Anda di halaman 1dari 42

BAB I Latar Belakang Pelaksanaan kemoterapi membutuhkan persyaratan laboratorium yang normal seperti darah lengkap, kimia darah,

elektrolit, dan albumin. Infeksi aktif membatasi dan menjadi kontraindikasi relatif pemberian kemoterapi. Pasien dengan tumor solid sering disertai dengan sindroma paraneoplastik berupa lekositosis yang memberikan gambaran abnormalitas angka darah putih. Angka leukosit yang tinggi ini, tanpa adanya tanda-tanda infeksi, dapat dibedakan dari infeksi aktif secara relatif mudah. Sayangnya pada banyak penderita kanker dengan sistem imun yang menurun banyak dijumpai infeksi tersembunyi atau tanpa disertai gejala. Lekositosis pada kasus kanker, sering disebut reaksi leukemoid, ditandai dengan peningkatan angka darah putih perifer lebih dari 20.000/uL tanpa adanya infeksi atau leukemia (Toro et al. 2009). Penanganan lekositosis karena sindrom paraneoplastik yang tidak ditegakkan dan tidak bisa dibedakan dari infeksi aktif akan menyebabkan pengeluaran biaya kesehatan tambahan yang akan dibebankan pada pasien. Lama perawatan yang lebih panjang untuk menurunkan lekosit, dan antibiotik yang tidak diperlukan bisa dihindarkan bila petugas medis mampu mengenali gejala paraneoplastik lekositosis ini. Kasus ini bertujuan untuk memberikan ilustrasi kasus solid tumor dengan sindrom paraneoplastik berupa lekositosis agar dapat dibedakan dengan infeksi

akut dan aktif, agar didapatkan cara penanganan yang tepat menurunkan biaya kesehatan yang tidak diperlukan.

dan mampu

BAB II KASUS Kami hadapkan seorang laki-laki usia 71 tahun, pensiunan guru, dirawat di bangsal Bougenville 3 RSUP dr Sardjito tanggal 5 September 2011 sampai dengan 21 September 2011. Keluhan utama pada pasien ini adalah benjolan di leher kanan sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit. Riwayat penyakit sekarang : pasien merasakan adanya benjolan di leher kanan dengan ukuran sekitar 2cm dan tidak sakit saat 2 tahun sebelum masuk rumah sakit dan saat itu pasien belum memeriksakan diri ke dokter. Pasien merasa benjolan di leher kanan semakin membesar dan mengalami perdarahan dari hidung saat 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. Tidak ada riwayat demam lama, penurunan berat badan, maupun riwayat merokok aktif. Pasien kemudian memeriksakan diri ke RSUD Wates dan disarankan untuk memeriksakan diri ke bagian Patologi Anatomi FK UGM. AJH pada tumor leher kanan telah dilakukan pada tanggal 3 Agustus 2011 dengan hasil didapatkan sel ganas, pendapat karsinoma tak terdiferensiasi, tidak dapat menetapkan asalnya. Pasien kemudian disarankan untuk memeriksakan diri ke Poli Tulip. MSCT scan nasofaring telah dilakukan pada tanggal 9 Agustus 2011 dengan hasil menyokong gambaran NPC di dinding nasofaring sinistra, limfadenopati cervicalis profunda dextra. Biopsi nasofaring kanan dan kiri telah dilakukan pada tanggal 10 Agustus 2011 dengan hasil nasofaring kanan radang kronis dan nasofaring kiri undifferentiated

carcinoma (WHO type III). Pasien kemudian didiagnosa sebagai NPC T2N3M0 dan disarankan untuk menjalani kemoterapi. Riwayat penyakit dahulu, tidak didapatkan adanya riwayat alergi, riwayat operasi, maupun penggunaan obat-obatan. Riwayat penyakit keluarga , tidak ada keluarga yang menderita penyakit serupa, tidak ada keluarga yang memiliki riwayat penyakit keganasan. Pasien adalah seorang duda dengan 9 orang anak, saat ini pasien tidak bekerja, biaya pengobatan ditanggung ASKES. Anamnesis sistem : Kepala : sakit kepala (-) , nyeri (-) Mata : pandangan kabur atau dobel (-) Telinga : pendengaran menurun (-) , berdenging (-) Hidung : riwayat mimisan (+) , pilek (-), keluar cairan (-) Mulut : sariawan (-) Tenggorok : nyeri tenggorok (-) Leher : benjolan leher kanan (+) Jantung : sesak nafas (-), nyeri dada (-) Paru : batuk (-), dahak (-)

Gastrointestinal : mual (-) , muntah (-), diare (-) BAB hitam (-) BAB merah (-) Saluran kemih : anyang-anyangan (-) Alat kelamin : tidak ada keluhan Neurologi : kejang (-), ingatan baik Psikologik : cemas (-) Kulit : gatal (-), ruam (-) Endokrin : tremor (-) , kelemahan umum (-) Muskuloskeletal : nyeri sendi (-), bengkak sendi (-) , nyeri otot (-)

Pemeriksaan fisik mendapatkan keadaan umum pasien sedang, kesadaran compos mentis dengan tanda vital terukur : tekanan darah 110/60mmHg, nadi 120x/menit, laju nafas 24x/menit, dan temperatur 36,4C. Tinggi badan 158 cm, berat badan 56 kg, relative body weight 99%, luas permukaan tubuh 1,5, dan Index Karnofsky 70%. Pemeriksaan kepala mendapatkan konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Pemeriksaan leher kanan mendapatkan adanya benjolan dengan diameter 5cm, keras, terfiksasi, nyeri tekan tidak didapatkan. Pemeriksaan dada mendapatkan bentuk dada simetris, tidak terdapat ketinggalan gerak, tidak didapatkan retraksi. Pemeriksaan jantung tidak mendapatkan adanya kardiomegali

dan suara jantung S1-2 reguler, tidak ada bising. Pemeriksaan paru mendapatkan fremitus kanan dan kiri sama, perkusi sonor dan suara nafas vesikuler, tidak didapatkan suara tambahan. Pemeriksaan abdomen mendapatkan dinding dada sejajar dengan dinding perut, peristaltik normal, tidak didapatkan

hepatosplenomegali, tidak ada nyeri tekan dan ascites. Pemeriksaan ekstremitas tidak mendapatkan adanya edema baik pada ekstremitas superior maupun inferior. Pemeriksaan laboratorium mendapatkan hasil kadar hemoglobin 10,7g/dl, angka lekosit 19.000/mmk, angka trombosit 365.000/mmk, angka eritrosit

3.500.000/uL, hematokrit 30,6%, segmen 28,3%, limfosit 8,8%, monosit 60,3%, eosinofil 1,9%, basofil 0,1%, albumin 2,99g/dL, SGOT 19 IU/L, SGPT 15 IU/L, BUN 18,2 mg/dL, kreatinin 1,18mg/dL, asam urat 6,5 mg/dL, natrium 136 mmol/L, kalium 4,2 mmol/L, klorida 96mmol/L. Pemeriksaan EKG mendapatkan hasil sinus rhythm dengan heart rate 100x/menit Pasien ini direncanakan mendapatkan kemoterapi dengan menggunakan regimen TPF (Docetere 75mg/m2 hari I, Cisplatin 20mg/m2 H I-V, dan 5FU 500mg/m2 H I-V). Permasalahan yang timbul pada pasien ini adalah adanya lekositosis (angka lekosit 19.000/mmk) yang dapat merupakan suatu tanda infeksi aktif yang merupakan kontraindikasi relatif pada pemberian kemoterapi atau merupakan sebuah sindrom paraneoplastik yang sering terjadi pada kasus kanker. Perawatan hari ke-2 dilakukan analisa urin rutin dengan hasil sebagai berikut : pH 5,5, berat jenis 1,015, glukosa 0, protein (-), bilirubin (-) , urobilin 0,
6

blood (-), keton (-), nitrit 0, leukosit esterase (-), lekosit pucat (-), lekosit gelap (-), eritrosit 0 Pemeriksaan darah rutin ulang direncanakan sambil melacak sumber infeksi yang mungkin. Ulangan darah rutin menunjukkan angka hemoglobin 10,4g/dl, angka lekosit 17.320/mmk dengan dominasi segmen 79,3%. Perawatan hari ke-4 dilakukan pemeriksaan morfologi darah tepi dengan hasil sebagai berikut : Kesan eritrosit : normositik normokromik Kesan leukosit : jumlah meningkat, netrofilia, vakuolisasi netrofil dan monosit Kesan trombosit : jumlah cukup, penyebaran merata, morfologi dalam batas normal Kesan : - Anemia normositik normokromik - Leukositosis dengan netrofilia Kesimpulan : gambaran anemia suspek anemia penyakit kronis dan proses inflamasi Perawatan hari ke-5 pasien ditawarkan pilihan untuk melakukan tes procalcitonin dan pasien setuju. Tes procalcitonin membutuhkan waktu kurang lebih 5 hari. Hasil procacitonin adalah 0,073ng/ml. Semua data klinis dan laboratoris yang ada telah dianalisa dan diputuskan untuk memulai kemoterapi regimen TPF sesuai protokol. Regimen TPF (Docetere

75mg/m2 hari 1, cisplatin 20mg/m2 hari 1-5, 5FU 500mg/m2 hari1-5). Pasien mendapatkan terapi antibiotik oral Ciprofloksasin 2x500mg yang dimulai pada hari perawatan ke-2. Kemoterapi dimulai pada hari perawatan ke-11. Pasien tidak mengalami mual, muntah, diare, sariawan ataupun demam selama pemberian kemoterapi. Hasil evaluasi darah rutin selama dan setelah kemoterapi sebagai berikut : Hari ke-2 kemoterapi : hemoglobin 10,3g/dL, angka lekosit 37.160/mmk dengan dominasi segmen 96,2%. Hari ke-3 kemoterapi : hemoglobin 11.1g/dL, angka lekosit 26.140/mmk dengan dominasi segmen 94,4% . Setelah kemoterapi : hemoglobin 12g/dL, angka lekosit 8000/mmk dengan segmen 76,3%, calcium 2,09. Tidak ada evaluasi urin rutin setelah kemoterapi. Perawatan hari ke-16 pasien dipulangkan dan rencana kemoterapi berikutnya pada tanggal 6 Oktober 2011. Kondisi umum pasien saat pulang baik, dengan tanda vital terukur : tekanan darah 130/80mmHg, nadi : 80x/menit, laju nafas 20x/menit, dan suhu 36,2C. Follow up Pasien mengalami kesulitan buang air kecil, nyeri dan penuh pada perut bawah kurang lebih 4 hari setelah pulang dari rumah sakit, kemudian pasien memeriksakan diri ke UGD RSS dan diperiksa oleh Bagian Urologi, dikatakan adanya kecurigaan pembesaran kelenjar prostat dan disarankan untuk operasi (TUR). Pasien masih berunding untuk tindakan operasi dan pasien sementara menggunakan kateter.

Pasien dirawat kembali untuk rencana kemoterapi berikutnya pada tanggal 6 Oktober 2011. Pasien tidak mengeluh lemas, mual, muntah, ataupun demam. Benjolan di leher kanan tidak dirasakan lagi. Pasien mengalami rambut rontok setelah kemoterapi. Pasien bisa makan dan minum seperti biasa selama di rumah. Pasien menggunakan kateter urin saat masuk rumah sakit. Pemeriksaan fisik mendapatkan keadaan umum sedang, kesadaran compos mentis, dengan tanda vital terukur : Tekanan darah 110/80mmHg, Nadi :88x/menit, laju nafas 20x/menit, Suhu : 36.5C. Pemeriksaan kepala mendapatkan konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Pemeriksaan leher kanan tidak mendapatkan adanya benjolan. Pemeriksaan dada mendapatkan bentuk dada simetris, tidak terdapat ketinggalan gerak, tidak didapatkan retraksi. Pemeriksaan jantung tidak mendapatkan adanya kardiomegali dan suara jantung S1-2 reguler, tidak ada bising. Pemeriksaan paru mendapatkan fremitus kanan dan kiri sama, perkusi sonor dan suara nafas

vesikuler, tidak didapatkan suara tambahan. Pemeriksaan abdomen mendapatkan dinding dada sejajar dengan dinding perut, peristaltik normal, tidak didapatkan hepatosplenomegali, tidak ada nyeri tekan dan ascites. Pemeriksaan ekstremitas tidak mendapatkan adanya edema baik pada ekstremitas superior maupun inferior. Pemeriksaan daerah urogenital didapatkan adanya kateter urin. Pemeriksaan laboratorium tanggal 6 Oktober 2011 mendapatkan hasil kadar hemoglobin 12,6g/dl, angka lekosit 8.230/mmk, angka trombosit

299.000/mmk, angka eritrosit 4.260.000/uL, hematokrit 35,8%, segmen 73,2%,

limfosit 13,1%, monosit 7,3%, eosinofil 4,9%, basofil 0,3%, albumin 3,08g/dL, BUN 14,3 mg/dL, kreatinin 1,33mg/dL, natrium 138mmol/L, kalium 4,0mmol/L, klorida 102mmol/L. Pasien diputuskan untuk menjalani operasi prostat terlebih dahulu dan untuk sementara kemoterapi ditunda. Pasien menjalani operasi TUR pada tanggal 10 Oktober 2011 dan pasien dirawat oleh bagian Urologi.

10

Gambar 1. Gambaran rontgen thorax

11

Gambar 2. MSCT nasofaring Menyokong gambaran NPC di dinding nasofaring sinistra Limphadenopati cervicalis profunda dextra

12

Gambar 3. Elektrokardiogram

Sinus rhythm, heart rate 100x/menit

13

BAB III PEMBAHASAN I. SINDROM PARANEOPLASTIK

Sindrom paraneoplastik adalah manifestasi klinis dari efek tidak langsung dan jauh dari metabolit tumor. Sindrom ini tidak diperantarai langsung oleh invasi tumor ke jaringan normal, atau gangguan fungsi normal dari organ yang terkena, atau dari metastase (Ferlito et al. 2007). Diperkirakan sindrom paraneoplastik terjadi pada 8% pasien dengan kanker (Pelosof &Gerber, 2010). Sumber lain menyebutkan sindrom paraneoplastik terjadi pada 1-7,4% dari semua pasien kanker (Toro et al. 2009). Angka prevalensi ini diprediksi akan meningkat seiring dengan memanjangnya angka bertahan hidup pasien kanker dan berkembangnya metode diagnostik (Pelosof &Gerber, 2010). Mekanisme dari sindrom paraneoplastik belum diketahui secara pasti. Perkembangan terbaru menduga gangguan ini terjadi karena adanya sekresi dari tumor berupa hormon, peptida, atau sitokin, atau juga karena adanya reaksi silang sistem imun antara sel kanker dengan jaringan normal (Toro et al. 2009). Sel-sel neoplasma diduga mensintesis banyak material organik yang mungkin memiliki efek farmakologik atau hormonal. Jika konsentrasi dari material fisiologis aktif ini sangat tinggi, maka sindrom paraneoplastik akan bermanifestasi secara klinis (Ferlito et al. 2007).

14

Sindrom paraneoplastik dapat mengenai banyak sistem organ meliputi endokrin, neurologi, dermatologi, rheumatologi, dan hematologi. Sindrom paraneoplastik pada sistem endokrin dapat berupa syndrome inappropriate anti diuretic hormone(SIADH), hiperkalsemia, sindrom Cushing, dan hipoglikemia. Sindrom paraneoplastik pada sistem neurologi dapat berupa limbic encephalitis, degenerasi cerebellar paraneoplastik, myasthenia gravis, neuropati sensori perifer subakut. Sindrom paraneoplastik pada sistem dermatologi, dapat berupa acanthosis nigricans, dermatomyositis, erythroderma, hypertrophic osteoarthropathy, leukocytoclastic vasculitis. Sindrom paraneoplastik pada sistem

hematologi dapat berupa eosinofilia, granulostosis, aplasia sel darah merah, trombositosis, tumor fever, dan reaksi lekemoid (Pelosof &Gerber, 2010). Kasus-kasus keganasan yang paling sering menyebabkan sindrom

paraneoplastik adalah small cell lung cancer, kanker payudara, tumor ginekologi, dan keganasan hematologi (Pelosof &Gerber, 2010).

15

Tabel 1 Sindrom paraneoplastik yang terjadi pada pasien dengan kanker kepala dan leher

(Ferlito et al. 2007)


Sindrom endokrin SIADH Cushing syndrome Hypercalcemia Carcinoid syndrome Ileus Produksi ektopik beta HCG Sindrom dermatologi Acanthosis nigricans Dermatomyositis Sweets syndrome Iskemia akral dan necrosis digiti Pruritus Pemphigus Sindrom hematologi Trousseaus syndrome Neutrophilic leukemoid reaction Sindrom neurologi Degenerasi cerebellar atau degenerasi korteks cerebellar Ataksia Encephalomyelitis Sindrom osteoarticular atau rheumatologi Poliarthritis atau rheumatica polylmyalgia Osteoarthropathy hipertrofi Osteomalacia Sindrom ocular Retinopati Neuritis optik atau neuropati optik

16

Dokter yang yang sering berhubungan dengan sindrom yang berkaitan dengan kanker, harus mampu membedakan sindrom paraneoplastik dengan gangguangangguan lain yang ringan yang dapat menutupi sindrom tersebut. Sindrom paraneoplastik terkadang terjadi lebih serius daripada tumor primernya itu sendiri, dan dapat terjadi mendahului, bersama-sama atau mengikuti manifestasi dari tumornya, bahkan sindrom paraneoplastik ini dapat mendominasi gambaran klinis dan dapat menyebabkan kesalahan dalam menentukan asal dan tipe dari tumor primer (Ferlito et al. 2007). Sindrom paraneoplastik mempengaruhi manifestasi klinis, perjalanan

penyakit, dan pengobatan kanker. Kemampuan untuk mendeteksi dan mengobati sindrom paraneoplastik akan dapat memberikan pengaruh yang bermakna pada hasil klinis (clinical outcome) seperti mulai dari deteksi dini kanker sampai meningkatkan kualitas hidup, dan meningkatkan pemberian terapi langsung pada tumor (Pelosof &Gerber, 2010). Pasien-pasien kanker memiliki resiko mengalami berbagai kegawatan medis dengan manifestasi yang beragam. Hal ini bisa timbul dari efek lokal langsung tumor dan metastasisnya atau dari efek sistemiknya seperti yang dikenal sebagai sindrom paraneoplastik. Kondisi ini memerlukan terapi kegawatdaruratan yang spesifik, sehingga para dokter perlu mengenali sindrom ini karena kondisi ini dapat diprediksi, dicegah, dan diatasi secara adekuat (Madchuchanda Kar, 2000). Kegawatdaruratan onkologi yang dapat terjadi pada pasien kanker meliputi kegawatdaruratan metabolik, neurologi, kardiovaskular, hematologi

17

(Halfdanarson et al. 2006). Kegawatdaruratan metabolik yang paling sering terjadi meliputi hiperkalsemia, hiponatremia, hipoglikemia, dan tumor lysis syndrome (Lewis et al. 2011). Hiperkalsemia terjadi lebih sering daripada hipokalsemia dan sering terjadi pada pasien dengan metastase skeletal. Hipokalsemia, walaupun lebih jarang, dilaporkan terjadi pada kanker paru, kanker payudara, leukemia kronik pada dewasa, dan respon dari terapi karsinoma prostat (Jaffe et al. 1971). Hipokalsemia sering terjadi pada salah satu kegawatdaruratan onkologi yaitu tumor lysis syndrome (TLS). TLS ditandai dengan beberapa gangguan metabolik yang mengancam nyawa. Kondisi ini umum terjadi setelah terapi pada keganasan hematologi yang agresif seperti high-grade lymphoma dan leukemia akut. TLS ini juga dapat terjadi pada kasus solid tumor yang aktif secara kinetik dan dapat juga terjadi secara spontan (Halfdanarson et al. 2006). Lisis tumor terjadi ketika sel-sel kanker melepaskan isinya ke dalam pembuluh darah secara spontan ataupun setelah terapi antineoplasma, dan ini menyebabkan influks elektrolit dan asam nukleat ke dalam pembuluh darah (Lewis et al. 2011). Berdasarkan klasifikasi sistem Cairo dan Bishop ,TLS dapat diklasifikasikan secara klinis maupun laboratoris.

18

Tabel 2. Definisi TLS klinis dan laboratoris


Abnormalitas metabolik Hiperuricemia KriteriaTLS laboratoris Asam urat >8mg/dl pada dewasa atau di atas batas atas pada anak-anak Phosphorus >4,5mg/dl (1,5mmol/liter) pada dewasa atau >6,5mg/dl (2,1mmol/liter) pada anak-anak Kalium >6,0mmol/liter Disritmia jantung atau mati mendadak kemungkinan atau pasti karena hiperkalemia Disritmia jantung, mati mendadak, kejang, iritabilitas neuromuscular (tetani, parestesia, twitching, spasme carpopedal, Trousseaus sign, Chvosteks sign, laryngospasm, atau spasme bronkus), hipotensi, atau gagal jantung yang kemungkinan atau pasti disebabkan oleh hipokalsemia Peningkatan kadar kreatinin serum sebesar 0,3mg/dl (26,5umol/liter) atau kadar kreatinin meningkat >1,5 kali batas atas sesuai dengan usia jika tidak ada data dasar kreatinin atau adanya oliguria (produksi urin <0,5ml/kgBB/jam selama 6 jam) Kriteria TLS klinis

Hiperphosphatemia

Hiperkalemia

Hipokalsemia

Kalsium terkoreksi <7,0mg/dl (1,75mmol/liter) atau kalsium ion <1,12 (0,3mmol/liter)

Acute kidney injury

Keterangan : Hipokalsemia terkoreksi dihitung dengan menggunakan rumus : kadar kalsium serum (mg/dl) +0,8 x ( 4-albumin g/dl)

Sumber : Howard et al. 2011 Diagnosa TLS laboratoris ditegakkan jika memenuhi dua atau lebih tanda abnormalitas metabolik yang terjadi pada tiga hari sebelum atau sampai tujuh hari

19

setelah terapi awal yaitu adanya hiperurisemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia. Tumor lysis syndrome klinis didefinisikan sebagai kriteria TLS laboratoris terjadi yang diikuti dengan peningkatan kadar kreatinin serum, kejang, disritmia jantung atau kematian. Beberapa perbaikan dilakukan untuk menyempurnakan klasifikasi ini. Pertama, harus ditetapkan bahwa dua atau lebih abnormalitas metabolik terjadi secara bersamaan, karena kadang bisa terjadi pasien mengalami satu abnormalitas metabolik pada kondisi awal, kemudian terjadi abnormalitas metabolik lain yang tidak berhubungan dengan TLS (seperti, hipokalsemia yang berkaitan dengan sepsis). Kedua, perubahan 25 persen dari data dasar tidak dimasukkan dalam kriteria. Ketiga, setiap hipokalsemia simptomatik merupakan sebuah tumor lysis syndrome (Howard et al. 2011). Tumor lysis syndrome sering berkaitan dengan leukemia akut dan high grade non Hodgkins lymphomas, seperti Burkitt lymphoma. TLS pernah juga dilaporkan pada keganasan hematologi lain dan kasus solid tumor (Sirelkhatim et al. 2008).

20

Tabel 3. Faktor-faktor risiko untuk tumor lysis syndrome

Risk factors of developing


Hematologic malignancy High proliferation rate Chemosensitivity Large tumor burden Elevated leucocyte count Elevated pretreatment LDH level Preexisting renal impairment Dehydration

TLS risk by group tumor type


Burkitts lymphoma Lymphoblastic lymphoma Acute leukemia (ALL>AML) Neuroblastoma Germ cell carcinoma(seminoma, ovarian) Low grade lymphoma Medulloblastoma Hodgkins lymphoma

Sumber : Sirelkhatim et al. 2008 Kondisi hiperlekositosis dan TLS merupakan kondisi kegawatdaruratan pada kasus keganasan hematologi, misalnya pada manajemen awal kasus ALL pada anak-anak. Hiperlekositosis diartikan sebagai jumlah sel darah putih yang melebihi 100.000/mm3 dan berkaitan dengan meningkatnya risiko perdarahan (khususnya perdarahan intrakranial) dan trrombosis. TLS yang terdiri dari hiperurisemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia sering terjadi pada pasien dengan hiperlekositosis (Wiernik et al. 2003). Pada pasien dengan lymphoid leukemia, hiperlekositosis berkaitan dengan tumor lysis syndrome dan abnormalitas metabolik lainnya (Mandrell &Nambayan, 2006).

21

Kalsium merupakan elektrolit penting yang diperlukan untuk proses intraseluler maupun ekstraseluler seperti kontraksi otot, konduksi saraf, dan koagulasi darah. Frekuensi hipokalsemia pada pasien kanker yang ada di rumah sakit sekitar 13,4% (Yeung &Escalante, 2002). Hipokalsemia dapat

asimpotomatik atau dapat menunjukkan gejala dari gejala ringan sampai serius bahkan mengancam nyawa. Manifestasi neuromuskular berupa kelemahan otot, spasme, tetani, parestesia, hiper-refleks, kejang, Chovsteks sign, Trousseaus sign. Manifestasi hipokalsemia pada otot-otot respirasi berupa bronkospasme, spasme laring,dan henti respirasi. Manifestasi hipokalsemia pada sistem kardiovaskular berupa bradikardia, hipotensi, pemanjangan interval QT dan henti jantung. Manifestasi hipokalsemia pada sistem neuropsikiatri meliputi cemas, iritabilitas, psikosis, bingung, depresi (Yeung &Escalante, 2002). Penyebab utama dari hipokalsemia, terlepas dari karena rendahnya kadar kalsium serum akibat dari rendahnya albumin dan protein serum, adalah hipoparatiroidism dan hipomagnesemia. Metastase tulang osteoblastik pada pasien dengan kanker (khususnya dari karsinoma prostat) menyebabkan timbulnya hipokalsemia. Toksisitas beberapa regimen kemoterapi menimbulkan

hipokalsemia pada pasien kanker.

22

Tabel 4. Penyebab utama hipokalsemia pada pasien-pasien kanker


Parathyroid hormone insufficiency Secondary hypoparathyroidism Neck surgery Drugs (cisplatin, carboplatin, cyclophosphamide, ifosfamide, amphotericin, dactinomycine,mithramycine, ethanol, cimetidine) Hypomagnesemia Sepsis Pancreatitis Vitamin D deficiency Malnutirion and low sun exposure Malabsorption Liver disease Renal disease Acute and chronic renal failure Nephrotic syndrome Anticonvulsants (phenytoin, primidone) Calcium chelation Hyperphosphatemia Citrate Alkalosis

Sumber : Yeung and Escalante, 2002

23

II.

LEKOSITOSIS

Jumlah sel darah putih normal pada darah tepi berkisar 4300-10.800/mm3. Lekositosis didefinisikan sebagai jumlah sel darah putih yang melebihi 11.000/mm3. Terdapat dua mekanisme patofisiologi penting yang terlibat dalam etiologi lekositosis. Mekanisme ini meliputi respon normal sumsum tulang terhadap stimulus eksternal dan gangguan sumsum tulang primer. Lekositosis dapat terjadi karena respon terhadap stimulus eksternal seperti infeksi, inflamasi, obat-obatan, trauma, keganasan, ketoasidosis, keracunan, latihan, dan gangguan psikiatrik. Lekositosis juga bisa terjadi sebagai akibat dari leukemia akut, leukemia kronik, dan gangguan myeloproliferatif (Asadollahi et al. 2011). Salah satu studi yang meneliti penyebab lekositosis pada 400 pasien yang dirawat di rumah sakit mendapatkan beberapa faktor penyebab lekositosis yaitu (1) infeksi, (2) stress fisiologik, (3) obat-obatan, (4) gangguan hematologi, (5) nekrosis atau inflamasi, (6) tidak diketahui penyebabnya (Wanahita et al. 2002). Lekositosis pada kasus kanker, sering disebut reaksi leukemoid, ditandai dengan peningkatan angka darah putih perifer lebih dari 20.000/uL tanpa adanya infeksi atau leukemia (Toro et al. 2009). Sumber lain menyebutkan reaksi leukemoid adalah lekositosis reaktif pada angka lebih dari 50.000/uL tanpa adanya keterlibatan sumsum tulang (Jardin et al. 2005, Mukhopadhyay et al. 2004). Gejala pada beberapa kasus dapat berasal dari reaksi leukemoid netrofilik, yang ditandai dengan adanya sel darah putih imatur dan berkaitan dengan

24

hipereosinofilia dan gatal. Reaksi ini sering terjadi pada pasien dengan limfoma, tetapi juga dilaporkan terjadi pada kanker nasofaring (Toro et al. 2009). Cvitkovic et al melaporkan 16% reaksi leukemoid terjadi pada kanker nasofaring tak terdiferensiasi (Toro et al. 2009). Pasien pada kasus yang dilaporkan ini adalah pasien dengan hasil biopsi nasofaring kiri yaitu undifferrrentiated carcinoma dan kondisi lekositosisnya mungkin merupakan bagian dari 16% reaksi lekemoid pada kanker jenis tersebut. Sindrom paraneoplastik granulositosis terjadi pada sekitar 15% pasien dengan solid tumor (Pelosof &Gerber, 2010). Sel darah putih berkisar dari 12.000/uL sampai 30.000/uL atau bahkan kadang sampai lebih dari 50.000/uL. Lekositosis ekstrim pada pasien dengan solid tumor didefinisikan sebagai kondisi angka darah putih melebihi 40.000/uL atau 50.000/uL, dan ini dilaporkan terjadi pada hampir seluruh tipe tumor solid dan berkaitan dengan prognosis yang buruk (Granger &Kontoyiannis, 2009). Lekositosis pada pasien kanker biasanya disebabkan oleh adanya infeksi atau metastase ke sumsum tulang. Angka darah putih pada kasus infeksi biasanya meningkat seiring dengan peningkatan marker inflamasi lainnya seperti Creactive protein dan erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan biasanya disertai dengan adanya demam. Lekositosis yang tidak dapat dijelaskan pada pasien dengan kasus keganasan kadang dapat dijumpai (Kasuga et al. 2001). Kasus ini merupakan ilustrasi kasus pasien solid tumor dengan lekositosis (angka lekosit 19.000/mmk) tanpa adanya demam dan sumber infeksi yang jelas.

25

Penelitian terbaru yang meneliti lebih dari 750 pasien kanker, mendapatkan etiologi dari penyebab angka darah putih lebih dari 40.000/ul sebagai berikut : growth factor hematopoesis(69%), infeksi (15%), paraneoplastik (10%), penggunaan glukokortikoid atau vasopressor (5%), dan leukemia yang baru terdiagnosa (1%). Infeksi merupakan penyebab yang jarang dari lekositosis

ekstrim pada kasus tumor solid. Penelitian ini mendeskripsikan lekositosis yang berkaitan dengan infeksi jika adanya hasil kultur yang positif dari bagian tubuh yang normalnya steril, rontgen dada menunjukkan adanya kecurigaan pneumonia, dan perbaikan klinis bersamaan dengan perbaikan lekositosis sebagai respon dari pemberian antimikroba yang tepat. Pasien-pasien dengan reaksi lekemoid paraneoplastik biasanya kondisinya stabil secara klinis meskipun memiliki beban tumor yang besar (Granger &Kontoyiannis, 2009). Pasien yang dilaporkan pada kasus ini memiliki beban massa tumor di leher yang cukup besar dengan keadaan umum yang baik dan tanda vital terukur stabil.

26

Tabel 5. Sumber-sumber infeksi pada pasien solid tumor dengan lekositosis ekstrim (n=112) Etiology of infection
Pneumonia Diagnosed by radiology Diagnosed by positive BAL culture Bloodstream infection UTI Peritonitis Wound abscess Sepsis, without diagnostic culture or radiograph Colitis Meningitis Multiple sources of infection

No.of patients(%)
55(49) 46 9 30(27) 18(16) 15(13) 13(12) 3(3) 1(1) 1(1) 27(24)

Sumber : Granger &Kontoyiannis, 2009

Lekositosis, pada kasus reaksi leukemoid, dimediasi oleh sitokin yang berhubungan dengan tumor dan colony-stimulating factors seperti G-CSF (granulocyte-colony stimulating factor), granulocyte-monocyte colony stimulating factors (GM-CSF), interleukin 6, atau interleukin 1. Sindrom paraneoplastik ini terjadi pada stadium lanjut yang berhubungan dengan pertumbuhan sel yang agresif (Jardin et al. 2005).

27

Reaksi lekemoid yang berkaitan dengan produksi G-CSF dilaporkan terjadi pada beragam varietas tumor. Mayoritas tumor yang memproduksi G-CSF adalah tumor yang berasal dari epitel (Jardin et al. 2005). GM-CSF, tumor necrosis alpha (TNF-), dan interleukin-1 alpha (IL-1) terlibat dalam pembentukan respon inflamasi dan sintesis maupun diferensiasi dari leukosit netrofilik. IL-1 merupakan mediator esensial dari respon imun. IL1 diproduksi langsung oleh sel-sel tumor dari karsinoma sel skuamosa tirod dan dilaporkan sebagai penyebab dari demam paraneoplastik dan hiperleukositosis (Toro et al. 2009). Molekul imunoregulator yang berbeda pada kasus karsinoma nasofaring tak terdiferensiasi diproduksi dan dikeluarkan oleh sel ganas dan dapat menarik dan menstimulasi sel T secara lokal untuk memproduksi sitokin (Toro et al. 2009). Lekositosis yang ekstrim pada kasus kanker non-hematologi merupakan kondisi dilematik karena adanya kebutuhan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab sekunder, seperti infeksi, keganasan hematologi yang baru berkembang, penggunaan kortikosteroid atau faktor pertumbuhan hematopoetik, perdarahan berat, dan metastase tulang dengan nekrosis. Reaksi lekemoid paraneoplastik merupakan diagnosis of exclusion (Granger &Kontoyiannis, 2009). Kondisi dilematik ini pernah dilaporkan pada kasus multiple myeloma dengan demam berulang dan lekositosis yang menyebabkan penundaan pemberian kemoterapi karena adanya perhatian terhadap kemungkinan infeksi (Sebasky et al. 2008). Pelacakan sumber infeksi yang menyeluruh dilakukan pada kasus tersebut

28

meliputi CT scan thorax, abdomen dan pelvis, pemeriksaan darah, sputum, sumsum tulang,dan kultur urin. Semua hasil investigasi menunjukkan tidak adanya infeksi. Penyebab demam dan persisten lekositosis pada kasus tersebut berdasarkan data-data yang dikumpulkan, diduga kuat adalah peningkatan kadar granulocyte-colony stimulating factors (G-CSF). Temperatur turun dan angka lekosit menurun dengan dimulainya kemoterapi. Kasus ini menunjukkan bahwa pasien dengan demam dan non-infeksius lekositosis mungkin akan mendapatkan penanganan yang kurang tepat dan terlambat, seperti adanya penundaan kemoterapi efektif yang potensial (Sebasky et al. 2008). Sindrom paraneoplastik yang ada pada kasus ini yaitu dijumpai adanya lekositosis dengan angka lekosit sebesar 19.000/mmk. Selama perawatan dilakukan evaluasi darah rutin sebelum kemoterapi dengan hasil : pada hari ke-2 perawatan angka lekosit 17.320/mmk, hari ke-11 perawatan angka lekosit 16.520/mmk. Salah satu kondisi yang menyebabkan peningkatan angka lekosit pada pasien kanker berdasarkan teori di atas adalah infeksi sebesar 15%. Infeksi dapat bermanifestasi klinis sebagai demam. Demam pada pasien kanker sering merupakan akibat dari infeksi. Namun, demam paraneoplastik dapat disebabkan oleh penyakit keganasan itu sendiri tanpa adanya infeksi (Toro et al. 2009). Evaluasi demam pada pasien kanker harus meliputi riwayat penyakit yang menyeluruh, pemeriksaan fisik yang lengkap, darah rutin/lengkap, kultur darah, rontgen dada, pemeriksaan urin, dan pemeriksaan lain yang relevan. Kriteria dari tumor fever meliputi : (1) temperatur di atas 38 derajat Celcius, (2) demam berlangsung setidaknya satu minggu, (3) pemeriksaan klinis dan radiologis
29

negatif, (4) kultur darah dan pemeriksaan urin negatif, (5) demam yang menetap setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat (Toro et al. 2009). Beberapa pemeriksaan tambahan dalam kaitannya dengan lekositosis dapat dilakukan jika etiologi dari lekositosis belum didapatkan seperti erythrocyte sedimentation rate, C-reactive protein (meningkat pada kasus inflamasi dan infeksi), dan leucocyte alkaline-phosphatase (rendah pada kasus chronic myeloid leukemia). Jika penyebab-penyebab lain dari lekositosis ini dapat dieksklusi, maka kondisi ini tidak memerlukan terapi spesifik (Pelosof &Gerber, 2010).

III.

MARKER INFEKSI BAKTERI DAN SEPSIS

Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan kondisi klinis yang berat berkaitan dengan respon inflamasi yang luas, yang dapat terjadi karena adanya infeksi, proses operasi, trauma, luka bakar, atau kondisi medis lainnya. Deteksi dan pengobatan dini pada SIRS diperlukan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pada pasien. SIRS yang disebabkan oleh infeksi dinamakan sepsis (Jimenez et al. 2009). Pemberian antibiotik yang tepat sejak dini pada kasus sepsis berkaitan dengan hasil yang lebih baik, oleh karena itu diagnosis dini dari infeksi bakteri adalah hal yang sangat penting (Chan et al. 2004). Ada dua komponen dari respon penjamu pada saat terjadinya infeksi yaitu respon imun alami dan respon imun spesifik. Respon imun alami (respon fase akut) berkaitan dengan keterlibatan monosit/makrofag dan aktivasi komplemen seperti sitokin primer IL1, IL-6, dan tumor necrosis factor (Aird, 2003).

30

Sel darah putih pada pasien dengan sepsis normalnya akan meningkat dengan gambaran hitung jenis lekosit didapatkan peningkatan netrofil (netrofilia). Lekositosis yang terjadi terkadang bisa ekstrim mencapai lebih dari 50.000/uL (reaksi lekemoid). Pemeriksaan darah tepi pada kasus sepsis dapat menunjukkan adanya granulasi toksik, vakuolisasi, dan atau adanya Dohle bodies pada sel polimorfonuklear (Aird, 2003). Pemeriksaan morfologi darah tepi telah dilakukan pada pasien ini dengan hasil kesan eritrosit : normositik normokromik, kesan leukosit : jumlah meningkat, netrofilia, vakuolisasi netrofil dan monosit, kesan trombosit : jumlah cukup, penyebaran merata, morfologi dalam batas normal. Kesan :Anemia normositik normokromik, leukositosis dengan netrofilia, dengan kesimpulan : gambaran anemia suspek anemia penyakit kronis dan proses inflamasi. Pemeriksaan morfologi darah tepi tidak mendapatkan adanya granulasi toksik, dan atau Dohle bodies pada sel polimorfonuklear yang menyingkirkan kemungkinan sepsis pada pasien ini. Lekositosis dengan pergeseran ke kiri yang berkaitan dengan reaksi lekemoid mungkin dapat menutupi perubahan leukemia myeloid kronik (LMK). Diagnosis untuk membedakan kedua kondisi ini biasanya didasarkan pada keadaan klinis yang nyata. Tetapi pada kasus yang sulit skor leucocyte-alkaline phosphatase (LAP) dapat membantu untuk membedakan kedua kondisi tersebut, dimana skor LAP meningkat pada kondisi sepsis dan turun pada pasien LMK (Aird, 2003). Diagnosis infeksi bakteri pada pasien dengan kondisi akut tidak selalu jelas dan mudah. Infeksi melibatkan sistem imun penjamu dalam beberapa derajat. Manifestasi dari keterlibatan sistem imun itu membuat kita menduga seorang
31

pasien mengalami infeksi dan mencari sumber infeksi serta memberikan antimikroba yang sesuai. Pada beberapa keadaan seperti usia tua, neonatus, dan imunosupresi, manifestasi klinis dari infeksi mungkin saja tidak ada dan kondisi ini membuat grup tersebut sangat rentan terhadap komplikasi dari infeksi. Biomarker yang akurat dan efektif diperlukan untuk membantu atau mengeksklusi diagnosis infeksi(Chan et al. 2004). Penelitian-penelitian terdahulu memberikan penegasan terhadap penggunaan TNF , Il-6 dan C-reactive protein (CRP) untuk mengidentifikasi adanya bakterimia, berat ringannya penyakit, dan mortalitas. Kendalanya adalah mediator ini ternyata tidak spesifik dan hubungan antara CRP dengan keparahan penyakit tidak jelas (Chan et al. 2004). Procalcitonin saat ini diperkenalkan sebagai penanda infeksi pada pasien dalam kondisi kritis dan kadarnya dalam darah berkaitan dengan derajat keparahan infeksinya (Chan et al. 2004). Procalcitonin merupakan prohormon dari calcitonin namun dengan aktivitas biologis yang sama sekali berbeda. Pada sel C kelenjar tiroid dan sel K paru-paru, peningkatan kadar kalsium serum atau perubahan neoplastik menyebabkan adanya transkripsi dari gen procalcitonin, kemudian terjadi sintesis ribosom dari molekul procalcitonin 116-asam amino dan setelah itu terjadi pembelahan dari asam amino 60-91 dan menghasilkan calcitonin. Satu-satunya aksi biologi calcitonin yang diketahui adalah untuk menurunkan kadar kalsium serum dengan menghambat resorpsi tulang. Sebaliknya, respon terhadap adanya invasi bakteri, plasmodium,

32

dan jamur , makrofag mensintesis sitokin proinflamasi. Penelitian pada binatang dan in vitro menunjukkan adanya infeksi bakteri atau pemberian endotoksin menyebabkan sintesis procalcitonin dan prekursor calcitonin lainnya oleh hampir seluruh jaringan dan organ (Gilbert, 2010). Sintesis procalcitonin terdeteksi dalam serum dalam 4 jam, dengan kadar puncaknya terjadi pada 12 sampai 48 jam. Perbedaannya dengan sintesis dari Creactive protein dan reaktan fase akut lainnya, bahwa procalcitonin jarang meningkat pada respon infeksi viral murni. Infeksi virus diduga akan memicu pembentukan alpha interferon yang akhirnya menghambat pembentukan tumor necrosis factor (TNF). TNF diperlukan oleh jaringan dalam sintesis procalcitonin (Gilbert, 2010). Pengeluaran procalcitonin secara luas selama terjadinya infeksi diinduksi baik secara langsung oleh toksin mikrobial (seperti endotoksin) dan atau secara tidak langsung oleh faktor-faktor humoral (seperti interleukin 1, tumor necrosis factor, dan interleukin 6) atau respon yang diperantarai sel. Penggunaan procalcitonin memperbaiki keakuratan diagnosis klinis sepsis. Procalcitonin pada kondisi ini lebih membantu dibandingkan CRP dan marker laboratorium lainnya. Kadar procalcitonin yang beredar dalam darah berkorelasi dengan perjalanan klinis dari infeksi sistemik dan kadar dinamisnya memiliki nilai prognostik. Kadar procalcitonin evaluasi yang meningkat secara menetap berhubungan dengan hasil yang buruk. Kadar procalcitonin evaluasi yang menurun, sebaliknya,

menunjukkan hasil yang baik (Christ-Crain et al. 2006).

33

Saat ini ada empat kondisi yang menggunakan bantuan procalcitonin yaitu : Pertama, immunoassay terbaru yang disetujui Food and Drug Administration digunakan untuk memprediksi kemungkinan mortalitas pada pasien dalam kondisi kritis yang mengalami sepsis. Kadar procalcitonin maksimum dari 1-5ng/ml berkorelasi dengan kematian dalam 90 hari sebesar 11%, dan kadar maksimum procalcitonin dari 51-100ng/ml berkorelasi dengan kematian dalam 90 hari sebesar 42%. Kedua, di Eropa khususnya Switzerland, menggunakan procalcitonin sebagai petunjuk dalam pemberian antibiotik empirik pada pasien dengan bronchitis kronis eksaserbasi akut, community-acquired pneumonia, dan sepsis. Kadar procalcitonin yang rendah dalam 4 jam pertama perawatan memiliki nilai prediksi negatif untuk infeksi bakteri. Ketiga, kadar procalcitonin bersama dengan parameter klinis yang lain, dapat membantu untuk menilai antibakteri empiris yang digunakan efektif atau tidak. Keempat, dan mungkin yang paling membantu, kadar procalcitonin ulangan atau serial dapat digunakan untuk menentukan masih perlu tidaknya antibiotik dilanjutkan. Cutoff untuk kondisi ini berbeda-beda. Pada salah satu unit perawatan intensif penurunan procalcitonin menjadi dibawah 0,1ng/ml merupakan sinyal infeksi bakteri telah berhenti dan antibiotik dapat dihentikan (Gilbert, 2010) Kadar procalcitonin normal pada individu yang tidak terinfeksi adalah 0,0330,003ng/ml (Gilbert, 2010). Sumber lain menggunakan batas normal

34

procalcitonin sebesar 0,5ng/ml (Jimenez, 2009). Pada kasus ini procalcitonin telah diperiksa dengan hasil 0,073ng/ml.

35

BAB IV RINGKASAN Telah dilaporkan kasus seorang laki-laki 71 tahun yang dirawat di bangsal Bougenville 3 RSUP Dr. Sardjito selama 16 hari dengan assessment masuk kanker nasofaring T2N3M0 pro kemoterapi I dengan regimen TPF dengan masalah awal adanya lekositosis yang menjadi dilema dalam pemberian kemoterapi. Keluhan utama pada pasien ini adalah benjolan yang tidak sakit pada leher kanan sejak 2 tahun sebelum masuk rumah sakit makin lama makin membesar disertai tanda perdarahan dari hdung beberapa minggu sebelum masuk rumah sakit. Tidak ada demam, tidak ada riwayat penurunan berat badan, tidak ada riwayat merokok aktif. Pemeriksaan fisik mendapatkan tanda vital terukur : tekanan darah 110/60mmHg, nadi 120x/menit, laju nafas 24x/menit, dan temperatur 36,4C. Tinggi badan 158 cm, berat badan 56 kg, relative body weight 99%, luas permukaan tubuh 1,5, dan Index Karnofsky 70%. Pemeriksaan leher mendapatkan adanya benjolan di leher kanan dengan diameter 5cm, keras, tidak nyeri, terfiksasi. Pemeriksaan laboratorium awal mendapatkan adanya lekositosis (angka lekosit 19.000/uL) dengan segmen 28,3%, limfosit 8,8%, monosit 60,3%, eosinofil 1,9%, basofil 0,1%.

36

Permasalahan pada kasus ini adalah adanya lekositosis tanpa demam pada pasien kanker nasofaring yang direncanakan kemoterapi. Kemungkinan dari penyebab lekositosis yang menyebabkan dilema dalam kaitannya dengan pemberian kemoterapi adalah ada tidaknya infeksi. Membedakan lekositosis sebagai sebuah sindrom paraneoplastik dengan kemungkinan yang lain terutama infeksi pada kasus ini beberapa hal yang telah dilakukan adalah anamnesa dan pemeriksaan fisik yang menyeluruh, pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan urin, morfologi darah tepi, dan pemeriksaan procalcitonin. Hasil tes yang telah dilakukan pada pasien ini mendapatkan lekositosis dengan dominasi segmen, pemeriksaan urin yang negatif, morfologi darah tepi tidak didapatkan sel imatur, tidak didapatkan granulasi toksik maupun Dohle bodies , dan pemeriksaan procalcitonin dengan hasil 0,073 dengan interpretasi jika <0,5ng/ml resiko rendah severe sepsis dan atau septic shock dan >2ng/mL resiko tinggi severe sepsis dan atau septic shock. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada kasus ini menyimpulkan tidak didapatkan adanya sumber infeksi. Kemoterapi dengan regimen TPF diberikan, kondisi pasien selama dan setelah kemoterapi stabil dengan tanda vital terukur : tekanan darah 130/80mmHg, nadi : 80x.menit, laju nafas 20x/menit, dan suhu: 36,2C Angka lekosit post kemoterapi menunjukkan penurunan yang signifikan.

37

Sesuai dengan teori, dapat diambil kesimpulan bahwa lekositosis pada pasien ini sangat mungkin merupakan sebuah sindrom paraneoplastik akibat adanya granulocyte-colony stimulating factor yang diproduksi oleh sel-sel tumor.

38

Algoritma penanganan kasus pra kemoterapi dengan lekositosis :

LEKOSITOSIS (tanpa ada gejala infeksi yang jelas)

MDT dan urin rutin

Demam (+) dan jika ada tanda klinis Kultur darah, KED Sputum + ro thorax

Demam (- )

pemeriksaan lanjutan (-)

Hasil (-)

Cek marker sepsis : procalcitonin Diagram alur 1. Algoritma kasus lekositosis pra kemoterapi

39

Permasalahan : Pro calcitonin tidak ditanggung asuransi, sehingga pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan pada semua pasien.

Keterangan : 1. Anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik menyeluruh untuk mencari gejala-gejala dan tanda-tanda infeksi 2. Melakukan pemeriksaan morfologi darah tepi (untuk mencari adanya kemungkinan keganasan hematologi dan tanda infeksi bakteri atau sepsis) dan pemeriksaan urin rutin untuk skrining seluruh pasien 3. Jika pasien tidak demam, klinis baik, hasil MDT dalam batas normal, urin negatif, maka tidak perlu pemeriksaan lanjutan 4. Jika pasien demam , periksa kultur darah, KED, rontgen dada, cat gram sputum jika pasien ada gejala batuk 5. Jika hasil negatif cek marker sepsis : procalcitonin

40

DAFTAR PUSTAKA

Aird WC. 2003. The Hematologic System as a Marker of Organ Dysfunction in Sepsis. Mayo Clin Proc, 78:869-881. Asadollahi K, Hastings IM, Beeching NJ, Gill GV, Asadollahi P. 2011. Leukocytosis as an Alarming Sign for Mortality in Patients Hospitalized in General Wards. Iran J Med Sci, Vol 36 No 1:45-49. Chan Y, Tseng C, Tsay P, Chang S, Chiu T, Chen J. 2004. Procalcitonin as a Marker of Bacterial Infection in the Emergency Department : an Observational Study. Critical care, Vol.8 No 1: R12-R20. Christ-Crain M, Stolz D, Bingisser R. 2006. Procalcitonin Guidance of Antibiotic Therapy in Community-acquired Pneumonia. A Randomized Trial. Am J Respir Crit Care Med, 174:84-93. Ferlito A, Elsheikh MN, Manni JJ, Rinaldo A. 2007. Paraneoplastic Syndromes in Patients with Primary Head and Neck Cancer. Eur Arch Otorhinolaryngol, 264:211-222. Gilbert DN. 2010. Use of Plasma Procalcitonin Levels as an Adjunct to Clinical Microbiology. Journal of Clinical Microbiology, 48: 2325-2329. Granger JM and Kontoyiannis DP. 2009. Etiology and Outcome of Extreme Leukocytosis in 758 Nonhematologic Cancer Patients. Cancer. American Cancer Society, 115:3919-3923. Halfdanarson TR, Hogan WJ, Moynihan TJ. 2006. Oncologic Emergencies : Diagnosis and Treatment. Mayo Clin Proc, 81(6):835-848. Howard SC, Jones DP, Pui C. 2011. Current Concepts. The Tumor Lysis Syndrome. N Engl J Med, 364:1844-1854. Jaffe N, Kim BS, Vawter GF. 1971. Hypocalcemia-A Complication of Childhood Leukimia. Department of Pathology, Childrens Hospital Medical Center, Childrens Cancer Foundation and Harvard Medical School, Boston, Mass. Jardin F, Vasse M, Debled M. 2005. Intense Paraneoplastic Neutrophilic Leukemoid Reaction Related to a G-CSF-Secreting Lung Sarcoma. American Journal of Hematology, 80:243-245 Jimenez AJ, De Los Reyes MJP, Diaz-Miguel RO, Guerrero AP, Miguez RP, Martinez RS. 2009. Utility of Procalcitonin and C-reactive protein in the Septic Patient in the Emergency Department. Emergencias, 21:23-27.

41

Kasuga I, Makino S, Kiyokawa H, Katoh H, Ebihara Y, Ohyasikhi K. 2001. Tumor-Related Leukocytosis Is Linked with Poor Prognosis in Patients with Lung Carcinoma. CANCER, American Cancer Society, Vol 92 No 9 : 2399-2405. Lewis MA, Hendrickson AW, Moynihan TJ. 2011. Oncologic Emergencies : Patophysiology, Presentation, Diagnosis , and Treatment. Ca Cancer J Clin, 61:287-314. Madhuchanda Kar. 2000. Oncological Emergencies. Journal of Indian Academy of Clinical Medicine, Vol 5:No.1. Mandrell B and Nambayan AG. 2006. Oncologic Emergencies Related to Structural Alterations : Hyperleukocytosis. Cure4Kids.org. International Outreach Program. St. Jude Childrens Research Hospital. Mukhopadhyay S, Mukhopadhyay S, Banki K, Mahajan S. 2004. Leukemoid Reaction. A Diagnostic Clue in Metastatic Carcinoma Mimicking Classic Hodgkin Lymphoma. Arch Pathol Lab Med, 128:1445-1447. Pelosof LC and Gerber DE. 2010. Paraneoplastic Syndrome : An Approach to Diagnosis and Treatment. Mayo Clin Proc, 85 (9):838-854. Sebasky MM, Gupta P, Filice GA. 2008. Elevated Granulocyte ColonyStimulating Factor, Non-Infectious Leukocytosis and Fevers in a Patient with Multiple Myeloma. J Gen Intern Med, 23(12):2134-2135. Sirelkhatim A, Sejnova D, Puskacova D, Subova Z, Kaiserova E. 2008. Our Experience with Tumor Lysis Syndrome Treatment. Bratisl Lek Listy, 109(12):560-563. Toro C, Rinaldo A, Silver CE, Politi M, Ferlito A. 2009. Paraneoplastic Syndromes in Patients with Nasopharyngeal Cancer. Auris Nasus Larynx, 36:513-520. Wanahita A, Goldsmith E, Musher DM. 2002. Conditions Associated with Leukocytosis in a Tertiary Care Hospital, with Particular Attention to the Role of Infection Caused by Clostridium difficile. Clinical Infectious Disease, 34:1585-1592. Wiernik PH, Goldman JM, Dutcher JP, Kyle RA. 2003. Neoplastic Disease of The Blood. 4thedition. Cambridge University Press. Yeung SJ and Escalante CP. 2002. Oncologic Emergencies. BC Decker Inc.

42

Anda mungkin juga menyukai