Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

“STROKE NON HEMORAGIC”

DISUSUN OLEH:

BAIQ ASRIATI (071212071)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

2022

LAPORAN PENDAHULUAN
STROKE NON HEMORAGIC

A. DEFINISI
Stroke atau penyakit serebrovaskuler menunjukan adanya beberapa kelainan
otak baik secara fungsional maupun struktural yang disebabkan oleh keadaan
patologis dari pembuluh darah serebral atau dari seluruh sistem pembuluh darah otak
(Wijaya & Putri 2013), stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi
otak yang diakibatkkan oleh terhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare
2013).
Stroke non hemoragik merupakan keadaan sementara atau temporer dari
disfungsi neurologik yang dimanifestasikan oleh kehilangan fungsi motorik, sesorik
atau visual secara tiba-tiba. Stroke iskemik atau stroke non hemoragik terjadi akibat
obstruksi atau bekuan (thrombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau
pembuluh organ distal (Price & Wilson, 2015).
Stroke non hemoragik adalah stroke yang di sebabkan karena penyumbatan
pembuluh darah di otak oleh thrombosis maupun emboli sehingga suplai glukosa dan
oksigen ke otak berkurang dan terjadi kematian sel atau jaringan otak yang disuplai
(Wijaya & Putri 2013).
B. ETIOLOGI
Stroke non-hemoragik bisa terjadi akibat suatu dari tiga mekanisme patogenik
yaitu trombosis serebri atau emboli serebri dan hipoperfusion sistemik (Sabiston,
1994; Nurarif, 2013).
1. Trombosis serebri merupakan proses terbentuknya thrombus yang membuat
penggumpalan. Trombosis serebri menunjukkan oklusi trombotik arteri karotis
atau cabangnya, biasanya karena arterosklerosis yang mendasari. Proses ini sering
timbul selama tidur dan bisa menyebabkan stroke mendadak dan lengkap. Defisit
neurologi bisa timbul progresif dalam beberapa jam atau intermiten dalam
beberapa jam atau hari.
2. Emboli serebri merupakan tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
Emboli serebri terjadi akibat oklusi arteria karotis atau vetebralis atau cabangnya
oleh trombus atau embolisasi materi lain dari sumber proksimal, seperti
bifurkasio arteri karotis atau jantung. Emboli dari bifurkasio karotis biasanya
akibat perdarahan ke dalam plak atau ulserasi di atasnya di sertai trombus yang
tumpang tindih atau pelepasan materi ateromatosa dari plak sendiri. Embolisme
serebri sering di mulai mendadak, tanpa tanda-tanda disertai nyeri kepala
berdenyut.
3. Hipoperfusion sistemik adalah berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh
karena adanya gangguan denyut jantung.
Penyebab stroke non hemoragik disebabkan oleh faktor yaitu hipertensi, merokok,
peningkatan kolesterol, dan obesitas (Muttaqin, 2014).
1. Peningkatan kolesterol
Peningkatan kolesterol tubuh dapat menyebabkan aterosklerosis dan
terbentuknya thrombus sehingga aliran darah menjadi lambat untuk menuju ke
otak, kemudian hal itu dapat menyebabkan perfusi otak menurun.
2. Obesitas
Obesitas atau kegemukan merupakan seseorang yang memiliki berat badan
berlebih dengan IMT lebih besar daripada 27,8 kg/m².
3. Merokok
Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga
memungkinkan penumpukan aterosklerosis dan kemudian berakibat pada stroke.
C. FAKTOR RISIKO
Ada beberapa faktor risiko stroke yang sering teridentifikasi pada stroke non
hemoragik, diantaranya yaitu faktor risiko yang tidak dapat di modifikasi dan yang
dapat di modifikasi. Penelitian yang dilakukan Rismanto (2016) di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto mengenai gambaran faktor-faktor risiko penderita
stroke menunjukan faktor risiko terbesar adalah hipertensi 57,24%, diikuti dengan
diabetes melitus 19,31% dan hiperkolesterol 8,97% (Rismanto, 2016; Madiyono,
2013).
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (Rismanto; Madiyono, 2013):

1. Usia
Pada umumnya risiko terjadinya stroke mulai usia 35 tahun dan akan
meningkat dua kali dalam dekade berikutnya. 40% berumur 65 tahun dan hampir
13% berumur di bawah 45 tahun. Menurut Kiking Ritarwan (2012), dari
penelitianya terhadap 45 kasus stroke didapatkan yang mengalami stroke non
hemoragik lebih banyak pada tentan umur 45-65 tahun (Madiyono, 2013;
Ritarwan, 2013).
2. Jenis kelamin
Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata bahwa kaum pria
lebih banyak menderita stroke di banding kaum wanita, sedangkan  perbedaan
angka kematianya masih belum jelas. Penelitian yang di lakukan oleh Indah
Manutsih Utami (2012) di RSUD Kabupaten Kudus mengenai gambaran faktor-
faktor risiko yang terdapat pada penderita stroke menunjukan bahwa jumlah
kasus terbanyak jenis kelamin laki-laki 58,4% dari penelitianya terhadap 197
pasien stroke non hemoragik tahun (Madiyono , 2013; Utami, 2012).
3. Herediter
Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya
hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus dan kelainan pembuluh darah, dan
riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga
pernah mengalami stroke pada usia kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko
terkena stroke.
4. Ras atau etnik
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada kulit putih.
Data sementara di Indonesia, suku Padang lebih banyak menderita dari pada suku
Jawa (khususnya Yogyakarta).

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi (Madiyono, 2013):


1. Riwayat stroke
Seseorang yang pernah memiliki riwayat stoke sebelumnya dalam waktu
lima tahun kemungkinan akan terserang stroke kembali sebanyak 35% sampai
42%
2. Hipertensi
Hipertensi meningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak empat sampai
enam kali ini sering di sebut the silent killer dan merupakan risiko utama
terjadinya stroke non hemoragik dan stroke hemoragik. Berdasarkan Klasifikasi
menurut JNC 7 yang dimaksud dengan tekanan darah tinggai apabila tekanan
darah lebih tinggi dari 140/90 mmHg, makin tinggi tekanan darah kemungkinan
stroke makin besar karena mempermudah terjadinya kerusakan pada dinding
pembuluh darah, sehingga mempermudah terjadinya penyumbatan atau
perdarahan otak (Madiyono, 2013; Sudoyo, 2016).
3. Penyakit jantung
Penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot jantung,
paska oprasi jantung juga memperbesar risiko stroke, yang paling sering
menyebabkan stroke adalah fibrilasi atrium, karena memudahkan terjadinya
pengumpulan darah di jantung dan dapat lepas hingga menyumbat pembuluh
darah otak.
4. (DM) Diabetes melitus
Kadar gulakosa dalam darah tinggi dapat mengakibatkan kerusakan
endotel pembuluh darah yang berlangsung secara progresif. Menurut penelitian
Siregar F (2012) di RSUD Haji Adam Malik Medan dengan desain case control,
penderita diabetes melitus mempunyai risiko terkena stroke 3,39 kali
dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes mellitus (Madiyono, 2013;
Sinaga, 2018).
5. TIA
Merupakan serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak dan
singkat akibat iskemik otak fokal yang cenderung membaik dengan kecepatan
dan tingkat penyembuhan bervariasi tapi biasanya 24 jam. Satu dari seratus orang
dewasa di perkirakan akan mengalami paling sedikit satu kali TIA seumur hidup
mereka, jika diobati dengan benar, sekitar 1/10 dari para pasien ini akan
mengalami stroke dalam 3,5 bulan setelah serangan pertama, dan sekitar 1/3 akan
terkena stroke dalam lima tahun setelah serangan pertama (Price, 2015).
6. Hiperkolesterol
Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak
bebas. Kolesterol dan trigliserida adalah jenis lipid yang relatif mempunyai
makna klinis penting sehubungan dengan aterogenesis. Lipid tidak larut dalam
plasma sehingga lipid terikat dengan protein sebagai mekanisme transpor dalam
serum, ikatan ini menghasilkan empat kelas utama lipuprotein yaitu kilomikron,
lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein densitas rendah (LDL),
dan lipoprotein densitas tinggi (HDL). Dari keempat lipo protein LDL yang
paling tinggi kadar kolesterolnya, VLDL paling tinggi kadar trigliseridanya,
kadar protein tertinggi terdapat pada HDL. Hiperlipidemia menyatakan
peningkatan kolesterol dan atau trigliserida serum di atas batas normal, kondisi
ini secara langsung atau tidak langsung meningkatkan risiko stroke, merusak
dinding pembuluh darah dan juga menyebabkan penyakit jantung koroner. Kadar
kolesterol total >200mg/dl, LDL >100mg/dl, HDL <40mg/dl, dan trigliserida
>150mg/dl akan membentuk plak di dalam pembuluh darah baik di jantung
maupun di otak. Menurut Dedy Kristofer (2010), dari penelitianya 43 pasien, di
dapatkan hiperkolesterolemia 34,9%, hipertrigliserida 4,7%, HDL yang rendah
53,5%, dan LDL yang tinggi 69,8% (Price, 2015).
7. Obesitas
Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan diabetes
melitus. Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya umur. Obesitas
merupakan predisposisi penyakit jantung koroner dan stroke. Mengukur adanya
obesitas dengan cara mencari body mass index (BMI) yaitu berat badan dalam
kilogram dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan. Normal BMI antara
18,50-24,99 kg/m2, overweight BMI antara 25-29,99 kg/m2 selebihnya adalah
obesitas.
8. Merokok
Merokok meningkatkan risiko terjadinya stroke hampir dua kali lipat, dan
perokok pasif berisiko terkena stroke 1,2 kali lebih besar. Nikotin dan
karbondioksida yang ada pada rokok menyebabkan kelainan pada dinding
pembuluh darah, di samping itu juga mempengaruhi komposisi darah sehingga
mempermudah terjadinya proses gumpalan darah. Berdasarkan penelitian Siregar
F (2012) di RSUD Haji Adam Malik Medan kebiasaan merokok meningkatkan
risiko terkena stroke sebesar empat kali (Sinaga, 2018).
D. PATOFISIOLOGI DAN WEB OF CAUTION
Stroke non hemoragik terjadi karena sumbatan yang diakibatkan oleh bekuan
di dalam arteri besar pada sirkulasi sereberum, sumbatan atau obstruksi ini dapat
disebabkan oleh emboli maupun thrombus (Robbins, 2007). Thrombus terbentuk
akibat plak dari arteosklerosis sehingga sering kali terjadi penyumbatan pasokan
darah ke organ di tempat terjadinya thrombosis. Aterosklerosis merupakan insiator
utama thrombosis yang berikatan dengan kehilangan endotel dan aliran vascular
abnormal, selain itu akan menimbulkan obstruksi (Robbins, 2007). Potonganpotongan
thrombus terutama thrombus kecil yang biasanya disebut dengan emboli akan lepas
dan berjalan mengikuti aliran darah (Ganong, 2012).
Trombus dan emboli di dalam pembuluh darah akan terlepas dan terbawa
hingga terperangkap dalam pembuluh darah distal, sehingga hal itu menyebabkan
aliran darah menuju ke otak menjadi berkurang. Sel otak yang kekurangan oksigen
dan glukosa dapat menyebabkan asidosis, akibat asidosis natrium, klorida dan air
masuk ke dalam sel otak dan kalium meninggalkan sel otak. Hal tersebut dapat
mengakibatkan edema setempat. Kalsium akan masuk dan memicu serangkaian
radikal bebas, kemudian terjadi kerusakan membrane sel dan tubuh mengalami
gangguan neuromuscular (Esther, 2010).
Faktor yang tidak dapat dimodifikasi: Faktor yang dapat dimodifikasi:
Umur Hipertensi
Ras Hiperkolesterolemia
Jenis kelamin Diabetes Millitus
Genetik Riwayat penyakit jantung
Life style (obesitas, diet, stres)
Terbentuknya trombus arterial dan emboli

Penyumbatan pembuluh darah otak

Suplay O2 ke otak

Iskemik jaringan pada otak Syok Metabolisme Penumpukan TIK


neurologik anaerob asam laktat
Hipoksia
Resiko ketidakefektifan Nyeri akut
perfusi jaringan otak
STROKE NON HEMORAGIK

Iskemik pada arteri serebral anterior Iskemik pada arteri serebral medial Iskemik pada arteri serebral posterior

Gangguan visual area


Gangguan premotor area
Gangguan Brocha’s Gangguan Refleks batuk
motorspeech area gustatory area
Kerusakan neuromuskular Diplopia Gangguan
Terjadi pengelihatan atau
Disatria, Afasia, Disfagia penumpukan pergerakan bola
Hemiplegia Hemiparesis Amourasis fulgaks sputum mata
Resiko
ketidakseimbangan Ketidakefektifan
Resiko Hambatan Gangguan persepsi
Hambatan nutrisi kurang dari pola nafas
kerusakan mobilitas fisik sensori pengelihatan
komunikasi kebutuhan tubuh
integritas
kulit verbal
E. Manifestasi Klinis
Gejala stroke non-hemoragik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak
bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan
peredaran darah terjadi, kesadaran biasanya tidak mengalami penurunan, menurut penelitian
Rusdi Lamsudi pada tahun 1989-1991 stroke non hemoragik tidak terdapat hubungan
dengan terjadinya penurunan kesadaran, kesadaran seseorang dapat di nilai dengan
menggunakan skala koma Glasgow yaitu (Mansjoer, 2010; Sinaga, 2018):

Tabel 1. Skala koma Glasgow (Mansjoer, 2010).


Buka mata Respon Respon
(E) verbal (V) motorik (M)
1.   Tidak ada 1. Tidak ada 1.  Tidak ada
respons suara gerakan
2. Respons 2. Mengerang 2.  Ekstensi
dengan abnormal
rangsanga
n nyeri
3. Buka mata 3.  Bicara 3. Fleksi
dengan kacau abnormal
perintah
4. Buka 4.  Disorientas 4.
mata spontan i tempat Menghindar
dan waktu i nyeri
5.  Orientasi 5. Melokalisir
baik dan nyeri
sesuai
6. Mengikuti
perintah
Penilaian skor GCS :
a. Koma (skor < 8)
b. Stupor (skor 8 -10)
c. Somnolent (skor 11-12)
d. Apatis ( skor 12-13)
e. Compes mentis (GCS = 14-15)
Gangguan yang biasanya terjadi yaitu gangguan mototik (hemiparese), sensorik
(anestesia, hiperestesia, parastesia/geringgingan, gerakan yang canggung serta simpang
siur, gangguan nervus kranial, saraf otonom (gangguan miksi, defeksi, salvias), fungsi luhur
(bahasa, orientasi, memori, emosi)  yang merupakan sifat khas manusia, dan gangguan
koordinasi (sidrom serebelar) (Sinaga, 2018; Mardjono, 2020):
1. Disekuilibrium yaitu keseimbangan tubuh yang terganggu yang terlihat seseorang akan
jatuh ke depan, samping atau belakang sewaktu berdiri
2. Diskoordinasi muskular yang diantaranya, asinergia, dismetria dan seterusnya.
Asinergia ialah kesimpangsiuran kontraksi otot-otot dalam mewujudkan suatu corak
gerakan. Dekomposisi gerakan atau gangguan lokomotorik dimana dalam suatu gerakan
urutan kontraksi otot-otot baik secara volunter atau reflektorik tidak dilaksanakan lagi.
Disdiadokokinesis tidak biasa gerak cepat yang arahnya berlawanan contohnya pronasi
dan supinasi. Dismetria, terganggunya memulai dan menghentikan gerakan.
3. Tremor (gemetar), bisa diawal gerakan dan bisa juga di akhir gerakan
4. Ataksia berjalan dimana kedua tungkai melangkah secara simpangsiur dan kedua kaki
ditelapakkanya secara acak-acakan. Ataksia seluruh badan dalam hal ini badan yang
tidak bersandar tidak dapat memelihara sikap yang mantap sehingga bergoyang-goyang.
Tabel 2. Gangguan nervus kranial (Swartz, 2012).
Nervus kranial Fungsi Penemuan klinis
dengan lesi
I: Olfaktorius Penciuman Anosmia
(hilangnya daya
penghidu)
II: Optikus Penglihatan Amaurosis
III: Gerak mata; Diplopia
Okulomotorius kontriksi pupil; (penglihatan
akomodasi kembar), ptosis;
midriasis;
hilangnya
akomodasi
IV: Troklearis Gerak mata Diplopia
V: Trigeminus Sensasi umum ”mati rasa” pada
wajah, kulit wajah; kelemahan
kepala, dan gigi; otot rahang
gerak
mengunyah
VI: Abdusen Gerak mata Diplopia
VII: Fasialis Pengecapan; Hilangnya
sensasi umum kemampuan
pada platum dan mengecap pada
telinga luar; dua pertiga
sekresi kelenjar anterior lidah;
lakrimalis, mulut kering;
submandibula hilangnya
dan sublingual; lakrimasi;
ekspresi wajah paralisis otot
wajah
VIII: Pendengaran; Tuli;
Vestibulokokleari keseimbangan tinitus(berdengin
s g terus menerus);
vertigo; nitagmus
IX: Pengecapan; Hilangnya daya
Glosofaringeus sensasi umum pengecapan pada
pada faring dan sepertiga
telinga; posterior lidah;
mengangkat anestesi pada
palatum; sekresi farings; mulut
kelenjar parotis kering sebagian
X: Vagus Pengecapan; Disfagia
sensasi umum (gangguan
pada farings, menelan) suara
laring dan parau; paralisis
telinga; menelan; palatum
fonasi;
parasimpatis
untuk jantung
dan visera
abdomen
XI: Asesorius Fonasi; gerakan Suara parau;
Spinal kepala; leher dan kelemahan otot
bahu kepala, leher dan
bahu
XII: Hipoglosus Gerak lidah Kelemahan dan
pelayuan lidah
Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang dimana pendeita stroke
non hemoragik yang mengalami infrak bagian hemisfer otak kiri  akan mengakibatkan
terjadinya kelumpuhan pada sebalah kanan, dan begitu pula sebaliknya dan sebagian juga
terjadi Hemiparese dupleks, pendeita stroke non hemoragik yang mengalami hemiparesesi
dupleks akan mengakibatkan terjadinya kelemahan pada kedua bagian tubuh sekaligus
bahkan dapat sampai mengakibatkan kelumpuhan.
Penelitian yang dilakukan Sri Andriani Sinaga (2018) terhadap 281 pasien stroke di
Rumah Sakit Haji Medan  di dapatkan hemiparese sinistra yaitu 46,3%, diikuti oleh
hemiparese dekstra 31,7%, tidak tercatat sebanyak 14,2% dan hemiparesese dupleks 7,8%.
Gambaran klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak mungkin
berkaitan dengan pengelompokan gejala dan tanda berikut yang tercantum dan disebut
sindrom neurovaskular (Price, 2018):
1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior : gejala biasanya unilateral)
a. Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena, akibat
insufisiensi arteri retinalis
b. Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi arteria
serebri media
c. Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau arteria
serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan mungkin mengenai
wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi afasia ekspresif karena
keterlibatan daerah bicara motorik Broca.
2. Arteri serebri media (tersering)
a. Hemiparese atau monoparese kontralateral (biasanya mengenai lengan)
b. Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral
c. Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua fungsi yang
berkaitan dengan bicara dan komunikasi
d. Disfasia
3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)
a. Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai
b. Defisit sensorik kontralateral
c. Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis
4. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya bilateral)
a. Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas
b. Meningkatnya reflek tendon
c. Ataksia
d. Tanda Babinski bilateral
e. Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo
f. Disfagia
g. Disartria
h. Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah
i. Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi
j. Gangguan penglihatan dan pendengaran
5. Arteri serebri posterior
a. Koma
b. Hemiparese kontralateral
c. Afasia visual atau buta kata (aleksia)
d. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis
F. Pemeriksaan
Menurut Wijaya & Putri (2013), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah
sebagai berikut:
1. Angiografi serebral

Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti perdarahan


arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma
atau malformasi vaskular.

2. Lumbal pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada carespiratori ratean lumbal
menunjukkan adanya hernoragi pada subaraknoid atau perdarahan pada intrakranial.
Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan
likuor merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang
kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
3. CT scan
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi henatoma,
adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya secara pasti. Hasil
pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat di ventrikel,
atau menyebar ke permukaan otak.
4. MRI
MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang magnetik untuk
menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasanya
didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.
5. USG
Doppler Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem
karotis).
6. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari
jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
G. Penatalaksanaan
Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke non  hemoragik
yang di perlukan pengobatan sedini mungkin, karena jeda terapi dari stroke hanya 3-6 jam.
Penatalaksanaan yang cepat, tepat dan cermat memegang peranan besar dalam menentukan
hasil akhir pengobatan (Mansjoer, 2010).
1. Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragik
a. Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama) menggunakan
trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-plasminogen activator). Ini hanya
boleh di berikan dengan waktu onset <3 jam dan hasil CT scan normal, tetapi obat ini
sangat mahal dan hanya dapat di lakukan di rumah sakit yang fasilitasnya lengkap.
b. Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam yang
diantaranya yaitu :
1) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi dengan manitol
dan hindari cairan hipotonik.
2) Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat mencegah
trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan tekanan darah yang dapat
menyerupai kegagalan perfusi.
3) Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga faktor utama
adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut, ini tak boleh di
beri antikoagulan selama 43-72 jam pertama, bila ada hipertensi beri obat
antihipertensi.
4) Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala stroke terapi
dengan heparin.
2. Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut
a. Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90 mg) 10% di
berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip dalam wakti 1 jam jika onset di
pastikan <3 jam dan hasil CT scan tidak memperlihatkan infrak yang luas.
b. Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau iskemia
miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan digoksin
0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg intravena atau amiodaron 200 mg
drips dalam 12 jam.
c. Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat memperluas infrak
dan perburukan neurologis. Pedoman penatalaksanaan hipertensi bila terdapat salah
satu hal berikut:
1) Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi neurologis seperti,
iskemia miokard akut, edema paru kardiogenik, hipertensi maligna (retinopati),
nefropati hipertensif, diseksi aorta.
2) Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali pengukuran
selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg, diastolik >120 mmHg, tekanan
arteri rata-rata >140 mmHg.
3) Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana tekanan
darah sistolik >180 mmHg dan diastolik >110 mmHg.
Dengan obat-obat antihipertensi labetalol, ACE, nifedipin. Nifedifin
sublingual harus dipantau ketat setiap 15 menit karena penurunan darahnya
sangat drastis. Pengobatan lain jika tekanan darah masih sulit di turunkan maka
harus diberikan nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5% dalam air
(200 mg/ml) dengan kecepatan 3 ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi sampai
tekanan darah yang di inginkan. Alternatif lain dapat diberikan nitrogliserin drip
10-20 mg/menit, bila di jumpai tekanan darah yang rendah pada stroke maka
harus di naikkan dengan dopamin atau debutamin drips.
d. Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda klinis atau
radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran menurun, gangguan pernafasan atau
stroke dalam evolusi.
e. Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.
f. Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke vetebrobasiler atau
sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata pada CT scan.
g. Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800 unit/jam, 20.000 unit
dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai masa tromboplastin
parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi :
1) Kemungkinan besar stroke kardioemboli
2) TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis
3) Stroke dalam evolusi
4) Diseksi arteri
5) Trombosis sinus dura
Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada infrak yang luas. Pasien stroke non
hemoragik dengan infrak miokard baru, fibrilasi atrium, penyakit katup jantung atau
trombus intrakardiak harus diberikan antikoagulan oral (warfarin) sampai minimal satu
tahun.
Perawatan umum untuk mempertahankan kenyamanan dan jalan nafas yang
adekuat sangatlah penting. Pastikan pasien bisa menelan dengan aman dan jaga pasien
agar tetap mendapat hidrasi dan nutrisi. Menelan harus di nilai (perhatikan saat pasien
mencoba untuk minum, dan jika terdapat kesulitan cairan harus di berikan melalui
selang lambung atau intravena. Beberapa obat telah terbukti bermanfaat untuk
pengobatan penyakit serebrovaskular, obat-obatan ini dapat dikelompokkan atas tiga
kelompok yaitu obat antikoagulansia, penghambat trombosit dan trombolitika
(Rubenstein, 2015):
1. Antikoagulansia adalah zat yang dapat mencegah pembekuan darah dan di
gunakan pada keadaan dimana terdapat kecenderungan darah untuk membeku.
Obat yang termasuk golongan ini yaitu heparin dan kumarin (Rambe, 2012).
2. Penghambat trombosit adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit
sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering
ditemukan pada sistem arteri. Obat yang termasuk golongan ini adalah aspirin,
dipiridamol, tiklopidin, idobufen, epoprostenol, clopidogrel (Rambe, 2012).
3. Trombolitika juga disebut fimbrinolitika berkhasiat melarutkan trombus diberikan
3 jam setelah infark otak, jika lebih dari itu dapat menyebabkan perdarahan otak,
obat yang termasuk golongan ini adalah streptokinase, alteplase, urokinase, dan
reteplase (Rambe, 2012).
4. Pengobatan juga ditujukan untuk pencegahan dan pengobatan komplikasi yang
muncul sesuai kebutuhan. Sebagian besar pasien stroke perlu melakukan
pengontrolan perkembangn kesehatan di rumah sakit kembali, di samping
melakukan pemulihan dan rehabilitasi sendiri di rumah dengan bantuan anggota
keluarga dan ahli terapi. Penelitian yang dilakukan Sri Andriani (2018) terhadap
281 pasien stroke di Rumah Sakit Haji Medan  di dapatkan 60% berobat jalan,
23,8% meninggal dan sisanya pulang atas permintaan sendiri (Rambe, 2012).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Menurut Wiyaja & Putri 2013 anamnesa pada stroke meliputi identitas klien, keluhan utama,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan
pengkajian psikososial.
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua 40 -70 tahun (Smeltzer & Bare
2013). Jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan
jam MRS, nomor register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kelemahan
anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan
tingkat kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke non hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan
kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan
fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Kekeliruhan, perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif,
dan koma.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-
obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat
antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok,
penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini
dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data
dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
e. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
f. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan
perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan
perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting
untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
g. Pemeriksaan Fisik Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-
B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
1) B1 (Breathing) Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering
didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada
klien dengan tingkat kesadaran compos metris, pengkajian inspeksi
pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
2) B2 (Blood) Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya
terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200
mmHg).
3) B3 (Brain) Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya
tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang
rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan
pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem
lainnya.
4) B4 (Bladder) Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol
motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau
berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik
steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel) Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan
nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6) B6 (Bone) Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuhh dapat menunjukkan
kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi
motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi
tubuhh, adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan
tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu,
perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol
karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, serta
mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
7) Pengkajian Tingkat Kesadaran Kualitas kesadaran klien merupakan parameter
yang paling mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan
pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem
digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
keterjagaan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar
pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma
maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan
bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
8) Pengkajian Fungsi Serebral. Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi
intelektual, kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
9) Status Mental. Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut biasanya status
mental klien mengalami perubahan.
10) Fungsi Intelektual. Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi.
Pada beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk
mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
11) Kemampuan Bahasa. Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang
memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada
bagian posterior dari girus temporalis superior (area Wernicke) didapatkan
disfasia reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa
tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus frontalis inferior (area
Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat
menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara),
ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis
otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia
(ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti
terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
h. Pengkajian Saraf Kranial
Menurut Wijaya & Putri (2013) Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I -
XII.
12) Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
13) Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara
mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan
hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada Mien
dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa
bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuhh.
3) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis pada tubuh.
14) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis pada tubuh.
15) Satu sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat
unilateral di sisi yang sakit.
16) Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trigenimus,
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang
bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan
eksternus.
17) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot
wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
18) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
19) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut.
20) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
21) Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta indra
pengecapan normal.
i. Pengkajian Sistem Motorik
Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan
kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuhh dapat menunjukkan
kerusakan pada UMN di sisi berlawanan dari otak.
1) Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuhh
adalah tanda yang lain.
2) Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
3) Tonus Otot. Didapatkan meningkat.

B. MASALAH KEPERAWATAN
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot (D.0054)
2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, kerusakan
sentral bicara (D.0119)
3. Gangguan menelan berhubungan dengan gangguan serebrovaskuler (D.0063)
C. RENCANA KEPERAWATAN

No SDKI SLKI SIKI


1 (D.0054) (L.06053) Status Neurologis (I.05186) Terapi Aktivitas
Gangguan Definisi: kemampuan sistem saraf Definisi: menggunakan aktivitas
mobilitas fisik perifer dan pusat untuk fisik , kognitif , sosial , dan spiritual
Definisi: menerima, mengolah dan tertentu untuk memulihkan
keterbatasan dalam merespon stimulus internal dan keterlibatan , frekuensi atau durasi
gerakan fisik dari eksternal aktivitas individu atau kelompok
satu atau lebih Setelah di lakukan tindakan Tindakan:
ektremitas secara keperawatan selama 3x24 jam di Observasi
mandiri harapkan klien memenuhi kriteria - Identifikasi defisit tingkat
hasil:
aktivitas
- Orientasi kognitif dari
- Identifikasi strategi
skala 1 menurun ke skala
meningkatkan partisipasi
4 cukup meningkat
dalam aktivitas
- Status kognitif dari skala 1
menurun ke skala 4 cukup Terapeutik
meningkat - Fasilitasi focus pada
- Fungsi motoric spinal dari kemampuan , bukan defisit
skala 1 menurun ke skala yang dialami
4 cukup meningkat - Fasilitasi memilih aktivitas
- Fungsi motoric kranial dan tetapkan tujuan
dari skala 1 menurun ke aktivitas yang konsisten
skala 4 cukup meningkat sesuai kemampuan fisik ,
- Fungsi sensorik kranial psikologis, dan sosial
dari skala 1 menurun ke - Fasilitasi aktivitas fisik rutin
skala 4 cukup meningkat (mis. Ambulasi ,
- Fungsi sensorik pusat dari mobilisasi , dan perawatan
skala 1 menurun ke skala diri ) sesuai kebutuhan
4 cukup meningkat - Fasilitasi penganti saat
- Diaphoresis dari skala 1 mengalami keterbatasan
menurun ke skala 4 cukup waktu , energy , atau gerak
meningkat - Fasilitasi aktivitas motoric
- Paratesia dari skala 1 kasar untuk pasien
menurun ke skala 4 cukup hiperaktif
meningkat - Fasilitasi aktivitas motoric
- Pucat dari skala 1 untuk merelaksasikan otot
menurun ke skala 4 cukup Edukasi
meningkat - Jelaskan metode aktivitas
fisik, sehari-hari
- Anjurkan terlibat dalam
aktivitas kelompok atau
terapi
Kolaborasi
- Rujuk pada pusat atau
program aktivitas komunitas
2. (D.0119) (L.13118) Komunikasi Verbal (I.13492) Promosi komunikasi
Gangguan Definisi: kemampuan menerima, verbal
komunikasi verbal memproses, mengirim dan atau Definisi: menggunakan teknik
Definisi: menggunakan sistem symbol komunikasi tambahan pada
penurunan, Setelah dilakukan tindakan individu dengan gangguan
perlambatan atau selama 3x24 jam diharapkan klien berbicara
ketiadaan dapat memenuhi kriteria hasil: Tindakan
kemampuan untuk - Kemampuan berbicara Obsevasi
menerima, dari skala 2 cukup
memproses, - Monitor kecepatan, tekanan,
menurun ke skala 4 cukup tekanan, kuantitas, volume,
mengirim, dan
atau menggunakan meningkat dan diksi bicara
sistem symbol - Afasia dari skala 2 cukup - Monitor proses kognitif,
meningkat ke skala anatomis, dan fisiologis
4cukup menurun yang berkaitan dengan
- Disfasia 2 cukup bicara
meningkat ke skala
Terapeutik
4cukup menurun
- Gunakan metode
- Pelo 2 cukup meningkat
komunikasi alternative
ke skala 4cukup menurun
- Modifikasi lingkungan
untuk meminimalkan
bantuan
- Berikan dukungan
psikologis
Edukasi
- Anjurkan berbicara pelan-
pelan
Kolaborasi
- Rujuk ke ahli patologi
bicara atau terapis
3 (D.0063) (L.03030) Status Nutrisi (I.11351) Dukungan perawatan diri:
Gangguan Definisi: keadekuatan asupan makan dan minum
Menelan nutrisi untuk memenuhi Definisi: memfasilitasi pemenuhan
Definisi: fungsi kebutuhan metabolisme. kebutuhan makan/minum
menelan abnormal Setelah dilakukan tindakan Tindakan
akibat defisit selama 3x24 jam diharapkan klien Obsevasi
struktur atau dapat memenuhi kriteria hasil:
fungsi oral, faring - Monitor kemampuan menelan
- kekuatan otot menelan - Monitor status hidrasi pasien
atau esophagus.
dari skala 1 menurun ke - Indetifikasi diet yang di
skala 4 cukup meningkat anjurkan
- verbalisasi keinginan Terapeutik
untuk meningkatkan - Atur posisi nyaman untuk
nutrisi dari skala 1 makan dan minum
menurun ke skala 4 cukup - Berikan bantuan makn dan
meningkat minum sesuai dengan tingkat
- kekuatan otot mengunyah kemandirian , jika perlu
dari skala 1 menurun ke - Lakukan oral hygiene sebelum
skala 4 cukup meningkat makan
Edukasi
- Jelaskan posisi makanan pada
pasien yang mengalami
gangguan penglihatan dengan
menggunakan arah jarum jam
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat mis
(analgesic, antiemetic ) sesuai
indikasi
Daftar Pustaka

Madiyono B & Suherman SK. Pencegahan Stroke & Serangan Jantung Pada Usia Muda. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2013.

Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid
2. Jakarta: Media Aesculapius, 2010.

Mardjono M & Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat, 2010.

Nurarif AH, Hardhi K. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan Nanda
Nic Noc. Jilid 2. Yogyakarta: Mediaction, 2013.

Price, Sylvia A, Lorraine MW. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta:
EGC, 2015.

Rambe AS. Obat Obat Penyakit Serebrovaskular. Medan: FK USU, 2012. Diakses pada 1 Juni
2013.

Rismanto. Gambaran Faktor-Faktor Risiko Penderita Stroke Di Instalasi Rawat Jalan Rsud Prof.
Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2016. Semarang: FKM UNDIP, 2016.. Diakses
pada 1 Juni 2013.

RRubenstein D, Waine D & Bradley J. Kedokteran Klinis Edisi Ke 6. Jakarta: Penerbit Erlangga,
2015.

Anda mungkin juga menyukai