Anda di halaman 1dari 17

PENDAHULUAN

Trombosis vena porta atau porta vein thrombosis (PVT) adalah suatu
komplikasi berbahaya pada penyakit dengan sirosis hati. Trombosis vena porta
sendiri berarti suatu keadaan dimana terbentuknya oklusi baik total ataupun
parsial di lumen pembuluh darah vena pada cabang vena porta termasuk pada
percabangan vena intrahepatika.1 Trombosis vena porta merupakan kasus yang
jarang dan dilaporkan secara kebetulan berdasarkan gejala dan temuan dari studi
kasus. Penelitian dari Swedia melaporkan angka kejadian PVT sekitar 1% dari
populasi umum. Trombosis vena porta dapat mengenai semua kelompok usia dan
jenis kelamin. Pada pasien sirosis dekompensata, angka kejadian PVT meningkat
menjadi 8% sampai 26%.2
Terdapat beberapa penyebab terbentuknya PVT seperti infeksi (apendiksitis,
kolesistitis, abses hati, dan kolangitis), sirosis hati, keganasan. Berdasarkan onset
terbentuknya, maka PVT dibagi menjadi gejala akut dan kronik. Gejala akut PVT
seperti nyeri perut hebat, diare, mual, muntah, perdarahan saluran cerna, asidosis,
splenomegali, bahkan sepsis yang berkembang dalam beberapa hari. Untuk kasus
PVT yang kronik biasanya tidak ditemukan gejala yang khas, terkadang hanya
merasakan mual, muntah, dan splenomegali.3 Obstruksi total yang akut dan tidak
ditangani segera akan sangat berbahaya dan bisa berkembang menjadi perforasi
intestinal, peritonitis, sepsis, syok, hingga kematian yang disebabkan kegagalan
multi organ. Untuk mendiagnosis PVT dapat dilakukan pemeriksaan USG
abdomen dengan sensitivitas 60% dan spesifisitas 100%. Pemeriksaan dengan
menggunakan CT-scan akan lebih akurat dibandingkan dengan pemeriksaan USG,
karena dapat mengetahui adanya sumbatan setelah zat kontras di berikan pada
vena porta yang mengalami oklusi.4
Prinsip penanganan PVT adalah memperbaiki aliran darah yang obstruksi dan
mencegah terjadinya komplikasi yang serius. Pemberian terapi antikoagulan
adalah terapi terbaik untuk memperoleh rekanalisasi vena porta dan mencegah
terbentuknya trombus baru.5 Namun sampai saat ini belum ada konsensus yang
menyatakan terapi kasus PVT. Tindakan invasif seperti pembedahan kadang
diperlukan bila ditemukan trombus yang luas pada vena porta. Pengetahuan

1
mengenai penyakit PVT ini sangatlah penting, terutama untuk penegakan
diagnosa mengingat kasus ini cukup jarang terjadi dan mempunyai angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Berikut dilaporkan kasus seorang pasien dengan sirosis hati dekompensta
dengan trombosis vena porta yang dirawat di RSUP Prof. dr. R. D. Kandou
Manado .

KASUS
Seorang pasien Ny. SM, umur 37 tahun, alamat kelurahan Sawangan,
Lingkungan VI, belum bekerja, agama Kristen Protestan, masuk Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Prof. dr. R.D. Kandou melalui Instalasi Gawat Darurat
tanggal 23 Maret 2018 pukul 18.00 WITA. Pasien merupakan rujukan dari Rumah
Sakit Umum GMIM Tonsea, dengan keluhan utama penurunan kesadaran.
Penurunan kesadaran dialami penderita sejak 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit,
sebelumnya pasien mengalami muntah berwarna kehitaman dengan frekuensi
kurang lebih sebanyak 5 kali dalam satu hari selama 2 hari, karena keadaan
pasien yang cenderung mengalami perburukan klinis sehingga dirujuk ke RSUP
Prof dr. R.D. Kandou Manado. Muntah berwarna kehitaman memang sudah
sering dialami pasien, sebelumnya pasien sudah pernah dirawat di RSUP Kandou
bulan Februari 2018 dengan keluhan keluhan yang sama. Pasien juga sebelumnya
mengeluh perut mengalami pembengkakan disertai rasa nyeri sejak 3 hari sebelum
masuk Rumah Sakit, tampak kuning di seluruh badan, dan mengalami
pembengkakan juga di kedua kaki yang berlangsung sekitar 1 bulan yang lalu.
Riwayat demam dialami pasien sejak 3 hari sebelum dirawat di Rumah Sakit
sebelumnya. Pasien juga mengalami sesak nafas sejak dirawat di Rumah Sakit
sebelumnya tanpa disertai keluhan batuk. Buang air kecil berwarna kuning pekat
seperti teh, dengan buang air besar tidak ada keluhan. Riwayat menderita penyakit
sirosis hati diketahui sejak tahun 2017. Pasien sering kontrol di poli hepatologi
RSUP Prof. dr. R. D Kandou dan pada tanggal 27 Februari 2018 dilakukan
pemeriksaan USG abdomen dengan didapatkan hasil fatty liver, suspek sirosis
hepatis disertai tanda hipertensi porta, splenomegali, kolesistolitiasis dengan

2
gambaran dilatasi kantung empedu, dan asites. Pada tanggal 12 Maret 2018 saat
pasien kontrol di poli hepatologi RSUP Prof. dr. R. D Kandou dilakukan
pemeriksaan CT-scan abdomen dengan menggunakan kontras dan didapatkan
hasil hepatosplenomegali disertai gambaran sirosis hati dengan nodul multiple
hipodens, trombus vena porta, kolelitiasis dan asites. Riwayat penyakit hepatitis,
kencing manis, darah tinggi, asam urat, penyakit jantung, paru, dan ginjal
disangkal. Hanya penderita yang sakit seperti ini dalam keluarga dan di
lingkungan tetangga. Riwayat merokok dan alkohol disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat dengan
kesadaran somnolen. Tanda vital tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 124
kali/menit, isi cukup, regular, respirasi 22 kali/menit, saturasi oksigen 92% tanpa
alat bantu dan 98% dengan nasal kanul 3L/menit, suhu badan 36,90C. Berat
badan 52 kg, tinggi badan 155 cm, Indeks Massa Tubuh (IMT) 19,11 kg/m2
dengan kesan normal. Pada pemeriksaan kepala ditemukan konjungtiva tampak
anemis, sklera ikterik, pupil bulat isokor, refleks cahaya ada dan normal, faring
tidak hiperemis. Pada leher didapatkan tekanan vena jugularis 5+0cm H2O, trakea
letak tengah dan tidak ada pembesaran di kelenjar getah bening. Pada
pemeriksaan dada, inspeksi pergerakan dinding dada terlihat simetris, ditemukan
spider nevi; palpasi stem fremitus sulit di evaluasi; perkusi sonor kiri sama dengan
kanan; auskultasi didapatkan suara pernapasan paru vesikuler kanan sama dengan
kiri, tidak ada ronkhi, dan tidak ada wheezing. Batas jantung kiri terletak pada
sela iga V di linea axillaris anterior, batas jantung kanan terletak pada sela iga IV
midsternalis.; auskultasi terdengar bunyi jantung pertama dan kedua regular, tidak
ada bising, tidak ada bunyi jantung tambahan. Pada pemeriksaan abdomen, perut
tampak cembung, bising usus normal, dinding abdomen lemas, nyeri tekan sulit
dievaluasi, hati teraba membesar 3 cm dibawah arcus costa, dan limpa teraba
membesar di schufner III, ditemukan pekak berpindah (shifting dullness). Pada
pemeriksaan ekstremitas akral hangat, terdapat edema di kedua tungkai kaki.
Pada pemeriksaan laboratorium saat masuk rumah sakit tanggal 23 maret 2018
didapatkan hasil leukosit 8.800/uL; hemoglobin (Hb) 7,6 g/dL; eritrosit
2,25x106/uL; MCH 33.6 pg; MCHC 34 g/dL; MCV 99 fL; trombosit 40.000/uL;

3
SGOT 56 U/L; SGPT 38 U/L; ureum 155 mg/dL kreatinin 1,2 mg/dL; gula darah
sewaktu 143 mg/dL; klorida 117 mEq/L; kalium 4,1 mEq/L; natrium 143 mEq/L;
HbsAg non reaktif; anti HCV non reaktif. Hasil elektrokardiogram didapatkan
ekspertise sinus takikardia, 110x/mnt, dan didapatkan hasil foto toraks tanggal 23
Mei 2018 dengan kesan jantung dan paru dalam batas normal.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka
pasien ini didiagnosis kerja dengan ensefalopati hepatikum et causa sirosis hepatis
dekompensata et causa non alcoholic fatty liver disease (NAFLD), sepsis et
causa suspek Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP), hematemesis et causa
suspek perdarahan varises esophagus dd gastritis erosiva, trombosis vena porta,
kolelithiasis, multiple nodul hepar, anemia normokrom normositik, acute kidney
injury (AKI) et causa perdarahan. Pasien direncanakan untuk dilakukan
pemeriksaan bilirubin total, bilirubin direk, albumin, ureum kontrol dan kreatinin
kontrol, hemostasis faktor perdarahan, urinalisa, kultur darah dengan test
sensitivitas dan direncanakan konsul ke divisi ginjal dan divisi gastrohepatologi.
Penanganan lengkap pada penderita dilakukan secara non-medikamentosa dan
medikamentosa. Penanganan non-medikamentosa terdiri dari diet cair,
pemantauan keseimbangan cairan, transfusi darah, pemasangan selang kateter urin
dan nasogastric tube. Penanganan medikamentosa yaitu penderita diberikan O2 3
liter/menit, IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, injeksi cefotaxime 2 gram tiap 8 jam dengan
dilakukan skin test, metronidazol drips 500 mg tiap 8 jam dengan dilakukan skin
test, bolus esomeperazole 80 mg dengan diikuti drips esomeperazole 8 mg tiap
jam, bolus ocreotide 100 mcg dengan diikuti drips ocreotide 25 mcg tiap jam,
injeksi vitamin K 1 ampul tiap 8 jam, lactulosa sirup 1 sendok tiap 8 jam,
sukralfat sirup 1 sendok tiap 6 jam dan transfusi Packed Red Cell (PRC) 230 cc
tiap 24 jam dengan target Hb 10 g/dL.
Pada hari perawatan ketiga, pasien masih mengalami penurunan kesadaran,
telah dilakukan transfusi PRC 230 cc pada perawatan hari pertama dan kedua,
pada pasien tidak ditemukan adanya reaksi transfusi. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum tampak sakit berat dengan kesadaran somnolen dengan
tanda vital tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 118 kali/menit, isi cukup, regular,

4
respirasi 24 kali/menit dengan nasal kanul 4L/menit, saturasi oksigen 96% dengan
nasal kanul 4L/menit, suhu badan 37,60C. Produksi cairan kehitaman di
nasogastric tube kurang lebih 100 cc. Produksi urine 500 cc per 24 jam dengan
Balance Cairan +250 cc per 24 jam. Dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan
hasil leukosit 17.100/uL; eritrosit 2,77 x 106/uL; Hb 9 g/dL; trombosit 26.000/uL;
MCH 32,6 pg; MCHC 34,8 g/dL; MCV 93,8 fL; ureum 277 mg/dl; kreatinin 2,8
mg/dl; SGOT 28 U/L; SGPT 15 U/L; bilirubin total 4,45 mg/dl; bilirubin direk
3,17 mg/dl; protein total 5,77 g/dl; albumin 2,3 g/dl; globulin 3,47 g/dl; alkaline
fosfatase 148 U/l;gamma GT 60U/l; PT 21,6 detik (kontrol 15,0 detik); aPTT 39,5
detik (kontrol 35.9 detik); INR 2,06 detik (kontrol 1.14 detik). Pemeriksaan
urinalisa didapatkan urobilinogen +2, bilirubin +1. Berdasarkan hasil konsul divisi
ginjal, pasien direncanakan untuk terapi supporting ginjal (hemodialisa) dengan
diet rendah protein. Berdasarkan konsul divisi gastroenterologi, pasien
direncanakan endoskopi untuk ligasi varises. Pasien direncanakan untuk transfusi
albumin dengan target albumin 3 g/dl, dan penambahan terapi injeksi asam
tranexamat 500 mg tiap 8 jam. Terapi lain masih dilanjutkan. Pasien dikonsulkan
ke bedah untuk rencana pemasangan akses double lumen dan pasien telah
menjalani hemodialisa (HD).
Pada hari perawatan keempat, kesadaran pasien tampak membaik. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang dengan
kesadaran apatis. Sudah tidak terdapat produksi cairan kehitaman pada selang
nasogastric tube. Pada tanda vital tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 88
kali/menit, isi cukup, regular, respirasi 24 kali/menit, saturasi oksigen 99%
dengan nasal kanul 2 L/menit, suhu badan 370C. Produksi urine 450 cc per 24 jam
dengan Balance Cairan +400 cc per 24 jam. Tampak konjungtiva anemis dan
sklera ikterik. Pada pemeriksaan abdomen tampak cembung, didapatkan bising
usus normal, terdapat ascites. Pada ekstremitas tampak edema pada kedua
ekstremitas inferior. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil leukosit
11.200/uL; Hb 8,9 g/dL; trombosit 24.000/uL; SGOT 23 U/L; SGPT 20 U/L;
bilirubin total 5,22 mg/dl; bilirubin direk 4,59 mg/dl; ureum 214 mg/dl; kreatinin
2,3 mg/dl; fosfor 3,3 mg/dl; magnesium 2,96 mg/dl; kalsium 7,3 mg/dl; klorida

5
121,7 mEq/L; kalium 3,12 mEq/L; natrium 149 mEq/L. Terapi saat ini untuk
pemberian esomeperazole drips dan ocreotide drips dihentikan, dan diberikan
terapi esomeperazole injeksi 40 mg tiap 12 jam. Terapi lain masih dilanjutkan.
Pada hari perawatan kedelapan, pasien kembali mengalami penurunan
kesadaran dan terdapat demam. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan
umum tampak sakit berat, dengan kesadaran somnolen. Selang nasogastric tube
tidak terdapat produksi cairan. Pada tanda vital tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
126 kali/menit, isi cukup, regular, respirasi 26 kali/menit, saturasi oksigen 96%
dengan non rebreathing mask 10 L/menit, suhu badan 38,70C. Pada pemeriksaan
dada, inspeksi pergerakan dinding dada simetris kiri dengan kanan, pada
auskultasi didapatkan suara pernapasan paru kanan dan kiri terdapat ronki kasar
dan tidak ada wheezing. Produksi urine 550 cc per 24 jam dengan Balance Cairan
+250 cc per 24 jam. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil leukosit
13.500/uL; Hb 9,2 g/dL; trombosit 25.000/uL; SGOT 34 U/L; SGPT 22 U/L;
ureum 198 mg/dl; kreatinin 2,1 mg/dl; fosfor 3,6 mg/dl; magnesium 3,18 mg/dl;
kalcium 7,44 mg/dl; protein total 6,07 g/dl; albumin 2,41 g/dl; klorida 116,7
mEq/L; kalium 3,45 mEq/L; natrium 141 mEq/L. Pemeriksaan analisa gas darah
(AGD) didapatkan hasil pH 7,47; pCO2 17,5 mmHg; pO2 143 mmHg; base
excess -11 mmol/L; HCO3- 12,7 mmol/L; laktat 2,08 mmol/L; saturasi O2 99%.
Pada hasil pemeriksaan kultur darah ditemukan kuman Aeromonas hydrophilia
dan sensitif terhadap antibiotik meropenem. Pasien didiagnosa dengan sepsis et
causa pneumonia dd SBP, sirosis hepatis dekompensata ec NAFLD, post
hematemesis et causa suspek perdarahan varises esofagus dd gastritis erosiva,
trombosis vena porta, kolelitiasis, anemia normokrom normositik, AKI et causa
perdarahan (membaik), hipoalbumin. Terapi antibiotik injeksi cefotaxime dan
metronidazole dihentikan, diganti dengan injeksi meropenem 1 gram tiap 8 jam;
pemberian transfusi albumin dengan target albumin 3 g/dl dan terapi lain
dilanjutkan. Pasien direncanakan kultur sputum dan kultur cairan asites,
pemeriksaan foto toraks ulang.
Hari perawatan kesembilan, kondisi pasien semakin menurun. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat dengan kesadaran

6
koma. Pada tanda vital tekanan darah 60/30 mmHg, nadi 126 kali/menit, isi
lemah, regular, respirasi 28 kali/menit dengan menggunakan oksigen rebreathing
mask 12 L/menit, saturasi oksigen 92%, suhu badan 380C. Selang nasogastric
tube terdapat produksi cairan kehitaman dengan volume sekitar 100 cc. Pada
pemeriksaan konjungtiva tampak anemis dan sklera ikterik, pemeriksaan dada
didapatkan inspeksi pergerakan dada kiri dan kanan simetris dan auskultasi
didapatkan suara rhonki kasar di kedua lapangan paru dan suara wheezing tidak
ditemukan. Produksi urine 400 cc per 24 jam dengan Balance Cairan +300 cc per
24 jam. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil leukosit 28.800/uL;
hemoglobin 6,25 g/dL; trombosit 18.000/uL; MCH 34,3 pg; MCHC 33,3 g/dL;
MCV 103 fL. Pasien didiagnosa dengan syok sepsis et causa pneumonia dd SBP,
direncanakan pemberian drips norepinefrin dengan dosis 0,05 mcg/kgbb/menit
dosis titrasi, paracetamol drips 500 mg tiap 8 jam, injeksi meropenem 1 gram tiap
8 jam, vitamin K injeksi 1 ampul tiap 8 jam, esomeperazol drips 8 mg tiap jam,
asam tranexamat injeksi 500 mg tiap 8 jam. Pasien juga direncanakan transfusi
PRC. Pasien dikonsulkan ke bagian anestesi untuk perawatan di ruang intensif
(ICU) karena indikasi ancaman gagal nafas. Pada siang hari, pasien mengalami
henti nafas dan henti jantung serta dilakukan tindakan resusitasi jantung dan paru,
namun kondisi pasien tetap tidak ada perubahan. Pasien dinyatakan meninggal
dengan penyebab kematian adalah kegagalan multi organ.

PEMBAHASAN
Trombosis vena porta atau porta vein thrombosis (PVT) adalah suatu
komplikasi tersering dan berbahaya pada penyakit dengan sirosis hati. PVT
sendiri merupakan suatu keadaan dimana terbentuknya oklusi baik total ataupun
parsial di lumen pembuluh darah vena pada cabang vena porta termasuk pada
percabangan vena intrahepatika.1 Kasus PVT pertama kali dilaporkan oleh
Balfour dan Stewart pada tahun 1868, dimana pasien digambarkan dengan
beberapa gejala seperti splenomegali, ascites, dan dilatasi varises esophagus.6
Sarin, dkk mendefinisikan PVT sebagai suatu sindroma gejala klinik seperti nyeri
perut, ascites yang baru terbentuk, perdarahan varises, dan infark intestinal yang

7
pada pemeriksaan lanjut ditemukan secara kebetulan adanya oklusi pada vena
porta.7
Trombosis vena porta merupakan kasus yang jarang dan dilaporkan secara
kebetulan berdasarkan gejala klinis dan temuan dari studi kasus. Penelitian dari
Swedia melaporkan angka kejadian PVT sekitar 1% dari populasi umum.
Trombosis veva porta dapat mengenai semua kelompok usia dan jenis kelamin.
Penelitian Cohen, dkk melaporkan kebanyakan kasus PVT merupakan komplikasi
dari sirosis hati. Prevalensi kejadian kasus PVT di Eropa diperkirakan berkisar
antara 0.6% sampai 26% pasien dengan sirosis hati. Pada pasien sirosis
dekompensata, angka kejadian PVT meningkat menjadi 8% sampai 26% untuk
terjadi PVT.4 Telah banyak penelitian yang melaporkan kejadian PVT, seperti
Maruyama, dkk melaporkan studi analisa retrospektif pada 150 kasus dengan
sirosis hati dengan lama penelitian sekitar 66 bulan, dilaporkan bahwa terdapat
12,8% kasus insiden PVT yang telah dimonitor selama 1 tahun, 18,6% yang
didapatkan setelah 3 tahun, dan 20% kasus setelah 5 tahun.8 Hal ini menjadi suatu
pendapat bahwa angka kejadian PVT meningkat seiring dengan derajat keparahan
dari sirosis hati tersebut. Pada kasus, pasien merupakan seorang wanita, suku
minahasa, usia 37 tahun.
Mekanisme patofisiologi terbentuknya PVT saat ini masih kontroversi, banyak
studi yang telah mempelajari patofisiologi terbentuknya PVT terutama pada
pasien dengan sirosis hati. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya
thrombus adalah triad virchow’s meliputi stasis vena, hiperkoagulasi, disfungsi
endotel.9 Faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya PVT pada pasien sirosis
hati adalah penurunan aliran darah di daerah pembuluh darah porta, hal ini
dijelaskan oleh percobaan yang dilakukan oleh Zocco dkk. Sirosis hati
berhubungan dengan gangguan faktor koagulasi, faktor anti koagulan, defek pada
jumlah trombosit, dan sistem fibrinolitik. Trombositopenia sangat sering dijumpai
pada sirosis hati, tetapi fungsi dari trombosit itu sendiri tidak terganggu melainkan
terjadi hiperreaktivitas pada fungsi trombosit bahkan terjadi peningkatan dari
faktor von willebrand dan factor VIII. Sirosis hati mengalami penurunan faktor
pro koagulan, seperti fibrinogen, faktor II, V, VII, IX, XI, XII. Selain itu sirosis

8
hati juga mengalami penurunan anti koagulan seperti protein C, protein S, dan anti
thrombin III.10,11 Studi yang dilakukan oleh Tropodi, dkk menyatakan defisiensi
protein C merupakan faktor yang berkontribusi untuk terjadinya hiperkoagulasi
pada sirosis hati. Pada sirosis hati juga terjadi peningkatan tissue-type
plasminogen activator, plasminogen activator inhibitor-1 yang akan
menyebabkan terjadinya penurunan plasminogen. Kelainan pada jalur kaskade
fibrinolitik inilah yang dapat menjelaskan terbentuknya PVT pada sirosis hati.
Infeksi juga menjadi salah satu faktor yang meningkatkan risiko terbentuknya
bekuan darah pada sistem sirkulasi dan menjadi salah satu mekanisme PVT pada
sirosis hati. Infeksi menyebabkan gangguan hemodinamik sehingga terjadi
penurunan aliran darah portal dan gangguan fungsi endotel yang disebabkan
reaksi inflamasi dan terbentuknya mediator-mediator inflamasi.12 Pada saat
mediator inflamasi dibentuk, terjadi peningkatan agregasi trombosit sehingga
risiko terbentuknya trombus juga akan meningkat. Pada kasus, faktor risiko
terjadinya PVT pada pasien adalah sirosis hati. Pasien didiagnosis sirosis hati
sejak tahun 2017. Selama perawatan, pasien mengalami infeksi dimana pada
pemeriksaan kultur darah ditemukan kuman aeromonas hydrophilia, dimana
kuman tersebut sering menginfeksi saluran pencernaan dan juga kuman tersebut
dapat berkembang pada cairan ascites dan menjadi peritonitis. Kuman aeromonas
sp akan berkembang cepat pada pasien yang sistem imunitas tubuh yang turun
seperti pada pasien ini.
Berdasarkan onset terbentuknya, maka PVT dibagi menjadi akut dan kronik.
Menentukan keadaan akut ataupun kronik pada kasus PVT sulit dilakukan,
biasanya dilihat dari gejala klinis seperti nyeri perut hebat, diare, mual, muntah,
demam, perdarahan saluran cerna, asidosis, splenomegali, bahkan sepsis yang
dapat berkembang dalam beberapa hari.13 Obstruksi total yang akut dan tidak
ditangani dapat berkembang menjadi perforasi intestinal, peritonitis, syok, hingga
kematian yang disebabkan kegagalan multi organ. Pemeriksaan fisik yang
ditemukan biasanya distensi abdomen, nyeri tekan abdomen, splenomegali, bising
usus yang menurun.10 Pada kasus PVT kronik biasanya tidak memiliki gejala atau
keluhan pada pasien, namun pada kebanyakan kasus PVT kronik pasien hanya

9
mengeluh asites, perdarahan saluran cerna. Pada pasien sirosis dengan disertai
PVT akan menyebabkan resiko perdarahan varises esophagus. Kasus ikterus
ekstra hepatik juga pernah dilaporkan pada kasus PVT yang bersifat kronik.14
Pada kasus, pasien ditemukan gejala perdarahan saluran cerna bagian atas yang
dicurigai akibat perdarahan varises esophagus, selain itu pasien juga mengalami
gejala seperti ascites, ikterus, splenomegali dan pasien mengalami infeksi berat.

Untuk menegakkan diagnosa PVT melalui alat pencitraan bisa dilakukan


dengan pemeriksaan USG abdomen dengan sensitivitas 80-90% dan spesifitas
60%. Gambaran yang ditemukan pada pemeriksaan USG adalah distensi vena
porta, dengan gambaran hiperekoik pada daerah vena portal, dan adanya
gambaran kolateral pembuluh darah (kavernoma).4 Pada pemeriksaan dopler
didapatkan tidak adanya aliran pembuluh darah vena portal yang obstruksi,
sedangakan dengan pemeriksan menggunakan Endoscopic of Ultrasound (EUS)
memberikan sensitivitas 80% dan spesifisitas 93% untuk menegakan diagnosa
PVT. Dari keseluruhan alat pencitraan diagnostik, pemeriksaan dengan
menggunakan CT scan atau MRI mudah mendiagnosa PVT dengan tingkat
keakuratan yang tinggi. Dengan pemeriksaan CT scan yang menggunakan zat
kontras maka akan terlihat aliran darah yang obstruksi pada vena portal, bahkan
dapat mengetahui komplikasi dari PVT seperti iskemia mesenterika (gambaran
penurunan aliran darah yang menuju vena mesenterika).4,9 Pada kasus, pasien
didiagnosa PVT menggunakan pencitraan CT scan abdomen dengan zat kontras.
Hasil pemeriksaan CT scan ditemukan hepatosplenomegali, nodul multipel
hipodens, trombus vena porta dengan hipertensi porta dan ascites, sirosis hati, dan
gambaran kolelitiasis.

Prinsip penanganan PVT adalah memperbaiki aliran darah yang obstruksi dan
mencegah kepada komplikasi yang serius. Tujuan terapi PVT baik akut maupun
kronik yaitu menangani faktor penyebab, mencegah pembentukan trombus yang
baru, menghilangkan penyumbatan pada aliran yang terdapat oklusi. Pada
penanganan kasus trombosis yang lama, tertuju pada pencegahan terjadinya
hipertensi portal, ataupun kolangiopati akibat penekanan trombus ke sistem bilier.

10
Konsensus Baveno VI tahun 2015 merekomendasikan untuk penggunaan
antikoagulan pada pasien sirosis dengan PVT, tetapi dengan mempertimbangkan
resiko terjadinya perdarahan.14 European Association for the Study of the Liver
(EASL) tahun 2015 dan 2018 juga merekomendasikan penggunaan antikoagulan
pada pasien sirosis hati dekompensata dengan PVT, disertai dengan pemberian
terapi profilaksis untuk terjadinya perdarahan gastrointestinal. Terapi
antikoagulan yang dipakai adalah low molecular weight heparin (LMWH) dan
antagonis vitamin K. Penelitian Francoz, dkk membandingkan pasien PVT yang
diberikan antikoagulan dengan yang tidak diberikan antikoagulan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pasien PVT yang mendapat terapi antikoagulan akan
terbentuk rekanalisasi pembuluh darah dan pasien yang tidak mendapat terapi
antikoagulan tidak terbentuk rekanalisaasi.15 Penelitian Nagoki, dkk
membandingkan pemberian DOAC’s (direct oral anti-coagulants) yaitu edoxaban
dibandingkan dengan pemberian warfarin pada pasien PVT dengan sirosis
didapatkan hasil edoxaban lebih efektif (lebih cepat terbentuknya rekanalisasi
porta), tetapi efek perdarahan akan lebih tinggi menggunakan edoxaban. Apabila
terapi pemberian antikoagulan gagal maka dapat dilakukan tindakan transjugular
intrahepatic portosystemic shunt (TIPS). Tindakan TIPS lebih diindikasikan
untuk PVT akut, sedangkan kasus PVT kronik atau kavernoma, tindakan TIPS
sangat jarang berhasil karena lumen tidak bisa dimasuki dengan selang kateter
saat dilakukan TIPS. Tindakan ini sangat efektif untuk mengurangi hipertensi
portal.16 Pada kasus, pasien saat perawatan mengalami perdarahan saluran cerna
sehingga pemberian terapi PVT ditunda sampai perdarahan saluran cerna berhenti.

RINGKASAN
Telah dilaporkan seorang pasien wanita usia 37 tahun dirujuk dari rumah sakit
umum GMIM Tonsea dengan keluhan utama penurunan kesadaran dan muntah
berwarna kehitaman sebelum masuk RSUP Prof. dr. R. D. Kandou Manado.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium pasien
didiagnosa dengan ensefalopati hepatikum et causa sirosis hepatis dekompensata

11
et causa NAFLD, sepsis et causa suspek peritonitis spontan bacterialis (SBP),
hematemesis et causa suspek perdarahan varises esofagus dd gastritis erosiva,
trombosis vena porta, kolelitiasis, anemia normokrom normositik, AKI ec
perdarahan. Pada kasus, pasien mengalami perdarahan saluran cerna sehingga
penanganan PVT tidak dapat diberikan kepada pasien. Pasien mengalami
penurunan kondisi hingga meninggal yang disebabkan kegagalan multi organ.

SUMMARY
Has been reported 37 years old women refers from GMIM tonsea general
hospital to Prof. dr. R. D. Kandou hospital with main complain decrease of
conciousness, blacktarry vomit, and jaundice. Diagnosis is made from anamnesis,
physical examination, and supportive examination. Patient is diagnosed with
hepatic encephalopathy et causa decompensated liver cirrhosis et causa NAFLD,
sepsis et causa suspect SBP, hematemesis et causa suspect varices esophagus
bleeding dd erosive gastritis, PVT, cholelitiasis, anemia normocytic normocromic,
AKI et cause bleeding. In this case, patient can not be given therapy of PVT due to
gastrointestinal bleeding. Patients had decrease of condition until death which
caused by multi organ failure.

12
DAFTAR PUSTAKA
1. Tsochatzis EA, Senzolo M, Germani G, Burroughs AK. Systematic review:
portal vein thrombosis in cirrhosis. Aliment Pharmacol Ther.2010; 31: 366-74.
2. Cohen J, Edelman RR, Chopra S. Portal vein thrombosis: a review. Am J Med.
1992; 92: 173-82.
3. Condat B, Valla D. Nonmalignant portal vein thrombosis in adults. Nat Clin
Pract Gastroenterol Hepatol. 2006; 3: 505-15.
4. Ponziani FR. Portal vein thrombosis: Insight into physiopathology, diagnosis
and treatment. World Journal of Gastroenterology. 2010; 16 : 143-51.
5. De Franchis R, Baveno VI Faculty. Expanding consensus in portal
hypertension: Report of the Baveno VI Consensus Workshop: Stratifying risk
and individualizing care for portal hypertension. J Hepatol. 2015; 63: 743-52.
6. Amitrano L, Guardascione MA, Brancaccio V, Margaglione M, Manguso F,
Iannaccone L, et al. Risk factors and clinical presentation of portal vein
thrombosis in patients with liver cirrhosis. J Hepatol. 2004; 40: 736-41.
7. Sarin SK, Philips CA, Kamath PS. Toward a Comprehensive New
Classification of Portal Vein Thrombosis in Patients With Cirrhosis.
Gastroenterology. 2016; 151: 574-7.
8. Maruyama H, Okugawa H, Takahashi M, Yokosuka O. De novo portal vein
thrombosis in virus-related cirrhosis: predictive factors and long-term
outcomes. Am J Gastroenterol. 2013 ; 108 : 568-74.
9. Violi F, Corazza GR, Caldwell SH, Perticone F. Portal vein thrombosis
relevance on liver cirrhosis: Italian Venous Thrombotic Events Registry.
Intern Emerg Med. 2016; 11: 1059-66.
10. Zocco MA, Di Stasio E, Novi M. Thrombotic risk factors in patients with liver
cirrhosis: correlation with MELD scoring system and portal vein thrombosis
development. J Hepatol. 2009; 51: 682-9.
11. Tambunan KL. Gangguan hemostasis pada sirosis hati. Dalam : Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Interna Publishing. 2014 : 2800-4.

13
12. Tripodi A, Primignani M, Lemma L, Chantarangkul V. Evidence that low
protein C contributes to the procoagulant imbalance in cirrhosis. J Hepatol
2013; 59: 265-70
13. Kocher G, Himmelmann A. Portal vein thrombosis (PVT): a study of 20 non-
cirrhotic cases. Swiss Med Wkly. 2005 ; 135 : 372-6.
14. Sogaard KK, Astrup LB, Vilstrup H, Gronbaek H. Portal vein thrombosis; risk
factors, clinical presentation and treatment. BMC Gastroenterol .2007;7: 34-7.
15. Francoz C, Belghiti J, Vilgrain V, Sommacale D, Paradis V, Condat B,
Denninger MH, Sauvanet A, Valla D, Durand F. Splanchnic vein thrombosis
in candidates for liver transplantation: usefulness of screening and
anticoagulation. Gut 2005 ; 54: 691-7.
16. Trifan A, Stanciu C, Sfarti C. Portal vein thrombosis in cirrhotic patients - it is
always the small pieces that make the big picture. World Journal of
Gastroenterology. 2018; 24 (39) : 4419–27.

14
LAMPIRAN

Gambar 1. Foto toraks pasien

Gambar 2. Foto ekspertisi USG abdomen

15
Gambar 3. Foto USG abdomen

Gambar 4. Foto ekspertisi CT-scan Abdomen dengan menggunakan kontras

16
Gambar 5. Hasil kultur darah dan sensitivitas tes

Gambar 6. Foto pasien

17

Anda mungkin juga menyukai