Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PATOFISIOLOGI KARDIO ENDOKRIN


“ARITMIA JANTUNG”

Disusun oleh:
Ravindra Arbi Putra 188114018
Gusti Ayu Made Widiari 188114019
B Karina Sekar Maheswari 188114020
Michelle Naomi Tosani 188114021
Benedicta. V. Shinta Erlinawati 188114022
Juvita Lisu Allo 188114023
Debi Kristiananda 188114024

Dosen Pengampu : dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2020

KATA PENGANTAR
Segala Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan
rahmat serta anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah
berjudul “Aritmia Jantung” ini tepat pada waktunya.

Adapun penulisan makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Patofisiologi
Kardio Endokrin. Dalam Penulisan makalah kami merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi. Untuk itu kritik dan saran dari semua
pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini dan selanjutnya

Yogyakarta, 6 September 2020

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jantung adalah organ tubuh yang dibentuk oleh berbagai komponen yaitu
pembuluh darah, otot, selaput, katup, sistem saraf dan sistem listrik jantung. Pada
keadaan normal seluruh komponen pembentuk jantung bekerja saling melengkapi
agar jantung berfungsi memompa darah secara memadai dan tanpa berhenti.
Kerusakan di setiap komponen jantung akan menyebabkan penyakit jantung yang
berbeda-beda (Yuniadi, 2017).
Aritmia dapat terjadi pada jantung yang tampaknya sehat, tetapi aritmia yang
serius (misalnya takikardia ventrikular) biasanya berhubungan dengan penyakit
jantung (misalnya infark miokard) dan prognosis yang buruk. Ritme jantung
dipengaruhi oleh asetilkolin (ACh) dan norepinefrin (NE), yang masing-masing
dilepaskan oleh saraf parasimpatis dan simpatis (Neal, 2006).
Terdapat berbagai jenis dari aritmia, yang dapat berasal dari atrium atau
ventrikel. Aritmia reentry dapat terdiri atas takikardi, flutter, dan fibrilasi yang dapat
berasal dari atrium maupun ventrikel, menyebabkan penurunan cardiac output.
Takikardi ditandai oleh eksitasi tinggi yang reguler dengan frekuensi denyut >100
kali/menit. Flutter ditandai dengan denyut nadi yang tinggi tetapi masih regular (>250
kali/menit). Fibrilasi ditandai dengan denyut cepat dan tidak terkoordinasi yang dapat
berakhir dengan hilangnya kontraktilitas (Rendayu, 2018).
Aritmia pada ventrikel lebih berbahaya, karena akan berakhir dengan fibrilasi
ventrikel. Aritmia supraventrikular timbul pada miokard atrium atau nodus
atrioventrikular (AVN), sementara aritmia ventrikular berasal dari ventrikel.
Gangguan aritmia berkaitan dengan kondisi stres dimana terdapat peningkatan
aktivitas adrenergik (emosi, stimulasi, tirotoksikosis, infark miokard) yang bisa
diterapi dengan B-blocker (Neal, 2006).
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat ditarik dari latar belakang di atas yaitu
sebagai berikut.
a. Bagaimana epidemiologi aritmia?
b. Bagaimana patofisiologi aritmia?
c. Apa saja faktor risiko dan penyebab aritmia?
d. Apa saja komplikasi aritmia
e. Bagaimana prognosis aritmia?
C. Tujuan
Tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Mengetahui epidemiologi aritmia
b. Mengetahui patofisiologi aritmia
c. Mengetahui macam faktor risiko serta penyebab aritmia
d. Mengetahui komplikasi aritmia
e. Mengetahui prognosis aritmia

BAB II
ISI
A. Definisi
Aritmia atau disritmia merupakan gangguan irama jantung yang merujuk
kepada setiap gangguan frekuensi, regularitas, lokasi asal atau konduksi impuls listrik
jantung. Secara umum, Aritmia mengacu pada setiap bentuk denyut atau irama jantung
yang bersifat tidak normal. Meskipun tidak berbahaya secara langsung, aritmia
meningkatkan peluang terjadinya stroke hingga lima kali lipat (Kalangi dkk, 2016).
Aritmia adalah denyut jantung yang abnormal, bisa cepat (takiaritmia) ataupun
lambat (bradiaritmia). Gangguan ini bisa asimtomatik, dimana menyebabkan palpitasi
ringan intermiten atau menyebabkan gangguan kardiovaskular berat atau henti jantung.
Denyut jantung dikendalikan oleh depolarisasi fokus lain yang lebih cepat. Pada EKG
tampak sebagai gambaran “tumpang tindih” dari aktivitas atrium dan ventrikel
sekaligus. Aritmia dikelompokkan menurut sumber depolarisasi:
1. Aritmia supraventrikular, berasal dari atrium atau di sekitar nodus
atrioventrikular (AV).
2. Aritmia ventrikular berasal dari ventrikel.
(Patrick, 2005)

B. Epidemiologi
Epidemiologi aritmia di Indonesia tidak berbeda jauh dari negara-negara lain.
Aritmia yang paling sering di dapatkan di klinik adalah fibrilasi atrium atau FA.
Prevalensi FA sendiri mencapai 1-2% dan diperkirakan akan terus meningkat 50
tahun mendatang. Menurut Framingham Heart Study yang melibatkan 5.290 subjek
penelitian sehat mendapatkan bahwa dalam waktu 20 tahun, angka kejadian FA
adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada perempuan. Studi observasional
(MONICA, multinational monitoring of trend and determinant in cardiovascular
disease) pada populasi urban di Jakarta mendapatkan angka kejadian FA 0,2% dengan
rasio laki-laki dan perempuan sebesar 3:2. Karena akan terjadinya peningkatan
populasi usia lanjut di Indonesia yaitu 7,74% pada tahun 2000 dan menjadi 28,68%
pada tahun 2050, maka angka kejadian FA juga akan meningkat secara signifikan. Hal
ini juga dapat dilihat dalam skala yang lebih kecil seperti contohnya pada salah satu
rumah sakit yaitu RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita yang menunjukkan
bahwa selalu terjadinya peningkatan di setiap tahun pada jumlah pasien rawat, yaitu
7,1% pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 9,0% (2011), sebesar 9,3% (2012), dan
meningkat kembali menjadi 9,8% pada tahun 2013. Angka kejadian aritmia akan
meningkat dengan bertambahnya usia. Diperkirakan, populasi geriatrik (lansia) akan
mencapai 11,39% di Indonesia atau 28 juta orang di Indonesia pada tahun 2020.
Makin bertambah usia, persentase kejadian aritmia makin meningkat, yaitu 70% pada
usia 65-85 tahun dan 84% diatas 85 tahun. (Yuniadi, 2017; Kalangi dkk, 2016).

C. Faktor resiko dan Penyebab


a. Umur
Seiring bertambahnya umur, kemungkinan untuk mengidap aritmia semakin
tinggi karena adanya perubahan pada jaringan hati dan kemampuan jantung untuk
bekerja. Orang yang lebih tua juga memiliki kondisi kesehatan tertentu seperti
penyakit jantung, dapat meningkatkan resiko aritmia. Beberapa tipe aritmia juga
sering terjadi pada anak anak dan orang muda, termasuk aritmia yang disebabkan
adanya kerusakan jantung kongenital atau penyakit keturunan.
b. Lingkungan
Terpapar polusi udara, terkhusus debu dan gas dapat meningkatkan resiko
terkena aritmia.
c. Riwayat keluarga dan genetik
Seseorang dapat beresiko terkena aritmia apabila orangtua atau keluarga
terdekat memiliki riwayat aritmia. Beberapa penyakit jantung turunan juga
meningkatkan resiko terkena aritmia. Beberapa penyakit genetic, adanya mutasi
menyebabkan kanal ion yang mentransmisikan sinyal sel jantung untuk bekerja tidak
semestinya atau berhenti bekerja.
d. Gaya hidup
Perokok, pecandu alkohol serta penyalahgunaan obat terlarang dapat
meningkatkan resiko terkena aritmia. Obesitas dapat meningkatkan faktor resiko
aritmia. Data menunjukkan bahwa orang yang overweight dan obesitas dengan indeks
massa tubuh ≥25 kg/m2 lebih mudah terkena aritmia.
e. Ras dan Suku
Beberapa studi menunjukkan bahwa orang-orang Amerika yang berkulit putih
lebih rentan terkena aritmia dibandingkan orang-orang Afrika-Amerika.
f. Jenis Kelamin
Beberapa studi menunjukkan bahwa laki-laki lebih beresiko untuk terkena
atrial fibrilasi dibandingkan perempuan. Adapun pada siklus menstruasi perempuan
juga dapat meningkatkan resiko terjadinya aritmia.
(Staerk, 2017)
g. Penyakit Penyerta
1. Hipertensi: hipertensi merupakan penyebab utama sebagian besar kasus
aritmia. Angka prevalensi penderita hipertensi yang menderita aritmia
adalah 49-90%.
2. Gagal jantung: gagal jantung adalah faktor resiko terbesar pada kasus
aritmia dengan menaikkan resiko dua sampai 3 kali lebih besar. Jantung
tidak mendapat pasokan darah dan oksigen sehingga menurunkan
kemampuannya untuk bekerja.
3. Penyakit jantung koroner: pasokan darah dan oksigen ke jantung terhambat
akibat adanya plak yang menempel pada arteri koroner jantung
(aterosklerosis) sehingga aliran darah tidak normal dan menyebabkan
keabnormalan pada ritme jantung.
4. Diabetes: kadar gula dalam darah yang tinggi dapat merusak pembuluh
darah yaitu penumpukan lemak akibat kolesterol (aterosklerosis) yang
menyebabkan aliran darah ke jantung tidak lancar dan mempengaruhi ritme
jantung.
5. Jantung iskemik: penyempitan pada pembuluh darah koroner yang
menyebabkan darah sulit mengalir ke jantung.
6. Kelainan pada otot jantung (kardiomiopati): menyebabkan berkurangnya
kemampuan jantung untuk memompa darah.
7. Tiroid: hormon tiroid memiliki peran penting dalam mengatur irama detak
jantung, sehingga jika kelebihan atau kekurangan hormon tiroid akan
menyebabkan abnormalitas irama jantung.
8. Efek samping obat-obatan yang dikonsumsi.
(Staerk, 2017)
D. Patofisiologi
Pada normalnya impuls listrik yang memicu kontraksi jantung normal berasal secara
berkala di simpul sinoatrial (SA). Biasanya pada frekuensi 60–100 bpm. Node SA memulai
ritme jantung dalam keadaan normal dimana jaringan ini memiliki tingkat otomatisitas atau
laju pembentukan impuls spontan tertinggi. Impuls ini menyebar dengan cepat melalui atrium
dan memasuki nodus atrioventrikular (AV), yang biasanya merupakan satu-satunya jalur
konduksi antara atrium dan ventrikel. Konduksi melalui AV node lambat, membutuhkan
sekitar 0,15 detik (penundaan ini memberikan waktu untuk kontraksi atrium untuk
mendorong darah ke ventrikel). Impuls kemudian menyebar ke seluruh sistem his purkinje
dan menyerang semua bagian ventrikel, dimulai dengan permukaan endokard di dekat apeks
dan diakhiri dengan permukaan epikardial di dasar jantung. Akibatnya terjadi kontraksi pada
ventrikel sehingga darah bisa mengalir ke tubuh. Aktivasi ventrikel selesai dalam waktu
kurang dari 0,1 detik, oleh karena itu, kontraksi semua otot ventrikel biasanya sinkron dan
efektif secara hemodinamik (Dipiro et al, 2011).
Aritmia dapat muncul saat terjadi gangguan pada pembentukan impuls, dimana
perubahan automatisitas nodus SA (sinoatrial) atau pacu jantung laten di sepanjang jalur
konduksi atau abnormalitas automatisitas miosit atrial atau ventrikel yang diakibatkan oleh
sentrum SA membentuk pacu lebih kecil sehingga tidak bisa menghantarkan impuls sampai
ke bindel his. Abnormalitas pembentukan impuls bergantung pada pembentukan impuls
spontan pada alat pacu jantung laten dan mungkin disebabkan oleh beberapa mekanisme
berbeda. Obat-obatan, seperti digoksin atau katekolamin, dan kondisi, seperti hipoksia,
kelainan elektrolit (misalnya, hipokalemia), dan peregangan serat (dilatasi jantung), dapat
menyebabkan peningkatan kemiringan depolarisasi fase 4 di jaringan jantung selain nodus
SA (Dipiro et al, 2011).
Peningkatan kemiringan fase 4 menyebabkan peningkatan otomatisitas jaringan ini dan
persaingan dengan nodus SA untuk dominasi ritme jantung. Jika kecepatan pembentukan
impuls spontan dari jaringan otomatis abnormal melebihi dari node SA, maka takikardia
otomatis dapat terjadi (Dipiro et al, 2011). Pacu di SA tidak sampai ke sentrum AV, sehingga
tidak diteruskan ke bindel HIS akibat adanya kerusakan pada sistem hantaran atau terjadi
penekanan.
Macam-macam patofisiologi menurut jenis aritmia dibagi menjadi:
1. Aritmia Supraventrikular
a. Atrial Fibrillation
Atrial Fibrillation memiliki aktivasi atrial yang sangat cepat (400–600 atrial
beats/min) dan tidak teratur. Terjadi karena kehilangan kontraksi atrial (atrial kick),
dan impuls supraventrikular yang menembus sistem konduksi atrioventrikular (AV)
ke derajat variabel, mengakibatkan aktivasi ventrikel tidak teratur dan denyut nadi
tidak teratur (120-180 kali/menit).
Flutter atrial memiliki aktivasi atrial yang cepat namun teratur (270-330
denyut atrial/menit). Respons ventrikel biasanya memiliki pola yang teratur dan
denyut nadi 300 kali/menit. Aritmia ini lebih jarang terjadi dari pada atrial
fibrillation, tetapi memiliki faktor penyebab, konsekuensi, dan terapi obat yang sama.
Mekanisme dominan atrial fibrillation dan flutter atrial adalah reentry, yang
biasanya dikaitkan dengan penyakit jantung bawaan yang menyebabkan distensi atrial
(misalnya, iskemia atau infark, penyakit jantung hipertensi, dan gangguan valvular).
Dengan komplikasi penyakit termasuk embolus paru akut dan penyakit paru-paru
kronis, mengakibatkan pulmonary hypertension dan cor pulmonale, dan keadaan high
adrenergic tone seperti tirotoksikosis, alkohol withdrawal, sepsis, dan pengerahan
tenaga fisik yang berlebihan (Dipiro, 2012).
b. Paroxysmal Supraventricular Tachycardia disebabkan oleh Reentry
Reentry adalah konsep yang melibatkan penyebaran impuls yang tidak terbatas
dan aktivasi jaringan refraktori sebelumnya. Ada tiga persyaratan konduksi untuk
pembentukan reentrant yang layak: dua jalur untuk konduksi impuls, area blok searah
di salah satu jalur ini, dan konduksi lambat di jalur lain. Biasanya detak prematur
yang sangat tepat waktu dapat reentry. Impuls prematur ini memasuki kedua konduksi
jalur tetapi menemukan jaringan refraktori di salah satu jalur di area blok searah.
Impuls mati karena jaringan masih refraktori dari impuls (sinus) sebelumnya.
Meskipun gagal untuk menyebar dalam satu jalur, impuls masih dapat melanjutkan
arah maju (antegrade) melalui jalur lain karena dari periode refraktori jalur ini yang
relatif lebih pendek. Impuls kemudian melanjutkan melalui loop jaringan dan
"reenter" area blok searah ke arah belakang (mundur), karena jalur antegrade
memiliki karakteristik konduksi yang lambat. Impuls dapat melanjutkan dengan cara
retrograde melalui jaringan ini (sebelumnya refraktori) dan terus di sekitar loop
jaringan dengan cara melingkar. Dengan demikian, kunci untuk pembentukan fokus
reentrant adalah perbedaan konduksi yang penting dalam karakteristik
elektrofisiologis dari dua jalur. Fokus reentrant dapat merangsang jaringan sekitarnya
pada tingkat yang lebih besar dari pada nodus SA, yang mengarah ke pembentukan
takikardia klinis (Dipiro, 2012).
2. Ventricular Arrhythmias (VA)
a. Premature Ventricular Complexes (PVCs)
Jenis ini dapat terjadi pada pasien dengan atau tanpa penyakit jantung.
Sebagian besar kontraksi prematur merupakan akibat fokus ektopik di dalam jantung,
yang mengeluarkan impuls abnormal pada waktu tertentu selama irama jantung.
Penyebab fokus etopik adalah:
● Daerah iskemia lokal
● Plak klasifikasi kecil di berbagai bagian jantung, yang menekan otot jantung di
dekatnya sehingga beberapa serat menjadi teriritasi
● Iritasi toksik pada nodus A-V, sistem purkinje, atau miokardium disebabkan
oleh obat-obatan, nikotin, atau kafein.
Timbulnya kontraksi prematur secara mekanis juga sering terlihat selama
kateterisasi jantung; sejumlah besar kontraksi prematur sering kali timbul bila kateter
memasuki ventrikel kanan dan menekan endokardium (Guyton, 2011)

b. Ventricular Tachycardia
Ventricular tachycardia (VT) ditentukan oleh tiga atau lebih PVC berulang
yang terjadi dengan kecepatan lebih dari 100 denyut/menit. VT memiliki QRS yang
luas yang dapat diakibatkan secara akut oleh kelainan elektrolit yang tergolong parah
(misalnya hipokalemia atau hipomagnesemia), hipoksia, toksisitas obat (misalnya,
digoksin), adanya infark miokard akut (MI) atau iskemia yang ditambah dengan
penyakit gagal jantung (Heart Failure). Bentuk rekuren kronis hampir selalu
dikaitkan dengan penyakit jantung bawaan (misalnya, kardiomiopati dilatasi idiopatik
atau infark miokard jarak jauh dengan aneurisma ventrikel kiri [LV]) (Dipiro, 2012).
Sustained Ventricular Tachycardia membutuhkan intervensi untuk
mengembalikan ritme yang stabil atau bertahan dalam waktu yang relatif lama
(biasanya> 30 detik). Ventricular Tachycardia mengalami self terminates setelah
durasi yang singkat (biasanya <30 detik). Incessant VT mengacu pada ritmen VT
yang terjadi lebih sering daripada ritme sinus, sehingga VT menjadi ritme dominan.
VT monomorfik memiliki konfigurasi QRS yang konsisten, sedangkan VT polimorfik
memiliki kompleks QRS yang bervariasi. Torsade de pointes (TdP) adalah VT
polimorfik dimana kompleks QRS tampak bergelombang di sekitar sumbu pusat
(Dipiro, 2012).
c. Proaritmia Ventrikel
Proaritmia mengacu pada perkembangan aritmia baru (yang signifikan) seperti
takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel, torsade de pointes, atau adanya aritmia yang
sudah memburuk. Proaritmia terjadi akibat mekanisme yang sama dan menyebabkan
aritmia lain atau dari perubahan substrat yang mendasari akibat agen antiaritmia.
Torsade de pointes adalah bentuk takikardia ventrikel polimorfik cepat terkait
dengan repolarisasi ventrikel yang tertunda karena adanya blokade konduktansi
kalium. Torsade de pointes mungkin turun-temurun atau didapat. Bentuk yang
diperoleh dikaitkan dengan banyak kondisi klinis dan obat-obatan (terutama bloker
kelas Ia dan kelas III IKr) (Dipiro, 2012).
d. Fibrilasi Ventrikel
Fibrilasi ventrikel adalah impuls listrik ventrikel yang menyebabkan tidak
adanya cardiac output dan kolaps kardiovaskular. Kematian jantung mendadak ini
paling sering terjadi pada pasien dengan penyakit arteri koroner dan pasien yang
memiliki disfungsi ventrikel kiri. Fibrilasi ventrikel dapat menimbulkan keadaan fatal
apabila tidak dihentikan dalam waktu 1-3 menit. Fibrilasi ventrikel terjadi karena
impuls jantung yang terdapat di dalam massa otot ventrikel timbul "di luar kendali".
Impuls tersebut akan merangsang salah satu otot ventrikel, kemudian merangsang
bagian yang lain, kemudian yang lain lagi dan akhirnya kembali ke tempat semula dan
merangsang kembali otot ventrikel yang sama berulang-ulang kali dan tidak berhenti.
Apabila hal ini terjadi, maka banyak bagian otot ventrikel yang kecil akan
berkontraksi pada waktu bersamaan, sementara itu, banyak bagian lain dalam jumlah
sama juga akan berelaksasi, Jadi tidak pernah ada kontraksi terkoordinasi dari semua
otot ventrikel pada saat bersamaan yang diperlukan dalam siklus pompa jantung.
Fibrilasi ventrikel terkait dengan infark miokard akut dapat diklasifikasikan
sebagai primer (infark miokard tanpa komplikasi yang tidak terkait dengan gagal
jantung) atau sekunder atau rumit (infark miokard dengan komplikasi gagal jantung)
(Guyton, 2011).

3. Bradiaritmia
Bradiaritmia sinus (denyut jantung <60 denyut/menit) sering terjadi, terutama
pada individu yang aktif dan biasanya asimtomatik serta tidak memerlukan intervensi.
Namun, beberapa pasien mengalami disfungsi nodus sinoatrial (sick sinus syndrome)
karena adanya penyakit jantung bawaan yang mendasari dan akibat proses penuaan,
yang melemahkan fungsi nodus sinoatrial. Disfungsi nodus sinus biasanya merupakan
gambaran dari penyakit konduksi difus, yang dapat disertai penyumbatan dan
paroksismal takikardia seperti atrial fibrilasi. Gabungan bradiaritmia dan takiaritmia
dapat disebut sebagai sindrom taki-bradi.
Penyumbatan atrioventrikular atau penundaan konduksi dapat terjadi di area
manapun dalam sistem konduksi atrioventrikular. Penyumbatan atrioventrikular dapat
ditemukan pada pasien tanpa penyakit jantung yang mendasari atau selama tidur
ketika saraf vagus tinggi. Hal ini dapat terjadi sementara ketika etiologi yang
mendasari berkebalikan (misalnya, miokarditis, iskemia miokard, setelah
kardiovaskular operasi, atau selama terapi obat). B-blocker, digoxin, atau antagonis
kalsium nondihydropyridine dapat menyebabkan penyumbatan atrioventrikular,
terutama di daerah nodus atrioventrikular. Kelas I antiaritmia dapat memperburuk
penundaan konduksi di bawah tingkat atrioventrikular. Penyumbatan atrioventrikular
mungkin tidak dapat diubah jika penyebabnya adalah serangan jantung akut, penyakit
degeneratif yang jarang terjadi, penyakit primer miokardium, atau penyakit jantung
bawaan (Dipiro, 2012).

E. Prognosis
Prognosis aritmia jantung tergantung pada jenis gangguan ritme, namun apabila pasien
tersebut memiliki penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, atau gangguan otot
jantung lainnya maka prognosis aritmia dapat menjadi lebih buruk. Prognosis fibrilasi
ventrikel yang sangat berat dapat menyebabkan kematian apabila tidak segera dilakukan
perawatan, namun pada pasien aritmia atrium, kebanyakkan memiliki prognosis yang sangat
baik. Ketersediaan adanya alat pacu jantung, implan kardioversi/defibrilasi dan obat-obatan
yang efektif, telah meningkatkan prognosis bagi pasien dengan aritmia jantung.

F. Komplikasi
Aritmia yang tidak disadari atau tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi yang yang
mempengaruhi jantung ataupun otak.
1. Gagal jantung.
Gagal jantung dapat terjadi jika jantung memompa secara tidak efektif dalam
waktu lama karena bradikardia atau takikardia, seperti fibrilasi atrium. Saat
aritmia terjadi, gangguan gagal jantung tersebut dapat menjadi lebih buruk dimana
terjadi disfungsi ventrikel kiri atau melemahnya ruang jantung. Seseorang yang
telah mengidap gagal jantung kongestif yang menyerang bersamaan dengan
aritmia, maka resiko untuk mengalami kematian serangan jantung mendadak
sangat tinggi (Basson et al, 2009).
2. Stroke
Hal ini dapat terjadi pada beberapa pasien yang mengalami fibrilasi atrium.
Dengan adanya fibrilasi atrium, risiko stroke menunjukkan peningkatan sekitar 5
kali lipat yang tidak terkait dengan usia. Fibrilasi atrium umumnya menyebabkan
emboli sistemik, terutama pada serebrovaskular. Emboli jantung menyebabkan
penyumbatan arteri otak besar. Infark yang terjadi kemudian seringkali besar dan
bisa berakibat fatal. Selain stroke simptomatik, fibrilasi atrium telah dikaitkan
dengan peningkatan risiko silent stroke (Malik, 2001).
3. Gangguan Kognitif
Contohnya demensia vaskular yang lebih sering terjadi pada penderita aritmia.
Hal ini dapat disebabkan karena berkurangnya aliran darah ke otak dari waktu ke
waktu. Risiko demensia terlihat pada pasien dengan dan tanpa stroke sebelumnya
dan termasuk bentuk demensia idiopatik, seperti penyakit alzheimer. Hipoperfusi
serebral selama atrial fibrilasi dapat menyebabkan penurunan kognitif dan pasien
dengan aterosklerosis kranial memiliki kerentanan yang langka (Bunch et al,
2019).
4. Sudden Infant Death Syndrome (SIDS)
SIDS merupakan kematian yang tidak terduga dari seorang bayi kurang dari 1
tahun yang tetap tidak dapat dijelaskan setelah investigasi otopsi lengkap.
Mekanisme patofisiologis yang mendasari kematian tidak diketahui, dan dianggap
multifaktorial. Namun, aritmia jantung juga dapat dianggap sebagai penyebab
kematian, terutama pada keluarga yang menderita penyakit jantung yang terkait
(Hertz et al, 2016).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Epidemiologi
Epidemiologi aritmia di Indonesia tidak berbeda jauh dari negara-negara lain.
Aritmia yang paling sering di dapatkan di klinik adalah fibrilasi atrium atau FA.
Prevalensi FA sendiri mencapai 1-2% dan diperkirakan akan terus meningkat 50
tahun mendatang. Angka kejadian aritmia akan meningkat dengan bertambahnya usia.
Diperkirakan, populasi geriatri (lansia) akan mencapai 11,39% di Indonesia atau 28
juta orang di Indonesia pada tahun 2020. Makin bertambah usia, persentase kejadian
aritmia makin meningkat, yaitu 70% pada usia 65-85 tahun dan 84% diatas 85 tahun.
2. Faktor resiko
a. Umur
b. Lingkungan
c. Riwayat keluarga dan genetik
d. Gaya hidup
e. Ras dan suku
f. Jenis Kelamin
g. Konsumsi Alkohol
h. Penyakit penyerta: Hipertensi, gagal jantung, diabetes, penyakit jantung
koroner, kardiomiopati, jantung iskemik, dan Tiroid.
3. Patofisiologi
Aritmia merupakan gangguan ritme jantung akibat pembentukan nodus SA yang
abnormal sehingga tidak bisa diteruskan ke AV dan bindle HIS. Dengan demikian
ventrikel akan berkontraksi abnormal. Patofisiologi aritmia dilihat juga pada jenis
aritmia meliputi:
a. Aritmia Supraventrikular
b. Ventricular Arrhythmias
c. Bradiaritmia
4. Prognosis
Prognosis pada aritmia jantung tergantung pada jenis gangguan ritme dan arimia
dapat menjadi lebih buruk apabila pada pasien yang memiliki penyakit arteri koroner,
gagal jantung kongestif, atau gangguan otot jantung lainnya. Prognosis fibrilasi
ventrikel berat dapat menyebabkan kematian apabila tidak segera dilakukan
penanganan secara cepat, sedangkan pada pasien yang memiliki aritmia atrium,
mayoritas pasien memiliki prognosis yang sangat baik.
5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi apabila aritmia berkelanjutan, antara lain gagal
jantung, stroke, gangguan kognitif, dan Sudden Infant Death Syndrome (SIDS).

B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat penulis buat semoga dapat membantu teman-
teman. Kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk pembelajaran
selanjutnya. Diharapkan pembaca dengan bijak menggunakan makalah ini.
ANALISIS KASUS 

Seorang Bapak 70 tahun datang ke Rs dengan kelumpuhan separuh badan, kesulitan


bicara. Pasien mempunyai riwayat hipertensi sejak 15 tahun lalu dan 3 tahun terakhir
mengalami atrial fibrilasi. Riwayat minum obat tidak teratur. 
BB: 58 kg, TB : 160 cm, TD 170/100 mmHg, suhu: 36,8 derajat C, nadi :99x/menit 
PEMERIKSAAN EKG: Normoventrikular respons antril fibrilasi.
CT scan otak: multiple infark di area ganglia basalis dan substansia alba paraventrikularis. 

Pemeriksaan Darah: 
Golongan darah : B 
Hb : 12g/dl (12-16)
Hmt : 36 (36-48)  
Lekosit : 9.000/mmk ( 4.000-11.000)
Netrofil : 66% (40-70) 
Limfosit : 23% (20-40) 
Eosinofil : 5% (1-5)
Monosit : 8 % (2-8) 
Trombosit : 320.000/mmk ( 150.000-450.000)
Kolesterol Total : 210 mg/dl ( 0-200) 
HDL : 40 mg/dl ( >50)
LDL : 160mg/dl (<130)
Trigliserida : 90mg/dl ( < 200) 

1.Analisislah kasus ini, identifikasi permasalahan apa yang dialami pasien berdasarkan data-
data yang ada! 
2.Apa kaitannya antara kelainan EKG dengan keadaan lumpuh separuh badan pada pasien
ini. Jelaskan patofisiologi yang mendasari!

Jawab: 
1. Analisis kasus:
 Identitas: Laki-laki, 70 tahun
Subjektif: 
 Keluhan pasien: kelumpuhan separuh badan yang disebut
hemiparesis/hemiplegia, sulit bicara atau disleksia.
 Riwayat hipertensi 15 tahun yang lalu dan 3 tahun terakhir mengalami atrial
fibrilasi.
 Riwayat minum obat tidak teratur.
Objektif:
 Tekanan darah 170/100 mmHg (hipertensi stage 2)
 BB: 58 kg, TB: 160 cm (BMI 22,7 kategori normal)
 Hasil pemeriksaan lab: kolesterol total 210 mg/dl (0-200), HDL 40 mg/dl
(>50), LDL 160 mg/dl (<130) dengan rasio LDL vs HDL = 4. Jadi termasuk
Pasien dengan kondisi kolesterol buruk
Assesment: 
 Berdasarkan pemeriksaan tersebut, penderita diduga mengalami stroke emboli
yang merupakan salah satu komplikasi akibat adanya penyakit aritmia yakni
atrial fibrilasi yang diderita pasien yang diperparah dengan riwayat
ketidakteraturan konsumsi obat. Hal ini dapat terlihat dari analisis kondisi
pasien dimana ditemukannya multiple infark dari hasil CT scan otak. Infark
merupakan suatu nekrosis yang iskemik akibat tertutupnya pasokan darah
yang membawa oksigen dari arteri. Adanya multiple infark mengartikan
bahwa terdapat beberapa sumbatan pada pembuluh darah otak. Pada kasus ini
infark terdapat pada ganglia basalis dan substansia alba paraventrikularis yang
mengatur pergerakan dan ekspresi motorik. Sehingga penderita mengalami
kelumpuhan separuh badan dan kesulitan bicara. Selain itu, dari hasil lab
kolesterol total dan LDL melebihi batas normal yang dapat menimbulkan
aterosklerosis. Dari hasil pemeriksaan dapat terlihat juga bahwa penderita
memiliki riwayat hipertensi yang juga merupakan faktor risiko dari stroke. 

2. Hasil EKG menunjukkan adanya atrial fibrilasi. Patofisiologi yang mendasari trombus
intrakardial terbentuk bila terdapat kelainan pada katup atau dinding rongga jantung,
trombus ini terbentuk bila terjadi gangguan irama jantung sehingga terjadi keadaan
yang relatif statis pada atrium seperti pada fibrilasi atrium. Sumber trombus pada
fibrilasi atrium adalah pada atrium kiri, dan dianggap merupakan faktor risiko yang
penting dalam terjadinya kardioemboli. Trombus atau emboli terbentuk akibat
kontraksi tidak teratur endokardium yang menyebabkan trombus terlepas menjadi
emboli. Emboli yang menyumbat aliran darah dapat menyebabkan hipoksia neuron
yang diperdarahinya. Maka daerah tersebut akan mengalami iskemik dan berlanjut
menjadi infark. 
Daftar Pustaka

Basson, C. T., Lerman, B. B., 2009. Topics in Arrhythmias and Ischemic Heart Disease.
Demos Medical Publishing, New York, p. 136.
Bunch, T. J., Galenko, O., Graves, K. G., Jacobs, V., & May, H. T., 2019. Atrial Fibrillation
and Dementia: Exploring The Association, Defining Risks and Improving Outcomes.
Arrhythmia & Electrophysiology Review, 8(1), 8.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., 2011.
Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach. (8th edition), McGraw-Hill, USA, pp.
275-277.
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., 2012.
Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach. (9th edition), McGraw-Hill, USA, pp.
48-49.
Hertz, C. L., Christiansen, S. L., Larsen, M. K., Dahl, M., Ferrero-Miliani, L., Weeke, P. E.,
Frank-Hansen, R., 2016. Genetic Investigations of Sudden Unexpected Deaths in Infancy
Using Next-Generation Sequencing of 100 Genes Associated with Cardiac Diseases.
European Journal of Human Genetics, 24(6), 817-822.
Guyton, A., 2011. Fisiologi Kedokteran. (Edisi 12), Elevesier, pp. 161-166.
Kalangi, C, S., Jim, E, L., dan Joseph, V, F, F., 2016. Gambaran Aritmia Pada Pasien
Penyakit Jantung Koroner di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode 1 Januari
2015 - 31 Desember 2015. Jurnal e-Climic. 4(2).
Malik, M., 2001. Risk of Arrhythmia and Sudden Death. BMJ books, UK, pp. 330, 349, 350.
Neal, M. J., 2006. At a Glance Farmakologi Medis. (Edisi 5), Erlangga, Jakarta, pp 40.
Patrick, D., 2005. At a Glance medicine. Erlangga, Jakarta, pp. 162
Raharjo,R., 2004. Kumpulan Kuliah Farmakologi (Ed 2), EGC, Jakarta, p 392.
Staerk, L., Sherer, J. A., Ko, D., Benjamin, E. J., dan Helm, R. H. 2017. Atrial fibrillation:
epidemiology, pathophysiology, and clinical outcomes. Circulation research, 120(9),
1501-1517.
Yuniadi, Y., 2017. Mengatasi Aritmia Mencegah Kematian Mendadak. eJournal Kedokteran
Indonesia. 5 (3). 140.

Anda mungkin juga menyukai