Anda di halaman 1dari 15

Skrining dan Test Terhadap Pasien

Diabetes Melitus Tipe 2


Joseph John RIvaldo (F1)
102016189
Alamat Korespodensi : joseph.2016fk189@civitas.ukrida.ac.id
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
Jl. Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510. Telepon: (021) 5694-2061. Fax: (021) 563-1731

Abstrak
Diabetes Mellitus berasal dari kata diabetes yang artinya penerusan atau pipa untuk
menyalurkan air atau mengalir terus dan mellitus artinya manis, sehingga penyakit ini sering
disebut kencing manis. Diabetes Mellitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan adanya peningkatan kadar gula darah (glukosa) darah secara terus
menerus (kronis) akibat kekurangan insulin baik kuantitatif maupun kualitatif. Penderita DM
di Indonesia berada pada urutan ke empat di dunia setelah india, cina, dan amerika pada
survey oleh WHO tahun 2010 dan terus meningkat sebesar 5,4% setiap tahunnya yang
menunjukan bahwa ini membutuhkan perhatian serius dari para dokter. Langkah terbaik
untuk mencegah terjadinya DM adalah lewat penyuluhan sebagai upaya pencegahan terhadap
penyakit dan komplikasi yang terjadi lewat suatu program P2PTM.

Kata kunci: Diabetes melitus, Glukosa, P2PTM.

Abstract
Diabetes Mellitus comes from the word diabetes, which means forwarding or piping
to channel water or keep flowing and mellitus means sweet, so this disease is often called
diabetes. Diabetes Mellitus is a collection of symptoms that arise in a person caused by an
increase in blood sugar (glucose) levels continuously (chronic) due to lack of insulin both
quantitative and qualitative. DM sufferers in Indonesia are ranked fourth in the world after
India, China and America in the 2010 WHO survey and continue to increase by 5.4% each
year which shows that this requires serious attention from doctors. The best step to prevent
DM is through counseling as an effort to prevent diseases and complications that occur
through a P2PTM program.

Keywords: Diabetes mellitus, Glucose, P2PTM.


Pendahuluan
Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan karakteristik
peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau keduanya. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi dan
secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Insulin merupakan suatu
hormon yang diproduksi pankreas yang berfungsi mengendalikan kadar glukosa dalam darah
dengan mengatur produksi dan penyimpanannya. Secara klinis terdapat dua tipe DM yaitu DM
tipe 1 dan DM tipe 2. DM tipe 1 disebabkan karena kurangnya insulin secara absolut akibat
proses autoimun sedangkan DM tipe 2 merupakan kasus terbanyak. DM tipe 2 berlangsung
lambat dan progresif, sehingga tidak terdeteksi karena gejala yang dialami pasien sering bersifat
ringan. Komplikasi kronik biasanya terjadi dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah diagnosa
ditegakkan. Komplikasi kronik terjadi pada semua organ tubuh dengan penyebab kematian 50%
akibat penyakit jantung koroner dan 30% akibat penyakit gagal ginjal. Selain itu, sebanyak 30%
penderita diabetes mengalami kebutaan akibat retinopati dan 10% menjalani amputasi tungkai
kaki.

Mengingat jumlah penderita DM yang terus meningkat dan besarnya biaya perawatan
pasien diabetes yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya, maka upaya yang paling
baik adalah melakukan pencegahan. Menurut American Diabetes Association (2004), komplikasi
diabetes dapat dicegah, ditunda dan diperlambat dengan mengendalikan kadar glukosa darah.
Pengelolaan diabetes yang bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam rentang
normal dapat dilakukan secara nonfarmakologis dan farmakologis. Pengelolaan nonfarmakologis
meliputi pengendalian berat badan, olah raga/latihan jasmani dan diet. Terapi farmakologis
meliputi pemberian insulin dan/atau obat hiperglikemia oral.
Diagnosis Awal
Homeostasis glukosa yang normal diatur secara ketat oleh tiga proses yang saling
berhubungan yaitu produksi glukosa dalam hati, pengambilan serta penggunaan glukosa oleh
jaringan perifer, dan kerja insulin serta hormone-hormone kontraregulatornya. Kadar glukosa
darah dalam keadaan normal dipertahankan pada kisaran yang sempit, yaitu antara 70-120
mg/dL. Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah. Apabila terdapat gejala khas DM dengan pemeriksaan glukosa
darah yang abnormal 1 kali sudah cukup untuk diagnosis diabetes mellitus. Sedangkan jika
tidak ditemukan gejala khas diabetes maka diperlukan lebih dari 1 kali pemeriksaan glukosa
darah yang abnormal hasilnya. Diagnosis terhadap DM dapat ditegakkan dengan kriteria
berikut :1,2

1. Gejala khas DM + glukosa darah sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
2. Gejala khas DM + glukosa darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L)
3. Glukosa plasma 2 jam setelah makan dengn TTGO ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L)

Etiologi
Diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis yang lebih sering terjadi, tetapi jauh lebih
sedikit yang telah dipahami karena bersifat multifaktorial. Defek metabolik karena gangguan
sekresi insulin atau karena resistensi insulin di jaringan perifer.7 Agaknya, diabetes melitus
tipe 2 terjadi ketika gaya hidup diabetogenik (yaitu, asupan kalori berlebihan, pengeluaran
tidak memadai obesitas, kalori) yang ditumpangkan di atas genotipe rentan. Indeks massa
tubuh di mana berat badan berlebih meningkatkan risiko untuk diabetes bervariasi dengan
kelompok-kelompok ras yang berbeda. Sekitar 90% pasien yang mengidap diabetes mellitus
tipe 2 adalah obesitas.3
Faktor risiko utama untuk diabetes mellitus tipe 2 adalah sebagai berikut:
 Umur lebih dari 45 tahun (meskipun, seperti disebutkan di atas, diabetes mellitus tipe
2 terjadi dengan frekuensi yang meningkat pada orang muda)
 Bobot yang lebih besar dari 120% dari berat badan yang diinginkan
 Riwayat keluarga diabetes tipe 2 pada seorang saudara tingkat pertama (misalnya,
orang tua atau saudara)
 Sejarah toleransi glukosa terganggu sebelumnya (IGT) atau glukosa puasa terganggu
(IFG)
 Hipertensi (> 140/90 mm Hg) atau dislipidemia (high-density lipoprotein [HDL]
tingkat kolesterol <40 mg / dL atau tingkat trigliserid> 150 mg / dL)
 Sejarah diabetes mellitus gestasional atau melahirkan bayi dengan berat lahir ≥ 4000
gram
 Sindrom ovarium polikistik (yang mengakibatkan resistensi insulin)

Epidemiologi
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di seluruh
dunia menderita Diabetes Mellitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi. Insidensnya terus
meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan bertambah
menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat di seluruh dunia, namun
lebih sering (terutama tipe 2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalens terbesar
terjadi di Asia dan Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup,
seperti pola makan “Western-style” yang tidak sehat. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari 24417 responden berusia >15 tahun,
10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa
selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus
yang terdiagnosis dan 4,2% mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM
maupun TGT lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada
golongan dengan tingkat pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita
DM paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %, sedangkan
kelompok usia penderita DM terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang
dihubungkan dengan risiko terkena DM adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya
aktivitas fisik dan konsumsi sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari.4
Patofisiologi
Insulin resistensi dan kelainan sekresi insulin berperan utama pada perkembangan DM tipe 2.
Meskipun efek utama masih menjadi kontroversi, kebanyakan studi mendukung pandangan
bahwa resistensi insulin mendahului defek insulin sekresi tetapi diabetes mulai terjadi hanya
ketika sekresi insulin menjadi inadekuat. DM tipe 2 dicirikan dengan kelainan insulin sekresi,
resistensi insulin, produksi glukosa oleh hati yang berlebihan dan kelainan metabolisme
lemak.3
Kegemukan, terutama visceral atau sentral sangat sering menderita DM tipe 2. Pada
kelainan tahap awal, toleransi glukosa cukup normal, meskipun terjadi resistensi karena cell
beta pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan pengeluaran insulin. Ketika insulin
resistensi dan kompensasi hiperinsulinemia terus terjadi, sel beta pankreas pada beberapa
individu tidak dapat menopang keadaan hiperinsulinemia. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya IGT, ditandai dengan meningkatnya glukosa post prandial. Pada keadaan yang
lebih lanjut, penurunan sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa oleh hati
menyebabkan diabetes yang jelas dengan hiperglukosa pada saat keadaan puasa. Yang paling
terakhir adalah terjadi kerusakan cell beta.5

Gambar 1. Patofisiologi DM tipe 2.5


Skrining Diabetes Melitus
Pemeriksaan Glukosa Darah (sensitif)

Pemeriksaan penunjang laboratorium dapat berfungsi sebagai pemeriksaan penyaring,


menegakkan diagnosis, pemantauan hasil pengobatan dan pengendalian diabetes mellitus.
Pemeriksan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak mempunyai
gejala DM tetapi mempunyai risiko DM. Pemeriksaan penyaring dilakukan pada kelompok
dengan salah satu risiko DM, yaitu :

1. Usia > 45 tahun


2. Aktivitas fisik kurang
3. Termausk kelompok etnik risiko tinggi (African American, latin, native American,
asia American, pacific islander)
4. BB > 110% BB ideal atau IMT 23 kg/m2
5. Hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg)
6. Riwayat DM pada garis keturunan
7. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat // BB lahir bayi > 4000 gram
8. Kadar kolesterol HDL ≤ 35 mg/dL dan / kadar trigliserida ≥ 250 mg/dL

Bagi kelompok risiko dengan pemeriksaan penyaring yang negative maka diperlukan untuk
mengulang pemeriksaan setiap tahunnya. Sedangkan bagi mereka yang berusia lebih dari 45
tahun dengan hasil pemeriksaan penyaring yang negative maka pemeriksaan dapat diulang
setiap 3 tahun. Berikut adalah nilai rujukan hasil pemeriksaan penyaring DM :

1. Kadar glukosa darah sewaktu (GDS)


a. Bukan DM : < 110 mg/dL
b. Belum pasti DM : 110-199 mg/dL
c. DM : ≥ 200 mg/dL
2. Kadar glukosa darah puasa (GDP)
a. Bukan DM : < 110 mg/dL
b. Belum pasti DM : 110-125 mg/dL
c. DM : ≥ 126 mg/dL
Diagnosis diabetes mellitus harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik (glucose-
oxidase & hexokinase) dengan bahan darah plasma vena. Namun pada kondisi tertentu
dimana sulit mendapatkan darah vena, dapat juga dipakai darah utuh (whole blood) vena atau
kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnosis yang berbeda sesuai dengan
pembakuan oleh WHO. Hasil pemeriksaan glukosa darah dengan menggunakan darah vena
dapat berbeda dengan darah kapiler disebabkan kadar glukosa darah kapiler lebih tinggi 7-
10% daripada kadar glukosa darah vena. Pemeriksaan dengan menggunakan serum sama
baiknya dengan plasma bila serum dipisahkan dari darah lengkap dalam waktu kurang dari 1
jam. Glukosa dalam serum atau plasma yang disimpan pada suhu 4°C dapat bertahan sampai
48 jam. Bila pemeriksaan dilakukan setelah 48 jam, akan diperoleh kadar glukosa yang lebih
rendah secara bermakna. Hal ini dikarenakan glukosa tersebut digunakan untuk metabolisme
sel-sel darah dan juga kuman. Oleh karena itulah jika pemeriksaan terpaksa ditunda maka
darah utuh harus diberikan pengawet NaF sebanyak 2 mg/mL. Dengan penambahan NaF,
pemeriksaan dapat ditunda sampai 48 jam. Nilai rujukan kadar glukosa darah dengan
menggunakan plasma vena pengambilan sewaktu (gula darah sewaktu) dan pada
pengambilan setelah 8 jam berpuasa (gula darah puasa) adalah < 110 mg/dL. Pemeriksaan
gula darah 2 jam setelah makan (post prandial) juga dapat dilakukan namun lebih sulit karena
harus distandarisasi berdasarkan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi harus
distandarisasi terlebih dahulu. Walaupun begitu pemeriksaan ini masih dapat digunakan
untuk memantau hasil pengobatan dan pengendalian DM.6

Bila berdasarkan pemeriksaan gula darah sewaktu maupun puasa belum dapat
dipastikan diabetes mellitus maka dilakukanlah pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2
tes toleransi glukosa oral (TTGO) untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus. Penilaian
hasil pemeriksaan jam ke-2 TTGo adalah sebagai berikut :

- Kadar glukosa darah < 140 mg/dL : TTGO normal


- Kadar glukosa darah 140-199 mg/dL : Toleransi glukosa terganggu
- Kadar glkosa darah > 200 mg/dL : Diabetes mellitus

Selain pada penderita DM kelainan pemeriksaan TTGO dapat pula dijumpai pada penyakit
lain seperti hipertiroidisme dan renal glukosuria.2
Pemeriksaan HbA1C (Spesifik dan gold standart)

A1C merupakan hemoglobin terglikosilasi dan dikenal juga sebagai gliko-hemoglobin


yang terbentuk secara perlahan melalui reaksi non-enzimatik dari hemoglobin dan glukosa.
Reaksi non-enzimatik ini berlangsung terus-menerus sepanjang mur eritrosit sehingga
eritrosit uta mengandung A1C lebih banyak daripada eritrosit muda. Proses glikosilasi non-
enzimatik ini dipengaruhi oleh kadar glukosa di dalam darah. Berdasarkan waktu paruhnya
yaitu sekita setengah dari usia eritrosit maka pemeriksaan kadar A1C digunakan untuk
memantau keadaan glikemik untuk kurun waktu 2-3 bulan yang lalu. Nilai normal kadar A1C
adalah 5-8% dari kadar Hb total. Pemeriksaan A1C digunakan untuk menilai efek pengobatan
8-12 minggu sebelumnya tetapi tidak dapat dipakai untuk menilai hasil pengobatan jangka
pedek. Pemeriksaan ini dianjurkan sedikitnya dilakukan 2 kali dalam setahun.6

Pemeriksaan Glukosa Urin (sensitif)

Pemeriksaan ini dianggap kurang akurat karena peningkatan kadar glukosa di dalam
darah belum tentu diikuti dengan terjadi glukosuria. Oleh karena itu pemeriksaan ini hanya
dilakukan pada penderita yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa
darahnya.6

Pemeriksaan Benda Keton (spesifik)

Pemeriksaan benda keton darah maupun urin sangat penting untuk dilakukan terutama
pada penderita DM tipe 2 yang terkendali buruk,, misalnya kadar glukosa darahnya >
300mg/dL, DM dengan penyulit akut, serta terdapat gejala ketoasidosis diabetic (KAD)
seperti mual, muntah, atau nyeri abdomen. Selain itu pemeriksaan ini juga penting dilakukan
pada penderita DM tipe 2 yang sedang hamil. Pemeriksaan benda keton urin dapat dilakukan
dengan cara Rothera, Gerhardt, dan carik celup. Dengan metode Rothera dapat mendeteksi
adanya asam aseto-asetat dan aseton, sedangkan dengan metode Gerhardt hanya data
mendetksi asam aseto-asetat. Pada pemeriksaan carik celup yang dapat terdeteksi kuat adalah
asam aseto-asetat dan bereaksi lemah dengan aseton tetapi tidak dapat mendeteksi asam
hidroksi butirat. Kadar benda keton di dalam darah normal adalah < 0.6 mmol/L, dianggap
ketosis jika kadarnya > 1mmol/L, dan indikasi adanya KAD jika kadarnya > 3mmol/L.6
Manifestasi Klinis
Poliuria
Hal ini disebabkan oleh kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui daya serap ginjal
terhadap glukosa. Sehingga terjadi ousmotik diuresis,yaiutu gula dapt menarik cairan dan
eloktrolit akibatnya pasien mengeluh banyak BAK.

Polidipsia
Hal ini diesebabkan oleh pembakaran yang terlalu banayak dan kehilangan cairan yang
disebabkan oleh poliuria,sehingga untuk menanggulanginya pasien harus banyak minum.

Polifagia
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel,sehingga mengalami rasa lapar.untuk
memenuhi rasa laparnya pasien banayak makan. Walaupun banayak makan,tetap saja
makanan akan berada pada pembuluh darah.

Berat badan menurun, lemas, mudah lelah

Hal ini disebabkan karena kehabisan glikogen yang dipecah menjadi glukosa,maka tubuh
berusaha untuk mendapatkan pecahan zat dari bagian tubuh yang lain seperti lemak dan
protein. Karna tubuh pada pasien akan terus menerus merasa lapar,maka tubuh selanjutnya
akan memecah cadangan makanan yang ada di tubuh,termasuk yang ada d jaringan otot dan
lemak. Meskipun banyak makan penderita DM akan tetap mengalami penurunan berat badan.

Penglihatan
Hal ini disebabkan gangguan lintas polibi (glukosa-sarbithol fruktosa) yang disebabkan
insufisiensi insulin akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa sehingga terjadi
pembentukan katarak pada mata.6

Kesemutan, rasa baal akibat terjadi neuropati


Pada penderita DM,regenerasi sel syaraf mengalamai gangguan akibat kekurangan bahan
dasar utama yang berasal dari unsur protein. Akibatnya banyak sel persyarafan terutama
perifer mengalamai kerusakan

Luka Sukar Sembuh


Sering terinfeksi dan bila luka sulit sekali untuk sembuh. Keadaan ini bisa terjadi karenan
kuman tumbuh subur akibat tingginya kadar gula dalam darah. Selain itu,jamur juga sangat
menikmati pada darah yang tinggi kadar glukosanya.
Test Spesifitas dan Sensitivitas
Penilaian uji diagnostic memberikan kemungkinan hasil positif benar, positif semu,
negatif semu, dan negatif benar.Dalam penyajian hasil penelitian diagnostik, keempat
kemungkinan tersebut disusun dalam tabel 2x2. Bila hasil positif benar disebut sel a, hasil
positif semu disebut sel b, hasil negatif semu disebut sel c, dan hasil negatif benar disebut sel
d, maka hasil pengamatan dapat disusun dalam tabel 2x2 seperti pada Tabel 1. Dari tabel 2x2
tersebut dapat diperoleh beberapa nilai statistik yang memeperlihatkan beberapa akurat suatu
uji diagnostik dibandingkan dengan baku emas. Dari hasil uji diagnosis harus dapat dijawab
dua pertanyaan berikut :7

1. Bila subjek benar sakit, harus dicari seberapa besar hasil uji diagnostik positif atau
abnormal. Ini berhubungan dengan sensitivitas. Sensitivitas adalah proporsi subjek yang
sakit dengan hasil uji diagnostik positif (positifbenar) dibanding seluruh subjek yang sakit
(positif benar + negatif semu), atau kemungkinan bahwa hasil uji diagnostik tabel 2x2,
senssitivitas = a : (a+c).
2. Bila subjek tidak sakit, seberapa besar kemungkinan bahwa hasil uji negatif berhubungan
dengan spesifisitas, yang menunjukan kemampuan alat diagnostik menentukan bahwa
subjek tidak sakit. Spesifisitas merupakan proporsi subjek sehat yang memberikan hasil
uji diagnostik negatif (negatif benar) dibandingkan dengan seluruh subjek yang tidak
sakit (negatif benar + positif semu), atau kemungkinan bahwa hasil uji diagnostik akan
negatif bila dilakukan pada kelompok subjek yang sehat. Dalam tabel hasil uji diagnostik,
spesifitas = d : (b+d).

Tabel 1. Baku emas.1


Sakit Tidak Sakit Jumlah

Positif a b a+b

Negatif c d c+d

Jumlah a+c b+d a+b+c+d


Tabel 1 Memperlihatkan hasil uji diagnostik, yakni hasil yang diperoleh dengan uji yang
diteliti dan dengan hasil pada pemeriksaan dengan baku emas. Sel a menunjukkan jumlah
subjek dengan hasil positif benar; sel b = jumlah subjek dengan hasil positif semu, sel c =
subjek dengan hasil negatif semu, sel d= subjek dengan hasil negatif benar. Dari tabel dapat
dihitung :1

Sensitivitas = a/(a+c)

Spesifisitas = d/(b+d)

Nilai prediktif uji positif = sensitivitas * 100%

Nilai prediktif uji negatif = spesifisitas * 100%

Presentase negatif palsu adalah pelengkap sensitivitas.Sebaliknya, presentase positif


palsu adalah pelengkap spesifisitas.Ahli epidemiologi menginginkan sebuah uji yang
sensitive sehingga uji itu dapat mengidentifikasi jumlah yang cukup tinggi dari mereka yang
terkena penyakit dan juga sebuah uji yang dapat menghasilkan beberapa negatif palsu.Selain
itu, ahli epidemiologi juga menginginkan uji yang cukup spesifik untuk mendeteksi penyakit,
sehingga dihasilkan respon yang terbatas hanya pada kelompok studi yang memang terkena
penyakit dan beberapa positif palsu. Begitu proses skrining selesai, sebuah diagnosis
diperlukan untuk menegakkan penyakit di antara mereka yang diduga memiliki penyakit dan
mengelurkan mereka yang diduga terkena penyakit tetapi sebenarnya tidak.7

Sensitifitas dan spesifisitas banyak digunakan dalam kedokteran untuk uji diagnostik atau
mendeteksi penyakit pada uji tapis. Di samping manfaat yang telah disebutkan, sensitivitas
dan spesifitas memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut:

1. Sensitivitas dan spesifisitas hanya dapat digunakan untuk konfirmasi penyakit yang telah
diketahui, tetapitidak dapat digunakan untuk memprediksi penyakit pada sekelompok
orang yang belum diketahui kondisinya karena dasar yang digunakan pada perhitungan
sensitivitas dan spesifisitas adalah orang yang telah diketahui kondisinya, sedangkan
dalam kenyataan para klinisi berhadapan degnan orang yang belum diketahui
kondisinya.7
2. Dengan menggunakan tabel 2x2 sebenarnya terjadi penyederhanaan karena dalam
kenyataan hasil pengobatan tidak selalu dengan sembuh dan tidak sembuh.7
Nilai prediktif tes skrining merupakan aspek terpenting suatu uji.Kemampuan suatu
uji untuk memprediksi ada atau tidaknya penyakit merupakan penentu kelayakan suatu
tes.Semakin tinggi angka prevalensi suatu penyakit dalam populasi, semakin tinggi pengaruh
sensitivitas dan spesifisitas uji tersebut terhadap nilai prediktifnya.Semakin tinggi angka
prevalensi suatu penyakit dalam populasi, semakin besar kemungkinan terjadinya positif
benar.Semakin sensitive suatu uji, semakin tinggi nilai prediktif dan semakin rendah jumlah
positif palsu dan negatif palsu yang dihasilkan uji tersebut, yang juga menentukan nilai
prediktifnya.Ketika melakukan sebuah uji negatif, nilai prediktif adalah presentase orang
yang tidak sakit di antara semua partisipan yang memiliki hasil uji negatif. Nilai prediktif uji
positif adalah presentasi positif benar di antara individu yang hasil ujinya positif.Suatu
penyakit harus mencapai tingkat 15%-20% dalam populasi sebelum nilai prediktif yang
berguna tercapai. Informasi prevalensi digunakan untuk menghitung dan membagi kelompok
studi menjadi mereka yang terkena penyakit dan mereka yang tidak terkena penyakit.7

Langkah Promotif, Preventif serta Penyuluhan


Program pengendalian penyakit diabetes di Indonesia dilakukan secara terintegrasi
dalam program P2PTM (Pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular). Kegiatan ini
seperti dilakukan promosi kesehatan berupa konseling atau penyuluhan di puskesmas tentang
bahaya merokok, hipertensi, dislipidemia, obesitas dan penyakit metabolik lainnya yang
berkaitan dan terintegrasi dengan diabetes. Tatalaksana yang dilakukan yaitu dengan
memperkenalkan faktor risiko dan upaya pencegahannya serta pemeriksaan skrinning yng
dapat dilakukan di berbagai fasilitas kesehatan (Dokter keluarga, rumah sakit, puskesmas).
Program ini juga dapat dikenalkan di tingkat sekolah menegah atas (SMA) sebagai upaya
pencegahan dini terhadap diri sendiri dan keluarga karena diangga usia sekolah adalah upaya
yang sangat dini untuk memperkenalkan peyakit-penyakit P2PTM.8
Gambar 2. Charta integrasi P2PTM

Pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan kewaspadaan dini dalam


memonitoring faktor risiko menjadi salah satu tujuan dalam program pengendlian penyakit
tidak menular termauk penyakit diabetes melitus. Posbindu PTM merupakan program
pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular berbasis masyarakat yang bertujuan untuk
meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap faktor risiko baik terhadap dirinya,
lingkungan maupun kelurganya. Sehingga diharapkan timbul kesadaran dari masyarakat di
seluruh kalangan tentang seriusnya penyakit diabetes ini.

Gambar 3. Poster promosi kegiatan P2PTM.8


Kesimpulan
Penyakit diabetes melitus memang menjadi masalah yang sangat serius bagi sebagian
masyarakat indonesia, terutama komplikasi-komplikasi yang ditimbulkan karena penyakit
tersebut. Namun dengan penatalaksaan yang baik, terstruktur, dan cepat maka akan
didapatkan prognosis yang cukup baik, selain itu upaya pencegahan dan pengenalan faktor
risiko sangat penting untuk disampaikan pada seluruh kalangan sejak dini serta dilakukannya
skrinning maka dapat menekan terjadiya komplikasi yang sangat serius bahkan kematian.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S. Buku ajar penyakit
dalam jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.1880-3.
2. Mitchell RN. Buku saku dasar patologis penyakit Robbin & Cotran. Edisi ketujuh.
Jakarta: EGC; 2009. h. 669-78.
3. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid I. VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:1132-53.
4. Soegondo, S, dkk. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2009. h.67
5. Karam JH, Forsham PH. Hormon-hormon pankreas dan diabetes melitus. Dalam:
Greenspan FS, Baxter JD, editor. Endokrinologi dasar dan klinis. Edisi ke-4. Jakarta:
EGC; 2008. h. 754-72.
6. Halim SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Patologi klinik: Kimia
klinik. Edisi kedua. Jakarta: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Ukrida;
2013. h. 51-62.
7. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Petunjuk Teknis Pengukuran
Faktor Resiko Diabetes Melitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.
8. Kemenkes RI. (2015). Buku Pedoman PTM. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai