Anda di halaman 1dari 24

MODUL

SEJARAH KORUPSI DAN UPAYA PEMBERANTASAN DI INDONESIA

Dosen Pembimbing : Soep SKp,Ns,M.Kes

DISUSUN OLEH :

ANGELIA SIHOMBING (P07520220003)


ANITA IMELDA SITORUS (P07520220004)
DAVID (P07520220012)
DEBORA AGUSTINA BR.PASARIBU (P07520220013)
NITA SULASTRI ARUAN (P07520220027)
RANI SAFITRI SIMANGUNSONG (P07520220034)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN


PRODI S.TR JURUSAN KEPERAWATAN
T.A 2023

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Sejarah perjalanan bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai pasca reformasi
dihadapkan pada persoalan korupsi yang telah mengakar dan membudaya. Bahkan kalangan
para pejabat publik menganggap korupsi sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar. Ibarat candu,
korupsi telah menjadi barang bergengsi yang apabila tidak dilakukan akan membuat stress para
penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasaan, yang akhirnya menjadi kebiasaan dan
berujung pada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat negara. Itulah
sebabnya, masyarakat begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakkan hukum dalam
menumpas koruptor di Indonesia.
Keadaan yang demikian suka atau tidak suka akan menggoyahkan demokrasi sebagai
sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai keadilan dan
kepastian hukum serta semakin jauh dari tujuan tercapainya masyarakat yang sejahtera dan
penegakan hukum. Dengan melihat latar belakang timbulnya korupsi, salah satu faktor yang
menyebabkan meningkatnya aktifitas korupsi di beberapa negara disebabkan terjadinya
perubahan politik yang sistematik, sehingga tidak saja memperlemah atau menghancurkan
lembaga sosial politik, tetapi juga lembaga-lembaga hukum

Keadaan yang demikian suka atau tidak suka akan menggoyahkan demokrasi
sebagai sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai
keadilan dan kepastian hukum serta semakin jauh dari tujuan tercapainya masyarakat yang
sejahtera. Dengan melihat latar belakang timbulnyakorupsi,salah satu faktor yang
menyebabkan meningkatnya aktifitas korupsi di beberapa negara disebabkan terjadinya
perubahan politik yang sistematik, sehingga tidak saja memperlemah atau menghancurkan
lembaga sosial politik, tetapi juga lembaga-lembaga hukum
Negara Republik Indonesia adalah sebuah Negara besar yang berlandaskan hukum,
hal ini berarti bahwa hukum di Indonesia di junjung tinggi. Sesuai dengan Pasal 27
Undang-undang Dasar 1945 yang sudah di amandemen; “Bahwa segala warga Negara
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum
dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sebagai Basic Law (hukum dasar)
Undang- undang Dasar 1945 telah mengatur kedudukan warga Negara dan pemerintahan itu
sendiri. Sesuai dengan amanat undang-undang Dasar 1945 maka dibentuklah aparat Negara
penegak hukum yaitu Polri yang didasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam pasal 13 berbunyi; “dalam mengemban
Tugasnya Kepolisian mempunyai Tugas Pokok :

1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

2. Menegakan hukum,

3. Melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.


Korupsi menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, pada Pasal 2 dijelaskan yaitu “Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara”.
Sedangkan penyalahgunaan kewenangan yang dilakukan dalam jabatannya juga masuk
dalam ranah Korupsi bila perbuatannya itu merugikan keuangan Negara, seperti yang
tercantum dalam Pasal 3; “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian Negara”.

Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi adalah tindak pidana korupsi yang beridir
sendiri dan dimuat dalam Pasal-pasal Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Sebagian besar masyarakat masih sangat percaya korupsi masih bekerja
secara sistematis dan terstruktur di kalangan birokrasi pemerintahan, lembaga
penegakan hukum maupun lingkungan parlemen. Suatu hasil jajak pendapat yang
dilakukan pada pertengahan Februari 2007 oleh sebuah media menegaskan hal tersebut.
Jajak pendapat itu menyatakan, sekitar 65% masyarakat di kota-kota besar masih tetap
tidak percaya, pemerintah telah serius melakukan pemberantasan korupsi. Bahkan, di
provinsi yang kepala daerahnya pernah dinobatkan menjadi championship di bidang anti
korupsi oleh ICW, prosentase ketidakpercayaan masyarakat keseriusan pemrintah
daerah dalam pemberanatasan justru sangat tinggi karena mencapai angka diatas 80%.
Perluasan pesimisme dan ketidakpercayaan masyarakat pada keseriusan pemberantasan korupsi
bisa jadi disebabkan oleh beberapa fakta yang terjadi belakangan ini. Delegitimasi lembaga
KPK terus menerus terjadi seolah ada skenario yang dilakukan secara “terencana dan
sistematis” dengan merekayasa suatu proses yang pada akhirnya ditujukan untuk
“melumpuhkan” kewenangan dan otoritas lembaga tersebut. Lepas dari beberapa kekurangan
yang masih melekat di KPK pada kinerjanya sehingga harus terus menerus ditingkatkan, tetapi
juga tidak dapat diingkari, KPK telah menjadi suatu lembaga yang mampu mengukir
“success story”, dipercaya serta punya integritas dan kredibilitas di dalam percepatan
pemberantasan korupsi.

Namun kebijakan publik yang seharusnya mampu menyusun politik hukum dan politik
penegakan hukum secara lebih kongkrit dan tegas serta kompatibel dengan tuntutan publik dan
merumuskan pola pengendalian tindak korupsi secara lebih komprehensif, efisien dan efektif
tidak terjadi. Padahal, perkembangan modus korupsi kian canggih, karena tindak korupsi tidak
hanya suatu tindakan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan sehingga
merugikan keuangan negara secara langsung saja, tetapi juga telah menjelajah dan merasuk
makin dalam pada ruang-ruang pembuat kebijakan publik sehingga dapat terjadi impunitas,
kekebalan hukum pada orang tertentu dan kecenderungan legalisasi tindak korupsi

Kebijakan publik yang merupakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi


orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang
otoritas publik6. Wacana yang paling mutakhir dalam kebijakan publik mengenai
pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dengan adanya gagasan untuk melakukan
penghapusan atas eksistensi Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Wacana
tersebut bahkan sudah bermetamorphose menjadi suatu draf kebijakan karena
ditempatkan di dalam Revisi UU Tindak Pidana Korupsi yang dalam salah satu
pasalnya menegaskan “…perkara tindak pidana korupsi yang diterima jaksa
…dilimpahkan pada pengadilan negeri setempat untuk diperiksa dan diputus oleh
majelis hakim khusus tipikor”. Usulan pasal dalam revisi UU Tindak Pidana Korupsi
yang berkaitan dengan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi tersebut adalah salah
satu kata kunci utama yang dapat memperlihatkan secara tegas adanya suatu upaya yang
ditujukankan untuk mendekonstruksi dan sekaligus mendelegitimasi keberadaan
Pengadilan Khusus Tipikor. Undang-undang Pemberantasan Korupsi sebagai
representasi kebijakan publik pemerintah yang berkuasa dalam penanggulangan tindak
pidana korupsi mendapat kritik dari berbagai kalangan Indonesia memiliki lembaga-
lembaga hukum yang dapat menaungi permasalahan hukum di Indonesia. Lembaga
tersebut dibagi menjadi dua, yakni lembaga negara utama (main state‟s organ) dan
lembaga negara pembantu (auxiliary state’s organ). Lembaga yang menaungi kasus
korupsi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK merupakan
lembaga independen yang dibentuk oleh presiden, hal ini menimbulkan spekulasi bahwa
KPK merupakan lembaga konstitusional. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan
penelitian dengan metode penelitian empiris berdasarkan data-data kasus korupsi di
Indonesia. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui upaya dalam pemberantasan
kasus korupsi di Indonesia.
Korupsi sudah menjadi fenomena yang biasa di dalam masyarakat di
Indonesia dapat dikatakan bahwa sepertinya korupsi sudah menjadi budaya. Indonesia
bagaikan surga bagi para koruptor. Hal ini terlihat dengan diletakkannya
Indonesiapada perigkat kelima dari 146 negara terkorup yang diteliti oleh transparansi
internasional pada tahun 2004.
Korupsi adalah salah satu penyakit masyarakat yang sama dan jenis kejahatan
lain seperti pencurian, yang sudah ada sejak manusia bermasyarakat di atas bumi ini,
bahkan orupsi sudah terjadi berabad-abad yang lalu yg fakta-faktanya tercatat dalam
sejarah dunia.8 Korupsi mengakibatkan sebagian besar rakyat Indonesiamenderita dan
hidup dalam kemiskinan, penanggulangan korupsi menjadi pr bersama mengingat
korupsi berkembang begitu pesat bagaikan jamur hingga merambah ke instansi
terbawah sekalipun.
Pemberantasan Tindak Pidana korupsi diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999,
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 dan bentuk pelaksanaan dari pasal 43 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 yaitu dibentuknya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi selanjutnya disingkat KPK.

Latar belakang pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ini antara lain


sebagai berikut :
1. Pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi belum dapat dilaksanakan
secara optimal oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu
ditingkatkan secara profesional, intensif dan berkesinambungan karena korupsi
telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan menghambat
pembangunan nasional
2. Lembaga pemerintahan yang menangani tindak pidana korupsi belum berfungsi secara
efektif dan efisien dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
3. Perlu dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
Oleh karena itu, dasar Hukum kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi adalah Pasal 43 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentan perubahan Undang-undang Nomor .31 / 1999 tentang
Pemberantasan Tindak pidana Tipikor dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun
2002 Tentang komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Walaupun merupakan lembaga Ad Hoc, namun Komisi Pemberantasan Korusi dapat


berperan dalam bentuk pencegahan dan penindakan. Peran Komisi Pemberantasan Korusi
dalam hal penindakan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sudah sering kita
dengat melalui media massa, namun dalam hal pencegahan terhadap terjadinya tindak pidana
korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korusi rasanya jarang didengar oleh masyarakat. Padahal
salah satu wewenang Komisi

Pemberantasan Korusi ini adalah dalam hal pencegahan atau preventif terhadap tindak
pidana korupsi Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti tentang
Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Pencegahan Perilaku Korupsi, Kolusi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Korupsi Di Indonesia

Persoalan korupsi tidak dapat dipisahkan dalam dinamika politik kekuasaan sebuah
rezim. Kekuasaan politik menurut David Easton merupakan satu-satunya bentuk kekuasaan
yang memiliki daya paksa yang sah kepada masyarakat secara luas dan ketundukkan
masyarakat akan terealisir karena memang rakyat memiliki kepentingan untuk menutupi
keterbatasannya. Disamping itu, bentuk kekuasaan juga merupakan sesuatuhal yang memiliki
tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara bidang eksekutif, legislatif dan
yudikatif yang melingkupi rakyatdalam koridor negaranya. Senada dengan hal tersebut, Lord
Acton mengemukakan pendapat bahwa power tends to corrupt, absolut power corrupts
absolutely yang artinya kekuasan lebih memberikan kesempatan untuk melakukan
penyalahgunaan kekuasaan. Konteks pemahaman tersebut memberikan gambaran bahwa
korupsi terjadi dalam lingkungan kekuasaan yang dimiliki oleh kekuasaan politik suaturezim
yang berkuasa pada saat tertentu.

Sebagai sebuah persoalan besar yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa


serta bagian dari kejahatan yang terorganisir, hampir semua orang berupaya untuk melawan
korupsi, mulai dari pejabat, akademisi, aktivis, tokoh, agamawan, sampai masyarakat umum.
Upaya tersebut walaupun seringkali hanya menjadi retorika politik tetapi sebagai bangsa kita
tetap wajib untuk berusaha melawan korupsi.

Sejarah membuktikan bahwa gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia sudah lama


dilakukan oleh para penguasa, yaitu sejak pemerintahan Orde Lama. Berbagai upaya dan
strategi sudah diupayakan dalam pemberantasan korupsi antara lain ditetapkannya peraturan
perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi, munculnya lembaga anti korupsi sudah
tidak terhitung lagi jumlahnya, baik yang didirikan oleh Pemerintah, Lembaga Studi
Perguruan Tinggi, NGO/LSM, maupun i'tikat baik para akademisi, lembaga keagamaan,
kyai/ustad dan tokoh masyarakat.

Namun, banyaknya aturan perundangan dan badan anti korupsi tersebut ternyata tidak
cukup menjamin bangsa ini terbebas dari korupsi. Justru yang terjadi adalah "patah tumbuh
hilang berganti, mati satu tumbuh seribu" seperti sel kanker ganas karena akarnya yang telah
meluas. Semakin dibabat semakin cepat penyebarannya. Jangankan untuk membasmi korupsi,
untuk menekan laju pertumbuhan korupsi saja tidak signifikan. Sikap pesimis dan sinis kerap
mewarnai penilaian masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi.

Pada masa pemerintahan Orde Lama, gerakan perlawanan anti-korupsi dilaksanakan


dengan mulai disahkannya "Undang-Undang Keadaan Bahaya" pada awal tahun 60-an.
Undang-Undang tersebut melahirkan Komisi Pemberantas Korupsi yang disebut dengan
PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara). Lembaga ini diketuai oleh Jenderal A.H.
Nasution dengan dibantu oleh Prof. M. Yamin dan Roeslan Abdul Gani. Salah satu poin
pentingnya adalah semua pejabat negara diwajibkan mengisi Daftar Kekayaan Pejabat Negara.
Namun apa yang terjadi kemudian adalah kondisi dimana ikhtiar tersebut akhirnya kandas
tanpa hasil apa-apa .Pada masa ini, setidaknya terdapat empat faktor penyebab kegagalan
dalam pemberantasan korupsi. Pertama, faktor belum adanya kebijakan derivasi (kebijakan
turunan) yang memungkinkan agen pelaksana kebijakan bisa menjalankan tugasnya dengan
baik. Kedua, faktor adanya resistensi Dari para pejabat negara (terutama yang diindikasikan
korup) dengan cara menolak menyerahkan daftar kekayaannya kepada PARAN. Mereka hanya
mau menyerahkan kepada Presiden, meskipun dalam kenyataannya sampai saat PARAN bubar
mereka tidak pernah menyerahkan daftar kekayaannya ke Presiden. Ketiga, faktor tidak
berkaitnya secara langsung antara strategi pemberantasan korupsi dengan sistem administrasi
publik yang dipraktekkan. Keempat, tidak adanya komitmen negara khususnya para pejabat
untuk melawan dan memberantas korupsi. Setelah lembaga yang diberi nama PARAN
dibubarkan, Pemerintah Orde Lama selanjutnya mengeluarkan kebijakan baru yang dikemas
dalam Keppres No.275 Tahun 1963 tentang pemberantasan korupsi. Untuk melaksanakan
Kepres tersebut Peme-rintah menunjuk lagi Jenderal A.H. Nasution sebagai ketuanya dengan
tugas yang lebih berat Jendral A.H. Nasution melakukan tugasnya dengan sandi "OPERASI

BUDHI". Sasarannya adalah BUMN dan lembaga-lembaga negara yang dianggap rawan
korupsi, misalnya Pertamina (KPK, 2007). Tetapi Keppres 275/1963 sebagai landasan
pemberantasan korupsi juga tidak dilaksanakan secara efektif. Penyebab dari kegagalan
Keppres tersebut antara lain adalah: adanya resistensi birokrasi dan pejabat negara yang dekat
dan kong kalingkong dengan Presiden. Akhirnya pelaksanaan kebijakan pemberantasan korupsi
yang diback-up Keppres tersebut gagal. Sampai Pemerintah Orde Lama tumbang,
pemberantasan korupsi tidak membuahkan hasil yang berarti.

Selanjutnya pengalaman Orde Baru dalam pemberantasan korupsi juga tidak jauh dari Orde
Lama. Bahkan pada masa Orde Baru korupsi malah justru semakin merajalela dan merasuk ke
semua lini kehidupan dan pemerintahan. Pemberantasan korupsi tidak lebih dari sekedar
retorika politik belaka. Retorika itu diawali dengan pidato Soeharto (sebagai Presiden) di depan
DPR/MPR pada tanggal 16 agustus 1967 yang menyatakan akan membasmi korupsi hingga ke
akar-akarnya. Kemudian dibentuklah TPK (Tim Pemberantasan Korupsi). Tetapi, seperti yang
diduga oleh banyak kalangan. TPK tidak memiliki keberanian untuk membongkar korupsi yang
sudah mewabah, hingga akhirnya terjadi demontrasi mahasiswa dan pelajar secara besar-
besaran di tahun 1970, yang menuntut dan mendesak Soeharto memenuhi janjinya untuk lebih
serius memberantas korupsi, terutama di Pertamina, Bulog, dan Departemen Kehutanan. Hal
inilah yang kemudian memunculkan inisiatif dibentuknya lembaga "Komite Empat". Lembaga
Komite Empat ini juga tidak mampu menjalankan tugasnya, sehingga pemerintah Orde Baru
menggerakkan operasi yang diberi nama "OPSTIB" (Operasi Tertib) yang dipimpin oleh
Laksamana Sudomo.

Kegagalan pemberantasan korupsi yang semakin nyata di era rezim Orde Baru diwarnai
oleh lahirnya berbagai peraturan perundangan yang sengaja dibuat untuk melindungi tindakan
para koruptor agar bebas dari jeratan hukum. Pola pemerintahan Orde Baru yang melindungi
koruptor ini dapat dipahami dengan jelas melalui pendekatan ekonomi politik korupsi. Karena
sikap pemerintah Orde Baru yang demikian itulah maka negara Indonesia dikenal oleh para
pengamat asing sebagai negara kleptokratik (Rose-Ackerman, 2006), yaitu suatu istilah untuk
menyebut "negara para maling". Kegagalan pemberantasan korupsi di masa Orde Baru secara
nyata juga mencerminkan belum adanya strategi dan kebijakan pemberantasan korupsi yang
komprehensif (seperti Orde Lama), sehingga penanganan yang dipraktekkan seakan-akan tidak
memiliki nilai yang dapat mencegah potensi terjadinya korupsi di tubuh birokrasi. Lebih dari
itu, strategi pemberantasan korupsi yang dibuat tidak didasarkan pada kebijakan yang jelas,
yaitu kebijakan yang menitikberatkan upaya pencegahan potensi terjadinya korupsi birokrasi,
tetapi lebih diwarnai oleh kepentingan politik jangka pendek.

Berdasarkan pengalaman historis pemberantasan korupsi di masa Orde Lama dan Orde
Baru, pemerintah di era reformasi (yang dilahirkan dari gerakan massa secara nasional untuk
menyelamatkan Indonesia dari praktek KKN), didesak untuk melakukan pencegahan dan
pemberantasan korupsi secara lebih serius. HamiltonHart (2001) dalam tulisannya tentang
Anti-Corruption Strategies in Indonesia mencatat bahwa sejak reformasi 1998 berbagai upaya
untuk memerangi korupsi memang telah dilakukan secara mendasar oleh pemerintah, antara
lain melalui: Political Reform, Social and Press Freedoms, Fiscal Transparency and Financial
Monitoring, Legal Reform, Direct Strategies Against Corruption, Foreign involvement in the
Reform Process, and Civil Service Reform. Di era Pemerintahan B.J. Habibie, gerakan anti-
korupsi ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Berdasarkan Undang-Undang tersebut
dibentuklah berbagai badan anti-korupsi, antara lain; "KPKPN", "KPPU” dan "KOMISI
OMBUSDMAN".

Akan tetapi kelembagaan-kelembagaan tersebut belum dapat menunjukkan kinerjanya


sebagai badan anti-korupsi yang efektif. Di era pemerintahan K.H. Abdurrachman Wachid
(Gus Dur), gerakan pemberantasan korupsi diwujudkan dengan membentuk sebuah badan
antikorupsi yang diberi nama "Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi"
(TGPTPK) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun
sayang, lembaga yang diketuai oleh Hakim Agung Andi Andojo tersebut akhirnya harus
dibubarkan karena menurut Mahkamah Agung (melaluiJudicial Review) keberadaan dan
struktur lembaga tersebut tidak lazim. Hingga Gus Dur dilengserkan dari jabatan Presiden,
pemberantasan korupsi tetap tidak menunjukkan hasil yang signifikan. (Ulul Albab, 2007).

Tabel 1.

Pemberantasan Korupsi dari Orde Lama Hingga SBY-JK

Orde Lama Orde Baru Orde Reformasi

Era Habibie Era Gus Dur Era SBY-JK


Megawati
Gerakan anti Gerakan anti Gerakan anti Gerakan anti- Gerakan anti- Gerakan
korupsi korupsi Karupsi korupsi korupsi anti-korupsi
dimulai dimulai ditandai dg ditandai ditandai ditandai
pada awat pada awat dikeluarkann dengan: dengan: dengan:
tahun tahun ya: 1. 1. 1.
1950-an, 1950-an, 1.00 Dikeluarkann Dikeluarkann Dikeluarkan
ditandai ditandai No.28/1999 ya PP ya UU nya Keppres
Dengan: Dengan: tentang No.19 Th No.30 Th No.61/MTh
1. 1. Penyelenggar 2000. 2002, yang 2005, yang
Disahkannya Disahkannya aan Negara yang menjadi menjadi
Undang Undang Yang Bersih mendasari dasar dasar
Undang Undang dan Bebas 2. 2. 2.
Keadaan Keadaan Dibentuknya Dibentukny
Bahaya; Bahaya; dari KKN Dibentuknya: KPK a
2. 2. 2.Dibentuk lembaga Tim (Komisi TimTasTipi
Pembentukan Pembentukan berbagai "Gabungan Pemberantas kor (Tim
Badan Badan badan anti- Pemberantasa an Pemberantas
Antikorupsi, Antikorupsi, korupsi, n Korupsi); Tindak
yaitu yaitu antarablain; Tindak 3. Gerakan Pidana
PARAN PARAN KPKPN, Pidana anti-korupsi Korupsi).
(Panitia (Panitia KPPU Korupsi" mulai menuai Lembaga ini
Retooling Retooling dan KOMISI (TGPTPK). hasil. melakukan
Aparatur Aparatur OMBUSDM 3. Namun Tidak sedikit pemberantas
Negara); Negara); AN lembaga pejabat an korupsi
3.Dikeluarka 3. 3.Akan tetapi tersebut publik dan di
nnya Dikeluarkann berbagai akhirnya politis, lingkungan
Keppres ya kelembagaan harus terutama pemerintaha
No.275 Keppres tersebut dibubarkan DPRD, yang n.
tahun 1965 No.275 belum dpt karena diseret ke Kedudukann
tentangpemb tahun 1965 menunjukkan menurut pengadilan ya berada
erantasan tentang kinerjanya Mahkamah atas tuduhan di bawah
korupsi, yang pemberantasa sebagai Agung korupsi; dan
diimplement n badan (melalui 4. bertanggung
asik korupsi, yang anti-korupsi Judicial Munculnya jawab
an dengan diimplementa yang etektif; Review) serangan langsung
sandi sik 4.Analisis: keberadaan balik dari kepada
'OPERASI an dengan Gerakan anti- dan para Presiden.
BUDHI'. sandi korupsi baru struktur koruptor 3. Tetapi
4. 'OPERASI merupakan lembaga (Corruptor pada
Munculnya BUDHI'. fenomena tersebut tidak Fight Back) pertengahan
serangan 4. Munculnya euforia lazim; terutama tahun
balik serangan politik 4. Munculnya kepada 2007
dari para balik dari gerakan serangan kelembagaan Timtastipiko
koruptor dari para reformasi. balik dari dan peran r
(Corruptor koruptor Kelembagaan para koruptor KPK dibubarkan,
Fight (Corruptor anti korupsi (Corruptor sebagai dan
Fight yang fungsinya
Back), Back), dibentuk Fight lembaga dijalankan
5. Hingga 5. Hingga tidak mampu Beck) yang super body. dibawah
Pernerintah Pernerintah menjalankan menghantam 5. Analisis: koordinasi
Orde Orde perannya dan Gerakan Jaksa
Lama Lama dengan baik mengenai anti-korupsi Agung.
tumbang, tumbang, karena langsung memang 4.
korupsi korupsi lemahnya eksistensi mulai Munculnya
belum belum sistem Presiden menghasilka serangan
juga dapat juga dapat administrasi Gus Dur, n. balik dari
diberantas. diberantas. publik (akibat dengan Tetapi para
Berbagai Berbagai adanya mosi serangan temyata koruptor
program program anti- tidak opini berdampak (Corruptor
anti- korupsi korupsi tidak percaya) publik bahwa negatif Fight Back),
tidak menunjukkan dan tidak Gus pada proses 5. Gerakan
menunjukkan hasil yang adanya Dur sendiri pelaksanaan anti-korupsi
hasil yang berarti mekanisme tidak adm mulai
berarti (siginfikan). yang jelas bersih. publik, menghasilka
(siginfikan). 6. Analisis: tentang 5. Analisis: antara lain; n
6. Kegagalan peradilan Kegagalan muncul dampak
Analisis:Keg disebabkan kasus program anti- gejala negatif pada
agalan oleh korupsi. korupsi kriminalisasi proses
disebabkan rendahnya disebabkan administrasi pelaksanaan
oleh komitmen oleh banyak dan adm publik;
rendahnya politik, hal, pejabat 6. Analisis:
komitmen Corruptor antara lain; publik. Hal Pendekatan
politik, Fight belum mana hukum perlu
Corruptor Back yg kuat, pulihnya disebabkan dilaksanaka
Fight Back rendahnya kepercayaan oleh terlalu n bersama2
yg kuat, penegakan publik kuatnya dg
rendahnya hukum, dan pada pendekatan pendekatan
penegakan dikesamping kesungguhan hukum adm
hukum, dan kann pemerintah dan publik
dikesamping ya untuk dikesamping (preventif)
kann
ya pendekatan memberantas kannya untuk
pendekatan adm publik. korupsi, pendekatan mensinkron
adm publik. disamping adm kan antara
sistem publik. 'pemberanta
peradilan san
yang tidak korupsi' dan
jelas 'reformasi
birokrasi.
Sumber: Diolah dari beberapa sumber

2.2 Upaya Pemberantasan Korupsi Di Indonesia

Max Weber, seorang peletak dasar metodologi Ilmu Sosial, mengatakan bahwa orang
tidak boleh memulai dari suatu definisi, melainkan perlu menurunkan indikator-indikator
definisi itu sesuai contoh-contoh khusus. Bagaimanapun juga tak akan pernah menjadi definisi
akhir, namun yang ada adalah sebuah definisi yang dicocokkan dengan maksud-maksud atau
peristiwa yang sedang dihadapi.

Perilaku korupsi bisa diindikasikan dari berbagai perspektif atau pendekatan Tindakan
korupsi menurut perspektif keadilan atau pendekatan hukum misalnya mengatakan bahwa
korupsi adalah mengambil bagian yang bukan menjadi haknya. Korupsi adalah mengambil
secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang
dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri. Korupsi adalah tingkah
laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh
keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok
sendiri (Syafuan Rozi, 2006). Dalam perspektif teori, bentuk-bentuk korupsi dapat berupa
Fraud, PoliticalBargains, Embezzlement, Bribery, Favoritism, Extortion, Abuse of Discretion,
and Conflict of Interest (Hutchinson (2005).

Sedangkan Anwar Shah (2006), merumuskan korupsi ke dalam 4 (empat) bentuk.

1. Pertama, Petty, administrative or bureaucratic corruption.


2. Kedua, grand corruption.
3. Ketiga, state or regulatory capture and influence peddling.
4. Keempat, patronage/paternalism and being a "team player". Sedangkan Spector (2003)
Merumuskan bentuk korupsi kedalam 6 (enam) kategori yaitu; Embezzlement,
Nepotism, Bribery, Extortion, Influence Peddling, dan Fraud. Bentuk-bentuk korupsi
tersebut hanya dimaksudkan untuk memudahkan dalam penanggulangan maupun dalam
pemberantasannya, sehingga perbincangan tentang korupsi yang lebih penting adalah
strategi penanggulangan atau pemberantasannya, bukan sekedar merumuskannya. Korupsi
yang secara lebih populer dirumuskan sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk
kepentingan pribadi (the abuse of public power for private gain), dalam bentuk yang paling
sederhana dan populer seringkali dapat dilihat sebagai tindak penyuapan (bribery).
Berdasarkan bentuk-bentuk korupsi sebagaimana dikutip di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa "Korupsi" dan "Suap" harus dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang,
meskipun perdefinisi kedua tersebut bisa dibedakan. Hal ini menjadi penting karena praktek
"penyuapan" di beberapa wilayah budaya masyarakat di suatu negara tertentu dianggap
bukan"korupsi" (Ulul Albab, 2007).

Dalam upaya pemberantasan korupsi menurut Klitgaard (1988) dapat dirumuskan 3


(tiga) model pemberantasan korupsi, yaitu:

1. Principal-Agent or Agency

2. Models, New Public Management Perspectives

3. Neo-Institutional Economics Frame works.

Model pertama, Principal-Agent or Agency Models adalah model yang


cocokditerapkan pada pemerintahan yang dipimpin oleh seorang diktator (Benevolent
Dictator); dan pemerintahan yang memotivasi pegawainya agar memiliki integritas dalam
menggunakan berbagai sumber daya publik yang sering disebut "Crime and Punishment
Model'.

Menurut model Principal-Agent or Agency, pemberantasan korupsi dapat dilakukan


dengan 4 cara:

1. Pertama, mengurangi jumlah transaksi melebihi kewenangan yang dimiliki pejabat


publik (baik sebagai birokrat, profesional, maupun politisi).
2. Kedua, mengurangi kesempatan memperoleh keuntungan dari setiap transaksi.
3. Ketiga, meningkatkan kemungkinan (akses) untuk pendeteksian.
4. Keempat, meningkatkan hukuman bagi koruptor.
Sehingga, menurut Klitgaard, model apapun yang diterapkan tetap harus mewaspadai
adanya kekuasaan monopoli dan kewenangan pejabat pemerintah dalam membuat kebijakan
yang cenderung tidak terbatas karena menurutnya "corruption equals monopoly plus discretion
minus accountability". Untuk mengurangi korupsi dengan kerangka kerja ini maka negara
harus memiliki pemerintahan yang mampu menegakkan peraturan perundangan (Rules-Driven
Government) dengan pengawasan internal yang kuat dan ketat (strong internal controls) serta
dengan diskresi terbatas (little discretion) kepada para pejabat publik. Yang Model kedua, New
Public Management Perspectives yaitu pandangan tentang administrasi baru/reformasi
birokrasi yang dilakukan secara berkelanjutan dan mesyaratkan diubahnya perundang-
undangan yang lebih luas. Menurut model New Public Management Perspectives,
pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan 3 cara:

1. Pertama, memberikan batasan secara jelas melalui Undang-undang/peraturan negara


tentang pelayanan publik dan etika politik dan birokrasi.
2. Kedua, memberikan pelimpahan kewenangan/tanggungjawab atas sumberdaya dan
personalia dibarengi dengan sentralisasi pengendalian dan kontrol birokrasi di daerah.
3. Ketiga, pengendalian dan kontrol secara menyeluruh yang dilakukan oleh lembaga
hokum dan partisipasi publik atas kinerja birokrasi/pejabat, serta elit-elit politiknya.
(Klitgaard, 1988)

Model ketiga, Neo-Institutional Economics Frameworks yaitu, model kerangka kerja


ekonomi baru yang mendasari pada kesejahteraan secara merata. Menurut model Neo-
Institutional Economics Frameworks. Dalam pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan 3
cara:

1. Pertama, pengembangan ekonomi yang disesuaikan dengan SDA yang dimiliki.


2. Kedua, adanya lembaga-lembaga ekonomi dari di daerah hingga tingkat bawah. Ketiga,
perlunya pengembangan wirausaha dan inovasi dalam pengembangan ekonomi dari
pusat hingga daerah.

Sedangkan Bank Dunia, merekomendasikan upaya pemberantasan korupsi dalam bentuk


"The World Bank Anti-Corruption Strategy" yang meliputi beberapa langkah. Pertama,
"Competitive Private Sector" yang ditempuh melalui kebijakan pengaturan, simplifikasi
perpajakan, stabilitas ekonomi makro, dan mengurangimonopoli. Kedua, "Political
Accountability" yang harus ditempuh dengan cara menciptakan kompetisi politik yang sehat,
transparansi keuangan partai politik, mengumumkan aset dan harta kekayaan ke publik.
Ketiga," Civil Society Participation" yang berarti harus ada kebebasan dan keterbukaan
informasi. Harus ada public hearing untuk setiap rancangan kebijakan yang akan diputuskan,
dan memberi peran yang cukup besar kepada media dan LSM. Keempat, "Institutional
Restraints on Power" yang dapat ditempuh dengan cara menciptakan pengadilan yang
independen dan efektif. Kelima," Public Sector Management" yang bisa ditempuh melalui
profesionalisasi pelayanan kepada masyarakat, desentralisasi (Word Bank, 2007)

Diantara model Klitgaard dan Bank Dunia juga terdapat model yang dipakai di negara-
negara di Asia adalah Anti-Corruption Legislation with no Independent Agency. Model ini
dipraktekkan di Mongolia. Model yang kedua adalalı Anti-Corruption Legislation with several
Agencies, model ini diterapkan di India dan Philipina.

Sedangkan model selanjutnya adalah Anti-Corruption Legislation with an Independent


Agency, model ini dilaksanakan di Singapore dan Hong Kong. Model Asia secara umum
mengacu pada enam hal:

1. Pertama, Commitment of the political leadership iscrucial.


2. Kedua, Comprehensive strategy is more effective.
3. Ketiga, The Anti-Corruption Agency must itslef be incorruptible.
4. Keempat, The Anti-Corruption Agency must be removed frompolicy control.
5. Kelima, Reduce opportunities for corruption in vulnerable agencies.
6. Keenam Reduce corruption by raising salaries if contry can afford to do so" (Quah,
1994)

Dari uraian model-model diatas dapat dilihat bahwa dalam upaya pemberantasan korupsi
terdapat banyak cara yang harus dilakukan dan masing- masing model memiliki kelebihan dan
kelemahan. Dalam pelaksanaannya model satu dapat efektif di satu negara, namun tidak efektif
di negara yang lain. Karenanya penerapan strategi pemberantasan korupsi masih membutuhkan
aturan 0aturan yang sesuai dengan negara terkait. Dalam konteks Indonesia, model
pemberantasan korupsi harus dilakukan secara menyeluruh. Misalnya saja dimulai dari model
yang relatif lebih dekat yaitu model Principal-Agent or Agency beserta langkah-langkahnya.
1. Pertama, mengurangi jumlah transaksi yang melebihi kewenangan yang dimiliki pejabat
publik,
2. Kedua, mengurangi kesempatan memperoleh keuntungan dari setiap transaksi.
3. Ketiga, meningkatkan kemungkinan (akses) untuk pendeteksian.
4. Keempat, meningkatkan hukuman bagi koruptor.

Namun, model tersebut perlu disempurnakan dengan model New Public Management
Perspectives, Neo-Institutional Economics Frameworks dan didukung oleh publik untuk
melakukan jihad melawan korupsi.

Tabel.2

Model Strategi Pemberantasan Korupsi

Model Uraian Cara Kerja


Models Klitgaard Principal-Agent Or Agency Models Principal-Agent or Agency,
(1988) pemberantasan korupsi dapat
dilakukan
dengan 4 cara, yaitu: Pertama;
mengurangi jumlah transaksi
melebihi kewenangan yang dimiliki
pejabat publik (baik sebagai
birokrat, profesional, maupun
politisi). Kedua; Mengurangi
kesempatan memperoleh keuntungan
dari setiap transaksi. Ketiga:
Meningkatkan kemungkinan (akses)
untuk pendeteksian. Keempat,
Meningkatkan hukuman bagi
koruptor
New Public Management
Perspectives Pertama, memberikan batasan secara
jelas melalui Undang-
undang/peraturan negara tentang
pelayanan publik dan etika
politikdan birokrasi. Kedua,
memberikan pelimpahan
kewenangan / tanggung jawab atas
sumberdaya dan personalia
dibarengi dengan sentralisasi
Noe-Institutional Economics pengendalian dan kontrol birokrasi
Frameworks didaerah. Ketiga, pengendalian dan
kontrol secara menyeluruh yang
dilakukan oleh lembaga hukum dan
partisipasi publik atas kinerja
birokrasi/pejabat, serta eli-elit
politiknya.

Pertama, pengembangan ekonomi


yang disesuaikan dengan SDA yang
dimiliki. Kedua, adanya lembaga-
lembaga ekonomi dari di daerah
hingga tingkat bawah. Ketiga,
perlunya pengembangan
wirausaha dan inovasi dalam
pengembangan ekonomi dari pusat
hingga daerah. Model ini terlalu
menggunakan pendekatan hukum
Model Bank kebijakan pengaturan, simplifikasi
Dunia perpajakan,stabilitas ekonomi
makro, dan mengurangi monopoli.
Kedua, Strategi "Political
Accountability dengan cara
menciptakan kompetisi politik yang
sehat, transparansi keuangan partal
politik, mengumumkan aset dan
hartakekayaan ke publik. Ketiga,
Strategi "Civil Society
Participation": kebebasan dan
keterbukaan informasi, public
hearing untuk setiap rancangan
kebijakan yang akan diputuskan,
dan memberi peran yg cukup besar
kpd media dan LSM. Keempat,
Strategi "Institutional Restraints on
Power" menciptakan pengadilan yg
independen dan efektif. Kelima,
Strategi "Public Sector
Management melalui profesio-
nalisasi petayanan kepada
masyarakat, desentralisasi.
Model Asia Anti-Corruption Legislation with Model ini lebih komprensif,karena
no Independent Agency (di menggunakan banyak pendekatan
Mongolia); Anti-Corruption
Legislation with several Agencies
(di India dan Philipina). Anti-
Corruption Legislation with an
independent Agency (di Singapore
dan Hong Kong). Dari model
tersebut Quah menyimpulkan;
bahwa model Anti-Corruption
Legislation with an Independent
Agency lebih efektif dan berhasil
meminimalisir korupsi.
Sumber: Diambil dari beberapa sumber Models Klitgraard,Model Bank Dunia,Model Asia

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara keseluruhan, kesimpulan penelitian ini adalah :
1. Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dalam Ketentuan Hukum Pidana di
Indonesia yakni ada 3 (Tiga) hal yang menurut penulis merupakan kebijakan paling
penting dalam melakukan Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, yakni :
a) Kebijakan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi yang terdapat dalam Pasal 5 UNCAC
2003 tercermin dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK dan Inpres
No. 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;
b) Kebijakan mengenai Institusi/Lembaga dalam Pencegahan Korupsi (Pasal 6 UNCAC
2003), tercermin dalam pasal 14 UU 30 tahun 2002 Tentang KPK;

c) UNCAC 2003 juga mengatur mengenai peran serta masyarakat (participation of


society) yakni dalam Pasal 13 UNCAC, bahwa setiap negara peserta wajib
mengambil tindakan-tindakan yang memadai, dalam jangkauan kemampuannya dan
sesuai dengan prinsip-prinsip fundamental hukum nasionalnya, untuk meningkatkan
partisipasi aktif individu-individu dan kelompok- kelompok di luar sektor publik,
seperti masyarakat madani, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan organisasi-
organisasi kemasyarakatan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dan untuk
meningkatkan kesadaran publik mengenal keberadaan, sebab-sebab, dan kegawatan
ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi. Hal ini tercermin dalam Pasal 41 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, fungsi pencegahan
yang secara tegas terdapat dalam peraturan perundangan yang berhubungan dengan
lembaga hukum hanya terdapat dalam UU KPK. Dalam Undang-Undang Kepolisian,
masalah pencegahan tindak pidana hanya ditempatkan secara umum berkenaan
dengan ketertiban dan ketentraman masyarakat. Sementara dalam Undang-Undang
No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia masalah ini nyaris tidak
disinggung.

SOAL PILIHAN GANDA


NILAI DAN PRINSIP UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI

1. Lembaga pertama yang berperan untuk memberantas korupsi di


indonesia adalah ...
a. Komisi Pemberantasan
b. Korupsi Opera Budhi
c. Peran
d. Tim Pemberantasan Korupsi
e. Tim Gabungan Tindak Pidana Korupsi
Jawaban : B

2. Sebagai wujud keserasian masyarakat indonesia dalam memberantas


korupsi maka di bentuk berbagai macam gerakan anti korupsi, kecuali ...
a. Korupsi Pemberantasan Korupsi
b. Indonesia Corruption Watch
c. Transparancy Bantuan Hukum
d. Lembaga Bantuan Hukum
e. Jawaban a,b,c benar
Jawaban : C

3. masyarakat dalam pemberantasan korupsi di indonesia dapat di


wujudkan dalam bentuk ...
a. Mahkamah Konstitusi
b. Peradilan Umum
c. Lembaga Peradilan
d. Peradilan Agama
e. Lembaga Swadaya Masyarakat
Jawaban : E

4. Yang di maksud dengan peran serta masyarakat dalam upaya


pemberantasan korupsi adalah ...
a. Peran aktif masyarkat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang
bersih dan bebas KKN yang di laksanakan dengan mentaati hukum,
moral dan sosial yang berlaku
b. Peran aktif masyarakat dalam mengawasi wakil – wakil rakyat dalam
menjalankan tugas sebagai lembaga legislative
c. Peran aktif masyarakat dalam mengawasi pemerintah dalam
menjalankan tugasnya di berbagai bidang
d. Peran aktif lembaga peradilan dalam menjalankan tugasnya di bidang
hukum memberantas korupsi di segala bidang
e. Peran aktif lembaga peradilan dalam mengawasi tugas – tugas yag di
jalankan oleh lembaga eksekutif dan lembaga legislatif
Jawaban : A

5. Bentuk peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana


korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 adalah hak ...
a. Mengawasi adanya dugaan penjabat yang telah melakukan korupsi
b. Mencari, memeperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan
korupsi\
c. Untuk mendapatkan kesempatan pelayanan organisasi masyarakat
d. Untuk mengawasi jalannya pemerintahan dari tingkat daerah sampai
pusat
e. Membentuk organisasi masyarakat yang bergerak dalam bidang sosial
Jawaban : B

6. Nilai yang harus ditanamkan sebagai sikap antisipasi ant korupsi,


kecuali ...

a. Jujur
b. Percaya diri
c. Jangan mudah percaya pada orang lain
d. Terbuka
e. Adil
Jawaban: C

7. Dalam menjalakan tugas dan wewenangnya, komisi pemberantasan


korupsi berasaskan pada ...
a. Keterbukaan dan kejuuran
b. Kepastian hukum dan proporsionalitasan
c. Kepandaian dan keahlian
d. Akuntabilitas dan kecerdikan
e. Keterbukaan dan kecerdikan
Jawaban : B
8. Upaya pemerintah untuk memebrantas KKN telah di lakukan dengan
membuat instrumen hukum ataupun melalui berbagai kebijakan antara
lain:
1. Menghindari sikap dan prilaku KKN
2. Tidak melaporkan bila dilingkungannya terdapat orang yang melakukan
korupsi
3. Melaporkan bila mendapatu praktek uang
4. Berani mengatakan kebenaran
5. Berani memberikan uang kepada aparat
Pernyataan yang termasuk peran serta masyarakat dalam pemberantasan
korupsi adalah ...

a. 1-2-3 d. 1-3-4

b. 2-3-4 e. 2-3-5

c. 3-4-5

Jawaban:D

9. Strategi untuk memberantas korupsi yang mengedepankan kontrol 2


unsur dan paling berperan dalam tindak korupsi.. ini pendapa dari ...
a. Jeremy pope
b. Utrech
c. Prof.Mr.E.M.Mayers
d. Leon Duguit
e. S.M.Amin SH
Jawaban : A

10. Perubahan atas undang – undang nomor 31 tahun 1999 tentang


pemberantasan dan tindak pidana korupsi di perbaharui dengan ...
a. Undang – undang no 20 tahun 2001
b. Undang – undang no 30 tahun 2002
c. Undang – undang no 28 tahu 1999
d. Peraturan pemerintah No. 65 tahun 1999
e. Peraturan pemerintah No. 67 tahun 1999
Jawaban:A
DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Syed Husein, 2014, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelasan dengan Data Kontemporer,
Jakarta : LP3ES. Atmasasmita, Romli. 2014. Asset Recovery dan Mutual Assistance In
Criminal Matters, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi

Asas-asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta perkembangannya Dewasa Ini, Yogyakarta :
Mahupiki dan FH Universitas Gadjah Mada. Chazawi, Adami, 2016, Hukum Pidana Korupsi di
Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Danil,

Elwi, 2016 Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Jakarta: Rajawali Pers. Djaja,
Ermansjah, 2018, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta : Sinar Grafika. Hamzah,Andi,
2016, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada. Hamzah,Andi, 2015, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia,
Jakarta : Ghalia Indonesia.

Hartanti,Evi, 2015, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Penerbit Sinar Grafika.

Indriati,Etty, 2014, Pola dan Akar Korupsi, Jakarta : PT. Gramedia pustaka Utama. Kansil,
C.S.T 2018, Hukum Keuangan dan Perbendaharaan Negara, Jakarta : PT. Pradnya Paramita.
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2016, Memahami untuk Membasmi-Buku Saku untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Penerbit Komisi Pemberantasan Korupsi

Anda mungkin juga menyukai