Anda di halaman 1dari 9

ANALISA EFEKTIVITAS PIDANA HUKUMAN MATI BAGI PELAKU KORUPSI

Carmenita Angelina Sormin 1)


1. Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Hukum Universitas Brawijaya
E-mail: angelssiregar18@gmail.com

Kata Kunci: Tindak Pidana Korupsi, Hukuman Mati, Koruptor

LATAR BELAKANG
Harapan seluruh lapisan masyarakat Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru tahun 1998
antara lain terwujudnya pemerintahan yang demokratis, bersih, adil dan bebas korupsi.
Pengelolaan tersebut akan berdampak pada kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat
Indonesia. Rakyat mengharapkan kebebasan politik dan berserikat, tidak ada ketakutan, tidak
ada kemiskinan dan tentu saja kehidupan ekonomi yang lebih sejahtera dan sejahtera.
Untuk mewujudkan negara yang bebas korupsi, haruslah dimaknai kembali bagaimana
tindakan korupsi tersebut terjadi. Korupsi, umumnya didefinisikan sebagai "menjual aset
pemerintah untuk keuntungan pribadi," adalah masalah yang terus-menerus di banyak negara.
Korupsi mungkin tidak menunjukkan tren penurunan yang jelas meskipun pemerintah telah
mengeluarkan undang-undang baru dan menyatakan perang dengan menghukum pelanggaran
berat.
Korupsi merupakan salah satu penyebab cepat merosotnya sistem perekonomian suatu
negara. Korupsi merajalela di Indonesia, merusak situasi ekonomi dan keuangan negara.
Untuk itu, perlu pemberantasan korupsi dengan cara yang sangat luar biasa dan menciptakan
cara yang khusus. Korupsi adalah kepentingan tidak resmi dari pihak lain yang berusaha untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan menggunakan kedudukan atau
kepribadiannya, bertentangan dengan kewajiban atau hak pihak lain yaitu suatu perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk memperolehnya secara layak (Pakpahan, 2021)
Korupsi menyebar dengan cepat di Indonesia secara meluas dan sistematis. Korupsi
sering dilakukan dengan menggunakan rekayasa teknologi canggih dan terkini. Realitas
kejahatan korupsi yang dilakukan oleh otoritas negara sejak itu membuat doktrin lama menjadi
kenyataan. Sulit untuk memberantas kasus korupsi secara bersama-sama. Sementara itu,
korupsi berada di puncak tidak hanya di tingkat eksekutif pusat, provinsi dan kota tetapi juga
di tingkat terendah, yaitu desa yang dipilih langsung oleh masyarakat (Anshari & Fajrin, 2020)
Saat ini, pemerintah menghabiskan sumber daya untuk mengurangi penipuan di
yurisdiksinya. Undang-undang khusus telah diberlakukan untuk menghukum penipu dengan
berat dengan harapan dapat mencegah penjahat potensial melakukan penipuan di masa depan.
Selain itu, gugus tugas anti-penipuan telah dibentuk di seluruh dunia untuk menciptakan
lingkungan yang tidak bersahabat bagi para penipu. Namun, tidak semua upaya ini tampaknya
cukup untuk mengakhiri penipuan. Di Indonesia, misalnya, tersangka baru bisa menimbulkan
kasus korupsi baru, termasuk pejabat senior.
Tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan,
dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut telah melanggar ketentuan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Penghapusan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Hukuman mati bagi tindak
pidana korupsi sendiri diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Siregar, Sriono, & Siregar, 2021).
Di bawah Presiden Joko Widodo, strategi pemberantasan korupsi di Indonesia dilakukan
dengan memperkuat berbagai strategi dan keseriusannya untuk menyelamatkan perekonomian
nasional, keuangan negara dan memperkuat daya pikir bangsa Indonesia. Upaya ini dilakukan
karena korupsi tidak hanya dapat merusak keuangan negara, tetapi juga merusak hubungan
koeksistensi bangsa dan negara. Upaya pemberantasan korupsi yang telah dipelopori oleh
negara sejak masuknya Orde Baru belum membuahkan hasil yang diharapkan. Dan sekarang
korupsi bukan lagi kejahatan biasa tetapi sudah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa,
bahkan korupsi merupakan kejahatan yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan. Pelaksanaan
UU Tipikor sangat penting untuk mencapai tujuannya karena korupsi merajalela di Indonesia
dan menimbulkan kerugian besar bagi negara dan warganya (Wahyuningsih, 2017).
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mendefinisikan
korupsi sebagai "penyalahgunaan jabatan atau jabatan publik atau swasta untuk keuntungan
pribadi, secara langsung atau tidak langsung". Pemerintah lebih memperhatikan dan
mengawasi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara atau
penyelenggara negara dengan cara memeras masyarakat dan memerintahkan masyarakat untuk
membayar sejumlah uang guna memperoleh dokumen-dokumen yang haknya diberikan oleh
pemerintah. Kedudukannya diatur oleh Pasal 12 huruf e UU Praktik Korupsi, yang berbunyi
sebagai berikut: “Pejabat atau pengelola negara dengan maksud memperoleh keuntungan
secara tidak sah untuk diri sendiri atau orang lain (Siregar et al., 2021).
Tanda-tanda sistematisasi perilaku korupsi di Indonesia dapat dikatakan 'terus-menerus'
karena hampir setiap aktivitas kehidupan masyarakat diwarnai oleh perilaku koruptif, jika
tidak maka korupsi, bisnis dan kepentingan semua orang yang terlibat dalam kebijakan
pemerintah bermasalah. untuk mendapatkan secara tepat, mudah dan tepat. Inilah sebabnya
mengapa kehidupan masyarakat semakin buruk karena semakin banyak tindakan korupsi yang
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat, sehingga sulit untuk memberantasnya.
Adanya peluang yang dapat dimanfaatkan menjadi salah satu penyebab praktik ini terus
terjadi di Indonesia. Hukum, prosedur dan lembaga biasanya sesuai dengan penuntutan efisien
korupsi kecil dan rata-rata. Ketentuan yang telah ditetapkan tidak memperhitungkan rincian
tingkat korupsi yang tinggi, terutama cara canggih yang digunakan oleh penjahat yang terlibat
dalam sistem untuk menggunakan dan menyamarkan kegiatan ilegal mereka. Korupsi tingkat
tinggi memobilisasi sumber daya yang besar untuk menyamarkan "biaya keanggotaan",
"komisi", dan "suap", dan memindahkan aset yang diperoleh untuk mengamankan
perlindungan finansial. Selain itu, saat mengusut kasus korupsi tingkat tinggi, aparat penegak
hukum kerap menghadapi campur tangan dari biro pemerintah. Bukannya mampu melakukan
penyelidikan sesuai keinginan mereka sendiri, mereka seringkali diwajibkan untuk mengikuti
perintah dari atasan yang dekat dengan struktur kekuasaan politik dan mungkin mencoba
mempengaruhi jalannya penuntutan.
Melihat urgensi negara terhadap upaya dalam mengatasi tindak pidana korupsi yang
hingga saat ini masih terus meningkat berdasarkan regulasi maupun perundang-undangan yang
telah berlaku, maka penulisan ini membahas terkait tingkat efektivitas yang dihasilkan dari
penerapan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah
yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu:
1. Bagaimana efektivitas penerapan hukuman mati terhadap para pelaku tindak pidana
korupsi di Indonesia?
2. Apa saja kelebihan dan kekurangan dari hukuman mati?
TUJUAN
Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, maka tujuan yang dalam penulisan ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui efektivitas penerapan hukuman mati terhadap para pelaku tindak
pidana korupsi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui apa saja kelebihan dan kekurangan dari hukuman mati.
MANFAAT
Berdasarkan uraian tujuan di atas, maka manfaat yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu:
1. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang bagaimana efektivitas penerapan
hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia.
2. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca tentang kelebihan dan
kekurangan dari hukuman mati.
PEMBAHASAN
Sebagai negara yang akrab dengan korupsi, Indonesia menduduki peringkat ke-89 dari 180
negara di dunia pada tahun 2018. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan antikorupsi di Indonesia
masih lemah dan lamban. Salah satu faktor kunci pemberantasan korupsi adalah aspek penegakan
hukum. Penegakan hukum mengacu pada upaya aparat penegak hukum untuk menghilangkan
tindak pidana yang merugikan di negara tersebut. Indonesia adalah negara hukum. Dengan
demikian, Indonesia menghormati dan menegakkan hukum baik secara vertikal (antara negara dan
masyarakat) maupun secara horizontal (antara anggota masyarakat dengan orang lain). Istilah
hukum negara adalah penggunaan kombinasi khusus dari dua kata tertentu; Negara dan hukum. Hal
ini menekankan pada bentuk dan sifat hubungan timbal balik antara negara dan hukum. Tujuan
negara adalah memelihara ketertiban dalam hubungannya dengan hukum (Manik & Sunarso,
2020).
Meski Indonesia sudah memiliki dokumen hukum mengenai pendeteksian dan penuntutan
tindak pidana yang merugikan ini, sanksi terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia masih
tergolong ringan dibandingkan dengan banyak negara lain. Menurut aktivis pengawas korupsi
Indonesia, Tama S. Langung, rata-rata koruptor hanya divonis dua hingga lima tahun penjara dalam
beberapa tahun terakhir. Apalagi, menurut Tama, hanya segelintir pelaku korupsi yang divonis
lebih dari 10 tahun penjara. Misalnya, Kapolres Joko Sushiro hanya dijatuhi hukuman 10 tahun
penjara karena perannya dalam akuisisi simulator SIM (SIM) yang curang. Banyak yang
menganggap keputusannya terlalu ringan dan tidak meyakinkan dibandingkan dengan barang-
barang bergeraknya yang disita, yang merupakan kerugian dari kejahatannya (Yogi Prabowo,
2014).
Kualitas dan kuantitas tindak pidana yang dapat dijatuhkan hakim berkaitan dengan ancaman
pidana yang diuraikan dalam KUHP. Pengaturan ancaman pidana dalam sistem peradilan pidana
Indonesia terletak pada adanya batasan minimal dan maksimal. Batas minimum terdiri dari
minimum umum dan minimum khusus. Hukuman minimum umum adalah satu hari penjara, dan
hukuman minimum tertentu diatur untuk tindak pidana tertentu. Tidak ada minimum khusus dalam
KUHP. Hukuman maksimum terdiri dari jumlah maksimum umum dan jumlah maksimum khusus.
Batasan tipikal termasuk 20 tahun penjara, penjara seumur hidup, dan hukuman mati. Maksimum
spesifik diatur oleh ancaman setiap pasal. Dalam Pasal 2 ayat (2) UUTPK dirumuskan sebagai
berikut. "... bisa dihukum mati." Kata-kata ini tidak mengharuskan hakim untuk menjatuhkan
hukuman mati untuk korupsi yang dilakukan dalam "keadaan tertentu" seperti yang dipersyaratkan
dalam pasal. Untuk memungkinkan hakim memilih alternatif ancaman pidana berat lainnya, tetapi
bukan hukuman mati, yaitu 20 tahun penjara atau penjara seumur hidup (Anjari, 2020)
Kesulitan lain muncul dari pemberantasan korupsi terutama dalam banyak kasus adalah
kurangnya individu korban yang memberikan bukti korupsi dan memulai penyelidikan. Kerja sama
penegakan hukum adalah kunci lain untuk pengumpulan bukti yang sukses dan tuduhan korupsi
yang efisien. Undang-undang dan peraturan tidak hanya menuntut kepatuhan yang ketat terhadap
aturan prosedural, tetapi juga menetapkan prosedur prosedural khusus untuk lembaga yang
berbeda. Badan-badan ini perlu memastikan bahwa upaya pengumpulan bukti dikoordinasikan dan
mencari saran kolektif untuk memastikan diperbolehkannya bukti dalam proses peradilan (Bank,
2003)
Sejak UU PTPK mengatur dalam pembukaannya, diharapkan upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi sebagai berikut:
1. Tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini bersifat nasional, tidak hanya merugikan
situasi keuangan tetapi juga sosial dan melanggar hak ekonomi masyarakat umum sehingga kasus
tindak pidana korupsi tergolong tindak pidana dan pemberantasannya harus dilakukan dengan cara
luar biasa.
2. Di sisi lain, dalam rangka menjamin kepastian hukum, kita menghindari penafsiran
hukum yang berbeda, melindungi hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, dan memperlakukannya
secara adil dalam pemberantasan korupsi (Fachitiandi & Permadi, 2020)
Wacana sanksi yang tepat diterapkan kepada para pelaku korupsi hingga saat ini terus bergulir,
namun yang menjadi isu paling sering dibicarakan adalah wacana bahwa sanksi yang tepat bagi
para koruptor adalah hukuman mati. Dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi Internasional
2019, Presiden Joko Widodo mengatakan jika masyarakat ingin para pelaku pidana dihukum mati
karena korupsi. Melihat desakan tersebut, pemerintah dapat mengubah ketentuan ini untuk
dimasukkan ke dalam Rancangan KUHP (RKUHP) Bidang UU Tindak Pidana Korupsi. Deklarasi
ini kemudian disetujui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly (Parwitasari,
2019).
Tidak hanya Presiden Joko Widodo dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri
Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) yaitu Mahfud MD juga secara
terbuka mendukung wacana hukuman mati bagi koruptor. Menkopolhukam juga mendorong
pencantuman ketentuan kematian sanksi bagi koruptor dalam Rancangan KUHP yang masih
dibahas DPR dan Pemerintah (Adyatama, 2019).
Perpaduan antara penegakan hukum dan hukuman mati bagi tindak pidana korupsi tentunya
dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menekan angka kejahatan korupsi. Efek jera dari jenis
kejahatan ini dikatakan dapat membantu menekan tingkat korupsi yang tidak berkurang, setidaknya
di Indonesia. Namun, jelas diragukan apakah hukuman mati efektif dalam memberantas korupsi.
Pidana mati dalam istilah hukum dikenal dengan istilah uitvoering, yang berarti penjatuhan
pidana dengan cara mencabut hak hidup seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang diatur
dalam undang-undang yang diancam dengan pidana mati. Hukuman mati berarti hilangnya nyawa
seseorang. Hukuman mati merupakan hukuman terberat dari semua jenis kejahatan dasar, sehingga
hanya dipidana terhadap pelaku kejahatan tertentu. Hukuman mati bersifat pengecualian, artinya
hukuman mati hanya diterapkan oleh hakim jika benar-benar diperlukan. Jika seorang hakim
terbukti bersalah melakukan kejahatan berat yang diancam dengan hukuman mati, hakim dapat
menjatuhkan hukuman mati. Dalam prakteknya, eksekusi hukuman mati dapat ditunda sampai
Presiden memberikan Fiat Eksekusi, artinya Presiden menyetujui eksekusi hukuman mati kepada
terpidana. Dengan demikian, hukuman mati adalah hukuman atau reaksi atau kesedihan berupa
kematian yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana yang melakukan
pelanggaran, sedangkan arti kematian yang diambil dari akar kata death berarti hilangnya nyawa
seseorang. atau tidak lagi hidup. Kematian ini akan terjadi melalui kegagalan fungsi salah satu dari
tiga pilar kehidupan (Modi of Death), yaitu: otak (sistem saraf pusat), jantung (sistem peredaran
darah), dan paru-paru (sistem pernapasan) (Fachitiandi & Permadi, 2020)
Hukuman mati memiliki kelebihan dan kekurangan di kalangan profesional hukum, bahkan di
kalangan filosof dan agama. Pendapat berbeda tentang pro dan kontra dari hukuman mati.
Hukuman mati diperlukan untuk mencegah dan menakut-nakuti penjahat, dan beberapa pendukung
hukuman mati mengatakan bahwa hukuman itu relatif tidak menyakitkan bila digunakan dengan
benar. Penentang kejahatan mengatakan hukuman mati tidak efektif sebagai penjara, terutama
karena hukuman mati sering dilakukan karena kemarahan dan emosi di luar kendali manusia.
Dalam penelitian yang dilakukan Jiangnan Zhu pada tahun 2012, menunjukkan bahwa
hukuman mati yang dijatuhkan kepada koruptor di China hanya mengurangi frekuensi penyidikan
korupsi dibandingkan dengan frekuensi korupsi. Terlepas dari ancaman korupsi yang sangat serius
di China, tingkat korupsi tidak menunjukkan penurunan yang signifikan. Meski korupsi kecil-
kecilan mungkin menunjukkan penurunan, semakin banyak kasus yang melibatkan pemain “besar”,
pejabat yang berkuasa, atau sekelompok pejabat semakin banyak ditemukan (Zhu, 2012).
Terkadang, para pelaku korupsi datang dan pergi bersama para penerusnya untuk memerangi
korupsi. Kapolri berganti, sekretaris kehakiman berganti, ketua panitia antikorupsi berganti,
presiden pun berganti, lembaga antikorupsi dibentuk, undang-undang dan peraturan disahkan,
tetapi korupsi masih ada. Tampaknya para pejabat dan pemimpin di negeri ini tidak dapat
menghentikannya dengan undang-undang atau komite dan lembaga yang ada. Berbagai penelitian
dan investigasi telah dilakukan. Berbagai seminar, diskusi dan workshop telah diadakan untuk
memberantas korupsi, namun sejauh ini korupsi belum berhenti dan semakin parah. Masyarakat
acuh, mampukah aparat penegak hukum nasional memberantas korupsi? (Yanto, 2017)
Menelusuri negara-negara dengan CPI tinggi pada 2019 menunjukkan bahwa setidaknya tiga
negara dengan CPI tertinggi, Denmark, Selandia Baru, dan Finlandia, tidak memasukkan hukuman
mati sebagai ancaman korupsi. Denmark, misalnya, telah menghapus hukuman mati sejak 1930.
Selandia Baru juga telah menghapus hukuman mati sejak tahun 1961. Sementara itu, Finlandia,
bersama Denmark dan Selandia Baru, sama sekali menghapus hukuman mati pada tahun 1972.
Salah satu negara terdekat adalah Indonesia dan Selandia Baru. Singapura menempati urutan
keempat dengan skor CPI 2019 85 dan tidak mengizinkan hukuman mati berdasarkan Undang-
Undang Anti Korupsi (Budiman, Kamilah, Maya, Iftitahsari, & Rahmawati, 2020)
Tidak ada data empiris tentang hubungan antara hukuman mati dan tingkat korupsi, tetapi
setidaknya kita dapat melihat bahwa hukuman mati tidak secara otomatis mengurangi tingkat
korupsi di negara ini. Bahkan di Cina, di mana hukuman mati tidak dinyatakan dengan jelas,
korupsi tingkat tinggi yang merugikan negara tidak berkurang secara signifikan. Tanpa ancaman
atau hukuman mati, negara-negara seperti Denmark, Selandia Baru, Finlandia, dan Singapura dapat
sepenuhnya mewujudkan cita-cita antikorupsi mereka.
Dengan pengecualian Cina, beberapa negara telah menjatuhkan hukuman penjara seumur
hidup dan hukuman mati kepada pihak berwenang untuk korupsi. Namun, meskipun belum ada
analisis statistik yang dilakukan, tampaknya berat ringannya hukuman saja tidak dapat menentukan
tingkat korupsi. Faktanya, negara-negara dengan hukuman berat umumnya tampak memiliki skor
CPI yang rendah, tetapi hukuman nominal yang tinggi tentu saja dapat berhubungan dengan tingkat
penyimpangan yang tinggi. Hukuman berat telah dijatuhkan di China, tetapi tingkat korupsi yang
tinggi tampaknya tidak menurun secara signifikan. Korupsi kecil mungkin telah berkurang dalam
beberapa tahun terakhir, tetapi kasus yang lebih baru meningkat termasuk kepemilikan besar,
pejabat tinggi, dan kelompok pejabat tinggi (Zhu, 2012).
Menempatkan orang di penjara, daripada mengeksekusi mereka, memberi mereka kesempatan
untuk diampuni, yang berarti mereka dapat melakukan lebih banyak kejahatan. Hukuman mati
berarti ketidakmampuan pelaku untuk melakukan kejahatan lainnya. Hukuman mati dapat
dibenarkan di negara-negara di mana kejahatan yang sama sedang meningkat dan kejahatan bahkan
tidak ditangani oleh polisi.
Hukuman berkomunikasi dengan penjahat lebih dari apa yang mereka lakukan salah dan
memberi mereka kesempatan untuk mereformasi dan meminta maaf untuk hal yang sama. Ada
perbedaan pandangan mengenai hal ini, seperti komunikasi, pendidikan dan re-edukasi. Namun, ide
dasarnya adalah bahwa hukuman harus membuat pelaku kesalahan memahami apa yang telah
mereka lakukan daripada membuat mereka bertobat dari reformasi. Hukuman mati tidak
memungkinkan orang tersebut untuk merenung kembali kesalahan yang telah dilakukan, tidak
seperti orang-orang yang dipenjara dan berintegrasi kembali ke dalam masyarakat. Ada banyak
contoh orang yang sebelumnya dijatuhi hukuman mati, yang membutuhkan waktu lama sebelum
dieksekusi untuk mengungkapkan pertobatan, penyesalan dan berulang kali mencari pemulihan
spiritual.
Norma masyarakat dan transparansi sistem juga menjadi tantangan terutama di negara
berkembang. Di negara maju, korupsi dianggap sebagai musuh bersama bangsa sehingga
masyarakat tidak toleran terhadap korupsi. Hal ini diikuti dengan aturan hukum yang tegas disertai
dengan penegakan hukum yang konsisten dan berlaku sama untuk semua. Peran elemen
masyarakat sipil dan media massa sangat signifikan sebagai alat kontrol. Semua kondisi tersebut
memungkinkan kode etik penyelenggara negara melekat kuat. Pencegahan korupsi tidak hanya
terbatas pada sektor publik, tetapi juga berlaku di dunia bisnis. Seharusnya Indonesia belajar dari
Negara China dan Latvia yang telah menerapkan sanksi hukuman mati terhadap pelaku korupsi di
negaranya dan terbukti mampu menurunkan tingkat korupsi di negaranya. Sayangnya, Indonesia
memiliki peraturan perundang-undangan yang membahas sanksi pidana mati yang tercantum dalam
pasal 2 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001, menunjukkan kesan yang sia-sia,
karena sulitnya penerapan sanksi pidana mati yang terkesan selektif di Indonesia tercinta ini. Jika
hal ini dibiarkan maka, tidak menutup kemungkinan terjadinya kehancuran ekonomi yang luar
biasa di Indonesia. Karena dengan semakin banyaknya koruptor di pemerintahan maka semakin
banyak pula uang negara yang akan dikorupsi, sedangkan utang Indonesia sendiri hingga saat ini
belum bisa dilunasi.
Pentingnya penerapan sanksi pidana mati terhadap tindak pidana korupsi agar menimbulkan
efek jera bagi pelaku korupsi. Padahal sanksi pidana mati untuk perkara korupsi belum pernah
diterapkan oleh majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara korupsi, karena dalam pasal
2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001 masih memiliki keadaan
tertentu sehingga menyulitkan pelaku korupsi untuk dihukum mati. Hal ini menyebabkan pelaku
korupsi tidak berkurang, malah bertambah setiap tahun. Korupsi berdampak besar pada kehidupan
masyarakat miskin.
Eksekusi pelaku kejahatan tidak boleh dibarengi dengan pelanggaran hak asasi manusia,
karena pada dasarnya orang yang korupsi menyiksa orang secara perlahan, yaitu dengan
mengelakkan haknya secara tidak sah. Bagaimanapun, orang menderita kemiskinan, kelaparan, dan
kurangnya pendidikan dan perawatan kesehatan. Karena uang rakyat dirampok dari hal-hal yang
korup. Awalnya, banyak yang percaya bahwa hukuman mati hanyalah gertakan untuk membuat
efek jera dan tidak pernah diterapkan. Tampaknya moratorium eksekusi telah dilakukan. Faktanya,
banyak terpidana mati Indonesia yang sebenarnya tidak dieksekusi. Beberapa telah dijatuhi
hukuman penjara seumur hidup, beberapa telah diampuni oleh presiden, dan yang lainnya telah
dibebaskan setelah puluhan tahun dipenjara. Sebaliknya, ada orang yang pantas dihukum mati,
seperti koruptor golongan kelas berat, namun tetap bebas berkeliaran bahkan menghilang tanpa
jejak (Aryanto, 2011).
Di taraf Internasional sendiri, perihal Hak Asasi Manusia di jelaskan dalam DUHAM pasal 3
yang berbunyi “setiap orang berhak atas kehidupan, kemerdekaan dan kemanan pribadi”, serta
dalam Kovenan Internasional tentang Hak sipil dan politik pasal 6 ayal (1) yang berbunyi “setiap
insan manusia melekat hak untuk hidup”. Kedua pasal tersebut secara jelas menjelaskan bahwa
setiap manusia mempunyai hak yang paling mendasar yaitu hak untuk hidup, dan kedua aturan
tersebut berlaku secara Internasional. Namun masih dalam aturan yang sama, dalam Kovenan
Internasional tentang hak sipil dan politik diberikan pengecualian yang dijelaskan dalam pasal 4
ayat (1), yang berbunyi “dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa, dan
keadaan itu diumumkan secara resmi, negara pihak dapat mengambil tindakan yang menyimpang
dari kewajibanya menurut kovenan ini sejauh hal itu multak diperlukan oleh kebutuhan situasi
darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa tindakan itu tidak mengakibatkan diskriminasi yang
semata-mata didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal-usul sosial”.
Pasal pengecualian tersebut senada dengan UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 yang
menjelaskan hukuman mati dalam keadaan tertentu.
Dari perspektif hak asasi manusia, Mahkamah Konstitusi memutuskan dalam Mahkamah
Konstitusi No. 3/PUUV/2007 bahwa hukuman mati untuk kejahatan berat merupakan bentuk
pembatasan hak asasi manusia. Catatan: Pelanggaran HAM. Selain itu, Majelis Ulama Indonesia
menegaskan bahwa Islam membolehkan hukuman mati dalam fatwa hukuman mati untuk
kejahatan tertentu dan bahwa negara harus mengeksekusi hukuman mati untuk tindak pidana
tertentu. MUI juga menyatakan bahwa berdasarkan hukum Djinayah (Syariah) yang dijatuhi
hukuman mati, terdakwa dapat membayar diyya (kompensasi) dan mendapat amnesti dari keluarga
korban tanpa dijatuhi hukuman mati (Rifai, 2020).
Hukuman mati bukanlah hal baru dalam hukum pidana Indonesia. Hukuman mati ada sebelum
pengenalan sistem hukum yang lebih modern. Oleh karena itu, hukuman mati disebut hukuman
lama. Namun, menurut Amnesty International, per 31 Desember 2015, hukuman mati dibagi
menjadi empat jenis di seluruh dunia (dalam hal jumlah negara yang diperlakukan berbeda). (1)
Hanya kejahatan umum yang diamortisasi. (2) Itu benar-benar dihapuskan. (3) Dihapuskan
sepenuhnya oleh hukum atau praktik: dan (4) Dipertahankan (Manik & Sunarso, 2020)
Hal ini juga dikuatkan dengan pernyataan dari Bank Dunia, korupsi menghalangi masyarakat
miskin mengakses layanan kesehatan sehingga berdampak pada kesehatan masyarakat. Minimnya
akses memaksa mereka untuk menyuap untuk mendapatkan akses tersebut. Orang miskin secara
konsisten menghabiskan 12,6 persen dari pendapatan mereka untuk suap. Secara global, setiap
tahun, uang untuk menyuap atau menyuap dalam bisnis atau pribadi mencapai 1,5 triliun dolar.
Jumlah ini setara dengan 2 persen dari PDB global atau 10 kali lebih besar dari dana bantuan
pembangunan asing. Jadi mengurangi korupsi adalah tujuan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Dalam memerangi korupsi, setiap negara memiliki aturannya masing-masing yang terlihat dari
berbagai bentuk hukuman bagi koruptor. China salah satunya yang berusaha memberantas korupsi
dengan menetapkan siapa saja yang terbukti melakukan korupsi lebih dari 100 ribu Yuan atau
sekitar Rp194 juta akan dihukum mati (Nabila, 2019)
Perdebatan tentang hukuman mati di Indonesia telah membawa kompromi terhadap RKUHP
hukuman mati yang saat ini tertunda antara DPR dan pemerintah. Kompromi yang diberikan dalam
rancangan akhir undang-undang pidana, yang disebut “Jalan Indonesia” oleh tim perumus
memperkenalkan hukuman mati, bukan lagi kejahatan besar, tetapi hukuman khusus untuk
kejahatan tertentu yang diatur secara hukum.
RKUHP juga telah memperkenalkan hukuman mati untuk masa percobaan 10 tahun,
memberikan ruang untuk pengurangan atau perubahan jenis hukuman dari hukuman mati menjadi
penjara seumur hidup. Selain itu, penggantian dimungkinkan jika seseorang ditolak amnesti tetapi
belum dieksekusi hingga 10 tahun. Dalam situasi saat ini, regulasi RKUHP tentu saja memberikan
setidaknya satu solusi atas fenomena terpidana mati di Indonesia.
Sayangnya, meskipun ketentuan masa percobaan diperkenalkan dalam pemberlakuan
hukuman mati, namun jaminan masa percobaan tidak secara otomatis diberikan kepada semua
terpidana mati. Dalam RKUHP disebutkan bahwa masa percobaan hanya dapat diberikan kepada
mereka yang secara tegas dinyatakan oleh hakim dalam putusan, untuk memperoleh masa
percobaan. Masa tunggu ini hanya dapat dikenakan kepada mereka yang menurut hakim memenuhi
kriteria tertentu: menunjukkan penyesalan dan harapan untuk perbaikan, peran yang tidak
signifikan dalam suatu tindak pidana, dan ada alasan untuk menguranginya. Ketiga kriteria ini
seharusnya menjadi alasan bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman mati, melainkan
menjatuhkan hukuman mati dengan syarat masa percobaan. Sekali lagi, sesuai dengan prinsip
pengamanan pidana mati, pidana mati hanya dapat dijatuhkan tanpa ada ruang keraguan oleh
hakim.
Dalam konteks demokrasi, penerapan hukuman mati dalam beberapa undang-undang di
Indonesia terutama dibahas di lembaga legislatif, yang pada hakekatnya adalah lembaga perwakilan
rakyat, sebagai badan hukum, perwakilan seluruh rakyat Indonesia. Menurut van Bemmelen,
mengutip J.J. Rousseau pada hakikatnya adalah seluruh hukum yang didasarkan pada kesepakatan
komunal di mana kehendak bersama diekspresikan. Jika ada suatu perbuatan yang menurut akal
sehat harus dipidana, maka harus diuraikan atau dituliskan dalam undang-undang sejak awal.
Konstruksi rinci dimaksudkan untuk menghindari pelanggaran terhadap kebebasan individu, karena
dalam kesepakatan masyarakat setiap orang hanya bersedia melepaskan sebagian kecil dari
kebebasannya dalam wadah bersama ini. Hal yang sama berlaku untuk hukuman mati (Sirin, 2013).
Jika pelaksanaan dan pengesahan pidana mati masih dimungkinkan menurut kehendak
bersama, pemidanaan itu harus berupa undang-undang (hukum) tertulis. Artinya ketentuan hukum
pidana mati di Indonesia pada dasarnya sejalan dengan kesepakatan masyarakat atau teori
konstitusi. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengaitkan ketentuan Pasal 28A dan Pasal 28I (1)
UUD 1945 dengan Pasal 28J UUD 1945.
Dari sudut pandang hukum formal, eksekusi mati di Indonesia adalah benar. Hal ini terlihat
dalam beberapa pasal tentang hukum pidana sebagai kodifikasi hukum pidana Indonesia, termasuk
ancaman pidana mati. Sifat hukuman mati dalam hukum positif Indonesia selama ini merupakan
kejahatan besar. Dalam kebijakan hukum pidana sebelumnya (hukum pidana), pidana mati tidak
dirumuskan secara individual (secara wajib atau mutlak) dan hanya diancam dengan tindak pidana
tertentu sebagai alternatif tindak pidana berat lainnya. Hukuman mati adalah hukuman utama,
tetapi sanksi itu sebenarnya adalah "kejahatan utama dari karakter tertentu dan selalu terancam oleh
alternatif." Ancaman alternatif ini berarti bahwa hukuman mati dapat dilihat sebagai upaya terakhir
atau last resort untuk melindungi warga negara Indonesia (Risva, 2014).
Jika terpidana melakukan kejahatan berat yang diancam dengan hukuman mati, hakim dapat
menjatuhkan hukuman mati kepada orang tersebut. Dalam praktiknya, eksekusi hukuman mati
dapat ditunda sampai presiden mengeluarkan perintah eksekutif, artinya presiden menyetujui
eksekusi hukuman mati terhadap terpidana. Jadi, hukuman mati adalah hukuman atau reaksi atau
kesedihan berupa kematian yang diterapkan kepada pelaku yang melakukan pelanggaran,
sedangkan kamar mayat berasal dari akar kata death yang berarti kerugian. kehidupan manusia.
atau tidak hidup. Kematian ini akan terjadi karena disfungsi salah satu dari tiga pilar kehidupan
(Modi of Death), yaitu: otak (sistem saraf pusat), jantung (sistem peredaran darah) dan paru-paru
(sistem pernapasan) (Fachitiandi & Permadi, 2020).
Dapat dikatakan bahwa terkadang hukuman mati dapat dibenarkan dan harus disajikan dengan
cara yang tampaknya masuk akal tidak hanya bagi pelakunya tetapi juga bagi masyarakat luas.
Singkatnya, harus berdampak dan masyarakat harus belajar darinya, tidak sekadar menawarkan hal
yang sama dengan balas dendam. Untuk pelanggaran ringan dan pelanggaran yang hukumannya
cukup, pelaku biasanya tidak menerima hukuman mati dan mereka sering dibebaskan sebagai
individu dari penjara. Namun hal ini tidak terjadi pada tindak pidana korupsi yang tergolong dalam
jenis tindak pidana yang berat terlebih jika merugikan banyak lapisan masyarakat.
DAFTAR RUJUKAN
Adyatama, E. 2019. Mahfud MD Setuju Koruptor Dihukum Mati. Diambil 23
November 2021, dari https://nasional.tempo.co/read/1282173/mahfud-md-setuju-koruptor-
dihukum-mati
Anjari, W. 2020. Penerapan Pidana Mati Terhadap Terpidana Kasus Korupsi. Masalah-
Masalah Hukum. 49(4): 432–442.
Anshari., dan Fajrin, M. 2020. Urgensi Ancaman Hukuman Pidana Mati Pada Pelaku
Tindak Pidana Korupsi (Analisis Yuridis Normatif Terhadap Kebijakan Hukum
Pidana/Penal Policy Sanksi Pidana Mati di Indonesia). Jurnal Res Judicata. 3(1): 26-50.
Bank, A. D. 2003. OECD -Effective Prosecution of Corruption. Manila: The Asian
Development Bank.
Budiman, A. A., Kamilah, A. G., Maya, G. A. K., Iftitahsari, & Rahmawati, M. (2020).
2020 Indonesian Death Penalty Report: Taking Lives During Pandemic. Institute for
Criminal Justice Reform. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform.
Fachitiandi, A. R., & Permadi, A. S. 2020. Criminal Law Policy Through the
Application of Capital Punishment on Corruption in Indonesia. International Journal of
Multi Science. 1(5): 47–57.
Manik, T. S., & Sunarso, S. 2020. Death Penalty for Corruptors: Between the Human
Rights and Challenges of Progress in Indonesian Law. FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum.
14(3): 233.
Pakpahan, E. F. 2021. Implementation of Corruption Criminal Sanctions AgaintCountry
Officers Who Conducted Criminal Act of Corruption During Covid 19. Hukum Universitas
Prima Indonesia: 219–228.
Parwitasari, W. 2019. Death for graft convicts? Possible if public wants it: Jokowi.
Diambil 23 November 2021, dari https://www.thejakartapost.com/news/2019/12/09/death-
for-graft-convicts-possible-if-public-wants-it-jokowi.html
Siregar, E. Y., Sriono, S., & Siregar, M. Y. 2021. Legal Examination of Corruption on
Social Assistance in State Officers in State during Emergencies/National Disasters. Budapest
International Research and Critics Institute (BIRCI-Journal): Humanities and Social
Sciences. 4(2): 1916–1924.
Wahyuningsih, S. E. 2017. The Implementation Of Criminal Sanction To The Actors Of
Corruption In Indonesia. International Journal of Business, Economics and Law. 2(3): 161–
165.
Yanto, O. 2017. Penjatuhan Pidana Mati Pelaku Tindak Pidana Korupsi dalam Keadaan
Tertentu. Jurnal Legislasi Indonesia. 14(1): 49–56.
Yogi Prabowo, H. 2014. To Be Corrupt Or Not To Be Corrupt: Understanding The
Behavioral Side Of Corruption In Indonesia. Journal of Money Laundering Control. 17(3):
306–326.
Zhu, J. 2012. Do Severe Penalties Deter Corruption? A Game-Theoretic Analysis Of The
Chinese Case. China Review. 12(2): 1–32.

Anda mungkin juga menyukai