DISUSUN OLEH :
BAB I
PENDAHULUAN
Keadaan yang demikian suka atau tidak suka akan menggoyahkan demokrasi
sebagai sendi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, melumpuhkan nilai-nilai
keadilan dan kepastian hukum serta semakin jauh dari tujuan tercapainya masyarakat yang
sejahtera. Dengan melihat latar belakang timbulnyakorupsi,salah satu faktor yang
menyebabkan meningkatnya aktifitas korupsi di beberapa negara disebabkan terjadinya
perubahan politik yang sistematik, sehingga tidak saja memperlemah atau menghancurkan
lembaga sosial politik, tetapi juga lembaga-lembaga hukum
Negara Republik Indonesia adalah sebuah Negara besar yang berlandaskan hukum,
hal ini berarti bahwa hukum di Indonesia di junjung tinggi. Sesuai dengan Pasal 27
Undang-undang Dasar 1945 yang sudah di amandemen; “Bahwa segala warga Negara
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum
dan Pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Sebagai Basic Law (hukum dasar)
Undang- undang Dasar 1945 telah mengatur kedudukan warga Negara dan pemerintahan itu
sendiri. Sesuai dengan amanat undang-undang Dasar 1945 maka dibentuklah aparat Negara
penegak hukum yaitu Polri yang didasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam pasal 13 berbunyi; “dalam mengemban
Tugasnya Kepolisian mempunyai Tugas Pokok :
2. Menegakan hukum,
Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi adalah tindak pidana korupsi yang beridir
sendiri dan dimuat dalam Pasal-pasal Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Sebagian besar masyarakat masih sangat percaya korupsi masih bekerja
secara sistematis dan terstruktur di kalangan birokrasi pemerintahan, lembaga
penegakan hukum maupun lingkungan parlemen. Suatu hasil jajak pendapat yang
dilakukan pada pertengahan Februari 2007 oleh sebuah media menegaskan hal tersebut.
Jajak pendapat itu menyatakan, sekitar 65% masyarakat di kota-kota besar masih tetap
tidak percaya, pemerintah telah serius melakukan pemberantasan korupsi. Bahkan, di
provinsi yang kepala daerahnya pernah dinobatkan menjadi championship di bidang anti
korupsi oleh ICW, prosentase ketidakpercayaan masyarakat keseriusan pemrintah
daerah dalam pemberanatasan justru sangat tinggi karena mencapai angka diatas 80%.
Perluasan pesimisme dan ketidakpercayaan masyarakat pada keseriusan pemberantasan korupsi
bisa jadi disebabkan oleh beberapa fakta yang terjadi belakangan ini. Delegitimasi lembaga
KPK terus menerus terjadi seolah ada skenario yang dilakukan secara “terencana dan
sistematis” dengan merekayasa suatu proses yang pada akhirnya ditujukan untuk
“melumpuhkan” kewenangan dan otoritas lembaga tersebut. Lepas dari beberapa kekurangan
yang masih melekat di KPK pada kinerjanya sehingga harus terus menerus ditingkatkan, tetapi
juga tidak dapat diingkari, KPK telah menjadi suatu lembaga yang mampu mengukir
“success story”, dipercaya serta punya integritas dan kredibilitas di dalam percepatan
pemberantasan korupsi.
Namun kebijakan publik yang seharusnya mampu menyusun politik hukum dan politik
penegakan hukum secara lebih kongkrit dan tegas serta kompatibel dengan tuntutan publik dan
merumuskan pola pengendalian tindak korupsi secara lebih komprehensif, efisien dan efektif
tidak terjadi. Padahal, perkembangan modus korupsi kian canggih, karena tindak korupsi tidak
hanya suatu tindakan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan sehingga
merugikan keuangan negara secara langsung saja, tetapi juga telah menjelajah dan merasuk
makin dalam pada ruang-ruang pembuat kebijakan publik sehingga dapat terjadi impunitas,
kekebalan hukum pada orang tertentu dan kecenderungan legalisasi tindak korupsi
Pemberantasan Korusi ini adalah dalam hal pencegahan atau preventif terhadap tindak
pidana korupsi Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis tertarik untuk meneliti tentang
Peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Pencegahan Perilaku Korupsi, Kolusi.
BAB II
PEMBAHASAN
Persoalan korupsi tidak dapat dipisahkan dalam dinamika politik kekuasaan sebuah
rezim. Kekuasaan politik menurut David Easton merupakan satu-satunya bentuk kekuasaan
yang memiliki daya paksa yang sah kepada masyarakat secara luas dan ketundukkan
masyarakat akan terealisir karena memang rakyat memiliki kepentingan untuk menutupi
keterbatasannya. Disamping itu, bentuk kekuasaan juga merupakan sesuatuhal yang memiliki
tujuan untuk mempengaruhi tindakan dan aktivitas negara bidang eksekutif, legislatif dan
yudikatif yang melingkupi rakyatdalam koridor negaranya. Senada dengan hal tersebut, Lord
Acton mengemukakan pendapat bahwa power tends to corrupt, absolut power corrupts
absolutely yang artinya kekuasan lebih memberikan kesempatan untuk melakukan
penyalahgunaan kekuasaan. Konteks pemahaman tersebut memberikan gambaran bahwa
korupsi terjadi dalam lingkungan kekuasaan yang dimiliki oleh kekuasaan politik suaturezim
yang berkuasa pada saat tertentu.
Namun, banyaknya aturan perundangan dan badan anti korupsi tersebut ternyata tidak
cukup menjamin bangsa ini terbebas dari korupsi. Justru yang terjadi adalah "patah tumbuh
hilang berganti, mati satu tumbuh seribu" seperti sel kanker ganas karena akarnya yang telah
meluas. Semakin dibabat semakin cepat penyebarannya. Jangankan untuk membasmi korupsi,
untuk menekan laju pertumbuhan korupsi saja tidak signifikan. Sikap pesimis dan sinis kerap
mewarnai penilaian masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi.
BUDHI". Sasarannya adalah BUMN dan lembaga-lembaga negara yang dianggap rawan
korupsi, misalnya Pertamina (KPK, 2007). Tetapi Keppres 275/1963 sebagai landasan
pemberantasan korupsi juga tidak dilaksanakan secara efektif. Penyebab dari kegagalan
Keppres tersebut antara lain adalah: adanya resistensi birokrasi dan pejabat negara yang dekat
dan kong kalingkong dengan Presiden. Akhirnya pelaksanaan kebijakan pemberantasan korupsi
yang diback-up Keppres tersebut gagal. Sampai Pemerintah Orde Lama tumbang,
pemberantasan korupsi tidak membuahkan hasil yang berarti.
Selanjutnya pengalaman Orde Baru dalam pemberantasan korupsi juga tidak jauh dari Orde
Lama. Bahkan pada masa Orde Baru korupsi malah justru semakin merajalela dan merasuk ke
semua lini kehidupan dan pemerintahan. Pemberantasan korupsi tidak lebih dari sekedar
retorika politik belaka. Retorika itu diawali dengan pidato Soeharto (sebagai Presiden) di depan
DPR/MPR pada tanggal 16 agustus 1967 yang menyatakan akan membasmi korupsi hingga ke
akar-akarnya. Kemudian dibentuklah TPK (Tim Pemberantasan Korupsi). Tetapi, seperti yang
diduga oleh banyak kalangan. TPK tidak memiliki keberanian untuk membongkar korupsi yang
sudah mewabah, hingga akhirnya terjadi demontrasi mahasiswa dan pelajar secara besar-
besaran di tahun 1970, yang menuntut dan mendesak Soeharto memenuhi janjinya untuk lebih
serius memberantas korupsi, terutama di Pertamina, Bulog, dan Departemen Kehutanan. Hal
inilah yang kemudian memunculkan inisiatif dibentuknya lembaga "Komite Empat". Lembaga
Komite Empat ini juga tidak mampu menjalankan tugasnya, sehingga pemerintah Orde Baru
menggerakkan operasi yang diberi nama "OPSTIB" (Operasi Tertib) yang dipimpin oleh
Laksamana Sudomo.
Kegagalan pemberantasan korupsi yang semakin nyata di era rezim Orde Baru diwarnai
oleh lahirnya berbagai peraturan perundangan yang sengaja dibuat untuk melindungi tindakan
para koruptor agar bebas dari jeratan hukum. Pola pemerintahan Orde Baru yang melindungi
koruptor ini dapat dipahami dengan jelas melalui pendekatan ekonomi politik korupsi. Karena
sikap pemerintah Orde Baru yang demikian itulah maka negara Indonesia dikenal oleh para
pengamat asing sebagai negara kleptokratik (Rose-Ackerman, 2006), yaitu suatu istilah untuk
menyebut "negara para maling". Kegagalan pemberantasan korupsi di masa Orde Baru secara
nyata juga mencerminkan belum adanya strategi dan kebijakan pemberantasan korupsi yang
komprehensif (seperti Orde Lama), sehingga penanganan yang dipraktekkan seakan-akan tidak
memiliki nilai yang dapat mencegah potensi terjadinya korupsi di tubuh birokrasi. Lebih dari
itu, strategi pemberantasan korupsi yang dibuat tidak didasarkan pada kebijakan yang jelas,
yaitu kebijakan yang menitikberatkan upaya pencegahan potensi terjadinya korupsi birokrasi,
tetapi lebih diwarnai oleh kepentingan politik jangka pendek.
Berdasarkan pengalaman historis pemberantasan korupsi di masa Orde Lama dan Orde
Baru, pemerintah di era reformasi (yang dilahirkan dari gerakan massa secara nasional untuk
menyelamatkan Indonesia dari praktek KKN), didesak untuk melakukan pencegahan dan
pemberantasan korupsi secara lebih serius. HamiltonHart (2001) dalam tulisannya tentang
Anti-Corruption Strategies in Indonesia mencatat bahwa sejak reformasi 1998 berbagai upaya
untuk memerangi korupsi memang telah dilakukan secara mendasar oleh pemerintah, antara
lain melalui: Political Reform, Social and Press Freedoms, Fiscal Transparency and Financial
Monitoring, Legal Reform, Direct Strategies Against Corruption, Foreign involvement in the
Reform Process, and Civil Service Reform. Di era Pemerintahan B.J. Habibie, gerakan anti-
korupsi ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Berdasarkan Undang-Undang tersebut
dibentuklah berbagai badan anti-korupsi, antara lain; "KPKPN", "KPPU” dan "KOMISI
OMBUSDMAN".
Tabel 1.
Max Weber, seorang peletak dasar metodologi Ilmu Sosial, mengatakan bahwa orang
tidak boleh memulai dari suatu definisi, melainkan perlu menurunkan indikator-indikator
definisi itu sesuai contoh-contoh khusus. Bagaimanapun juga tak akan pernah menjadi definisi
akhir, namun yang ada adalah sebuah definisi yang dicocokkan dengan maksud-maksud atau
peristiwa yang sedang dihadapi.
Perilaku korupsi bisa diindikasikan dari berbagai perspektif atau pendekatan Tindakan
korupsi menurut perspektif keadilan atau pendekatan hukum misalnya mengatakan bahwa
korupsi adalah mengambil bagian yang bukan menjadi haknya. Korupsi adalah mengambil
secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang
dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri. Korupsi adalah tingkah
laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh
keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok
sendiri (Syafuan Rozi, 2006). Dalam perspektif teori, bentuk-bentuk korupsi dapat berupa
Fraud, PoliticalBargains, Embezzlement, Bribery, Favoritism, Extortion, Abuse of Discretion,
and Conflict of Interest (Hutchinson (2005).
1. Principal-Agent or Agency
Diantara model Klitgaard dan Bank Dunia juga terdapat model yang dipakai di negara-
negara di Asia adalah Anti-Corruption Legislation with no Independent Agency. Model ini
dipraktekkan di Mongolia. Model yang kedua adalalı Anti-Corruption Legislation with several
Agencies, model ini diterapkan di India dan Philipina.
Dari uraian model-model diatas dapat dilihat bahwa dalam upaya pemberantasan korupsi
terdapat banyak cara yang harus dilakukan dan masing- masing model memiliki kelebihan dan
kelemahan. Dalam pelaksanaannya model satu dapat efektif di satu negara, namun tidak efektif
di negara yang lain. Karenanya penerapan strategi pemberantasan korupsi masih membutuhkan
aturan 0aturan yang sesuai dengan negara terkait. Dalam konteks Indonesia, model
pemberantasan korupsi harus dilakukan secara menyeluruh. Misalnya saja dimulai dari model
yang relatif lebih dekat yaitu model Principal-Agent or Agency beserta langkah-langkahnya.
1. Pertama, mengurangi jumlah transaksi yang melebihi kewenangan yang dimiliki pejabat
publik,
2. Kedua, mengurangi kesempatan memperoleh keuntungan dari setiap transaksi.
3. Ketiga, meningkatkan kemungkinan (akses) untuk pendeteksian.
4. Keempat, meningkatkan hukuman bagi koruptor.
Namun, model tersebut perlu disempurnakan dengan model New Public Management
Perspectives, Neo-Institutional Economics Frameworks dan didukung oleh publik untuk
melakukan jihad melawan korupsi.
Tabel.2
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Secara keseluruhan, kesimpulan penelitian ini adalah :
1. Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi dalam Ketentuan Hukum Pidana di
Indonesia yakni ada 3 (Tiga) hal yang menurut penulis merupakan kebijakan paling
penting dalam melakukan Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi, yakni :
a) Kebijakan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi yang terdapat dalam Pasal 5 UNCAC
2003 tercermin dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK dan Inpres
No. 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;
b) Kebijakan mengenai Institusi/Lembaga dalam Pencegahan Korupsi (Pasal 6 UNCAC
2003), tercermin dalam pasal 14 UU 30 tahun 2002 Tentang KPK;
a. Jujur
b. Percaya diri
c. Jangan mudah percaya pada orang lain
d. Terbuka
e. Adil
Jawaban: C
a. 1-2-3 d. 1-3-4
b. 2-3-4 e. 2-3-5
c. 3-4-5
Jawaban:D
Alatas, Syed Husein, 2014, Sosiologi Korupsi Sebuah Penjelasan dengan Data Kontemporer,
Jakarta : LP3ES. Atmasasmita, Romli. 2014. Asset Recovery dan Mutual Assistance In
Criminal Matters, Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi
Asas-asas Hukum Pidana dan Kriminologi serta perkembangannya Dewasa Ini, Yogyakarta :
Mahupiki dan FH Universitas Gadjah Mada. Chazawi, Adami, 2016, Hukum Pidana Korupsi di
Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Danil,
Elwi, 2016 Konsep, Tindak Pidana dan Pemberantasannya, Jakarta: Rajawali Pers. Djaja,
Ermansjah, 2018, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta : Sinar Grafika. Hamzah,Andi,
2016, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada. Hamzah,Andi, 2015, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia,
Jakarta : Ghalia Indonesia.
Indriati,Etty, 2014, Pola dan Akar Korupsi, Jakarta : PT. Gramedia pustaka Utama. Kansil,
C.S.T 2018, Hukum Keuangan dan Perbendaharaan Negara, Jakarta : PT. Pradnya Paramita.
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2016, Memahami untuk Membasmi-Buku Saku untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Penerbit Komisi Pemberantasan Korupsi