Anda di halaman 1dari 12

Skrining Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2

Rizqi Putra Pratama


102016022
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no.6 Jakarta 11510.
Telepon : 021-5694 2061; Fax : 021-563 1731.
Email: Rizqiputrapratama26@gmail.com

Pendahuluan
Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Diabetes mellitus tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik
yang ditandai dengan kenaikan gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas dan atau gangguan fungsi insulin (resistensi insulin). Faktor lingkungan
seperti kebiasaan buruk dalam hal makan, minimnya aktivitas fisik, kegemukan
(obesitas) secara etilogis berperan dalam mempercepat progesifitas penyakit.
Prevalensi diabetes mellitus diseluruh dunia menurut data Internasional Diabetes
Federation (IDF) tercatat pada tahun 2015 sebanyak 415 juta atau 8,5%. Hampir 80%
orang diabetes ada di Negara berpenghasilan rendah dan menengah. Menurut
RISKESDAS tahun 2016 prevalensi diabetes mellitus di Indonesia adalah 6,9%.
Diabetes dengan komplikasi merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di
Indonesia. Hal ini bisa diakibatkan karena masih banyak masyarakat yang tidak
mengenal diabetes mellitus, dan tidak melakukan deteksi dini melalui skrining
sebagai salah satu pencegahan dari diabetes mellitus.1,2
Skrining adalah suatu penerapan uji/tes terhadap orang yang tidak menunjukan
gejala dengan tujuan untuk mengelompokkan mereka kedalam kelompok yang
mungkin menderita penyakit tertentu. Skrining merupakan deteksi dini penyakit,
bukan merupakan alat diagnostik. Bila pada hasil skrining positif, akan diikuti uji
diagnostik atau prosedur untuk memastikan adanya penyakit.3

1
Skenario
Penyakit tidak menular khususnya diabetes mellitus tipe 2 cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit diabetes menjadi penyebab atau
komormiditas penyakit lainnya seperti stroke dan jantung coroner. Dokter A di
Puskesmas Warnasari ingin melakukan skrining DM tipe 2 pada penduduk yang
berusia >15 tahun. Selama setahun dari 850 orang yang diperiksa kadar glukosa
sewaktu, didapatkan 100 orang dinyatakan menderita DM tipe 2 dan diobati. Namun,
berdasarkan pemeriksaan kadar HbA1c didapatkan hanya 65 orang menunjukan kadar
>6,5%.

Puskesmas
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75
tahun 2014 Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut dengan Puskesmas
adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih
mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.4

Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Kejadian DM tipe 2 pada wanita lebih tinggi dibandingkan laki-
laki karena wanita secara fisik memiliki peluang peningkatan indek masa tubuh yang
lebih besar. Prevalensi diabetes mellitus diseluruh dunia menurut data Internasional
Diabetes Federation (IDF) tercatat pada tahun 2015 sebanyak 415 juta atau 8,5%.
Hampir 80% orang diabetes ada di Negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Menurut RISKESDAS tahun 2016 prevalensi diabetes mellitus di Indonesia adalah
6,9%. Diabetes dengan komplikasi merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di
Indonesia.1,2

Faktor Risiko DM Tipe 2


Menurut American Diabetes Association (ADA) bahwa DM berkaitan dengan
faktor risiko yang tidak dapat diubah meliputi riwayat keluarga dengan DM, umur
≥45 tahun, etnik, riwayat melahirkan bayi dengan berat badan lahir bayi >4000 gram
2
atau riwayat pernah menderita DM gestasional dan riwayat lahir dengan berat badan
rendah (<2,5kg). Faktor risiko yang dapat diubah meliputi obesitas berdasarkan IMT
≥25 kg/m2 atau lingkar perut ≥80 cm pada wanita dan ≥90 cm pada laki-laki,
kurangnya aktivitas fisik, hipertensi, dislipidemi dan diet tidak sehat.5

Gejala Klinis
Gejala klinis DM adalah polifagia (banyak makan), polidipsia (banyak
minum), poliuria (banyak kencing/sering kencing dimalam hari), nafsu makan
bertambah namun berat badan turun dengan cepat, mudah lelah, kesemutan pada
tangan dan kaki, gatal-gatal, kulit terasa panas atau seperti tertusuk jarum, mudah
mengantuk, pandangan mulai kabur, luka sulit sembuh, keputihan, penyakit kulit
akibat jamur dibawah lipatan kulit, dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar
dengan berat badan ≥4 kg. didefinisikan sebagai DM apabila pernah didiagnosa
kencing manis oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis
oleh dokter tetapi dalam 1 bulan terakhir mengalami gejala seperti sering lapar, sering
haus, dan sering buang air kecil dan banyak, serta berat badan turun.6

Diagnosis
Diagnosis DM dibuat berdasarkan ada/ tidaknya gejala klinis DM dan hasil
pengukuran kadar glukosa plasma. Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala
khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan penyebabnya. Jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa
Darah Sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl diagnosis DM sudah dapat ditegakkan. Hasil
pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat digunakan untuk
pedoman diagnosis DM.1,7
Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM.
Diagnosis DM dapat ditegakkan dengan salah satu criteria berikut:7
 Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/L)
 Glukosa plasma post-pradial ≥ 200 mg/dl (11.1 mmol/L)
 Gejala klinis diabetes melitus disertai kadar glukosa plasma sewaktu ≥ 200
mg/dl (11.1 mmol/L)
 HbA1c >6,5%

3
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan
pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak
bergejala, tetapi punya resiko DM (usia > 45 tahun, berat badan lebih, hipertensi,
riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol
HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji diagnostik dilakukan pada
mereka yang positif uji penyaring. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui
pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian
dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).8

Skrining
Skrining adalah suatu penerapan uji/tes terhadap orang yang tidak menunjukan
gejala dengan tujuan untuk mengelompokkan mereka kedalam kelompok yang
mungkin menderita penyakit tertentu. Skrining merupakan deteksi dini penyakit,
bukan merupakan alat diagnostik. Bila pada hasil skrining positif, akan diikuti uji
diagnostik atau prosedur untuk memastikan adanya penyakit. Contoh uji skrining
antara lain yaitu pemeriksaan rontgen, pemeriksaan sitologi dan pemeriksaan tekanan
darah.3,9

4
Gambar 1. Skrining Deteksi Penyakit3
Tujuan dari skrining adalah mendeteksi faktor risiko penyakit kronis dalam
rangka mendeteksi faktor risiko penyekit kronis dalam rangka mendorong peserta
untuk melakukan deteksi dini dan cegah risiko secara dini terhadap penyakit kronis,
dan untuk menentukan orang yang terdeteksi menderita suatu penyakit sedini
mungkin sehingga dapat segera memperoleh pengobatan serta untuk mengurangi
morbiditas atau mortalitas dari penyakit dengan pengobatan dini terhadap kasus-kasus
yang ditemukan. Program diagnosis dan pengobatan dini hampir selalu diarahkan
kepada penyakit tidak menular seperti kanker, diabetes mellitus, glaukoma dan lain-
lain. Semua skrining dengan sasaran pengobatan dini ini dimaksudkan untuk
mengidentifikasi orang-orang asimptomatik yang berisiko mengidap gangguan
kesehatan serius. Dalam hal ini, penyakit adalah setiap karakteristik anatomi seperti
kanker atau arteriosklerosis, fisiologi seperti hipertensi atau hiperlipidemia ataupun
perilaku seperti kebiasaan merokok yang berkaitan dengan peningkatan gangguan
kesehatan yang serius ataupun kematian.3,10
Terdapat tingkatan pencegahan yang pada umumnya ditargetkan didalam
program-program skrining yaitu 10,11
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer bertujuan menekan insidensi penyakit dengan
melakukan kontrol terhadap penyakit dan faktor risikonya. Ditujukan
kepada orang-orang yang tidak memiliki gejala untuk mengidentifikasi
faktor risiko dini guna menahan proses patologi sebelum timbul gejala.
Seperti contoh mengidentitikasi orang-orang dalam tahap awal gangguan

5
toleransi glukosa dan mengendalikan berat badan serta pola makan mereka
untuk mencegah kemunculan diabetes.
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk merawat pasien yang sakit dan
menurunkan komplikasi yang serius dengan melakukan diagnosis dan
terapi. Ditujukan kepada orang dalam proses awal penyakit untuk
memperbaiki prognosisnya. Sebagai contoh, yaitu mengidentifikasi orang-
orang pengindap diabetes yang tidak terdeteksi untuk meningkatkan
toleransi glukosa guna mencegah komplikasi penyakit lainnya, penyakit
mikrovaskular yang dapat mengakibatkan kerusakan renal.
c. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier ini ditujukan kepada orang yang mengalami komplikasi
untuk mencegah dampak lanjutan komplikasi tersebut. Sebagai contoh
melakukan skrining pada orang untuk mendeteksi riwayat retinopati
diabetic agar mendapat pengobatan laser untuk mengendalikan perdarahan
retina dan pencegahan kebutaan.
Uji skrining digunakan untuk mengidentifikasi sutu penanda awal
perkembangan penyakit sehingga intervensi dapat diterapkan untuk menghambat
proses penyakit. Syarat-syarat dilakukannya skrining apabila terpenuhi hal berikut
ini:11
a. Penyakit tersebut adalah penyebab utama kematian dan/ kesakitan
b. Tes harus cukup sensitive dan spesifik
c. Terdapat sebuah uji yang sudah terbukti dan dapat diterima untuk
mendeteksi individu-idividu pada suatu tahap awal penyakit yang dapat
dimodifikasi
d. Terdapat pengobatan yang aman dan efektif untuk mencegah penyakit atau
akibat penyakit.

Kriteria bagi uji skrining yang baik menyangkut antara lain:12


1. Sensitivitas dan spesifisitas
2. Sederhana dan biaya murah
3. Aman
4. Dapat diterima oleh pasien dan klinikus

6
Sensitivitas dan Spesifisitas
Terdapat dua probabililitas yang digunkaan untuk mengukur kemampuan
sebuah uji skrining dalam membedakan antara individu yang sakit dan yang tidak
sakit. Pengukuran validitas uji skrining ini ditentukan dengan membandingkan hasil
menurut uji skrining dengan hasil yang didapat dari uji yang lebih akurat (gold
standard). Nilai tertentu pada hasil-hasil uji skrining yang bersesuaian dengan hasil-
hasil gold standard menghasilkan ukuran sensitivitas dan spesifisitas.11
Sensitivitas adalah kemampuan uji skrining untuk memberikan hasil positif
mereka yang mengindap penyakit. Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes
skrining maka semakin baik kemampuan mendeteksi seseorang menderita penyakit
tertentu sehingga dapat memperoleh penanganan dini. Apabila sensitivitas rendah
berarti bahwa tes akan melewatkan banyak individu yang memiliki penyakit, sehingga
meningkatkan jumlah “false negative/negative palsu”10,11
Orang sakit yang terdeteksi oleh uji skrining
100
Jumlah seluruh orang sakit yang mengikuti uji skrining
Spesifisitas adalah kemampuan suatu uji untuk memberikan hasil negative
pada mereka yang sehat (tidak sakit). Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes
skrining maka semakin baik kemampuan mendeteksi seseorang tidak menderita
penyakit tertentu. Spesifisitas rendah menunjukan bahwa tes akan menempatkan
banyak orang dalam kelompok yang berpenyakit meskipun mereka tidak memiliki
penyakit, sehingga menghasilkan banyak “false positif/positif palsu”11
Orang sehat yang hasil uji skriningnya negative
100
Jumlah seluruh orang sehat yang mengikuti uji skrining
Nilai Prediksi Positif (NPP/PPV) menggambarkan kemampuan tes skrining
memprediksi kemungkinan seseorang benar-benar menderita penyakit dari hasil
pemeriksaan positif menurut tes skrining. Semakin tinggi kemampuan tes skrining
memperkirakan seseorang menderita penyakit akan membantu petugas kesehatan
memberikan penanganan yang tepat dan segera.
Nilai Prediksi Negatif (NPN/NPV) menggambarkan kemampuan tes skrining
memprediksi kemungkinan seseorang benar-benar tidak menderita penyakit dari hasil
pemeriksaan negatif menurut tes skrining. Semakin tinggi kemampuan tes skrining
memperkirakan seseorang tidak menderita suatu penyakit akan sangat membantu
petugas kesehatan menghindarkan penanganan atau pengobatan yang tidak perlu
sehingga terhindar dari efek samping pengobatan.
7
Tabel 1. Contoh Status Penyakit dan Hasil Tes Skrining10
Tes Skrining Diagnosis pasti

Sakit Tidak Sakit


Positif a (TP) b (FP)

Negatif c (FN) d (TN)

Total a+c b+d

Rumus:
1. Sensitivitas dan Spesifisitas
a
Sensitivitas = (a+c) x 100
𝑐
Negatif palsu = (𝑎+𝑐) 𝑥 100
𝑑
Spesifisitas = (𝑏+𝑑) 𝑥 100
𝑏
Positif palsu = (𝑏+𝑑) 𝑥 100

2. Nilai prediksi
𝑎
Nilai prediksi tes (+) atau PPV= (𝑎+𝑏) 𝑥 100
𝑑
Nilai prediksi tes (-) atau NPV= (𝑐 +𝑑) 𝑥 100

Penalataksaan
Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia 2011,
penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan
DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.1,5
a. Edukasi
Upaya edukasi dilakukan secara komperhensif dan berupaya meningkatkan
motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes
adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti
perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah
kesehatan/ komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible,

8
ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan
perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada
penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki,
ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas
fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.
b. Terapi Gizi
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan
anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan
sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada
penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Komposisi makanan
yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein
10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari.
Untuk menetukan status gizi maka dapat dihitung dengan menggunakan IMT.
c. Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30
menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti berjalan
santai, jogging, dan bersepeda. Latihan jasmani selain untuk menjaga
kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas
insulin.
d. Intervensi Farmakologis
Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan fisik tetapi tidak
berhasil mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan pemakaian
obat hipoglikemik dan insulin.

Pencegahan
Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu :
a. Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah bertujuan untuk mengetahui pola
budaya, ekonomi, sosial, dan sebagainya yang mempunyai peranan dalam
meningkatkan kejadian penyakit. Seperti larangan pemerintah untuk
larangan merokok. Pencegahan premodial pada penyakit DM adalah
menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa konsumsi
9
makan kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik, pola
hidup santai atau kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi
kesehatan.

b. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang
yang termasuk kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum
menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita DM diantaranya :
a. Kelompok usia tua (>45tahun)
b. Kegemukan (BB(kg) >120% BB idaman atau IMT>27)
c. Tekanan darah tinggi (>140/90mmHg)
d. Riwayat keiuarga DM
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
f. Disiipidemia (Trigliserida>250mg/dl).
g. Pernah TGT atau glukosa darah puasa tergangu (GDPT).
Maka harus dilakukan pencegahan sejak dini, sebagai contoh
hendaknya telah ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan
jasmani teratur, pola dan jenis makanan yang sehat menjaga badan agar
tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok bagi kesehatan.

c. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan
pengobatan sejak awal penyakit. Dalam pengelolaan pasien DM, sejak
awal sudah harus diwaspadai dan sedapat mungkin dicegah kemungkinan
terjadinya penyulit menahun. Pilar utama pengelolaan DM meliputi:
a. penyuluhan
b. perencanaan makanan
c. latihan jasmani
d. obat berkhasiat hipoglikemik.

10
d. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih
lanjut dan merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan
tersebut menetap.

Kesimpulan
Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin
atau kedua-duanya. Sampai saat ini tidak ada pengobatan pengobatan DM secara
menyeluruh. Akan tetapi DM dapat dikendalikan dengan baik seperti dengan pola
makan yang sehat, olahraga, dan menjaga berat badan agar tidak obesitas. Modifikasi
gaya hidup juga sangat penting dilakukan, tidak hanya untuk mengontrol kadar
glukosa darah tetapi dapat mencegah dan menurunkan prevalensi DM.

11
Daftar Pustaka
1) Fatimah RN. Diabetes melitus tipe 2. J MAJORITY. 2015; 4(5):93-101.
2) WHO. Diabetes fakta dan angka. Diunduh 12 Juli 2019 SEARO.WHO.INT.
3) Rajab W. Buku ajar epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2008.H. 156-60.
4) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Puskesmas. 2014 diunduh
12 Juli 2019
http://www.aidsindonesia.or.id/uploads/20141210110659.PMK_No_75_Th_2
014_ttg_Puskesmas.pdf.
5) Ndraha S. Diabetes mellitus tipe 2 dan tatlaksana terkini. Medicines. 2014;
27(2): 8-16.
6) Trihono. Diabetes melitus. Jakarta: riskesdas;2013: 87-8.
7) UKK endokrin anak dan remaja. Konsensus nasional pengelolaan dm tipe 2
pada anak dan remaja. 2015. Diunduh 12 Juli 2019
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/Konsensus-
Nasional-Pengelolaan-DIabetes-Nasional-Type-II.pdf.
8) Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, dll. Pengelolaan dan pencegahan DM
Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI; 2015.H. 6-27
http://pbperkeni.or.id/doc/konsensus.pdf.
9) Wahab. Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2000.H. 28-9.
10) Morton RF, Hebel JR, Carter RJ. Panduan studi epidemiologi dan biostatika.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009.H. 53-57.
11) Dwiprahasto I. Epidemiologi. Yogyakarta: FK UGM
http://gamel.fk.ugm.ac.id/pluginfile.php/38797/mod_resource/content/1/Iwan_
D-Modul_Epidemiologi_Klinik.pdf.
12) Syahril. Diagnosis dan screening. Medan: FK USU;2005.

12

Anda mungkin juga menyukai