Anda di halaman 1dari 14

MASALAH GIZI DAN PENGARUHNYA DI INDONESIA

Yehezkiel Wira Tanisa 102017118

David Clinton Napitupulu 102018038

Batara Krisnawan Suseno 102018140

Veronica Agrippina Franesta 102018019

Yulistina 102018044

Angelique Agatha Suzanne 102018075

Michelle Amanda 102018122

Kelompok A3

Abstrak

Masalah gizi di Indonesia harus di perhatikan karena menjadi masalah terbanyak meliputi gizi
kurang atau yang mencakup susunan hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi
keseluruhan yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Menurut UNICEF dan WHO (2016: 13)
gizi merupakan faktor utama kematian anak, penyakit dan kecacatan. Faktor yang berhubungan
dengan gizi berkontribusi sekitar 45% dari kematian balita, diantaranya berat badan lahir rendah,
kurang gizi, anak yang tidak diberi Air Susu Ibu (non ASI) dan lingkungan tidak sehat. Anak
kurang gizi memiliki risiko kematian lebih tinggi akibat infeksi penyakit, seperti diare,
pneumonia dan campak. Pertumbuhan terhambat pada janin menyebabkan 12% kematian
neonatal, sementara stunting (kependekan) dan wasting (kekurusan) menyumbangkan 14% dan
20,4% sebagai penyebab kematian balita. Secara umum banyak sekali faktor yang terkait dengan
timbulnya masalah gizi, antara lain faktor asupan zat gizi dan penyakit infeksi dan berbagai
faktor lainnya, ketersediaan pangan dalam keluarga, asuhan ibu terhadap anak, dan berbagai
faktor yang lebih makro lainnya seperti faktor ekonomi, politik yang berujung pada asupan zat
gizi yang tidak sesuai dengan yang dibutuhkan, sehingga akan menyebabkan kasus gizi kurang
ataupun gizi lebih. Maka dari itu, pemerintah melaksanakan banyak program-program untuk
mengendalai masalah ini; seperti Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY), Anemia Gizi Besi
(AGB), dan Program Keluarga Berencana (KB).

Kata Kunci : Gizi, Malnutrisi, Asupan Makanan

Abstract

Nutritional problems in Indonesia must be considered because they are the most common
problems, including malnutrinion or which includes an unbalanced dish arrangement or overall
consumption that does not meet the body's needs. According to UNICEF and WHO (2016: 13)
nutrition is a major factor in child mortality, disease and disability. Factors related to nutrition
contribute about 45% of under-five mortality, including low birth weight, malnutrition, children
who are not given breast milk and an unhealthy environment. Malnourished children have a

1
higher risk of death from infectious diseases, such as diarrhea, pneumonia and measles. Growth
hidrance in the fetus causes 12% of neonatal deaths, while stunting (shortness) and wasting
(thinness) accounts for 14% and 20.4% as causes of under-five mortality. In general, there are
many factors associated with the emergence of nutritional problems, including the intake of
nutrients and infectious diseases and various other factors, the availability of food in the family,
maternal care for children, and various other more macro factors such as economic, political
factors that lead to on the intake of nutrients that are not in accordance with what is needed, so
that it will lead to cases of undernutrition or overnutrition. Therefore, the government
implemented many programs to control this problem; such as Disorders Due to Iodine
Deficiency (IDD), Iron Nutrient Anemia (INA), and Planned Parenthood Programs.

Keywords : Nutrition, Malnutrition, Diet

Pendahuluan
Masalah gizi di Indonesia harus di perhatikan karena menjadi masalah terbanyak meliputi
gizi kurang atau yang mencakup susunan hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi
keseluruhan yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Anak balita (dibawah usia 5 tahun) dan ibu
hamil serta menyusui merupakan termasuk salah satu kelompok masyarakat yang rentan gizi.
Gizi kurang (underweight) dan gizi buruk dapat menyebabkan gangguan jasmani dan kesehatan
pada balita. Kejadian gizi buruk akan menyebabkan daya tahan tubuh anak menurun dan anak
juga akan lebih mudah terkena penyakit infeksi. Gizi buruk yang terjadi pada anak apabila tidak
ditangani dengan baik dan cepat karena dapat mempengaruhi kualitas generasi selanjutnya. 1
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa prevalensi
underweight secara nasional pada balita adalah sebesar 19,6% yang terdiri dari 5,7% persen gizi
buruk dan 13,6% balita yang mengalami gizi kurang. Prevalensi ini juga melebihi target
Millenium Development Goals (MDG’s) sendiri pada tahun 2015 yaitu sebesar 15,5% untuk
underweight, sehingga perlu dilakukan upaya penurunan angka underweight untuk mencapai
target tersebut.2
Penyebab masalah gizi yang terjadi pada anak sangat beragam, diantaranya yaitu
kurangnya asupan, penyakit yang diderita, pola asuh dan masih banyak penyebab lainnya.
Apabila terjadi ketidaksesuaian antara jumlah zat gizi yang masuk dengan kebutuhan tubuh maka
akan mendorong balita mengalami masalah gizi. Salah satu masalah pola asuh anak yang dapat
menyebabkan kurang gizi adalah anak tidak ditimbang secara teratur. Penimbangan balita
biasanya dilakukan di Posyandu. Ibu yang jarang pergi ke posyandu kurang mendapatkan
informasi tentang status gizi balita, ibu juga tidak mendapat dukungan dan dorongan dari petugas

2
kesehatan untuk mengatasi permasalahan kesehatan balitanya dengan segera, manfaat lain jika
ibu rutin datang ke posyandu adalah ibu dapat memantau pertumbuhan dan perkembangan balita
yang tidak terpantau secara optimal. Di Indonesia, kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah
salah satu masalah gizi utama yang banyak dijumpai.1,2

Masalah Gizi di Masyarakat3


Pada 2010–2012, FAO memperkirakan sekitar 870 juta orang dari 7,1 miliar penduduk
dunia atau 1 dari delapan orang penduduk dunia menderita gizi buruk. Sebagian besar (sebanyak
852 juta) di antaranya tinggal di negara-negara berkembang. Anak-anak merupakan penderita
gizi buruk terbesar di seluruh dunia. Dilihat dari segi wilayah, lebih dari 70 persen kasus gizi
buruk pada anak didominasi Asia, sedangkan 26 persen di Afrika dan 4 persen di Amerika Latin
serta Karibia. Setengah dari 10,9 juta kasus kematian anak didominasi kasus gizi buruk. Sebab
gizi buruk bisa berefek ke penyakit lainnya juga, seperti campak dan malaria. Berikut laporan
UNICEF bulan Juni 2017 masalah gizi yang dialami oleh anak-anak di bawah 5 tahun yang
menderita gangguan pertumbuhan tinggi tubuh atau sering disebut “pendek” atau Stunting di
berbagai belahan dunia yang disajikan dalam bentuk diagram No.1

Gambar 1. Stunting Map Balita (UNICEF, 2017)

Dari Gambar 1 tersebut tampak bahwa benua Afrika dan Asia Selatan termasuk Indonesia masih
menderita masalah gizi yang tinggi. Secara global masalah gizi dunia dinilai dari persentase
angka stunting pada anak-anak di bawah 5 tahun. Peta tersebut menunjukkan angka rata-rata
stunting seluruh dunia adalah 22.9%. Masalah tersebut tampak bahwa Afrika dan Asia Selatan
memiliki masalah terbesar dengan persentase anak stunting berkisar antara 33.5% sampai dengan
35.8%.

3
Masalah gizi di Indonesia dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Pertama adalah masalah
yang telah dapat dikendalikan, kedua adalah masalah gizi yang belum selesai dan yang ketiga
adalah masalah baru yang mengancam kesehatan masyarakat.

 Masalah yang telah dapat dikendalikan Masalah gizi yang termasuk kelompok ini
adalah :
a. Masalah Kurang Vitamin A (KVA) : Masalah KVA dengan indikator
prevalensi Xerophtalmia pada balita, menunjukkan penurunan yang
signifikan.
b. Masalah GAKY : Penyakit yang diakibatkan kekurangan mineral Yodium
kronis, yang menyebabkan pembesaran kelenjar gondok. Diukur dengan
indikator angka Ekskresi Yodium dalam Urin (EIU)
c. Anemia Gizi Besi : Anemia adalah penyakit yang disebabkan karena keadaan
menurunnya kadar hemoglobin, hematokrit dan jumlah sel darah merah di
bawah nilai normal. Penurunan angka prevalensi masalah gizi yang signifikan
juga terjadi pada Anemia Gizi Besi anak usia 2 – 5 tahun. Dalam kurun waktu
tahun 2001 – 2011, angka prevalensi adalah 58,0% (2001), 40,2% (2004),
25,0% (2006) dan 17,6% (2011). Ambang batas masalah adalah 20%. Di
Indonesia sebagian besar anemia disebabkan karena kekurangan zat besi (Fe)
sehingga disebut anemia kekurangan zat besi atau anemia gizi besi.
 Masalah yang belum selesai (unfinished agenda)
a. Masalah gizi yang termasuk kelompok ini adalah masalah balita pendek
(stunting) dan balita gizi kurang. Prevalensi stunting tidak menunjukkan
adanya perubahan yang signifikan, yang ditunjukkan oleh hasil Riskesdas
tahun 2007, 2010, dan 2013. Untuk kategori sangat pendek terjadi sedikit
penurunan yaitu 18,8% (2007), 18,5% (2010) dan 18,0% (2013). Sedangkan
kategori pendek dari 18,0% (2007) menjadi 17,1% (2010), tetapi meningkat
menjadi 19,2% (2013).
b. Balita Gizi Kurang dan Gizi buruk adalah keadaan tubuh yang sangat parah
akibat mengalami kekurangan zat gizi dalam kurun waktu yang lama atau
kronis, dan juga disebabkan oleh infeksi penyakit-penyakit tertentu yang
menyebabkan terganggunya proses pencernaan makanan. Prevalensi Balita

4
Gizi Kurang dan Gizi Buruk juga tidak menunjukkan perubahan yang
signifikan. Hasil Riskesdas tahun 2007, 2010, dan 2013 menunjukkan untuk
kategori gizi kurang cenderung meningkat yaitu dari 13,0% (2007 dan 2010),
menjadi 13,9% (2013). Sedangkan kategori Gizi Buruk dari 5,4% (2007)
menjadi 4,9% (2010), tetapi pada 2013 meningkat menjadi 5,7%.
 Masalah baru yang mengancam kesehatan masyarakat (emerging problem)
Kegemukan akan menjadi faktor risiko yang dapat memicu timbulnya gangguan
metabolic dan timbulnya penyakit degeneratif sebagai dampaknya pada usia
selanjutnya. Masalah gizi yang saat ini dikategorikan sebagai ancaman baru adalah
kegemukan/obesitas, baik pada kelompok usia balita maupun remaja.

Faktor Penyebab Masalah Gizi

Menurut UNICEF dan WHO (2016) gizi merupakan faktor utama kematian anak,
penyakit dan kecacatan. Faktor yang berhubungan dengan gizi berkontribusi sekitar 45% dari
kematian balita, diantaranya berat badan lahir rendah, kurang gizi, anak yang tidak diberi Air
Susu Ibu (non ASI) dan lingkungan tidak sehat. Anak kurang gizi memiliki risiko kematian lebih
tinggi akibat infeksi penyakit, seperti diare, pneumonia dan campak. Pertumbuhan terhambat
pada janin menyebabkan 12% kematian neonatal, sementara stunting (kependekan) dan wasting
(kekurusan) menyumbangkan 14% dan 20,4% sebagai penyebab kematian balita. UNICEF
(1998: 24-29) mengembangkan konsep bahwa masalah kurang gizi disebabkan oleh penyebab
langsung, pokok masalah tingkat rumah tangga dan akar masalah.4

1. Penyebab langsung
Kurang gizi secara langsung disebabkan oleh kurangnya konsumsi makanan dan adanya
penyakit infeksi.
2. Tingkat rumah tangga
Pada tingkat rumah tangga, kurang gizi disebabkan oleh rendahnya ketahanan pangan
rumah tangga, perawatan ibu dan anak tidak memadai, praktik pemberian makanan dan
perilaku, air yang buruk, sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan tidak memadai.
Perawatan penting bagi anak meliputi pengasuhan pemberian makan, kesehatan,

5
kebersihan, stimulasi kognitif, dan praktik menyusui, sedangkan bagi ibu adalah
perawatan selama kehamilan (antenatal care) dan menyusui.
3. Akar masalah
Kemiskinan merupakan penyebab pokok akar masalah kurang gizi dikaitkan dengan
pendapatan, dimana makin kecil pendapatan penduduk, semakin tinggi persentase anak
kurang gizi. Rendahnya tingkat pendapatan keluarga, berdampak terhadap rendahnya
daya beli keluarga tersebut, sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan
yang tersedia dalam rumah tangga dan pada akhirnya mempengaruhi asupan zat gizi.

Faktor yang mempengaruhi gizi seseorang adalah sebagai berikut:5


 Faktor lingkungan
Lingkungan yang buruk seperti air minum yang tidak bersih, tidak adanya saluran
penampungan air limbah, tidak menggunakan kloset yang baik, juga kepadatan penduduk
yang tinggi dapat menyebabkan penyebaran kuman patogen. Lingkungan yang
mempunyai iklim tertentu berhubungan dengan jenis tumbuhan yang dapat hidup
sehingga berhubungan dengan produksi tanaman.
 Faktor Ekonomi
Di negara yang secara ekonomis kurang berkembang, sebagian besar penduduknya
berukuran lebih pendek karena gizi yang tidak mencukupi dan pada umumnya
masyarakat yang berpenghasilan rendah mempunyai ukuran badan yang lebih kecil.
Masalah gizi di negara-negara miskin yang berhubungan dengan pangan adalah mengenai
kuantitas dan kualitas. Kuantitas menunjukkan penyediaan pangan yang tidak
mencukupi kebutuhan energi bagi tubuh. Kualitas berhubungan dengan kebutuhan tubuh
akan zat gizi khusus yang diperlukan untuk pertumbuhan, perbaikan, jaringan, dan
pemeliharaan tubuh dengan segala fungsinya.
 Faktor Sosial Budaya
Indikator masalah gizi dari sudut pandang sosial budaya antara lain stabilitas keluarga
dengan ukuran frekuensi nikah-cerai-rujuk, anak-anak yang dilahirkan di lingkungan
keluarga yang tidak stabil akan sangat rentan terhadap penyakit gizi kurang. Juga
indikator demografi yang meliputi susunan dan pola kegiatan penduduk, seperti
peningkatan jumlah penduduk, tingkat urbanisasi, jumlah anggota keluarga, serta jarak
kelahiran.

6
Tingkat pendidikan juga termasuk dalam faktor ini. Tingkat pendidikan berhubungan
dengan status gizi karena dengan meningkatnya pendidikan seseorang, kemungkinan
akan meningkatkan pendapatan sehingga dapat meningkatnya daya beli makanan.
 Faktor Biologis/Keturunan
Sifat yang diwariskan memegang kunci bagi ukuran akhir yang dapat dicapai oleh anak.
Keadaan gizi sebagian besar menentukan kesanggupan untuk mencapai ukuran yang
ditentukan oleh pewarisan sifat tersebut. Di negara-negara berkembang memperlihatkan
perbaikan gizi pada tahun-tahun terakhir mengakibatkan perubahan tinggi badan yang
jelas.
 Faktor Religi
Religi atau kepercayaan juga berperan dalam status gizi masyarakat, contohnya seperti
tabu mengkonsumsi makanan tertentu oleh kelompok umur tertentu yang sebenarnya
mkanan tersebut justru bergizi dan dibutuhkan oleh kelompok umur tersebut. Seperti ibu
hamil yang tabu mengonsumsi ikan.

Keterkaitan Faktor konsumsi pangan dan keadaan infeksi dengan masalah gizi
undernutrition
Secara umum banyak sekali faktor yang terkait dengan timbulnya masalah gizi, antara
lain faktor asupan zat gizi dan penyakit infeksi dan berbagai faktor lainnya, ketersediaan pangan
dalam keluarga, asuhan ibu terhadap anak, dan berbagai faktor yang lebih makro lainnya seperti
faktor ekonomi, politik yang berujung pada asupan zat gizi yang tidak sesuai dengan yang
dibutuhkan, sehingga akan menyebabkan kasus gizi kurang ataupun gizi lebih.6
Masalah Gizi merupakan akibat dari berbagai faktor yang saling terkait. Pada gambar 1
dijelaskan penyebab masalah gizi anak. Terdapat dua faktor langsung yang mempengaruhi status
gizi individu, yaitu faktor makanan dan penyakit infeksi, keduanya saling mempengaruhi. Faktor
penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi prinsip gizi
seimbang. Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang terkait dengan
tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan.6
Faktor penyebab langsung pertama adalah konsumsi makanan yang tidak memenuhi
jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang yaitu beragam, sesuai
kebutuhan, bersih, dan aman. Pada tingkat makro, konsumsi makanan individu dan keluarga

7
dipengaruhi oleh ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh tingkat produksi dan distribusi
pangan. Ketersediaan pangan beragam sepanjang waktu dalam jumlah yang cukup dan harga
terjangkau oleh semua rumah tangga sangat menentukan ketahanan pangan di tingkat rumah
tangga dan tingkat konsumsi makanan keluarga. Khusus untuk bayi dan anak telah
dikembangkan standar emas makanan bayi yaitu: (a) inisiasi menyusu dini. (b) memberikan ASI
eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan. (c) pemberian makanan pendamping ASI yang berasal
dari makanan keluarga, diberikan tepat waktu mulai bayi berusia 6 bulan. (d) ASI terus diberikan
sampai anak berusia 2 tahun.6
Faktor penyebab langsung kedua adalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan
tingginya kejadian penyakit menular dan buruknya kesehatan lingkungan. Berbagai penyakit
infeksi yang sering menyerang balita seperti batuk, diare, sulit bernapas, sakit telinga, menangis
berlebihan, demam, kejang, ruam, sakit perut serta muntah. Faktor ini banyak terkait mutu
pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkungan hidup dan perilaku hidup
sehat. Kualitas lingkungan hidup terutama adalah ketersediaan air bersih, sarana sanitasi dan
perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air besar di jamban,
tidak merokok, sirkulasi udara dalam rumah dan sebagainya.6
Faktor lain yang juga berpengaruh yaitu ketersediaan pangan di keluarga, khususnya
pangan untuk bayi 0—6 bulan (ASI Eksklusif) dan 6—23 bulan (MP-ASI), dan pangan yang
bergizi seimbang khususnya bagi ibu hamil. Semuanya itu terkait pada kualitas pola asuh anak.
Pola asuh, sanitasi lingkungan, akses pangan keluarga, dan pelayanan kesehatan, dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan, pendapatan, dan akses informasi terutama tentang gizi dan kesehatan. 6

8
Gambar 2. Kerangka berpikir masalah gizi

Keterkaitan Faktor Pelayanan Kesehatan, Sosial-Ekonomi dan Budaya dengan masalah


gizi6
 Faktor Pelayanan Kesehatan dengan Masalah Gizi
Secara umum tujuan utama pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan
preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran
masyarakat. Namun secara terbatas pelayanan kesehatan masyarakat juga melakukan
pelayanan kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan). Oleh karena ruang lingkup
pelayanan kesehatan masyarakat menyangkut kepentingan rakyat banyak, dengan
wilayah yang luas dan banyak daerah yang masih terpencil, sedangkan sumber daya
pemerintah baik tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan sangat terbatas, maka sering
program pelayanan kesehatan tidak terlaksanakan dengan baik. Berkaitan dengan
perannya sebagai faktor penyebab tidak langsung timbulnya masalah gizi, selain sanitasi
dan penyediaan air bersih, kebiasaan mencuci tangan dengan sabun, buang air besar di
jamban, tidak merokok dan memasak di dalam rumah, sirkulasi udara dalam rumah yang
baik, ruangan dalam rumah terkena sinar matahari dan lingkungan rumah yang bersih.
 Faktor Sosial-Budaya dengan Masalah Gizi
Sebagai masalah kesehatan, menangani masalah gizi tidak dapat hanya dilakukan
dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah
gizi dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, kurangnya persediaan pangan,
sanitasi yang buruk, minimnya pengetahuan gizi dan pola asuh anak, serta perilaku buruk
dalam mengkonsumsi makanan dikalangan masyarakat. Pola konsumsi makanan sendiri
sangat dipenuhi oleh budaya setempat.
Berbeda lokasi berbeda pula cara masyarakat mendefinisikan makanan dan
kecukupan gizi serta menentukan pola makan. Orang Jawa belum merasa makan sebelum
makan nasi, orang Papua terbiasa makan berat dengan makan sagu. Tidak jarang
masyarakat kita menganggap kalau belum mengonsumsi nasi belum dianggap makan.
Pola pikir masyarakat masih beranggapan bahwa kebutuhan makan adalah dengan
memakan makanan yang tinggi atau kaya karbohidrat tanpa mempertimbangkan

9
kecukupan gizi yang seimbang ini menunjukkan bahwa aspek sosial budaya masih
mendominasi perilaku dan kebiasaan makan yang masyarakat Indonesia.

Sementara masalah gizi terjadi di banyak tempat di berbagai daerah di Indonesia,


hanya sebagian pihak yang memandangnya sebagai fenomena sosial. Sebagian lain masih
menganggap hal ini sebagai fenomena kesehatan semata. Tidak banyak yang menyadari
luasnya dimensi masalah gizi dapat meliputi masalah lingkungan dan ketersediaan
pangan, pola asuh dan pendidikan, kondisi ekonomi dan budaya.

 Faktor Ekonomi

Hal mendasar dalam diagram tersebut adalah krisis politik dan ekonomi yang
pada akhirnya dapat menyebabkan timbulnya masalah gizi. Dengan mengacu pada Dasar
pembangunan nasional, tujuan pembangunan nasional, sebagaimana yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: Melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Ketidakcakapan para pemimpin
dalam mengelola negara akan berdampak pada rendahnya mutu pendidikan, rendahnya
kualitas sumber daya manusia, menyebabkan negara tidak mampu membuka lapangan
kerja, yang berdampak pada tingginya pengangguran, dan mengakibatkan munculnya
kemiskinan. Keadaan masyarakat yang terdidik dan memiliki status ekonomi yang baik,
akan jauh lebih mampu menyediakan pangan, mengasuh anak anaknya serta menjangkau
pelayanan kesehatan yang baik, yang pada akhirnya mencapai tingkat status gizi yang
baik.

Program Pangan dan Gizi di Indonesia


Beberapa program termasuk :
1. Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY)
Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) di Indonesia merupakan salah satu
masalah kesehatan yang serius bagi masyarakat mengingat dampaknya sangat besar
terhadap kesehatan dan kecerdasan yang mempengaruhi kelangsungan hidup serta
kualitas sumber daya manusia. Masalah GAKY di Indonesia disebabkan karena
10
kurangnya cakupan konsumsi garam beryodium yang memenuhi syarat oleh rumah
tangga atau masyarakat. Hal ini didasarkan pada rendahnya pengetahuan masyarakat
tentang pentingnya garam beryodium bagi kesehatan dan kecerdasan manusia. Semua
gangguan ini dapat berakibat pada rendahnya prestasi belajar anak usia sekolah,
rendahnya produktivitas kerja pada orang dewasa serta timbulnya berbagai permasalahan
sosial ekonomi masyarakat yang dapat menghambat laju Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) di Indonesia.
Upaya penanggulangan GAKY jangka panjang yaitu dengan suplementasi
yodium melalui yodisasi garam, pemberian minyak beryodium secara berkala, fortifikasi
air, makanan atau bumbu-bumbu (saus) dengan yodium dibeberapa provinsi, namun
upaya penanggulangan GAKY jangka pendek dilakukan dengan distribusi garam
beryodium di daerah endemik sedang dan endemik berat serta peningkatan proporsi
rumah tangga yang mengkonsumsi garam dengan kandungan yodium yang cukup. Garam
beryodium telah terbukti merupakan upaya yang murah dan efisien dalam menangani
defisiensi yodium.6
2. Anemia Gizi Besi
Anemia gizi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi
untuk proses pembentukan sel darah merah, karena cadangan zat besi kosong sehingga
pembentukan hemoglobin berkurang. World Health Organization (WHO) menyatakan
bahwa anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di seluruh dunia terutama di
negara berkembang. Sebanyak 30% penduduk dunia diperkirakan menderita anemia
terutama remaja dan ibu hamil. Prevalensi anemia remaja di dunia berkisar 40-88%. 7
Data Riskesdas 2013 menyatakan prevalensi anemia di Indonesia yaitu 21,7% dengan
penderita anemia berusia 5-14 tahun sebesar 26,4% dan 18,4% pada penderita berusia 15-
24 tahun.
Pemerintah Indonesia telah mencanangkan program pencegahan dan
penanggulangan anemia pada remaja putri dengan memberikan suplementasi zat besi-
folat atau yang dikenal dengan tablet tambah darah (TTD) sejak tahun 1997 yang
diberikan secara harian saat remaja putri berada dalam periode menstruasi. 8 Sejak tahun
2016 pemerintah Indonesia menyesuaikan dengan program pemberian TTD yang
dicanangkan WHO tahun 2011 yaitu diberikan sepekan sekali berbasis sekolah.

11
Pemberian TTD berbasis sekolah didasarkan pada proporsi remaja putri yang bersekolah
sekitar 70 persen.9
3. Program KB10
Keluarga Berencana atau yang lebih akrab disebut KB adalah program skala
nasional untuk menekan angka kelahiran dan mengendalikan pertambahan penduduk di
suatu negara. Sebagai contoh, Amerika Serikat punya program KB yang disebut dengan
Planned Parenthood. Program KB juga secara khusus dirancang demi menciptakan
kemajuan, kestabilan, dan kesejahteraan ekonomi, sosial, serta spiritual setiap
penduduknya. Program KB di Indonesia diatur dalam UU N0 10 tahun 1992, yang
dijalankan dan diawasi oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN).
Tujuan dari program KB adalah :
o Membentuk keluarga kecil sejahtera, sesuai dengan kondisi ekonomi keluarga
tersebut
o Mencanangkan keluarga kecil dengan cukup 2 anak
o Mencegah terjadinya pernikahan di usia dini
o Menekan angka kematian ibu dan bayi akibat hamil di usia yang terlalu muda atau
terlalu tua, atau akibat penyakit sistem reproduksi.
o Menekan jumlah penduduk serta menyeimbangkan jumlah kebutuhan dengan
jumlah penduduk di Indonesia.
Manfaat Program KB untuk program pangan dan gizi di Indonesia :
a. Mendorong kecukupan ASI dan pola asuh yang baik bagi anak
Dengan program KB, suami istri dapat merencanakan waktu kehamilan
dengan tepat. Hal ini erat kaitannya dengan kecukupan ASI dan pola asuh anak.
Idealnya, jarak anak pertama dan kedua antara 3–5 tahun
Dengan jarak waktu ini, anak pertama bisa mendapatkan manfaat ASI
dengan maksimal, yaitu dari ASI eksklusif dan ASI hingga 2 tahun. Tidak hanya
itu, anak juga jadi bisa mendapatkan perhatian penuh dari orang tuanya selama
masa perkembangannya. Kedua hal ini tentu akan sangat berdampak positif
untuknya.
b. Mencegah penyakit menular seksual

12
Meski dilakukan antar suami istri, hubungan seksual tidak terlepas dari
risiko terjadinya penyakit menular seksual, seperti sifilis, gonore, hingga
HIV/AIDS. Namun, hal ini bisa dicegah dengan penggunaan alat kontrasepsi,
seperti kondom.Menurunkan angka kematian ibu dan bayi
c. Menurunkan risiko kematian ibu dan bayi.
Kasus ini masih sering dijumpai di masyarakat, terutama pada kehamilan
yang berisiko tinggi mengalami komplikasi, seperti pada wanita berusia lebih 35
tahun, wanita yang memiliki penyakit kronis tertentu, dan wanita yang baru saja
melahirkan.
d. Menjaga kesehatan ibu dan bayi
Program kehamilan yang direncanakan dengan matang akan memberikan
dampak baik bagi kesehatan ibu dan bayi. Selain itu, program KB juga
memberikan pengarahan mengenai langkah-langkah untuk menjaga kesehatan
ibu dan bayinya, baik sebelum maupun setelah melahirkan.
e. Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan
Suami dan istri yang tidak menjalankan program KB berisiko mengalami
kehamilan yang tidak direncanakan. Misalnya, perempuan di atas 35 tahun dan
belum menopause yang melakukan hubungan intim tanpa alat kontrasepsi bisa
saja hamil. Namun kehamilan ini berisiko tinggi dan bisa berdampak fatal pada
ibu dan bayi.
Begitu juga dengan kehamilan yang terlalu dini setelah melahirkan.
Misalnya, seorang wanita bisa saja melahirkan ketika anak pertama masih
berusia di bawah 1 tahun. Pada kondisi ini, ibu tidak mendapatkan pemulihan
yang utuh setelah melahirkan anak sebelumnya. Hal ini bisa berdampak pada
kesehatan fisik maupun mental ibu.

Kesimpulan
Masalah gizi merupakan masalah kesehatan yang diderita oleh banyak Negara, terutama
Negara berkembang. Masalah gizi di Indonesia dikelompokkan menjadi tiga, yaitu masalah
yang telah dapat dikendalikan, masalah gizi yang belum selesai dan masalah baru yang
mengancam kesehatan masyarakat. Banyak sekali faktor yang terkait dengan timbulnya masalah

13
gizi, yang dikelompokkan mulai dari akar masalah, penyebab utama, penyebab tak langsung dan
penyebab langsung. Maka dari itu pemerintah membuat rencana aksi nasional pangan dan gizi
yang berguna untuk menekan angka masalah gizi di Indonesia.

Daftar Pustaka
1. Notoatmodjo S. Ilmu kesehatan masyarakat. Edisi ke-2. Jakarta: Rineka Cipta. 2011.
h.223-82.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan RI. Riset kesehatan dasar.
Bakti Husada. 2013. H.211
3. Laila W, Harleni, Triana D. Hubungan Pengetahuan Ibu, Asupan (Makronutrien dan
Mikronutrien) dengan Status Gizi pada Balita Usia 12-24 Bulan Kelurahan Aia Pacah
Wilayah Kerja Puskesmas Air Dingin Padang 2018. Pros Semin Kesehatan Perintis.
2018;1(2):65–72.
4. Nutrition [Internet]. Unicef.org. 2021 [cited 24 September 2021]. Available from:
https://www.unicef.org/indonesia/nutrition
5. Zulfianto NA, Rachmat M. Surveilans Gizi. Kementerian Kesehatan RI. 2017. H. 13-46.
6. Depkes, RI. 2004. Peningkatan Konsumsi Garam Beryodium, Direktorat Bina Gizi
Masyarakat; Depkes, RI. 2000. Pedoman Distribusi Kapsul Minyak Beryodium,
Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
7. [Internet]. Apps.who.int. 2021 [cited 25 September 2021]. Available from:
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/205656/B4770.pdf;sequence=1
8. Permatasari T, Briawan D, Madanijah S. E fektivitas Program Suplementasi Zat Besi
pada Remaja Putri di Kota Bogor Effectiveness of Iron Supplementation Programme in
Adolescent girl at Bogor City. Media Kesehat Masy Indones. 2018;14(1):1–8.
9. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional, Badan Pusat Statistik Republik
Indonesia. Survei Demografi dan Kesehatan:Kesehatan Remaja 2017. 2017.
10. Kenali Tujuan dan Manfaat Program Keluarga Berencana – DPPKBPMD Bantul
[Internet]. Dppkbpmd.bantulkab.go.id. 2021 [cited 25 September 2021]. Available from:
https://dppkbpmd.bantulkab.go.id/kenali-tujuan-dan-manfaat-program-keluarga-
berencana/

14

Anda mungkin juga menyukai