Anda di halaman 1dari 13

Diagnosis Prenatal pada Down Syndrome

Yehezkiel Wira Tanisa 102017118


David Clinton Napitupulu 102018038
Batara Krisnawan Suseno 102018140
Veronica Agrippina Franesta 102018019
Yulistina 102018044
Angelique Agatha Suzanne 102018075
Michelle Amanda 102018122
Jl. Arjuna Utara No. 06 Jakarta 11510. Telepon : (021) 56942051.

Abstrak
Sindrom down merupakan cacat lahir dengan biaya medis dan sosial yang besar, yang
disebabkan oleh trisomi seluruh atau sebagian dari kromosom 21. Ini adalah penyakit genetik yang
paling umum di seluruh dunia dan penyebab genetik umum dari cacat intelektual muncul pada sekitar
1 dari 400-1500 bayi baru lahir. Sindrom ini telah dijelaskan ribuan tahun sebelumnya, dan dinamai
oleh John Langdon Down yang menggambarkan deskripsi klinisnya pada tahun 1866. Para ilmuwan
telah mengidentifikasi gen kandidat yang terlibat dalam pembentukan fitur DS spesifik. Kemajuan ini
pada gilirannya dapat membantu mengembangkan terapi yang ditargetkan untuk orang dengan trisomi
21. Skrining untuk DS adalah bagian penting dari perawatan prenatal rutin. Sampai saat ini, skrining
noninvasif untuk aneuploidi masih tergantung pada pengukuran analit serum ibu dan ultrasonografi.
Kemajuan yang lebih baru, dalam pengembangan tes skrining prenatal noninvasif (NIPS)
menggunakan sekuens DNA janin bebas sel yang diisolasi dari sampel darah ibu.
Kata kunci: Sindrom down, trisomi 21, prenatal diagnosis.

Abstract
Down syndrome is a birth defect with great medical and social costs, caused by a trisomy of
all or part of chromosome 21. It is the most common genetic disease worldwide and a common
genetic cause of intellectual disability occurring in about 1 in 400-1500 babies. Newborn. This
syndrome had been described thousands of years earlier, and was named by John Langdon Down
who described its clinical description in 1866. Scientists have identified candidate genes involved in
the formation of specific DS features. These advances could in turn help develop targeted therapies
for people with trisomy 21. Screening for DS is an important part of routine prenatal care. To date,
noninvasive screening for aneuploidy has depended on measurement of maternal serum analytes and
ultrasonography. More recent advances, in the development of a noninvasive prenatal screening test
(NIPS) using cell-free fetal DNA sequences isolated from maternal blood samples.
Keywords : Down syndrome, trisomy 21, prenatal diagnostic
PENDAHULUAN
Retardasi mental merupakan keadaan taraf perkembangan kecerdasan dibawah normal
sejak lahir atau atau masa anak-anak dengan IQ kurang dari 70, yang mempengaruhi
keterbatasan dalam fungsi kognitif dan perilaku adaptif seseorang. Penyebab retardasi mental
atau disabilitas intelektual sangat heterogen, dapat disebabkan oleh faktor genetik dan non
genetik. Faktor genetik dipengaruhi oleh kelainan kromosom dan kelainan gen tunggal,
sedangkan faktor non-genetik dipengaruhi oleh ibu saat hamil, keadaan sosial ekonomi,
lingkungan, riwayat prenatal, perinatal dan postnatal. Kehamilan ibu di usia lebih dari 35
tahun mempunyai risiko melahirkan anak dengan retardasi mentali yang dapat dipengaruhi
oleh penyakit yang menyertai.1

PEMBAHASAN
Anamnesis
Tujuan melakukan anamnesis adalah untuk mengembangkan pemahaman mengenai
masalah medis pasien dan membuat diagnosis banding. Telah banyak kemajuan dalam
pemeriksaan diagnostic modern, namun anamnesis dan pemeriksaan fisik klinis masih sangat
diperlukan untuk mendapatkan diagnosis yang akurat. Proses ini juga memungkinkan dokter
untuk mengenal pasiennya serta memahami masalah medias dalam konteks kepribadian dan
latar belakang sosial pasien. Dalam kasus ini, hal pertama yang harus dilakukan adalah
melakukan anamnesa, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan anamnesa adalah
menanyakan hal yang harus kita ketahui untuk melakukan diagnose penyakit .
1. Identitas pasien : ibu hamil 36 tahun
2. Keluhan utama : konseling genetik
3. Riwayat penyakit dahulu : -
4. Riwayat kehamilan : G2P1A0
5. Riwayat keluarga : Anak perempuannya mengalami sindrom down.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan setelah anamnesis dilakukan yang dimana berguna untuk
menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan penyakitnya. Pemeriksaan fisik yang biasanya
dilakukan pertama kali adalah kesadaran, keadaan umum, dan pemeriksaan tanda-tanda vital
pada pasien. Setelah itu, dapat kita mulai dari inspeksi untuk melihat apakah terdapat
perbedaan patologis dan dilakukan dapat secara telentang maupun dalam posisi duduk,
palpasi adalah kegiatan dengan cara menekan pada bagian tubuh pasien yang bertujuan untuk
merasakan apakah terdapat massa, nyeri, atau sebagainya, perkusi merupakan suatu kegiatan
yang berguna untuk memastikan adanya pembesaran beberapa organ, khususnya hati, limfe,
atau kandung kemih. Lakukan selalu perkusi dari daerah resonan ke daerah pekak, dengan
jari pemeriksa yang sejajar dengan bagian tepi organ, dan auskultasi adalah pemeriksaan
yang berguna untuk memastikan bising usus dalam abdomen, suara-suara yang berada dalam
tubuh yang dihasilkan oleh organ tubuh kita.
Pemeriksaan fisik pada skenario ini adalah ibu A datang dengan kesadaran compos
mentis, keadaan umum tidak sakit dan tanda-tanda vital seperti suhu, frekuensi nadi,
frekuensi napas dan tekanan darah semua dalam keadaan normal.

Pemeriksaan Penunjang
Amniosintesis
Dilakukan dengan mengambil sampel air ketuban yang kemudian diuji untuk
menganalisis kromosom janin. Amniosintesis ini dilakukan pada trimester II (minggu 14-20
kehamilan). Sampel yang merupakan air ketuban dikeluarkan melalui jarum halus yang
dimasukkan ke dalam rahim melalui perut dengan dibantu ultrasound. Kemudian sampel itu
akan dibawah ke laboratorium dan akan mengikuti beberapa pemeriksaan lanjutan seperti tes
kariotipe, tes FISH dan analisis microarray. Dokter akan menyarankan pemeriksaan ini jika
bayi berisiko lebih tinggi mengalami tanda cacat lahir atau ibu yang memiliki tanda-tanda
infeksi atau jadwal kelahiran lebih cepat.2
 Indikasi prenatal diagnosis untuk amniosintesis2
Amniosentesis genetic dapat memberikan informasi tentang susunan genetic pada
bayi. Umumnya amniosentesis genetic ditawarkan ketika hasil tes mungkin
berdampak signifikan pada manajemen kehamilan atau keinginan sang ibu untuk
melanjutkan kehamilan.
1. Ibu mendapatkan hasil positif dari tes skrining prenatal
Jika hasil tes skrining (trimester I atau DNA) dan hasilnya positif atau meragukan,
maka amniosentesis dapat dpilih untuk menkonfirmasi atau mengemsampingkan
diagnosis.
2. Ibu memiliki kromosom atau cacat tabung saraf pada kehamilan sebelumnya
Jika kehamilan sebelumnya dipengaruhi oleh kondisi sindrom down atau neural
tube defect, yang dimana kondisi tersebut sangat serius dalam mempengaruhi otak
bayi atau sumsum tulang belakang. Dokter mungkin akan menyarankan
amniosentesi untuk mengkonfirmasi atau mengesampingkan gangguan ini.
3. Ibu hamil berusia 35 tahun atau lebih
Bayi yang lahir dari wanita berusia 35 tahun keatas memiliki risiko lebih tinggi
mengalami kondisi kelainan kromosom, seperti sindrom down.
4. Ibu memiliki riwayat keluarga dengan kondisi genetik tertentu atau
pasangan yang dikenal sebagai carrier kondisi genetik
Selain mengindentifikasi sindrom down dan spina bifida defek tabung saraf,
amniosentesis dapat digunakan untuk mendiagnosa banyak kondisi genetic
lainnya seperti cystic fibrosis.
5. Ditemukan hasil USG yang abnormal
Penyedia layanan kesehatan mungkin akan merekomendasikan amniosentesis
untuk mendiagnosis atau mengesampingkan kondisi genetic yang terkait dengan
temuan USG abnormal.
 Komplikasi Amniosentesis2
o Kebocoran cairan ketuban  jarang terjadi cairan ketuban bocro melalui vagina
setelah amniosentesis. Namun, dalam kebanyakan kasus, jumlah cairan yang
hilang sedikit akan berhenti dalam waktu satu minggu, dan kehamilan
kemungkinan akan berlanjut secara normal.
o Keguguran  Amniosentesis trimester kedua membawa sedikit risiko keguguran
sekitar 0.1% hingga 0.3%. Penelitian menunjukkan bahwa risiko keguguran lebih
tinggi untuk amniosentesis yang dilakukan sebelum 15 minggu kehamilan.
o Luka yang ditimbulkan oleh jarum  Selain amniosentesis, bayi mungkin
tidak sengaja menggerakkan lengan atau kaki ke arah jarum. Namun kejadian ini
jarang terjadi.
o Infeksi  Sangat jarang terjadi. Amniosentesis dapat memicu infeksi rahim. Jika
sang ibu memiliki infeksi – seperti hepatitis C, toksoplasmosis atau HIV/AIDS,
infeksi tersebut dapat ditransfer ke bayi selama amniosentesis.

Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada trimester pertama dan trimester kedua
kehamilan. Beberapa marker yang dapat dijumpai pada skrining trimester pertama antara lain
nuchal translucency space, kista higroma, hipoplasia atau tidak adanya os nasal, doppler
duktus venosus. Sedangkan pada trimester kedua, marker yang ditemukan di USG adalah
hyperechoic bowel, choroid plexus cysts, nasal bone, short long bones, ear length, fifth finger
clynodactily dan single umbilical artery. Selain itu pemeriksaan ini dapat mengukur seberapa
dalam cairan dalam tulang belakang leher bayi. 3

Chrorionic Villus Sampling (CVS)


Pemeriksaan ini dilakukan pada kehamilan usia 11-12 minggu. Pemeriksaan ini dapat
dilakukan dengan memasukan pipa berukuran sangat kecil ke dalam rahim ibu untuk
medapatkan sedikit jaringan sel pada plasenta. Pemeriksaan jaringan sel kecil yang sudah
didapatkan ini akan menunjukkan apakah ada kejadian kelainan kromosom pada janin.4

Working Diagnosis
Sindrom down (down syndrome) merupakan suatu kelainan genetik yang paling
sering terjadi dan paling mudah diidentifikasi. Sindrom down atau yang lebih dikenal sebgai
kelainan genetik trisomi, dimana terdapat tambahan kromosom pada kromosom 21.
Kromosom ekstra tersebut menyebabkan jumlah protein tertentu akan berlebih sehingga
menganggu pertumbuhan normal dari tubuh dan menyebabkan perubahan perkembangan
otak yang sudah tertata sebelumnya. Kelainan tersebut dapat menyebabkan keterlambatan
perkembangan fisik, ketidakmampuan belajar, penyakit jantung, bahkan kanker/leukemia dan
kelainan ini tidak ada hubungannya dengan ras, negara, agama ataupun status sosial
ekonomi.5
Karakteristik Down Syndrome yang bisa dilihat adalah, mempunyai wajah yang khas
atau profil muka yang datar (flat facial profile), Hypertelorism atau jarak kedua mata jauh,
bentuk kuping abnormal (dysplatic ear), satu garis horizontal pada telapak tangan (simian
crease), hipotonia, CHD (congenital heart disease), growth failure, Mental retardation dengan
IQ sekitar 49.6

Differential Diagnosis
1. Sindrom Patau (Trisomi 13)
Sindrom patau atau trisomi 13 merupakan kelainan genetik dengan jumlah
kromosom 13 sebanyak 3 buah. Sindrom patau merupakan kelainan autosomal ketiga
tersering yang terjadi pada bayi lahir yang hidup setelah Sindrom Down (trisomi 21)
dan Sindrom Edwards (trisomi 18). Penyebab trisomi 13 dapat terjadi akibat non-
disjunction saat pembelahan miosis I atau miosis II. Trisomi 13 ini biasanya
berhubungan dengan non-disjunction miosis maternal (85%) atau dapat pula terjadi
akibat translokasi genetik. Terdapat 3 tipe pada trisomi 13 yaitu tipe klasik,
translokasi, dan mosaik. Karakteristik trisomi 13 adalah anomali multipel yang berat
termasuk anomali sistem saraf pusat, anomali wajah, defek jantung, anomali ginjal,
dan anomali ekstremitas. Sedangkan untuk manifestasi klinis dapat berupa mikrosefal,
cyclops (mata tunggal), struktur nasal abnormal, cleft bibir dan palatum, low set ears,
dan polidaktili.7

2. Sindrom Edward
Sindrom edward atau trisomi 18 merupakan kelainan autosomal urutan kedua
setelah trisomi 21. Kelainan dari sindrom edward ini terdapat pada kromosom ke-18
dimana terdapat ekstra material kromosom sehingga jumlah kromosom menjadi 14.
Trisomi 18 terbagi menjadi 3 tipe yaitu tipe total, tipe mosaik dan translokasi. 8

3. Hipotiroid Kongenital (Congenital hypothyroidism)


Merupakan salah satu penyebab retardasi mental pada anak yang dapat
dicegah jika diketahui dan diterapi sejak dini. Hormon tiroid mempunyai peran dalam
perkembangan susunan saraf pusat. Hipotiroid kongenital tidak memperlihatkan tanda
dan gejala klinis yang khas saat lahir dan durasi intervensi dini untuk untuk mencegah
retardasi mental singkat. Hipotiroid kongenital dapat bersifat transien atau permanen
dan di klasifikasi sesuai letak gangguannya seperti, primer (kelenjar tiroid) atau
sekunder/sentral (hipofisis/hipotalamus), berat atau ringannya hipotiroid (kadar serum
TSH > 100mIU/L). Bentuk yang sering ditemukan oleh hipertiroid kongenital adalah
HK primer permanen dengan kadar serum TSH tinggi akibat disgenesis tiroid. HK
primer ini memerlukan pengobatan yang dilakukan seumur hidurp sedangkan untuk
yang transien tidak perlu.9

Etiologi
Hingga saat ini belum diketahui pasti penyebab Sindrom Down. Namun, diketahui
bahwa kegagalan dalam pembelahan sel inti yang terjadi pada saat pembuahan dapat menjadi
salah satu penyebab yang sering dikemukakan dan penyebab ini tidak berkaitan dengan apa
yang dilakukan ibu selama kehamilan. Sindrom Down terjadi karena kelainan susunan
kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia. Sindrom down merupakan kelainan kromosom
yang paling banyak terjadi pada manusia. Penderita mempunyai jumlah kromosom 47 dimana
terjadi penambahan kromosom 21 sehingga kromosom 21 jumlahnya menjadi 3 yang dikenal
dengan trisomi.
Epidemiologi
Kasus sindrom down di Indonesia, cenderung meningkat. Berdasarkan hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, pada anak 24 sampai 59 bulan kasus sindrom down
sebesar 0.12%, Pada tahun 2013, menurut Riskesdas terjadi peningkatan 0.13% dan pada
tahun 2018 terjadi peningkatan 0.21%. Sindrom down lebih banyak terkena pada anak laki-
laki dibandingkan anak perempuan. Prevalensi anak laki-laki di Indonesia yang menderita
sindrom down adalah 0.08% sedangkan untuk anak perempuan berusia 24-59 bulan sebesar
0.06%.6

Jenis Sindrom Down


Berdasarkan kelainan struktur dan jumlah kromosom, sindrom down terbagi menjadi 2 jenis,
yaitu:5
1. Trisomi 21 klasik
Bentuk kelainan yang paling sering terjadi pada penderita Sindrom Down,
dimana terdapat tambahan kromosom 21. Angka kejadian trisomi 21 klasik ini sekirar
94% dari semua penderita sindrom down.
2. Translokasi
Merupakan suatu keadaan dimana tambahan kromosom 21 melepaskan diri
pada saat pembelahan sel dan menempel pada kromosom yang lainnya. Kromosom 21
ini dapat menempel dengan kromosom 13, 14, 15 dan 22. Ini terjadi sekitar 3-4% dari
seluruh penderita Sindrom Down. Pada beberapa kasus, translokasi sindrom down
dapat diturunkan oleh orang tua kepada anaknya. Gejala yang ditimbulkan dari
translokasi ini hampir sama dengan gejala yang ditimbulkan oleh trisomi 21.
3. Translokasi
Tipe ini mempengaruhi 2% dari penderita Down Syndrome. Mosaic berarti
kombinasi atau campuran. Pada kasus ini, trisomy 21 tidak ditemukan di semua sel,
melainkan hanya beberapa. Jadi ada sel yang memiliki 3 kromosom di sel 21 dan ada
yang memiliki hanya 2 kromosom pada kromosom 21. Anak dengan Mosaic Down
Syndrome memiliki kondisi yang lebih baik dibandingkan anak dengan Down
Syndrome lainnya.
Gambar 1. Jenis Down Syndrome

Faktor risiko
Pada sindrom down (trisomi 21) dapat terjadi tidak hanya saat pada saat meiosis yaitu
pada saat pembentukan gamet, tetapi juga saat mitosis awal dalam perkembangan zigot. Pada
meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung 21 autosom dan apabila dibuahi oleh
spermatozoa normal yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot trisomi 21. Non-
disjuction ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:5
I. Infeksi virus
Rubella merupakan salah satu jenis infeksi virus yang tersering pada prenatal
yang bersifat teratogen lingkungan yang dapat mempengaruhi embryogenesis dan
mutasi gen sehingga menyebabkan perubahan jumlah maupun struktur kromosom.
II. Radiasi
Radiasi merupakan salah satu penyebab dari nondisjunctinal pada sindrom
down. Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindorm down pernah
mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi. Kecelakaan rektor
atom Chernobly pada tahun 1986 dikatakan merupakan penyebab beberapa kejadian
sindrom down di Berlin.
III. Penuaan sel telur dan sel sperma
Peningkatan usia ibu dapat mempengaruhi kualitas sel telur. Sel telur akan
menjadi kurang baik dan pada saat terjadi pembuahan oleh spermatozoa, sel telur
akan mengalami kesalahan dalam pembelahan. Pada saat wanita memasuki usia tua,
kondisi sel telur tersebut terkadang menjadi kurang baik, sehingga pada saat dibuahi
oleh spermatozoa, sel benih ini akan mengalami pembelahan yang salah. Penuaan sel
spermatozoa laki-laki dan gangguan pematangan sel sperma itu sendiri di epididymis
akan berefek pada gangguan motilitas sel sperma itu sendiri juga dapat berperan
dalam efek ekstra kromosom 21 yang berasal dari ayah.
IV. Usia Ibu
Wanita usia lebih dari 35 tahun lebih berisiko melahirkan bayi dengan
sindrom down dibandingkan dengan ibu usia muda (kurang dari 35 tahun). Angka
kejadian sindrom down dengan usia ibu 35 tahun, sebesar 1 dalam 400 kelahiran,
Sedangkan ibu dengan umur kurang dari 30 tahun, sebesar kurang dari 1 dalam 1000
kelahiran. Perubahan endokrin seperti peningkatan sekresi androgen, penurunan kadar
hidroepiandrosteron, penurunan konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi
reseptor hormon, peningkatan hormon LH dan FSH secara mendadak pada saat
sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
nondisjunction.

Patofisiologi
Pada Sindrom Down, trisomi 21 dapat terjadi tidak hanya pada saat meiosis pada
waktu pembentukan gamet, tetapi juga dapat terjadi saat mitosis awal dalam perkembangan
zigot. Oosit primer yang perkembangannya terhenti pada saat profase meiosis I tidak berubah
pada tahap tersebut sampai ovulasi. Diantara waktu tersebut, oosit mengalami nondisjunction.
Pada Sindrom Down, meiosis I menghasilkan ovum yang mengandung 21 autosom dan
apabila dibuahi oleh spermatozoa normal, yang membawa autosom 21, maka terbentuk zigot
trisomi.
Ekstra kromosom 21 hampir memengaruhi semua sistim organ dan menyebabkan
spektrum fenotip yang luas. Ini termasuk komplikasi yang mengancam nyawa, masalah klinis
yang banyak memengaruhi hidup si penderita (contoh: disabilias intelektual), dan dismorfik
wajah. Sindrom Down mengurangi tingkat kelangsungan hidup saat prenatal dan
meningkatkan mortalitas serta morbiditas prenatal dan postnatal. Anak yang menderita
Sindrom Down mengalami gangguan pertumbuhan, kedewasaan, perkembangan tulang dan
pertumbuhan gigi.5

Tatalaksana Down Syndrome


Tidak ada pengobatan standar tunggal untuk sindrom Down. Perawatan didasarkan
pada kebutuhan fisik dan intelektual masing-masing individu serta kekuatan dan keterbatasan
pribadinya. Penatalaksanaan Down syndrome dilakukan dengan pemberian medikamentosa
serta terapi suportif. Tata laksana ini bertujuan untuk mencegah mortalitas serta
meningkatkan kualitas hidup pasien.9
 Medikamentosa
Terapi medikamentosa spesifik diberikan untuk menangani penyakit komorbid
yang ditemukan pada pasien Down syndrome, misalnya pemberian hormon tiroid
pada pasien Down syndrome dengan hipotiroidisme. Pengawasan terhadap respons
terapi obat dan efek samping obat harus dilakukan karena terdapat perbedaan
farmakoterapi pada pasien Down syndrome dengan orang normal. Contohnya adalah
pengawasan terhadap risiko toksisitas yang lebih besar pada pasien Down syndrome
yang mendapat methotrexate untuk pengobatan leukemia. Vaksinasi pneumococcal
dan influenza rutin disarankan bagi pasien Down syndrome dikarenakan tingginya
risiko infeksi saluran pernapasan.9
 Terapi Fisik
Terapi fisik meliputi kegiatan dan latihan yang membantu membangun
keterampilan motorik, meningkatkan kekuatan otot, dan memperbaiki postur dan
keseimbangan. Terapi fisik penting, terutama di awal kehidupan anak. Kemampuan
untuk membalikkan badan, merangkak, dan meraih sesuatu, membantu bayi belajar
tentang dunia di sekitar mereka dan bagaimana berinteraksi dengannya. Terapis fisik
juga dapat membantu anak dengan sindrom Down mengimbangi tantangan fisik,
seperti tonus otot yang rendah, misalnya, terapis fisik dapat membantu seorang anak
membangun pola berjalan yang efisien.9,10
 Terapi Berbicara
Terapi ini dapat membantu anak-anak dengan sindrom Down meningkatkan
keterampilan komunikasi mereka dan menggunakan bahasa lebih efektif. Anak-anak
dengan sindrom Down sering belajar berbicara lebih lambat daripada teman
sebayanya. Terapis wicara dapat membantu mereka mengembangkan keterampilan
awal yang diperlukan untuk komunikasi, seperti meniru suara. Terapis juga dapat
membantu bayi menyusui karena menyusui dapat memperkuat otot yang digunakan
untuk berbicara. Dalam banyak kasus, anak-anak dengan sindrom Down memahami
bahasa dan ingin berkomunikasi sebelum mereka dapat berbicara. Terapis dapat
membantu anak menggunakan sarana komunikasi alternatif, seperti bahasa isyarat dan
gambar, sampai dia belajar berbicara.9,10
Belajar berkomunikasi adalah proses yang berkelanjutan, sehingga orang
dengan sindrom Down juga dapat mengambil manfaat dari terapi wicara dan bahasa
di sekolah maupun di kemudian hari. Terapis dapat membantu dengan keterampilan
percakapan, keterampilan pengucapan, memahami apa yang dibaca (disebut
pemahaman), dan belajar mengingat kata-kata.9,10
 Terapi Okupasi
Terapi okupasi membantu menemukan cara anak untuk menyesuaikan tugas
dan kondisi sehari-hari agar sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan seseorang.
Jenis terapi ini mengajarkan keterampilan perawatan diri seperti makan, berpakaian,
menulis, dan menggunakan komputer. Terapis okupasi mungkin menawarkan alat
khusus yang dapat membantu meningkatkan fungsi sehari-hari, seperti pensil yang
lebih mudah digenggam. Di tingkat sekolah menengah, terapis okupasi dapat
membantu remaja mengidentifikasi pekerjaan, karier, atau keterampilan yang sesuai
dengan minat dan kekuatan mereka.9,10
 Behavioral Therapy
Terapi ini perilaku bekerja untuk menemukan respons yang berguna terhadap
perilaku yang diinginkan dan tidak diinginkan. Anak-anak dengan sindrom Down
dapat menjadi frustrasi karena kesulitan berkomunikasi, dapat mengembangkan
perilaku kompulsif, dan mungkin memiliki Attention Deficit Hyperactivity Disorder
dan masalah kesehatan mental lainnya. Jenis terapis ini mencoba memahami mengapa
seorang anak bertingkah, menciptakan cara dan strategi untuk menghindari atau
mencegah situasi ini terjadi, dan mengajarkan cara yang lebih baik atau lebih positif
untuk merespons situasi. Seorang psikolog, konselor, atau profesional kesehatan
mental lainnya dapat membantu anak menangani emosi dan membangun keterampilan
mengatasi Terapis perilaku dapat membantu remaja mengenali emosi intens mereka
dan mengajari mereka cara sehat untuk mencapai perasaan tenang.9,10

Pencegahan Sindrom Down


Tidak ada cara untuk mencegah sindrom down. Jika seorang ibu hamil berisiko tinggi
memiliki anak dengan sindrom down atau sudah memiliki satu anak dengan sindrom down,
hal ini harus segera dikonsultasikan dengan konselor genetik sebelum hamil. Seorang
konselor genetik dapat membantu untuk memahami peluang seorang orang tua memiliki anak
dengan sindrom down. Seorang dokter juga dapat menjelaskan tes prenatal yang tersedia dan
membantu menjelaskan pro dan kontra dari tes tersebut.
Prognosis
44% kasus dengan sindrom down hidup sampai 60 tahun, dan 14% sampai 68 tahun.
Berbagai faktor berpengaruh terhadap harapan hidup penderita sindrom down ini yang
terpenting adalah tinggi angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita ini, yang
mengakibatkan 80% kematian. Kematian akibat dari penyakit jantung bawaan pada satu
tahun pertama kehidupan. Keadaan lain yang lebih sedikit pengaruhnya terhadap harapan
hidup penderita ini adalah meningkatnya angka kejadian leukemia pada sindrom Down,
sekitar 15 kali dari populasi yang normal. Timbulnya penyakit Alzeimer yang lebih dini pada
kasus ini, akan menurunkan harapan hidup setelah umur 44 tahun. Juga anak dengan sindrom
Down ini rentan terhadap penyakit infeksi, yang sebabnya belum diketahui.10

Kesimpulan
Ibu A berisiko untuk melahirkan anak dengan Down Syndrome karena pernah
memiliki riwayat melahirkan anak dengan Down Syndrome sebelumnya. Dianjurkan untuk
melakukan skrining dengan NT Scan dan pemeriksaan maternal serum. Tidak dianjurkan
untuk melakukan amniocentesis baru boleh dilakukan setelah kehamilan minggu ke 15, yaitu
pada minggu 16-20, namun bisa dilakukan CVS untuk diagnosis.

Daftar pustaka
1. Ikawati Y. Pengaruh Usia Ibu Saat Hamil Terhadap Kejadian Retardasi Mental pada
Anak Usia 6-17 Tahun di Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Akademi Kebidanan
PGRI Kediri. 2021;:1-2.
2. Masrie M. Amniosentesis: Tinjauan Menyeluruh. Damianus Journal of Medicine.
2020;19(2):161-166.
3. Rodiani. Skrining Ultrasonografi pada Sindroma Down. Artikel Ilmiah Dies Natalis
FK Unila. 2015;:43-51
4. Syarif F, Lestari S. Pemeriksaan Genetik Antenatal pada Genodermatosis. Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas. 2017;44(1):45-53
5. Wicaksono H, Ariefa A, Mariana Samosir S. A-Z Sindrom Down. 1st ed. Surabaya:
Airlangga University Press; 2019.
6. Infodatin: Antara Fakta dan Harapan Sindrom Down. Jakarta: Kementerian Kesehatan
RI; 2019.
7. Della Susmitha O, Windi Perdani R, Cania Bustomi E. Sindrom Patau (Trisomi
Kromosom 13). Fakultas Kedokteran Univiersitas Lampung. 2018;7(2):288-294.
8. Santosa D. Trisomi 13 dan 18. Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung.
2011;:1-11.
9. Prita Yati N, Utari A, Tridjaja B. Diagnosis dan Tata Laksana Hipotiroid Kongenital.
1st ed. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2021.
10. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Buku ajar pediatric. Volume 1. Edisi ke-20.
Jakarta: EGC; 2006: 319-42.)

Anda mungkin juga menyukai