Anda di halaman 1dari 40

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MEMUTUSKAN KASUS SUAP

PINANGKI DITINJAU DARI ASAS KEADILAN

(Studi Putusan nomor 10/Pid.TPK/2021/PT DKI)

Disusun Oleh :

Apri Setia Wiratama

19010000053

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MERDEKA MALANG

2022

PAGE \* MERGEFORMAT38
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Praktik korupsi di Indonesia sudah hampir terjadi dalam segala sendi

kehidupan masyarakat baik dalam badan yang bersifat publik maupun badan

yang bersifat privat, yang berhubungan dengan bisnis maupun pemerintah.

Jika dapat diibaratkan sebagai penyakit, maka korupsi adalah suatu penyakit

yang sudah sampai pada tahap yang parah atau kronis dan sulit untuk

diobati. Pemberantasan tindak pidana korupsi terbilang cukup sulit karena

sangat kompleks dan menyangkut dengan permasalahan seputar perbuatan

yang berkaitan dengan moralitas seseorang, budaya masyarakat, politik yang

sedang berjalan disebuah masyarakat, ekonomi, lemahnya birokrasi atau tata

cara administrasi dalam keuangan instansi dan pelayanan umum.

Korupsi adalah sesuatu yang jahat, busuk, dan merusak. Korupsi erat

kaitannya dengan sifat, moral dan keadaan yang jahat, terkait jabatan di

suatu instansi atau lembaga pemerintah, adanya pemberian yang

mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan, adanya faktor politik dan

ekonomi.

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechttstaat),

tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Penjelasan mengenai Indonesia

adalah negara hukum terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang

PAGE \* MERGEFORMAT38
Dasar 1945 yang mempertegas konseo negara hukum dengan

menyatakan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”. Hukum

menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan

serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang

yang secara nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan

hukum yang mungkin akan terjadi dan kepada alat perlengkapan negara

untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian

ini merupakan salah satu bentuk penegakkan hukum.1

Salah satu tindak pidana yang diatur di dalam hukum pidana positif

adalah tindak pidana korupsi. Korupsi dianggap sebagai kejahatan yang

sangat merugikan perekonomian negara.2 Maka tidak heran bila

masyarakat membenci tindak pidana korupsi karena dampaknya yang

menghambat pembangunan nasional dan juga menghambat upaya

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Budaya konsumtif yang

berkembang dimasyarakat menjadi salah satu pendorong budaya korupsi

di Indonesia.3 individu selalu dituntut mengikuti gaya hidup masyarakat

sekitar, sehingga keseimbangan antara pendapatan yang kecil dan

kebutuhan yang semakin meningkat, membuat korupsi harus dilakukan


1
Evi Hartant. Tindak Pidana Korupsi Cet Ke-3. (Jakarta : Sinar Grafika, 2009). Hlm. 1
2
Ni Luh Gede Yogi Arthani. Budaya Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. https://media.neliti.com/media/publications/73080-ID-budaya-hukum-dalam-
pemberantasan-tindak.pdf. Diakses pada tanggal 20 Januari 2022.
3
Giska Salsabella Nur Afifah dan Muh Ilham Bintang. Hubungan Konsumtif Dan
Hedonis Terhadap Intensi Korupsi. Jurnal Ilmu Hukum Humaniora dan Politik Volume 1,
Issue 1, September 2020: 62. diakses pada tanggal 20 Januari 2022. Doi:
10.31933/jihhp.v1i1.358.

PAGE \* MERGEFORMAT38
dan menjadi jalan yang dihalalkan.Korupsi bukanlah hal yang asing lagi di

negeri ini. Korupsi di Indonesia bahkan sudah tergolong extra-ordinary

crime atau kejahatan luar biasa karena telah merusak, tidak saja keuangan

Negara dan potensi ekonomi Negara, tetapi juga telah meluluhkan pilar-

pilar sosio budaya, moral, politik, dan tatanan hukum keamanan nasional.4

Korupsi secara langsung juga dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara sehingga keuangan negara menjadi berkurang

dan terganggu serta mengakibatkan dampak negatif yang cukup luas dan

dapat membawa negara ke jurang kehancuran.5 Pengaturan terkait

pemberantasan tindak pidana korupsi awal dirumuskan di dalam Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Namun bila disandingkan dengan dinamika masyarakat yang

selalu berkembang pesat, maka hukum yang ada diharapkan untuk bisa

mengikuti perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, di saat Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dirasa sudah tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hukum

masyarakat yang dinamis, maka perlu undang-undang lain yang bisa

menggantikan atau menyempurnakannya dari situ terbitlah UU Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengisi

4
Muhammad Hatta. Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime). (Lhokseumawe:
Unimalpress, 2019). Hlm 4
5
Edi Yunara., Korupsi dan Pertanggung jawaban Pidana Korupsi Berikut Studi Kasus.
(Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti, 2012). hlm 1

PAGE \* MERGEFORMAT38
kekosongan hukum yang ada pada saat itu lalu direvisi melalui UU Nomor

20 Tahun 2001 pada beberapa pasalnya.

Diantara banyaknya delik dalam Tindak Pidana Korupsi, salah satu

tindakan yang paling banyak dilakukan oleh Sebagian besar koruptor

adalah Tindak Pidana Suap. Tindak pidana suap menjadi salah satu tindak

pidana yang paling sering dilakukan oleh pejabat negara. Salah satu kasus

suap yang pernah terjadi di Indonesia pada tahun 2019 adalah terkait

kasus penyuapan Lasito selaku Hakim Pengadilan Negeri Semarang yang

dilakukan oleh Bupati Nonaktif Jepara, Ahmad Marzuqi. Terdakwa dijatuhi

hukuman 3 tahun dan denda sebesar Rp 400 juta. Sedangkan Lasito

dalam berkas perkara lainnya dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri

Semarang dengan vonis 4 tahun penjara dan denda 400 juta rupiah.

Tindakan suap ini dilakukan untuk mempengaruhi putusan gugatan

praperadilan yang diajukan oleh Ahmad Marzuqi.

Dalam hal mengelola harta benda hasil kejahatan sekarang para

pelaku kejahatan semakin berkembang dalam hal upaya menyamarkan

asal-usul harta benda hasil kejahatan. Hal ini tidak selalu dibarengi dengan

kemampuan aparat penegak hukum kita untuk mengatasi dan

menanggulangi hal tersebut, maka dari itu diperlukan suatu kebijakan

penanggulangan yang efektif dalam mengatasi tindak pidana pecucian

uang yang dilakukan pelaku kejahatan dalam menyamarkan hasil

PAGE \* MERGEFORMAT38
kejahatan mereka.6 Tindak Pidana Pencucian Uang atau money laundering

adalah serangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh

seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasal

dari tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau

menyamarkan, asal-usul tersebut dari pemerintah atau otoritas yang

berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara

lain dan terutama memasukan uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan

dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.

Dalam penelitian ini penulis didukung oleh dua putusan untuk

membantu penulis dalam memecahkan rumusan masalah. Dua putusan

tersebut yakni putusan kasus Pinangki Sirna Malasari dan kasus Djoko

Soegiarto Tjandra. Sampai dengan bulan November 2021, Putusan

Pinangki Sirna Malasari dengan ini dengan nomor: 10/PID.SUS-TPK/2021/

PT. DKI dan Putusan Djoko Soegiarto Tjandra dengan nomor

14/PID.TPK/2021/PT DKI telah putus pada tingkat banding.

Kasus yang penulis angkat merupakan kasus yang masuk kedalam

kategori suap, dimana pelaku pertama yaitu Pinangki Sirna Malasari selaku

mantan Kepala Jaksa Agung Muda, Kejaksaan Agung (KEJAGUNG)

terbukti menerima uang suap US$ 500 ribu dari pelaku kedua yaitu Djoko

Soegiarto Tjandra. Kedua, Pinangki terbukti melakukan pidana pencucian

6
Gandhung Wahyu F.N dan Joko Supriyanto. Urgensi Penanggulangan Tindak Pidana
Pencucian Uang Pada Kasus Korupsi. Recidive Vol. 3 No. 3 September-Desember 2014:
249. Diakses pada tanggal 23 Januari 2022. Doi: https://jurnal.uns.ac.id.

PAGE \* MERGEFORMAT38
uang sejumlah US$375.229 atau Rp 5,25 miliar, serta dinyatakan terbukti

melakukan pemufakatan jahat bersama Djoko Tjandra, Andi Irfan Jaya,

dan mantan kuasa hukum Djoko Soegiarto Tjandra, Anita Kolopaking.

Pada tingkat I, pelaku pertama dituntut oleh Jaksa selama 4 tahun

penjara dan divonis oleh Hakim selama 10 tahun penjara, lebih tinggi dari

tuntutan Jaksa. Namun pada tingkat banding, Majelis Hakim mengabulkan

tuntutan jaksa sehingga memangkas vonis kurungan penjara menjadi 4

tahun penjara kepada pelaku pertama. Dan pelaku kedua dengan susunan

Majelis Hakim yang hampir sama, divonis pada tingkat pertama dari 4,6

tahun penjara menjadi 3,6 tahun.

Praktik tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh seorang Jaksa

serta penjatuhan vonis yang kurang sebanding terhadap tindak pidana

korupsi menjadi sebagian kecil dari banyaknya faktor rendahnya

kepercayaan rakyat terhadap Lembaga Kejaksaan. Dalam hal penjatuhan

vonis bagi para terdakwa korupsi senyatanya di lapangan masih marak

ditemukan penjatuhan hukuman yang kurang sebanding dengan kerugian

yang dialami negara. Hukuman tindak pidana korupsi cenderung lebih

ringan dibandingkan hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa tindak

pidana umum yang hanya merugikan korban.

Secara yuridis memerangi tindak pidana pencucian uang diawali

dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang

Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan

PAGE \* MERGEFORMAT38
Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 dan yang terbaru yaitu Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia. 7 Penanganan peranan kunci

dari mekanisme pemberantasan tindak pidana pencucian uang di

Indonesia ada di tangan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Kuangan

selanjutnya disingkat PPATK. Dua tugas utamanya yaitu : mendekteksi

terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal (predicate

crimes).

Permufakatan jahat dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal

15 UU PTPK8. Pasal tersebut mengatur adanya ancaman pidana bagi

setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan

jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. Sanksinya pun cukup berat

terutama apabila dilakukan oleh pejabat negara. UU PTPK bahkan

memberikan sanksi penjara dan denda minimal bagi pejabat negara yang

melakukan tindak pidana ini baik itu pidana penjara maupun pidana denda.

Kasus yang sempat menjadi perdebatan publik adalah adanya

permufakatan jahat dalam kasus permufakatan kejahatan pinangki sirna

malasari dengan djoko candra, Kasus terkait permufakatan jahat sangatlah

menarik untuk dikaji sebab dalam praktiknya permufakatan jahat

melibatkan orang-orang yang sangat berpengaruh, proses pembuktiannya


7
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
8
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Pasal 15

PAGE \* MERGEFORMAT38
juga tidak mudah dan sering terdapat pro kontra berkaitan dengan

pembuktian unsur kesepakatan dalam tindak pidana ini. Permufakatan

jahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP) terjadi apabila dua orang

atau lebih sepakat akan melakukan kejahatan. Berdasarkan konstruksi

hukum dalam Pasal 88 KUHP maka permufakatan jahat dianggap telah

terjadi setelah dua orang atau lebih mencapai kesepakatan untuk

melakukan kejahatan. Pada dasarnya Pasal 88 KUHP mengkehendaki

adanya sanksi pidana terhadap niat jahat untuk melakukan tindak pidana

tertentu.9

Menurut Sudikno Mertokusumo Putusan Hakim adalah Suatu

pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu,

diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau

menyelenggarakan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. 10

Ketika Hakim membuat suatu putusan harus memerhatikan segala aspek

didalamnya, yaitu mulai dari perlunya kehati-hatian, sedikit mungkin

dihindari adanya ketidakcermatan dan kelalaian, baik bersifat formal

maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Di

dalam diri Hakim tersebut hendaknya lahir, tumbuh, dan berkembang

adanya sikap/sifat “Kepuasan” moral jika putusan yang dibuat itu dapat
9
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 88
10
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia
Perspektif Teoritis, Praktik Teknik Membuat dan Permasalahannya, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2015), hlm 56

PAGE \* MERGEFORMAT38
menjadi tolok ukur untuk kasus yang sama, sebagai bahan referensi bagi

kalangan teoritis, akademisi, dan praktisi hukum serta untuk memenuhi

rasa “Kepuasan nurani” tersendiri bagi hakim bersangkutan apabila

putusan yang dibuatnya sampai “Dikuatkan” dan “Tidak dibatalkan” oleh

pengadilan tinggi ataupun Mahkamah Agung jika perkara tersebut sampai

di tingkat banding ataupun kasasi.11 Penanganan kasus Pinangki Sirna

Malasari dikerjakan oleh Kejaksaan Agung, namun publik mulai meragukan

penanganan oknum jaksa apabila dilakukan oleh institusi yang

menaunginya karena dinilai adanya konflik kepentingan. Peran hakim

dalam proses ini sangat penting, karena hakimlah yang akan mengambil

keputusan tentang suatu perkara pidana. Keputusan hakim tersebut

kemudian akan menjadi dasar untuk proses selanjutnya. Oleh karena itu,

keputusan hakim sebagian besar merupakan penentu keadilan, dan juga

salah satu langkah untuk meminimalisir adanya kasus serupa yang terjadi

pada pejabat publik di Indonesia.

Oleh karena itu, hal inilah yang mendorong penulis untuk membuat

penelitian terhadap kelayakan vonis yang diberikan oleh hakim terhadap

kasus Pinangki dengan judul, “DASAR PERTIMBANGAN HAKIM

MEMUTUSKAN KASUS SUAP PINANGKI DITINJAU DARI ASAS

KEADILAN (Studi Putusan nomor 10/Pid.TPK/2021/PT DKI)”.

11
Ibid

PAGE \* MERGEFORMAT38
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor

10/Pid.TPK/2021/PT DKI ditinjau dari asas keadilan?

2. Bagaimana putusan hakim terhadap tersangka korupsi dengan

menjatuhkan hukuman pidana lebih ringan di bandingkan amar

JPU?

B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisis dasar pertimbangan hakim dalam putusan

nomor 10/Pid.TPK/2022/PT DKI ditinjau dari asas keadilan.

2. Untuk menganalisis putusan hakim terhadap tersangka korupsi

dengan menjatuhkan hukuman pidana lebih ringan di bandingkan

amar JPU.

C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan

penjelasan dalam Penetapan putusan vonis hakim terhadap

pinangki serta kajian untuk studi kelayakan sebuah putusan hakim

terhadap terpidana korupsi yang termasuk dalam kategori kejahatan

luar biasa. Penelitian ini juga dapat menambah variasi insight

terhadap putusan hakim dalam acara hukum pidana, sehingga tidak

PAGE \* MERGEFORMAT38
terjadi kesalahan putusan yang dapat mengakibatkan kerugian bagi

para pihak atas putusan pengadilan tersebut.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Pemerintah

Manfaat penelitian ini bagi pemerintah adalah sebagai

bahan hukum dan pertimbangan bagi pemerintah dalam merevisi

atau menambahkan peraturan perundang-undangan tentang

tipikor dan pencucian uang dalam penerapannya di dalam negara

Indonesia agar tidak terjadi konflik peraturan yang akan merugikan

korban pencari keadilan.

b. Bagi Akademisi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber kajian

informasi yang berguna sebagai referensi bahan bacaan mengenai

tindak pidana kejahatan luar biasa korupsi, disertai masalah di

dalam peraturan perundang-undangan tersebut bagipara dosen

maupun mahasiswa.

c. Bagi Masyarakat

Dari penelitian ini diharapkan masyarakat mengetahui

bahwa tindak pidana korupsi yang telah berkembang dan

diharapkan masyarakat semakin teredukasi dengan pemahaman

peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana kejahatan

luar biasa korupsi

PAGE \* MERGEFORMAT38
d. Bagi Mahasiswa Fakultas Hukum

Dari penelitian ini diharapkan mahasiswa hukum dapat

menjadikan penelitian ini sebagai rujukan agar bisa dijadikan

referensi atau studi literatur untuk perkuliahan dan referensi

tentang putusan hukum mengikat atau sebagai data pendukung

dalam kegiatan perkuliahan atau kegiatan umum pada

masyarakat.

E. Metode Penelitian
1. Metode penelitian pada dasarnya merupakan langkah yang dimiliki

dan dilakukan oleh peneliti dalam rangka mengumpulkan informasi

atau data serta melakukan investigasi pada data yang telah

didapatkan tersebut. Dan penelitian hukum adalah suatu proses untuk

menemukan aturan – aturan hukum, prinsip – prinsip hukum, maupun

doktrin – doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 12

Sehubungan dengan masalah yang diteliti maka dalam menyusun

skripsi ini, metode yang digunakan ialah metode penelitian hukum

yuridis normatif. Metode penelitian skripsi ini dapat dijelaskan sebagai

berikut

2. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Kualitatif. Menurut

Sugiyono (2012: 207) bahwa salah satu asumsi tentang gejala dalam

penelitian kualitatif adalah bahwa gejala dari suatu objek itu bersifat
12
Suratman dan H.Philips Dillah, 2014, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, hlm 32

PAGE \* MERGEFORMAT38
holistik (menyeluruh, tidak dapat dipisah-pisahkan), sehingga peneliti

kualitatif tidak akan menetapkan penelitiannya hanya berdasarkan

variabel penelitian, tetapi keseluruhan situasi sosial yang diteliti yang

meliputi aspek tempat (place), pelaku (actor), dan aktivitas (activity).

Yang berinteraksi secara sinergis. Moleong (2006: 92) menyatakan

fokus penelitian merupakan pedoman untuk mengambil data apa saja

yang relevan dengan permasalahan penelitian.

3. Sumber Data

Dalam penulisan skripsi ini, untuk mempermudah

mengidentifikasikan sumber bahan, maka bahan yang digunakan

dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis sumber bahan , yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini

adalah bahan hukum primer yang memiliki kekuatan

mengikat dan berlaku berupa :

1) Undang – Undang Dasar 1945

2) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP)

3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

b. Bahan Hukum Sekunder

PAGE \* MERGEFORMAT38
Sumber bahan hukum sekunder adalah bahan

hukum yang berupa buku – buku atau artikel – artikel

yang dapat mendukung penulis penelitian ini untuk

memperkuat data yang diperoleh dari data primer, yaitu

buku – buku hukum, jurnal – jurnal hukum, karya tulis

hukum, pandangan ahli hukum atau doktrin, hasil

penelitian, skripsi dan makalah.13

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang

memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

penunjang di luar bidang hukum seperti kamus besar

bahasa Indonesia, ensiklopedia, dan kamus hukum

sepanjang memuat informasi yang relevan dengan objek

kajian dalam penelitian ini.

4. Teknik Pengumpulan Bahan

Metode pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini

meliputi metode kepustakaan dan dokumentasi. Metode

kepustakaan ataupun studi kepustakaan merupakan teknik

pengumpulan data yang dilakukan dengan menggali data dari


13
Suharsini Arikunto, 2006, Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi VI,
Jakarta: Rineka Cipta, hlm 231

PAGE \* MERGEFORMAT38
buku – buku literatur ilmiah, peraturan perundang – undangan

yang berlaku, dokumen – dokumen dan kepustakaan lain yang

berhubungan dengan masalah penelitian. Dokumentasi

dilakukan dengan cara pengumpulan catatan transkip dan buku

– buku. Metode dokumentasi ini penulis lakukan dengan cara

memahami isi dan arsip dokumen putusan berkaitan dengan

masalah yang dibahas.14 Sebagai tambahan lainnya dapat

diperoleh pada bacaan buku – buku, pendapat sarjana, surat

kabar, artikel, kamus, dan juga berita yang diperoleh dari

internet.

F. Analisis Data
Analisis data adalah mekanisme mengorganisasikan data dan

mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan uraian dasar sehingga

dapat ditemukan tema dan hipotesis kerja yang diterangkan oleh data.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah diarahkan untuk

menjawab rumusan masalah yaitu dengan yuridis normatif bersifat

kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang

terdapat dalam peraturan perundang – undangan dan putusan

pengadilan serta norma – norma yang hidup dan berkembang dalam

masyarakat.15 Proses dari dokumen – dokumen dengan cara

14
Zainudin Ali, 2014, Metode Penelitian Hukum , Cet 5, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 7
15
Ibid, hlm 105

PAGE \* MERGEFORMAT38
mengorganisasikan data, memilih mana yang penting dan akan dipelajari

dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami.16 Adapun analisis

data yang dilakukan seperti dengan menggambarkan kronologi kasus,

mengumpulkan data yang diperoleh, disusun, dan diklarifikasi,

selanjutnya dianalisis dan diinterpretasikan dalam bentuk kalimat yang

sederhana dan mudah dipahami sehingga data tersebut dapat dimengerti

pengertiannya dan juga bermanfaat untuk menemukan solusi

permasalahan.

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan yang sesuai dengan Pedoman Penyusunan

Skripsi tahun 2022 Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang dimana

Pedoman tersebut memuat standarisasi dalam penulisan dan kualitas

proposa penelitian skripsi yang akan di gunakan untuk Fakultas Hukum

Merdeka Malang. Dapat diuraikan penelitian ini ke dalam 4 (empat) bab

yang bertujuan untuk memudahkan pembaca dalam memahami isi dari

penelitian. Sistematika yang dimaksud yaitu sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan, pada bab ini akan membahas mengenai latar

belakang, rumusan masalah, maksud dan tujuan penelitian, manfaat

penelitian, metode penelitian, analisis data, sistematika penulisan.

16
Sugiyono, 2013, Metode Penelitian Kombinasi, Bandung: CV Alvabeta, hlm 333

PAGE \* MERGEFORMAT38
BAB II Tinjauan Pustaka, pada bab ini akan membahas mengenai

tinjauan umum tentang Tinjauan umum tentang tindak pidana, tindak

pidana suap, dan putusan hakim.

BAB III Pembahasan, pada bab ini akan menjelaskan tentang dasar

pertimbangan hakim dalam putusan nomor 10/Pid.TPK/2021/PT DKI

ditinjau dari asas keadilan dan Pembahasan tentang putusan hakim

terhadap/ tersangka korupsi dengan menjatuhkan hukuman pidana lebih

ringan di bandingkan amar JPU

BAB IV Penutup, Pada bab ini terdapat bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari bab - bab sebelumnya, dimana dalam bab penutup

penulis akan menguraikan kesimpulan yang didapat dari keselurahan

uraian di atas, terutama pada pokok bahasan bab III, teradapat pendapat

saran – saran sehubungan dengan uraian sebelumnya.

H. Rencana Jadwal Kegiatan

NO KETERANGAN MARET APRIL MEI JUNI JULI

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Pengerjaan
Proposal

2 Persetujuan
Proposal

PAGE \* MERGEFORMAT38
3 Seminar Proposal

4 Penulisan

5 Penulisan Skripsi

6 Ujian Skripsi

PAGE \* MERGEFORMAT38
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana


1. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

yang selanjutnya disebut KUHP, dikenal dengan istilah “Stratbaar

Feit”. Istilah stratbaar feit dalam bahasa Indonesia diterjemahkan

dalam berbagai istilah yaitu tindak pidana, peristiwa pidana, delik,

pelanggaran pidana, perbuatan yang boleh dihukum, dan perbuatan

pidana. Dalam kepustakaan hukum pidana sering menggunakan

istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan

undang-undang dengan menggunakan istilah peristiwa pidana,

perbuatan pidana atau tindak pidana.

Menurut J.E Jonkers17 yang merumuskan peristiwa pidana

sebagai berikut :

“Perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang


berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang
dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.

Kemudian menurut Simons18 yang merumuskan pengertian

tindak pidana adalah sebagai berikut :

17
Adami Chazawi, 2012, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1¸Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, hlm 75
18
Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
Malang: UMM Press, hlm 105

PAGE \* MERGEFORMAT38
“Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan
sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang
dapat dipertanggung-jawabkan atas tindakannya, dan yang oleh
undangundang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang
dapat dihukum”.

Lebih lanjut menurut Kanter dan Sianturi19 memberikan

pengertian tindak pidana sebagai berikut :

“Tindak pidana ialah suatu tindakan pada tempat, waktu dan


keadaaan tertentu, yang dilarang (atau diharuskan) dan
diancam dengan pidana oleh Undang-undang bersifat melawan
hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang
(yang mampu bertanggung jawab)”.

Begitu berpengaruhnya pandangan ahli-ahli hukum luar

terkhusus belanda, sehingga umumnya diikuti oleh ahli-ahli hukum

pidana Indonesia, termasuk generasi sekarang. Komariah E.

Sapardjaja misalnya mengartikan tindak pidana sebagai :

“Suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik,


melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan
itu”.20

Hal serupa dikemukakan Indriyanto Seno Adji yang mengartikan

tindak pidana sebagai :

“Perbuatan seseorang yang diancam pidana, perbuatannya


bersifat melawan hukum, terdapat suatu kesalahan dan bagi
pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya”.21

19
Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Bandung: PT Rafika
Aditama, hlm 98
20
Komariah E Sapardjaja, 2002, Ajaran Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana
Indonesia Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi,
Bandung: Alumni, hlm 22
21
Indriyanto Seno Adji, 2002, Korupsi dan Hukum Pidana, Kantor Pengacara Konsultan
Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, Jakarta, hlm 155

PAGE \* MERGEFORMAT38
Sementara menurut Moeljatno22 dalam bukunya bahwa

pengertian perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh

suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka tindak pidana

dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan oleh

seseorang yang mana perbuatan itu melanggar apa yang dilarang

atau yang diperintahkan oleh undang-undang dan diberi sanksi

berupa sanksi pidana.

Berkaitan dengan dilarang dan diancamnya suatu perbuatan

pidana, ada dasar pokok yang mengaturnya yaitu “Asas legalitas”

(Principle of Legality). Asas legalitas merupakan asas yang

menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam peraturan

perundang-undangan. Asas ini dikenal dengan Adagium yaitu Nullum

Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege Poenali yang artinya tidak

ada tindak pidana/delik, tidak ada hukuman tanpa peraturan yang

mendahuluinya.

Adagium Nullum Delictum Noella Poena Sine Praevia Lege

Poenali, berasal dari von Feurbach, seorang sarjana hukum pidana

22
Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, hlm 59

PAGE \* MERGEFORMAT38
Jerman (1775 - 1833). Menurut von Feurbach 23, asas legalitas

mengandung tiga unsur, yaitu :

a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan


pidana jika hal itu belum dinyatakan dalam suatu aturan
undangundang
b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
digunakan analogi
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), setiap

tindak pidana pada umumnya dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang

terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Terhadap unsur-unsur

tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

a) Unsur Subjektif

Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri

si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan

termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di

dalam hatinya.24 Unsur-unsur subjektif itu adalah sebagai

berikut:25

1) Kesengajaan atau kelalaian


2) Maksud dari suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP

23
Ibid, hlm 27
24
P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang, 2014, Dasar-Dasar Hukum
Pidana di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 192
25
Evi Hartanti, 2012, Tindak Pidana Korupsi: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 5

PAGE \* MERGEFORMAT38
3) Berbagai maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan
pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain lain
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti yang terdapat dalam
kejahatan menurut Pasal 340 KUHP.
b) Unsur Objektif

Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada

hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam

keadaankeadaan dimana tindakan-tindakan dari si pelaku itu

harus di lakukan.26 Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana

adalah sebagai berikut:27

1) Sifat melawan hukum


2) Kualitas dari pelaku, misalnya seorang pegawai negeri sipil
melakukan kejahatan yang diatur dalam Pasal 415 KUHP
3) Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai
penyebab dengan kenyataan sebagai akibat.
Berikut unsur-unsur tindak pidana menurut para pakar :

Simons28 secara sederhana menjabarkan unsur-unsur tindak

pidana, sebagai berikut :

a) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak


berbuat atau membiarkan)
b) Diancam dengan pidana
c) Melawan hukum
d) Dilakukan dengan kesalahan
e) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab
Loebby loqman,29 menyatakan bahwa unsur-unsur tindak

pidana meliputi :

a) Perbuatan manusia baik aktif atau pasif


26
P.A.F Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang, Op.Cit, hlm 193
27
Evi Hartanti, Op.Cit, hlm 5
28
Ismu Gunadi, Jonaidi Efendi dan Fifit Luthifianingsih, 2015, Cepat dan Mudah Memahami
Hukum Pidana, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 39
29
Erdianto Effendi, Op.Cit, hlm 99

PAGE \* MERGEFORMAT38
b) Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh
undang-undang
c) Perbuatan itu dianggap melawan hukum
d) Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan
e) Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Setelah menguraikan tindak pidana dari segi pengertian dan

dari segi unsur-unsur, maka kali ini akan diuraikan tentang jenis-

jenis dari tindak pidana. Secara umum tindak pidana dapat

dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu :

a) Tindak pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan

dan pelanggaran.30

1) Kejahatan
Secara doktrinal kejahatan adalah rechtdelicht, yaitu
perbuatanperbuatan yang bertentangan dengan keadilan,
terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu
undang-undang atau tidak. Misalnya : pembunuhan,
pencurian, dan sebagainya.
2) Pelanggaran
Jenis tindak pidana ini disebut wetsdelicht, yaitu
perbuatanperbuatan yang oleh masyarakat baru disadari
sebagai suatu tindak pidana, karena undang-undang
merumuskannya sebagai delik. Misalnya : pelanggaran lalu
lintas dan sebagainya.
b) Menurut cara merumuskannya, tindak pidana dapat dibedakan

atas tindak pidana formil dan tindak pidana materil.31

1) Tindak pidana formil


Adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan
pada perbuatan yang dilarang. Artinya tindak pidana
dianggap telah terjadi/selesai dilakukannya perbuatan yang
30
Ibid, hlm 117
31
Ibid, hlm 118

PAGE \* MERGEFORMAT38
dilarang undangundang, tanpa mempersoalkan akibat.
Misalnya: pencurian, dan sebagainya.
2) Tindak pidana materil
Adalah tindak pidana yang perumusannya dititik beratkan
pada akibat yang dilarang. Artinya tindak pidana baru
dianggap telah terjadi apabila akibat yang dilarang itu telah
terjadi. Misalnya : pembunuhan.
c) Berdasarkan bentuk kesalahannya, tindak pidana dapat

dibedakan atas tindak pidana kesengajaan dan tindak pidana

kealpaan (delik dolus dan delik culpa).32

1) Tindak pidana kesengajaan/ delik dolus


Adalah tindak pidana yang memuat unsur kesengajaan.
Misalnya : tindak pidana pembunuhan dalam Pasal 338
KUHP, tindak pidana pemalsuan mata uang dalam Pasal
245 KUHP, dll.
2) Tindak pidana kealpaan/ delik culpa
Adalah tindak pidana yang memuat unsur kealpaan.
Misalnya : delik yang diatur dalam Pasal 359 KUHP, yaitu
karena kealpaannya mengakibatkan matinya orang, dan
sebagainya.
d) Berdasarkan macam perbuatannya, tindak pidana dapat

dibedakan atas tindak pidana/delik comissionis, delik omissionis,

dan delik comissionis per omissionis comissa.33

1) Delik comissionis
Adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan,
yaitu berbuat sesuatu yang dilarang. Misalnya: melakukan
penipuan, pembunuhan, perjudian, dan sebagainya.
2) Delik omissionis
Adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah,
yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah. Misalnya tidak
menghadap sebagai saksi di muka persidangan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 552 KUHP.
3) Delik comissionis per omissionis comissa

32
Ibid, hlm 121
33
Ibid, hlm 120

PAGE \* MERGEFORMAT38
Adalah delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan,
akan tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misalnya
seorang ibu yang membunuh anaknya dengan cara tidak
memberi air susu (pelanggaran terhadap larangan untuk
membunuh sebagaimana diatur dalam Pasal 338 atau Pasal
340 KUHP).
Selain yang telah diuraikan diatas, dalam berbagai literatur
hukum pidana lainnya, masih ada beberapa jenis tindak pidana
lainnya.

B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Suap


1. Pengertian Tindak Pidana Suap
Untuk menciptakan kepastian hukum dan keadilan dalam

pemberantasan korupsi yang lebih baik, Pemerintah Indonesia telah

menyusun kerangka hukum berupa Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Sebagai Perubahan Atas Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, redaksi kata dari

ketentuan yang mengatur delik suap masih bertumpukan dan masih

rancu, hal itu berdampak pada implementasi oleh aparat penegak

hukum yang bersifat subjektif dan berpotensi menimbulkan

penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dalam perenapan Pasal

dan penjatuhan hukuman khususnya terkait pengawai Negeri atau

penyelenggara Negara serta Hakim yang menerima suap, sehingga

tidak sejalan dengan keadilan dan kepastian hukum.

Penyuapan adalah istilah yang tercantum dalam Undang-Undang

sebagai hadiah atau janji (giften/beloften) yang diberikan atau diterima,

PAGE \* MERGEFORMAT38
meliputi penyuapan aktif dan penyuapan pasif.34 Terdapat 3 unsur

esensial dari Tindak Pidana Suap, yaitu menerima hadiah atau janji,

sesuatu yang berkaitan pada kekuasaan yang melekat pada jabatan

dan melanggar dengan kewajiban atau tugasnya.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

1980 Tentang Tindak Pidana Suap, merupakan sebuah tindakan

pemberian atau menjanjikan sesuatu kepada orang lain dengan

maksud untuk membujuk supaya orang tersebut berbuat sesuatu atau

tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan

kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum.

Ketentuan didalam tindak pidana yang mengatur pemberian sesuatu

baik berupa hadiah atau janji, maka diantara pemberi dan penerima

suap seyogyanya mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Suap terbagi menjadi dua jenis, yaitu suap aktif (actief omkoping)

adalah suatu pihak yang memberikan atau menjanjikan sesuatu, dapat

berupa uang maupun barang yang secara sadar dan niat (oogmerk)

yang memiliki tujuan agar mengerakkan seorang pejabat

penyelenggara/pegawai negeri (dalam jabatannya) berbuat maupun

tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.

sedangkan suap pasif (passief omkoping) merupakan suatu pihak yang

menerima suatu pemberian atau janji, dapat berupa uang maupun

barang, yang secara sadar agar seorang pejabat

34
Sonata Lukman, “Tinjauan yuridis ketentuan delik suap dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,”, (Tesis Perpustakaan Universitas
Indonesia, Jakarta, 2013), hlm. 1

PAGE \* MERGEFORMAT38
penyelenggara/Pegawai Negeri (dalam jabatannya) akan menanggung

beban moril untuk memenuhi tujuan pihak yang memberi atau

menjanjikan tersebut.

2. Bentuk Tindak Pidana Suap


Bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi menurut United Nations

Convention Againt Corruption (UNCAC) adalah: 35

a) Penyuapan Pejabat Publik Nasional Peraturan mengenai

penyuapan pejabat tertera dalam Pasal 15 huruf (a) dan pasal 15

huruf (b) UNCAC. Adapun Pasal 15 UNCAC menyatakan:

1) Janji, tawaran, atau pemberian pemanfaatan yang tidak

semestinya kepada pejabat publik, secara langsung atau

tidak langsung, untuk pejabat publik itu sendiri atau orang

atau badan lain agar pejabat itu bertindak atau tidak

bertindak melaksanakan tugas resminya;

2) Permintaan atau penerimaan manfaat yang tidak

semestinya oleh pejabat publik, secara langsung atau

tidak langsung, untuk pejabat itu sendiri atau badan lain

agar pejabat itu bertindak atau tidak bertindak

melaksanakan tugas resminya.

b) Penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi

internasional publik Penyuapan pejabat publik asing dan

pejabat organisasi internasional publik. Pengaturan mengenai


35
Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi Kajian Terhadap Harmonisasi antara
Hukum Nasional dan The United National Convention Againts Corruption (UNCAC), cet.1
(Bandung: Refika Aditama, 2015), hlm. 131

PAGE \* MERGEFORMAT38
Tindak Pidana korupsi berupa penyuapan pejabat publik asing

dan pejabat organisasi internasional publik diatur secara tegas

dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) (UNCAC). Adapun Pasal

16 (UNCAC) menyatakan sebagai berikut:

1) Negara pihak wajib mengambil tindakan-tindakan

legislatif dan tindakan-tindakan lainnya yang perlu

untuk mendapatkan sebagai kejahatan;

2) Dilakukan dengan sengaja, janji, tawaran atau

pemberian manfaat yang tidak semestinya kepada

pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung,

untuk pejabat publik itu sendiri atau orang atau badan

lain agar pejabat itu bertindak atau tidak bertindak

melaksanakan tugas resminya, untuk memperoleh atau

mempertahankan bisnis atau manfaat lain yang tidak

semestinya dalam kaitannya dengan pelaksana bisnis

internasional; dan

3) Negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk

mengambil tindakan-tindakan legislatif dan tindakan-

tindakan lain yang perlu untuk menetapkan sebagai

kejahatan, jika dilakukan dengan sengaja, permintaan

atau penerimaan manfaat yang tidak semestinya oleh

pejabat publik asing atau pejabat organisasi publik

internasional, secara langsung atau tidak langsung,

PAGE \* MERGEFORMAT38
untuk pejabat itu sendiri atau orang lain agar pejabat itu

bertindak atau tidak bertindak melaksanakan tugas

resminya.

Berdasarkan peraturan tersebut, terlihat secara jelas

bahwa suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai

tindak pidana korupsi berupa penyuapan Pejabat publik

asing dan Pejabat organisasi internasional publik jika

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:36

1) Perbuatan dilakukan dengan sengaja;

2) Perbuatan tersebut berbentuk pemberian janji, tawaran

atau pemberian manfaat;

3) Pemberian tersebut berupa pemberian yang tidak

seharusnya;

4) Dilakukan baik secara langsung maupun tidak

langsung;

5) Perbuatan tersebut memberikan keuntungan manfaat

kepada pejabat publik asing maupun pejabat

organisasi internasional publik atau orang atau badan

lain; dan

6) Perbuatan tersebut dimaksudkan agar pejabat yang

bersangkutan bertindak atau tidak bertindak sesuai

dengan tugasnya.

36
Ibid, hlm. 142

PAGE \* MERGEFORMAT38
c) Penyuapan di Sektor Swasta Tindak Pidana korupsi berikutnya

sebagaimana diatur dalam (UNCAC) adalah Tindak Pidana

korupsi penyuapan di sektor swasta (bribery in the private

sector). Pasal 21 United Nations Convention Againt Corruption

(UNCAC) menyebutkan, pertimbangan untuk mengambil

tindakantindakan legislatif maupun tindakan-tindakan lain yang

perlu untuk ditetapkan sebagai suatu kejahatan, bila dilakukan

dengan sengaja dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan

atau perdagangan, meliputi:

1) Pemberian Janji, pemberian atau penawaran, baik

langsung maupun tidak langsung, manfaat yang tidak

semestinya kepada orang yang memimpin atau

bekerja, dalam jabatan apapun, untuk badan sektor

swasta, untuk dirinya atau untuk orang lain, agar ia,

dengan melanggar tugasnya, bertindak atau tidak

bertindak;

2) Penerimaan/Permintaan, baik langsung maupun tidak

langsung manfaat yang tidak semestinya oleh orang

yang memimpin atau bekerja, dalam jabatan apaun, di

badan sektor swasta, untuk dirinya atau untuk orang

lain, agar ia melanggar tugasnya, bertindak atau tidak

bertindak.

PAGE \* MERGEFORMAT38
Unsur-Unsur Tindak Pidana Suap Berdasarkan apa yang

tercantum pada Pasal 15 UNCAC tersebut, dapat disimpulkan bahwa

suatu perbuatan dianggap sebagai Tindak Pidana Korupsi berbentuk

penyuapan pejabat publik nasional jika memenuhi unsur-unsur

berikut:

1) Perbuatan itu dilakukan dengan sengaja;

2) Perbuatan tersebut berupa pemberian janji, tawaran,

pemberian;

3) Pemberian merupakan pemberian yang tidak seharusnya

4) Pemberian secara langsung atau tidak langsung;

5) Ditujukan kepada pejabat publik nasional;

6) Perbuatan tersebut memberi manfaat maupun keuntungan bagi

pejabat perseorangan, baik orang maupun badan lain;

7) Dilakukan dengan tujuan agar pejabat yang dimaksudkan

melakukan tindakan maupun tidak melakukan tindakan yang

sesuai dengan tugasnya (menyimpang).

C. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim


1. Pengertian Putusan Hakim
Pernyataan atau Putusan Hakim yang diketuk dan diucapkan

dalam persidangan pengadilan tertutup dan pengadilan terbuka disebut

putusan pengadilan. Sebagaimana termaktub pada Pasal 1 butir 11

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan

bahwa: Putusan pengadilan merupakan pernyataan Hakim yang

PAGE \* MERGEFORMAT38
diucapkan dalam sidang terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau

bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut

cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dalam konteks hukum

pidana keputusan Hakim di pengadilan berdasarkan pada surat dakwaan

yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sudah diberikan

kewenangan untuk bertugas dalam siding tersebut dan berdasarkan

segala alat dan barang bukti sebagaimana yang termaktub dalam Pasal

191 KUHAP.37

Dengan demikian surat dakwaan dan surat tuntutan yang dibuat


oleh JPU merupakan salah satu acuan dalam hukum acara pidana.
Dalam suatu persidangan pidana di pengadilan seorang Hakim tidak
dapat menjatuhkan pidana diluar batasbatas dakwaan.47 Kendati surat
dakwaan dan surat tuntutan merupakan dasar bagi Hakim untuk
menjatuhkan putusan, tetapi Hakim tidak terikat oleh surat dakwaan dan
surat tuntutan. 47 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana
(Yogyakarta: Liberty, 1996) hlm. 167 46 Hal ini termaktub dalam Pasal
183 KUHAP yang berbunyi:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang


kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Syarat mutlak bagi Hakim untuk menjatuhkan putusan pidana

antara lain:

a) Adanya alat bukti yang cukup dan sah (Syarat Objektif).

b) Adanya keyakinan Hakim (Syarat Subjektif).

37
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana (Yogyakarta: Liberty, 1996) hlm. 167

PAGE \* MERGEFORMAT38
2. Jenis-Jenis Putusan Hakim

Bentuk putusan yang akan dikeluarkan oleh pengadilan bergantung

pada hasil musyawarah antara para pihak dalam sidang pengadilan yang

berdasar dari dakwaan dalam surat dakwaan yang dibuktikan dalam

pemeriksaan di sidang pengadilan. Pandangan maupun penilaian

terhadap apa yang didakwakan dalam surat dakwaan dapat terbukti, dapat

pula terbukti namun bukan termasuk bagian dari delik pidana, namun lebih

cocok kedalam penyelesaian perkara perdata atau pula termasuk delik

aduan, maupun menurut penilaian mereka bahkan apa yang didakwakan

tidak dapat dibuktikan.

Pandangan M. Yahya Harahap menyatakan, Putusan pengadilan

mengenai suatu perkara, bisa berbentuk sebagai berikut:38

a) Putusan Bebas Putusan bebas artinya terdakwa telah dijatuhi putusan

yang membebaskan terdakwa maupun dinyatakan bebas dari

tuntutan hukum (vrijspraak). Dapat disimpulkan bahwa Terdakwa

dibebaskan dari tuntutan hukum atau dalam arti lain dibebaskan dari

pemidanaan (terdakwa tidak dijatuhi pidana). Pasal 191 ayat (1)

KUHAP Pengadilan berpendapat sebagai dasar putusan yang

berbentuk putusan bebas apabila:

1) Sebagai hasil pemeriksaan “di sidang”

38
Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, hlm. 326

PAGE \* MERGEFORMAT38
2) Perbuatan terdakwa yang didakwakan tidak terbukti secara

sah dan menyakinkan bersalah atas tuduhan yang ditujukan

kepadannya.

b) Putusan Lepas Berdasarkan Pasal 191 ayat 2 KUHAP,

putusan lepas adalah putusan yang dikeluarkan berdasarkan

pemeriksaan di persidangan pengadilan, majelis Hakim

berpendapat bahwa terdakwa terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah telah melakukan perbuatan yang

didakwakan kepadanya tetapi perbuatan tersebut bukan

merupakan tindak pidana maka pengadilan menjatuhkan

putusan lepas dari segala tuntutan pidana.

c) Putusan Pemidanaan Berdasarkan Pasal 193 ayat 1 KUHAP,

putusan pengadilan pemidanaan adalah putusan yang

dikeluarkan berdasarkan pemeriksaan di persidangan

pengadilan, majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melakukan

tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan

menjatuhkan pidana

PAGE \* MERGEFORMAT38
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Adami Chazawi, 2012, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1¸Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada

Aloysius Wisnubrot, 1997, Hakim dan Peradilan di Indonesia (Dalam

Beberapa Aspek Kajian)

Andi Hamzah, 1996, Pengantar Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty

Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Bandung:

PT Rafika Aditama

Edi Yunara. 2012. Korupsi dan Pertanggung jawaban Pidana Korupsi Berikut

Studi Kasus. Bandung: Pt. Citra Aditya Bakti

Evi Hartanti, 2012, Tindak Pidana Korupsi: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar

Grafika

Evi HartantI, 2009, Tindak Pidana Korupsi Cet Ke-3. Jakarta : Sinar Grafika

Harahap, 2012. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

Penyidikan dan Penuntutan

Indriyanto Seno Adji, 2002, Korupsi dan Hukum Pidana, Jakarta: Kantor

Pengacara Konsultan Hukum Prof. Oemar Seno Adji & Rekan

Ismu Gunadi, Jonaidi Efendi dan Fifit Luthifianingsih, 2015, Cepat dan Mudah

Memahami Hukum Pidana, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group

PAGE \* MERGEFORMAT38
Komariah E Sapardjaja, 2002, Ajaran Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum

Pidana Indonesia Studi Kasus Tentang Penerapan dan

Perkembangannya dalam Yurisprudensi, Bandung: Alumni

Kristian dan Yopi Gunawan, 2015, Tindak Pidana Korupsi Kajian Terhadap

Harmonisasi antara Hukum Nasional dan The United National

Convention Againts Corruption (UNCAC), cet.1, Bandung: Refika

Aditama

Lilik Mulyadi, 2015, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara

Perdata Indonesia Perspektif Teoritis, Praktik Teknik Membuat dan

Permasalahannya, Bandung: PT Citra Aditya Bakti

Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta

Muhammad Hatta. 2019. Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime).

Lhokseumawe: Unimalpress

Mujahid A. Latief, 2007, Kebijakan Reformasi Hukum: Suatu Rekomendasi

(Jilid II), Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI

P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang, 2014, Dasar-Dasar

Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika

Sonata Lukman, 2013, “Tinjauan yuridis ketentuan delik suap dalam

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di

Indonesia,”, (Tesis Perpustakaan Universitas Indonesia, Jakarta

Sugiyono, 2013, Metode Penelitian Kombinasi, Bandung: CV Alvabeta

PAGE \* MERGEFORMAT38
Suharsini Arikunto, 2006, Prosedur Penulisan Suatu Pendekatan Praktek,

Edisi Revisi VI, Jakarta: Rineka Cipta

Suratman dan H.Philips Dillah, 2014, Metode Penelitian Hukum, Bandung:

Alfabeta, hlm 32

Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif

Pembaharuan, Malang: UMM Press, hlm 105

Zainudin Ali, 2014, Metode Penelitian Hukum , Cet 5, Jakarta: Sinar Grafika

JURNAL

Gandhung Wahyu F.N dan Joko Supriyanto. Urgensi Penanggulangan

Tindak Pidana Pencucian Uang Pada Kasus Korupsi. Recidive Vol.

3 No. 3 September-Desember 2014: 249. Diakses pada tanggal 23

Januari 2022. Doi: https://jurnal.uns.ac.id

Ni Luh Gede Yogi Arthani. Budaya Hukum Dalam Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi. https://media.neliti.com/media/publications/73080-

ID-budaya-hukum-dalam-pemberantasan-tindak.pdf. Diakses pada

tanggal 20 Januari 2022.

Giska Salsabella Nur Afifah dan Muh Ilham Bintang. Hubungan Konsumtif

Dan Hedonis Terhadap Intensi Korupsi. Jurnal Ilmu Hukum

Humaniora dan Politik Volume 1, Issue 1, September 2020: 62.

PAGE \* MERGEFORMAT38
diakses pada tanggal 20 Januari 2022. Doi:

10.31933/jihhp.v1i1.358.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 88

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 Pasal 15

PAGE \* MERGEFORMAT38

Anda mungkin juga menyukai