oleh :
Erika Nurul Hasanah
2201031050
TAHUN 2022
A. Definisi
Cerebrovascular Accident (CVA), atau disebut stroke, adalah penyebab utama
ketiga dari morbiditas dan mortalitas di banyak negara maju. Stroke bisa berupa
iskemik atau hemoragik. Stroke iskemik disebabkan oleh hilangnya suplai darah ke
suatu area otak. Ini adalah jenis stroke yang umum (Unnithan dan Mehta, 2020).
Definisi Stroke Iskemik sebagai berikut (American Stroke Association, tanpa
tahun): Stroke iskemik terjadi ketika pembuluh yang memasok darah ke otak
terhalang. Ini menyumbang sekitar 87 persen dari semua stroke. Endapan lemak yang
melapisi dinding pembuluh darah, yang disebut aterosklerosis, adalah penyebab
utama stroke iskemik. Timbunan lemak dapat menyebabkan dua jenis obstruksi.
Trombosis serebral adalah trombus (bekuan darah) yang berkembang di plak lemak di
dalam pembuluh darah. Emboli serebral adalah gumpalan darah yang terbentuk di
lokasi lain dalam sistem peredaran darah, biasanya jantung dan arteri besar di dada
dan leher bagian atas. Bagian dari gumpalan darah terlepas, memasuki aliran darah
dan berjalan melalui pembuluh darah otak sampai mencapai pembuluh yang terlalu
kecil untuk dilewati. Penyebab utama emboli adalah detak jantung tidak teratur yang
disebut fibrilasi atrium. Ini dapat menyebabkan gumpalan terbentuk di jantung, keluar
dan berjalan ke otak.
B. Etiologi
Etiologi Stroke Non Hemorhagik sebagai berikut (Hui dkk., 2020): Etiologi
stroke iskemik disebabkan oleh peristiwa trombotik atau emboli yang menyebabkan
penurunan aliran darah ke otak. Dalam peristiwa trombotik, aliran darah ke otak
terhalang di dalam pembuluh darah karena disfungsi di dalam pembuluh itu sendiri,
biasanya akibat penyakit aterosklerotik, diseksi arteri, displasia fibromuskular, atau
kondisi inflamasi. Dalam kejadian emboli, puing puing dari tempat lain di tubuh
menghalangi aliran darah melalui pembuluh yang terkena. Etiologi stroke
mempengaruhi prognosis dan hasil akhir. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
(Rismanto; Madiyono, 2003):
1. . Usia
Pada umumnya risiko terjadinya stroke mulai usia 35 tahun dan akan meningkat dua
kali dalam dekade berikutnya. 40% berumur 65 tahun dan hampir 13% berumur di
bawah 45 tahun. Menurut Kiking Ritarwan (2002), dari penelitianya terhadap 45 kasus
stroke didapatkan yang mengalami stroke non hemoragik lebih banyak pada tentan
umur 45-65 tahun (Madiyono, 2003; Ritarwan, 2003)
2. Jenis Kelamin
Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata bahwa kaum pria lebih
banyak menderita stroke di banding kaum wanita, sedangkan perbedaan angka
kematianya masih belum jelas. Penelitian yang di lakukan oleh Indah Manutsih
Utami (2002) di RSUD Kabupaten Kudus mengenai gambaran faktor faktor
risiko yang terdapat pada penderita stroke menunjukan bahwa jumlah kasus
terbanyak jenis kelamin laki-laki 58,4% dari penelitianya terhadap 197 pasien
stroke non hemoragik tahun (Madiyono , 2003; Utami, 2002).
3. Herediter
Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya hipertensi,
penyakit jantung, diabetes melitus dan kelainan pembuluh darah, dan riwayat
stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga pernah
mengalami stroke pada usia kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko terkena
stroke. Menurut penelitian Tsong Hai Lee di Taiwan pada tahun 1997- 2001
riwayat stroke pada keluarga meningkatkan risiko terkena stroke sebesar 29,3%
(Madiyono, 2003; Sinaga, 2008).
C. Patofisiologi
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang
memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara
berbagai neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar 2%
(1200-1400 gram) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen
dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial. Dalam jumlah normal darah yang
mengalir ke otak sebanyak 50-60 ml per 100 gram jaringan otak per menit.
Jumlah darah yang diperlukan untuk seluruh otak adalah 700-840 ml/menit, dari
jumlah darah itu disalurkan melalui arteri karotis interna yang terdiri dari arteri karotis
(dekstra dan sinistra), yang menyalurkan darah ke bagian depan otak disebut sebagai
sirkulasi arteri serebrum anterior, yang kedua adalah vertebrobasiler, yang memasok
darah ke bagian belakang otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior,
selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum
posterior membentuk suatu sirkulus Willisi (Sinaga, 2008; Mardjono, 2010).
Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri arteri
yang membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum, apabila
aliran darah ke jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau
kematian jaringan. Perlu di ingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu
menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut dikarenakan
masih terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. Proses patologik
yang sering mendasari dari berbagi proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang
memperdarahai otak diantaranya berupa (Price, 2005):
1. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan
thrombosis.
2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah.
3. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari
jantung atau pembuluh ekstrakranium. Dari gangguan pasokan darah yang ada di
otak tersebut dapat menjadikan terjadinya kelainian-kelainan neurologi tergantung
bagian otak mana yang tidak mendapat suplai darah, yang diantaranya dapat terjadi
kelainan di system motorik, sensorik, fungsi luhur, yang lebih jelasnya tergantung
saraf bagian mana yang terkena.
D. Manifestasi
Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke,
dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami, pemeriksaan neurologik
terdiri dari penilaian hal-hal berikut ini (Swartz, 2002):
1. Status Mental
a. Tingkat Kesadaran
b. Bicara
c. Orientasi
d. Pengetahuan kejadian-kejadian mutakhir
e. Pertimbangan
f. Abstraksi
g. Kosakata
h. Respon emosional
i. Daya ingat
j. Berhitung
k. Pengenalan benda
l. Praksis ( integrasi aktivitas motorik )
2. Nervus Kranial
a. Nervus olfaktorius diperiksa tajamnya penciuman dengan satu lubang hidung
pasien ditutup, sementara bahan penciuman diletakan pada lubang hidung
kemudian di suruh membedakan bau.
b. Nervus optikus yang diperikasa adalah ketajaman penglihatan dan
pemeriksaan oftalmoskopi.
c. Nervus okulomotorius yang diperiksa adalah reflek pupil dan akomodasi. d.
Nervus troklearis dengan cara melihat pergerakan bola mata keatas, bawah,
kiri, kanan, lateral, diagonal.
d. Nervus trigeminus dengan cara melakukan pemeriksaan reflek kornea dengan
menempelkan benang tipis ke kornea yang normalnya pasien akan menutup
mata, Pemeriksaan cabang sensoris pasa bagian pipi, pemeriksaan cabang
motorik pada pipi.
e. Nervus abdusen dengan cara pasien di suruh menggerakan sisi mata ke
samping kiri dan kanan
f. Nervus fasialis di dapatkan hilangnya kemampuan mengecap pada dua
pertiga anterior lidah, mulut kering, paralisis otot wajah
g. Nervus vestibulokoklearis yang di periksa adalah pendengaran,
keseimbangan, dan pengetahuan tentang posisi tubuh.
h. Nervus glosofaringeus di periksa daya pengecapan pada sepertiga posterior
lidah anestesi pada farings mulut kering sebagian.
i. Nervus vagus dengan cara memeriksa cara menelan.
j. Nervus asesorius dengan cara memeriksa kekuatan pada muskulus
sternokleudomastoideus, pasien di suruh memutar kepala sesuai tahanan yang
di berikan si pemeriksa.
k. Nervus hipoglosus bisa dengan melihat kekuatan lidah, lidah di julurkan ke
luar jika ada kelainan maka lidah akan membelok ke sisi lesi.
3. Fungsi motorik
a. Masa otot bisa dengan inspeksi.
b. Kekuatan otot, dengan menyuruh pasien bergerak secara aktif melawan
tahanan, bandingkan dengan sisi yang lain. Sekala yang lazim
digunakan yaitu 0: tidak ada kontraksi, 1: hanya ada sedikit kontraksi,
2: gerakan yang dibatasi oleh gravitasi, 3: gerakan melawan gravitasi,
4: gerakan melawan gravitasi dengan sedikit tahanan, 5: gerakan
melawan gravitasi dengan tahanan penuh (normal).
c. Tonus otot dengan membandingkan gerakan pasif pada otot itu
bandingkan dengan sisi yang lain, lesi neuron motorik atas terjadi
peningkatan tonus tetapi sebaliknya lesi pada neuron motorik bawah
menyebabkan penurunan tonus otot.
4. Refleks
Ada dua jenis reflek yang di periksa yaitu reflek renggang, atau tendo
profunda, dan reflek superfisial.
Reflek renggang diantaranya yaitu reflek biseps, brakioradialis, triseps,
patela dan achiles bisa dinilai berdasarkan sekala 0- 4+ yaitu 0: tak ada
respon, 1+: berkurang, 2+: normal, 3+: meningkat, 4+: hiperaktif. Jika
reflek hiperaktif merupakan ciri penyakit traktus ekstrapiramidalis,
kelainan elektrolit, hipertiroidisme dan kelainan metabolik, sedangkan jika
reflek berkurangnya reflek merupakan ciri kelainan sel kornu anterior dan
miopati.
Reflek superfisial yang abnormal yaitu reflek babinski, reflek
chaddock, reflek openheim. Reflek babinski untuk menguji radiks saraf
pada lumbal lima sampai sacrum dua, dengan menggores bagian telapak
kaki bagian lateral dari tumit ke arah pangkal jari-jari kaki melengkung ke
medial, maka akan terjadi dorsifleksi ibu jari kakai dengan penyebaran
jari-jari lainya. Reflek chaddock akan terjadi dorsofleksi ketika sisi lateral
kaki di gores. Reflek openheim dengan penekanan tulang kering yang akan
menyebabkan dorsofeksi ibu jari kaki.
5. Fungsi Sensorik
a. Sentuhan ringan
b. Sensasi nyeri
c. Sensasi getar
d. Propriosepsis (sensasi posisi)
e. Lokalisasi taktil
6. Fungsi serebelar
a. Tes jari ke hidung jika terjadi gangguan di serebelum maka akan
melewati sasaran secara terus menerus dan kadang di sertai tremor.
b. Tes tumit kelutut, pasien di suruh menggeserkan tumit suatu
ekstremitas bawah menuruni tulang kering ekstremitas bawah lainya
dengan dimulai dari lutut, dalam keadaan penyakit serebelum tumitnya
bergoyang-goyang dari sisi ke sisi.
c. Gerakan yang berganti-ganti dengan cepat.
d. Tes Romberg dengan cara menyuruh pasien berdiri di depan
pemeriksa, dengan kaki di rapatkan sehingga kedua tumit dan jari-jari
kaki saling bersentuhan tes ini positif jika pasien mulai bergoyang-
goyang dan harus memindahkan kakinya untuk keseimbangan.
e. Gaya berjalan. Hemiplegi cenderung menyeret kakinya. Parkinson
f. cenderung berjalan dengan langkah pendek, diseret, kepala
membungkuk dengan punggung membungkuk dan tergesa-gesa.
Ataksia serebelum berjalan dengan langkah kaki berdasar lebar, kedua
kakinya sangat jauh terpisah ketika berjalan. Foot drop dengan gaya
berjalan seperti menampar yang khas. Ataksia sensoris yaitu berjalan
dengan langkah-langkah yang tinggi.
PATHWAY STROKE NON HEMORAGIK
F. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan suplai darah ke otak
menurun
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
gangguan sensasi rasa, ketidakmampuan memakan makanan, tonus otot menurun
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan ketrampilan motorik,
penurunan rentang gerak, kesulitan membolak balik posisi, gerakan tidak
terkoordinasi, intoleran aktivitas, penurunan kekuatan otot, penurunan ketahanan
tubuh
5. Gangguan menelan berhubungan dengan ganggaun saraf kranial