Abstract
Abstrak
1
gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau gangguan fungsi
insulin (resistensi insulin). Faktor lingkungan seperti kebiasaan buruk dalam hal makan,
minimnya aktivitas fisik, kegemukan (obesitas) secara etilogis berperan dalam mempercepat
progesifitas penyakit. Prevalensi diabetes mellitus diseluruh dunia menurut data Internasional
Diabetes Federation (IDF) tercatat pada tahun 2015 sebanyak 415 juta atau 8,5%. Hampir 80%
orang diabetes ada di Negara berpenghasilan rendah dan menengah. Menurut RISKESDAS
tahun 2016 prevalensi diabetes mellitus di Indonesia adalah 6,9%. Diabetes dengan komplikasi
merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di Indonesia. Hal ini bisa diakibatkan karena
masih banyak masyarakat yang tidak mengenal diabetes mellitus, dan tidak melakukan deteksi
dini melalui skrining sebagai salah satu pencegahan dari diabetes mellitus.
Skenario
Penyakit tidak khususnya diabetes mellitus tipe 2 cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Dokter A di Puskesmas Warnasari ingin melakukan skrining DM tipe 2 pada penduduk yang
berusia >15 tahun. Selama setahun dari 850 orang diperiksa kadar glukosa sewaktu, didapatkan
100 orang dinyatakan menderita DM tipe 2 dan diobati. Namun, berdasarkan pemeriksaan kadar
HbA1c didapatkan hanya 65orang menunjukan kadar >6,5%.
Puskesmas
Diabetes Mellitus
2
memiliki peluang peningkatan indek masa tubuh yang lebih besar. Prevalensi diabetes mellitus
diseluruh dunia menurut data Internasional Diabetes Federation (IDF) tercatat pada tahun 2015
sebanyak 415 juta atau 8,5%. Hampir 80% orang diabetes ada di Negara berpenghasilan rendah
dan menengah. Menurut RISKESDAS tahun 2016 prevalensi diabetes mellitus di Indonesia
adalah 6,9%. Diabetes dengan komplikasi merupakan penyebab kematian tertinggi ketiga di
Indonesia.1,2
Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal sebaiknya
diulang tiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan diulang setiap 1tahun.
Pada keaadan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan TTGO, maka
pemeriksaan penyaring dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler diperbolehkan
untuk patokan diagnosis DM.
Gejala Klinis
Gejala klinis DM adalah polifagia (banyak makan), polidipsia (banyak minum), poliuria
(banyak kencing/sering kencing dimalam hari), nafsu makan bertambah namun berat badan turun
dengan cepat, mudah lelah, kesemutan pada tangan dan kaki, gatal-gatal, kulit terasa panas atau
seperti tertusuk jarum, mudah mengantuk, pandangan mulai kabur, luka sulit sembuh, keputihan,
penyakit kulit akibat jamur dibawah lipatan kulit, dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi besar
dengan berat badan ≥4 kg. didefinisikan sebagai DM apabila pernah didiagnosa kencing manis
oleh dokter atau belum pernah didiagnosis menderita kencing manis oleh dokter tetapi dalam 1
bulan terakhir mengalami gejala seperti sering lapar, sering haus, dan sering buang air kecil dan
banyak, serta berat badan turun.6
3
Diagnosis
Diagnosis DM dibuat berdasarkan ada/ tidaknya gejala klinis DM dan hasil pengukuran
kadar glukosa plasma. Diagnosis klinis DM ditegakkan bila ada gejala khas DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Jika
terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl diagnosis DM
sudah dapat ditegakkan. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat
digunakan untuk pedoman diagnosis DM.1,7
Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali
saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diagnosis DM dapat ditegakkan
dengan salah satu criteria berikut:7
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik
dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, tetapi punya resiko DM (usia >
45 tahun, berat badan lebih, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat abortus berulang,
melahirkan bayi > 4000 gr, kolesterol HDL <= 35 mg/dl, atau trigliserida ≥ 250 mg/dl). Uji
diagnostik dilakukan pada mereka yang positif uji penyaring. Pemeriksaan penyaring dapat
dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa,
kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO).8
Skrining
Skrining adalah suatu penerapan uji/tes terhadap orang yang tidak menunjukan gejala
dengan tujuan untuk mengelompokkan mereka kedalam kelompok yang mungkin menderita
penyakit tertentu. Skrining merupakan deteksi dini penyakit, bukan merupakan alat diagnostik.
Bila pada hasil skrining positif, akan diikuti uji diagnostic atau prosedur untuk memastikan
4
adanya penyakit. Contoh uji skrining antara lain yaitu pemeriksaan rontgen, pemeriksaan sitologi
dan pemeriksaan tekanan darah.3,9
Tujuan dari skrining adalah mendeteksi faktor risiko penyekit kronis dalam rangka
mendeteksi faktor risiko penyekit kronis dalam rangka mendorong peserta untuk melakukan
deteksi dini dan cegah risiko secara dini terhadap penyakit kronis, dan untuk menentukan orang
yang terdeteksi menderita suatu penyakit sedini mungkin sehingga dapat segera memperoleh
5
pengobatan serta untuk mengurangi morbiditas atau mortalitas dari penyakit dengan pengobatan
dini terhadap kasus-kasus yang ditemukan. Program diagnosis dan pengobatan dini hamper
selalu diarahkan kepada penyakit tidak menular seperti kanker, diabeletes mellitus, glaukoma
dan lain-lain. Semua skrining dengan sasaran pengobatan dini ini dimaksudkan untuk
mengidentifikasi orang-orang asimptomatik yang berisiko mengidap gangguan kesehatan serius.
Dalam hal ini, penyakit adalah setiap karakteristik anatomi seperti kanker atau arteriosklerosis,
fisiologi seperti hipertensi atau hiperlipidemia ataupun perilaku seperti kebiasaan merokok yang
berkaitan dengan peningkatan gangguan kesehatan yang serius ataupun kematian.3,10 Terdapat
tingkatan pencegahan yang pada umumnya ditargetkan didalam program-program skrining yaitu
pencegahan primer, pencegahan sekunder, pencegahan tersier10,11
Terdapat dua probabililitas yang digunkaan untuk mengukur kemampuan sebuah uji
skrining dalam membedakan antara individu yang sakit dan yang tidak sakit. Pengukuran
validitas uji skrining ini ditentukan dengan membandingkan hasil menurut uji skrining dengan
6
hasil yang didapat dari uji yang lebih akurat (gold standard). Nilai tertentu pada hasil-hasil uji
skrining yang bersesuaian dengan hasil-hasil gold standard menghasilkan ukuran sensitivitas dan
spesifisitas.11
Sensitivitas adalah kemampuan uji skrining untuk memberikan hasil positif mereka yang
mengindap penyakit. Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes skrining maka semakin baik
kemampuan mendeteksi seseorang menderita penyakit tertentu sehingga dapat memperoleh
penanganan dini. Apabila sensitivitas rendah berarti bahwa tes akan melewatkan banyka individu
yang memiliki penyakit, sehingga meningkatkan jumlah “false negative/negative palsu”10,11
Spesifisitas adalah kemampuan suatu uji untuk memberikan hasil negative pada mereka
yang sehat (tidak sakit). Semakin tinggi nilai sensitivitas sebuah tes skrining maka semakin baik
kemampuan mendeteksi seseorang tidak menderita penyakit tertentu. Spesifisitas rendah
menunjukan bahwa tes akan menempatkan banyak orang dalam kelompok yang berpenyakit
meskipun mereka tidak memiliki penyakit, sehingga menghasilkan banyak “false positif/positif
palsu”
7
kesehatan menghindarkan penanganan atau pengobatan yang tidak perlu sehingga terhindar dari
efek samping pengobatan. Tabel 1. Contoh Status Penyakit dan Hasil Tes Skrining10
Rumus:
2. Nilai prediksi
𝑎
Nilai prediksi tes (+) atau PPV= (𝑎+𝑏) 𝑥 100
𝑑
Nilai prediksi tes (-) atau NPV= (𝑐 +𝑑) 𝑥 100
Pencegahan
a. Pencegahan Premordial
Pencegahan premodial adalah bertujuan untuk mengetahui pola budaya, ekonomi,
social, dan sebagainya yang mempunyai peranan dalam meningkatkan kejadian
penyakit. Seperti larangan pemerintah untuk larangan merokok. Pencegahan
premodial pada penyakit DM adalah menciptakan prakondisi sehingga masyarakat
8
merasa bahwa konsumsi makan kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang kurang
baik, pola hidup santai atau kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi
kesehatan.
b. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk
kelompok risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi
untuk menderita DM diantaranya :
a. Kelompok usia tua (>45tahun)
b. Kegemukan (BB(kg) >120% BB idaman atau IMT>27)
c. Tekanan darah tinggi (>140/90mmHg)
d. Riwayat keiuarga DM
e. Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
f. Disiipidemia (Trigliserida>250mg/dl).
g. Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau glukosa darah puasa tergangu
(GDPT).
Maka harus dilakukan pencegahan sejak dini, sebagai contoh hendaknya telah
ditanamkan pengertian tentang pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola dan jenis
makanan yang sehat menjaga badan agar tidak terlalu gemuk, dan risiko merokok
bagi kesehatan.
c. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal
penyakit. Dalam pengelolaan pasien DM, sejak awal sudah harus diwaspadai dan
sedapat mungkin dicegah kemungkinan terjadinya penyulit menahun. Pilar utama
pengelolaan DM meliputi:
a. penyuluhan
b. perencanaan makanan
c. latihan jasmani
d. obat hipoglikemik.
9
d. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier adalah upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan
merehabilitasi pasien sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap.
10
Metode Penyuluhan
Sebelum mengetahui tentang metoda penyuluhan kesehatan, hendaknya diketahui
terlebih dahulu tentang tujuan yang akan dicapai, apakah akan merubah periakal (knowledge),
perirasa (attitude) atau kah perilaku (behaviour). Dengan mengetahui sasarannya maka dapat
dipilih kira-kira metode yang mana paling cocok:
11
Lakukanlah kompromi dan negosiasi untuk mencapai tujuanyang dapat diterima pasien,
dan jangan memaksakan tujuan kita pada pasien.
Lakukanlah motivasi dengan cara memberi penghargaan dan mendiskusikan hasil tes
Laboratorium.
12
Materi Penyuluhan pada tingkat lanjutan adalah:
Mengenal dan mencegah komplikasi akut diabetes.
Pengetahuan mengenai komplikasi kronik diabetes.
Penatalaksanaan diabetes selama menderita penyakit lain.
Pemeliharaan kaki diabetes.
Sasaran Penyuluhan
Sasaran langsung penyuluhan diabetes adalah pasien diabetes beserta keluarganya, tetapi
untuk mencapai program yang berdaya guna dan sekaligus berhasil guna, kita perlu menentukan
sasaran tidak langsung yang terdiri dari petugas kesehatan dan berbagai komunitas dimana
pasien berada di dalam melakukan kegiatannya sehari-hari. Petugas kesehatan perlu secara
berkesinambungan mendapat pendidikan cara menangani pasien diabetes. Masalah di Indonesia
yang juga menjadi masalah di negara-negara lain adalah kurangnya pengetahuan dokter tentang
pengobatan mutakhir diabetes. Informasi terbaru tentang penanganan diabetes sering terlambat
sampai kepada dokter, terutama mereka yang tinggal dikota kecil dan daerah terpencil.
13
Sasaran kedua adalah tim kesehatan/perawat yang bisa terdiri dari berbagai disiplin
misalnya perawat, ahli gizi, ahli fisioterapi, pekerja sosial bahkan perawat bedah dan ahli
farmasi. Masing-masing anggota tim berfungsi sesuai dengan keahlian yang dimilikinya dan
kebutuhan pasien pada saat konsultasi. Ditingkat rumah sakit tentunya tim tersebut dapat lebih
lengkap, tetapi di Puskesmas, balai kesehatan masyarakat atau praktek pribadi, keberadaan tim
yang sederhana terdiri dari 2-3 orang.
Sasaran ketiga, adalah orang-orang yang beraktivitas bersama-sama dengan pasien
sehari-hari, baik dilingkungan rumah ataupun lingkungan lain misalnya lingkungan tempat
bekerja, lingkungan sekolah dan lain-lain. Lingkungan lain adalah lingkungan yang dapat
berubah-ubah, tergantung pada aktivitas pasien. Lebih sulit untuk mencapai komunitas ini bila
dibandingkan dengan keluarga, karena lebih bervariasi dan dengan tempat tinggal yang berbeda-
beda pula.
Kesimpulan
14
Daftar Pustaka
15