Disusun Oleh :
2006044
D3KP2B
2022/2023
A. PENGERTIAN
Stroke non hemoragik merupakan sindroma klinis sebagai akibat dari gangguan
vaskuler menurut (Sylvia A, 2006). Smeltzer & Bare (2009) menyatakan bahwa pada
waktu stroke, aliran darah ke otak terganggu sehingga terjadinya iskemia yang berakibat
kurangnya aliran glukosa, oksigen dan bahan makanan lainnya ke sel otak.
Stroke, atau cedera serebrovaskular (CVA), adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare, 2002).
Sebagian besar (80%) disebabkan oleh stroke non hemoragik. Stroke non hemoragik
merupakan stroke yang dapat disebabkan oleh trombus dan emboli. Stroke non hemoragik
akibat trombus terjadi karena penurunan aliran darah pada tempat tertentu di otak melalui
proses stenosis.
B. PENYEBAB/ETIOLOGI
Menurut Smeltzer (2001), stroke non hemoragik biasanya diakibatkan oleh trombosis dan
emboli cerebral.
a. Trombosis cerebral
Thrombosit ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga
menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan oedema dan kongesti
disekitarnya. Keadaan yang dapat menyebabkan thrombosit cerebral
b. Emboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh darah, lemak dan
udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat
sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30
detik.
Menurut Dewanto (2009), penyebab stroke non hemoragik adalah sebagi berikut :
Menurut Grace, Pierce A & Borley (2007), lesi ekstrakranial paling sering adalah
plak aterosklerotik pada percabangan karotis. Agregasi platelet dan selanjutnya embollisasi
platelet menyebabkan gejala kular atau serebral. Gejala akibat berkurangnya aliran jarang
terjadi pada daerah karotis, namun gejala vertebrobasilar biasanya berhubungan dengan
aliran. Aalirn balik pada arteri vertebralis pada keadaan oklusi arteri subklavia ipsilateral
menyebabkan gejala serebral seperti tangan ‘mencuri’ darah dari serebelum – sindrom
mencuri subklavia (subclavian stea syndrome).
a. Pernah terserang stroke, seseorang yang pernah mengalami stroke, termasuk TIA, rentan
terserang stroke berulang. Seseorang yang pernah mengalami TIA akan sembilan kali
lebih beresiko mengalami stroke dibandingkan yang tidak mengalami TIA.
b. Hipertensi, merupakan faktor risiko tunggal yang paling penting untuk stroke iskemik
maupun stroke perdarahan. Pada keadaan hipertensi, pembuluh darah mendapat tekanan
yang cukup besar. Jika proses tekanan berlangsung lama, dapat menyebabkan kelemahan
pada dinding pembilih darah sehingga menjadi rapuh dan mudah pecah. Hipertensi juga
dapat menyebabkan arterosklerosis dan penyempitan diameter pembuluh darah sehingga
mengganggu aliran darah ke jaringan otak.
c. Penyakit jantung, beberapa penyakit jantung, antara lain fibrilasi atrial (salah satu jenis
gangguan irama jantung), penyakit jantung koroner, penyakit jantung rematik, dan orang
yang melakukan pemasangan katup jantung buatan akan meningkatkan resiko stroke.
Stroke emboli umumnya disebabkan kelainan- kelaianan jantung tersebut.
d. Diabetes melitus (DM), seseorang dengan diabetes melitus rentan untuk menjadi
ateroklerosis, hipertensi, obesistas, dan gangguan lemak darah. Seseorang yang
mengidap diabetes melitus memiliki resiko dua kali lipat dibandinkan mereka yang tidak
mengidap DM.
e. Hiperkolesterolemia, dapat menyebabkan arterosklerosis yang dapat memicu terjadinya
penyakit jantung koroner dan stroke itu sendiri.
f. Merokok, perokok lebih rentan terhadap terjadinya stroke dibandingkan mereka yang
bukan perokok. Hal tersebut disebabkan oleh zat nikotin yang terdapat di dalam rokok
membuat kerja jantung dan frekuensi denyut jantung serta tekanan darah meningkat.
Nikotin juga mengurangi kelenturan arteri yang dapat menyebabkan aterosklerosis.
g. Gaya hidup, diet tinggi lemak, aktivitas fisik kurang, serta stres emosional dapat
meningkatkan risiko terkena stroke. Seseorang yang sering mengonsumsi makanan tinggi
lemak dan kurang melakukan aktivitas fisik rentan mengalami obesitas, diabetes melitus,
aterosklerosis, dan penyakit jantung. Seseoraang yang sering mengalami stres emosional
juga dapat mempengaruhi jantung dan pembuluh darah sehingga berpotensi
meningkatkan resiko serangan stroke.
Faktor-faktor resiko yang tidak dapat dikontrol. Ada beberapa faktor resiko terkena stroke
yang tidak dapat atupun dimodifikasi. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor usia, jenis
kelamin, ras, dan genetik/keturunan.
a. Usia, resiko mengalamai stroke meningkat seiring bertambahnya usia. Resiko semakin
meningkat setelah usia 55 tahun. Usia terbanyak terkena serangan stroke adalah usia 65
tahun ke atas. Dari 2065 pasien stroke akut yang dirawat di 28 rumah sakit di Indonesia,
35,8% berusia diatas 65 tahun dan 12,9% kurang dari 45 tahun.
b. Jenis kelamin, stroke menyerang laki-laki 19% lebih banyak dibandingkan perempuan
c. Ras, stroke lebih banyak menyerang dan menyebabkan kematian pada ras kulit hitam,
Asia, dan kepulauan Pasifik, serta Hispanik dibandingkan kulit putih. Pada kulit hitam
diduga karena angka kejadian hipertensi yang tinggi serta diet tinggi garam.
d. Gene tik, resiko stroke meningkat jika ada orang tua atau saudara kandung yang
mengalami stroke atau TIA.
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi dan
penurunan tingkat kesadaran.
f. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan
perawat untuk rnemperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif dan
perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-
harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
g. Pemeriksaan Fisik
1) Kesadaran
Biasanya pada pasien stroke mengalami tingkat kesadaran pasien mengantuk namun dapat
sadar saat dirangsang (samnolen), pasien acuh tak acuh terhadap lingkungan (apati),
mengantuk yang dalam (sopor), spoor coma, hingga penrunn kesadaran (coma), dengan
GCS < 12 pada awal terserang stroke. Sedangkan pada saat pemulihan biasanya memiliki
tingkat kesadaran letargi dan compos mentis dengan GCS 13-15.
2) Tanda-tandaVital
a) Tekanan darah
Biasanya pasien dengan stroke non hemoragik memiliki riwata tekanan darah tinggi
dengan tekanan systole > 140 dan diastole > 80. Tekanan darah akan meningkat dan
menurun secara spontan. Perubahan tekanan darah akibat stroke akan kembali stabil dalam
2-3 hari pertama.
b) Nadi
Nadi biasanya normal 60-100 x/menit
c) Pernafasan
Biasanya pasien stroke non hemoragik mengalami gangguan bersihan jalan napas
d) Suhu
Biasanya tidak ada masalah suhu pada pasien dengan stroke non hemoragik
3) Rambut
Biasanya tidak ditemukan masalah rambut pada pasien stroke non hemoragik
4) Wajah
Biasanya simetris, wajah pucat. Pada pemeriksaan Nervus V (Trigeminus) : biasanya
pasien bisa menyebutkan lokasi usapan dan pada pasien koma, ketika diusap kornea mata
dengan kapas halus, pasien akan menutup kelopak mata. Sedangkan pada nervus VII
(facialis) : biasanya alis mata simetris, dapat mengangkat alis, mengerutkan dahi,
mengerutkan hidung, menggembungkan pipi, saat pasien menggembungkan pipi tidak
simetris kiri dan kanan tergantung lokasi lemah dan saat diminta mengunyah, pasien
kesulitan untuk mengunyah.
5) Mata
Biasanya konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor, kelopakmata tidak
oedema. Pada pemeriksaannervus II (optikus): biasanya luas pandang baik 90°, visus 6/6.
Pada nervus III (okulomotorius): biasanya diameter pupil 2mm/2mm, pupil kadang isokor
dan anisokor, palpebral dan reflek kedip dapat dinilai jika pasien bisa membuka mata.
Nervus IV (troklearis):
biasanya pasien dapat mengikuti arah tangan perawat ke atas dan bawah. Nervus VI
(abdusen): biasanya hasil yang di dapat pasien dapat mengikuti arah tangan perawat ke kiri
dan kanan.
6) Hidung
Biasanya simetris kiri dan kanan, terpasang oksigen, tidak ada pernapasan cuping hidung.
Pada pemeriksaan nervus I (olfaktorius): kadang ada yang bisa menyebutkan bauyang
diberikan perawat namun ada juga yang tidak, dan biasanya ketajaman penciuman antara
kiri dan kanan berbeda danpada nervus VIII (vetibulokoklearis): biasanya pada pasoien
yang tidak lemah anggota gerak atas, dapat melakukan keseimbangan gerak tangan –
hidung.
8) Telinga
Biasanya sejajar daun telinga kiri dan kanan. Pada pemeriksaan nervus VIII
(vestibulokoklearis): biasanya pasien kurang bisa mendengarkan gesekan jari dariperawat
tergantung dimana lokasi kelemahan dan pasien hanya dapat mendengar jika suara dan
keras dengan artikulasi yang jelas.
9) Leher
Pada pemeriksaan nervu X (vagus): biasanya pasien stroke non hemoragik mengalami
gangguan menelan. Pada pemeriksaan kaku kuduk biasanya (+) dan bludzensky 1 (+).
10) Paru-paru
Inspeksi : biasanya simetris kiri dan kanan
Palpasi : biasanya fremitus sama antara kiri dan kanan
Perkusi : biasanya bunyi normal sonor
Auskultasi : biasanya suara normal vesikuler
12) Abdomen
Inspeksi : biasanya simetris, tidak ada asites
Palpasi : biasanya tidak ada pembesaran hepar
Auskultasi : biasanya suara vesikuler
Perkusi : biasanya terdapat suara tympani
Auskultasi : biasanya bising usus pasien tidak terdengar
Pada pemeriksaan reflek dinnding perut, pada saat perut pasien digores, biasanya pasien
tidak merasakan apa-apa.
12) Ekstremitas
a) Atas
Biasanya terpasang infuse bagian dextra atau sinistra. Capillary Refill Time (CRT)
biasanya normal yaitu < 2 detik. Pada pemeriksaan nervus XI (aksesorius) : biasany
apasien stroke non hemoragik tidak dapat melawan tahananpada bahu yang diberikan
perawat. Pada pemeriksaan reflek, biasanya saat siku diketuk tidak ada respon apa-apa dari
siku, tidak fleksi maupun ekstensi (reflek bicep (-)). Sedangkan pada pemeriksaan reflek
Hoffman tromner biasanya jari tidak mengembang ketika di beri reflek ( reflek Hoffman
tromner (+)).
b) Bawah
Pada pemeriksaan reflek, biasanya pada saat pemeriksaan
bluedzensky 1 kaki kiri pasien fleksi ( bluedzensky (+)). Pada saat telapak kaki digores
biasanya jari tidak mengembang (reflek babinsky (+)). Pada saat dorsal pedis digores
biasanya jari kaki juga tidak berespon ( reflek Caddok (+)). Pada saat tulang kering digurut
dari atas ke bawah biasanya tidak ada respon fleksi atau ekstensi ( reflek openheim (+))
dan pada saat betis di remas dengan kuat biasanya pasien tidak merasakan apa- apa ( reflek
Gordon (+)). Pada saat dilakukan treflek patella biasanya femur tidak bereaksi saat
diketukkan (reflek patella (+)).
j. Integritas Ego
1) Gejala : Perasaan tidak berdaya dan perasaan putus asa
2) Tanda : emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih
dan gembira, kesulitan untuk mengekspresikan diri.
k. Eliminasi
1) Gejala : terjadi perubahan pola berkemih
2) Tanda : distensi abdomen dan kandung kemih, bising usus negatif.
m. Neurosensori
1) Gejala : sakit kepala, kelemahan atau kesemutan, hilangnya
rangsang sensorik kontralateral pada ekstremitas, pengelihatan
menurun, gangguan rasa pengecapan dan penciuman.
2) Tanda : status mental atau tingkat kesadaran biasanya terjadi koma pada tahap awal
hemoragik, gangguan fungsi kongnitif, pada wajah terjadi paralisis, afasia, ukuran atau
reaksi pupil tidak sama,
kekakuan, kejang.
o. Pernapasan
1) Gejala : merokok
2) Tanda : ketidakmampuan menelan atau batuk , hambatan jalan napas, timbulnya
pernapasan sulit dan suara nafas terdengar ronchi.
p. Keamanan
Tanda : masalah dengan pengelihatan, perubahan sensori persepsi terhadap orientasi
tempat tubuh, tidak mampu mengenal objek, gangguan berespon, terhadap panas dan
dingin, kesulitan dalam menelan.
G. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang
berkaitan dengan kesehatan (PPNI, 2017)
Diagnosa yang akan muncul pada kasus stroke non hemoragik dengan
menggunakan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia dalam Tim Pokja SDKI DPP
PPNI (2017) yaitu:
a. Risiko perfusi serebral tidak efektif dibuktikan dengan embolisme.
b. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (iskemia).
c. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan
makanan.
d. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakmampuan
menghidu dan melihat.
e. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
neuromuskular.
f. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan penurunan mobilitas.
g. Risiko jatuh dibuktikan dengan gangguan pengelihatan (mis.ablasio retina).
h. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi serebral.
H. PERENCANAAN KEPERAWATAN
Perencanaan keperawatan atau intervensi keperawatan adalah perumusan tujuan,
tindakan dan penilaian rangkaian asuhan keperawatan pada pasien/klien berdasarkan
analisa pengkajian agar masalah kesehatan dan keperawatan pasien dapat diatasi (Nurarif
Huda, 2016).
Edukasi :
Anjurkan mobilisasi
sederhanana (mis. Duduk
ditempat tidur, melakukan
rentan gerak, miring kanan
miring kiri
I. DAFTAR PUSTAKA
Buku Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, Tim Pokja SDKI DPP PPNI , Januari 2017,
penerbit Dewan Pengurus Pusat
Buku Standar Luaran Keperawatan Indonesia, Tim Pokja SIKI DPP PPNI, Januari 2019,
penerbit Dewan Pengurus Pusat
Buku Standar Intervensi Kperawatan Indonesia, Tim Pokja SLKI DPP PPNI, Januari 2018,
penerbit Dewan Pengurus Pusat
repository.poltekkes-denpasar.ac.id/441/3/BAB II.pdf