Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hakikat pembangunan nasional adalah pembengunan manusia Indonesia

seutuhnya. Untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, banyak

faktor yang harus diperhatikan antara lain faktor gizi, kesehatan, pendidikan,

informasi, tekanologi dan jasa pelayanan lainnya. Dari sekian banyak faktor

tersebut unsur gizi memiliki peranan penting. Kekurangan gizi akan

mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang

mengakibatkan seseorang sulit menerima pendidikan apalagi menguasai

teknologi. Beragam masalah kekurangan gizi dijumpai diberbagai Negara

berkembang. Yaitu kekurangan energy protein, kurang vitamin A, kurang

yodium dan kurang zat besi, anemia gizi besi dan gizi lebih.

Upaya perbaikan gizi masyarakat sebagaimana disebutkan didalam

undang- undang no. 36 tahun 2009 bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi

perseorangan dan masyarakat antara lain melalui perbaikan pola konsumsi

makanan, perbaikan perilaku sadar gizi dan peningkatan akses dan mutu

pelayanan gizi dan kesehatan sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi

(Kemenkes RI, 2010).

Gizi buruk adalah suatu kondisi dimana seseorang dinyatakan kekurangan

nutrisi, berupa protein ,lemak, dan vitamin, di tandai dengan dengan berat

badan balita hanya mencapai 60 persen atau kurang dari berat badan normal

persen. (Profil Kesehatan Kota Batam Tahun 2014).


Kurang gizi pada anak bisa terjadi di usia balita ( bawah lima tahun).

Pedoman untuk mengetahui anak kurang gizi adalah dengan melihat berat dan

tinggi badan yang kurang dari normal. Jika tinggi badan si anak tidak terus

bertambah atau kurang dari normal, itu menandakan bahwa kurang gizi pada

anak tersebut sudah berlangsung lama. Petugas kesehatan harus mengerti

masalah- masalah yang berkaitan dengan kurang gizi pada anak , karena masih

merupakan masalah kesehatan dan dapat mendorong para ibu untuk dapat

memberikan makanan bergizi pada anak- anak mereka (Maryunani, 2010).

Anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur 12 sampai

dengan 59 bulan. Kebutuhan gizi pada balita disesuaikan dengan kecukupan

gizi yang di anjurkan disesuaikan dengan kelompok umur dan kemampuan

anak balita menerima makanan yang diberikan. Anak usia dibawah lima tahun

atau balita termasuk golongan muda terganggu. Pemenuhan dan

perkembangan pada golongan balita dipengaruhi oleh keturunan dan faktor

lain yang terkait seperti faktor lingkungan, penyakit, keadaan gizi baik

ataupun buruk serta sosial ekonomi (Proverawati A, 2009).

Menurut hasil United Nations International Children’s Emergency Fund

(UNICEF) Wordld Health Organization (WHO) The World Bank Joint child

malnutrition estimates 2012, diperkirakan 165 juta anak usia di bawah lima

tahun di seluruh dunia mengalami gizi buruk dan mengalami penurunan di

bandingkan dengan tahun 1990 sebanyak 253 juta. Tingkat prevalensi gizi

buruk tinggi di kalangan anak di bawah usia lima tahun terdapat di Afrika
(36%) dan Asia (27%), dan sering belum diakui sebagai masalah kesehatan

masyarakat (Kesmas,2013).

Gangguan pertumbuhan akibat gizi buruk tidak hanya terjadi di daerah

yang kurang pangan. Tidak hanya juga terjadi pada keluarga dengan kondisi

sosial ekonomi rendah. Bahkan di daerah penghasil pangan masih terjadi

kasus gizi buruk. Pun di perkotaan dan ditengah keluarga dengan kondisi

sosial ekonomi menengah. Penyebab gizi kurang dan gizi buruk dapat dipilah

menjadi tiga hal, yaitu: pengetahuan dan perilaku serta kebiasaan makan;

penyakit infeksi; ketersediaan pangan (Kemenkes RI, 2014).

Di ASEAN, malnutrisi merupakan salah satu penyebab kematian balita.

Hal ini dibuktikan dengan data dari tahun 2011 yang mengatakan bahwa

jumlah balita gizi buruk di ASEAN meningkat. Prevalensi balita menurut

status gizi stuting di 10 negara ASEAN dan 11 negara SEAR. Tiga angka

prevalensi tertinggi di ASEAN adalah Laos (48%), Kamboja (40%), dan

Indonesia (36%). Negara kawasan SEAR prevalensi stuting terbanyak terdapat

di Timur Leste (58%), diikuti Laos dan India (masing-masing 48%) serta

Nepal (41%) (Kepmenkes RI,2011).

Dampak dari keadaan gizi buruk menyebabkan gangguan pertumbuhan

dan perkembangan fisik maupun mental, mengurangi tingkat kecerdasan,

kreativitas dan produktifitas penduduk. Kejadian gizi buruk tidak terjadi

secara akut tetapi ditandai dengan kenaikan berat badan anak yang tidak cukup

selama beberapa bulan sebelumnya yang bisa diukur dengan melakukan

penimbangan secara bulanan.Sebagian besar kasus gizi kurang dan gizi buruk
dengan tatalaksana gizi buruk dapat dipulihkan di puskesmas maupun rumah

sakit (Depkes, 2012).

Secara nasional upaya pencegahan gizi buruk dilakukan melalui 3 tahap.

Dalam jangka pendek, dilaksanakan tatalaksana penanggulangan gizi buruk

mencakup sistem kewaspadaan dini secara intensif, pelacakan kasus dan

penemuan kasus baru serta menangani kasus gizi buruk dengan perawatan di

puskesmas dan posyandu dengan mengaktifkan kegiatan preventif dan

promotif, meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan termasuk

tatalaksana gizi buruk bagi petugas rumah sakit dan puskesmas perawatan

serta pemberdayaan keluarga di bidang ekonomi, pendidikan dan ketahanan

pangan. Dalam jangka panjang, dilakukan dengan mengintegrasikan program

perbaikan gizi dan ketahanan pangan dalam program penanggulangan

kemiskinan dan pemberdayaan keluarga untuk menerapkan perilaku sadar gizi

(Depkes RI, 2012).

Menurut Emmi (2012) dengan judul peran ibu dalam pemenuhan gizi

balita di Desa siborong-borong Kabupaten Humbang Hasundutan didapatkan

peran ibu kuran terhadap pemenuhan gizi pada balita disebakan karna

pekerjaan ibu sebagai ibu rumah tangga atau tidak bekerja sebesar 65,7%

(Emmi, 2012).

Jumlah penderita gizi buruk pada balita dari 16 puskesmas di Kota Batam

tahun 2014 sebanyak 388 balita penderita gizi buruk. Data balita penderita gizi

buruk tahun 2014 terbanyak di puskesmas Sei Pancur yang berjumlah 68


balita dan terbanyak kedua di puskesmas Batu Aji berjumlah 55 balita (Data

Profil Dinas Kesehatan Kota Batam,2014).

Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis tertarik melakukan

penelitian yang berjudul “gambaran konsumsi makanan pada balita dengan

status gizi buruk di puskesmas “x” tahun 2016”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian ini

adalah “ Bagaimanakah gambaran konsumsi makanan pada balita dengan

status gizi buruk di puskesmas “x” tahun 2016”?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui gambaran Untuk mengetahui gambaran konsumsi makanan

pada balita dengan status gizi buruk di puskesmas “x” tahun 2016
Penyakit diare hingga saat kini masih merupakan salah satu penyakit utama

pada bayi dan anak di Indonesia. Diperkirakan angka kesakitan berkisar antara

150- 430 perseribu penduduk setahunnya. Hippocrates mendefnisikan diare

sebagai pengeluaran tinja yang tidak normaldan cair. Di bagian ilmu

kesehatan anak FKUI/ RSCM, diare diartikan sebagai buang air besar yang

tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari

biasanya (Yulianti, 2010)

berdasakan catatan World Health Organization (WHO), pada tahun 2013 diare

merupakan penyakit ke dua yang menyebabkan kematian pada anak-anak

balita (bawah lima tahun). Anak-anak yang mengalami kekurangan gizi atau

system imun yang kurang baik seperti pada orang dengan HIV sangat rentan

terserang penyakit diare. Diare sudah membunuh 760.000 anak setiap

tahunnya, sebagian besar orang diare yang meninggal dikarenakan terjadinya

dehidrasi atau kehilangan cairan dalam jumlah yang besar.

Berdasarkan profil Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

2011. Pada tahun 2009 dilaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) diare di

Indonesia dengan jumlah penderita sebanyak 5,756 atau sebesar 1,74 %,

tahun 2010 sebanyak 4,204 atau sebanyak 1,74%. data terakhir pada tahun

2011 kejadian diare sebanyak 3,003 atau sebanyak 0,40% Dari hasil data

kejadian diare tahun 2009 – 2011 terjadi penurunan angka kejadiannya

(Zulkarnaen, 2014).
Berdasarkan data profil dinas kesehatan kota batam tahun 2015di

perkirakan selama tahun 2014 terdapat 24.298 kasus diare d kota batam

atau 21,4 per 1.000 penduduk. Namun jumlah kasus yang datang atau di

temukan dan di tangani oleh petugas kesehatan sebanyak 10.347 kasus

atau 42,6% dari perkiraan kasus diare. Seluruh kasus diare tersebut atau

100% kasus dapat di tangani dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai