Anda di halaman 1dari 12

TINDAK PIDANA KORPORASI

“Tindak Pidana Korupsi”

Dosen Pengampu :
Esti Aryani S.H M.H

Disusun Oleh :
1. Fanny Pricillia 20100174
2. Erhans Anggawirya 20100194
3. Fidelia Anita 20100171
4. Abigail Tiara 20100181
5. Faris Muhammad 20100190
6. Meli Putri 20100203

PRODI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2022
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejahatan korporasi di Indonesia merupakan problematika yang cukup
memprihatinkan bahkan sangat sulit terutama ditinjau dari pertanggungjawaban
pidana dan kelanjutannya justru korporasi ini yang banyak terlibat dalam
kejahatan bisnis yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi dan
pembangunan, yang menyangkut aspek-aspek lingkungan, sumber energi,
politik, kebijaksanaan luar negeri dan lain sebagainya. Salah satu contohnya
adalah kejahatan Korupsi
Korupsi merupakan masalah serius karena membahayakan stabilitas dan
keamanan masyarakat, merusak nilai dan moral demokrasi, membahayakan
pembangunan ekonomi, sosial dan politik, serta menyebabkan kemiskinan
massal, sehingga memerlukan perhatian pemerintah dan masyarakat serta
lembaga sosial. Salah satu upaya untuk menekan tingginya angka korupsi
adalah pencegahan. Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi perlu dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan serta perlu
didukung oleh berbagai sumber daya, baik sumber daya manusia maupun
sumber daya lainya seperti peningkatan kapasitas kelembagaan serta
peningkatan penegakan hukum guna menumbuhkan kesadaran dan sikap tindak
masyarakat anti korupsi.
Salah satu sumber daya lainya yang sangat efektif keberadaanya adalah
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dalam pasal 5 UU No. 46 Tahun 2009
menjelaskan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya
pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus Tindak
Pidana Korupsi yang penuntutanya diajukan oleh penuntut umum.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud Tindak Pidana Korupsi?
2. Bagaimana Dasar Hukum yang mengatur Tindak Pidana Korupsi?
3. Apa hubungan Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana Korporasi?
4. Bagaimana Perumusan dan sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi dengan Tindak Pidana Korupsi?
5. Sebutkan Contoh Kasus Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh
suatu Korporasi
1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud Tindak Pidana Korupsi
2. Mengetahui bagaimana Dasar Hukum yang mengatur Tindak Pidana
Korupsi
3. Mengerti apa hubungan Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana
Korporasi
4. Memahami bagaimana Perumusan dan sistem Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi dengan Tindak Pidana Korupsi
5. Mengetahui Contoh Kasus Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh
suatu Korporasi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tindak Pidana Korupsi


Korupsi adalah subordinasi kepentingan umum dibawah kepentingan tujuan-
tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma, tugas, dan
kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan, penghianatan, penipuan,
dan kemasabodohan yang luar biasa akan akibat-akibat yang diderita oleh
masyarakat. Singkatnya korupsi adalah penyatau suatu korporasi lahgunaan
Amanah untuk kepentingan pribadi. (Corruption: It’s Nature, Causes and
Consequences: Sayed Hussein Alatas)
Menurut UU No. 31 Tahun 1991 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Korupsi adalah
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.
Masalah korupsi bukan lagi sebagai masalah baru dalam persoalan hukum dan
ekonomi bagi suatu negara karena masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun
yang lalu, baik di negara maju maupun di negara berkembang termasuk
Indonesia. Bahkan perkembangan masalah korupsi di Indonesia saat ini sudah
demikian parahnya dan menjadi masalah yang sangat luar biasa karena sudah
menjangkit dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.
Jika pada masa lalu korupsi sering diidentikkan dengan pejabat atau pegawai
negeri yang telah menyalahgunakan keuangan negara, dalam perkembangannya
saat ini masalah korupsi juga telah melibatkan anggota legislatif dan yudikatif,
para bankir dan konglomerat, serta juga korporasi. Hal ini berdampak membawa
kerugian yang sangat besar bagi keuangan negara. Bahkan saat ini orang
sepertinya tidak lagi merasa malu menyandang predikat tersangka korupsi
sehingga perbuatan korupsi seolah-olah sudah menjadi sesuatu yang biasa atau
lumrah untuk dilakukan.
Pelaku tindak pidana yang dimaksud disini adalah setiap orang yang melakukan
tindak pidana korupsi atau perbuatan korupsi yang dapat merugikan keuangan
atau perekonomian negara, sedangkan yang dimaksud setiap orang sesuai
ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi adalah orang
perseorangan atau termasuk korporasi. Dengan demikian jelas, unsur
barangsiapa dalam hal ini sebagai pelaku tindak pidana korupsi menurut
Undang-Undang Tipikor adalah berupa orang perseorangan atau korporasi yang
telah merugikan keuangan negara.

2.2 Dasar Hukumnya


Tindak Pidana Korupsi diatur pada Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun ternyata Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tidak berumur lama. Ketiadaan aturan peralihan telah membuat Undang-Undang
yang baru disahkan tersebut harus diubah dengan ketentuan baru melalui
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi
(selanjutnya disebut KPK) melalui Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pelaksanaan
dari ketentuan Pasal 43 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi(selanjutnya
disebut UU PTPK) yang mengamanatkan perlunya pembentukan satu badan
yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
Adanya langkah-langkah untuk melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi sebagaimana yang disebutkan ternyata mampu membawa angin segar
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Adanya langkah-langkah tersebut
telah mendorong berhasil dibongkarnya berbagai kasus tindak pidana korupsi
dalam berbagai bentuk hingga pelakunya disidangkan di pengadilan dan dijatuhi
pidana.
UU PTPK dalam Pasal 20 ayat (2) hanya memberikan ketentuan tindak pidana
korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh
orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan
lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama. konteks tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara,
ketiadaan penjelasan mengenai hal tersebut tentunya dapat menimbulkan
kesulitan dalam menentukan kapan suatu korporasi dipandang melakukan
tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara. Dalam hal ini tentunya
akan timbul pertanyaan seperti apakah korporasi yang sekedar hanya
diuntungkan atau diperkaya, namun tidak terkait dengan perbuatan materil
pelaku apakah korporasinya tersebut dapat dipandang melakukan tindak pidana
korupsi dan dapat diajukan sebagai tersangka, dan beberapa pertanyaan lainnya
namun sebagaian besar ahli hukum masih ada yang tetap memegang teguh
doktrin universitas delinquere non potest atau societas delinquere non potest
(badan hukum/korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana). Menurut
mereka keberadaan korporasi dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum,
sehingga unsur kesalahan (mens rea) tidak ada pada korporasi seperti pada
orang perorangan. Padahal dalam suatu delik (tindak pidana) mensyaratkan
adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus).
2.3 Hubungan Tindak Pidana Korupsi dengan Tindak Pidana
Korporasi
Menurut UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
Tipikor), dijelaskan bahwa selain perorangan, korporasi merupakan subjek
hukum yang dapat didakwa melakukan tindakan perkara korupsi.
Dalam hukum pidana terdapat suatu asas fundamental yakni “tiada pidana tanpa
kesalahan” atau “geen straf zonder schuuld”. Diakuinya korporasi sebagai
subjek hukum pidana adalah perdebatan mengenai sumber kesalahan pada
korporasi yang menjadi prasyarat subjek hukum pidana dapat dibebankan
pertanggungjawaban pidana dan dipidana. Anggapan ini muncul sebagai respon
atas keterkaitan unsur kesalahan dengan unsur kejiwaan (menslijke psyche) dan
unsur psikis (de psychische bedtanddelen) yang hanya dimiliki oleh manusia
sebagai natuurlijke personi.8
Keraguan akan terpenuhinya unsur kesalahan pada korporasi kemudian dijawab
oleh beberapa sarjana, salah satunya Hulsman, guru besar hukum pidana dari
Rotterdam. Dalam preaadvisnya, Hulsman berpendapat bahwa unsur kesalahan
(kesengajaan atau kelalaian) dapat ditemukan pada organ-organ korporasi atau
pekerja lainnya yang menetapkan kebijakan organisasi.9 Van Bemmelen juga
berpendapat bahwa unsur kesengajaan dari korporasi dapat terpenuhi dari
pengetahuan bersama sebagian besar anggota direksi, jika mungkin dapat
dianggap sebagai kesengajaan bersyarat.10
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur mengenai
pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Pasal 20 ayat (2) :
“Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korpoarasi tersebut
baik sendiri maupun bersama-sama”.
UU Tipikor tidak memberikan ketentuan yang cukup jelas mengenai suatu
korporasi dapat dipandang melakukan tindak pidana korupsi. UU Tipikor dalam
Pasal 20 ayat 2 hanya memberikan ketentuan tindak pidana korupsi yang
dilakukan korporasi jika tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik
berdasar hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam
lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama, namun tidak
menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan ‘hubungan kerja’
ataupun ‘hubungan lain’. UU No.2 tahun 1981 tentang Metrologi Legal, juga
dikenal dengan adanya pertanggungjawaban pidana korporasi oleh pengurus,
badan hukum, sekutu aktif, pengurus yayasan, wakil atau kuasa di Indonesia
dari perusahaan yang berkedudukan di luar wilayah NKRI.
Dari ketentuan KUHP tersebut, dilihat bahwa kasus korupsi korporasi
membebankan pertanggungjawaban pidana kepada pengurus, pemegang kuasa
dari badan hukum, sekutu aktif dan badan wakil atau penerima kuasa.

2.4 Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dengan Tindak


Pidana Korupsi
Dari bunyi Pasal 20 ayat (2) tersebut bahwa dalam membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menganut ajaran Identifikasi (doctrine of Identification)
dan ajaran agregasi (doctrine of aggregation). Ajaran identifikasi ditunjukan
pada kalimat “Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu
korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan atau pengurusnya” (Pasal 20 ayat (1)) dan “apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain” (Pasal 20 ayat (2)). Maka apabila orang-orang yang
berdasarkan hubungan kerja dan/atau hubungan lain bertindak sudah di luar atau
tidak lagi dalam batas- batas atau tugas korporasi, maka korporasi tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban. Sebaliknya, apabila orang-orang tersebut telah
melakukan tindakan yang masih berada dalam lingkungan tugas dan/atau usaha
korporasi maka yang dimintai pertanggungjawaban pidana adalah korporasi.
Teori identifikasi memerlukan adanya directing mind dari korporasi, dimana
directing mind ada pada pengurus korporasi yang mempunyai hubungan kerja
atau hubungan lain berdasarkan AD/ART atau tujuan korporasi itu didirikan.
Dengan demikian, dalam proses peradilan pidana tindak pidana korupsi,
pertanggungjawaban pidana korporasi sudah sepatutnya dibebankan kepada
pihak yang mewakili dan bertindak untuk dan atas nama korporasi, yang
dijadikan subjek hukum. Sebagaimana pemikiran teori identifikasi, pengurus
suatu korporasi bisa diidentikkan dengan korporasinya maka apabila pengurus
korporasi memiliki unsur kesalahan dan telah dinyatakan bersalah oleh
pengadilan, maka mens rea-nya dapat dianggap sebagai mens rea korporasinya.
Sementara itu, ajaran agregasi ditunjukkan pada kalimat “apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maaupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama.”. Ajaran agregasi memungkinkan agregasi atau
kombinasi pebuatan (actus reus) dan kesalahan (mens rea) dari sejumlah orang,
untuk diatributkan kepada korporasi sehingga korporasi dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana. Semua perbuatan dan semua unsur mental dari
beberapa orang yang terkait secara relevan dalam lingkungan perusahaan
dianggap seakan-akan dilakukan oleh satu orang saja.
Dengan diakomodirnya korporasi dalam Undang-Undang sebagai subjek hukum
maka apabila korporasi melakukan kesalahan berupa tindak pidana yang
merugikan, terhadap korporasi dapat diterapkan suatu pemidanaan sesuai
dengan peraturan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sehubungan dengan sanksi pidana ini, Jeremy Bentham menyatakan bahwa
pidana hendaknya jangan digunakan apabila tidak mendasar (groundless), tidak
dibutuhkan (needless), tidak menguntungkan (unprofitable), dan tidak efektif
(ineffective).
Sanksi atau pemidanaan terhadap korporasi termuat dalam Pasal 20 ayat (7) :
“Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda,
dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga)”.
Dari ketentuan tersebut mempunyai konsekuensi sama dengan pidana yang
dirumuskan tunggal, karena tidak ada alternatif lain apabila pidana denda untuk
tindak pidana korupsi yang tidak dibayar oleh korporasi. Hal ini akan
menimbulkan masalah pada saat implementasinya yaitu tindakan yang dapat
diambil jika pidana denda tidak dibayar oleh korporasi. Apabila pidana denda
ini dijatuhkan terhadap orang tidak menimbulkan masalah, oleh karena dalam
Pasal 30 KUHP diatur bagaimana jika denda tidak dibayar yaitu: “dapat
dikenakan pidana kurungan pengganti denda”. Jadi, jika Undang-Undang
hukum pidana khusus tidak mengatur mengenai hal ini, sesuai ketentuan Pasal
103 KUHP, ketentuan KUHP lah yang dipakai. Masalah lain yang akan timbul
adalah bagaimana jika yang melakukan hal itu adalah korporasi jelas bahwa
pidana kurungan pengganti denda ini tidak dapat dijatuhkan terhadap korporasi.
Untuk mengatasi masalah ini , maka Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi harus membuat ketentuan khusus bagaimana jika denda tidak
dibayar oleh korporasi.
Selain pidana pokok terhadap korporasi juga dapat dilakukan penjatuhan pidana
tambahan, sebagaimana termuat dalam Pasal 18:
“(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun;
Berdasarkan penjelasannya:
Yang dimaksud dengan penutupan seluruh atau sebagian perusahaan adalah
pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai
dengan putusan pengadilan.
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya
dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka
dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan
pengadilan”.
Beberapa sanksi yang ditentukan sebagai sanksi pidana tambahan sebaiknya
dapat diangkat sebagai sanksi pidana pokok bagi korporasi. Akan tetapi, hanya
pidana pokok yang wajib dijatuhkan oleh hakim. Adapun pidana tambahan
tidak wajib dijatuhkan oleh hakim tetapi merupakan hak prerogatif hakim untuk
dapat menjatuhkannya.
Terkait dengan hal ini, Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa: “Di samping
pidana denda, sebenarnya terdapat beberapa jenis pidana tambahan dalam Pasal
18 ayat (1) yang dapat dijadikan pidana pokok untuk korporasi atau setidak-
tidaknya sebagai pidana tambahan yang dapat dijatuhkan mandiri. Apabila
pidana penjara merupakan pidana pokok bagi “orang”, maka pidana pokok yang
dapat diidentikkan dengan pidana perampasan kemerdekaan adalah sanksi
berupa “penutupan perusahaan atau korporasi untuk waktu tertentu” atau
“pencabutan hak ijin usaha”.
Sanksi pidana yang diancamkan kepada korporasi tersebut, hendaknya dapat
memberikan pengaruh pencegahan (deterrence) yang efektif. Hanya apabila
sanksi pidana tersebut dirasakan sungguh berat, maka baru ancaman pidana
tersebut akan efektif sebagai pencegah dilakukannya tindak pidana yang
bersangkutan. Dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah
diubah oleh Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi hanya memberikan sanksi berupa pidana denda saja,
ternyata besarnya terlalu rendah karena ditetapkan hanya sebesar pidana denda
yang diperberat maksimumnya dengan sepertiganya. Denda tersebut tidak ada
artinya bagi korporasi sebagai pencegah mengulangi perbuatannya atau untuk
mencegah korporasi lain melakukan tindak pidana serupa.

2.5 Contoh Kasus


Kasus tindak pidana korupsi lain yang menarik juga dianalisis adalah mengenai
perkara yang melibatkan PT Cakrawala Nusa Dimensi (PT CND) dalam
putusan No. 65/Pid.Sus/TPK/2016/ PN.Bdg. Secara singkat posisi kasusnya
adalah sebagai berikut:
Kasus ini bermula dari permohonan PT CND kepada Walikota Bekasi untuk
pembangunan perumahan atas nama PT CND seluas 4500 Ha di Kec
Mustikajaya Bantargebang Kota Bekasi. Atas permohonan tersebut, Walikota
Bekasi menerbitkan Surat Keputusan No. 591/Kep.162-Bipem/V/2007 tanggal
16 Mei 2007. Dengan keluarnya keputusan ini maka PT CND melakukan
pembebasan lahan untuk digunakan sebagai perumahan yang dikelola oleh PT
CND. Dalam proses pembebasan lahan ada tanah seluas 10.882 M2 milik
pemerintah Kota Bekasi yang diperoleh dari PT Sentosa Birunusa yang juga
dibeli dari pemilik asal. PT CND kemudian melakukan tukar guling dengan
Pemerintah Kota Bekasi yang mana tanah milik PT CND seluas 16.500 M2
yang terletak di Sumur Batu, ditukar dengan tanah milik Pemerintah Bekasi
yang terletak di TPU. Sehingga PT CND telah memiliki hak atas tanah yang
sebelumnya dimiliki oleh pemerintah Kota Bekasi.
Atas perolehan dan penguasaan tanah tersebut, PT CND kemudian membuka
120 tanah kavling, PT CND juga berhasil menjual 72 unit rumah kepada
konsumen dengan keuntungan yang ditaksir mencapai Rp. 2. 640.834.536,-.
Dalam proses penguasaan dan pengembangan tanah PT CND tersebut diduga
terjadi penyimpangan, maka dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan
dan Pembangunan (BPKP). Kesimpulannya adalah tindakan PT CND telah
menimbulkan terjadinya kerugian keuangan negara sebesar Rp. 4. 189.570.000,.
Perbuatan CND yang sudah mengetahui bahwa tanah seluas 10.882M2 adalah
aset pemerintah kota bekasi, akan tetapi PT CND tetap menandatangani surat-
surat pelepasan hak sehingga seakan- akan telah menerima pelepasan hak atas
tanah seluas 10.882M2 dari pemiliknya. Perbuatan tersebut tentu merupakan
suatu tindak pidana yang merugikan keuangan negara.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Bahwa dalam hukum pidana telah terdapat suatu perkembangan atau perluasan
mengenai subyek hukum pelaku tindak pidana yang semula hanya individu atau
perorangan tetapi sekarang telah berkembang termasuk juga bagi badan hukum.
Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban dari apa yang telah dilakukan
oleh agen-agennya, yang dikenal dengan istilah "actus reus" yang berarti bahwa
perbuatan dilakukan harus dalam lingkup kekuasaannya, yang dengan kata lain
dalam menjalankan tugas itu masih dalam cakupan tugas korporasi. Keberadaan
korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan dan pencapaian tujuan korporasi
tersebut, selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia alamiah. Oleh karena
itu, kemampuan bertanggungjawab oleh orang-orang berbuat untuk dan atas
nama korporasi dialihkan menjadi kemampuan bertanggungjawab korporasi
sebagai subyek tindak pidana.
3.2 Saran
Untuk menanggulangi tindak pidana korupsi dalam hal ini termasuk juga yang
dilakukan oleh korporasi, hendaknya aparat penegak hukum tidak hanya
bertindak dengan mengandalkan undang-undang pemberantasan korupsi saja
melainkan haruslah diimbangi dengan cara- cara atau kebijakan lain yang
mendukung usaha pemberantasan korupsi. Perlu adanya suatu pengkajian
kembali mengenai sistem pertanggungjawaban pidana terhadap kejahatan yang
dilakukan korporasi, sebab meskipun bukti-bukti cukup untuk melakukan
penuntutan, tetapi pada saat pemidanaan korporasi tidak dapat dijatuhi pidana
atau penjara, dan hanya dihukum denda atau pencabutan izinnya, hal ini
tentunya tidak menimbulkan efek jera bagi pelakunya.

Anda mungkin juga menyukai