Anda di halaman 1dari 6

Pandangan bahwa ”penyakit” korupsi adalah hal ”biasa” saja ini dapat ditemukan pada sebagian orang

di sektor pemerintahan, bisnis, dan bahkan politik. Korupsi menjadi fenomena kompleks yang telah
mengakar dalam sejarah dan perkembangan bangsa.

Menuju pengujung tahun 2023, berbagai pemberitaan mengenai korupsi menyeruak ke ruang publik.
Salah satu kasus korupsi yang masih hangat diperbincangkan ialah penetapan Syahrul Yasin Limpo,
Menteri Pertanian RI, sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Contoh kasus lainnya adalah penetapan eks Wali Kota Bandung Yana Mulyana sebagai tersangka
penerima suap terkait Bandung Smart City. Ada pula kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang
merugikan negara senilai Rp 16,8 triliun.

Berbagai kasus itu mempertegas kenyataan bahwa kebiasaan korupsi persisten terjadi di berbagai
sektor, baik di tubuh pemerintahan maupun swasta, praktik yang lumrah atau dianggap wajar terjadi.

Korupsi merupakan manifestasi dari sifat rakus, ketidakjujuran, pelanggaran etika, dan martabat yang
rendah. Hal itu juga menunjukkan hilangnya integritas dan profesionalitas pada diri seseorang.

Korupsi jelas merusak tatanan negara. Dampak dari korupsi adalah kerugian negara serta menurunnya
kepercayaan publik. Instansi-instansi swasta pun menanggung kerugian.

Penegakan hukum dan budaya antikorupsi memegang peranan penting dalam upaya pemberantasan
korupsi.

Merujuk pada tiga komponen penyusun sistem hukum, Lawrence M Friedman berpandangan, efektivitas
penegakan hukum terhadap korupsi dapat dilakukan dari sisi substansi hukum (legal substance), struktur
hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture).

Berbagai kasus itu mempertegas kenyataan bahwa kebiasaan korupsi persisten terjadi di berbagai
sektor, baik di tubuh pemerintahan maupun swasta, praktik yang lumrah atau dianggap wajar terjadi.
Kekosongan hukum

Sisi substansi hukum tecemin pada peraturan mengenai korupsi di Indonesia. Kasus-kasus korupsi yang
mencuat pada tahun 2023 mencerminkan permasalahan dalam substansi hukum di Indonesia.

Masih terdapat celah dan kekosongan hukum dalam undang-undang dan peraturan yang
memungkinkan berkembangnya praktik korupsi. Sebagai contoh sederhana, hukum positif di Indonesia
masih belum memberikan aturan yang jelas mengenai praktik korupsi di sektor swasta.

Padahal, secara internasional, hal tersebut telah diatur dalam Article 12 Konvensi Antikorupsi PBB
(UNCAC). Konvensi ini menegaskan bahwa negara-negara perlu memastikan adanya sistem hukum yang
mencegah berkembangnya korupsi di sektor swasta. Standar akuntansi dan audit di sektor swasta juga
perlu ditingkatkan. Tak ketinggalan, diperlukan sanksi atas pelanggaran atau kegagalan untuk memenuhi
standar yang ditetapkan.

Konvensi ini kemudian diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006,
tetapi tetap saja aturan mengenai korupsi sektor swasta di Indonesia masih sangat tidak jelas. Keadaan
ini memberikan peluang kepada para pelanggar hukum untuk bermain di zona abu-abu tersebut.

Berikutnya, sisi struktur hukum dilihat dari kerangka hukum pada sebuah negara, antara lain keberadaan
tatanan aturan perundang-undangan, lembaga-lembaga, dan perangkat hukum. Dalam konteks korupsi
di Indonesia, struktur hukum mencakup lembaga negara independen, seperti Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dan Peradilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

https://cdn-assetd.kompas.id/LckGfOg4P6nhqHHrdP8L2VIE3NA=/1024x575/https%3A%2F
%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F23%2F86bf9f35-1597-46cc-983e-
6b5d156a5369_jpg.jpg

Problem independensi

Perlu diselisik lebih jauh status independensi KPK setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Terjadi perubahan definisi KPK dalam UU KPK tersebut. Awalnya hanya berbunyi ”lembaga negara yang
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh mana pun”.

Definisi ini kemudian diubah menjadi ”lembaga negara di dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
mana pun”.

Montesquieu memopulerkan teori Trias Politika yang kemudian menjadi rujukan lahirnya teori
Separation of Power. Teori ini membagi kekuasaan menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudisial.
Kekuasaan eksekutif merupakan salah satu dari tiga cabang kekuasaan yang menjalankan urusan negara,
mengimplementasikan kebijakan publik, dan menjalankan keputusan.

Secara keorganisasian, kekuasaan eksekutif mencakup presiden sebagai pemimpin, wakil presiden,
menteri-menteri. Dalam arti luas juga mencakup pegawai negeri sipil dan militer. Secara sederhana,
kekuasaan eksekutif dapat disebut sebagai pemerintah.

Bagaimana mungkin KPK dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara yang
independen, sementara lembaga ini berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dipimpin presiden?

Kehadiran Dewan Pengawas di dalam tubuh KPK juga dapat memengaruhi hak independen dari KPK.
Faktanya, di dalam UU KPK itu terdapat pasal-pasal yang memperpanjang alur birokrasi perizinan dalam
upaya penanganan tindak pidana korupsi.

Pengawasan internal memang diperlukan untuk menjaga integritas suatu lembaga. Selain itu, juga untuk
mengurangi pengawasan dari pihak eksternal yang dapat mengintervensi independensi KPK.

Bagaimana mungkin KPK dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga negara yang
independen, sementara lembaga ini berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dipimpin presiden?
Akan tetapi, bagaimana jika pengawas internal yang dibentuk itu berasal dari luar tubuh KPK sendiri,
apalagi pengawas itu diangkat oleh presiden yang merupakan pemimpin dari cabang kekuasaan
eksekutif?

Independensi KPK harus terlepas dari cabang kekuasaan mana pun sebagai lembaga independen di
negara dengan sistem separation of power. Sistem yang menerapkan mekanisme check and balance.

Di sisi lain, budaya hukum juga berperan penting untuk mengupayakan masyarakat dan lembaga-
lembaga publik maupun privat menghormati hukum, integritas, dan etika. Kasus korupsi yang banyak
terjadi seolah mengungkapkan bahwa perspektif budaya di Indonesia menerima dan memaklumi
korupsi.

Kondisi ini perlu diperbaiki untuk memberantas praktik korupsi yang merugikan masyarakat. Edukasi
tentang bahaya korupsi dapat dimulai dari lingkungan pendidikan terkecil, seperti keluarga.

Pendidikan formal juga harus mulai memberikan edukasi tentang sikap antikorupsi, menanamkan stigma
negatif terhadap korupsi, dan pendalaman karakter antikorupsi yang didambakan bangsa Indonesia.

Saat ini kurikulum pendidikan masih hanya memfokuskan pembelajaran pada ilmu-ilmu akademik.
Pendidikan akhlak dan etika yang seharusnya sangat penting dalam pergaulan di masyarakat masih
kurang mendapatkan perhatian dari pihak-pihak penyelenggara pendidikan formal di Indonesia.

Selain itu, tanpa disadari, sering kali praktik korupsi terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Contoh
kecil yang kerap terjadi adalah budaya suap pada masa pemilu dan kampanye.

https://cdn-assetd.kompas.id/T80nBysXKXCAyVWcVyKjanWE12s=/1024x576/https%3A%2F
%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F20%2F660d20b0-0d9b-4bca-9e27-
abf46924c4d8_jpg.jpg

Ilustrasi
Masyarakat kecil jadi target yang sangat mudah digapai oleh oknum-oknum yang ingin mendapatkan
suara lebih dengan janji-janji imajiner. Oleh karena itu, efektivitas sosialisasi antikorupsi di masyarakat
juga perlu ditingkatkan untuk menciptakan kesadaran publik dan kepedulian masyarakat demi melawan
salah satu musuh besar bangsa ini: korupsi.

Upaya pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan untuk memperkuat fondasi hukum negara.
Pemberantasan korupsi tersebut harus mencakup ketiga komponen hukum yang menjadi landasan
sistem hukum negara.

Semua lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah hingga warga biasa, diharapkan ikut serta
memberantas budaya korupsi yang sedang berkembang. Penting untuk memahami bahwa korupsi
bukanlah bagian dari budaya Indonesia, melainkan bentuk perilaku yang merusak moral dan integritas
negara dan individu.

Visi Indonesia Emas 2045, menuju Indonesia sebagai negara maju, modern, dan setara dengan negara-
negara lain di dunia, perlu dicapai dengan perbaikan moral masyarakat. Untuk itu, perlu diperkuat
sumber daya manusia yang memiliki integritas dan kompetensi untuk melanjutkan perjuangan bangsa
ini.

Baca juga : KPK yang Terus Melapuk

Frans Hendra Winarta Guru Besar Universitas Pelita Harapan

Editor:

NUR HIDAYATI, YOHANES KRISNAWAN

Bagikan

korupsi

pemberantasan korupsi

fenomena
analisis ahli

frans hendra winata

opini frans hendra winata

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Oktober 2023 di halaman 7 dengan judul
"Menimbang Efektivitas Penegakan Hukum dalam Pemberantasan Korupsi".

Baca Epaper Kompas

Komentar Pembaca

Kirimkan Komentar Anda

Jadilah yang pertama memberikan komentar. Silakan masuk atau daftar akun untuk menggunakan fitur
komentar.

Daftar Sekarang

Masuk

Belum ada komentar.

Baca di Aplikas

Anda mungkin juga menyukai