Disusun Oleh :
WIDIYANINGSIH
012042025
UNIVERSITAS BINAWAN
JAKARTA
2021
PENDAHULUAN
Penyakit jantung merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan penyebab nomor satu
kematian di dunia. Penyakit infark miokard merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan kororner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di
sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya sama sekali tidak mendapat aliran darah atau alirannya
sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami
infark (Suddarth, 2014)
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2016 menyebutkan, lebih dari 17 juta
orang di dunia meninggal akibat penyakit jantung dan pembuluh darah. Atau sekitar 31% dari
seluruh kematian di dunia, sebagian besar atau sekira 8,7 juta kematian disebabkan oleh karena
penyakit jantung koroner (Suhayatra Putra, 2016). Hasil ( Kementrian Kesehatan RI, 2018)
menunjukkan bahwa sebesar 1,5% atau 15 dari 1.000 penduduk Indonesia menderita penyakit
jantung koroner. Sedangkan jika dilihat dari penyebab kematian tertinggi di Indonesia, menurut
Survei Sample Registration System tahun 2014 menunjukkan 12,9% kematian akibat penyakit
jantung koroner. Menurut ( Kementrian Kesehatan RI, 2018) prevalensi penyakit jantung
berdasarkan diagnosis dokter pada semua umur di provinsi NTT adalah sebesar 0,7% atau sekitar
20.599 penduduk.
Faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah yaitu usia, jenis kelamin
sehingga berpotensi memperlambat proses aterogenik, antara lain kadar serum lipid, hipertensi,
merokok, gangguan toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolestrol, serta kalori
(Suddarth, 2014)
STEMI mempunyai gejala khas yang berkaitan erat dengan hasil EKG yaitu elevasi
segmen ST yang persisten. Data menunjukkan bahwa mortalitas akibat STEMI sering terjadi
dalam 24-48 jam pasca onset dan 30 hari setelah serangan adalah 30% (Suddarth, 2014) Tanda
dan gejalanya meliputi Rasa terbakar, teremas dan sesak yang menyakitkan di dada
substernalatauprekordial yang bias menjalar ke lengan kiri, leher dan rahang. Rasa nyeri saat
beraktivitas, meluapkan kegembiraan emosional, terpapar dingin atau makan dalam jumlah
besar. (Pamewa, 2014)
STEMI disebabkan oleh adanya aterosklerotik pada arteri koroner atau penyebab lainnya
yang dapat menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
miokardium (Andrayani, 2016) Pada kondisi awal akan terjadi iskemia miokardium, namun bila
tidak dilakukan tindakan reperfusi segera maka akan menimbulkan nekrosis miokard yang
bersifat irreversible. Komplikasi yang biasa terjadi pada penderita STEMI yaitu adanya
remodelling ventrikel yang pada akhirnya akan mengakibatkan shock kardiogenik, gagal jantung
kongestif, serta disritmia ventrikel yang bersifat lethal aritmia (Carrick D, 2018)
Infark miokardium mengacu pada proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai darah
yang tidak adekuat sehingga aliran darah koroner berkurang. Penyebab penurunan suplai darah
mungkin akibat penyempitan kritis arteri koroner karena aterosklerosis atau penyumbatan total
arteri oleh emboli atau thrombus. Penurunan aliran darah koroner juga bisa diakibatkan oleh
syok atau perdarahan. Pada setiap kasus infark miokardium selalu terjadi ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen (Suddarth, 2014). Faktor resiko yang dapat memperburuk
keadaan ini adalah kebiasaan merokok, memiliki riwayat tekanan darah tinggi dan kolestrol
tinggi, memiliki riwayat keluarga mengalami penyakit jantung koroner atau stroke, kurang
aktivitas fisik, memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus, memiliki berat badan berlebihan
(overweight) ataupun obesitas (Iskandar, 2017) Aterosklerosis koroner menimbulkan gejala dan
komplikasi sebagai akibat penyempitan lumen arteri dan penyumbatan aliran darah ke jantung.
Sumbatan aliran darah berlangsung progresif, dan suplai darah yang tidak adekuat (iskemia)
yang akan membuat sel-sel otot kekurangan komponen darah yang dibutuhkan untuk hidup.
( (Suddarth, 2014)
Diagnosis awal yang cepat dan penanganan yang tepat setelah pasien tiba di ruang IGD
dapat mencegah kerusakan miokardial yang besar serta mengurangi komplikasi yang dapat
terjadi pada pasien sehingga menurunkan risiko kematian. 2 Pencegahan keterlambatan dalam
penanganan STEMI sangat penting di fase awal yaitu saat pasien mengalami nyeri dada yang
hebat. Defibrillator harus tersedia, pemberian terapi pada tahap awal terutama terapi reperfusi
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, 2015)
Berdasarkan hasil penelitian (Ermiati., 2017) menjelaskan bahwa angka keberhasilan terapi
reperfusi relative tinggi dan sukses yaitu mencapai 100% untuk terapi primary PCI dan
fibrinolitik yang diberikan tepat waktu yaitu kurang dari 30 menit untuk fibrinolitik dan kurang
dari 90 menit untuk primary PCI. Terapi awal seperti suplementasi O2, aspirin, klopidogrel,
nitrat dan morfin untuk mengurangi nyeri dapat diberikan kepada pasien STEMI jika tidak ada
kontraindikasi (FITRIADI, 2018)
Prevalensi gagal jantung di Asia Tenggara mencapai 3 kali lipat jika dibandingkan dengan
negara Eropa dan Amerika yaitu sebesar 4.5–6.7% : 0.5–2% (Lam, 2015) Berdasarkan data
(WHO, 2013) menunjukkan bahwa 45% kematian disebabkan oleh penyakit jantung dan
pembuluh darah yaitu 17,7 dari 39,5 juta kematian (Riskesda, 2018) Sedangkan menurut Jakarta
Acute Syndrome (JAC) Registry pada tahun 2015 jumlah pasien STEMI di Jakarta mencapai
1.024 orang (Dharma, 2016). STEMI merupakan penyakit kardiovaskuler penyebab kecacatan
dan kematian terbesar seluruh dunia. STEMI menyebabkan kematian 6%-14% dari jumlah total
kematian pasien yang disebabkan oleh SKA (Dharma, 2016) Berdasarkan data rekam medik
tahun 2019 di Ruang Jantung Aster Timur RSUD Budhi Asih Jakarta, jumlah penderita serngan
jantung pada bulan Januari sampai Desember 2019 sebanyak 244 orang. Sedangkan pada yahun
2020 jumlah penderita serangan jantung yang dirawat pada bulan Januari sampai Desember 2020
sebanyak 293 orang.
Berdasarkan uraian masalah diatas, penulis tertarik untuk menganalisa dan mempelajari
lebih dalam mengenai STEMI yang semakin meningkat. Penulis juga ingin menambah ilmu
pengetahuan dan kemampuan dalam merawat klien dengan serangan jantung sehingga penulis
mampu menjadi perawat profesional dan dapat memberikan asuhan keperawatan secara
komprehensif
PEMBAHASAN
Ny. S.R (61 tahun) datang ke IGD RSUD Budhi Asih, Senin 17 Januari 2022 jam 20.05
WIB dengan keluhan, Nyeri ulu hati sejak 3 hari, seperti terasa penuh, terasa Mual, pasien
mengeluh keluar keringet dingin, demam di sangkal, batuk pilek di sangkal, sesak napas di
sangkak. Klien memiliki riwayat Dm tipe 2 rutin minum obat metformin 3x500 mg, riwayat
kolesterol ada, dan riwayat sakit jantung 4 tahun yang Smrs, pasien menolak di pasang ring
minum obat miniaspi dan bisoprolol. Saat di igd pasien di lakukan pemeriksaan EKG tergambar
Abnormal sinus ritem, axis normal, ST depresi I-aVL, ST elefasi III-aVF, dan RBBB
incomplete. Saat tiba di IGD klien dilakukan pengukuran TTV : TD 121/78 mmHg, N 82 x/mnt,
S 360C, RR 20 x/mnt, sat 98%, dilakukan pemasangan infuse, dan di pasang elektroda EKG serta
dilakukan pemeriksaan laboratorium : HB:12,5 gr/dl, HT: 36%, Trombosit:294 ribu/ul,
Leukosit:10,2 ribu/ul, Ureum:32 mg/dl, Creatinin:0,99 mg/dl, Na:141 mmol/L, K:3,9 mmol/L,
Cl:100 mmol/L, Troponim I :0,004 ng/ml, GDS: 157 mg/dl, Swab antigen : Positif dilakukan X-
Ray : Cardiomegali, dengan elongasi dan kalsifikasi aorta Klien mendapatkan terapi awal :
ISDN 5 mg, CPG 4tab (300mg), aspilet 2tab (160mg), Simvastatin 40mg, infus Asering/8 jam,
omeprazole 2x40 mg, Lovenox 0,6 mg . TB: 155cm dan BB : 54 kg.
Pada senin 17 Januarai 2022 klien dikonsulkan ke dokter jaga IGD ke dokter Jantung
karena adanya gangguan pada irama jantung pasien dari dr jantung pasien mendapat terapi saran
konsul paru dan IPD lasix 2x2 amp iv, ramipril 1x2.5 mg, Tambahin lovenox 2x0.6, CPG
loading 300 mg selanjutnya 1x75 mg, Aspilet 160 mg, selanjutnya 1x80 mg, Omz 2x1 amp iv,
Simvastatin 1x20 mg, EKG per hari. Pasien di konsulkan ke dokter paru karena covid 19 by
antigen jam 22.00 dan mendapat terapi CT scan, PCR 2x, Dexa 1x6mg, Avigan protocol, Vit D3
1x5000 po, Vit C 1x500mg po, Levofloxacin 1x750mg iv, Hidonac 1x2500mg iv 2 hr Pasien di
konsulkan ke penyakit dalam jam 21.30 karena ada riwayat Dm tipe 2 dan mendapat terapi
lanjutkan obat rutin metformin 3x 500 mg Po, cek GDSM jam 22.00 cek albumin, Globulin dan
HbA1C, panel Covid dan hemostasis
Pada tanggal 17 Januari 2022 pukul 22:00 WIB dilakukan pengkajian menggunakan 11
pola Gordon dan,didapatkan hasil pengkajian dan masalah keperawatan sebagai berikut:
3. Pola Eliminasi
Dasar Teori menurut Gordon : Menggambarkan pola fungsi ekskresi (usus besar, kandung
kemih, dan kulit), termasuk pola individu sehari-hari, perubahan atau gangguan, dan metode
yang digunakan untuk mengendalikan ekskresi (Patricia A. Potter & Perry, 2011)
Sebelum masuk Rumah Sakit : Klien mengatakan eliminasi BAK 5-6 kali dalam sehari
namun sekali BAK hanya sedikit dengan warna kuning pekat. Untuk BAB klien mengatakan
tidak ada keluhan, klien BAB 1 kali sehari dengan konsistensi padat dan warna kuning
dengan bau khas.
Saat di Rumah Sakit : Saat ini klien di rawat di ruang isolasi pinere, dengan fasilitas untuk
bab dan bak yang belum ada, jadi saat di ruang isolasi mengunakan pempers untuk bab dan
bak pasien menggunakan DC no 16 karena klien mendapatkan terapi diuretic (Lasix 2x2
ampul IV). Produksi urine saat ini 800 cc/6 jam sehingga diuresis klien 2,4 cc/kgbb/jam,
warna kuning jernih, bau khas. Dua hari ini klien belum BAB dan BU 12 x/mnt.
Sehingga Masalah keperawatan yang muncul : Resiko Konstipasi (D.0052)
Berdasarkan pengkajian 11 pola Gordon yang sudah dilakukan, ditemukan beberapa masalah
keperawatan yaitu: Kurang pengetahuan, Manajemen kesehatan tidak efektif, Hipervolemia,
Risiko Konstipasi, Intolerasi aktivitas dan Penurunan curah jantung, Ansietas, Gangguan pola
tidur dan Ketidakberdayaan. Kemudian ditentukan 3 prioritas masalah keperawatan yaitu :
Penurunan curah jantung, Intolerasi aktivitas dan Kurang pengetahuan, Manajemen kesehatan
tidak efektif
Dalam hal pengkajian pada pasien ACS/ Stemi menggunakan pengkajian mendalam
mengenai penurunan curah jantung, dengan kategori fisiologis dan sub kategori sirkulasi.
Pengkajian yang dilakukan yaitu sesuai dengan tanda mayor penurunan curah jantung yang
dilihat dari data subjektif yaitu klien mengalami perubahan irama jantung yang berupa
palpitasi, perubahan preload berupa kelelahan , perubahan afterload berupa dypsnea,
perubahan kontraktilitas berupa proxymal nocturnal dypsnea (PND), ortopnea, batuk.
Kemudian dilihat dari data objektif yaitu klien mengalami perubahan irama jantung berupa
bradikardia atau takikardia, gambaran EKG aritmia atau gangguan konduksi, perubahan
afterload berupa edema, distensi vena jugularis, Central Venous Pressure (CVP), perubahan
afterload berupa tekanan darah meningkat, nadi perifer teraba lemah, capillary refill time >3
detik, oliguria, warna kulit sianosis atau pucat, perubahan kontraktilitas berupa terdengar
suara jantung S3 atau S4 dan Ejection Fraction (EF) (SDKI, 2017) Jika dikaitkan dengan
teori kriteria pengkajian yaitu sesuai tanda mayor penurunan curah jantung baik subjektif
dan objektif maka, data objektif dan subjektif pada kasus telah memenuhi kriteria sesuai
dengan teori yaitu berupa adanya kelelahan saat aktivitas sedang, seperti berjalan (4-5
meter), adanya aritmia, edema, peningkatan JVP, PND, dan CRT > 3 detik.
Untuk tindakan terapeutik yang telah dilakukan yaitu : memberikan posisi semi-fowler
atau fowler dengan kaki kebawah atau posisi nyaman, memberikan diet jantung yang sesuai
(membatasi asupan natrium, kolestrol, dan makanan tinggi lemak) dan memberikan oksigen
untuk mempertahankan saturasi oksigen >94% dan menciptakan lingkungan yang tenang
agar mengurangi pemicu stress (SIKI, 2017) (WHO, 2013) menganjurkan pembatasan
konsumsi garam dapur hingga 5 gram sehari (ekivalen dengan 2000 mg natrium atau setara
dengan 1 sendok teh). Diet garam merupakan diet untuk mengatur jumlah asupan garam
yang dikonsumsi. Pola diet ini penting untuk dilakukan siapa saja, baik orang dewasa
maupun anak-anak. Ini karena diet garam bermanfaat untuk mencegah berbagai penyakit,
seperti hipertensi dan penyakit kardiovaskular. Diet ini mengandung zat-zat gizi. Sesuai
dengan keadaan penyakit dapat diberikan berbagai tingkat diet garam rendah (Karson, 2012)
Implementasi yang telah dilakukan pada klien meliputi semua intervensi yang ada pada
teori, pemberian posisi yang nyaman sesuai dengan kondisi klinis klien dilakukan mulai dari
posisi fowler di hari pertama hingga posisi semi fowler pada beberapa hari berikutnya.
Pemberian diet sesuai kondisi klinis klien telah dilakukan dengan berkolaborasi dengan ahli
gizi yaitu diet jantung, diet rendah garam, rendah lemak. Serta pemberian terapi oksigen
pada fase awal perawatan berupa oksigen nasal 3 lpm hingga terapi oksigen dihentikan
karena klinis klien yang mengalami perbaikan.
Tindakan edukasi yang telah diberikan yaitu : Menganjurkan klien beraktivitas fisik
sesuai toleransi dan menganjurkan klien beraktivitas fisik secara bertahap (SIKI, 2017).
Aktivitas kegiatan hidup sehari-hari harus direncanakan untuk meminimalkan periode apneu
dan kelelahan. Setiap aktivitas yang menimbulkan gejala harus dihindari atau dilakukan
adaptasi. Klien harus dibantu untuk mengidentifikasi stres emosional dan menggali cara-cara
untuk menyesuaikannya. Melibatkan klien dalam implementasi program terapi akan
memperbaiki kerjasama dan kepatuhan (tidak melaksanakan terapi pengobatan dengan tepat,
tidak mematuhi tindak lanjut medis, melanggar pembatasan diet melakukan aktivitas fisik
yang berlebihan dan tidak dapat mengenali gejala kekambuhan) (Suddarth & Burner,
2012).Tindakan kolaborasi yaitu mengkolaborasikan pemberian anti aritmia (digoxin
0,25mg p.o) dan diuretik (Lasix 10mg/jam IV) (SIKI, 2017). Diberikan sebagai terapi
simptomatik pada keadaan fluid overload (McMurray JJV et al, European Heart Journal;
2012). Implementasi berupa pemberian edukasi pada klien yaitu : pemberian pemahaman
kondisi yang dialami saat ini, aktivitas yang diperbolehkan pada fase awal perawatan hingga
peningkatan aktivitas secara bertahap setiap harinya, seperti : melakukan semua kegiatan di
atas tempat tidur, aktivitas di samping tempat tidur hingga aktivitas ke kamar mandi dan
berjalan secara mandiri yang dilakukan sesuai tahapan yang diberikan dengan melihat
kondisi klinis klien.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 4x24 jam untuk mengatasi penurunan
curah jantung didapatkan: data subjektif klien mengatakan sudah tidak nyeri lagi, sudah
lebih baik saat aktivitas atau ketika tidur datar. Dari data objektif yaitu: klien mampu
melakukan aktivitas mandiri tanpa dibantu dan terlihat tidak sesak. Klien tidur dengan satu
bantal. Phiting edema di kedua kaki tidak ada. Bunyi paru tambahan seperti ronckhi (-/-),
wheezing (-/-). BB saat ini 54 kg. TTV :TD: 110/68 mmHg HR: 76x/mnt, RR: 18x/mnt, S:
36 ºc. Irama jantung AF NVR (Atrial Fibrilasi Normo Ventrikel Respon). JVP tidak
meningkat 5+1 cmH2O. CRT 2 detik. Balance cairan -200 cc/24 jam (intake 1000cc, urine
output 1200 cc). Analisa keperawatan dari masalah penurunan curah jantung adalah teratasi,
rencana tindakan keperawatan dihentikan