DISUSUN OLEH:
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
STROKE NON HEMORAGIC
A. DEFINISI
Stroke atau penyakit serebrovaskuler menunjukan adanya beberapa kelainan
otak baik secara fungsional maupun struktural yang disebabkan oleh keadaan
patologis dari pembuluh darah serebral atau dari seluruh sistem pembuluh darah otak
(Wijaya & Putri 2013), stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi
otak yang diakibatkkan oleh terhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer & Bare
2013).
Stroke non hemoragik merupakan keadaan sementara atau temporer dari
disfungsi neurologik yang dimanifestasikan oleh kehilangan fungsi motorik, sesorik
atau visual secara tiba-tiba. Stroke iskemik atau stroke non hemoragik terjadi akibat
obstruksi atau bekuan (thrombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau
pembuluh organ distal (Price & Wilson, 2015).
Stroke non hemoragik adalah stroke yang di sebabkan karena penyumbatan
pembuluh darah di otak oleh thrombosis maupun emboli sehingga suplai glukosa dan
oksigen ke otak berkurang dan terjadi kematian sel atau jaringan otak yang disuplai
(Wijaya & Putri 2013).
B. ETIOLOGI
Stroke non-hemoragik bisa terjadi akibat suatu dari tiga mekanisme patogenik
yaitu trombosis serebri atau emboli serebri dan hipoperfusion sistemik (Sabiston,
1994; Nurarif, 2013).
1. Trombosis serebri merupakan proses terbentuknya thrombus yang membuat
penggumpalan. Trombosis serebri menunjukkan oklusi trombotik arteri karotis
atau cabangnya, biasanya karena arterosklerosis yang mendasari. Proses ini sering
timbul selama tidur dan bisa menyebabkan stroke mendadak dan lengkap. Defisit
neurologi bisa timbul progresif dalam beberapa jam atau intermiten dalam
beberapa jam atau hari.
2. Emboli serebri merupakan tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
Emboli serebri terjadi akibat oklusi arteria karotis atau vetebralis atau cabangnya
oleh trombus atau embolisasi materi lain dari sumber proksimal, seperti
bifurkasio arteri karotis atau jantung. Emboli dari bifurkasio karotis biasanya
akibat perdarahan ke dalam plak atau ulserasi di atasnya di sertai trombus yang
tumpang tindih atau pelepasan materi ateromatosa dari plak sendiri. Embolisme
serebri sering di mulai mendadak, tanpa tanda-tanda disertai nyeri kepala
berdenyut.
3. Hipoperfusion sistemik adalah berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian tubuh
karena adanya gangguan denyut jantung.
Penyebab stroke non hemoragik disebabkan oleh faktor yaitu hipertensi, merokok,
peningkatan kolesterol, dan obesitas (Muttaqin, 2014).
1. Peningkatan kolesterol
Peningkatan kolesterol tubuh dapat menyebabkan aterosklerosis dan
terbentuknya thrombus sehingga aliran darah menjadi lambat untuk menuju ke
otak, kemudian hal itu dapat menyebabkan perfusi otak menurun.
2. Obesitas
Obesitas atau kegemukan merupakan seseorang yang memiliki berat badan
berlebih dengan IMT lebih besar daripada 27,8 kg/m².
3. Merokok
Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga
memungkinkan penumpukan aterosklerosis dan kemudian berakibat pada stroke.
C. FAKTOR RISIKO
Ada beberapa faktor risiko stroke yang sering teridentifikasi pada stroke non
hemoragik, diantaranya yaitu faktor risiko yang tidak dapat di modifikasi dan yang
dapat di modifikasi. Penelitian yang dilakukan Rismanto (2016) di RSUD Prof. Dr.
Margono Soekarjo Purwokerto mengenai gambaran faktor-faktor risiko penderita
stroke menunjukan faktor risiko terbesar adalah hipertensi 57,24%, diikuti dengan
diabetes melitus 19,31% dan hiperkolesterol 8,97% (Rismanto, 2016; Madiyono,
2013).
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (Rismanto; Madiyono, 2013):
1. Usia
Pada umumnya risiko terjadinya stroke mulai usia 35 tahun dan akan
meningkat dua kali dalam dekade berikutnya. 40% berumur 65 tahun dan hampir
13% berumur di bawah 45 tahun. Menurut Kiking Ritarwan (2012), dari
penelitianya terhadap 45 kasus stroke didapatkan yang mengalami stroke non
hemoragik lebih banyak pada tentan umur 45-65 tahun (Madiyono, 2013;
Ritarwan, 2013).
2. Jenis kelamin
Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata bahwa kaum pria
lebih banyak menderita stroke di banding kaum wanita, sedangkan perbedaan
angka kematianya masih belum jelas. Penelitian yang di lakukan oleh Indah
Manutsih Utami (2012) di RSUD Kabupaten Kudus mengenai gambaran faktor-
faktor risiko yang terdapat pada penderita stroke menunjukan bahwa jumlah
kasus terbanyak jenis kelamin laki-laki 58,4% dari penelitianya terhadap 197
pasien stroke non hemoragik tahun (Madiyono , 2013; Utami, 2012).
3. Herediter
Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya
hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus dan kelainan pembuluh darah, dan
riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga
pernah mengalami stroke pada usia kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko
terkena stroke.
4. Ras atau etnik
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada kulit putih.
Data sementara di Indonesia, suku Padang lebih banyak menderita dari pada suku
Jawa (khususnya Yogyakarta).
Suplay O2 ke otak
Iskemik pada arteri serebral anterior Iskemik pada arteri serebral medial Iskemik pada arteri serebral posterior
2. Lumbal pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada carespiratori ratean lumbal
menunjukkan adanya hernoragi pada subaraknoid atau perdarahan pada intrakranial.
Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya proses inflamasi. Hasil pemeriksaan
likuor merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang
kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
3. CT scan
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi henatoma,
adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya secara pasti. Hasil
pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat di ventrikel,
atau menyebar ke permukaan otak.
4. MRI
MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang magnetik untuk
menentukan posisi dan besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasanya
didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.
5. USG
Doppler Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem
karotis).
6. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari
jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
G. Penatalaksanaan
Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke non hemoragik
yang di perlukan pengobatan sedini mungkin, karena jeda terapi dari stroke hanya 3-6 jam.
Penatalaksanaan yang cepat, tepat dan cermat memegang peranan besar dalam menentukan
hasil akhir pengobatan (Mansjoer, 2010).
1. Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragik
a. Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama) menggunakan
trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-plasminogen activator). Ini hanya
boleh di berikan dengan waktu onset <3 jam dan hasil CT scan normal, tetapi obat ini
sangat mahal dan hanya dapat di lakukan di rumah sakit yang fasilitasnya lengkap.
b. Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam yang
diantaranya yaitu :
1) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi dengan manitol
dan hindari cairan hipotonik.
2) Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat mencegah
trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan tekanan darah yang dapat
menyerupai kegagalan perfusi.
3) Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga faktor utama
adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut, ini tak boleh di
beri antikoagulan selama 43-72 jam pertama, bila ada hipertensi beri obat
antihipertensi.
4) Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala stroke terapi
dengan heparin.
2. Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut
a. Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90 mg) 10% di
berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip dalam wakti 1 jam jika onset di
pastikan <3 jam dan hasil CT scan tidak memperlihatkan infrak yang luas.
b. Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau iskemia
miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan digoksin
0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg intravena atau amiodaron 200 mg
drips dalam 12 jam.
c. Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat memperluas infrak
dan perburukan neurologis. Pedoman penatalaksanaan hipertensi bila terdapat salah
satu hal berikut:
1) Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi neurologis seperti,
iskemia miokard akut, edema paru kardiogenik, hipertensi maligna (retinopati),
nefropati hipertensif, diseksi aorta.
2) Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali pengukuran
selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg, diastolik >120 mmHg, tekanan
arteri rata-rata >140 mmHg.
3) Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana tekanan
darah sistolik >180 mmHg dan diastolik >110 mmHg.
Dengan obat-obat antihipertensi labetalol, ACE, nifedipin. Nifedifin
sublingual harus dipantau ketat setiap 15 menit karena penurunan darahnya
sangat drastis. Pengobatan lain jika tekanan darah masih sulit di turunkan maka
harus diberikan nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5% dalam air
(200 mg/ml) dengan kecepatan 3 ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi sampai
tekanan darah yang di inginkan. Alternatif lain dapat diberikan nitrogliserin drip
10-20 mg/menit, bila di jumpai tekanan darah yang rendah pada stroke maka
harus di naikkan dengan dopamin atau debutamin drips.
d. Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda klinis atau
radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran menurun, gangguan pernafasan atau
stroke dalam evolusi.
e. Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.
f. Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke vetebrobasiler atau
sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata pada CT scan.
g. Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800 unit/jam, 20.000 unit
dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai masa tromboplastin
parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi :
1) Kemungkinan besar stroke kardioemboli
2) TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis
3) Stroke dalam evolusi
4) Diseksi arteri
5) Trombosis sinus dura
Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada infrak yang luas. Pasien stroke non
hemoragik dengan infrak miokard baru, fibrilasi atrium, penyakit katup jantung atau
trombus intrakardiak harus diberikan antikoagulan oral (warfarin) sampai minimal satu
tahun.
Perawatan umum untuk mempertahankan kenyamanan dan jalan nafas yang
adekuat sangatlah penting. Pastikan pasien bisa menelan dengan aman dan jaga pasien
agar tetap mendapat hidrasi dan nutrisi. Menelan harus di nilai (perhatikan saat pasien
mencoba untuk minum, dan jika terdapat kesulitan cairan harus di berikan melalui
selang lambung atau intravena. Beberapa obat telah terbukti bermanfaat untuk
pengobatan penyakit serebrovaskular, obat-obatan ini dapat dikelompokkan atas tiga
kelompok yaitu obat antikoagulansia, penghambat trombosit dan trombolitika
(Rubenstein, 2015):
1. Antikoagulansia adalah zat yang dapat mencegah pembekuan darah dan di
gunakan pada keadaan dimana terdapat kecenderungan darah untuk membeku.
Obat yang termasuk golongan ini yaitu heparin dan kumarin (Rambe, 2012).
2. Penghambat trombosit adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit
sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering
ditemukan pada sistem arteri. Obat yang termasuk golongan ini adalah aspirin,
dipiridamol, tiklopidin, idobufen, epoprostenol, clopidogrel (Rambe, 2012).
3. Trombolitika juga disebut fimbrinolitika berkhasiat melarutkan trombus diberikan
3 jam setelah infark otak, jika lebih dari itu dapat menyebabkan perdarahan otak,
obat yang termasuk golongan ini adalah streptokinase, alteplase, urokinase, dan
reteplase (Rambe, 2012).
4. Pengobatan juga ditujukan untuk pencegahan dan pengobatan komplikasi yang
muncul sesuai kebutuhan. Sebagian besar pasien stroke perlu melakukan
pengontrolan perkembangn kesehatan di rumah sakit kembali, di samping
melakukan pemulihan dan rehabilitasi sendiri di rumah dengan bantuan anggota
keluarga dan ahli terapi. Penelitian yang dilakukan Sri Andriani (2018) terhadap
281 pasien stroke di Rumah Sakit Haji Medan di dapatkan 60% berobat jalan,
23,8% meninggal dan sisanya pulang atas permintaan sendiri (Rambe, 2012).
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Menurut Wiyaja & Putri 2013 anamnesa pada stroke meliputi identitas klien, keluhan utama,
riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, dan
pengkajian psikososial.
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua 40 -70 tahun (Smeltzer & Bare
2013). Jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan
jam MRS, nomor register, dan diagnosis medis.
b. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan adalah kelemahan
anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan
tingkat kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke non hemoragik sering kali berlangsung sangat mendadak, pada saat
klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan
kejang sampai tidak sadar, selain gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan
fungsi otak yang lain. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Kekeliruhan, perubahan perilaku juga
umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif,
dan koma.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya, diabetes melitus, penyakit
jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-
obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan kegemukan. Pengkajian
pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti pemakaian obat
antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan lainnya. Adanya riwayat merokok,
penggunaan alkohol dan penggunaan obat kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini
dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data
dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
e. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes melitus, atau
adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
f. Pengkajian psikososiospiritual
Pengkajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan
perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan
perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting
untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
g. Pemeriksaan Fisik Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan secara per sistem (B1-
B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
1) B1 (Breathing) Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering
didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran koma. Pada
klien dengan tingkat kesadaran compos metris, pengkajian inspeksi
pernapasannya tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus
seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan.
2) B2 (Blood) Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok
hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan darah biasanya
terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi masif (tekanan darah >200
mmHg).
3) B3 (Brain) Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya
tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Lesi otak yang
rusak tidak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan
pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem
lainnya.
4) B4 (Bladder) Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol
motorik dan postural. Kadang kontrol sfingter urine eksternal hilang atau
berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik
steril. Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel) Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh
peningkatan produksi asam lambung sehingga menimbulkan masalah pemenuhan
nutrisi. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
Adanya inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
6) B6 (Bone) Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan kontrol
volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena neuron motor atas menyilang,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuhh dapat menunjukkan
kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi
motorik paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi
tubuhh, adalah tanda yang lain. Pada kulit, jika klien kekurangan O2 kulit akan
tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Selain itu,
perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol
karena klien stroke mengalami masalah mobilitas fisik. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, serta
mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.
7) Pengkajian Tingkat Kesadaran Kualitas kesadaran klien merupakan parameter
yang paling mendasar dan parameter yang paling penting yang membutuhkan
pengkajian. Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan adalah
indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem
digunakan untuk membuat peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan
keterjagaan. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar
pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Jika klien sudah mengalami koma
maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan
bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
8) Pengkajian Fungsi Serebral. Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi
intelektual, kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
9) Status Mental. Observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi
wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien stroke tahap lanjut biasanya status
mental klien mengalami perubahan.
10) Fungsi Intelektual. Didapatkan penurunan dalam ingatan dan memori, baik jangka
pendek maupun jangka panjang. Penurunan kemampuan berhitung dan kalkulasi.
Pada beberapa kasus klien mengalami brain damage yaitu kesulitan untuk
mengenal persamaan dan perbedaan yang tidak begitu nyata.
11) Kemampuan Bahasa. Penurunan kemampuan bahasa tergantung daerah lesi yang
memengaruhi fungsi dari serebral. Lesi pada daerah hemisfer yang dominan pada
bagian posterior dari girus temporalis superior (area Wernicke) didapatkan
disfasia reseptif, yaitu klien tidak dapat memahami bahasa lisan atau bahasa
tertulis. Sedangkan lesi pada bagian posterior dari girus frontalis inferior (area
Broca) didapatkan disfagia ekspresif, yaitu klien dapat mengerti, tetapi tidak dapat
menjawab dengan tepat dan bicaranya tidak lancar. Disartria (kesulitan berbicara),
ditunjukkan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh paralisis
otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. Apraksia
(ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti
terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.
h. Pengkajian Saraf Kranial
Menurut Wijaya & Putri (2013) Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I -
XII.
12) Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi penciuman.
13) Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di antara
mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan
hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada Mien
dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa
bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuhh.
3) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis pada tubuh.
14) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis pada tubuh.
15) Satu sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat
unilateral di sisi yang sakit.
16) Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trigenimus,
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang
bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan
eksternus.
17) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot
wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
18) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
19) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut.
20) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
21) Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta indra
pengecapan normal.
i. Pengkajian Sistem Motorik
Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan
kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN bersilangan,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuhh dapat menunjukkan
kerusakan pada UMN di sisi berlawanan dari otak.
1) Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu sisi tubuhh
adalah tanda yang lain.
2) Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
3) Tonus Otot. Didapatkan meningkat.
B. MASALAH KEPERAWATAN
1. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot (D.0054)
2. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan neuromuscular, kerusakan
sentral bicara (D.0119)
3. Gangguan menelan berhubungan dengan gangguan serebrovaskuler (D.0063)
C. RENCANA KEPERAWATAN
Madiyono B & Suherman SK. Pencegahan Stroke & Serangan Jantung Pada Usia Muda. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2013.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan. Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga jilid
2. Jakarta: Media Aesculapius, 2010.
Mardjono M & Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat, 2010.
Nurarif AH, Hardhi K. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosis Medis dan Nanda
Nic Noc. Jilid 2. Yogyakarta: Mediaction, 2013.
Price, Sylvia A, Lorraine MW. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta:
EGC, 2015.
Rambe AS. Obat Obat Penyakit Serebrovaskular. Medan: FK USU, 2012. Diakses pada 1 Juni
2013.
Rismanto. Gambaran Faktor-Faktor Risiko Penderita Stroke Di Instalasi Rawat Jalan Rsud Prof.
Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2016. Semarang: FKM UNDIP, 2016.. Diakses
pada 1 Juni 2013.
RRubenstein D, Waine D & Bradley J. Kedokteran Klinis Edisi Ke 6. Jakarta: Penerbit Erlangga,
2015.