah satu kelainan yang dapat terjadi pada sistem
endokrin dan metabolisme manusia. telah menjadi penyakit dengan tingkat kejadian yang kian
meningkat di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, angka kejadian sindrom metabolik mencapai
lebih dari 20%. Pola makan yang cenderung condong ke makanan cepat saji dan gaya hidup
sedenter menjadi faktor risiko yang dapat dimodifikasi namun nampaknya sulit karena telah
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Orang-orang dengan obesitas sentral, kadar kolesterol
yang tinggi, kadar gula yang tinggi, dan tekanan darah yang tinggi juga lebih rentan terkena
sindrom metabolik. Tata laksana sindrom metabolik meliputi tata laksana farmakologis untuk
menangani kelainan yang mendasarinya serta modifikasi gaya hidup untuk menunjang
pengobatan dan mencegah kekambuhan. Sindrom metabolik meningkatkan risiko seseorang
menderita penyakit kardiovaskuler dan neurologis serta dapat menurunkan kualitas hidup secara
drastis.
Kata kunci: sindrom metabolik, metabolisme

Abstract
Metabolic syndrome is a disorder that occurs in the endocrine and metabolism system.
Metabolic syndrome has become a disease of increasing prevalence worldwide. In Indonesia
alone, the prevalence of metabolic syndrome reaches more than 20%. Diet that mostly consists
of fast food and a sedentary lifestyle is a modifiable risk factor but seems difficult to manage
because it has become a part of everyday life. People with central obesity, high cholesterol
levels, high sugar levels, and high blood pressure are also more prone to developing metabolic
syndrome. Management of the metabolic syndrome includes pharmacological management to
treat the underlying disorder as well as lifestyle modifications to support treatment and prevent
recurrences. Metabolic syndrome is a condition that must be treated quickly and precisely
because of its complications which can be fatal.
Keywords: metabolic syndrome, metabolism

1
Pendahuluan
Sistem metabolik endokrin pada manusia meliputi serangkaian kelenjar tanpa saluran
yang memproduksi hormon. Hormon yang dihasilkan sistem endokrin dialirkan ke seluruh tubuh
melalui aliran darah untuk mempengaruhi kerja sistem organ lainnya. Hormon berperan sebagai
penghantar rangsang bagi suatu organ untuk melakukan fungsi tertentu. Sistem endokrin
berhubungan erat dengan metabolisme karena proses metabolisme sangat dipengaruhi oleh
produksi dan komposisi hormon yang ada. Apabila terjadi gangguan pada sistem endokrin, maka
proses metabolisme juga dapat terganggu dan mengakibatkan berbagai masalah kesehatan. Salah
satu penyakit yang diakibatkan oleh gangguan sistem metabolik endokrin adalah sindrom
metabolik.1
Sindrom metabolik adalah kumpulan dari beberapa kelainan yang bersama-sama
meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit kardiovaskuler aterosklerotik, diabetes mellitus,
dan komplikasi neurologis. Penyakit ini merupakan menyakit multifaktorial dengan berbagai
faktor risiko yang bermula dari resistensi insulin yang disertai dengan penyimpanan dan fungsi
jaringan adiposa yang abnormal. Sindrom metabolik memiliki implikasi yang serius terhadap
kesehatan seseorang dan ekonomi akibat biaya terapinya. Seriring perkembangan jaman, gaya
hidup dan pola makan menjadi salah satu faktor utama meningkatnya prevalensi sindrom
metabolik. Oleh karena itu, penting untuk menyadari peningkatan prevalensi ini sehingga dapat
dilakukan intervensi pada perjalanan penyakit sindrom menabolik untuk menghambat
perburukan atau bahkan mengembalikan fungsi tubuh menjadi normal kembali.2, 3

Gejala dan Pendekatan Klinis


Seroang pasien yang menderita gangguan metabolik didiagnosis sebagai sindrom
metabolik apabila seorang pasien memiliki tiga dari kriteria-kriteria berikut: 2

● Lingkar pinggang lebih dari 90 cm pada laki-laki dan 80 cm pada perempuan

● Kadar HDL dalam darah kurang dari 40 mg/dL pada laki-laki dan 50 mg/dL pada

perempuan

● Kadar trigliserida dalam darah lebih dari 150 mg/dL

● Tekanan darah konsisten 130/80 mmHg

2
● Kadar gula darah puasa 100 mg/dL

Berdasarkan kriteria tersebut, tanda dan gejala yang bisa didapatkan pada orang yang menderita
sindrom metabolik antara lain, hipertensi, hiperglikemia, hipertrigliseridemia, penurunan HDL,
obesitas abdominal, nyeri dada, sesak nafas, neuropati perifer, retinopati, dan xanthoma atau
xanthelasma.2, 3

Gambar 1. Xanthelasma.4
Seperti halnya penyakit lain, anamnesis dan analisis riwayat penting dalam pendekatan
klinis sindrom metabolik. Meskipun diagnosis sindrom metabolik ditegakkan melalui
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium, tapi gejala yang muncul dapat dicurigai apabila
terdapat kelainan lain yang muncul seperti peningkatan nafsu makan, kehausan, dan urinasi yang
mungkin menyertai hiperglikemia. Riwayat hipertensi, dislipidemia, dan hiperglikemia
merupakan petanda untuk dilakukannya pemeriksaan penapis sindrom metabolik. Gejala yang
merujuk pada kelainan kardiovaskuler dan komplikasi lainnya seperti nyeri dada dan sesak nafas
harus diperiksa lebih lanjut. Perubahan gara hidup dapat memperbaiki keadaan sehingga
perhatian yang lebih harus ditujukan pada pola makan dan pola olahraga pasien. Riwayat sosial
pasien juga penting untuk mengidentifikasi faktor risiko lainnya seperti penggunaan rokok.
Riwayat keluarga penting karena genetik merupakan salah satu faktor penting dalam sindrom
metabolik. Selain itu, anamnesis menyeluruh dilakukan untuk mendeteksi kelainan lain yang
berkaitan seperti menstruasi yang tidak teratur pada PCOS.3
Pemeriksaan fisik merupakan pemeriksaan yang krusial pada pasien dengan sindrom
metabolik. Temuan seperti peningkatan tekanan darah dan obesitas abdominal adalah 2 dari 5
kriteria sindrom metabolik. Pengukuran dan pencatatan lingkar pinggang merupakan
pemeriksaan rutin yang penting dilakukan pada pemeriksaan penapis sindrom metabolik.
Pemeriksaan fisik juga dapat mengungkap temuan kriteria lain. Contohnya, pasien dengan
3
resistensi insulin dan hiperglikemia atau penderita diabetes mellitus mungkin memiliki
acanthosis nigricans, hirsutisme, neruopati perifer, dan retinopati. Pasien dengan dislipidemia
berat mungkin akan memiliki xanthoma atau xenthelasma. Pada pemeriksaan auskultasi, bruit
pada arteri mungkin menandakan risiko lebih tinggi terhadap komplikasi kardiovaskuler. 2, 3

Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan meliputi pemeriksaan kadar HbA1C darah untuk
memeriksa resistensi insulin dan diabetes melitus tipe 2. Pemeriksaan profil lipid juga dilakukan
untuk menilai peningkatan trigliserida yang abnormal, penurunan kadar HDL, dan peningkatan
kadar LDL. Pada pemeriksaan awal juga harus dilakukan pemeriksaan metabolisme dasar untuk
mengevaluasi disfungsi ginjal dan kadar glukosa. Pemeriksaan lebih lanjut seperti CRP, fungsi
hati, pemeriksaan tiroid, dan asam urat dapat dilakukan untuk menginvestigasi dan menunjang
diagnosis sindrom metabolik.2

Gambar 2. Obestitas abdominal dan obesitas perifer.5

Gambar 3. Acanthosis nigricans.6


Pemeriksaan Penunjang

4
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis yaitu sesuai
dengan gejala yang dialami pada pasien ialah:

● Gula darah sewaktu

Pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) dilakukan tanpa perlu memerhatikan


waktu terakhir makan. Pemeriksaan kadar glukosa sewaktu plasma vena dapat
digunakan untuk pemeriksaan penyaring dan memastikan diagnosis, sedangkan
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu darah kapiler hanya untuk pemeriksaan
penyaring saja. Kadar glukosa darah sewaktu yang normal ialah <110 mg/dL jika
didiagnosis DM maka diatas >200 mg/dL.7

● Gula darah puasa

Pada pemeriksaan glukosa darah puasa (GDP), pengambilan sampel darah


dilakukan setelah pasien berpuasa paling sedikit 8 jam sebelum pemeriksaan.
Bahan pemeriksaan dapat berupa serum atau plasma vena atau darah kapiler.
Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dari plasma vena dapat digunakan untuk
pemeriksaan penyaring, memastikan diagnosis dan memantau hasil pengobatan
dan pengendalian DM. Pemeriksaan glukosa darah puasa dari darah kapiler hanya
digunakan untuk pemeriksaan penyaring memantau hasil pengobatan dan
pengendalian DM. Kadar glukosa darah puasa yang normal ialah <110 mg/dL jika
didiagnosis DM maka diatas >126 mg/dL.7

● Gula darah 2 jam setelah makan (post prandial)

Pemeriksaan kadar glukosa darah 2 (dua) jam setelah makan (post prandial) sukar
dilakukan standarisasi karena jenis dan jumlah makanan yang dimakan sukar
disamakan. Sleain itu, sukar pula mengamati apakah pasien dalan tenggang waktu
2 jam untuk tidak makan atau minum lagi. Pemeriksaan kadar glukosa darah 2
jam post prandial masih bermanfaat untuk memantau hasil pengobatan dan
pengendalian DM. Kadar glukosa post prandial yang normal ialah 80-144 mg/dL
dan yang buruk ialah > 180 mg/dL.7

● TTGO

5
Pemeriksaan glukosa darah jam ke-2 Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
merupakan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan
diagnosis DM bila berdasarkan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa atau
sewaktu diagnosis DM masih belum dapat dipastikan. Dengan demikian,
oemeriksaan ini tidak diperlukan bagi penderita dengan gejala klinis khas DM dan
kadar glukosa darah puasa dana tau sewaktu yang telah menentukan kriteria
diagnosis DM. Jika nilai TTGO < 140 mg/ dL dikatakan normal, 140-199 mg/ dL
ditakan toleransi glukosa terganggu, > 200 mg/dL.7

● Kolestrol total, Trigliserida, LDL dan HDL

Pada pemeriksaan kadar Kolestrol total dikatakan tinggi jika > 240 mg/dL dan
pemeriksaan LDL dikatakan tinggi jika >130 mg/dL.3 Trigliserida adalah sejenis
lemak yang ditemukan di dalam darah. Tingkat trigliserida >150 mg/dL atau lebih
tinggi adalah faktor risiko metabolik. 4 Kolesterol HDL terkadang disebut
kolesterol "baik". Hal ini dikarenakan membantu menghilangkan kolesterol dari
arteri. Kadar kolesterol HDL > 45 mg/dL dikategorikan baik. Jika kadar <45
mg/dL maka merupakan faktor risiko metabolik.7,9

Epidemiologi dan Faktor Risiko


Angka kejadian sindrom metabolik kian bertambah di seluruh dunia terutama pada
populasi urban di negara-negara berkembang. Diperkirakan 1 dari 4 populasi dewasa di Eropa
menderita sindrom metabolik dengan prevalensi yang mirip di Amerika Latin. Sindrom
metabolik juga dianggap sebagai epidemi di negara-negara Asia Timur seperti Cina, Jepang, dan
Korea. Prevalensi sindrom metabolik pada laki-laki dan perempuan tidak berbeda signifikan, tapi
beberapa kondisi yang hanya bisa dialami oleh perempuan seperti kehamilan, penggunaan
kontrasepsi oral, dan PCOS dapat meningkatkan risiko sindrom metabolik. Angka kejadian
sindrom metabolik meningkat seiring pertambahan usia. Sekitar 40% orang di atas 60 tahun
memenuhi kriteria sindrom metabolik. Angka kejadian sindrom metabolik di seluruh dunia kian
meningkat akibat peningkatan ketersediaan makanan siap saji yang rendah serat dan
berkurangnya aktivitas fisik disertai dengan gaya hidup sedenter yang ditunjang moderinasi. 3 Di

6
Indonesia sendiri, prevalensi sindrom metabolik adalah sebesar 23% dengan sebaran 26,6% pada
perempuan dan 18,3% pada laki-laki.8
Orang-orang yang mengalami obesitas abdominal, gaya hidup sedenter, pola makan yang
buruk, dan resistensi insulin memiliki risiko lebih besar terhadap sindrom metabolik. Faktor
risiko lainnya meliputi lingkar pinggang yang besar, kadar trigliserida tinggi, kadar HDL rendah,
tekanan darah tinggi, kadar gula darah puasa tinggi, serta konsumsi obat-obatan yang
mengakibatkan peningkatan berat badan atau perubahan tekanan darah, kolestrolh darah, dan
kadar gula darah. Obat-obatan ini paling sering digunakan untuk mengobati inflamasi, alergi,
HIV, depresi, dan masalah kesehatan mental lainnya. Kelompok-kelompok yang memiliki
riwayat diabetes, memiliki keluarga yang mengidap diabetes, dan perempuan yang memiliki
riwayat PCOS juga lebih rentan terhadap sindrom metabolik.9

Etiologi dan Patogenesis


Etiologi yang mendasari sindrom metabolik adalah berat badan berlebih, obesitas,
kurangnya aktivitas fisik, dan faktor genetik. Inti dari sindrom ini adalah penumpukan jaringan
adiposa dan disfungsi jaringan yang berujung pada resistensi insulin. Sitokin proinflamasi seperti
faktor nekrosis tumor, leptin, adiponektin, inhibitor aktivator plasminogen, dan resisten
dilepaskan dari jaringan adiposa yang membesar lalu mengubah dan mempengaruhi kerja insulin
secara negatif. Resistensi insulin dapat terjadi akibat faktor genetik maupun didapat. Kerusakan
pada jalur pensinyalan, kerusakan pada reseptor insulin, dan sekresi insulin defektif dapat
berkontribusi terhadap resistensi insulin. Seiring berjalannya waktu, akumulasi penyebab-
penyebab ini akan mengakibatkan sindrom metabolik yang timbul dalam bentuk kerusakan
pembuluh darah dan sistem otonom.2, 3
Distribusi lemak tubuh juga penting dalam etiologi sindrom metabolik. Lemak pada
tubuh bagian atas memiliki peranan yang kuat dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Penumpukan lemak dapat terjadi pada intraperitoneal sebagai lemak viseral atau pada subkutam.
Lemak viseral lebih banyak berkontribusi pada resistensi insulin ketimbang lemak subkutan.
Akan tetapi, keduanya diketahui memiliki peran dalam pembentukan sindrom metabolik. Pada
obesitas tubuh bagian atas, asam lemak yang tidak teresterifikasi dilepaskan dalam kadar yang
tinggi dari jaringan adiposa dan mengakibatkan penumpukan lemak pada bagian tubuh yang lain
seperti hati dan otot, menyebabkan resistensi insulin yang lebih parah. Faktor psikologis seperti

7
kemarahan dan depresi diduga juga berhubungan dengan peningkatan risiko sindrom metabolik.
Akan tetapi, kelainan psikologis, terutama kecemasan, juga dapat hadir sebagai komorbid atau
komplikasi sindrom metabolik.2, 3, 10

Gambar 4. Faktor yang berkontribusi pada sindrom metabolik.11

Gambar 5. Patogenesis sindrom metabolik.12

Patofisiologi
Sindrom metabolik mempengeruhi sistem-sistem tubuh secara negatif. Resistensi insulin
mengakibatkan kerusakan mikrovaskuler yang merupakan predisposisi disfungsi endotel,
tahanan vaskuler, hipertensi, dan inflamasi dinding pembuluh darah. Kerusakan endotel dapat

8
mempengaruhi homeostasis tubuh dan mengakibatkan penyakit aterosklerotik dan hipertensi.
Hipertensi dapat menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh darah dan kekakuan yang
menyebabkan penyakit vaskuler perifer, penyakit jantung struktural seperti hipertrofi ventrikel
kiri, dan kardiomiopati yang menyebabkan kerusakan ginjal. Kumpulan efek dari disfungsi
endotel dan hipertensi akibat sindrom metabolik dapat berujung pada penyakit jantung iskemik.
Disfungsi endotel akibat peningkatan aktivator plasminogen tipe 1 dan kadar adipokin dapat
menyebabkan trombogenisitas darah dan hipertensi mengakibatkan tahanan vaskuler yang
merupakan faktor berkembangnya penyakit arteri koroner. Dislipidemia yang diasosiasikan
dengan sindrom metabolik juga dapat menyebabkan proses aterosklerotik menjadi penyakit
jantung iskemik. Mekanisme lainnya meliputi stres oksidatif yang diasosiasikan dengan berbagai
komponen sindrom metabolik.2, 3

Gambar 6. Patofisiologi sindrom metabolik.13


Hipotesis yang paling diterima sebagai patofisiologi sindrom metabolik adalah resistensi
insulin yang disebabkan oleh kerusakan pada kerja insulin. Awitan resistensi insulin ditandai
oleh hiperinsulinemia postprandial yang diikuti dengan hiperinsulinemia puasa lalu
hiperglikemia. Faktor mayor yang berkontribusi pada resistensi insulin adalah asam lemak bebas
berlebih dalam sirkulasi darah. Asam lemak bebas yang diikat oleh albumin plasma umumnya
merupakan turunan dari cadangan trigliserida jaringan lemak yang dilepaskan oleh enzim
lipolitik intraseluler. Lipolisis lipoprotein kaya trigliserida pada jaringan oleh lipoprotein lipase
juga memproduksi asam lemak bebas. Insulin memediasi anti-lipolisis dan stimulasi lipoprotein
lipase pada jaringan adiposa. Inhibisi lipoprotein pada jaringan adiposa merupakan jalur kerja

9
insulin yang paling sensitif. Oleh karena itu, ketika terjadi resistensi insulin terjadi pula
peningkatan lipolisis yang memproduksi lebih banyak asam lemak bebas yang akan semakin
menurunkan efek anti-lipolitik insulin. Asam lemak bebas yang berlebih meningkatkan
ketersediaan substrat dan menyebabkan resistensi insulin melalui feedback negatif. Asam lemak
mengganggu pemasukan glukosa yang dimediasi insulin dan menumpuk trigliserida pada otot
rangka dan jantung di mana peningkatan fluks asam lemak meningkatkan produksi glukosa dan
trigliserida dan akumulasi di hati. Gangguan pada kerja insulin dapat menyebabkan kerusakan
supresi produksi glukosa di hati dan ginjal serta penurunan uptake glukosa di otot dan jaringan
lemak.14
Peningkatan jaringan adiposa viseral menyebabkan asam lemak bebas turunan jaringan
adiposa mencapai hati. Secara umum, asam lemak bebas yang menuju hati menyebabkan
peningkatan produksi VLDL. VLDL tersebut kaya akan trigliserida sehingga hipertrigliseridemia
merupakan penanda yang baik akan sindrom metabolik. Selain trigliserida, kadar apoC-III yang
dibawa oleh VLDL juga meningkat. Peningkatan kadar apoC-III memberikan efek
penghambatan terhadap lipoprotein lipase yang juga berkontribusi terhadap hipertrigliseidemia
dan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler aterosklerotik. gangguan lipoprotein mayor
lainnya pada sindrom metabolik adalah penurunan HDL. Reduksi ini merupakan akibat dari
perubahan komposisi dan metabolisme HDL. Pada kondisi hipertrigliseridemia, peningkatan
kadar kolestrol HDL merupakan konsekuensi dari berkurangnya kolestril ester pada inti
lipoprotein. Perubahan ini menyebabkan peningkatan pembuangan HDL dari sirkulasi.
Hipertensi pada sindrom metabolik juga terjadi akibat resistensi insulin, di mana efek vasodilator
insulin hilang tetapi kemampuan reabsorpsi natrium di ginjal tetap. Insulin juga meningkatkan
aktivitas sistem saraf simpatis, efek tersebut juga tetap terjaga pada resistensi insulin. Resistensi
insulin juga menyebabkan peningkatan ekspresi gen angiotensinogen sehingga mengaktifkan
SRAA dan menyebabkan vasokonstriksi. Mekanisme lainnya yang mungkin terjadi adalah peran
vasoaktif jaringan adiposa perivaskuler.1 Peningkatan sekresi interleukin 6 (IL-6) dan tumor
necrosis factor α (TNF-α) yang diproduksi oleh adiposit dan makrofag yang diturunkan dari
monosit menghasilkan lebih banyak resistensi insulin dan lipolisis dari simpanan trigliserida
jaringan adiposa ke FFA yang bersirkulasi. IL-6 dan sitokin lain juga meningkatkan produksi
glukosa hati, produksi VLDL oleh hati, dan resistensi insulin di otot. Sitokin dan FFA juga
meningkatkan produksi fibrinogen dan produksi adiposit dari inhibitor aktivator plasminogen 1

10
(PAI-1) di hati, yang mengakibatkan keadaan prothrombotik. Tingkat yang lebih tinggi dari
sitokin yang bersirkulasi juga merangsang produksi protein C-reaktif (CRP) di hati. Penurunan
produksi sitokin adiponektin antiinflamasi dan peka insulin juga terkait dengan sindrom
metabolik.3,14

Gambar 7. Mekanisme terjadinya sindrom metabolik akibat resistensi insulin.14

Tata Laksana dan Nutrisi


Target tata laksana sindrom metabolik adalah untuk menangani kondisi yang
berkontribusi dan faktor risiko yang mungkin menyebabkan relaps. Oleh karena itu, faktor yang
dapat dimodifikasi seperti pola makan dan olahraga harus ditekankan pada pasien dengan
sindrom metabolik. Berdasarkan pedoman JNC, target penurunan tekanan darah pada populasi
umum adalah 140/90 mmHg dan 130/80 mmHg pada pasien dengan diabetes mellitus.
Berdasarkan pedoman JNC-8, pasien berusia 60 tahun atau lebih harus memiliki tekanan darah
kurang dari 150/90 mmHg. Pada pasien dengan hipertensi, obat-obatan yang dapat diberikan
adalah obat-obatan yang dapat menurunkan tekanan darah seperti ACE inhibitor sebagai lini
pertama. Pasien dengan hipertrigliseridemia harus dipantau secara rutin dengan mengecek
analisis lipid lengkap, kadar TSH, urinalisis, dan tes fungsi hati. Setelah analisis komprehensif,
pasien harus melakukan modifikasi gaya hidup seperti berhenti merokok, menurunkan berat
badan, dan modifikasi pola makan dan olahraga.2, 3
Hipertrigliseridemia mulai ditangani secara spesifik ketika kadarnya telah mencapai lebih
dari 500 mg/dL dan biasanya pada titik ini pasien memiliki dislipidemia campuran. Pada
konsentrasi trigliserida kurang lebih 200 mg/dL, maka target terapi adalah non kolesterol HDL
setelah kolesterol LDL terkoreksi. Terapi dengan gemfobrozil tidak hanya memperbaiki profil

11
lipid tetapi juga secara bermakna dapat menurunkan risiko kardiovaskular. Fenofibrat istilah
khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL, telah
menunjukkan perbaikan profil lipid yang sangat efektif dan mengurangi risiko kardiovaskular.
Kombinasi fenofibrat dan statin memperbaiki konsentrasi trigliserida, kolesterol, HDL dan LDL.

Selain itu, asam omega juga dapat digunakan untuk menangani hipertrigliseridemia. Peningkatan LDL juga haru

2 atau IMT 35 kg/m 2

dengan komorbid. Pasien harus dipantau dalam jangka panjang setelah operasi untuk
menghindari komplikasi.2, 3, 15,16
Pada pasien sindrom metabolik dengan hiperglikemia, terapi yang diberikan biasanya
dimulai dengan pemberian agen resensitisasi insulin seperti metformin. Metformin juga dapat
membantu mengembalikan perubahan patofisiologis akibat sindrom metabolik. Hal ini dapat
terjadi apabila terapi famakologis diiringi dengan perubahan gaya hidup atau dengan agonis
peroxisome proliferator-activated receptor seperti fibrat dan thiazolidindion. Diabetes mellitus
pada sindrom metabolik ditangani dengan mengikuti pedoman yang ada. Terapi aspirin dapat
digunakan sebagai pencegahan primer komplikasi kardiovaskuler terutama pada pasien dengan
risiko serangan kardiovaskuler sedang. Selain faktor risiko lainnya, gaya hidup sedenter dan
akses terhadap makanan cepat saji yang mudah berkontribusi pada tingginya angka prevalensi
sindrom metabolik. Oleh karena itu, langkah awal yang harus dilakukan adalah implementasi
modifikasi gaya hidup dengan perubahan pola makan dan kegiatan fisik disertai dengan
kebiasaan yang lebih sehat.3, 17
Penurunan berat badan merupakan tujuan utama dari sebagian besar tindakan
intervensional. Target penurunan berat badan bagi pasien obesitas adalah penurunan berat badan
sebanyak kurang lebih 10% dari berat badan awal dalam waktu 6 bulan. Apabila target ini
tercapai, resistensi insulin akan membaik seiring dengan penurunan risiko sindrom metabolik

12
dan penyakit kardiovaskuler. Penurunan berat badan yang lebih sedikit antara 5% – 10% juga
meningkatkan sensitivitas terhadap insulin sekitar 30% – 60%, sebuah efek yang lebih kuat
daripada obat-obatan dengan efek yang sama. Pembatasan kalori sangat efektif dalam penurunan
berat badan dengan mempertimbangkan sebagian besar orang dengan sindrom metabolik
memiliki obesitas dan gaya hidup sedenter. Perubahan pada aktivitas fisik juga merupakan
bagian dari modifikasi gaya hidup untuk sindrom metabolik. 13 Diet rendah natrium dan tinggi
kalium direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah. Konsumsi buah, sayur, dan produk
susu rendah lemak juga dapat membantu menurunkan tekanan darah dan menurunkan risiko
stroke.3
Karbohidrat dan lemak memiliki pengaruh yang mirip pada metabolisme penderita
sindrom metabolik. Diet dengan indeks glikemik rendah menghasilkan kadar trigliserida dan
LDL puasa yang lebih rendah. Diet rendah karbohidrat atau diet keto membantu penurunan berat
badan yang lebih cepat diiringi dengan penurunan kadar trigliserida dan peningkatan HDL serta
sensitivitas insulin. Konsumsi fruktosa sebaiknya dihindari karena ketika fruktosa diserap,
sekresi insulin atau leption tidak dirangsang sehingga konsumsi jangka panjangnya dapat
menyebabkan peningkatan berat badan dan penurunan sensitivitas insulin. Pada orang dewasa,
konsumsi lemak yang disarankan adalah 20% – 35% dari total kalori harian. Konsumsi lemak
yang lebih dari 40% dari total kalori harian meningkatkan risiko menurunnya resistensi insulin.
Konsumsi insulin yang kurang dari 20% tidak berpengaruh pada sensitivitas insulin namun
berpengaruh dalam penurunan berat badan. Akan tetapi, tidak semua jenis lemak berpengaruh
secara negatif terhadap kondisi sindrom metabolik. Diet yang diperkaya dengan asam lemak
monosaturated (MUFA) dapat memperbaiki profil lipid tubuh seperti menurunkan kadar LDL
dan trigliserid serta meningkatkan kadar HDL. asam lemak polusaturated (PUFA) juga
dihubungkan dengan risiko relatif yang lebih rendah akan diabetes tipe 2.17
Konsumsi protein dikaitan dengan peningkatan rasa kenyang dan preservasi massa otot
tubuh saat penurunan berat badan. akan tetapi, peran protein dalam diet yang direkomendasikan
bagi pasien dengan sindrom metabolik belum terlalu jelas. Pedoman yang ada
merekomendasikan konsumsi protein dalam rentang 10% – 35% dari total kalori harian dengan
minimal 0,8 g/kgBB per hari. Akan tetapi, tidak ada bukti yang kuat bahwa protein
mempengaruhi kadar gula darah atau memperbaiki faktor risiko penyakit kardiovaskuler.
Perubahan pola makan dan nutrisi untu menunjang 7% – 10% penurunan berat badan merupakan

13
tujuan yang ideal bagi orang dengan prediabetes. Beberapa pola nutrisi nampak efektif dalam
meningkatkan kontrol diabetes, akan tetapi komposisi makronutrien yang optimal pada
perencanaan makanan pada pasien sindrom metabolik masih belum di definisikan secara jelas.
Namun, sayuran yang mengandung pati tidak disarankan bersamaan dengan pengurangan
konsumsi gula. Diet rendah lemak lebih efektif dalam membantu penurunan berat badan
ketimbang pola makan itu sendiri. Pola diet lainnya seperti intermittent fasting juga mampu
meningkatkan responsivitas sel beta, sensitivitas insulin, dan kontrol tekanan darah. 17 Pada pasien
dengan diabetes mellitus, diet yang dianjurkan adalah:18

● Asupan karbohidrat sebesar 45% – 65% total asupan energi terutama karbohidrat yang

berserat tinggi

● Asupan lemak dianjurkan sebesar 20% – 25% kebutuhkan kalori

● Asupan protein sebesar 10% – 20% total asupan energi

● Asupan natrium kurang dari 2300 mg/ hari

● Asupan serat 20 – 35 mg/hari

Pencegahan
Pencegahan sindrom metabolik meliputi modifikasi gaya hidup dan tata laksana
farmakoterapi untuk mencegah terjadinya komplikasi penyakit kardiovaskuler. Modifikasi gaya
hidup bertujuan untuk mengurangi faktor risiko sindrom metabolik sehingga menurunkan risiko
seseorang terkena sindrom metabolik. Modifikasi gaya hidup yang dilakukan tidak berbeda jauh
dengan modifikasi gaya hidup yang dilakukan bagi pasien yang sudah didiagnosa menderita
sindrom metabolik. Bagi orang dengan berat badan berlebih atau obesitas dianjurkan untuk
menurunkan berat badannya. Olahraga dan peningkatan aktivitas fisik juga dianjurkan sebagai
penunjang perubahan pola makan dan diet. Aktivitas fisik yang disarankan adalah aktivitas fisik
intensitas sedang selama minimal 30 menit berturut-turut sebanyak 5 hari seminggu. Aktivitas
fisik intensitas sedang selama 120 sampai 150 menit per minggu dapat mengurangi risiko
sindrom metabolik. Bagi pasien yang sudah terkena sindrom metabolik, aktivitas fisik

14
berhubungan dengan risiko yang jauh lebih rendah akan penyakit jantung koroner. Selain itu,
manajemen kondisi lainnya yang merupakan faktor sindrom metabolik seperti hiperglikemia,
hipertensi, dan dislipidemia juga harus dilakukan dengan pemantauan yang ketat.3, 19

Komplikasi dan Prognosis


Komplikasi sindrom metabolik cukup luas. Berbagai penyakit kardiovaskuler merupakan
kompilkasi sindrom metabolik yang dapat terjadi, terutama penyakit jantung koroner, atrial
fibrilasi, gagal jantung, stenosis aorta, stroke iskemik, bahkan penyakit venotrombotik. Penyakit
kardiovaskuler dan diabetes mellitus merupakan dua penyebab kematian tertinggi. Gangguan
metabolik yang merupakan karakteristik sindrom metabolik dihubungkan dengan perkembangan
penyakit fatty liver non-alkoholik. Selain itu, sindrom metabolik juga diimplikasikan pada
patofisiologi apnea obstruktif, kanker payudara, kanker kolon, kanker kandung kemih, kanker
ginjal, dan kanker prostat. Sindrom metabolik pada kehamilan meningkatkan risiko preeklampsia
rekuren. Penelitian juga menunjukan sindrom metabolik mempengaruhi performa neurokognitif
secara negatif dan mempercepat penuaan. Sebaliknya, sindrom metabolik diasosiasikan dengan
risiko patah tulang yang lebih rendah.3, 20

Kesimpulan
Sindrom metabolik merupakan kumpulan dari beberapa kelainan metabolik yang
bersama-sama meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit kardiovaskuler dan komplikasi
neurologis. Sindrom metabolik ditandai dengan terpenuhinya 3 dari 5 kriteria, yaitu obesitas
sentral, kadar HDL rendah, kadar trigliserid tinggi, hiperglikemia, dan hipertensi. Faktor risiko
sindrom metabolik dipengaruhi oleh banyak hal, tetapi sebagian besar seperti gaya hidup dan
pola makan merupakan faktor-faktor yang dapat dimodifikasi. Sindrom metabolik dapat
menyebabkan berbagai komplikasi, terutama komplikasi kardiovaskuler yang dapat berakibat
fatal. Tata laksana sindrom metabolik meliputi tata laksana farmakologis untuk menangani
kelainan yang mendasarinya serta modifikasi gaya hidup untuk menunjang pengobatan dan
mencegah kekambuhan. Angka kejadian sindrom metabolik di seluruh dunia kian meningkat
oleh karena perubahan pola makan dan gaya hidup. Oleh karena itu, tata laksana yang tepat dan
tindakan preventif penting dilakukan untuk menekan kenaikan kasus sindrom metabolik serta
menekan angka kematiannya.

15
Daftar Pustaka
1. Pudata V, Konduru J. Metabolic Syndrome in Endocrine System. Journal of Diabetes &
Metabolism. 2011;02(09).
2. Swarup S, Goyal A, Grigorova Y, et al. Metabolic Syndrome. [Updated 2020 Aug 23].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459248/
3. Wang S, Ali Y. Metabolic Syndrome: Practice Essentials, Background, Pathophysiology
[Internet]. Emedicine.medscape.com. 2020 [cited 18 November 2020]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/165124-overview
4. Xanthelasma [Internet]. Webeye.ophth.uiowa.edu. 2020 [cited 18 November 2020].
Available from: https://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/atlas/pages/xanthelasma.html
5. Machado L, Duong D, Inc. P. Overweight [Internet]. Healthing.ca. 2020 [cited 18
November 2020]. Available from: https://www.healthing.ca/symptoms/overweight
6. Brady MF, Rawla P. Acanthosis Nigricans. [Updated 2020 Aug 8]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020. [Figure, Acanthosis
Nigricans. Contributed by Scott Dulebohn, MD] Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431057/figure/article-17054.image.f1/
7. Halim S, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Studiono H. Kimia Klinik. 3rd ed. Jakarta:
Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2020.
8. Suhaema S, Masthalina H. Pola Konsumsi dengan Terjadinya Sindrom Metabolik.
Kesmas: National Public Health Journal. 2015;9(4):340.
9. Metabolic Syndrome | NHLBI, NIH [Internet]. Nhlbi.nih.gov. 2020 [cited 18 November
2020]. Available from: https://www.nhlbi.nih.gov/health-topics/metabolic-syndrome
10. Goldbacher E, Matthews K. Are psychological characteristics related to risk of the
metabolic syndrome? A review of the literature. Annals of Behavioral Medicine.
2007;34(3):240-252.
11. Osei K, Gaillard T. Disparities in Cardiovascular Disease and Type 2 Diabetes Risk
Factors in Blacks and Whites: Dissecting Racial Paradox of Metabolic Syndrome.
Frontiers in Endocrinology. 2017;8.
12. Vaccaro O, Masulli M, Bonora E, Del Prato S, Nicolucci A, Rivellese A et al. The
TOSCA.IT Trial: A Study Designed to Evaluate the Effect of Pioglitazone Versus

16
Sulfonylureas on Cardiovascular Disease in Type 2 Diabetes. Diabetes Care.
2012;35(12):e82-e82.
13. Laclaustra M, Corella D, Ordovas J. Metabolic syndrome pathophysiology: the role of
adipose tissue. NMCD Journals. 2007;17(2):125-139.
14. Jameson, Fauci, Kasper, Hauser, Longo, Loscalzo. Harrison's principles of internal
medicine. 20th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2018.
15. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF et al. Ilmu penyakit
dalam. Edisi VI. Jakarta: Internapublishing; 2014. h 1428-29, 1438-47, 2261, 2279, 2537-
40, 2561, 2565.
16. Nafrialdi. Suyanta FD. Farmakologi dan terapi. Ed.6. Jakarta : FKUI, 2019. 387-90p. 500-
02p.
17. Hoyas I, Leon-Sanz M. Nutritional Challenges in Metabolic Syndrome. Journal of
Clinical Medicine. 2019;8(9):1301.
18. Soelistijo S, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A. Konsensus
pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2015 [Internet]. 1st ed.
Jakarta: PB. PERKENI; 2015 [cited 18 November 2020]. Available from:
https://pbperkeni.or.id/wp-content/uploads/2019/01/4.-Konsensus-Pengelolaan-dan-
Pencegahan-Diabetes-melitus-tipe-2-di-Indonesia-PERKENI-2015.pdf
19. Daskalopoulou S, Mikhailidis D, Elisaf M. Prevention and treatment of the metabolic
syndrome. Sage Journals. 2004;55(6):589-612.
20. Esposito K, Chiodini P, Capuano A, Colao A, Giugliano D. Fracture risk and bone
mineral density in metabolic syndrome: a meta-analysis. J Clin Endocrinol Metab.
2013;98(8):3306-3314.

17

Anda mungkin juga menyukai