Anda di halaman 1dari 34

PENDAHULUAN

Krisis tiroid merupakan kondisi kedaruratan medik yang dapat membahayakan


nyawa sehingga membutuhkan diagnosis cepat dan penanganan darurat yang tepat.
Kondisi medik ini bermanifestasi sebagai kegagalan multi organ dengan gejala-gejala
seperti penurunan kesadaran, demam tinggi, gagal jantung, diare, dan ikterus.1 Krisis
tiroid berhubungan dengan adanya kondisi klinis akut yang memicu perburukan
gejala hipertiroidisme. Kondisi tersebut dapat dapat berupa obat seperti amiodaron,
sorefenib dan ipilimumab, tindakan operasi, terapi radioiodin, stroke, trauma, dan
bahkan infeksi dapat menjadi pemicu terjadinya krisis tiroid. Keadaan langka seperti
tiroiditis destruktif, toxic multinodular goiter, adenoma, mola hidatidosia dan
karsionoma tiroid yang bermetastase dapat memicu krisis tiroid.2,3

Prevalensi kasus hipertiroidisme berkisaran dari 0.2 % sampai 1.3% di daerah


dengan kebutuhan iodin yang terpenuhi di seluruh dunia. Pada tahun 1977, penelitian
United Kingdom (UK) Whickman melaporkan insidensi hipertiroidisme berkisaran
antara 100 sampai 200 kasus per 100.000 populasi setiap tahun. Insidensi tersebut
disertai dengan prevalensi 2.7% di wanita dan 0.23% di laki-laki. Pada tahun 2002,
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh United States National Health and
Nutrition Examination Survey (NHANES III), didapatkan bahwa kasus
hipertiroidisme berkisaran 0.5% dari populasi umum dan kasus hipertiroidisme
subklinik berkisaran 0.7% dari populasi umum.4 Krisis tiroid terjadi pada 1%-2%
kasus hipertiroid. Berdasarkan Japanese National Survey, insidensi krisis tiroid
terjadi pada 0.2 % per 100.000 populasi setiap tahun, dan sekitar 0.22% dari semua
pasien tirotoksikosis. Pasien yang mengalami krisis tiroid berusia rata-rata 42 sampai
43 tahun. Rasio jenis kelamin laki-laki berbanding dengan wanita pada krisis tiroid
yaitu 1:3.5

Sekitar 20% pasien mengalami krisis tiroid sebelum menerima terapi antitiroid.
Pasien juga dapat mengalami krisis tiroid jika tidak taat dalam mengikuti pengobatan
antitiroid. Krisis tiroid sering berhubungan dengan penyakit grave. Kematian karena

1
krisis tiroid saat ini tidak sesering pada masa lalu, terutama jika dapat didiagnosis
lebih awal dan diterapi secara agresif di ruangan perawatan intensif. Namun saat ini
tingkat mortalitas masih berkisaran dari 10% hingga 25%. Di Jepang tingkat
mortalitas lebih dari 10%. Kematian pada krisis tiroid dapat disebabkan karena gagal
jantung, syok, hipertermia, kegagalan multiorgan, atau komplikasi lainnya. Walaupun
pasien dapat diselamatkan namun beberapa di antaranya mengalami kerusakan
permanen seperti kerusakan otak, penyakit serebrovaskular, insufisiensi renal, dan
psikosis.6

Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus krisis tiroid pada seorang wanita yang
dirawat inap pada tanggal 10 Maret 2019 di Rumah Sakit Umum Pusat Prof. dr. R.
D. Kandou Manado.

KASUS

Seorang pasien Nn. HA, usia 19 tahun, suku Minahasa, pendidikan terakhir
SMA, pasien belum menikah. Pasien masuk lewat instalasi gawat darurat di Rumah
Sakit Umum Pusat Prof. dr. R. D Kandou Manado pada tanggal 10 Maret 2019
dengan keluhan berdebar-debar sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Berdebar-
debar dirasakan terus menerus terjadi bahkan saat pasien beristirahat. Sebelumnya
pasien mengeluhkan adanya demam sejak kurang lebih 3 hari sebelum masuk rumah
sakit, demam dirasakan terus menerus dan turun dengan pemberian obat penurun
panas. Pasien juga mengeluh adanya mata kuning dan juga keluhan mual disertai
dengan muntah. Muntah terjadi dengan frekuensi 3 kali sehari dengan tiap kali
muntah volumenya kurang lebih setengah gelas aqua. Pasien juga mengeluh adanya
buang air besar cair dengan frekuensi kurang lebih 4 kali sehari dengan volume
kurang lebih setengah gelas aqua. Penurunan berat badan terjadi pada pasien dalam
dua bulan terakhir ini kira-kira sebanyak 10 kg. Buang air kecil tidak ada keluhan.
Pasien juga sebelumnya dibawa ke rumah sakit Ratahan dan kemudian dirujuk ke
RSUP Prof. dr. R. D Kandou, Pasien memiliki riwayat penyakit tiroid yang

2
diketahuinya sejak tanggal 12-12-2018, pasien sebelumnya sudah kontrol di poli
endokrinologi dan sudah diberikan thiamazol 20 mg tiap 12 jam dan propanol 10 mg
tiap 8 jam. Tetapi pasien sudah berhenti minum obat sejak 9 hari sebelum masuk
rumah sakit. Riwayat darah tinggi, dan penyakit gula disangkal oleh pasien, Riwayat
alergi makanan dan obat disangkal oleh pasien, Tidak ada yang sakit seperti pasien
dalam keluarga.

Hasil pemeriksaan fisik tampak sakit berat, kesadaran kompos mentis. Tekanan
darah 150/70 mmHg, nadi 150 kali per menit, teratur, isi cukup, pernapasan 24 kali
per menit, dan suhu badan 37.80C. Tinggi badan 160 cm dan berat badan 40 kg, IMT
15,62 kg/m2 dengan status gizi underweight. Pada pemeriksaan kepala didapatkan
konjungtiva tidak anemis dan sklera ikterik. Pada pemeriksaan leher teraba massa di
regio servikal anterior yang tidak bernodul dan mengikuti pergerakan menelan diduga
pembesaran kelenjar tiroid dan tidak ada pembesaran kelenjar getah bening di leher.
Thoraks simetris pada keadaan statis dan dinamis, fremitus raba kanan dan kiri
normal, auskultasi paru suara paru vesikular simetris kiri dan kanan, tidak ditemukan
adanya ronki dan wheezing di paru kanan dan kiri. Pada pemeriksaan jantung tidak
terlihat iktus kordis, iktus kordis teraba namun tidak terdapat thrill maupun heave,
pada auskultasi jantung didapatkan bunyi jantung 1 dan 2 normal, regular dengan
frekuensi jantung 150 kali per menit, murmur dan gallop tidak ditemukan. Pada
pemeriksaan abdomen didapatkan datar, bising usus 10 kali per menit, pada palpasi
teraba lemas dengan nyeri tekan pada daerah suprapubik, perkusi didapatkan bunyi
timpani. Pemeriksaan ekstremitas atas dan ekstremitas bawah didapatkan akral
hangat, deformitas tidak ada, capillary refill time kurang dari 2 detik. Pada pasien
dilakukan perhitungan skor Burch Wartofsky dan didapatkan suhu badan 37.80C
dengan nilai skor 5, pada penilaian gangguan sistem saraf pusat didapatkan agitasi
dengan nilai skor 10, pada penilaian disfungsi gastrointestinal-hepatika didapatkan
ikterus dengan nilai skor 20, pada penilaian kardiovaskular didapatkan frekuensi nadi
>140 kali per menit dengan nilai skor 25, tidak ditemukan adanya congestive heart
failure (CHF), fibrilasi atrium dan kejadian pencetus pada pasien ini sehingga nilai

3
skor pada masing-masing penilaian tersebut 0. Dari perhitungan total Burch
Wartofsky pada pasien ini didapatkan nilainya 60 sehingga sangat sugestif adanya
krisis tiroid.

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 04-02-2019: Hb 12,6 g/dL (normal


11,7-15,5 g/dL); eritrosit 5,02x106/mm3 (normal 3,8 – 5,2x106/mm3); leukosit
10.500/mm3 (normal 3,6-5,2 x103/mm3); hematokrit 39,2% (normal 35-47%);
trombosit 415,000/mm3 (normal 150-440 x 103/mm3); MCH 25,1 pg (normal 26-34
pg); MCHC 32,1 g/dL (normal 32-36 g/dL); MCV 78,0 fl (normal 80-100 fl), GDS
90 mg/dL (normal 70-140 mg/dL), natrium 136 mEq/L (normal 135-153 mEq/L),
kalium 4,28 mEq/L (normal 3,5-5,2 mEq/L), klorida 99,1 mEq/L (normal 98-109
mEq/L), magnesium 1,89 mEq/L (normal 1,70- 2,50 mEq/L), fosfor 4,0 mEq/L (2,7-
4,5 mEq/L), kalsium 9,36 mg/dL(normal 8,1-10,4 mg/dL), TSHS <0,005 µIU/mL
(normal 0,3-4,68 µIU/mL), FT4 7,44 mg/dL (normal 0,7-1,5 mg/dL), FT3 35,64
pmol/L (normal 4,10-6,70 pmol/L). Pasien pernah dilakukan USG tiroid pada tanggal
11-02-2019 dan didapatkan hasil dengan kesan struma difusa bilateral.

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 10-03-2019: Hb 11,1 g/dL (normal


11,7-15,5 g/dL); eritrosit 4,52x106/mm3 (normal 3,8 – 5,2x106/mm3); leukosit
1200/mm3 (normal 3,6-5,2 x103/mm3); hematokrit 34,1% (normal 35-47%); trombosit
230,000/mm3 (normal 150-440 x 103/mm3); MCH 24,6 pg (normal 26-34 pg); MCHC
32,7 g/dL (normal 32-36 g/dL); MCV 75,3 fl (normal 80-100 fl), SGOT 23 U/L
(normal <27 U/L); SGPT 25 U/L (normal <34 U/L); ureum 68 mg/dL (normal 6-20
mg/dL); kreatinin 0,4 mg/dl (normal 0,5-0,9 mg/dL); GDS 58 mg/dL (normal 70-140
mg/dL) dan kemudian diperiksa kembali melalui pemeriksaan gula darah stick
didapatkan 112 mg/dL, natrium 125 mEq/L (normal 135-153 mEq/L), kalium 3
mEq/L (normal 3,5-5,2 mEq/L), klorida 87,4 mEq/L (normal 98-109 mEq/L), CK 85
U/L (normal 26-190 U/L), CK-MB 26 U/L (normal 0-24 U/L), anti HCV kualitatif
non reaktif, anti HIV kualitatif non reaktif, dan HBsAg non reaktif. Nilai
prothrombin time pasien 18,5 detik dengan nilai kontrol 14,7, nilai international
normalized ratio (INR) pasien 1,48 detik dengan nilai kontrol 1,11 detik, dan nilai

4
activated partial thromboplastin time pasien 41,3 detik dengan nilai kontrol 36,2
detik. Pemeriksaan EKG didapatkan sinus takikardia dengan frekuensi jantung 150
kali per menit.

Pasien kemudian dikonsultasikan ke divisi endokrin dengan krisis tiroid. Divisi


endokrin melakukan pernilaian dengan menggunakan kriteria diagnosis Japanese
Thyroid Association, berdasarkan kriteria tersebut pasien masuk dalam klasifikasi
TS1 dengan alternate combination yaitu adanya tirotoksikosis dengan manifestasi
demam, takikardia dan manifestasi gastrointestinal-hepatik. Berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis dengan krisis
tiroid, suspek infeksi saluran kemih, hipokalemia, bisitopenia pro evaluasi dan
hiponatremia.

Terapi yang diberikan pada pasien berupa NaCl 0,9 % 500 cc tiap 8 jam,
paracetamol 500 mg tiap 8 jam peroral, ranitidin 50 mg tiap 12 jam peroral,
propanolol 60 mg tiap 6 jam peroral, lugol 8 tetes tiap 6 jam peroral, thiametazol 20
mg tiap 6 jam peroral, ciprofloxacin 400 mg tiap 12 jam intravena, dexamethasone 10
mg tiap 8 jam intravena, 2 kapsul garam tiap 8 jam peroral, KSR 600 mg tiap 8 jam.
Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan kembali darah lengkap,
differential count, LED, FT3, FT4, TSHS, kultur darah dan tes sensitivitas, urinalisis,
bilirubin total, bilirubin direk dan indirek, amilase, lipase, albumin, protein dan
globulin. Pasien masuk ke ruang perawatan irina C4 dari instalasi gawat darurat.
Kemudian dari ruangan perawatan di irina C4, pasien dikonsultasikan ke ruang
perawatan intermediate care (IMC) untuk dilakukan perawatan intensif lebih lanjut.

Pada hari perawatan kedua di IMC tanggal 12 Maret 2019, keluhan berdebar-
debar masih dirasakan pasien, kuning pada mata, pasien juga sering gelisah dan
bicara tidak jelas. Pemeriksaaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat,
kesadaran delirium, tekanan darah 110/60 mmHg; nadi 119 x/menit; frekuensi
pernapasan 24 x/menit; suhu badan aksila 37,20C; saturasi O2 98%. Perhitungan skor
Burch Wartofsky saat ini suhu badan 37.20C dengan nilai skor 5, pada penilaian

5
gangguan sistem saraf pusat didapatkan agitasi dengan nilai skor 10, pada penilaian
disfungsi gastrointestinal-hepatika didapatkan ikterus dengan nilai skor 20, pada
penilaian kardiovaskular didapatkan frekuensi nadi 119 kali per menit dengan nilai
skor 10, tidak ditemukan adanya congestive heart failure (CHF) dan fibrilasi atrium
sehingga skor keduanya 0, namun terdapat kejadian pencetus pada pasien ini
sehingga nilai skornya 10. Total skor saat ini 65 dengan interpretasi sangat sugestif
krisis tiroid. Hasil pemeriksaan urinalisis tanggal 11 Maret 2019 didapatkan
makroskopis berwana kuning dan jernih. Dari pemeriksaan mikroskopis didapatkan
eritrosit 3-5/LPB, leukosit 0-1/LPB, epitel 5-10/LPK, bakteri, jamur dan amoeba
tidak ditemukan. Dari pemeriksaan kimia urin didapatkan berat jenis 1020, pH 6,
lekosit (-), nitrit (-), protein 1+, glukosa (-), keton 4+, urobilinogen 2+, bilirubin 2+,
darah/eritrosit 2+, silinder (-), kristal (-). Hasil pemeriksaan bilirubin total 15,82
mg/dL (normal 0,10-1,20 mg/dL), bilirubin direk 10,67 mg/dL (normal <0,30
mg/dL), TSHS <0,005 µIU/mL (normal 0,3-4,68 µIU/mL), FT4 2,92 mg/dL (normal
0,7-1,5 mg/dL), FT3 6,19 pmol/L (normal 4,10-6,70 pmol/L). Hasil pemeriksaan
laboratorium tanggal 12 Maret 2019 didapatkan Hb 9,3 g/dL (normal 11,7-15,5
g/dL); eritrosit 3,73x106/mm3 (normal 3,8 – 5,2x106/mm3); leukosit 900/mm3 (normal
3,6-5,2 x103/mm3); hematokrit 27,3% (normal 35-47%); trombosit 293,000/mm3
(normal 150-440 x 103/mm3); MCH 24,9 pg (normal 26-34 pg); MCHC 34,1 g/dL
(normal 32-36 g/dL); MCV 73,2 fl (normal 80-100 fl). Pada pasien dilakukan
pemeriksaan EKG dan didapatkan hasilnya sinus takikardia dengan frekuensi denyut
jantung 106 kali per menit. Pasien didiagnosis dengan krisis tiroid, suspek febrile
neutropenia, hipokalemia, hiponatremia, anemia et cause chronic disease dd occult
bleeding. Terapi pasien ditambahkan line 2 KN2 20 tpm dan dilakukan pemberian
dextrose 5% : comafusin hepar 2:1 dengan diet lambung 2 sebanyak 250 cc tiap 8
jam. Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan USG abdomen.
Pada hari perawatan ketiga di IMC tanggal 13 Maret 2019, keluhan berdebar-
debar masih dirasakan pasien, kuning pada mata, pasien saat ini tidak lagi gelisah dan
bicaranya sudah dapat dimengerti. Pemeriksaaan fisik didapatkan keadaan umum
tampak sakit berat, kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/60 mmHg; nadi 96

6
x/menit; frekuensi pernapasan 24 x/menit; suhu badan aksila 37,20C; saturasi O2
98%. Perhitungan skor Burch Wartofsky saat ini suhu badan 37.20C dengan nilai skor
5, pada penilaian gangguan sistem saraf pusat saat ini tidak ada kelainan dengan nilai
skor 0, pada penilaian disfungsi gastrointestinal-hepatika didapatkan ikterus dengan
nilai skor 20, pada penilaian kardiovaskular didapatkan frekuensi nadi 96 kali per
menit dengan nilai skor 5, tidak ditemukan adanya congestive heart failure (CHF)
dan fibrilasi atrium sehingga skor keduanya 0, namun terdapat kejadian pencetus
pada pasien ini sehingga nilai skornya 10. Total skor saat ini 40. Hasil pemeriksaan
laboratorium Hasil pemeriksaan darah lengkap tanggal 13 Maret 2019 didapatkan Hb
8,8 g/dL (normal 11,7-15,5 g/dL); eritrosit 3,48x106/mm3 (normal 3,8 –
5,2x106/mm3); leukosit 900/mm3 (normal 3,6-5,2 x103/mm3); hematokrit 25,9%
(normal 35-47%); trombosit 217,000/mm3 (normal 150-440 x 103/mm3); MCH 25,3
pg (normal 26-34 pg); MCHC 34,0 g/dL (normal 32-36 g/dL); MCV 74,4 fl (normal
80-100 fl), amilase 149,7 U/L (normal 35-140 U/L), lipase 356,2 U/L (normal 0-196
U/L), LDH 264 U/L (normal 91-232 U/L), gamma GT 40 U/L (normal < 57 U/L),
fosfor 2,2 mg/dL (normal 2,7-4,5 mg/dL), magnesium 2,10 mg/dL (normal 1,70 -2,50
mg/dL), albumin 2,38 g/dL (normal 3,50-5,70 g/dL), alkaline fosfatase 54 U/L
(normal 34-114 U/L), natrium 140 mEq/L (normal 135-153 mEq/L), kalium 3,12
mEq/L (normal 3,5-5,2 mEq/L), klorida 109,5 mEq/L (normal 98-109 mEq/L),
kalsium 7,51 mg/dL(normal 8,1-10,4 mg/dL), anti salmonella IgM negative, DDR
malaria negatif, dan hitung parasit malaria 0. Hasil pemeriksaan analisis gas darah
yaitu pH 7,483, pCO2 29,7 mmHg, pO2 131 mmHg, BEecf -1 mmol/L, HCO3 22,3
mmol/L, TCO2 23 mmol/L. Pasien didiagnosis dengan krisis tiroid, suspek febrile
neutropenia, hipokalemia perbaikan, hiponatremia perbaikan, hipoalbuminemia,
anemia et cause chronic disease dd occult bleeding. Terapi pasien ditambahkan
metronidazole 500 mg tiap 8 jam dan kapsul garam dihentikan, pasien juga diberikan
diet ekstra putih telur.
Pada hari perawatan keempat di IMC tanggal 14 Maret 2019, keluhan berdebar-
debar masih dirasakan pasien, kuning pada mata, demam. Pemeriksaaan fisik
didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran compos mentis, tekanan

7
darah 117/69 mmHg; nadi 106 x/menit; frekuensi pernapasan 24 x/menit; suhu badan
aksila 38,60C; saturasi O2 98%. Perhitungan skor Burch Wartofsky saat ini suhu
badan 38.60C dengan nilai skor 20, pada penilaian gangguan sistem saraf pusat saat
ini tidak ada kelainan dengan nilai skor 0, pada penilaian disfungsi gastrointestinal-
hepatika didapatkan ikterus dengan nilai skor 20, pada penilaian kardiovaskular
didapatkan frekuensi nadi 106 kali per menit dengan nilai skor 5, tidak ditemukan
adanya congestive heart failure (CHF) dan fibrilasi atrium sehingga skor keduanya 0,
namun terdapat kejadian pencetus pada pasien ini sehingga nilai skornya 10. Total
skor saat ini 55. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 14 Maret 2019 didapatkan
Hb 8,8 g/dL (normal 11,7-15,5 g/dL); eritrosit 3,53x106/mm 3 (normal 3,8 –
5,2x106/mm3); leukosit 1900/mm3 (normal 3,6-5,2 x103/mm3); hematokrit 26,3%
(normal 35-47%); trombosit 265,000/mm3 (normal 150-440 x 103/mm3); MCH 24,9
pg (normal 26-34 pg); MCHC 35,3 g/dL (normal 32-36 g/dL); MCV 74,5 fl (normal
80-100 fl), eosinofil 1% (normal 1-5%), basophil 0% (normal 0-1%), netrofil batang
3% (2-8%), netrofil segmen 17% (normal 50-70%), limfosit 76% (normal 20-40%),
monosit 3% (normal 2-8%), absolute neutrophil count 380/mm3. Hasil kultur darah
dan tes sensitivitas didapatkan bakteri Staphylococcus hominis ssp hominis dan
resisten terhadap benzilpenisilin, oksasilin dan tetrasiklin. Pada pemeriksaan analisa
feses didapatkan makroskopis warna kuning, konsistensi cair, bau busuk, cacing
negatif dan mikroskopis eryhtrocyte benzidine test 4-5, leukosit 1-2, epitel negatif,
telur/larva/cacing negatif, bakteri +, jamur -, protozoa -, lain-lain -, dan benzidine test
++. Pasien didiagnosis dengan krisis tiroid, febrile neutropenia et cause drug induced,
hipokalemia perbaikan, hiponatremia perbaikan, hipoalbuminemia, anemia et cause
chronic disease dd occult bleeding. Pasien kemudian dikonsultasikan ke PPRA dan
disetujui untuk dilakukan pemberian ceftazidine 1 gram tiap 8 jam intravena dan
dikonsultasikan ke bagian hematologi-onkologi medik dan diberikan filgastrim 300
mcg tiap 24 jam subkutan, dan ciprofloxacin dan metronidazol dihentikan.
Pada hari perawatan keempat di IMC tanggal 15 Maret 2019, keluhan berdebar-
debar berkurang, demam turun, bab cair. Pemeriksaaan fisik didapatkan keadaan
umum tampak sakit berat, kesadaran compos mentis, tekanan darah 100/60 mmHg;

8
nadi 99 x/menit; frekuensi pernapasan 24 x/menit; suhu badan aksila 36,40C; saturasi
O2 98%. Perhitungan skor Burch Wartofsky saat ini suhu badan 36.40C dengan nilai
skor 5, pada penilaian gangguan sistem saraf pusat saat ini tidak ada kelainan dengan
nilai skor 0, pada penilaian disfungsi gastrointestinal-hepatika didapatkan ikterus
dengan nilai skor 20, pada penilaian kardiovaskular didapatkan frekuensi nadi 99 kali
per menit dengan nilai skor 5, tidak ditemukan adanya congestive heart failure (CHF)
dan fibrilasi atrium sehingga skor keduanya 0, namun terdapat kejadian pencetus
pada pasien ini sehingga nilai skornya 10. Total skor saat ini 40. Hasil pemeriksaan
USG abdomen, organ-organ intraabdomen yang terscan dalam batas normal. Pasien
didiagnosis dengan krisis tiroid perbaikan, febrile neutropenia et cause drug induced,
hipokalemia perbaikan, hiponatremia perbaikan, hipoalbuminemia, anemia et cause
chronic disease dd occult bleeding. Terapi pada pasien dilanjutkan dengan pemberian
cairan line 1 asering 500 cc tiap 12 jam dan line 2 NaCl 0,9%: Dextrose 5%:
comafusin hepar 3:2:1 35 gtt/menit.
Pada hari perawatan kelima di IMC tanggal 16 Maret 2019, keluhan berdebar-
debar tidak ada, demam turun. Pemeriksaaan fisik didapatkan keadaan umum tampak
sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 100/60 mmHg; nadi 80
x/menit; frekuensi pernapasan 20 x/menit; suhu badan aksila 36,20C; saturasi O2
98%. Perhitungan skor Burch Wartofsky saat ini suhu badan 36.20C dengan nilai skor
0, pada penilaian gangguan sistem saraf pusat saat ini tidak ada kelainan dengan nilai
skor 0, pada penilaian disfungsi gastrointestinal-hepatika didapatkan ikterus dengan
nilai skor 20, pada penilaian kardiovaskular didapatkan frekuensi nadi 80 kali per
menit dengan nilai skor 0, tidak ditemukan adanya congestive heart failure (CHF)
dan fibrilasi atrium sehingga skor keduanya 0, namun terdapat kejadian pencetus
pada pasien ini sehingga nilai skornya 10. Total skor saat ini 30. Pasien didiagnosis
dengan krisis tiroid perbaikan, febrile neutropenia et cause drug induced, hipokalemia
perbaikan, hiponatremia perbaikan, hipoalbuminemia, anemia et cause chronic
disease dd occult bleeding. Terapi pada pasien dilanjutkan dan hari ini dilakukan
pemberian terakhir filgastrim.

9
Pada hari perawatan keenam di IMC tanggal 17 Maret 2019, keluhan berdebar-
debar tidak ada, demam turun. Pemeriksaaan fisik didapatkan keadaan umum tampak
sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 100/60 mmHg; nadi 100
x/menit; frekuensi pernapasan 20 x/menit; suhu badan aksila 36,20C; saturasi O2
98%. Perhitungan skor Burch Wartofsky saat ini suhu badan 36.20C dengan nilai skor
0, pada penilaian gangguan sistem saraf pusat saat ini tidak ada kelainan dengan nilai
skor 0, pada penilaian disfungsi gastrointestinal-hepatika didapatkan ikterus dengan
nilai skor 20, pada penilaian kardiovaskular didapatkan frekuensi nadi 100 kali per
menit dengan nilai skor 5, tidak ditemukan adanya congestive heart failure (CHF)
dan fibrilasi atrium sehingga skor keduanya 0, namun terdapat kejadian pencetus
pada pasien ini sehingga nilai skornya 10. Total skor saat ini 35. Pasien didiagnosis
dengan krisis tiroid perbaikan, febrile neutropenia et cause drug induced, hipokalemia
perbaikan, hiponatremia perbaikan, hipoalbuminemia, anemia et cause chronic
disease dd occult bleeding. Pasien direncanakan untuk dilakukan echocardiography.
Pada hari perawatan ketujuh di IMC tanggal 18 Maret 2019, keluhan berdebar-
debar tidak ada, demam turun. Pemeriksaaan fisik didapatkan keadaan umum tampak
sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/60 mmHg; nadi 100
x/menit; frekuensi pernapasan 20 x/menit; suhu badan aksila 36,20C; saturasi O2
98%. Perhitungan skor Burch Wartofsky saat ini suhu badan 36.20C dengan nilai skor
0, pada penilaian gangguan sistem saraf pusat saat ini tidak ada kelainan dengan nilai
skor 0, pada penilaian disfungsi gastrointestinal-hepatika didapatkan ikterus dengan
nilai skor 20, pada penilaian kardiovaskular didapatkan frekuensi nadi 100 kali per
menit dengan nilai skor 5, tidak ditemukan adanya congestive heart failure (CHF)
dan fibrilasi atrium sehingga skor keduanya 0, namun terdapat kejadian pencetus
pada pasien ini sehingga nilai skornya 10. Total skor saat ini 35. Hasil pemeriksaan
laboratorium tanggal 18 Maret 2019 didapatkan Hb 9,2 g/dL (normal 11,7-15,5
g/dL); eritrosit 3,87x106/mm3 (normal 3,8 – 5,2x106/mm3); leukosit 4400/mm3
(normal 3,6-5,2 x103/mm3); hematokrit 30,0% (normal 35-47%); trombosit
500,000/mm3 (normal 150-440 x 103/mm3); MCH 23,8 pg (normal 26-34 pg);
MCHC 30,7 g/dL (normal 32-36 g/dL); MCV 77,5 fl (normal 80-100 fl), bilirubin

10
total 2,53 mg/dL (normal 0,10-1,20 mg/dL), bilirubin direk 2,50 mg/dL (normal
<0,30 mg/dL), SGOT 61 U/L (normal <27 U/L); SGPT 140 U/L (normal <34 U/L),
natrium 134 mEq/L (normal 135-153 mEq/L), kalium 4,67 mEq/L (normal 3,5-5,2
mEq/L), klorida 104,0 mEq/L (normal 98-109 mEq/L). Hasil apusan darah tepi
dengan kesimpulan suspek anemia defisiensi Fe dd anemia penyakit kronik,
trombositosis suspek trombositosis reaktif. Hasil pemeriksaan echocardiography
dengan kesimpulan dimensi-dimensi jantung normal, LVH (-), fungsi sistolik LV
normal EF 74%, analisa segmental LV global normokinetik, fungsi diastolik normal,
katup-katup dalam batas normal, PH (-), kontraktilitas RV normal, TAPSE 2,3 cm,
IVC 1,2 cm, kolapsibilitas > 50%, ESP RAP 3 mmHg. Pasien didiagnosis dengan
krisis tiroid perbaikan, febrile neutropenia et cause drug induced, trombositosis
reaktif, hipokalemia perbaikan, hiponatremia perbaikan, hipoalbuminemia, anemia et
cause chronic disease dd occult bleeding. Terapi dilanjutkan pasien direncanakan
untuk dipindahkan ke irina C1.
Pada hari perawatan kedelapan di irina C1 tanggal 19 Maret 2019, keluhan
berdebar-debar tidak ada, demam turun. Pemeriksaaan fisik didapatkan keadaan
umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/60 mmHg;
nadi 75 x/menit; frekuensi pernapasan 20 x/menit; suhu badan aksila 36,30C; saturasi
O2 98%. Perhitungan skor Burch Wartofsky saat ini suhu badan 36.30C dengan nilai
skor 0, pada penilaian gangguan sistem saraf pusat saat ini tidak ada kelainan dengan
nilai skor 0, pada penilaian disfungsi gastrointestinal-hepatika didapatkan ikterus
dengan nilai skor 20, pada penilaian kardiovaskular didapatkan frekuensi nadi 75 kali
per menit dengan nilai skor 0, tidak ditemukan adanya congestive heart failure (CHF)
dan fibrilasi atrium sehingga skor keduanya 0, namun terdapat kejadian pencetus
pada pasien ini sehingga nilai skornya 10. Total skor saat ini 30. Pasien didiagnosis
dengan krisis tiroid perbaikan, febrile neutropenia et cause drug induced,
trombositosis reaktif, hipokalemia perbaikan, hiponatremia perbaikan,
hipoalbuminemia, anemia et cause chronic disease dd occult bleeding. Terapi
dilanjutkan. Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan TSH receptor
antibody (TRAB).

11
Pada hari perawatan kesembilan di irina C1 tanggal 20 Maret 2019, keluhan
berdebar-debar tidak ada, demam turun. Pemeriksaaan fisik didapatkan keadaan
umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 100/60 mmHg;
nadi 70 x/menit; frekuensi pernapasan 20 x/menit; suhu badan aksila 36,30C; saturasi
O2 98%. Perhitungan skor Burch Wartofsky saat ini suhu badan 36.30C dengan nilai
skor 0, pada penilaian gangguan sistem saraf pusat saat ini tidak ada kelainan dengan
nilai skor 0, pada penilaian disfungsi gastrointestinal-hepatika didapatkan ikterus
dengan nilai skor 20, pada penilaian kardiovaskular didapatkan frekuensi nadi 70 kali
per menit dengan nilai skor 0, tidak ditemukan adanya congestive heart failure (CHF)
dan fibrilasi atrium sehingga skor keduanya 0, namun terdapat kejadian pencetus
pada pasien ini sehingga nilai skornya 10. Total skor saat ini 30. Pasien didiagnosis
dengan krisis tiroid perbaikan, febrile neutropenia et cause drug induced,
trombositosis reaktif, hipokalemia perbaikan, hiponatremia perbaikan,
hipoalbuminemia, anemia et cause chronic disease dd occult bleeding. Terapi cairan
diganti menjadi asering : aminofusin hepar 2:1.
Pada hari perawatan kesepuluh di irina C1 tanggal 21 Maret 2019, keluhan
berdebar-debar tidak ada, demam turun. Pemeriksaaan fisik didapatkan keadaan
umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg;
nadi 88 x/menit; frekuensi pernapasan 20 x/menit; suhu badan aksila 36,20C; saturasi
O2 98%. Perhitungan skor Burch Wartofsky saat ini suhu badan 36.20C dengan nilai
skor 0, pada penilaian gangguan sistem saraf pusat saat ini tidak ada kelainan dengan
nilai skor 0, pada penilaian disfungsi gastrointestinal-hepatika didapatkan ikterus
dengan nilai skor 10, pada penilaian kardiovaskular didapatkan frekuensi nadi 88 kali
per menit dengan nilai skor 0, tidak ditemukan adanya congestive heart failure (CHF)
dan fibrilasi atrium sehingga skor keduanya 0, namun terdapat kejadian pencetus
pada pasien ini sehingga nilai skornya 10. Total skor saat ini 20. Hasil pemeriksaan
laboratorium tanggal 21 Maret 2019 didapatkan Hb 10,3 g/dL (normal 11,7-15,5
g/dL); eritrosit 4,26x106/mm3 (normal 3,8 – 5,2x106/mm3); leukosit 6900/mm3
(normal 3,6-5,2 x103/mm3); hematokrit 33,8% (normal 35-47%); trombosit
817,000/mm3 (normal 150-440 x 103/mm3); MCH 24,1 pg (normal 26-34 pg);

12
MCHC 30,3 g/dL (normal 32-36 g/dL); MCV 79,4 fl (normal 80-100 fl), eosinofil
0% (normal 1-5%), basophil 0% (normal 0-1%), netrofil batang 2% (2-8%), netrofil
segmen 74% (normal 50-70%), limfosit 22% (normal 20-40%), monosit 2% (normal
2-8%), bilirubin total 2,11 mg/dL (normal 0,10-1,20 mg/dL), bilirubin direk 1,96
mg/dL (normal <0,30 mg/dL), natrium 131 mEq/L (normal 135-153 mEq/L), kalium
3,70 mEq/L (normal 3,5-5,2 mEq/L), klorida 92,1 mEq/L (normal 98-109
mEq/L).Pasien didiagnosis dengan krisis tiroid perbaikan, febrile neutropenia et cause
drug induced, trombositosis reaktif, hipokalemia perbaikan, hiponatremia perbaikan,
hipoalbuminemia, anemia et cause chronic disease dd occult bleeding. Terapi
dilanjutkan.
Pada hari perawatan kesebelas di irina C1 tanggal 22 Maret 2019, keluhan
berdebar-debar tidak ada, demam turun. Pemeriksaaan fisik didapatkan keadaan
umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/60 mmHg;
nadi 92 x/menit; frekuensi pernapasan 20 x/menit; suhu badan aksila 36,30C; saturasi
O2 98%. Perhitungan skor Burch Wartofsky saat ini suhu badan 36.30C dengan nilai
skor 0, pada penilaian gangguan sistem saraf pusat saat ini tidak ada kelainan dengan
nilai skor 0, pada penilaian disfungsi gastrointestinal-hepatika didapatkan ikterus
dengan nilai skor 10, pada penilaian kardiovaskular didapatkan frekuensi nadi 92 kali
per menit dengan nilai skor 0, tidak ditemukan adanya congestive heart failure (CHF)
dan fibrilasi atrium sehingga skor keduanya 0, namun terdapat kejadian pencetus
pada pasien ini sehingga nilai skornya 10. Total skor saat ini 20. Pasien didiagnosis
dengan krisis tiroid perbaikan, febrile neutropenia et cause drug induced, hipokalemia
perbaikan, hiponatremia perbaikan, hipoalbuminemia, anemia et cause chronic
disease dd occult bleeding. Terapi diganti dexamethason menjadi 0,5 mg tiap 8 jam,
propanolol menjadi 10 mg tiap 8 jam, dan thiamazol 20 mg tiap 24 jam, dan CaCO 3 1
tab tiap 24 jam.
Pada hari perawatan kedua belas di irina C1 tanggal 23 Maret 2019, keluhan
berdebar-debar tidak ada, demam turun. Pemeriksaaan fisik didapatkan keadaan
umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, tekanan darah 110/60 mmHg;
nadi 75 x/menit; frekuensi pernapasan 20 x/menit; suhu badan aksila 36,30C; saturasi

13
O2 98%. Perhitungan skor Burch Wartofsky saat ini suhu badan 36.30C dengan nilai
skor 0, pada penilaian gangguan sistem saraf pusat saat ini tidak ada kelainan dengan
nilai skor 0, pada penilaian disfungsi gastrointestinal-hepatika didapatkan ikterus
dengan nilai skor 10, pada penilaian kardiovaskular didapatkan frekuensi nadi 75 kali
per menit dengan nilai skor 0, tidak ditemukan adanya congestive heart failure (CHF)
dan fibrilasi atrium sehingga skor keduanya 0, namun terdapat kejadian pencetus
pada pasien ini sehingga nilai skornya 10. Total skor saat ini 20. Pasien didiagnosis
dengan krisis tiroid perbaikan, febrile neutropenia et cause drug induced, hipokalemia
perbaikan, hiponatremia perbaikan, hipoalbuminemia, anemia et cause chronic
disease dd occult bleeding. Pasien direncanakan untuk dirawat jalan dengan
pengobatan pulang Terapi diganti dexamethason menjadi 0,5 mg tiap 8 jam,
propanolol menjadi 10 mg tiap 8 jam, dan thiamazol 20 mg tiap 24 jam, omeprazole
20 mg tiap 12 jam, CaCO3 1 tab tiap 24 jam. Setelah pasien pulang hasil dari TRAb
pasien keluar dan didapatkan peningkatannya yaitu TRAb 11,23 IU/L dengan nilai
rujukan ≤ 1,75 IU/L.

PEMBAHASAN
Komplikasi darurat tirotoksikosis seperti krisis tiroid merupakan keadaan
langka dengan ciri-ciri adanya keterlibatan multisistem dan tingkat mortalitasnya
mencapai 8-25 %.7 Penyebab paling sering dari hipertiroidisme dengan tirotoksikosis
adalah penyakit Grave diikuti dengan toxic multinodular goiter, sedangkan penyebab
lainnya yang lebih langka termasuk adenoma tiroid yang fungsional atau tiroiditis.
Prevalensi hipertiroid di wanita berkisaran antara 0,5% sampai 2% dan insidensi pada
wanita 10 kali lebih sering dibandingkan pria di daerah komunitas yang kebutuhan
iodiumnya tercukupi.8 Penelitian lain juga menunjukkan Tirotoksikosis lebih jarang
muncul pada usia anak-anak dibandingkan dengan dewasa, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa insidensi tirotoksikosis terjadi sekitar 80/100.000 per tahun pada
wanita dan 8/100.000 per tahun pada laki-laki. Penelitian di Swedia menunjukkan
bahwa insidensi tirotoksikosis pada usia di bawah 16 tahun hanya 0,7/100.000 per
tahun.9 Penelitian oleh Mirna dkk menunjukkan bahwa mayoritas pasien dengan

14
tirotoksikosis berusia antara 30 hingga 69 tahun dan insidensi puncak terjadi pada
pasien dengan usia 50 hingga 59 tahun.10 Pasien berjenis kelamin wanita dengan usia
19 tahun, pasien baru mengetahui penyakit tiroidnya sekitar 3 bulan sebelum masuk
rumah sakit.
Faktor pemicu paling sering terjadinya krisis tiroid merupakan infeksi.
Penyebab lainnya dapat berupa ketoasidosis diabetikum, hipoglikemia, koma
hyperosmolar, emboli paru, overdosis hormone tiroid, menghentikan obat antitiroid,
konsumsi kontras yang teriodinisasi, insiden kardiovaskular, operasi, stress,
kehamilan, eklampsia, dan trauma. Ketika terjadinya kelebihan hormone tiroid, T4
dan T3 yang bersirkulasi dalam darah akan diambil oleh sel. T4 kemudian akan
dikonversi menjadi bentuk aktifnya yaitu T3 dengan enzim 5′-deiodinase melalui
deiodinasi lingkaran luar molekul T4. Di dalam sitoplasma, T3 akan mencapai
nukleus sel dan berikatan dengan reseptor hormone tiroid atau unsur sel yang
responsif terhadap hormone tiroid untuk menginduksi aktivasi dan transkripsi gen.
Lipogenesis dan lipolysis terjadi saat hormone tiroid menginduksi enzim yang
bekerja di jalur lipogenik, termasuk glucose-6-phosphate dehydrogenase dan fatty
acid synthetase. Di kelenjar hipofisis, hormone tiroid menyebabkan terjadinya
regulasi negatif yang kemudian menekan transkripsi gen pada subunit thyroid
stimulating hormone (TSH) yang kemudian menurunkan produksi TSH. Saat terjadi
krisis tiroid, faktor pemicu seperti infeksi, stress, infark miokard, dan trauma akan
meningkatan efek hormon tiroid dengan membebaskan hormon tiroid dari
pengikatnya dan meningkatkan sensitivitas reseptor tiroid di jaringan melalui
peningkatan densitas reseptor adrenergik di sel target atau modifikasi postreseptor di
jalur sinyal. Terjadinya pelepasan karena faktor pemicu tersebut dapat menyebabkan
terjadinya krisis tiroid.11-12 Pasien memiliki riwayat penyakit tiroid yang diketahuinya
sejak tanggal 12-12-2018, pasien sebelumnya sudah kontrol di poli endokrinologi dan
sudah diberikan thiamazol 20 mg tiap 12 jam dan propanol 10 mg tiap 8 jam. Tetapi
pasien sudah berhenti minum obat sejak 9 hari sebelum masuk rumah sakit.
Manifestasi klinis pada krisis tiroid merupakan gambaran spektrum gejala
tirotoksikosis dengan tingkatan yang lebih ekstrem dengan adanya dekompensasi

15
fungsi multiorgan. Demam merupakan salah satu gambaran klinis universal yang
terjadi pada krisis tiroid dengan suhu badan kurang lebih lebih dari 390C dan ketika
pasien dengan riwayat tirotoksikosis mengalami gejala demikian, pasien dapat
dipertimbangkan mengalami krisis tiroid. Keringat berlebihan yang berkontribusi
pada terjadinya insensible water loss dalam jumlah berlebihan disertai dengan
kehilangan elektrolit dapat mengakibatkan terjadinya dehidrasi.13 Pasien juga dapat
tampak gelisah dan dapat terjadi agitasi berat, delirium bahkan psikosis yang
kemudian dapat berkembang menjadi stupor dan koma. Keterlibatan gastrointestinal
dan hepatik berhubungan dengan adanya peningkatan gerakan peristalsis usus yang
kemudian menyebabkan diare hingga peningkatan enzim transaminase ringan.
Keadaan ini menyebabkan terjadinya nausea, muntah, diare akut, dan tanda disfungsi
hepatoseluler seperti ikterus.14 Disfungsi liver pada penyakit tiroid dapat
bermanifestasi sebagai peningkatan enzim transaminase yang asimptomatik hingga
kegagalan liver akut. Penelitian in vitro pada hewan menunjukkan bahwa peningkatan
berlebihan aktivitas T3 menginduksi terjadinya apoptosis hepatosit melalui jalur
dependen mitokondrial. T3 juga bertanggungjawab dalam meregulasi enzim yang
terlibat dalam metabolism bilirubin, dan kadar T3 yang berlebihan menyebabkan
terjadinya akumulasi bilirubin. Selain itu karena hormon tiroid dimetabolisme di
liver, hormon tiroid yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan kerja dari liver
dan akibatnya menyebabkan kerusakan hepatosit. Hipertiroid juga menyebabkan
peningkatan cardiac output dan mengakibatkan gagal jantung kanan. Kongesti liver
karena gagal jantung kanan dapat berkontribusi dalam terjadinya fungsi liver yang
abnormal seperti peningkatan transaminase, hiperbilirubinemia, dan koagulopati. 15
Gejala-gejala neuropsikiatri pada pasien krisis tiroid dapat dijelaskan oleh beberapa
teori. Salah satunya hipertiroidisme memodulasi densitas reseptor β di otak dan juga
menyebabkan peningkatan sensitivitasnya terhadap katekolamin. Peningkatan
aktivitas adrenergik yang dimediasi oleh reseptor β ini yang diperkirakan
menyebabkan terjadinya gejala neuropsikiatri. Reseptor TSH terutama berada di
hipokampus dan korteks serebri. Adanya stimulasi berlebihan pada reseptor TSH oleh
antibody pada penyakit grave menyebbakn produksi lokal T3 yang berlebihan.

16
Berdasarkan penelitian pada tikus, hormon tiroid yang berlebihan menyebabkan
terjadinya peningkatan aliran natrium pada regio hippocampus sehingga
menyebabkan peningkatan eksitabilitas neuron yang dapat menyebabkan gejala
neurologik.16 Pada pasien ini terjadi demam disertai dengan adanya mata kuning,
pasien juga mengeluh terjadinya mual dan muntah disertai dengan diare. Pasien juga
sempat tampak gelisah dan bicara tidak nyambung selama perawatan di rumah sakit.
Pada pemeriksaan fisik demam sering muncul pada krisis tiroid dan dapat
sangat tinggi. Selain itu palpitasi, takikardia dan dispnea sering muncul pada krisis
tiroid. Fibrilasi atrium muncul pada 10-35% kasus krisis tiroid. Pada tiroid karena
penyakit grave dapat muncul oftalmopati seperti eksoftalmus, selain itu dapat juga
teraba kelenjar tiroid yang membesar, namun pembesaran kelenjar tiroid tidak
menunjukkan bahwa adanya tirotoksikosis.11 Efek hormon tiroid pada jantung
dimediasi oleh T3. T3 menyebabkan terjadinya peningkatan kekuatan dan kecepatan
kontraksi sistolik dan relaksasi diastolik. Sebagai tambahan, T3 menurunkan
resistensi vascular, termasuk tonus vascular coroner dan meningkatan angiogenesis
arteri. Efek hormon tiroid ini dimediasi oleh aktivitas reseptor hormon tiroid berbasis
nucleus, yaitu reseptor tiroid α dan β (TRα dan TRβ). TRα berada secara predominan
di jantung dan merupakan subtype predominan terjadinya ikatan T3 di reseptor tiroid
sehingga memberikan sinyal pada kardiomiosit. Hal inilah yang menyebabkan
terjadinya eksitabilitas berlebihan pada kardiomiosit sehingga terjadinya takikardia. 17
Pasien mengalami demam dan juga terjadinya peningkatan frekuensi denyut nadi saat
pertama kali diterima di instalasi gawat darurat yaitu hingga 150 kali per menit,
semuanya dapat disebabkan karena adanya aktivitas berlebihan dari hormon tiroid
sehingga mempengaruhi sistem kardiovaskular hingga terjadi takikardia.
Deteksi awal dan diagnosis cepat disertai dengan penanganan yang intensif
dapat menurunkan angka mortalitas krisis tiroid. Namun, karena tidak adanya
penanda biologik yang bermanfaat dalam mendiagnosis krisis tiroid dan adanya
kondisi penyakit yang menyerupai krisis tiroid, diagnosis krisis tiroid terkadang sulit
ditegakkan. Untuk memudahkan diagnosis krisis tiroid maka dibentuk sistem skoring
Burch-Wartofsky untuk mendiagnosis krisis tiroid dan impending krisis tiroid pada

17
tahun 1993. Skor Burch-Wartofsky merupakan sistem skoring yang empiric dengan
mendeteksi tingkat keparahan gejala multiorgan karena hormon tiroid, yaitu dengan
menilai disfungsi termoregulasi, takikardia/fibrilasi atrium, gangguan status mental,
congestive heart failure (CHF), disfungsi gastrohepatik, dan faktor pencetus. Sistem
skoring Burch-Wartofsky sudah digunakan selama lebih dari dua dekade. Interpretasi
skor Burch-Wartofsky yaitu jika skornya lebih dari 45 maka sangat sugetif krisis
tiroid, jika skornya 25 hingga 44 maka sugetif untuk impending krisis tiroid, dan jika
di bawah 25 maka tidak representative untuk krisis tiroid.1,18
Pada tahun 2012, Japanese Thyroid Association (JTA) membuat kriteria
diagnosis terbaru untuk krisis tiroid yang dibentuk dari analisis 99 penelitian yang
dipublikasi. Pada kriteria JTA ini diperlukan adanya riwayat tirotoksikosis dengan
kombinasi gejala dekompensasi multiorgan sehingga diagnosis krisis tiroid dapat
ditegakkan. Kriteria Salah satu ciri khas dari JTA yaitu gangguan status mental
memiliki kontribusi lebih banyak dibandingkan gangguan organ lainnya. Kriteria JTA
membagi klasifikasi tingkatan krisis tiroid menjadi empat. TS1 dengan first
combination dan untuk masuk dalam klasifikasi ini pasien harus didapatkan adanya
tirotoksikosis dan minimal satu manifestasi sistem saraf pusat disertai dengan adanya
demam, takikardia, CHF, dan manifestasi gastrointestinal-hepatik. TS1 dengan
alternate combination dan perlu adanya tirotoksikosis dan setidaknya kombinasi dari
demam, atau takikardia, atau CHF, atau manifestasi gastrointestinal-hepatik. TS2
dengan first combination yaitu tirotoksikosis denan kombinasi dua dari demam atau
takikardia atau CHF, atau manifestasi gastrointestinal-hepatik. TS2 dengan alternate
combination yaitu pasien yang memenuhi kriteria untuk TS1 namun serum FT3 dan
FT4 tidak tersedia tetapi data sebelum atau sesudah episode serangan menunjukan
bahwa pasien mengalami tirotoksikosis.19
Pada pasien dilakukan perhitungan skor Burch Wartofsky dan didapatkan suhu
badan 37.80C dengan nilai skor 5, pada penilaian gangguan sistem saraf pusat
didapatkan agitasi dengan nilai skor 10, pada penilaian disfungsi gastrointestinal-
hepatika didapatkan ikterus dengan nilai skor 20, pada penilaian kardiovaskular
didapatkan frekuensi nadi >140 kali per menit dengan nilai skor 25, tidak ditemukan

18
adanya congestive heart failure (CHF), fibrilasi atrium dan kejadian pencetus pada
pasien ini sehingga nilai skor pada masing-masing penilaian tersebut 0. Dari
perhitungan total Burch Wartofsky pada pasien ini didapatkan nilainya 60 sehingga
sangat sugestif adanya krisis tiroid. Pasien juga dilakukan penilaian berdasarkan
kriteria JTA dan masuk dalam klasifikasi TS1 dengan alternate combination yaitu
adanya tirotoksikosis (TSHS <0,005 µIU/mL, FT4 7,44 mg/dL, FT3 35,64 pmol/L)
dengan kombinasi manifestasi demam, CHF, takikardia, dan gejala gastrointestinal-
hepatik.
Penyakit Grave merupkan gangguan otoimun sistemik yang memiliki ciri khas
adanya infiltrasi sel T spesifik antigen pada reseptor thyroid stimulating
hormone(TSH). Otoantibodi pada penyakit Grave mengaktivasi hiperplasia tiroid dan
menyebabkan produksi dan sekresi hormon tiroid berlebihan. Diagnosis penyakit
grave dapat ditegakkan jika pada pasien didapatkan adanya tiroksikosis, TSH-R-Ab
yang positif, adanya kelenjar tiroid yang hipervaskular dan hipoekoik dan orbitopati.
Pada penyakit Grave, pengukuran TSH-R-Ab direkomendasikan untuk menegakkan
diagnosis yang akurat.20 Pada pasien dilakukan pemeriksaan TRAb dan didapatkan
peningkatannya yaitu TRAb 11,23 IU/L dengan nilai rujukan ≤ 1,75 IU/L. Sehingga
pasien dapat didiagnosis sebagai penyakit Grave.
Anemia merupakan gambaran yang dapat muncul pada penyakit tiroid. Anemia
dan disfungsi tiroid dapat terjadi secara bersamaa, namun hubungan antara keduanya
masih belum jelas. Mekanisme terjadinya anemia pada hipertiroidisme masih belum
jelas. Pada pasien dengan hipertiroidisme terjadi hiperplasia eritroid pada sumsum
tulang dan peningkatan kadar eritropoetin, namun eritrositosis pada morfologi darah
langka terjadi yang mungkin disebabkan karena adanya defisiensi besi, vitamin B12,
dan asam folat. Perubahan metabolism besi, hemolysis, dan stress oksidatif
menyebabkan terjadinya fragilitas osmosis pada eritrosit dan menyebabkan
peroksidasi lipid, sehingga terjadinya pemendekan usia eritrosit. Hal inilah yang
berpotensi menyebabkan terjadinya anemia pada tirotoksikosis. Anemia mikrositik
juga berhubungan dengan hipertiroidisme. MCV secara signifikan turun pada pasien
hipertiroid dibandingkan kelompok kontrol yang eutiroid. Omar dkk melaporkan

19
insidensi mikrositosis sebanyak 87,7% pada pasien dengan hipertiroidisme, tanpa
memperhatikan status hemoglobinnya.21 Penelitian oleh Baseem juga menyatakan
bahwa gangguan tiroid pada wanita Arab Saudi yang tidak hamil berhubungan
dengan penurunan hitung eritrosit, konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit dan
parameter besi dengan terjadinya anemia pada 44% kasus. Anemia normositik
normokrom dan mikrositik hipokrom merupakan tipe yang paling sering
berhubungan dengan disfungsi tiroid.22 Pada pasien ini juga terjadi anemia dengan
pemeriksaan Hb awal 11,1, pasien juga mengalami pernurunan pada MCV dan MCH.
Setelah dilakukan pemeriksaan apusan darah tepi, pada pasien didapatkan anemia
mikrositik hipokrom dengan suspek defisiensi besi dengan diagnosis banding anemia
penyakit kronik.
Agranulositosis merupakan komplikasi langka penggunaan obat antitiroid.
Mekanisme terjadinya dapat secara langsung maupun melalui respon yang dimediasi
oleh sistem imun. Serangan tersebut dapat bersifat akut dan pasien dapat masuk ke
rumah sakit karena gejala dan tanda-tanda infeksi disertai dengan demam tinggi.
Adanya perhitungan absolute neutrophil count kurang dari 500/mm3 dengan
penggunan antitiroid dapat menjadi dasar diagnosis. Obat-obatan yang berperan dapat
berupa propiltiourasil (PTU), karbimazole dan metabolit aktifnya seperti metimazol.
Secara umum, terdapat dua mekanisme yang menginduksi terjadinya grunulositosis.
Beberapa obat memiliki potensi untuk mengalami oksidasi menjadi metabolit reaktif
oleh neutrofil sehingga menginduksi terjadinya respon imun dengan mengaktivasi
inflammasom sehingga menyebabkan terjadinya toksisitas pada neutrophil lalu
menyebabkan terjadinya apoptosis. Adanya akumulasi obat antitiroid pada neutrofil
membenarkan hipotesis ini. Mekanisme lainnya merupakan mekanisme imun yang
memiliki peran dalam menyebabkan terjadinya pembentukan antibodi pada granulosit
karena indusi obat seperti pada penggunaan PTU.23 Pada pasien ini terjadi leukopenia
yang setelah dilakukan pemeriksaan differential count didapatkan adanya neutropenia
dengan absolute neutrophil count 380/mm3. Pasien juga memiliki riwayat
penggunaan thiamazol sebelumnya.

20
Kelainan elektrolit memiliki hubungan dengan tirotoksikosis. Kelainan
elektrolit seperti hipokalemia sering terjadi dan dapat membahayakan nyawa karena
menginduksi terjadinya aritmia kardiak dan gagal pernapasan. Etiologi terjadinya
hipokalemia karena adanya perpindahan kalium ke dalam sel atau ekskresi kalium
berlebihan melalui renal atau ekstrarenal. Hipertiroidisme dapat menyebabkan
terjadinya keadaan hiperadrenergik. Stimulasi β2-adrenergic receptor pada sel otot
dapat secara langsung mempromosikan pengambilan ion K+ dengan meningkatkan
cyclic adenosine monophosphate (cAMP) intraseluler sehingga terjadinya aktivasi
pompa Na+-K+-ATPase. Selain itu, hormon tiroid memiliki struktur kimia yang
menyerupai katekolamin sehingga dapat mengaktivasi pompa Na+-K+-ATPase secara
langsung. Penelitian oleh Abedelmula dkk juga menunjukkan adanya hipokalemia
pada pasien hipertirodisme di Sudan.24-25 Pada pasien ini terjadi kelainan elektrolit
yaitu adanya hipokalemia dan hiponatremia pada pemeriksaan laboratorium awal.
Penanganan pada krisis tiroid memiliki beberapa target. Target terapi krisis
tiroid antara lain sebagai terapi suportif, inhibisi sintesis hormone baru, inhibisi
pelepasan hormon baru, blokade reseptor β-adrenergik perifer, mencegah konversi T4
menjadi T3, dan identifikasi dan penanganan faktor pemicu. Penanganan suportif
pada krisis tiroid berupa pemberian cairan. Cairan hilang pada krisis tiroid dapat
disebabkan karena adanya demam, diaforesis, muntah dan diare. Pemberian NaCl
0,9% dapat dilakukan untuk pengganti cairan. Pemberian obat simptomatik untuk
mengatasi demam juga dapat dilakukan seperti pemberian asetaminofen atau
parasetamol dengan dosis 325-650 mg tiap 4-6 jam (pemberian aspirin merupakan
kontraindikasi karena dapat memicu pelepasan tiroksin. Pasien juga perlu diperiksa
gula darahnya dan jika gula darah secara relatif rendah maka perlu diberikan cairan
dextrose 5% atau 10%. Selain itu pasien juga dapat diberikan nutrisi lainnya seperti
multivitamin, tiamin, dan asam folat.11 Pada pasien ini dilakukan pemberian cairan
berupa NaCl 0,9%, pasien juga dilakukan pemberian elektrolit tambahan melalui
KN2. Pasien juga diperiksakan gula darah dengan hasil awal 58 mg/dL dan setelah
dilakukan konfirmasi dengan pemeriksaan gula darah kapiler dan diperoleh hasil 112

21
mg/dL, pasien diberikan dextrose 5%. Pasien juga diberikan antipiretik yaitu
parasetamol dengan dosis 500 mg tiap 8 jam.
Metimazol dan PTU dapat digunakan untuk menginhibisi sintesis hormone
tiroid baru. Metimazol dapat diberikan sebanyak 40 mg loading dose dilanjutkan
dengan pemberian 25 mg tiap 4 jam. Dosis total metimazol dalam satu hari yaitu 120
mg. Alternatifnya dapat diberikan karbimazol 40-60 mg diberikan peroral dan dapat
dilanjutkan dengan 5-20 mg tiap harinya. Selain metimazol dapat juga diberikan PTU
dengan loading dose 600-1000 mg peroral dan diikuti dengan pemberian 200-250 mg
tiap 4 jam. Total dosis per hari dapat mencapai 1200-1500 mg/hari. Obat dapat
diberikan melalui pipa nasogastrik.11 Pada krisis tiroid PTU mungkin lebih
bermanfaat dibandingkan dengan metimazol karena memiliki efek inhibisi konversi
T4 menjadi T3. Namun PTU diketahui dapat menyebabkan hepatotoksisitas,
penelitian menunjukkan bahwa PTU dapat menyebabkan hepatotoksisitas 1:10000
kasus. Pada penelitian yang membandingkan PTU dan metimazol didapatkan bahwa
PTU menyebabkan kasus hepatotoksik sebanyak 26,8% dibandingkan dengan
metimazol 6,6%.26 Pada pasien ini dilakukan pemberian thiamazol dibandingkan
dengan PTU karena pasien menunjukkan adanya gejala ikterus.
Target ketiga penanganan krisis tiroid yaitu inhibisi pelepasan hormon tiroid
setelah satu jam pemberian metimazol atau PTU. Target ini dapat dicapai dengan
pemberian solusio lugol sebanyak 8-10 tetes per oral setiap 6-8 jam, atau potassium
iodide sebanyak 5 tetes per oral setiap 6 jam, atau asam iopanoik diberikan secara
intravena dengan dosis 1 gr untuk 24 jam lalu diberikan 500 mg dua kali per hari,
atau ipodate sebanyak 0,5-3 gr/hari peroral, atau terakhir dapat diberikan lithium
karbonat 300 mg per oral setiap 6 jam. 11 Pasien ini diberikan solusio lugol sebanyak 8
tetes peroral setiap 6 jam.
Blokade reseptor β-adrenergik perifer dapat dicapai dengan pemberian
propanolol secara intravena sebanyak 1-2 mg bolus, pemberian ini dapat diulang
setiap 10-15 menit hingga efek yang diharapkan tercapai. Pada pasien yang kurang
toksik, pemberian propanolol dapat dilakukan secara oral dengan dosis 20-120 mg
per dosis atau 160-360 mg/hari dalam dosis yang terbagi. Selain propanolol, dapat

22
pula diberikan esmolol dengan dosis 500 μg/kg secara bolus intravena dan
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 50-200 μg/kg/min.11 Pada pasien ini dilakukan
pemberian propanolol 60 mg tiap 6 jam peroral.
Target kelima penanganan krisis tiroid yaitu untuk mencegah terjadinya
konversi T4 menjadi T3. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian hidrokortison
dengan dosis awal 100 mg intravena dilanjutkan dengan 100 mg tiga kali sehari
hingga kondisi pasien stabil. Pasien juga dapat diberikan deksamethason sebanyak 2
mg setiap 6 jam. Propanolol juga memiliki efek dalam mencegah konversi T4
menjadi T3.11 Pada kasus ini pasien diberikan deksamethason sebanyak 10 mg tiap 8
jam secara intravena.
Selain itu, perlu dilakukan investigasi lebih lanjut mengenai faktor pemicu
terjadinya krisis tiroid. Investigasi tersebut dapat dilakukan baik dengan pemeriksaan
kultur darah, urin, tenggorokan dan sputum. Pemeriksaan foto toraks untuk
menyingkirkan penyebab infeksi paru. Elektrokardiografi untuk menyingkirkan
penyebab infark miokard, iskemia, atau aritmia.11 Pada pasien ini dilakukan kultur
urin dan pemeriksaan apusan darah tepi. Pasien didapatkan adanya infeksi
Staphylococcus hominis ssp hominis melalui pemeriksaan kultur darah dan
berdasarkan hasil pemeriksaan differential count diduga adanya febrile neutropenia.
Infeksi menjadi dugaan kuat sebagai faktor pemicu terjadinya krisis tiroid. Pasien
kemudian dilakukan pemberian antibiotik yaitu ceftazidine dan juga pemberian
filgastrim untuk mengatasi neutropenianya.
Semua pasien dengan krisis tiroid idealnya memerlukan penanganan di ruangan
intensif. Pasien krisis tiroid sering mengalami penyakit lainnya yang memicu
serangan dan memerlukan monitor ketat. Pasien mungkin memerlukan waktu
seminggu untuk pulih penuh hingga kadar hormone tiroid dalam darah berkurang.
Pasien dengan hipertiroid yang stabil dapat dipulangkan dengan rencana peninjauan
kembali oleh ahli endokrin.11
Walaupun krisis tiroid merupakan kondisi yang fatal, namun kemajuan di
bidang kedokteran disertai dengan diagnosis yang cepat dan penanganan yang
intensif berkontribusi dalam menurunkan angka kematian pada krisis tiroid. Tingkat

23
mortalitas pada krisis tiroid dapat mencapai 10-30%. Penelitian oleh Akamizu dkk
menunjukkan bahwa angka kematian krisis tiroid di Jepang menjadi 10,7%, angka ini
lebih rendah dari sebelumnya. Hal ini disebabkan karena penanganan krisis tiroid saat
ini sudah berkembang dan berperan dalam mengurangi angka mortalitas. 1,19 Prognosis
pada pasien ini yaitu dubia ad bonam karena diagnosis awal dan penanganan yang
intensif juga respon pasien yang baik terhadap pengobatan.

KESIMPULAN
Telah dilaporkan suatu kasus krisis tiroid pada seorang perempuan berusia 19
tahun. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, tanda dan gejala klinis serta
pemeriksaan penunjang yang meliputi adanya keluhan berdebar-debar pada pasien,
mata kuning, demam, muntah dan diare, pasien juga memiliki riwayat hipertiroid
yang sudah putus pengobatannya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya
takikardia, peningkatan suhu badan dan ikterus dengan skor Burch-Wartofsky 60
dengan kriteria JTA TS2. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan pasien mengalami
bisitopenia dengan adanya febril neutropenia sehingga diduga infeksi sebagai faktor
pencetus. Pasien diberikan terapi sesuai protokol krisis tiroid dan juga penanganan
faktor pencetus. Prognosis pada pasien ini yaitu dubia ad bonam karena diagnosis
awal dan penanganan yang intensif juga respon pasien yang baik terhadap
pengobatan.

CONCLUSION
It has been reported a case of 19 years old woman with thyroid storm.
Diagnosis was made based on patient’s history, signs and clinical symptoms and
investigations that included the presence palpitation, fever, and yellow eyed in
patient, patients also had a history hyperthyroidism and she recently stopped her
medication. On physical examination, it was found that the patien had takikardia,
raised temperature and icterus with Burch-Wartofsky score of 60 and JTA criteria
TS2. On further investigation, it was found that the patient had bisitopenia and
febrile neutropenia with infection as precipitating factor. The patient was treated

24
according to thyroid storm protocol simultaneously with its precipitating factor.
Prognosis in this patien was dubia ad bonam because of early diagnosis and
intensive treatment. The patient also responded well with the treatment.

25
DAFTAR PUSTAKA
1. Satoh T, Isozaki O, Suzuki A, Wakino S, Iburi T, Tsubo K, et al. 2016
Guidelines for the management of thyroid storm from the Japan Thyroid
Association and Japan Endocrine Society (First Edition). 2016;63(12):1025-
1064.
2. Bacuzzi A, Dionigi G, Guzzetti L, De Martino I, Severgnini P, dan Cuffari S.
Predictive features associated with thyrotoxic storm and management. Gland
Surg 2017;6(5):546-551
3. Yeh CY dan Yu WL. A case report of thyroid storm induced by acute sepsis.
Journal of acute disease. 2016;5(2):160-161.
4. Taylor PN, Alberch D, Scholz A, Gutierrez-Buey G, Lazarus JH, Dayan CM, et
al. Global epidemiology of hyperthyroidism and hypothyroidism. Nature
Review Endocrinology 2018;1:1-16.
5. Pokhrel B, Bhusal K. Thyroid Storm. [Updated 2019 Apr 2]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 . Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448095.
6. De Groot LJ, Bartalena L, Feingold KR. Thyroid Storm. 2018 Dec 17. In:
Feingold KR, Anawalt B, Boyce A, et al., editors. Endotext [Internet]. South
Dartmouth (MA): MDText.com, Inc.; 2000. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK278927.
7. Ross DS, Burch HB, Cooper DS, Greenlee C, Laurberg P, Maia AL, et al. 2016
American thyroid association guidelines for diagnosis and management of
hyperthyroidism and other causes of thyrotoxicosis. 2016;26(10):1343-1432.
8. Vanderpump MPJ. The epidemiology of thyroid disease. British Medical
Bulletin. 2011;99: 39–51
9. Williamson S dan Greene SA. Incidence of thyrotoxicosis in childhood: a
national population based study in the UK and Ireland. Clinical Endocrinology
2010;72:358–363.

26
10. Abraham-Nordling M, Bystrom K, Torring O, Lantz M, Berg G, Calissendorff
J, et al. Incidence of hyperthyroidism in Sweden. European Journal of
Endocrinology 2011;165(6):899-905.
11. Idrose M. Acute and emergency care for thyrotoxicosis and thyroid storm.
Acute Medicine & Surgery2015;2: 147–157
12. Wartofsky L., Klubo-Gwiezdzinska J. (2019) Thyroid Storm (Thyrotoxic
Crisis). In: Luster M., Duntas L., Wartofsky L. (eds) The Thyroid and Its
Diseases. Springer, Cham.
13. Carroll R dan Matfin G. Endocrine and metabolic emergency: thyroid storm.
Therapeutic Advances in Endocrinology and Metabolism 2010;1(3):139-145.
14. Warnock, A. L., Cooper, D. S. and Burch, H. B. (2018). Life‐Threatening
Thyrotoxicosis. In Endocrine and Metabolic Medical Emergencies, G. Matfin
(Ed.). doi:10.1002/9781119374800.ch16
15. Fatima, Puri R, Patnaik S, dan Mora J. When a toxic thyroid makes the liver
toxic: a case of thyroid storm complicated by acute liver failure. AACE clinical
case reports 2017;3(3):200-204.
16. Desai D, Anaraki SZ, Reddy N, Epstein Em dan Tabatabaie V. Thyroid storm
presenting as psychosis. Journal of investigative medicine 2018;6:1-5.
17. Grais M dan Sowers JR. Thyroid and the heart. Am J Med. 2014; 127(8): 691–
698.
18. Kravets I. Hyperthyroidsim: diagnosis and treatment. Am Fam Physician.
2016; 93 (5) :363-370
19. Akamizu T, Satoh T, Isozaki O, Suzuki A, Wakino S, Iburi T, et al. Diagnosis
criteria, clinical features, and incidence of thyroid storm based on nationwide
surveys. Thyroid 2012;22(7):661-679.
20. Kahal GJ, Bartalena L, Hegedus L, Leenhardt L, Poppe K, Pearce SH. 2018
European Thyroid Association guideline for the management of graves
hyperthyroidism. Eur Thyroid J 2018;7:167–186
21. Parulska S, Hernik A, dan Ruchala M. Anemia in thyroid diseases. Polish
archives of internal medicine 2017; 127 (5):352-360.

27
22. Refaat B. Prevalence and characteristics of anemia associated with thyroid
disorders in non-pregnant Saudi women during the childbearing age: a cross-
sectional study. Biomed J 2015;1;1-11.
23. Vicente N, Cardoso L, Barros L, Carrilho F. Antithyroid drug-induced
agranulocytosis: state of art on diagnosis and management. Drug R D
2017;12:91-96.
24. Tsai MH, Lin SH, Leu JG, dan Fang YW. Hypokalemic paralysis complicated
by concurrent hyperthyroidism and chronic alcoholism. Medicine
2015;94(39):1-4.
25. Abdealla AM dan Salih FA. Serum electrolyte and bone mineral status in
Sudanese patients with thyroid dysfunction. Neelain Medical Journal
2013;3(12):52-60.
26. Akmal A dan Kung J. Propiltiourasil, and metimazol, and carbimazole-related
hepatotoxicity. Expert Opinion on Drug Safety, 2014;13(10): 1397-1406

28
LAMPIRAN

Gambar 1. Pasien

Gambar 2. X-Ray Thorax Pasien

29
Gambar 3. EKG pasien pada tanggal 11-03-2019

Gambar 4. EKG pasien pada tanggal 12-03-2019

30
Gambar 5. Echocardiography Pasien

Gambar 6. USG tiroid Pasien

31
Gambar 7. USG abdomen Pasien

Tabel 1. Burch-Wartofsky point of scale untuk mendiagnosis krisis tiroid

32
Sumber: Satoh T, Isozaki O, Suzuki A, Wakino S, Iburi T, Tsubo K, et al. 2016
Guidelines for the management of thyroid storm from the Japan Thyroid Association
and Japan Endocrine Society (First Edition). 2016;63(12):1025-1064.

Tabel 2. Kriteria Japanese Thyroid Association

33
Sumber: Satoh T, Isozaki O, Suzuki A, Wakino S, Iburi T, Tsubo K, et al. 2016
Guidelines for the management of thyroid storm from the Japan Thyroid Association
and Japan Endocrine Society (First Edition). 2016;63(12):1025-1064.

34

Anda mungkin juga menyukai