Anda di halaman 1dari 4

Nama : ERIKA NURUL HASANAH

NIM : 1811011092

A. Ektivitas Kinerja KPK Saat Ini


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan tujuan untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi di Indonesia. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya KPK harus
berdasarkan pada kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum,
dan proposionalitas seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 5 Undang-Undang
KPK. Lembaga ini dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia harus sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang. Tugas, wewenang, dan kewajiban yang dimiliki
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah diatur dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal
8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15. (Kuncoro,
Widayati, & Ginting, 2002)
Apakah KPK sudah efektif dan efisien memberantas korupsi di Negara RI?
Khususnya apakah KPK sudah mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi
yang merugikan keuangan Negara, perekonomian Negara, dan menghambat
pembangunan nasional? Pendapat saya, penguatan kinerja dan efektivitas pelaksanaan
tugas, hak, kewenangan, dan abilitas KPK mestinya diukur dari ketiga risiko ini.
Begitu pula, efektivitas, efisiensi dan independensi pelaksanaan tugas-tugas,
tanggung jawab, hak dan abilitas pimpinan KPK tahun 2019-2023, akan diukur dari
tiga indikator tersebut di atas. Karena ketiga sasaran strategis itu adalah tujuan awal
dan tugas pokok awal dari pembentukan KPK tahun 2002 antara lain melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi dan
memantau penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Menurut survei Lembaga Survei Indonesia (LSI), publik menilai efektivitas
kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menurun tajam, yaitu menjadi 65
persen pada Desember 2021, dari kisaran 85 persen pada 2018. Survei itu digelar pada
29 November hingga 3 Desember 2021.
Lemahnya kinerja KPK saat ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dengan
rentetan upaya pelemahan yang dilakukan secara sistematis oleh berbagai kalangan.
Mirisnya lagi, Presiden Jokowi yang seharusnya menunaikan janji untuk memperkuat
agenda-agenda pemberantasan korupsi, justru malah menjadi salah satu aktor utama
dalam skenario pelemahan KPK. Langkah-lagkah yang diambil oleh Presiden
nyatanya kontraproduktif dengan apa yang tertuang dalam nawacita poin keempat
yaitu menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan
hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Opsi mengeluarkan Perppu
pembatalan revisi UU KPK dalam rangka menyelamatkan lembaga tersebut bahkan
tidak dipandang sebagai langkah ideal. Presiden telah mengabaikan suara mayoritas
masyarakat dan akademisi yang menolak revisi UU KPK tersebut.
Senada dengan Presiden, DPR juga dapat dituding sebagai aktor pelemahan
dari KPK. Regulasi yang dibutuhkan demi mendukung pemberantasan korupsi seperti
RUU Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Tunai, dan RUU Tipikor tak
kunjung dituntaskan. Ketidakberpihakan DPR terhadap penegakan hukum khususnya
pemberantasan korupsi memang bukan hal yang baru, bertahun-tahun sebelumnya
upaya pelemahan terus dilakukan oleh lembaga legislasi ini, mulai dari hak angket
hingga puncaknya yaitu Revisi UU KPK. Maka dari itu, untuk mengukur kinerja KPK
selama satu tahun terakhir tidak bisa dilepaskan begitu saja dari faktor dukungan
pemerintah dan DPR. Namun, pada faktanya, sejak awal pemerintah dan DPR
memang benar-benar tidak meletakkan politik hukum ke arah penguatan
pemberantasan korupsi.
Problematika lainnya yang menyebabkan stagnasi pemberatasan korupsi di
KPK dalam satu tahun ini adalah berlakunya Revisi UU KPK menjadi UU. Bukan
tanpa sebab, substansi regulasi itu pada faktanya telah menjauh dari cita-cita
pembentukan KPK itu sendiri, Tidak hanya itu, revisi UU KPK juga melemahkan dua
sektor pekerjaan utama yang meliputi penindakan dan pencegahan. Revisi UU KPK
juga meruntuhkan modal utama dari lembaga anti rasuah tersebut, yakni
independensi. Selain itu, eksistensi dan kewenangan Dewan Pengawas juga dinilai
sangat problematis dan menghambat. Bukti nyatanya tercermin dalam kasus suap
pergantian antar waktu anggota DPR yang melibatkan mantan Komisioner KPU,
Wahyu Setiawan, dan calon anggota legislatif asal PDIP, Harun Masiku. (Wibisono,
2009)
B. Arti Penting Partisipasi Aktif Perawat dalam Pencegahan Tindak Pidana
Korupsi
Dalam keperawatan itu sendiri, nilai profesionalisme merupakan fondasi untuk
memberikan tindakan serta ketika berinteraksi dengan pasien, keluarga, dan profesi
lain (Lynn, P., Taylor, C., & LeBon, M, 2011).
Menjalankan peran sebagai pribadi yang profesional tentunya tidak mudah karena
terdapat tantangan yang menguji profesionalitas. Salah satu tantangan tersebut yaitu
korupsi.
Bidang kesehatan tak luput menjadi objek korupsi yang sampai saat ini masih
sulit untuk diberantas. Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan bahwa dana
kesehatan Indonesia yang terus meningkat tiap tahun masih belum dikelola dengan
efisien. Hal tersebut dapat meningkatkan potensi korupsi yang mengakibatkan tidak
efektifnya pelayanan kesehatan sehingga derajat kesehatan masyarakat Indonesia pun
masih belum baik. Kajian dari ICW tersebut juga menunjukkan bahwa korupsi di
dunia kesehatan paling banyak terjadi pada dana alat kesehatan. Modus yang paling
umum yaitu dengan penggelembungan harga pengadaan barang dan jasa.
Korupsi juga menjadi tantangan bagi perawat. Tindakan kecil seperti
menerima hadiah baik itu makanan atau barang dari pasien pun dapat menjadi indikasi
gratifikasi. Oleh karena itu, tanpa mengurangi sikap profesionalnya perawat tidak
boleh menerima hadiah dalam bentuk apapun dari pasien. Salah satu kasus lain
mengenai korupsi yaitu mengenai penerbitan Surat Izin Kerja Perawat yang terjadi di
Makassar pada tahun 2013. Korupsi di tingkat instansi tersebut melibatkan tiga
terdakwa yang kemudian dituntut 1 tahun penjara. Terdapat pula kasus lain mengenai
pemalsuan surat vaksinasi Covid-19 yang dilakukan oleh oknum perawat. Untuk satu
surat vaksinasi palsu, warga akan dikenakan biaya sebesar Rp 50.000.
Kasus-kasus tersebut mencerminkan bahwa masih terdapat perawat yang tidak
profesional dalam menjalankan tugasnya. Padahal, perawat yang profesional
sebenarnya dapat menjadi agen perubahan dalam gerakan anti korupsi. Melalui
karakter profesional tersebut, perawat dapat menciptakan lingkungan bebas dari
korupsi yang dapat dilatih bahkan sejak di lingkungan mahasiswa. Hal tersebut dapat
diawali dengan menciptakan kesadaran perawat akan korupsi yang merupakan
perbuatan buruk. Kemudian, di lingkungan belajar, mahasiswa keperawatan harus
terbiasa untuk datang tepat waktu, tidak menitipkan absen, dan hal lain yang menjadi
dasar tindakan korupsi. Karena sudah terbiasa, karakter profesional perawat yang
bebas korupsi pun dapat terbentuk dengan lebih mudah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa korupsi masih menjadi tantangan
bagi warga Indonesia termasuk perawat sebagai tenaga kesehatan. Korupsi dalam
bentuk apapun merupakan tindakan buruk yang sangat tidak bertanggung jawab.
Dengan ditanamkannya karakter profesional dalam perawat diharapkan dapat
mencegah perawat dari tindakan korupsi sekecil apapun. Sebagai tenaga kesehatan.
perawat harus menjalankan kewajibannya dengan profesional karena pekerjaannya
berkaitan erat dengan nyawa manusia.

Refrensi
Kuncoro, D., Widayati, E., & Ginting, R. (2002). Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30. 3(30), 199–208.
Wibisono, O. H. (2009). EFEKTIVITAS KPK DALAM MEMBERANTAS KORUPSI DI
LEMBAGA PERADILAN ( Studi Kasus KPK 2008 ).

Anda mungkin juga menyukai