Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Korupsi merupakan suatu momok bagi setiap negara yang ada di dunia, hampir

menjadi mustahil apabila disuatu negara tidak ada suatu tindak korupsi didalamnya, korupsi

yang saat ini telah mengakar dengan demikian kuatnya akan membawa konsekuensi

terhambatnya pembangunan di suatu negara. Ketidak berhasilan pemerintah memberantas

korupsi akan semakin melemahkan citra pemerintah dimata masyarakat.1

Korupsi dalam praktiknya mampu melumpuhkan pembangunan bangsa dan

masyarakat, praktik korupsi ini dapat ditemukan dalam berbagai modus operandi dan dapat

dilakukan oleh siapa saja, dari berbagai strata sosial dan ekonomi. Korupsi menjadi salah

satu tindak pidana yang selalu menjadi sorotan di Indonesia, korupsi bukanlah hal yang asing

lagi di negeri ini. Praktik, kebiasaan, dan maraknya korupsi harus segera diatasi dengan

mengoptimalkan upaya pemberantasan korupsi. Proses penegakan hukum yang tegas,

konsisten, dan kontinyu, baik melalui upaya sarana pencegahan maupun sarana

penindakan. 2

Korupsi di Indonesia bahkan sudah tergolong extra-ordinary crime atau kejahatan luar

biasa karena telah merusak, tidak saja keuangan negara dan potensi ekonomi negara, tetapi

juga telah meluluhkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, dan tatanan hukum keamanan

nasional. Indonesia sebenarnya telah memiliki peraturan mengenai pemberantasan tindak

pidana korupsi sejak tahun 1971, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

1
Suyatno, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2005, Hlm. 10.
2
Tri Nanda, Elly Sudarti, Yulia Monita, Eksekusi Putusan Pengadilan oleh Jaksa Terhadap Pidana Pembayaran Uang
Pengganti Pada Tindak Pidana Korupsi di Kejaksaan Negeri Muaro Jambi, PAMPAS: Journal of Criminal, Volume 2
Nomor 2, 2021. Hlm. 55.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun karena peraturan ini dianggap sudah tidak

mampu lagi mengikuti perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat maka terbitlah

UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian

direvisi melalui UU Nomor 20 Tahun 2001 pada beberapa pasalnya.

Selain melalui UU Tipikor upaya negara dalam mencegah korupsi di Indonesia dapat

terlihat dengan diciptakannya UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang serta peraturan perundangan lainnya yang secara khusus dibentuk untuk mengatasi

tindak pidana Korupsi. Di Indonesia Penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana dinilai

kurang maksimal hal ini dapat terlihat dari rencana hukuman mati terhadap koruptor yang

belum terlaksana. Pemerintah terkesan lambat dalam proses pemberantasan dan penegakan

terhadap koruptor apa lagi terhadap elit di pemerintahaan. Pemberantasan tindak pidana

korupsi di Indonesia merupakan suatu upaya pengembalian kerugian negara yang

dilakukan oleh negara melalui aparat penegak hukum.3

Korupsi sering melibatkan struktur pemerintah sehingga para penegak hukum tersebut

terlibat dalam praktek korupsi. Apalagi yang mempunyai hubungan dengan kekuasaan dan

konlomerat, saat diproses, terkesan formalitis, sekedar memenuhi tuntutan rakyat, sekalipun

ada yang lolos ke pengadilan dan dijatuhi pidana, mereka hanyalah koruptor kelas teri,

sedangkan koruptor kelas kakap banyak divonis bebas, atau bahkan sudah melarikan diri

terlebih dahulu ke luar negeri.

Korupsi sejatinya merupakan permasalahan universal yang dihadapi oleh seluruh

negara dan masalah pelik yang sulit untuk diberantas, hal ini tidak lain karena masalah

3
Wendy, Andi Najemi, Pengaturan Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan dalam Tindak Pidana Korupsi,
PAMPAS: Journal Of Criminal Volume 1, Nomor 1, 2020. Hlm. 26.
korupsi bukan hanya berkaitan dengan permasalahan ekonomi semata, melainkan juga

terkait dengan permasalahan politik, kekuasaan dan penegakkan hukum. 4

Upaya Pemberatas Korupsi juga diperkuat dengan Tekad dunia internasional untuk

memberantas korupsi yang diwujudkan dengan lahirnya United Nations Convention Againts

Corruption, 2003 (UNCAC 2003) yang diterima oleh Sidang Majelis Umum PBB (SMU

PBB) pada tanggal 31 Oktober 2003, Konvensi ini memberikan enforcement (paksaan) bagi

contracting states (negara pihak) untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban yang tercantum

di dalamnya termasuk sanksi bagi negara pihak yang tidak melaksanakan kewajiban. Salah

satu materi penting Konvensi adalah mengenai tentang Penyuapan baik itu suap terhadap

pernyelenggara negara maupun suap di Sektor Swasta.

Pada tahun 2006, Indonesia meratifikasi United Nation Convention Against

Corruption (UNCAC), 2003 melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan

United Nation Convention Against Corruption, 2003. Hal tersebut membawa implikasi

kepada penyesuaian perangkat hukum sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan

korupsi di Indonesia. 5 Pada putaran pertama penilaian terhadap penerapan UNCAC di

Indonesia, terdapat tiga puluh dua rekomendasi untuk dilaksanakan. Hingga saat ini baru

delapan rekomendasi yang telah diimplementasikan di Indonesia. 6 Salah satu rekomendasi

yang belum dilaksanakan adalah kriminalisasi penyuapan di sektor privat (bribery in private

sector).

4
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Jawa
Timur, 2005, hlm. 38.
5
Yenti Garnasih, Paradigma Baru Dalam Pengaturan Anti Korupsi Di Indonesia Dikaitkan dengan UNCAC
2003, Jurnal Hukum Prioris, 2009, Hlm. 161.
6
Vidya Prahassacitta, Tinjauan Atas Kebijakan Hukum Pidana terhadap Penyuapan Di Sektor Privat Dalam
Hukum Nasional Indonesia, Suatu Perbandingan Dengan Singapura, Malaysia dan Korea Selatan, Jurnal Hukum &
Pembaruan 2017, Hlm. 397.
Suap adalah salah satu masalah yang sudah sangat lama terjadi dalam masyakat. Pada

umumnya suap diberikan kepada orang yang berpengaruh atau pejabat agar melakukan atau

tidak melakukan sesuatu yang berhubungan dengan jabatannya. Orang yang memberi suap

biasanya memberikan suap agar keinginannya tercapai baik berupa keuntungan tertentu

ataupun agar terbebas dari suatu hukuman atau proses hukum.

Tidaklah mengherankan yang paling banyak di suap adalah pejabat di lingkungan

birokrasi pemerintah yang mempunyai peranan penting untuk memutuskan sesuatu

umpamanya dalam pemberian izin ataupun pemberian proyek pemerintah. Suap sering

diberikan kepada para penegak hukum umpamnya polisi, jaksa, hakim. Demikian juga

kepada para pejabat bea cukai, pajak dan pejabat-pejabat yang berhubungan denga

pemberian izin baik beruap izin berusaha, izin mendirikan bangunan dan lain-lain. 7

Terlebih dahulu perlu untuk diketahui bahwa Sektor swasta atau yang dalam bahasa

Inggris: dikena dengan private sector adalah salah satu bagian dalam sektor ekonomi suatu

negara yang terdiri dari kegiatan di bidang badan usaha yang sebagian besar modalnya

dikuasai oleh pihak swasta dan tidak dikuasai oleh pemerintah. Sektor swasta terbagi dari

individu (rumah tangga) dan bisnis (badan usaha milik swasta). Organisasi nirlaba maupun

perusahaan laba dapat termasuk ke dalam sektor swasta.

Beberapa di antaranya ialah perusahaan, korporasi, bank, dan organisasi non-

pemerintah lainnya, termasuk juga karyawan yang tidak bekerja untuk pemerintah. Dalam

sektor ini, faktor-faktor produksi dimiliki oleh individu atau pribadi. Individu atau kelompok

individu mengendalikan bisnis dengan tujuan utama untuk mendapat keuntungan. Dalam

7
Muladi “Hakekat Suap dan Korupsi https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/ 11/185540869/hakekat-
suap-dan-korupsi ” diakses pada 9 Oktober 2021
ilmu ekonomi makro, sektor ini terbagi lagi menjadi dua, yakni sektor bisnis dan sektor

rumah tangga.8

Sektor swasta juga tidak lepas dari tindakan korupsi. Hal tersebut sejalan dengan

pendapat Robert Klitgard yang menyatakan, “Korupsi dapat didefinisikan sebagai

penyalahgunaan jabatan untuk keuntungan pribadi. Kantor tersebut dapat berupa jabatan

publik, atau dapat berupa posisi kekuasaan apa pun, termasuk sektor swasta, organisasi

nirlaba, bahkan profesor universitas” Mengenai pemahaman korupsi pada sektor swasta

secara umum, Antonio Argandona menjelaskan “Korupsi sektor swasta berarti bahwa

seorang manajer atau karyawan memilih untuk bertindak demi keuntungannya sendiri, dan

bertentangan dengan tugas dan tanggung jawabnya”.9

Pasal 12 UNCAC di antaranya mengatur bahwa “Setiap Negara Pihak harus

mengambil langkahlangkah, sesuai dengan prinsipprinsip dasar hukum nasionalnya, untuk

mencegah korupsi yang melibatkan sektor swasta, meningkatkan standar akuntansi dan audit

di sektor swasta, dan jika perlu menyediakan sistem administrasi yang efektif, proporsional,

serta mengatur hukuman administratif atau pidana apabila gagal mematuhi langkah-langkah

tersebut”. Demikian pula Pasal 21 UNCAC yang pada pokoknya merekomendasikan kepada

negara pihak untuk membuat legislasi tindak pidana suap di sektor swasta. Namun hingga

saat ini, rekomendasi dari UNCAC belum terealisasi menjadi produk legislasi.

Bentuk suap di sektor swasta pun bermacam-macam, seperti yang kemukakan oleh

Transparency International yang menjelaskan bahwa “Korupsi di sektor swasta banyak

bentuknya, di antaranya suap, pengaruh yang tidak semestinya, penipuan, pencucian uang,

8
Dorothea Wahyu Ariani, Pengertian Dasar Bisnis, Kewirausahaan, dan Lingkungan Bisnis, Penerbit
Universitas Terbuka, Jakarta, 2014. Hlm. 2.
9
Andreas Nathaniel Marbun, ‘Suap di Sektor Privat: Dapatkah Dijerat?’ Jurnal Integritas KPK, Vol. 3, Nomor
1, Tahun 2017. Hlm. 57.
dan kolusi.”Dari penjelasan Transparency International tersebut, dapat dilihat bahwa suap

di sektor swasta merupakan salah satu bentuk korupsi yang dapat terjadi pada sektor privat. 10

Korupsi pada bidang swasta juga sudah separah dengan korupsi yang terjadi pada bidang

publik, bilamana aktivitas bisnisnya terkait atau berhubungan dengan sektor publik,

misalnya sektor perpajakan, perbankan dan pelayanan publik.

Bribery in the private sector atau penyuapan di sektor swasta berupa tindakan yang

menjanjikan, menawarkan atau memberikan secara langsung atau tidak langsung suatu

keuntungan yang tidak semestinya kepada seseorang yang memimpin atau bekerja dalam

suatu kapasitas untuk suatu badan di sektor swasta, untuk dirinya sendiri atau orang lain,

agar ia dengan melanggar tugas-tugasnya, melakukan sesuatu atau menahan diri dari

melakukan suatu tindakan. Demikian pula tindakan berupa memohon atau menerima secara

langsung atau tidak langsung suatu keuntungan yang tidak semestinya yang dilakukan oleh

seseorang yang memimpin atau bekerja dalam suatu kapasitas apapun untuk suatu badan

sektor swasta, untuk dirinya sendiri atau orang lain, agar ia secara melawan hak, melakukan

sesuatu atau menahan diri untuk melakukan sesuatu.

Perkembangannya penyuapan di sektor privat memiliki dampak yang serupa dengan

penyuapan di sektor publik karena tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat akan bisnis

di sektor privat lebih dari itu merusak persaingan usaha yang adil dan merusak fungsi pasar

yang pada akhirnya akan merusak ekonomi suatu negara. Kerugian yang diakibatkan suap

di sektor privat, tidak hanya soal jumlah uang, tetapi juga menciptakan inefisiensi,

memperbanyak kejahatan, memperlamban pertumbuhan, dan memperburuk citra dan iklim

10
Ibid
investasi nasional secara makro. Tak heran, dikarenakan sedemikian parahnya dampak yang

diciptakan,

Dalam hal ini, penyuapan di sektor swasta juga harus diberantas karena tidak hanya

memberi efek pada hubungan antar sektor swasta, tetapi juga memberi dampak pada

masyarakat, meskipun tidak ada kerugian keuangan secara langsung. Pertama, suap

mengganggu jalannya aktivitas pasar dengan cara bersaing secara tidak sehat/merusak

persaingan yang adil. Kondisi ini menurunkan kepercayaan dari pelaku pasar lainnya dalam

suatu ekosistem perekonomian yang kemudian dapat menghalangi perkembangan ekonomi

masyarakat.11

Disamping itu, korupsi menimbulkan biaya tambahan untuk suap atau untuk

membangun jaringan yang korup, mengeluarkan biaya suap juga untuk pesaing lainnya demi

peluang untuk mendapatkan kontrak. Biaya ini akibatnya ditransmisikan kepada konsumen

melalui harga yang lebih tinggi atau kualitas produk dan layanan yang lebih rendah. 12

Namun, hingga detik ini Indonesia belum mengkategorikan suap di sektor swasta

sebagai suatu tindak pidana korupsi. Sehingga, setiap pelaku suap di sektor swasta tidaklah

dapat dijerat dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Wajar jika

kerap kali masyarakat kebingungan mencari cara bagaimana agar sistem hukum Indonesia

dapat menjerat para pelaku suap di sektor swasta.

Pengaturan Penyuapan apabila dilakukan oleh penjabat publik dengan mudah dapat

ditegakan karena payung hukum yang mengaturnya telah jelas bisa melalui Kitab Undang-

11
Prianter Jaya Hairi, Urgensi Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Sektor Swasta, Jurnal Info Singkat
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI,Vol. X, No. 24, 2018. Hlm. 5.
12
Ibid
Undang Hukum Pidana yang dipertegas dengan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 209

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan
maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
2. barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.

Selanjutnya dalam pasal 210

1. Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:


1) barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan tentang perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili;
2) barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang yang menurut
ketentuan undang-undang ditentukan menjadi penasihat atau adviseur untuk
menghadiri sidang atau pengadilan, dengan maksud untuk mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang akan diherikan berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan untuk diadili
2. Jika pemberian atau janji dilakukan dengan maksud supaya dalam perkara
pidana dijatuhkan pemidanaan, maka yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 419 :

Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun seorang pejabat:
1. yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji
itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
2. yang menerima hadiah mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat.
atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

Berdasarkan ketiga pasal tersebut dapat terlihat yang menjadi subjek dalam tindak

pidana tersebut adalah penyelenggara negara. Sehingga apabila yang menjadi subjek sektor

swasta belum mampu terakomodir dengan ketentuan peraturan ini. Selanjutnya jika dilihat

berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.


Pasal 2 :
Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud
untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam
tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut
kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara
selamalamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima
belasjuta rupiah)

Pasal 3 :
Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat
menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan
kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana
karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau
denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah)

Meskipun ketentuan tersebut memiliki formulasi delik dimana penerima suap tidak

dijelaskan apakah harus seorang pejabat publik ataukah setiap orang, namun dengan unsur

“supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan

dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum”

menunjukkan bahwa seseorang tersebut harus memiliki kewenangan atau kewajibannya

yang menyangkut kepentingan umum.

Selanjutnya hal yang dapat mempertegas bahwa UU Nomor 11 Tahun 1980 ini tidak

dapat menjerat sektor swasta adalah dari penjelasan pasal UU tersebut yang menjelaskan

bahwa dalam pasal 2 “Yang dimaksud dengan "kewenangan dan kewajibannya" termasuk

kewenangan dan kewajiban yang ditentukan oleh kode etik profesi atau yang ditentukan oleh

organisasi masing-masing” Kalimat berdasarkan kode etik inilah erat kaitannya dengan

penjabat publik penyelenggara pemerintahan.

Tindak pidana korupsi di sektor swasta semakin marak. Menurut data KPK, pelaku

dari sektor swasta tercatat menjadi yang tertinggi. Sepanjang 2004-2017, terdapat 183 orang

pelaku dari sektor swasta yang ditangkap KPK karena terlibat suap serta korupsi dengan
lembaga eksekutif dan legislative Tingginya data korupsi yang melibatkan pihak swasta

tersebut diyakini sebagai salah satu faktor penyebab masih sulitnya pemberantasan korupsi

dilakukan. Laporan Tranparency International mengenai Corruption Perception Index pada

tahun 2017 yang menempatkan Indonesia pada peringkat 96 dari 180 negara dengan skor 37,

menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum meningkat. Bahkan

menjadi lebih buruk jika dibandingkan dengan laporan tahun sebelumnya, bahwa indonesia

menduduki peringkat 90 dengan skor yang sama.

Selama ini aparat penegak hukum sebenarnya cukup terbantu ketika Mahkamah

Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan

Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi (Perma No 13/2016). Perma tersebut selama ini

dijadikan pedoman bagi aparat penegak hukum dalam penanganan perkara pidana dengan

pelaku korporasi dan/atau pengurus korporasi.

Namun, Perma tersebut dirasakan kurang dapat menjangkau pelaku korupsi di sektor

swasta, karena hingga saat ini salah satu unsur dari tindak pidana korupsi dalam UU Tipikor

masih terbatas pada adanya unsur kerugian keuangan negara. Selain itu, Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 terkait Pasal 2 dan 3 UU Tipikor juga kemudian

semakin mempertegas mutlaknya eksistensi unsur tersebut dalam suatu perbuatan tindak

pidana korupsi, yakni perlu adanya kerugian negara yang konkrit/nyata dalam unsur tindak

pidana korupsi.

Suap di sektor swasta dipandang sudah mendesak untuk segera diatur dalam

perundang-undangan yang lebih baik. Salah satu pertimbangan karena suap tidak hanya

memberi efek pada hubungan antar sektor swasta, tetapi juga memberi dampak pada

masyarakat, meskipun tidak ada kerugian secara langsung. Tindakan suap mengganggu
jalannya aktivitas pasar dengan cara bersaing secara tidak sehat dan merusak persaingan

yang adil. Dengan keberadaan aturan mengenai tindak pidana suap dapat membantu untuk

melindungi integritas dan kejujuran dalam aktivitas ekonomi, keuangan, atau komersial

Berdasarkan permasalahan diatas maka penulis tertarik untuk menganalisis lebih lanjut

mengenai Pengaturan hukum penyuapan di sektor swasra dan mengangkatnya menjadi

sebuah skripsi yang berjudul “Penyuapan di Sektor Swasta Dalam Tindak Pidana

Korupsi di Indonesia”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka penulis dapat menarik rumusan

masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana pengaturan Penyuapan Tinda Pidana Korupsi di Sektor Swasta di

Indonesia?

2. Bagaimana kebijakan hukum pada tindak pidana penyuapan di Sektor Swasta?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana bentuk pengaturan Penyuapan di

Sektor Swasta di Indonesia.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana kebijakan hukum pada tindak

pidana penyuapan di Sektor Swasta

2. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penulisan skripsi ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:
a. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperkaya

kajian perpustakaan berkenaan dengan Pengaturan Hukum yang mengatur tentang

Penyuapan di Sektor Swasta

b. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan

pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait yang membutuhkan informasi mengenai

Pengaturan Penyuapan di sektor swasta di Indonesia.

D. Kerangka Konseptual

Yang dimaksud dengan kerangka konseptual adalah batasan konsep atau permasalahan

yang akan dibahas dalam suatu penelitian guna menghindari penafsiran yang berbeda.

Penjelasan beberapa konsepsi dalam penelitian ini yaitu :

1. Penyuapan

Menurut UU No. 11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap memberikan definisi

Penyuapan atau suap adalah tindakan memberikan uang dan barang atau bentuk lain dari

pembalasan dari pemberi suap kepada penerima suap yang dilakukan untuk mengubah

sikap penerima atas kepentingan/minat si pemberi, walaupun sikap tersebut berlawanan

dengan penerima. Dalam kamus hukum Black's Law Dictionary, penyuapan diartikan

sebagai tindakan menawarkan, memberikan, menerima, atau meminta nilai dari suatu

barang untuk mempengaruhi tindakan pegawai lembaga atau sejenisnya yang bertanggung

jawab atas kebijakan umum atau peraturan hukum.

2. Sektor Swasta

Sektor swasta atau yang dalam bahasa Inggris: dikena dengan private sector adalah

salah satu bagian dalam sektor ekonomi suatu negara yang terdiri dari kegiatan di bidang

badan usaha yang sebagian besar modalnya dikuasai oleh pihak swasta dan tidak dikuasai
oleh pemerintah. Sektor swasta terbagi dari individu (rumah tangga) dan bisnis (badan

usaha milik swasta). Organisasi nirlaba maupun perusahaan laba dapat termasuk ke dalam

sektor swasta. Beberapa di antaranya ialah perusahaan, korporasi, bank, dan organisasi

non-pemerintah lainnya, termasuk juga karyawan yang tidak bekerja untuk pemerintah.

Dalam sektor ini, faktor-faktor produksi dimiliki oleh individu atau pribadi. Individu atau

kelompok individu mengendalikan bisnis dengan tujuan utama untuk mendapat

keuntungan. Dalam ilmu ekonomi makro, sektor ini terbagi lagi menjadi dua, yakni sektor

bisnis dan sektor rumah tangga.13

3. Tindak Pidana Korupsi

Tindak pidana dalam bahasa Belanda disebut Straafbaarfeit, yang terdapat dua unsur

pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan

sebagian dari kenyataan, sedangkan straafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara

harfiah perkataan straafbaarfeit berarti sebagian dari penyataan yang dapat dihukum. 14

Istilah Korupsi berasal dari kata latin ”corruptio” atau ”corruptus” yang berarti

kerusakan atau kebobrokan, atau perbuatan tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan.

Ada pula yang berpendapat bahwa dari segi istilah ”korupsi” yang berasal dari kata

”corrupteia” yang dalam bahasa Latin berarti ”bribery” atau ”seduction”, maka yang

diartikan ”corruptio” dalam bahasa Latin ialah ”corrupter” atau ”seducer”. ”Bribery”

dapat diartikan sebagai memberikan kepada seseorang agar seseorang tersebut berbuat

untuk keuntungan pemberi. Sementara ”seduction” berarti sesuatu yang menarik agar

seseorang menyeleweng. 15

13
Dorothea Wahyu Ariani, Log. Cit
14
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2012. Hlm. 5.
15
Anwar, Yesmil dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana. Grasindo, Jakarta, 2008. Hlm. 14.
Berdasarkan uraian mengenai tindak pidana korupsi di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa tindak pidana korupsi merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan moral

dan melawan hukum yang bertujuan menguntungkan dan/atau memperkaya diri sendiri

dengan meyalahgunakan kewenangan yang ada pada dirinya yang dapat merugikan

masyarakat dan negara.

E. Landasan Teoretis

1. Teori Pemidanaan

Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum pada umumnya. Hukum

pidana ada untuk memberikan sanksi bagi siapa saja yang melakukan kejahatan.

Berbicara mengenai hukum pidana tidak terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan

pemidanaan. Arti kata pidana pada umumnya adalah hukum sedangkan pemidanaan

diartikan sebagai penghukuman

Pemidanaan merupakan bagian penting dalam hukum pidana hal tersebut dikatakan

demikian karena pemidanaan merupakan puncak dari seluruh proses

mempertanggungjawabkan seseorang yang telah bersalah melakukan tindak pidana. ”A

criminal law without sentencing would morely be a declaratory system pronouncing

people guilty without any formal consequences following form that guilt”. Hukum pidana

tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti

terhadap kesalahannya tersebut. Dengan demikian, konsepsi tentang kesalahan

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengenaan pidana dan proses


pelalsanaannya. Jika kesalahan dipahami sebagai ”dapat dicela”, maka di sini pemidanaan

merupakan ”perwujudan dari celaan” tersebut. 16

Muladi dan Barda Nawawi, berpendapat bahwa unsur pengertian pidana, meliputi:

a. pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau


nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang);
c. pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut undang-undang.

Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan.

Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang

yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu

sendiri.

Dalam sejarah hukum pidana kita mengenal 3 teori besar tentang tujuan

pemidanaan, dimana ketiga teori tersebut memiliki perbedaan secara filosofi dalam

memaknai pidana yang akan dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, ketiga teori tersebut

adalah pertama, teori retributif yang memandang bahwa pemidanaan merupakan

pembalasan atas kesalahan yang dilakukan. Jadi teori ini berorientasi pada perbuatan dan

terjadinya perbuatan itu sendiri dan pemidanaan pantas diterapkan karena dianggap

pelaku pantas untuk menerimanya atas kesalahannya yang mengakibatkan kerugian.

Teori retributif ini memandang bahwa hakekat pidana merupakan nestapa atau derita

untuk membalas kejahatan (deterrent oriented).

Kedua, teori relatif yang memandang bahwa pemidanaan bukan merupakan

pembalasan atas kesalahan pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang

16
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana
Tanpa Kealahan. Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.
Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006. Hlm. 125.
bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dalam teori ini

munculah tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang

ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat.

Oleh karena itu menurut teori bahwa pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan

kepada orang yang telah melakukan kejahatan tetapi agar orang jangan melakukan

kejahatan.

Ketiga, integratif (gabungan) yaitu suatu teori yang menggabungkan antara tujuan

pemidanaan dalam teori retributif dan tujuan pemidanaan dalam teori relatif sehingga

teori ini bercorak ganda dimana menganggap pemidanaan sebagai unsur penjeraan

dibenarkan tetapi tidak mutlak dan harus memiliki tujuan untuk membuat si pelaku dapat

berbuat baik dikemudian hari.

2. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum menurut Jan Michiel Otto mendefenisikan sebagai kemungkinan

bahwa dalam situasi tertentu :

1) Tersedia aturan -aturan yang jelas (jernih), konsisten dan mudah diperoleh,
diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) negara.
2) Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum
tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya.
3) Warga secara prinsipil menyesuaikan prilaku mereka terhadap aturanaturan
tersebut.
4) Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpikir menerapkan
aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum.
5) Keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.” 17

Sudikno Mertukusumo juga menjabarkan, kepastian hukum merupakan sebuah

jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum

17
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Sinar Grafika, Jakarta., 2011, hlm. 14.
menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat

oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek

yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu

peraturan yang harus ditaati.18

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian yuridis normatif

dengan isu hukum dikarenakan terjadinya Kekosongan Norma yang mengatur mengenai

Penyuapan di Sektor Swasta di Indonesia, sehingga di perlukan pengaturan hukum yang

baru untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, Penelitian Yuridis Normative adalah

penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara melakukan penelitian terhadap

bahan-bahan kepustakaan atau data sekunder belaka. 19

2. Pendekatan Penelitian

Bahder Johan Nasution mengemukakan, bahwa dalam penelitian ilmu hukum

normatif banyak pendekatan yang dapat digunakan magister terpisah-pisah berdiri sendiri

maupun secara kolektif sesuai dengan isu atau permasalahan yang dibahas, adapun

Pendekatan tersebut antara lain:

18
Asikin Zainal, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.
2012, hlm.17.
19
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 200. Hlm. 13.
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-

undangan (Statute approach) yaitu dengan cara melakukan analisis terhadap peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan Penyuapan dan Tindak Pidana Korupsi.

Selain pendekatan perundang-undangan pendekatan yang digunakan didalam

penelitian ini adalah pendekatan konseptual (conceptual approach) yang penelitiannya

terhadap konsep-konsep yang berhubungan langsung dengan objek yang diteliti. Serta

Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan kasus yang melihat berdasarkan kasus kasus

yang pernah terjadi di Indonesia.

3. Pengumpulan bahan hukum

Jenis bahan-bahan hukum yang penulis gunakan dalam penulisan proposal skripsi

ini,yakni:

a. Bahan hukum primer, terdiri dari peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan masalah yang dibahas, yaitu:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi

3. Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation

Convention Against Corruption

4. Peraturan Mahkamah Agung No 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan

Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, seperti pendapat para pakar hukum baik berbentuk

buku, jurnal hukum, ataupun berbentuk makalah, seperti: karya ilmiah dari
kalangan hukum, jurnal hukum, makalah hukum, dan situs-situs internet yang

berkaitan dengan bahan hukum penelitian.

c. Bahan hukum tersier, bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan Terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus hukum

dan kamus besar bahasa Indonesia.

4. Analisis Bahan Hukum

a. Menginventarisasi semua bahan hukum sesuai masalah yang dibahas.

b. Menginterpretasi perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang

dibahas.

c. Mensistematisasi bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang

diteliti.
G. Sistematika Penulisan.

Agar dapat memberikan uraian yang teratur dan memudahkan untuk mengetahui

hubungan antara bagian-bagian dalam penulisan skripsi ini, maka perlu diperhatikan

sistematika penulisan di bawah ini.

BAB I Pendahuluan Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.

BAB II Tinjauan Pustaka Bab ini akan menguraikan tentang apa itu punyuapan sector swasta
dan apa itu pemidanaan.

BAB III Pembahasan Bab ini akan menguraikan mengenai Bagaimana pengaturan
Penyuapan Tinda Pidana Korupsi di Sektor Swasta di Indonesia, dan bagaimana Ius
Constituendum Tindak Pidana Penyuapan di Sektor Swasta yang Ideal di Indonesia

BAB IV Penutup Penutup, bab ini memuat kesimpulan dari apa yang telah diuraikan pada
bab-bab sebelumnya dan saran-saran yang diharapkan dapat bermanfaat.Bab ini memuat
kesimpulan dari apa yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya dan saran-saran yang
diharapkan dapat bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai