Anda di halaman 1dari 186

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Telah menjadi fenomena penegakan hukum sampai pada abad
XXI, adalah penegakan hukum masih jauh dari harapan, bahkan
ada kecenderungan penegakan hukum telah kehilangan
fungsinya ketika pihak yang terlibat menyangkut dengan oknum
aparat penegak hukum, politisi, penguasa dan pengusaha (orang
kaya). Mencermati penegakan hukum yang terjadi saat ini telah
menggambarkan semakin menjauhnya keadilan dari masyarakat.
Berbagai putusan pengadilan belum memberikan rasa keadilan
bagi masyarakat, sehingga legitimasi hukum patut
dipertanyakan,1 Pada aspek lain, timbulnya kecemasan akan
terjadinya keguncangan yang terjadi dalam lembaga
pemasyarakatan yang disebabkan oleh karena lembaga
pemasyarakatan telah dipenuhi oleh para pelaku tindak pidana,
akibat dari padatnya penghuni lapas, sehingga sering terjadi
konflik antara sesama penghuni lapas dan dengan petugas lapas
yang cenderung terjadi korban dan bahkan terjadi pembakaran
lapas. Selain itu fenomena korupsi oleh penyelenggara negara
yang terus meningkat menjadikan lembaga pemasyarakatan
terasa semakin sempit, karena pelaku korupsi yang terus
meningkat. Korupsi itu adalah penyakit jiwa berupa keinginan
untuk memiliki harta dengan cara-cara yang tidak dibenarkan
oleh norma hukum. Korupsi ibarat penyakit menular yang
menjalar dan merasuki tubuh manusia, yang jika tidak dicegah
akan menjadikan tubuh menjadi rusak, sakit dan hidup penuh

1 Suhardin, Yohanes. "Fenomena Mengabaikan Keadilan dalam


Penegakan Hukum." Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada 21, no. 2 (2009): h.341
dengan kecemasan, yang berdampak pada akhirnya akan mati.2
Korupsi, kolusi dan nepotisme, justru telah merusak sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
menjadikan suatu bangsa sulit bangkit dari keterpurukan dan
kebangkrutan.
Berdasarkan berita dari liputan6.com dari data yang dirilis oleh
Transparency International Indeks Persepsi Korupsi pada tahun
2014 ternyata negara yang paling bersih dari korupsi adalah
Denmark, lalu disusul Selandia Baru, Finlandia, Swedia,
Norwegia, dan Swiss.3 Singapura menjadi satu-satunya negara di
kawasan Asia Tenggara yang masuk 10 besar, tepatnya
menempati urutan ke-7 sebagai negara paling bersih dari
korupsi, sementara Indonesia masih berada di peringkat 107
atau naik 7 peringkat dari tahun sebelumnya.4
Selama ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi
ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia.5
Berdasarkan data KPK selama tahun 2015 ini, kasus korupsi
paling banyak ditemukan di kementerian atau lembaga
pemerintah, yakni mencapai 23 kasus. Pada urutan kedua
ditempati pemerintah kabupaten dan pemerintah kota, yakni ada
13 kasus. Sementara di pemerintahan provinsi (pemprov)
ditemukan 11 kasus korupsi dan menempatkan pemprov di
urutan ketiga paling rawan korupsi.6 Selanjutnya adalah DPR
dengan 2 kasus.7 Berdasarkan jenis perkara korupsi, praktik

2 Ali Mansyur, Menju Masyarakat Anti Korupsi, Terpetik dari


Memahami Hukum, Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Editor,
Satya Arinanto & NinukTriani, Rajawali Pers, 2009, him. 153
3 http://news.liputan6.com/read/2144872/indeks-persepsi-

korupsi-indonesia-2014-naik-7-peringkat
4 Ibid
5 Ibid
6 Ibid
7 Ibid
penyuapan masih mendominasi kasus-kasus korupsi.8 Selama
tahun 2016, ada 16 kasus penyuapan yang ditangani KPK.9 Hal
ini menunjukkan, kasus penyuapan paling banyak dilakukan
dalam praktik korupsi.10 Pada urutan kedua adalah pengadaan
barang dan jasa dengan 13 kasus.11 Sementara tindak pidana
pencucian uang dan pungutan masing-masing terjadi 5 kasus.
Urutan berikutnya adalah perizinan dengan 4 kasus.12 Dari
fenomena kasus korupsi tersebut sangat berkaitan dengan
problem integritas penyelenggara negara.
Salah satu aspek yang memerlukan perhatian adalah bagaimana
mencegah para penyelenggara negara agar tidak melakukan
perbuatan melanggar hukum seperti tindak pidana korupsi,
Salah satu upaya untuk mencegah penyelenggara negara dari
tindakan korupsi, adalah melalui penegakan etika penyelenggara
negara.13 Meningkatnya gejala kelebihan beban hunian lembaga
pemasyarakatan semakin hari semakin kelebihan beban, oleh
karena itu peningkatan kelebihan beban hunian lembaga
pemasyarakatan menjadikan fungsi lembaga pemasyarakatan
menjadi tidak efektif. Tidak efektifnya lembaga pemasyarakatan

8 Ibid
9 Ibid
10 Ibid
11 Ibid
12 Ibid
13 Kata Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang artinya cara

berpikir, kebiasaan, adat, perasaan, sikap, karakter, watak kesusilaan


atau adat. Dalam kamus Bahasa Indonesia ada tiga arti yang dapat
dipakai untuk kata Etika, yaitu Etika sebagai sistem nilai atau sebagai
nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pedoman bagi
seseorang atau kelompok untuk bersikap dan bertindak. Etika bisa
diartikan juga sebagai kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak atau moral. Selain itu, Etika bisa juga diartikan sebagai ilmu
tentang yang baik dan yang buruk diterima di dalam suatu masyarakat,
menjadi bahan refleksi yang diteliti secara sistematis dan metodis.
(penjara), telah berkembang menjadi sekolah kejahatan (school
of criminals)14
Sementara itu, gejala pelanggaran etika penyelenggara negara
pada hakikatnya telah dapat terdeteksi dari prilaku sehari-hari
mulai dari gaya hidup (lifestyle), dan kebiasaan sehari, misalnya
saja prilaku hidup mewah dan boros, prilaku sex menyimpang,
bahkan prilaku menyimpang yang bersifat berlaku kasar
terhadap orang lain misalnya bersikap kasar terhadap anak dan
istri, atau berlaku kasar terhadap bawahannya. Jika prilaku
tersebut ada pada penyelenggara negara, dapat dipastikan akan
cenderung menyalahgunakan kekuasaannya dan tinggal
menunggu saatnya pejabat penyelenggara negara yang
bersangkutan akan melakukan korupsi. Oleh karena itu
penegakan etika penyelenggara negara akan menjadi suatu
keniscayaan untuk mencegah agar penyelenggara negara tidak
melakukan pelanggaran hukum yang akan berimplikasi
terjadinya korupsi yang merugikan keuangan negara. Etika
dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan
manusia. etika penyelenggara negara memberi orientasi agar
bagaimana menjalani hidup melalui rangkaian tindakan sehari-
hari dan etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan
bertindak secara tepat dalam menjalani hidup. Etika membantu
untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu
dilakukan dan perlu dipahami bersama bahwa etika dapat
diterapkan dalam segala bentuk aspek atau sisi kehidupan.15

14 Jimly Asshiddiqie, Beban Penjara Sebagai Wahana


Resosialisasi Narapidana, Terteptik dari Newsletter DKPP,
Edisi/III/Agustus 2014, him. 15

15 Eka Martiana Wulansari, Pengaturan Tentang Etika


Penyelenggara Negara Dalam Rancangan Undang-Undang, dalam
Rechtsvinding, Online, Media Pembinaan Hukum Nasional,
Dewasa ini penyelenggaraan negara masih dihadapkan pada
kondisi yang belum sesuai dengan kebutuhan dan perubahan di
berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.16 Hal tersebut bisa disebabkan oleh ketidaksiapan
untuk menanggapi terjadinya transformasi nilai yang berdimensi
luas serta dampak berbagai masalah pembangunan yang
kompleks.17 Sementara itu, tatanan baru masyarakat Indonesia
dihadapkan pada harapan dan tantangan global yang dipicu oleh
kemajuan di bidang ilmu pengetahuan, informasi, komunikasi,
transportasi, investasi, dan perdagangan.18
Secara normatif, tentang etika penyelenggara negara dapat
ditelusuri pada beberapa produk hukum dalam bentuk
ketetapan MPR adalah sebagai berikut:
1) Tap MPR RI Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok
Reformasi Pembangunan Dalam Rangka Penyelamatan dan
Normalisasi Kehidupan Nasional Sebagai Haluan Negara:
mengamanatkan agar menyiapkan sarana dan prasarana,
program aksi dan perundang-undangan bagi tumbuh dan
tegaknya etika penyelenggara negara.;
2) Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa (EKB) mengisyaratkan perlunya
mengaktualisasikan etika kepemerintahan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, mengacu pada cita-cita persatuan dan
kesatuan, ketahanan, kemandirian, keunggulan dan kejayaan
serta kelestarian lingkungan yang dijiwai nilai-nilai agama dan
nilai-nilai luhur budaya bangsa.

16 Nuriyanto. 2014. Penyelenggaraan Pelayanan Publik Di


Indonesia, Sudahkah Berlandaskan Konsep “Welfare State”?. Jurnal
Konstitusi vol 11 no 3, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. hlm
428-453. hal 437.
17 Ibid
18 Ibid
3) Tap MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 tentang
Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan
KKN mengisyaratkan perlunya membentuk undang-undang
beserta peraturan pelaksanaannya untuk pencegahan korupsi
yang muatannya meliputi etika penyelenggaraan negara. Amanat
MPR ini melatarbelakangi perlunya instrumen hukum dalam
bentuk ketentuan undang-undang yang sifatnya mewadahi dan
memformulasikan prinsip dasar, norma-norma etika dan
mekanisme penegakan etika penyelenggara negara. Ketentuan
undang-undang ini berperan mendasari pelaksanaan Etika
Penyelenggara Negara (EPN) dan pembentukan kode etik
lembaga penyelenggara negara yang patut ditegakkan, ditaati,
dan dipatuhi untuk dilaksanakan oleh setiap penyelenggara
negara dan diwujudkan dalam bersikap, berperilaku, bertindak,
dan berucap bagi setiap penyelenggara negara dalam
menjalankan tugas penyelenggaraan negara.
4) Tap MPR RI Nomor II/MPR/2002 tentang Percepatan
Pemulihan Ekonomi Nasional, termasuk Reformasi Birokrasi dan
Membangun Penyelenggara Negara dan Dunia Usaha yang
Bersih, mendesak terciptanya penyelenggara negara, dunia
usaha, dan seluruh masyarakat yang baik dan bersih;
5) Tap MPR RI Nomor VI/MPR/2002 mengamanatkan
pemberantasan KKN, penegakan dan kepastian hukum, dan
reformasi birokrasi;
6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN: Tujuh asas
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN, yaitu
kepastian hukum, tertib penyelenggaraan negara, kepentingan
umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan
akuntabel;
7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara menegaskan pentingnya kode etik dan kode
perilaku aparatur negara.
Isu strategis, dalam penyelenggaraan negara, terjadi dinamika
antara lain timbulnya akibat perkembangan degradasi nilai
moral dan norma etika yang ditandai sikap, perilaku, tindakan
dan ucapan penyelenggara negara yang kadang-kadang kurang
etis dalam melaksanakan tugas kegiatannya, misalnya sering
terjadi penyelenggara negara membuat pernyataan tidak jujur,
tidak benar, berbohong, tidak transparan, kurang
bertanggungjawab atas kegagalan pelaksanaan tugas, tidak
konsisten dalam pelaksanaan kebijakan atau hukum, cenderung
mengutamakan kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan di
atas kepentingan masyarakat dan negara, dan kurang adil dalam
pelayanan masyarakat).
Etika merupakan sikap dan tindak tanduk manusia dalam
kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan moral individu,
dan etika tidak saja berhubungan dengan tindakan-tindakan
nyata tetapi juga mencakup motif dari suatu tindakan yang
dilakukan oleh seseorang.19 Penyelenggara negara adalah setiap
pejabat publik diserahi tugas dalam hubungan dinas publik
dalam rangka melaksanakan tugas servis publik baik di tingkat
pusat maupun di daerah, baik itu dilingkungan legislatif,
eksekutif (pejabat dalam lingkungan pemerintah, maupun
yudikatif (dalam lingkungan kekuasaan kehakiman).20

19 Jimly Assidiqie, Menegakan Etika Penyelenggara Pemilu,


Rajagrafindo, Jakarta, 2013, him. 107

20 Pengertian penyelenggara Negara dapat ditemukan dalam


Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ("UU
28/1999"), yang menyatakan sebagai berikut: Penyelenggara Negara
adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
Penyelenggara negara dalam melaksanakan fungsinya (tugas dan
kewenangan) selalu terikat pada norma-norma hukum, etika,
dan adat istiadat setempat (kearifan lokal).21 Setiap
penyelenggara negara harus tunduk pada norma hukum yang
mengatur tugas dan wewenangnya yang sudah diatur secara
limitatif dalam undang-undang atau peraturan perundang-
undangan lainnya.22 Sementara itu persoalan etika belum diatur
dan tidak melekat pada tupoksi penyelenggara negara, hal ini
disebabkan karena masalah etika mempunyai dimensi yang
sangat luas, bahkan sering terjadi benturan antara etika dan
hukum itu sendiri, sehingga menjadi masalah adalah yang
manakah yang harus didahulukan, menegakkan etika atau
menegakkan hukum lebih dahulu, ataukah menegakkan etika
dan menegakkan hukum dapat dilakukan secara berbarengan.23
Penegakan etika dan kehormatan berbarengan dengan
menegakkan hukum telah pernah dipertunjukkan oleh Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu dan Mahkamah Konstitusi
pada saat yang bersamaan DKPP memeriksa gugatan
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan umum Presiden
dan Wakil Presiden Tahun 2014, dan dalam waktu yang
bersamaan Mahkamah Konstitusi mengadili gugatan atas
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu
(Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilihan

legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
21 La Ode Husen. 2015. MENEGAKKAN ETIKA DAN KEHORMATAN

PENYELENGGARA NEGARA DAPAT MENCEGAH TERJADINYA KORUPSI.


PROSIDING SEMINAR TEKNOLOGI OLAHRAGA: Jurnal ETIKA & PEMILU
vol 1 no 1 (1 Juni), Seminar Nasional Teknologi Olahraga. hlm 17-23.
hal 20.
22 Ibid., hlm 21.
23 Ibid
Umum).24 Hal ini menjadi menarik karena pada saat itu DKPP
dalam memeriksa dan memutuskan gugatan tersebut tidak
menunggu putusan MK, demikian pula MK dalam memeriksa dan
memutus gugatan tersebut tidak menunggu hasil pemeriksaan
dari DKPP.25 Keadaan ini menunjukkan bahwa persoalan etika
mempunyai dimensi yang berbeda dengan pelanggaran hukum,
meskipun pelanggaran etika itu berimplikasi pada pelanggaran
hukum dan sebaliknya pelanggaran hukum juga berimplikasi
pada pelanggaran etika.26
Dalam hubungannya dengan etika penyelenggara negara maka
pejabat Negara dan Kepala Daerah yang telah diberikan
tanggung jawab untuk mengabdi kepada bangsa dan Negara
serta menjadi pelayan masyarakat seharusnya memiliki rasa
kepatutan dan etika yang tinggi, dimana pasti terjadi
perbenturan antara kepentingan pribadi (conflict of interest) dan
kepentingan kelompok dengan kepentingan masyarakat luas,
seharusnya mereka lebih mengutamakan kepentingan yang
menyangkut hajat hidup orang banyak, bukan semata-mata ingin
mendapatkan kekuasaan atau jabatan.27
Untuk preseden yang baik, ada bagusnya para pejabat tersebut
mengundurkan diri dari jabatannya yang sedang aktif sekarang
ini untuk lebih fokus pada pelaksanaan pemilihan Capres dan
Cawapres dengan pertimbangan selama menjalankan proses
Pilpres, tidak akan mungkin dapat menjalankan tugas-tugasnya
dengan baik, sehingga harus diberikan kepada orang yang bisa

24 Ibid
25 Ibid
26 Ibid
27 Kisia Revin Anggehta. 2014. ETIKA DAN TATA KELOLA, Topik

Makalah: Bidang Pemerintahan Birokrasi dan Etika Pejabat


Negara/Kepala Daerah Aktif yang Mengikuti Pencalonan
Presiden/Wakil Presiden. Universitas Indonesia: Tugas Individu. hal 9-
10.
memikul tanggung jawab tersebut.28 Para Pejabat Negara dan
Kepala Daerah harus mempunyai solusi untuk mengatasi etika
dilema yang dihadapi berasaskan dengan 3 prinsip End Based,
Rules Based, The Golden Rule, keputusan yang terbaik adalah
keputusan yang membuat kebaikan untuk banyak orang.29 Untuk
mengundurkan diri ataupun mengajukan cuti, tentunya
mempunyai risiko tersendiri, bagi yang mempunyai jiwa
kesatria, mereka sudah siap dan akan rela melepas jabatannya
untuk sesuatu yang lebih baik, ataupun bila mereka tidak terpilih
sebagai Capres atau Cawapres, mereka tetap akan dihargai
sebagai orang yang memiliki etika moral yang baik.30
Bagi pejabat Negara/Kepala Negara yang mengajukan cuti dari
jabatannya aktifnya untuk mengikuti Pilpres, secara hukum dan
peraturan perundang-undangan di Negara ini juga
diperbolehkan, tetap apakah masyarakat yang telah memilih
mereka merasa nyaman dan suka dengan pilihan tersebut, tentu
saja masyarakat bisa menilai negatif, bisa jadi pejabat tersebut
dinilai tidak amanah, tidak konsisten, bahkan ada kesannya
serakah, mengincar jabatan baru yang lebih tinggi tanpa harus
kehilangan jabatan yang lama bila dia gagal nanti, masyarakat
sebagai stakeholders pula yang nantinya akan dirugikan bila
pejabat tersebut gagal dalam tugasnya.31
Penegakan etika penyelenggara negara mutlak harus dilakukan
untuk mencegah agar pejabat yang bersangkutan tidak
melakukan pelanggaran hukum yang bisa menimbulkan
kerugian negara (korupsi).32 Menegakkan hukum, berbeda
dengan menegakkan etika, karena menegakkan etika, tidak harus

28 Ibid., hlm 10.


29 Ibid
30 Ibid
31 Ibid
32 La Ode Husen. (2015). Op. Cit., hlm. 21.
menunggu sampai ada perbuatan melanggar hukum.33
Sementara itu penegakan hukum itu terlalu kaku telah menjadi
kelemahan utama dalam penegakan hukum yang cenderung
mengabaikan rasa keadilan masyarakat karena lebih
mengutamakan kepastian hukum. Proses mengadili dalam
kenyataannya bukanlah proses yuridis semata.34 Proses
peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan
bunyi undang-undang, melainkan proses yang melibatkan
perilaku-perilaku masyarakat dan berlangsung dalam struktur
sosial tertentu.35
Oleh karena itulah diperlukan rumusan kode etik yang mengikat
bagi setiap penyelenggara negara, dan rumusan etika
penyelenggara negara tersebut tidak dirumuskan sendiri oleh
lembaga-lembaga penyelenggara negara yang cenderung
eksklusif.36 Praktek penegakan etika selama ini hanya dilakukan
masing-masing lembaga penyelenggara negara, misalnya Kode
Etik Hakim, Kode Etik Kejaksaan, Kode Etik Polri, dan penegakan
kode etik itu dilakukan sendiri oleh lembaga atau instansi yang
bersangkutan.37 Penegakan kode etik yang dilakukan sendiri
oleh lembaga atau institusi pemerintah tersebut cenderung tidak
efektif, bahkan tidak berdampak pada mencegah seorang pejabat
untuk melanggar hukum, bahkan boleh jadi penegakan etika itu
justru bertujuan melindungi pejabat yang bersangkutan dari
tuduhan pelanggaran etika.38 Lembaga-lembaga penjaga kode
etik yang bersifat internal cenderung tidak efektif, oleh karena
sudah saatnya dibentuk sebuah badan atau dewan penjaga kode

33 Ibid
34 Ibid
35 Ibid
36 Ibid
37 Ibid
38 Ibid
etik penyelenggara negara.39 Menegakkan kode etik
penyelenggara negara dapat dilakukan sebelum pejabat
penyelenggara negara melakukan perbuatan melanggar hukum,
karena pelanggaran etika itu telaah dapat terdeteksi dan
diketahui lebih awal, baik itu dari prilaku keseharian pejabat
yang bersangkutan maupun adanya pengaduan dari masyarakat
yang mengetahui bahwa pejabat yang bersangkutan telah
melakukan pelanggaran kode etik, misalnya saja ada pejabat
penyelenggara negara yang sering keluar masuk tempat-tempat
hiburan malam, atau tempat prostitusi, sementara tidak
melaksanakan tugas ditempat itu, kebiasaan minum-minuman
keras, kebiasaan bermain judi dan prilaku menyimpang
lainnya.40 Penegakan kode etik, pada hakikatnya mempunyai
tujuan untuk menjadikan penyelenggara negara lebih berwibawa
dan berintegritas, sekaligus dapat mencegah perilaku pejabat
penyelenggara dari praktek korupsi, dan tegaknya hukum dan
keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai
kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan
integritas Negara.41 Hal ini berarti ada conditio sine qua non
antara penegakan hukum dan penegakan etika dengan upaya
mewujudkan negara yang berintegritas.

39 Ibid
40 Ibid
41 KEPUTUSAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG RI DAN

KETUA KOMISI YUDISIAL RI, 047/KMA/SKB/IV/2009. NOMOR


:02/SKB/P.KY/IV/2009. TENTANG KODE ETIK DAN PEDOMAN
PERILAKU HAKIM. Lihat juga Wildan Suyuthi Mustofa. 2013. Kode Etik
Hakim. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. hal 118.
BAB II
HAKIKAT PENEGAKAN ETIKA DAN KEHORRMATAN
PENYELENGGARA NEGARA

Sebagai bagian dari filsafat, pembahasan tentang etika ditujukan


untuk isu-isu moral dan upaya untuk menampakkan integritas.
Dalam bahasa Yunani etika termasuk karakter lebih filosofis dan
untuk memahami konsep ini dapat digunakan untuk meneliti
perilaku tertentu dari kehidupan sehari-hari misalnya, perilaku
beberapa profesional seperti dokter, wartawan, pengacara,
pengusaha, politisi dan bahkan guru. Termasuk bagi
penyelenggara negara sebagai pejabat publik. Dalam perspektif
filsafat, etika bukan hanya tentang moralitas, yang umumnya
dipahami sebagai kebiasaan atau kebiasaan, tetapi mencari
landasan teoritis untuk menemukan cara terbaik untuk hidup;
mencari gaya hidup yang lebih baik etika mencakup berbagai
bidang seperti antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi,
pendidikan, politik, dan pendidikan.42
Masalah etika dalam pelayanan publik secara langsung berkaitan
dengan pelaksanaan pejabat di kantor publik. Orang-orang
seperti harus bertindak sebagai standar etika, menampilkan
nilai-nilai moral seperti itikad baik dan prinsip-prinsip lainnya
yang diperlukan untuk hidup sehat di masyarakat.43 Ketika
seseorang dipilih untuk jabatan publik, menempatkan

42 Jimly Asshidiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi,


Perspektif Baru Tentang Rule of Law and Rule of Ethics &
Constitutional Law and Constitutional Ethics, Sunar Grafika, Jakarta,
him. 42
43 Al Kazemi Ali dan Gary Zajak. 1999. "Ethics Sensitivity and

Awaraness Within Organizations in Kuwait: An empirical Exploration of


Espoused Theory and Theory-in-Use",.ournal of Business Ethics 20 pp.
353 - 361
masyarakat percaya, dan berharap bahwa hal itu sesuai dengan
standar etis. Dengan demikian, orang ini harus menjadi tingkat
kepercayaan itu dan menjalankan fungsinya sebagai berikut
tertentu nilai-nilai, prinsip, cita-cita dan aturan. Demikian pula,
pegawai negeri harus membuat komitmen untuk
mempromosikan kesetaraan sosial, berjuang untuk menciptakan
lapangan kerja, mengembangkan kewarganegaraan dan
memperkuat demokrasi. Untuk ini ia harus siap untuk
menerapkan kebijakan yang menguntungkan negara dan
masyarakat tingkat sosial, ekonomi dan politik44.
Seorang profesional yang melaksanakan fungsi publik harus
mampu berpikir secara strategis, berinovasi, bekerja sama,
belajar dan melupakan bila diperlukan, mengembangkan cara-
cara yang lebih efektif bekerja. Meskipun kasus korupsi dalam
pelayanan publik adalah hasil dari profesional yang tidak bekerja
dengan cara yang etis.
Secara umum dalam garis besarnya, etika atau ethics merupakan
satu cabang filsafat yang memperbincangkan tentang perilaku
benar (right) dan baik (good) dalam hidup manusia.45 Filsafat
etik tidak hanya konsen pada soal benar dan salah seperti dalam
filsafat hukum, tetapi lebih dari itu juga persoalan baik dan
buruk.46 Tujuan utamanya adalah kehidupan yang baik (the good
life) bukan sekadar kehidupan yang selalu benar dan tidak
pernah salah.47 Namun dalam praktik, keduanya menyangkut

44 Chua, F.C M.H.B. Perera and M.R Mathews. 1994. Integration of


Ethics Into Tertiary Accounting Programes in New Zealand and
Australia
45 Jimly Asshiddiqie. (2015, 9 Maret). Dinamika Perkembangan

Sistem Norma Menuju Terbentuknya Sistem Peradilan Etika. Makalah


dipresentasikan pada Pembekalan Bagi Para Calon Hakim Agung, di
Bogor, hlm. 1.
46 Ibid
47 Ibid
substansi yang menjadi esensi pokok persoalan etika, yaitu
benar dan salah (right and wrong), serta baik dan buruknya
(good and bad) perilaku manusia dalam kehidupan bersama.48
Namun, dalam perbincangan konkret sehari-hari, kebanyakan
orang biasanya lebih mengutamakan soal benar atau salah, right
or wrong.49 Karena, benar-salah ini lebih mudah dan lebih jelas
dipandang mata.50 Dalam soal makanan saja pun, orang Islam
diajarkan oleh al-Quran agar hanya makan “makanan yang halal
lagi baik” tetapi dalam praktik yang dipikirkan orang hanya
“makanan yang halal” (halalan) saja, abai dengan “makanan yang
baik” (thoyyiban).51 Padahal, dalam al-Quran, kedua konsep
halalan thoyyiban (halal lagi baik) itu merupakan satu kesatuan
konsepsi tentang makanan yang dianjurkan.52 Makanan dapat
dibedakan antara (i) makanan yang halal tetapi tidak baik, (ii)
makanan yang baik tetapi tidak halal, dan (iii) makanan yang
tidak halal dan juga tidak baik.53 Ketiga jenis makanan tersebut
tidak dianjurkan ataupun diperintahkan dalam al-Quran, namun
yang diperintahkan dengan tegas untuk dimakan justru adalah
makanan yang halal lagi baik.54
Demikian pula dalam pembahasan tentang etika, banyak tulisan
yang untuk mudahnya menjelaskan tentang pelbagai persoalan
etik dengan pendekatan benar-salah saja.55 Apalagi dengan
berkembangnya kecenderungan baru yang dinamakan sebagai
gejala positivisasi etika di mana perumusan tentang nilai-nilai
etik dan standar perilaku ideal mulai dituliskan dan dibangunkan

48 Ibid
49 Ibid
50 Ibid
51 Ibid
52 Ibid
53 Ibid
54 Ibid., hlm. 2.
55 Ibid
sistem kelembagaan penegakannya secara konkret dalam
praktik, menyebabkan pengertian orang akan etik itu tumbuh
dan berkembang menjadi seperti norma hukum juga, yaitu
melibatkan pengertian tentang benar-salah yang lebih dominan
daripada pertimbangan baik-buruk.56
Pada umumnya para ahli menggambarkan sistem filsafat etik itu
dalam 4 cabang, yaitu sebagai berikut:57
1. Descriptive ethics: etika yang berkenaan dengan perilaku
yang benar dan baik sebagaimana yang dipikirkan orang.
2. Normative ethics atau prescriptive ethics: etika yang
berkenaan dengan perilaku yang dinilai sudah seharusnya
dilakukan.
3. Applied ethics: etika yang berkenaan dengan
pengetahuan tentang moral dan bagaimana pengetahuan itu
diwujudkan dalam praktik.
4. Meta ethics: etika yang membahas mengenai apa yang
dimaksud dengan benar dan baik itu sendiri.
Berikut ini perlu dijelaskan bahwa etika deskriptif (descriptive
ethics) pada pokoknya berkaitan dengan pelbagai bidang kajian,
yaitu etika keagamaan, teori-teori nilai, filsafat ekonomi, filsafat
politik, filsafat hukum, logika deontik, teori aksi, penalaran
praktis (practical reasoning), moralitas, etika visual (visual
ethics), etika kepercayaan (ethics of belief).58 Sedangkan etika
preskriptif atau normatif (normative or prescriptive ethics)
berkenaan dengan apa yang orang harus percaya sebagai benar
dan salah, ataupun baik dan buruk.59
Terdapat beberapa teori dan aliran pemikiran yang berkembang
dalam studi tentang etika, Misalnya konsekuensialisme

56 Ibid
57 Ibid
58 Ibid
59 Ibid
(consequentialism), yaitu aliran yang mengembangkan teori-teori
moral yang berpendapat bahwa akibat-akibat perbuatan yang
dilakukan seseorang menjadi sebab yang dianggap benar bagi
timbulnya penilaian (judgment) tentang tindakan moral yang
terjadi.60 Karena itu, suatu tindakan (by commission ataupun by
omission) yang secara moral dapat dikatakan baik dan benar
beralasan untuk menghasilkan akibat yang baik dan benar
pula.61 Pandangan demikian juga tercermin dalam pandangan
aliran utilitarianisme.62 Selain itu, terdapat etika deontologis
(deontological ethics), yaitu suatu pendekatan yang bersifat rule-
driven, yang menilai moralitas dari suatu tindakan didasarkan
tindakan yang ditentukan oleh aturan yang menjadi rujukan.63
Dalam teori absolutisme moral (moral absolutism), perbuatan
tertentu secara mudah dinilai salah atau jahat, terlepas dari
konteks ataupun niat yang terdapat di balik tindakan,64 misalnya
perbuatan membunuh ataupun mencuri, selamanya akan dinilai
salah dan jahat, dan karena itu tidak bermoral, meskipun niatnya
baik, misalnya, mencuri harta orang kaya untuk membantu
orang miskin.65 Tentu ada pula teori yang lebih bersifat
pragmatis (pragmatic ethics) yang sekaku pandangan
absolutisme moral tersebut.66
Selain itu, ada yang disebut etika kebajikan (virtue ethics) yang
mengutamakan karakter moral seseorang sebagai kekuatan
pendorong perilaku etis tertentu.67 Dalam etika Aristotelian,
sebagai kajian pertama tentang etik dalam sejarah, faktor

60 Ibid
61 Ibid
62 Ibid
63 Ibid., hlm. 3.
64 Ibid
65 Ibid
66 Ibid
67 Ibid
karakter moral ini juga menempati kedudukan utama mengenai
bagaimana seseorang mencapai derajat terbaik dalam
hidupnya.68 Aristoteles percaya bahwa tujuan hidup manusia
haruslah untuk hidup baik dan mencapai eudaimonia, yang
berarti well-being atau happiness.69 Hal ini dapat dicapai dengan
dimilikinya kemuliaan karakter (virtuous character), atau
ditakdirkan mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang baik dan
sempurna.70 Di antara pandangan Aristoteles yang sangat
populer mengenai hal ini disebut Nicomachean Ethics.71 Di
samping itu, ada pula pandangan etik yang disebut Eudemian
Ethics, dan Magna Moralia.72 Masih terdapat beberapa teori lain
yang cukup rumit dan membutuhkan penjelasan sangat panjang
untuk diuraikan, seperti teori eudaimonisme yang mengukur
kebahagiaan dalam hubungannya dengan moralitas.73 Ada pula
teori yang disebut etika kepedulian (ethics of care) yang juga
merupakan salah satu teori etika normatif atau preskriptif
(normative ethical theory).74 Juga ada etika egoisme (ethical
egoism) yang menyatakan, bahwa agen moral memang sudah
seharusnya melakukan apa menurut kepentingannya sendiri
harus dilakukan (self-interest).75 Ada pula teori-teori tentang
etika hak, seperti yang dapat dibayangkan dalam aspirasi yang
berkembang dalam Revolusi Amerika dan Prancis. Ini yang
disebut sebagai etika hak (rights ethics) yang memicu lahirnya
gerakan hak asasi manusia dalam sejarah.76

68 Ibid
69 Ibid
70 Ibid
71 Ibid
72 Ibid
73 Ibid
74 Ibid
75 Ibid
76 Ibid
Masih banyak lagi doktrin tentang etik yang dikembangkan oleh
para filosof dan para ahli etika, misalnya Living Ethics,
Biocentrism ethics, Altruism ethics, dan bahkan Feminist ethics.77
Teori Etika, misalnya, mengembangkan pandangan yang
menawarkan nilai-nilai kemanusiaan kepada makhluk di luar
manusia dan bahkan ekosistem (non-human species and
ecosystems), serta proses-proses yang terjadi dalam realitas alam
(processes in nature).78 Etika altruisme merupakan doktrin yang
mengembangkan pandangan bahwa setiap individu kewajiban
moral untuk membantu, melayani, atau memberi manfaat
kepada orang lain, dan bilamana perlu mengorbankan
kepentingannya sendiri.79 Sementara itu, meta-ethics atau
disebut juga epistemologi moral berkaitan dengan hakikat
pernyataan-pernyataan moral yang dipelajari, terutama
mengenai konsep-konsep etika dan teori-teori etika yang
terkait.80 Aliran-aliran pemikiran dan pendekatan yang dapat
dikatakan berkembang dalam konteks meta-ethics ini, misalnya
soal moral nihilism, moral syncretism, moral relativism, fallibilism
(fallibility), moral skepticism, particularism, rationalism,
conventionalism, axiology, formal ethics, rationality, discourse
ethics, ethics of justice, revolutionary ethics, stages of moral
development, dan sebagainya.81 Di samping itu, ada pula teori-
teori etika yang dikategorikan ke dalam kelompok cognitivism
dan non-cognitivism, dimana yang dianggap non-kognitif
misalnya, aliran emotivism dan prescriptivism, sedangkan yang
kognitif (cognitivism) mencakup aliran-aliran realisme filosofis

77 Ibid., hlm 3-4.


78 Ibid., hlm 4.
79 Ibid
80 Ibid
81 Ibid
(philosophical realism), non-naturalisme, subjektivisme etis
(ethical subjectivism), realisme moral, dan universalitas.82
Salah satu etika terapan yang berkembang sangat pesat dalam
praktik adalah etika di bidang ekonomi, khususnya etika bisnis.83
Etika bisnis mengatur antara lain mengenai batasan-batasan bagi
para manajer dalam upayanya mengejar atau mencari
keuntungan perusahaan, atau tentang tugas whistle-blowers
kepada publik yang harus lebih diutamakan daripada ketaatan
pada atasan mereka dalam pekerjaan.84 Lebih lanjut terdapat
etika pembangunan atau lebih tepatnya disebut etika
pembangunan ekonomi (development ethics).85 Di bidang
ekonomi dan bisnis ini, juga terdapat etika dalam manajemen
(ethics in management), etika dalam penjualan produk-produk
farmasi (ethics in pharmaceutical sales), dan lain-lain
sebagainya.86 Pendek kata, sekarang ini, sudah hampir semua
perusahaan besar di dunia telah mempunyai sistem kode etika
dan standar-standar perilaku ideal bagi para pekerja dan
eksekutif perusahaan.87 Biotik berhubungan dengan identifikasi
terhadap pendekatan-pendekatan ilmiah yang baik dan benar
serta dapat dibenarkan seperti mengenai euthanasia, atau
alokasi sumber-sumber daya kesehatan yang langkah, atau
tentang penggunaan organ-organ tubuh manusia dalam
penelitian dan praktik kesehatan.88 Beberapa di antaranya,
misalnya abolisionisme (bioethics), yaitu satu aliran pemikiran
dan gerakan yang membolehkan pemakaian bioteknologi untuk

82 Ibid
83 Ibid
84 Ibid
85 Ibid., hlm 5.
86 Ibid
87 Ibid
88 Ibid
memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan.89
Ada pula etika kloning (ethics of cloning), veterinary ethics,
utilitarian bioethics, dan neuroethics.90 Di bidang teknologi
terapan, juga berkembang yang dinamakan Etika Teknologi
(Ethics of Technology atau technoethics, yaitu sistem etika yang
berkenaan dengan kegiatan pengembangan dan penerapan
teknologi di tengah masyarakat.91 Beberapa sistem etika terapan
yang dikembangkan di bidang ini misalnya ada ethics of
terraforming, ada juga cyberethics, dan ethics of artifisial
intelligence. Di era kekinian, kategorisasi etika ialah mencakup
machine ethics dan roboethics.92 Roboethics ini menyangkut
perilaku atau perbuatan moral manusia dalam mendesain,
mengkonstruksi, menggunakan dan memperlakukan robot
sebagai makhluk intelek yang bersifat artifisial. Selain itu, di
bidang teknologi ini juga ada internet ethics dan information
ethics.93 Etika lingkungan hidup (environmental ethics)
berhubungan dengan lingkungan hidup, yaitu tugas dan
tanggung jawab moral manusia terhadap hewan, tumbuh-
tumbuhan, dan bahkan lingkungan semesta alam pada
umumnya.94 Hewan, hak tumbuh-tumbuhan dan bahkan hutan,
gunung, sungai, lautan, dan outer-space, semuanya mempunyai
hak untuk diperlakukan secara adil, baik, sehat, dan menjamin
keseimbangan antar fungsi-fungsi kehidupan secara
berkelanjutan. Bahkan dalam buku Green Constitution (Nuansa
95

Hijau UUD 1945), telah digambarkan munculnya pengertian baru


umat manusia tentang hak asasi lingkungan hidup seperti yang

89 Ibid
90 Ibid
91 Ibid
92 Ibid
93 Ibid
94 Ibid
95 Ibid., hlm 5-6.
tercepat dalam Konstitusi Ekuador 2008.96 Ini juga yang
tercermin dalam gerakan animal liberation yang
mempromosikan kesadaran baru bahwa kepentingan hewan
yang memerlukan perhatian serupa dengan kepentingan
manusia untuk dihormati, dilindungi, dan dipenuhi
kepentingannya.97 Teori-teori etika di bidang ini misalnya adalah
trail ethics dan environmental virtue ethics.98 Bahkan ada pula
etika iklim (climate ethics) yang berkenaan dengan dimensi-
dimensi etis perubahan iklim, dan konsep-konsep yang
dikembangkan terkait dengan hal itu, seperti keadilan iklim
(climate justice), dan sebagainya.99 Etika Sosial, Etika Organisasi,
dan Etika Profesi Teori-teori lain yang sangat penting di bidang
etika ini adalah etika sosial (social ethics), etika berorganisasi
(organizational ethics), dan etika profesi (professional ethics).100
Etika sosial atau social ethics, baik yang bersifat khas di masing-
masing komunitas sosial maupun dalam arti sosial secara
universal di antara bangsa-bangsa sebagai satu unit global
berkenaan dengan perilaku ideal di bidang kehidupan sosial
masyarakat, misalnya etika pergaulan bertetangga, etika
kependudukan (population ethics), dan bahkan etika seksual.101
Di bidang keorganisasian, dikenal pula adanya teori etika
pengambilan keputusan (decision ethics) dan etika keanggotaan
organisasi (organizational ethics).102 Adapun yang lebih duluan
berkembang dalam sejarah dan hingga saat ini adalah etika
profesi (professional ethics).103 Sekarang hampir semua profesi

96 Ibid., hlm 6.
97 Ibid
98 Ibid
99 Ibid
100 Ibid
101 Ibid
102 Ibid
103 Ibid
yang diakui di dunia telah mempunyai sistem kode etik dan kode
perilaku, seperti etika akuntansi, etika arkeologi, etika insinyur,
etika komputer, etika dan standar jurnalisme, etika penelitian
dan riset internet, etika hakim, etika advokat, etika kepolisian,
etika penerjemah, etika pekerja sosial, etika media, etika
kedokteran, etika perawat, dan sebagainya.104
Etika Sektor Publik (Public Sector Ethics), Etika terapan (applied
ethics) yang juga sudah sangat berkembang dewasa ini ialah
sistem etika di sektor publik dan penyelenggaraan kekuasaan
negara.105 Inilah yang biasa dinamakan dengan istilah
government ethics ataupun ethics in public administration yang
sering disalahpahami seakan-akan hanya berkenaan dengan
etika pemerintahan dalam arti sempit, yaitu terkait para pejabat
di lingkungan pemerintahan eksekutif saja.106 Namun, dalam
pengertian bahasa Inggris Amerika, government ethics yang
dimaksud adalah dalam arti yang luas, yaitu mencakup
keseluruhan aspek sistem norma etika yang mengikat dan
menuntun bagi para penyelenggara kekuasaan negara secara
keseluruhan.107 Bahkan, sekarang, terkait dengan ini dalam
pelbagai forum Internasional pun sering mulai dijadikan agenda
penting yang menghasilkan berbagai konvensi internasional
mengenai etika bagi para pejabat publik.108
1. Titik Taut Sistem Norma Agama dan Etika
Berikut ini dijelaskan Titik taut Sistem Norma Agama dan Etika
hukum. Norma berasal dari kata bahasa Inggris yang berasal dari
istilah norm istilah Yunani nomoi atau nomos yang berarti hukum

104 Ibid
105 Ibid
106 Ibid., hlm 6-7.
107 Ibid., hlm 7.
108 Ibid
atau kaidah dalam bahasa Arab.109 Karena itu, judul buku Plato
Nomoi juga biasa diterjemahkan dengan kata The Laws dalam
bahasa Inggris.110 Istilah kaidah atau qoidah dalam bahasa Arab
juga biasa dikonotasikan pengertiannya dengan hukum
(singular) atau al-ahkam (jamak).111 Karena itu, lima kaidah yang
dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaidah wajib, haram,
sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai al-ahkam
al-khamsah atau kaidah yang lima.112
Kaidah atau norma itu sebenarnya merupakan suatu
pelembagaan atau institusionalisasi nilai-nilai yang diidealkan
sebagai kebaikan, keluhuran, dan bahkan kemuliaan berhadapan
dengan nilai-nilai yang dipan-dang buruk, tidak luhur, atau tidak
mulia.113 Nilai-nilai baik dan buruk itu berisi keinginan dan
harapan yang tercermin dalam perilaku setiap manusia.114 Nilai
baik dan buruk itulah yang dilembagakan atau dikonkretisasikan
dalam bentuk atau berupa norma atau kaidah perilaku dalam
kehidupan bersama.115 Sebagaimana tercermin dalam pengertian
tentang al-ahkam al-khamsah tersebut di atas, kaidah-kaidah
perilaku itu dapat dibedakan dalam lima norma, yaitu:116
a. wajib atau obligattere,
b. haram atau prohibere,
c. sunnah atau anjuran untuk melakukan,
d. makruh atau anjuran untuk jangan melakukan, dan
e. mubah atau kebolehan atau permittere.

109 Ibid
110 Ibid
111 Ibid
112 Ibid
113 Ibid
114 Ibid
115 Ibid
116 Ibid
Kelima norma tersebut menurut Jimly Asshiddiqie, dapat
dibedakan dalam tiga jenis sistem norma, yaitu norma agama,
norma hukum, dan norma kesusilaan. Norma agama mencakup
kelima kaidah itu sekaligus. Tetapi norma hukum hanya
mencakup tiga kaidah saja, yaitu:117
a. kaidah kewajiban (obligattere),
b. kaidah larangan (haram), dan
c. kaidah kebolehan atau (mubah, ibadah).
Sebaliknya, norma kesusilaan berisi tiga kaidah, yaitu:
a. kaidah kebolehan (mubah),
b. kaidah anjuran untuk melakukan (sunnah), dan
c. kaidah anjuran untuk tidak melakukan (makruh).118
Pengelompokan jenis kaidah yang lima (al-ahkam al-khamsah)
menurut Profesor Hazairin tersebut dapat kita elaborasi lebih
rinci dengan mengaitkannya dengan sistem norma yang
dikembangkan dalam filsafat hukum dan politik yang selalu
dinisbatkan berasal dari warisan tradisi Yunani kuno mengenai
adanya tiga macam kaidah yang meliputi:119
(a) obligattere (kewajiban),
(b) permittere (kebolehan), dan
(c) prohibere (larangan) seperti diuraikan di atas.
Norma kesusilaan, menurut Profesor Soerjono Soekanto, dapat
dibedakan antara norma kesusilaan pribadi dan norma
kesusilaan antar pribadi.120 Keduanya dapat dicakup ke dalam
pengertian etika, dimana etika atau kesusilaan pribadi
menyangkut keinsafan pribadi setiap manusia tentang nilai baik
dan buruk dalam suatu keadaan atau dalam menghadapi segala
sesuatu yang perlu disikapi oleh seseorang, terlepas dari

117 Ibid
118 Ibid., hlm 8.
119 Ibid
120 Ibid
hubungannya dengan orang lain, misalnya seorang yang kaya
raya dan baru saja mendapat rizki yang besar, dengan mudah
dapat saja tergerak hatinya untuk berbuat baik dengan
membagikan rizki dengan memberikan bantuan beasiswa tanpa
publikasi kepada anak-anak sekolah SD dan SMP se-desa di suatu
daerah terpencil.121 Dorongan untuk membantu anak-anak desa
itu merupakan dorongan etika yang murni bersifat pribadi.
Pengertian tentang etika pribadi inilah yang biasa disebut
dengan istilah kesusilaan saja.122
Sedangkan etika atau kesusilaan antar pribadi terkait dengan
nilai baik dan buruk dalam hubungan antarmanusia dalam
pergaulan bersama secara interaktif dalam kehidupan
bermasyarakat.123 Kesusilaan antar pribadi inilah yang oleh
Soerjono Soekanto disebut sebagai kaidah sopan-santun atau
kesopanan, misalnya dalam bertutur kepada seorang yang
usianya dan kedudukan sosialnya lebih tinggi harus
menggunakan kata-kata yang dipilih dan yang biasa dipakai
dalam hubungan yang dianggap pantas.124 Dalam pergaulan,
diidealkan bahwa kita harus memakai pakaian yang pantas
menurut tempat dan waktunya. Ke pesta, tidaklah dianggap
pantas untuk berpakaian daster bagi perempuan atau piyama
bagi laki-laki. Demikian pula pakaian yang pantas dikenakan di
kantor oleh perempuan bekerja, bukanlah baju kebaya dengan
sanggul yang biasa dikenakan untuk pergi ke pesta atau juga
bukanlah pakaian rok mini atau baju minim yang hanya pantas
dipakai untuk bertamasya ke pantai. Dengan demikian, jika

121 Ibid
122 Ibid
123 Ibid
124 Ibid
digambarkan dalam bagan, ketiga sistem norma agama, hukum,
dan kesusilaan (etika) tersebut adalah sebagai berikut.125
Tabel 1. Sistem Norma126
Agama Hukum Etika
Wajib X X –
Sunnah X – X
(anjuran +)

Mubah X X X
(kebolehan)

Makruh X – X
(anjuran –)

Haram X X –
(larangan)

Norma Agama dalam sistem norma agama, semua kaidah yang


lima itu berlaku secara keseluruhan dan simultan.127 Ada kaidah
yang bersifat kewajiban, ada pula yang merupakan larangan dan
kebolehan seperti dalam norma hukum.128 Tetapi, di samping itu,
ada pula kaidah anjuran untuk melakukan (sunnah) dan anjuran
untuk tidak melakukan sesuatu (makruh) seperti dalam sistem
norma etika yang hanya dikaitkan dengan konsepsi pahala dan
surga yang diyakini ada dalam semua agama.129
Tabel 2. Norma Agama130
Wajib Kewajiban

125 Ibid., hlm 8-9.


126 Ibid., hlm 9.
127 Ibid
128 Ibid
129 Ibid
130 Ibid
Sunnah Anjuran untuk
Mubah Kebolehan
Makruh Anjuran Jangan
Haram Larangan

Dapat dikatakan bahwa dalam agama, kelima sistem kaidah


tersebut berlaku sebagai sarana pengendalian diri agar orang
yang beriman dapat terpelihara tingkah lakunya sebagai umat
untuk menjalankan ajaran agamanya dengan baik.131 Kaidah
wajib (kewajiban), dan haram (larangan) berkaitan erat dengan
keyakinan orang akan ajaran agamanya. Sistem reward and
punishment dalam keyakinan beragama berkaitan dengan
kepercayaan mengenai adanya surga dan neraka di hari
kemudian atau hari akhirat.132 Tentu tidak semua agama
mempunyai konsep-konsep yang sama mengenai ide tentang
surga dan neraka, dan ide tentang hari akhirat atau hari sesudah
kematian.133 Dalam paham deisme yang tidak percaya mengenai
adanya hari akhirat, konsep tentang surga dan neraka boleh jadi
dipahami hanya sebagai gejala kehidupan di dunia. 134Karena itu,
ide tentang neraka dan surga itu tetap diterima dalam kerangka
sistem penghargaan yang diidealkan dalam keyakinan paham
deisme yang percaya kepada adanya Tuhan Yang Maha Kuasa.135
Orang yang menjalankan kewajiban agamanya akan
mendapatkan pahala dan balasan surga, sedangkan yang
melakukan perbuatan-perbuatan yang diharamkan atau dilarang
oleh agama akan mendapatkan ganjaran dosa yang akan

131 Ibid
132 Ibid
133 Ibid
134 Ibid., hlm 9-10.
135 Ibid., hlm 10.
menempatkannya di neraka, baik surga atau neraka di akhirat
ataupun surga atau neraka di dunia.136
Di luar ajaran tentang kewajiban dan larangan itu terbentang
luas hal-hal lain sebagai kebolehan atau hal-hal yang dianjurkan
untuk dikerjakan (sunnah) ataupun hal-hal yang dianjurkan
untuk tidak dilakukan (makruh).137 Dalam pemahaman ajaran
Islam, kaidah kebolehan dianggap sebagai kaidah asal dalam
hubungan horizontal antarsesama manusia dan sesama makhluk
Tuhan (urusan muamalah), sedangkan dalam hubungan dengan
Tuhan (urusan ibadah) kaidah asalnya adalah larangan
(haram).138 Dalam urusan ibadah, semua hal diperbolehkan,
kecuali yang secara tegas dinyatakan sebagai larangan.
Sedangkan dalam urusan muamalah, semua hal dilarang, kecuali
yang secara tegas dinyatakan sebagai kewajiban.139
Semua hal yang diperbolehkan (mubah) dapat berkembang
menjadi anjuran positif atau anjuran negatif.140 Anjuran disebut
positif apabila berisi dorongan agar sesuatu dikerjakan
(sunnah).141 Sedangkan anjuran negatif berisi dorongan agar hal
dimaksud tidak dilakukan (makruh).142 Artinya, hal-hal yang
diperbolehkan dalam ajaran agama dapat saja berubah menjadi
anjuran positif ataupun menjadi anjuran negatif, yang dikaitkan
semata-mata dengan sistem insentif pahala.143 Dalam kaidah
anjuran positif (sunnah), apabila dilakukan, tersedia ganjaran
pahala. Tetapi, apabila anjuran itu tidak diikuti, maka hal itu

136 Ibid
137 Ibid
138 Ibid
139 Ibid
140 Ibid
141 Ibid
142 Ibid
143 Ibid
tidak menyebabkan yang bersangkutan mendapatkan dosa.144
Sebaliknya, kaidah anjuran negatif (makruh) juga menyediakan
pahala bagi orang yang mengikutinya, yaitu tidak melakukan hal-
hal dimaksud, tetapi tidak diancam dengan dosa jika anjuran itu
tidak diikuti, yaitu dengan tetap melakukan hal-hal yang
diharapkan tidak dilakukan.145 Pendek kata, dalam konsepsi
anjuran, baik positif ataupun negatif, selalu terkait konsepsi
pahala dan surga.146
Norma Hukum. Dari kelima kaidah wajib, haram, mubah, sunnah,
dan makruh tersebut, hanya tiga kaidah saja yang dapat kita
sebut sebagai kaidah hukum, yaitu wajib, haram (larangan), dan
mubah (boleh) seperti tabel di bawah ini.147
Tabel 3. Norma Hukum148
Kewajiban Obligattere
Kebolehan Permittere
Haram atau Larangan Prohibere

Tujuan hukum menurut para filosof hukum mencakup tujuan


keadilan, tujuan kepastian, dan tujuan kemanfaatan.149 Karena
itu, norma hukum harus berisi keadilan yang pasti dan kepastian
yang adil, yang secara keseluruhan memberikan manfaat dan
solusi bagi warga masyarakat dalam menghadapi dinamika
kehidupan bersama.150 Oleh karena itu, kaidah hukum di
samping berguna dan berkeadilan, juga harus bersifat pasti,
formal, jelas, dan tidak boleh abu-abu, dan semua itu hanya ada

144 Ibid
145 Ibid
146 Ibid
147 Ibid., hlm 11.
148 Ibid
149 Ibid
150 Ibid
pada kaidah wajib, haram, dan boleh151. Menurut ajaran liberal,
pada asal mulanya, semua hal merupakan kebolehan, kecuali
oleh hukum tegas dinyatakan sebagai larangan atau kewajiban.
Jika larangan dilanggar dan kewajiban tidak dijalankan sebagai-
mana mestinya, norma hukum menyediakan sistem sanksi yang
tegas.152
Namun, dalam implementasinya, sistem norma hukum itu
sendiri memang tidak selalu diikuti oleh sistem sanksi.153 Itu
sebabnya kita mendapati banyak sekali undang-undang yang
tidak menentukan sistem sanksi sama sekali, misalnya undang-
undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, seperti
UU tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, di dalamnya tidak
ditentukan ada sanksi karena sifat norma yang dituangkan di
dalam undang-undang ini hanya bersifat mengatur dan
membimbing pelaksanaan pemerintahan di ibukota Jakarta.154
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa substansi norma hukum,
di samping ada yang bersifat memaksa (imperative), ada pula
norma hukum yang hanya bersifat mengatur dan membimbing
saja (directive).155 Dalam perumusan norma yang bersifat
memaksa selalu ada sistem sanksi, baik berupa sanksi pidana,
sanksi perdata, ataupun sanksi administrasi, dan bentuk-bentuk
lainnya.156 Akan tetapi, dalam perumusan norma yang bersifat
mengatur dan membimbing, kadang-kadang tidak disediakan
ancaman saksi sama sekali.157 Namun, hal itu tidak mengurangi

151 Ibid
152 Ibid
153 Ibid
154 Ibid
155 Ibid
156 Ibid., hlm 11-12.
157 Ibid., hlm 12.
makna normatif hukum yang berisi tiga jenis kaidah, yaitu wajib
(obligattere), boleh (permittere) dan haram (prohibere).158
Doktrin tentang norma hukum yang hanya berisi tiga macam
kaidah kewajiban (obligattere), kebolehan (permittere), dan
larangan (prohibere) patut dipertanyakan kembali.159 Ketiga
sistem kaidah ini bersifat khas terkait dengan konsepsi mengenai
bidang hukum pidana dan bidang hukum perdata.160 Kedua
bidang hukum pidana dan perdata inilah yang menjadi cikal
bakal mula-mula berkembangnya sistem hukum dalam sejarah
umat manusia.161 Namun, dalam perkembangan sesudah abad
ke-17, muncul kesadaran baru mengenai pentingnya bidang
hukum tata usaha negara (hukum administrasi negara) dan
bahkan hukum tata negara.162 Bahkan pada abad ke-19 muncul
doktrin baru mengenai ide negara hukum (rechtsstaat) yang
dikaitkan dengan gagasan pelembagaan peradilan administrasi
negara (administratieve rechtspraak) untuk maksud
menyediakan mekanisme upaya hukum bagi warga guna
menggugat para pejabat yang membuat keputusan-keputusan
yang merugikan warga negara.163 Dengan berkembangnya sistem
hukum administrasi negara dan hukum tata negara dalam arti
luas, pengertian mengenai keharusan mutlak adanya sanksi
dalam perumusan norma hukum menjadi berubah.164
Menurut Jimly Asshiddiqie, pendapat Profesor Hazairin
sebagaimana dikemukakan di atas mengenai doktrin al-ahkam
al-khamsah perlu dievaluasi kembali.165 Bahkan doktrin

158 Ibid
159 Ibid
160 Ibid
161 Ibid
162 Ibid
163 Ibid
164 Ibid
165 Ibid
mengenai tiga kaidah obligattere (kewajiban), permittere
(kebolehan), dan prohibere (larangan) yang kita warisi dari
filsafat Yunani dan diterima luas dalam pemikiran filsafat hukum
kontemporer dapat kita diskusikan kembali.166 Perumusan
norma hukum sebagaimana tercermin dalam naskah-naskah
undang-undang dasar, undang-undang, dan pelbagai peraturan
perundang-undangan sebagai dokumen hukum yang bersifat
mengikat untuk umum tidak selalu berisi sistem sanksi yang
bersifat memaksa.167 Ketegasan sifat memaksa yang terdapat
dalam kaidah kewajiban dan kaidah larangan tidak selalu diikuti
dengan sanksi yang konkret.168 Sementara itu, kaidah kebolehan
(permittere) yang terdapat dalam norma hukum sekali pun,
dalam implementasinya, juga bersifat sangat dinamis, sehingga
tidak dapat dipastikan secara mutlak tentang kebolehannya.
Sesuatu yang boleh dilakukan, jika didorong oleh motif yang
buruk (te kwade trouw) dapat berubah menjadi sesuatu yang
jahat.169 Oleh karena itu, dalam norma hukum juga dapat termuat
adanya nilai-nilai kaidah anjuran, seperti dalam sistem norma
agama atau pun norma etika.170
Rumusan norma hukum dalam pelbagai naskah peraturan
perundang-undangan di zaman sekarang kita sering menemukan
unsur-unsur nilai kaidah anjuran positif atau pun anjuran negatif
itu.171 Dalam perkembangan dewasa ini, substansi sifat kaidah
anjuran ini semakin banyak ditemukan dalam pelbagai rumusan
undang-undang, terutama dalam perumusan-perumusan norma
yang menyangkut prinsip-prinsip mengarahkan (directive

166 Ibid
167 Ibid
168 Ibid
169 Ibid
170 Ibid
171 Ibid., hlm 12-13.
principles) atau prinsip-prinsip yang membimbing (guiding
principles) yang bersifat abstrak, misalnya pasal-pasal yang
memuat asas dan prinsip-prinsip, semuanya tidak bersifat
konkret, sehingga tidak menentukan dengan pasti apakah berisi
kaidah wajib atau larangan atau kebolehan.172 Contoh lain dapat
pula kita temukan dalam Konstitusi Irlandia tahun 1931 yang
kemudian dicontoh oleh Konstitusi India pada tahun 1946, yang
secara khusus memuat ketentuan mengenai prinsip-prinsip
haluan kebijakan negara (directive principles of state policy)
dimana isinya bukanlah kewajiban, tetapi juga bukan larangan
atau pun kebolehan.173
Sehubungan dengan itu ide penyusunan prinsip kebijakan
Directive Principles of State Policy (TJPSP) ini oleh kaum
nasionalis Irlandia dalam naskah Konstitusi tahun 1937 dapat
ditelusuri dari pengaruh Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Hak-
Hak Warga (Declaration of the Rights of Men and of Citizens)
Revolusi Prancis 1789 dan Deklarasi Kemerdekaan Amerika
Serikat 1776 (Declaration of Independence by the American
Colonies).174 Meskipun prinsip-prinsip penuntun dalam
konstitusi itu tidak bersifat enforceable di pengadilan, tetapi
prinsip-prinsip konstitusional yang terkandung di dalamnya
dipahami sebagai haluan negara yang menjadi kewajiban negara
untuk mewujudkannya dengan sebaik-baiknya dalam praktik
penyelenggaraan kekuasaan negara.175
Dapat dikatakan bahwa di dalam rumusan-rumusan haluan
negara (state policies) seperti unsur-unsur yang memang
seharusnya diikuti, tetapi bukan sebagai kewajiban hukum yang
konkret dengan disertai oleh ancaman sanksi yang bersifat

172 Ibid., hlm 13.


173 Ibid
174 Ibid
175 Ibid
memaksa dan dapat ditegakkan di pengadilan (enforceable).176
Keharusan-keharusan tersebut dapat kita pandang sebagai
anjuran-anjuran positif, yaitu anjuran agar prinsip-prinsip
dimaksud dijadikan sebagai pegangan yang diwujudkan dalam
praktik.177 Adanya anjuran positif itu dari sudut pandang yang
berbeda, dapat pula dipandang sebagai anjuran negatif, sehingga
dalam rumusan-rumusan norma hukum dewasa ini terkandung
pula unsur-unsur kaidah anjuran seperti dalam norma agama
dan norma etika sebagaimana diuraikan di atas.178
Anjuran-anjuran konstitusional tersebut dapat kita namakan
sebagai etika konstitusi atau constitutional ethics yang dapat
melengkapi pengertian konvensional yang biasa kita pahami
selama ini tentang hukum konstitusi constitutional law atau
hukum konstitusi.179 Dengan demikian, Undang-Undang Dasar
modern dapat kita pahami secara lebih luas, bukan saja sebagai
sumber hukum konstitusi atau constitutional law, tetapi juga
merupakan sumber etika konstitusi atau constitutional ethics.180
Sebagai suatu pengertian baru tentu belum banyak sarjana yang
memahaminya. Karena itu, menarik untuk dipahami pandangan
ahli konstitusi Amerika Serikat Keith E. Whittington yang
merekomendasikan pentingnya mengembangkan teori tentang
constitutional ethics181 atau teori etika konstitusi.
Di samping itu, dalam perkembangan dewasa ini sistem norma
etika juga mengalami perubahan yang sangat mendasar, dimana
hal ini pernah dialami oleh sistem norma hukum di abad ke-10
dalam sejarah Islam atau pun mulai sekitar abad ke-17 di Eropa

176 Ibid., hlm 13-14.


177 Ibid., hlm 14.
178 Ibid
179 Ibid
180 Ibid
181 Ibid
di mana sistem norma hukum mengalami proses positivisasi,
sistem norma etika dewasa ini mengalami proses positivisasi
yang serupa.182 Proses positivisasi hukum terjadi karena sistem
norma hukum pada saatnya memerlukan proses pelembagaan
yang lebih konkret melalui proses penuangan secara tertulis
disertai dengan pelembagaan infrastruktur penegaknya. Karena
itu, dalam sejarah Islam muncul pengertian-pengertian
mengenai qanun (perundang-undangan) sebagai pelengkap
terhadap sistem norma hukum yang sebelumnya hanya tertuang
dalam bentuk paham-paham fiqh yang bersifat ilmiah.183
Sesudah pusat peradaban modern berpindah dari dunia Islam,
pemikiran-pemikiran hukum terus berkembang di Eropa,
dimulai dengan pelembagaan kitab-kitab hukum seperti Kode
Sipil Napoleon, Kode Sipil Jerman, dan sebagainya.184 Kitab-kitab
hukum tersebut diberlakukan secara resmi oleh otoritas negara
dan didukung pula dengan sistem penegakan yang pasti melalui
proses peradilan yang terlembagakan secara tersendiri dalam
bentuk pengadilan-pengadilan yang bersifat otonom.185 Sekarang
proses positivisasi yang sama sedang terjadi di bidang etika.186
Karena itu, mulai muncul pelbagai rumusan perundang-
undangan yang berisi sebagian dari sistem norma etika, misalnya
prinsip-prinsip kode etika dimuat dalam undang-undang untuk
kemudian dirumuskan menjadi materi Kode Etik yang akan
ditegakkan oleh lembaga penegak kode etik.187
Oleh karena itu, dalam perkembangan dewasa ini, doktrin
tentang al-ahkam al-khamsah sebagaimana dimaksud di atas,

182 Ibid
183 Ibid
184 Ibid
185 Ibid
186 Ibid
187 Ibid., hlm 14-15.
semuanya dapat termuat dalam perumusan norma hukum
modern.188 Artinya, perumusan norma hukum dapat saja
memuat semua kaidah yang lima tersebut, yaitu:189
a) kaidah wajib (kewajiban) atau obligattere,
b) kaidah larangan (haram) atau prohibere,
c) kaidah kebolehan atau permittere,
d) kaidah anjuran positif (sunnah), maupun
e) kaidah anjuran negatif (makruh).
Hal ini terjadi karena: Pertama, perkembangan yang terjadi di
bidang hukum administrasi dengan sistem sanksinya yang
tersendiri atau bahkan tidak diharuskan dilengkapi dengan
sistem sanksi sama sekali, karena sifat normanya yang hanya
mengatur atau memberikan arah (directive and guiding
principles).190 Kedua, karena perkembangan yang terjadi di
bidang etika yang mulai semakin banyak dan luas diatur oleh
atau dengan peraturan perundang-undang. Karena itu,
perumusan norma hukum pun harus menyesuaikan diri dengan
sifat-sifat norma etika yang diatur dan dijadikan sebagai objek
pengaturan oleh undang-undang.191
Norma Etika. Dengan tetap bertitik tolak dari pendapat Hazairin
sebagaimana sudah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa
dalam sistem norma etik atau kesusilaan terdapat tiga kaidah
seperti tergambar di bawah.192
Tabel 4. Norma Etika193
Sunnah Anjuran untuk
Kebolehan Permittere
Makruh Anjuran Jangan

188 Ibid., hlm 15.


189 Ibid
190 Ibid
191 Ibid
192 Ibid
193 Ibid
Isi norma etik atau kesusilaan itu hanya kebolehan, anjuran
untuk melakukan, atau anjuran untuk jangan melakukan
sesuatu.194 Bagi mereka yang mengikuti anjuran, ia terhindar
dari citra yang negatif, dan sebaliknya akan mendapatkan
penilaian baik dalam kehidupan bersama.195 Jika seseorang
terbiasa melakukan suatu perbuatan yang dianjurkan tidak
dikerjakan, tetapi secara berulang-ulang terus saja
melakukannya, sehingga hal itu berkembang menjadi kebiasaan,
maka kebiasaan buruk itu dapat dengan mudah menjadi lahan
empuk untuk meningkat menjadi pelanggaran hukum.196
Sebaliknya, jika seseorang terbiasa melakukan hal-hal yang
memang dianjurkan maka dengan mudah baginya mendapatkan
penilaian baik dari sesama warga yang akan memelihara dirinya
dari perbuatan yang dilarang oleh hukum.197 Dengan perkataan
lain, kedudukan dan peran etika sangat penting dalam rangka
penopang terhadap efektivitas sistem norma hukum.198 Tentu,
norma etika tidak boleh dicampuradukkan dengan norma agama
dan norma hukum.199 Ketiganya harus dibedakan dengan jelas
satu sama lain, tetapi pandangan yang berusaha memisahkan
dan bahkan menjauhkan sistem etika dari sistem norma hukum
tidak dapat dibenarkan.200
Dalam sistem norma etika ada anjuran-anjuran yang-seperti
dalam sebagian substansi norma hukum-berisi prinsip-prinsip
nilai yang membimbing dan memandu (guiding principles) atau
pun mengarahkan (directive principles).201 Karena itu, fungsinya

194 Ibid
195 Ibid
196 Ibid
197 Ibid., hlm 15-16.
198 Ibid., hlm 16.
199 Ibid
200 Ibid
201 Ibid
terutama berkaitan dengan sistem sanksinya, lebih bersifat
pencegahan, di samping pula penindakan.202 Untuk itu, sanksinya
biasa ditentukan berupa teguran atau peringatan yang
bertingkat-tingkat, mulai dari teguran lisan, teguran tertulis,
ataupun teguran ringan dan teguran keras.203 Bahkan kadang-
kadang ditentukan pula bahwa teguran itu dapat dijatuhkan
secara bertahap atau bertingkat, misalnya teguran tingkat
pertama, teguran kedua, dan teguran tingkat terakhir.204
Penentuan dan pengaturan mengenai sistem dan mekanisme
penjatuhan sanksi itu dalam suatu pedoman penegakan kode
etik dengan sebaik-baiknya, menurut keperluan berdasarkan
sifat pekerjaan yang perilaku aparatnya hendak dikendalikan
dengan sistem etik yang terkait.205 Bentuk yang paling keras
karena tingkat keseriusan atau beratnya pelanggaran etik yang
dilakukan oleh seorang aparat atau pemegang jabatan publik
(ambtsdrager), adalah sanksi pemberhentian atau pemecatan
seseorang dari jabatan publik yang bersangkutan.206

202 Ibid
203 Ibid
204 Ibid
205 Ibid
206 Ibid
BAB III
PENEGAKAN ETIKA DALAM UPAYA MENCEGAH TERJADINYA
KORUPSI

Fenomena yang muncul pada abad XX adalah timbulnya


keinginan untuk menegakkan kode etik dan kode perilaku secara
forma. Di Indonesia, misalnya, organisasi profesi yang dapat
dikatakan menjadi pelopor pertama mengembangkan sistem
kode etik ini adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI).207 Sejak
sebelum kemerdekaan para dokter sudah biasa dengan
pengertian etika kedokteran.208 Namun, sejak berdirinya sampai
dengan sekarang, belum terdengar adanya dokter yang
diberhentikan karena pelanggaran kode etik profesi.209 Padahal,
dalam praktik sejak dahulu sampai dengan sekarang sering
terdengar banyaknya kasus-kasus mal-praktik di mana-mana.210
Mengapa belum pernah banyak yang terkena sanksi etika
profesi? Jawabannya terletak pada kenyataan bahwa sistem kode
etik yang dikembangkan dan dipraktikkan selama ini hanya
bersifat formal, dan belum sungguh-sungguh ditegakkan dalam
praktik nyata.211 Kode etik bam diperlakukan sebagai pedoman
kerja dan tuntunan perilaku ideal yang belum dilengkapi dengan
infrastruktur kelembagaan yang secara independen dapat
menegakkan kode etik itu dengan efektif.212
Di bidang-bidang yang lain, keadaannya juga sama. Kode etik ada
dan diberlakukan, tetapi penegakannya secara konkret tidak

207Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2015. Menggagas


Peradilan Etik di Indonesia. Jakarta: Sekretariat Jenderal Komisi
Yudisial Republik Indonesia. hal 15.
208 Ibid
209 Ibid
210 Ibid
211 Ibid
212 Ibid
terjadi karena mekanisme penegakannya belum didukung oleh
sistem kelembagaan yang tersendiri, misalnya semua organisasi
kemasyarakatan, organisasi-organisasi keagamaan, organisasi-
organisasi wanita, organisasi-organisasi pemuda, pelajar, dan
mahasiswa, yang besar-besar di tingkat nasional, biasanya
memiliki Kode Etik organisasi.213 Demikian pula partai politik
sejak dulu sampai sekarang selalu memiliki Kode Etik Anggota.214
Namun, kode etik dan kode perilaku organisasi tersebut
biasanya hanya dibaca pada saat organisasi itu hendak
mengadakan Kongres, Muktamar, atau Musyawarah Nasional
(MUNAS).215 Setelah itu, kode etik dimaksud bukan saja tidak
tersedia mekanisme untuk menegakkannya, tetapi juga sama
sekali dilupakan sampai diadakannya kegiatan Kongres atau
MUNAS pada periode berikutnya.216
Di lingkungan pegawai negeri sipil, juga dikenal adanya kode etik
dan kode disiplin kepegawaian. Namun, sekali lagi berapa
banyakkah pegawai negeri yang dinilai melanggar kode etik
selama ini? Demikian pula di lingkungan wartawan atau
jurnalis.217 Pers bebas merupakan dambaan semua orang, tetapi
bersamaan dengan itu etika profesional wartawan tentu perlu
dikembangkan untuk melindungi konsumen informasi dari
tindakan wartawan yang tidak profesional dengan melanggar
kode etik.218 Namun, dalam praktik selama ini sudah berapakah
jumlah wartawan yang dihukum karena melanggar kode etik?
Organisasi wartawan dan bahkan Dewan Pers sebagai lembaga
yang diharapkan menegakkan kode etik jurnalistik, tidak banyak

213 Ibid
214 Ibid
215 Ibid., hlm. 16.
216 Ibid
217 Ibid
218 Ibid
berperan dalam proses penegakan kode etik profesi wartawan
dimaksud.219
Semuanya gejala demikian itu terjadi, karena sebagian besar
pengertian orang tentang etika dan sistem kode etika, baru
bersifat formal dan bahkan proforma.220 Kode etik diharapkan
dapat berfungsi mendidik dan membimbing kesadaran volunter
yang bersifat sukarela atas dasar kesadaran sendiri tanpa harus
benar-benar ditegakkan dengan paksa.221 Inilah yang menjadi
alasan maka pada akhir abad ke-20 muncul kesadaran baru
mengena pentingnya pelembagaan institusi penegak kode etik
untuk menjamin berfungsinya sistem infra-struktur etik itu
dengan efektif.222 Sistem norma etik tidak cukup hanya
dipositivisasikan dalam bentuk pemberlakuan kode etik dai kode
perilaku. Sistem kode etik dan kode perilaku haruslah benar-
benar ditegakkan secara fungsional dengan dukungan
kelembagaan yang efektif.223
Karena itu, mulai akhir abad ke-20 muncul ide untuk
membangun infrastruktur kelembagaan penegak kode etik,
terutama di lingkungan jabatan-jabatan publik yang memerlukan
kepercayaan (trust atau amanah).224 Di Amerika Serikat,
misalnya, banyak sekali komisi-komisi etika (ethics commission)
yang dibentuk untuk maksud menegakkan kode etik di
lingkungan jabatan-jabatan eksekutif, legislatif, serta yudikatif.225
Bahkan, dari 50 negara bagian, sudah ada 42 negara bagian
Amerika Serikat yang berhasil membangun sistem infrastruktur
yang lengkap, mencakup kode etik dan pelembagaan komisi etik

219 Ibid
220 Ibid
221 Ibid
222 Ibid
223 Ibid
224 Ibid., hlm. 17.
225 Ibid
(Ethics Commission) untuk penegakannya.226 Hal ini sejalan
dengan anjuran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dalam
Sidang Umumnya pada tahun 1996, merekomendasikan agar
negara-negara anggota PBB mengembangkan apa yang disebut
sebagai ethics infrastructures in public offices. Infrastruktur yang
dimaksud mencakup pengertian kode etik dan lembaga penegak
kode etik.227 Dibentuknya lembaga-lembaga penegak kode etik
ini jelas dimaksudkan agar sistem kode etik dan kode perilaku
yang disusun dan diberlakukan sungguh-sungguh dijalankan dan
ditegakkan dengan sistem sanksi yang efektif bagi para
pelanggarnya. Inilah era baru yang dinamakan sebagai tahap
perkembangan etika yang bersifat fungsional.228
Lembaga-lembaga penegak kode etik ini ada yang disebut Komisi
Etika, Dewan Kehormatan, ataupun Komite Etika, semuanya
difungsikan untuk memeriksa laporan-laporan ataupun
pengaduan-pengaduan dan menegakkan kode etik bagi para
pelanggar dengan menjatuhkan sanksi yang tegas.229 Namun
demikian, dalam perkembangan pada tahap ini, sebagaimana
dipraktikkan dimana-mana di seluruh dunia, mekanisme
penegakan kode etik dimaksud biasa dilakukan secara tertutup,
karena pertimbangan yang sangat logis, bahwa sistem etika pada
dasarnya menyangkut hubungan-hubungan yang bersifat pribadi
atau privat.230 Karena itu, proses pemeriksaan dugaan
pelanggaran kode etik biasanya dilakukan secara tertutup.231
Sebagian pengertian lama tentang etika yang bersifat pribadi
yang daya lakukan bersumber dari dorongan kesadaran internal

226 Ibid
227 Ibid
228 Ibid
229 Ibid
230 Ibid
231 Ibid
tiap-tiap pribadi atau imposed om within, masih melekat dalam
mekanisme pengelolaan kelembagaan penegak kode etik.232
Pendek kata, sistem penegakan kode etik dan kode perilaku pada
tahap ini sama sekali belum dikaitkan dengan pengertian
peradilan.233 Penegakan kode etik belum dikonstruksikan
sebagai proses peradilan, seperti yang dikenal di dunia peradilan
modern yang harus bersifat transparan dan terbuka.234 Lembaga
penegak kode etik pun belum dipahami atau disebut sebagai
badan peradilan, khususnya pengadilan etika yang sepadan
dengan pengertian pengadilan di bidang hukum.235 Karena itu,
pada tahap keempat ini, perkembangan sistem etika dinamakan
sebagai tahap perkembangan tika fungsional tertutup. Sistem
penegakan etikanya masih bersifat tertutup dan belum
menerapkan prinsip-prinsip modern tentang peradilan
sebagaimana dipahami dalam bidang hukum.236 Dalam praktik di
Indonesia dewasa ini, mekanisme penegakan kode etik secara
tertutup ini juga terus diterapkan di semua bidang etika. Di
bidang kehakiman, kita telah mendirikan Komisi Yudisial yang
secara khusus diatur keberadaannya dalam Pasal 24B UUD
1945.237 Di bidang legislatif, UU tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (MD3) juga menentukan adanya badan Kehormatan, baik
di lingkungan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) maupun DPD
(Dewan perwakilan Daerah).238 Di lingkungan KPK (Komisi
pemberantasan Korupsi) juga dapat dibentuk adalah Majelis
Kehormatan yang bersifat ad hoc. Demikian pula di lingkungan
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dapat dibentuk

232 Jimly Asshiddiqie. (2015). Op. Cit. hlm. 42.


233 Ibid
234 Ibid
235 Ibid
236 Ibid., hlm. 42-43.
237 Ibid., hlm. 43.
238 Ibid
adanya Majelis Kehormatan Hakim (MKH) sewaktu-waktu
diperlukan.239 Namun, semua lembaga ad hoc atau permanen
tersebut, dalam cara kerjanya menegakkan kode etik, belum
dikaitkan dengan pengertian peradilan etik atau dikonstruksikan
sebagai pengadilan etik (ethical court), melainkan hanya sebagai
institusi penegak kode etik biasa, yang bekerjanya dipahami
harus bersifat tertutup, semata-mata arena terbawa arus
kebiasaan lama dalam memahami fenomena etik sebagai kaidah
yang bersifat privat yang mendasarkan daya berlakunya karena
imposed from within, bukan imposed from without seperti norma
hukum.240
Tahap perkembangan etika fungsional yang bersifat tertutup
tersebut terus berkembang di dunia sampai sekarang.241 Di
Indonesia pun, seperti diuraikan di atas, perkembangan pada
tahap keempat yang bersifat tertutup itu juga masih terus
menjadi kebiasaan.242 Akibatnya, proses penegakan kode etik
tidak dapat dipertanggungjawabkan secara independen dan
terbuka kepada publik yang di zaman sekarang menuntut
keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas publik yang lebih
luas di semua bidang kehidupan sebagai prasyarat untuk
terwujudnya prinsip good governance.243
Tanpa transparansi dan akuntabilitas publik, jaminan kendali
mutu terhadap proses penegakan etika yang bersifat
independen, jujur, dan adil tidak mungkin terpenuhi.244 Jika
proses pemeriksaan dan peradilan dilakukan secara tertutup,
derajat objektivitas, integritas, dan independensinya tentu saja

239 Ibid
240 Ibid
241 Ibid
242 Ibid
243 Ibid
244 Ibid
tidak dapat dipertanggungjawabkan.245 Selama proses
penegakan kode etik tidak terbuka, tidak dapat diharapkan
adanya akuntabilitas publik yang memberikan jaminan
objektivitas, imparsialitas, profesionalitas, integritas, dan
kredibilitas.246 Pada gilirannya, siapa yang dapat diyakinkan
bahwa proses penegakan kode etik itu sungguh-sungguh
terpercaya.247 Jika prosesnya tidak dapat dipercaya, bagaimana
mungkin hasilnya akan dapat dipercaya oleh masyarakat yang
terus berkembang makin terbuka karena sistem demokrasi yang
dianut.248
Karena itu juga, selama ini semua kasus dugaan pelanggaran
kode etik di pelbagai organisasi profesi, di pelbagai lembaga-
lembaga kenegaraan, dan instansi pemerintahan, dan organisasi
kemasyarakatan, cenderung bersifat melindungi, tidak sungguh-
sungguh menegakkan kode etika dan yang berlaku adalah kultur
ewuh-pekewuh, misalnya Majelis Kehormatan Dokter, cenderung
melindungi dan membela kepentingan para dokter sendiri,
dibandingkan dengan memenuhi tuntutan pasien.249 Begitu juga
organisasi profesi akuntan dan advokat biasanya hanya
melindungi teman-temannya sendiri daripada klien.250
Akibatnya, penegakan etika menjadi tidak efektif, etika profesi
tidak tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan
kebutuhan zaman, sementara tuntutan akan pelayanan
profesional yang semakin baik, dan kesadaran konsumer dan
klien akan hak-haknya tumbuh menjadi lebih kritis dan terbuka,
menyebabkan munculnya tuntutan untuk mengembangkan

245 Ibid
246 Ibid
247 Ibid
248 Ibid
249 Ibid., hlm 44.
250 Ibid
pendekatan kriminalisasi terhadap kasus-kasus malpraktik
dalam pelayanan profesional.251
Tuntutan demikian itu tercermin dalam kebijakan kriminalisasi
yang dilembagakan melalui proses legislasi di DPR dengan
maksud mulia untuk melindungi konsumen.252 Kebijakan
semacam itu muncul, misalnya, dalam pelbagai produk undang-
undang baru, seperti UU Praktik Kedokteran, UU Jabatan Notaris,
UU yang mengatur tentang profesi akuntan, UU tentang Advokat,
dan lain-lain sebagainya.253 Upaya kriminalisasi ini adalah upaya
maksimum dipandang perlu dilakukan, karena sistem etika
profesi sama sekali tidak berfungsi untuk mengendalikan dan
membimbing etika dan perilaku para profesional di bidangnya
masing-masing.254 Sebagai akibat berkembangnya
kecenderungan kriminalisasi ini muncullah keguncangan di
dunia profesi, sehingga terjadi kasus unjuk para dokter di
seluruh Indonesia menunjukkan solidaritas untuk membela
nasib dokter di Manado yang mengalami kriminalisasi.255 Para
notaris dan akuntan juga aktif mempersoalkan kebijakan
kriminalisasi terhadap profesinya masing-masing.256 Namun
jawabannya justru terletak pada tidak bekerjanya sistem etika
profesi itu sendiri. Jikalau etika profesi berjalan efektif, dan
mekanisme penegakan kode etika berfungsi dengan baik dan
terpercaya, maka niscaya upaya kriminalisasi itu sama sekali
tidak diperlukan.257
Sampai sekarang, jumlah anggota DPR yang diberhentikan
karena melanggar kode etik baru 1 orang. Kasus-kasus dugaan

251 Ibid
252 Ibid
253 Ibid
254 Ibid
255 Ibid
256 Ibid
257 Ibid
pelanggaran kode etik yang lain yang menimpa banyak anggota
DPR, kandas karena mekanisme di lingkungan internal Badan
Kehormatan DPR sendiri.258 Untuk kali yang pertama, dan juga
merupakan satu-satunya anggota DPR yang pernah dipecat
dalam sejarah dari keanggotaan DPR hanyalah H. Azidin dari
Fraksi Partai Demokrat periode 2004 – 2009.259 Sesudah itu
tidak pernah lagi ada sanksi yang dijatuhkan kepada anggota
DPR yang dilaporkan melakukan dugaan pelanggaran kode etik
DPR.260
Terbentuknya Majelis Kehormatan Hakim MK atas dugaan
pelanggaran kode etik oleh Hakim Dr. Arsyad Sanusi, S.H., dan
Majelis Kehormatan Hakim MA atas dugaan pelanggaran kode
etik oleh Hakim Ahmad Yamani, S.H. Juga dapat dipakai untuk
menjelaskan buruknya sistem tertutup itu.261 Ketika
menyidangkan Hakim Arsyad Sanusi, Majelis Kehormatan Hakim
MK bersidang secara tertutup dan hasilnya Arsyad Sanusi
diminta mengundurkan diri untuk pensiun dini, persis sama
dengan Hakim Agung Ahmad Yamani beberapa bulan kemudian,
juga diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan pensiun
dini, tanpa kejelasan apakah terbukti melanggar kode etik atau
tidak. Padahal, untuk kasus yang sama dengan Arsyad Sanusi di
MK, Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-PKU)
memeriksa salah seorang anggota KPU Andi Nurpati atas
pengaduan pelanggaran kode etik yang diduga telah
dilakukannya dalam kasus yang melibatkan peran Hakim
Konstitusi Arsyad Sanusi dan Calon anggota legislatif 2009, Dewi
Yasin Limpo. Hasil pemeriksaan oleh DK-KPU dalam persidangan
yang bersifat terbuka untuk umum membuktikan bahwa Andi

258 Ibid
259 Ibid
260 Ibid
261 Ibid., hlm 44-45.
Nurpati terlibat pelanggaran di beberapa tempat, termasuk
dalam kaitan dengan kasus Arsyad Sanusi dan Dewi Yasin Limpo,
sehingga oleh karena itu, Andi Nurpati diberhentikan dari
keanggotaan Komisi Pemilihan Umum. Sedangkan Majelis
Kehormatan Hakim MK tidak menyatakan bahwa Hakim Arsyad
Sanusi melanggar kode etik, melainkan hanya menerima niat
baik Hakim Arsyad Sanusi untuk mengajukan permohonan
pensiun dini dari jabatan Hakim Konstitusi.262
Mirip dengan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi, putusan Majelis
Kehormatan Hakim MA atas dugaan pelanggaran kode etik
Hakim Agung Ahmad Yamani juga demikian.263 Putusan yang
dijatuhkan baginya melalui persidangan yang bersifat tertutup
hanya memberi kesempatan kepadanya untuk mengajukan
permohonan pensiun dini.264 Terhadap putusan demikian,
banyak orang menilainya bukan sebagai sanksi atau hukuman
bagi Ahmad Yamani, melainkan kemudahan untuk melepaskan
diri dari sorotan masyarakat.265 Karena itu, muncul reaksi keras
dari masyarakat yang menuntut agar Hakim Agung disidangkan
lagi melalui pemeriksaan terbuka dengan Komisi Yudisial. Atas
dasar kesepakatan bersama antara MA dan KY akhirnya berhasil
ditempuh suatu mekanisme persidangan majelis kehormatan
secara terbuka, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Dewan
Kehormatan KPU dan kemudian diteruskan oleh Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).266 Sesudah kasus
Ahmad Yamani disidangkan kembali melalui persidangan yang
terbuka untuk umum, baru diketahui secara luas bahwa Ahmad
Yamani memang telah secara nyata terbukti melanggar kode etik

262 Ibid., hlm. 45.


263 Ibid
264 Ibid
265 Ibid
266 Ibid
dengan kategori yang berat, sehingga oleh sebab itu, sanksi yang
dijatuhkan adalah pemberhentian dengan tidak hormat.267
Sesudah pemeriksaan yang seksama, akhirnya Hakim Agung
Ahmad Yamani diputuskan bersalah dan diberhentikan dari
jabatan Hakim Agung secara tidak hormat, dan menjadi Hakim
Agung pertama dalam sejarah Indonesia yang diberhentikan
karena melanggar kode etik hakim.268 Inilah manfaat dari
keterbukaan.269 Publik dapat mengetahui kebenaran yang
sesungguhnya, dan pihak Majelis Kehormatan yang bertugas
untuk menegakkan kode etika dapat benar-benar berperan
menegakkan kehormatan institusi Mahkamah Agung.270 Sesuai
dengan namanya, Majelis Kehormatan tidak lain dimaksudkan
untuk menjaga, mengawal, dan menegakkan kehormatan
institusi Mahkamah Agung dari citra buruk hakim yang terbukti
melanggar kode etik.271 Jika semua proses pembuktian dilakukan
secara transparan dan akuntabel, maka tentulah putusan yang
dijatuhkan benar-benar dapat dipertanggungjawabkan secara
objektif, jujur dan berkeadilan.272 Putusan tidak dijatuhkan
dengan pertimbangan pertemanan ataupun dipengaruhi oleh
pertimbangan ewuh-pakewuh antarsesama teman, karena
adanya unsur internal Mahkamah Agung sendiri dalam
keanggotaan majelis kehormatan.273
Tradisi penegakan kode etik melalui proses yang terbuka inilah
yang dipelopori oleh DK-KPU sejak tahun 2010, dan diteruskan
oleh DKPP sampai sekarang.274 Baik, DK-KPU pada tahun 2010

267 Ibid
268 Ibid
269 Ibid
270 Ibid
271 Ibid., hlm. 46.
272 Ibid
273 Ibid
274 Ibid
dan 2011, maupun DKPP yang terbentuk sejak tahun 2012,
sehingga dapat dengan berkelanjutan menerapkan prinsip-
prinsip peradilan modern yang bersifat objektif, imparsial,
profesional, terbuka, transparan, akuntabel, dan berintegritas.
Dalam waktu 2 tahun sejak berdirinya pada bulan Juni 2012,275
DKPP sendiri tercatat telah memberhentikan secara tetap atau
memecat komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) ataupun
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di seluruh Indonesia,
sebanyak 126 orang, dan lebih dari 100-an orang yang diberi
peringatan mulai dari teguran ringan sampai teguran keras.
Semua ini dilakukan secara terbuka sebagai jaminan adanya
akuntabilitas publik dengan menerapkan semua prinsip
peradilan modern yang dikenal di dunia hukum.276 Karena itu,
dinamakan tahap perkembangan terakhir ini sebagai tahap
perkembangan etika fungsional terbuka. Dari sini kita dapat
memperkenalkan konsep peradilan etika (court of ethics) di
samping yang dikenal selama ini pengertian tentang peradilan
dalam ranah norma hukum (court of law).277
Bahkan, dari pengertian tersebut, kita dapat pula
memperkenalkan pengertian baru tentang the rule of ethics di
samping pengertian tentang the Rule of law.278 Dalam konsepsi
Rule of Law tercakup pengertian tentang kode hukum (code of
law) atau kitab undang-undang (book of law) dan pengadilan
hukum (court of law).279 Sedangkan dalam konsepsi Rule of
Ethics tercakup pengertian kode etik (code of ethics) atau kode
perilaku (code of conduct) dan sekaligus juga pengertian tentang

275 Ibid
276 Ibid
277 Ibid
278 Ibid., hlm. 47.
279 Ibid
pengadilan etika (court of ethics).280 Konsepsi demikian ini tentu
belum populer, apalagi mengenai pengertian peradilan dan
pengadilan etika, sama sekali belum dikenal di dunia.281 Artinya,
perkembangan sistem etika pada tahap kelima ini dapat
dikatakan masih harus dirintis dengan sebaik-baiknya, sebagai
inovasi yang diprakarsai oleh bangsa kita untuk kepentingan
integritas kemanusiaan di seluruh dunia di masa mendatang.282
Pada akhir tahun 1996, tepatnya pada tanggal 12 Desember
1996, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan Sidang
Umum ke-82.283 Dalam Sidang Umum ke-82 ini berhasil disahkan
Resolusi PBB tentang Action Against Corruption yang
melampirkan naskah International Code of Conduct for Public
Officials sebagai Annex.284 Naskah International Code of Conduct
for Public Officials tersebut terdiri atas 6 romawi yang berisi 5
standar perilaku yang diidealkan bagi para pejabat yang memang
jabatan publik di semua negara anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Keenam butir materi kode perilaku bagi pejabat publik
tersebut adalah:285

280 Ibid
281 Ibid
282 Ibid
283 MAULIDA MAULAYA UBBAH. 2018. makalah dasar-dasar

managemen pemerintahan (integritas kepemimpinan) (menjamin


idealis pemimpin demi terwujudnya Good Governance dari berbagai
perspektif sebagai upaya terhindar dari budaya korupsi). Dalam
Kumpulan Makalah. Diakses dari
http://maulidamaulayahubbah.blogspot.com/2018/02/makalah-
dasar-dasar-managemen.html
284 Ibid
285 Jan Ozmanczyk. 2003. Encyclopedia of The United Nation and

International Agreements (Third Edition; Volume 3: N-S; editor:


Anthony Mango). London: Routledge. hal 1871.
I. General Principles (Prinsip-Prinsip umum): 1) A public
office, as defined by national law, is a position of trust, implying a
duty to act in the public interest. Therefore, the ultimate loyalty of
public officials shall be to the public interests of their country as
expressed through the democratic institutions of government.2)
Public officials shall ensure that they perform their duties and
functions efficiently, effectively and with integrity, in accordance
with laws or administrative policies. They shall at all times seek to
ensure that public resources for which they are responsible are
administered in the most effective and efficient manner. 3) Public
officials shall be attentive, fair and impartial in the performance of
their functions and, in particular, in their relations with the public.
They shall at no time afford any undue preferential treatment to
any group or individual or improperly discriminate against any
group or individual, or otherwise abuse the power and authority
vested in them.

II. Conflict of Interest and Disqualification (Konflik


Kepentingan dan Diskualifikasi): 4) Public officials shall not
use their official authority for the improper advancement of their
own or their family’s personal or financial interest. They shall not
engage in any transaction, acquire any position or function or have
any financial, commercial or other comparable interest that is
incompatible with their office, functions and duties or the
discharge thereof. 5) Public officials, to the extent required by their
position, shall, in accordance with laws or administrative policies,
declare business, commercial and financial interests or activities
undertaken for financial gain that may raise a possible conflict of
interest. In situations of possible or perceived conflict of interest
between the duties and private interests of public officials, they
shall comply with the measures established to reduce or eliminate
such conflict of interest. 6) Public officials shall at no time
improperly use public moneys, property, services or information
that is acquired in the performance of, or as a result of, their
official duties for activities not related to their official work. 7)
Public officials shall comply with measures established by law or
by administrative policies in order that after leaving their official
positions they will not take improper advantage of their previous
office.

III. Disclosure of Assets (Laporan Harta Kekayaan): 8) Public


officials shall, in accord with their position and as permitted or
required by law and administrative policies, comply with
requirements to declare or to disclose personal assets and
liabilities, as well as, if possible, those of their spouses and/or
dependents.

IV. Acceptance of Gifts or Other Favor’s (Penerimaan


Pemberian atau Kenikmatan Lain): 9) Public officials shall not
solicit or receive directly or indirectly any gift or other favour that
may influence the exercise of their functions, the performance of
their duties or their judgment.

V. Confidential Information (Informasi Rahasia): 10) Matters


of a confidential nature in the possession of public officials shall be
kept confidential unless national legislation, the performance of
duty or the needs of justice strictly require otherwise. Such
restrictions shall also apply after separation from service.

VI. Political Activity (Kegiatan Politik): 11) Political Activity,


The political or other activity of public officials outside the scope of
their office shall, in accordance with laws and administrative
policies, not be such as to impair public confidence in the impartial
performance of their functions and duties.
Sesudah disahkannya Resolusi PBB tahun 1996 tersebut,
berbagai upaya lanjutan terus dilakukan di pelbagai forum dunia
untuk membangun instrument Internasional melawan praktik
korupsi yang menggejala di mana-mana di seluruh dunia,
sehingga pada tahun 2003 berhasil disahkan dalam bentuk
konvensi tersendiri, yaitu UN Convention Against Corruption.
Dalam Konvensi PBB pada artikel 8 secara khusus diatur tentang
Codes of Conduct for Public Officials. Di dalam artikel 8 konvensi
ini ditentukan:286
1) In order to fight corruption, each State Party shall
promote, interalia, integrity, honesty and responsibility among its
public officials, in accordance with the fundamental principles of
its legal system.
2) In particular, each State Party shall endeavour to apply,
within its own institutional and legal systems, codes or standards
of conduct for the correct, honourable and proper performance of
public functions.
3) For the purposes of implementing the provisions of this
article, each State Party shall, where appropriate and in
accordance with the fundamental principles of its legal system,
take note of the relevant initiatives of regional, interregional and
multilateral organizations, such as the International Code of
Conduct for Public Officials contained in the annex to General
Assembly resolution 51/59 of 12 December 1996.
4) Each State Party shall also consider, in accordance with
the fundamental principles of its domestic law, establishing
measures and systems to facilitate the reporting by public officials

286Article 8. Codes of Conduct for Public Officials. dalam UNITED


NATIONS OFFICE ON DRUGS AND CRIME. 2004. UNITED NATIONS
CONVENTION AGAINST CORRUPTION di Vienna. New York: United
Nations.
of acts of corruption to appropriate authorities, when such acts
come to their notice in the performance of their functions.
5) Each State Party-shall endeavour, where appropriate and
in accordance with the fundamental principles of its domestic law,
to establish measures and systems requiring public officials to
make declarations to appropriate authorities regarding, inter alia,
their outside activities, employment, investments, assets and
substantial gifts or benefits from which a conflict of interest may
result with respect to their functions as public officials.
6) Each State Party shall consider taking, in accordance with
the fundamental principles of its domestic law, disciplinary or
other measures against public officials who violate the codes or
standards established in accordance with this article.
Sampai sekarang, sudah banyak negara yang telah menjadikan
Resolusi PBB tentang Kode Perilaku Pejabat Publik tersebut
sebagai acuan dalam mengembangkan sistem etika
penyelenggara negara di masing-masing negara. Di samping itu,
pelbagai negara juga saling belajar dan saling mencontoh
mengenai nilai-nilai etika dan standar perilaku yang diidealkan
bagi pejabat publik. Karena itu, pada umumnya, kode etika dan
perilaku pejabat publik di pelbagai negara selalu mencakup 6
nilai dan standar perilaku sebagai berikut.
a. Larangan Konflik Kepentingan (Conflict of Interest).
b. Pelaporan Harta Kekayaan (Assets Disclosure).
c. Larangan Gratifikasi (Gifts and Gratuities or Other
Favours).
d. Rahasia Jabatan (Confidential Information).
e. Kegiatan Politik (Political Activities), dan
f. Kegiatan Setelah Pensiun (Post-Employment Activities).
Pengembangan International Codes of Ethics and Codes of
Conduct, selain etika penyelenggara kekuasaan negara, juga
tercatat perkembangan sistem etika dan perilaku yang luar biasa
di pelbagai bidang profesi. Bahkan, sebagaimana sudah
digambarkan di atas, standar-standar perilaku etika ini dalam
sejarah justru mulai berkembang di lingkungan komunitas
profesi yang mengidealkan standar perilaku profesional yang
tinggi di bidang masing-masing. Karena itu, organisasi profesi
pertama yang menerapkan sistem kode etik profesi ini adalah
para dokter, diteruskan oleh akuntan, dan para pengacara
(advokat).
Di antara substansi atau materi etika yang biasa dirumuskan
menjadi standar perilaku dan etika profesional adalah:
a. kejujuran (honesty);
b. integritas (integrity);
c. transparansi (transparency);
d. akuntabilitas (accountability);
e. sikap menjaga kerahasiaan (confidentiality);
f. objektivitas (objectivity);
g. sikap hormat (respectfulness);
h. ketaatan pada hukum (obedience to the Ian); dan
i. kesetiaan pada profesi (loyalty).
Banyak contoh kode etik dan kode perilaku organisasi
internasional pelbagai bidang profesi yang berlaku dewasa ini
yang dapat dijadikan contoh.
Kode Etik dan Standar Perilaku organisasi profesi tingkat
Internasional ini penting, karena dengan segera dapat
menularkan pengaruh ke seluruh dunia. Biasanya, para pengurus
dan anggota organisasi sejenis di tiap-tiap negara akan meniru
dengan menerjemahkan kode etik dan standar perilaku
organisasi profesi internasional itu untuk lingkup negara
masing-masing dengan beberapa penyesuaian menurut
kebutuhan setempat. Sekarang lingkup pekerjaan yang sudah
berkembang dan diakui sebagai profesi tersendiri berkembang
semakin luas dan banyak. Sebagian di antaranya, karena
pengaruh globalisasi, telah pula mengembangkan organisasi
internasionalnya masing-masing, lengkap dengan kode etik
profesionalnya sendiri-sendiri.
Pelbagai pekerjaan yang dewasa ini diakui luas sebagai profesi,
misalnya, adalah agamawan, akademisi, akuntan, aktuaris,
arsitek, audilog (audio-logist), dentis (dokter gigi), ekonom
(economists), insinyur (engineers), pekerja bahasa (language
professionals), ahli hukum (lawyers), dan penegak hukum (law
enforcement officers), jurnalis atau wartawan, pustakawan
(librarians), perawat (nurses), farmasi (pharmacists), dokter
(physicians), fisioterapis (physiotherapists), psikolog
(psychologists), pilot profesional (professional pilots), ilmuwan
(scientist), pekerja sosial (social workers), statikawan
(statisticians), ahli bedah (surgeons), surveyor (surveyors), guru
(teachers), perencana kota (urban planners), dan lain-lain
sebagainya. Sebagian dari profesi yang diakui ini sudah
membentuk organisasi profesi tingkat dunia dan memiliki kode
etik dan kode perilakunya masing-masing sehingga dapat
dicontoh oleh para profesional di bidang masing-masing untuk
negara-negara masing-masing di seluruh dunia.

2. Penegakan Kode Etik Publik dan Profesi di Indonesia


1) Kode Etik Kedokteran Indonesia
Praktik penyusunan kode etik dalam sejarah Indonesia dapat
dikatakan masih sangat baru. Memang benar bahwa segala
bentuk pepatah dan petitih, pantun-pantun, ujaran-ujaran,
tembang-tembang, dan cerita-cerita rakyat (volkslore) yang
dapat ditemukan di semua tradisi budaya lokal di desa-desa di
pelbagai daerah di seluruh Indonesia, selalu memuat kandungan
atau berisi prinsip-prinsip etika yang bernilai sangat tinggi dan
memberikan bimbingan dan petunjuk bagi segenap warga untuk
berperilaku mulia dalam pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat. Sebagian dari tradisi budaya beretika itu ada juga
yang dituliskan dalam naskah-naskah kuno atau bahkan
dibukukan oleh para sastrawan dan budayawan yang
menekuninya. Akan tetapi, etika dalam pengertian yang bersifat
positivistik sebagaimana yang dibahas dalam buku ini, dapat
dikatakan relatif masih sangat baru berkembang di Indonesia.
Seperti halnya dalam sejarah di dunia, khususnya dimulai di
Amerika Serikat, yang mempraktekkannya pertama kali di
Indonesia juga adalah organisasi profesi.
Organisasi profesi yang dapat dikatakan pertama menyusun dan
memberlakukan sistem kode etik itu bagi para anggotanya
adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Sesudah dunia kedokteran,
kode etik juga dikembangkan di dunia hukum dan akuntan, baru
kemudian berkembang di bidang-bidang yang lain. Untuk
keperluan sekadar memberikan contoh, dalam Bab ini diuraikan
beberapa sistem kode etik, yaitu (i) Etika Kedokteran, (ii) Etika
Kehakiman, (iii) Etika Advokat, (iv) Etika Notaris, (v) Etika Guru,
(vi) Etika Pegawai Negeri Sipil (PNS), (vii) Etika Akuntan, (viii)
Etika Jurnalistik, dan (ix) Etika Kehumasan (Public Relations). Di
dunia kedokteran, pada pokoknya, ada 6 (enam) sifat dasar yang
harus dijadikan pegangan oleh setiap dokter dalam menjalankan
tugas profesionalnya, yaitu: (i) sifat ketuhanan, (ii) kemurnian
niat, (iii) keluhuran budi, (iv) kerendahan hati, (v) kesungguhan
kerja, dan (vi) integritas (ilmiah dan sosial). Dalam menjalankan
keenam sifat dasar tersebut, ada beberapa prinsip etika yang
harus dijadikan rujukan, yaitu (a) Autonomi: hak untuk
menentukan atau memilih sesuatu yang terbaik bagi dirinya dan
bagi pasien, (b) Beneficence: prinsip memberikan bantuan atau
melakukan sesuatu uang berguna untuk orang lain, (c)
Nonmaleeficence: tidak membahayakan atau menimbulkan rasa
sakit fisik maupun emosional; (d) Justice: perlakuan yang adil;
(e) Veracity: jujur atau tidak berbohong; dan (f) Fidelity:
komitmen terhadap pelayanan sehingga menimbulkan rasa
saling percaya.
Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) dirumuskan dalam
pasal-pasal yang di antaranya memuat 4 (empat) macam
kewajiban, yaitu (i) Kewajiban Umum,287 (ii) Kewajiban Dokter
terhadap Pasien,288 (iii) Kewajiban Terhadap Sejawat,289 (iv)
Kewajiban Terhadap Diri Sendiri.290
Terkait kewajiban yang bersifat umum, setiap dokter diharuskan
menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah
Dokter, melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi,
dan dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, tidak boleh
dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi. Menurut
Kode Etik Kedokteran Indonesia, perbuatan-perbuatan yang
dipandang bertentangan dengan etik adalah:291
1. Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuan
dan ketrampilan kedokteran dalam segala bentuk.
2. Menerima imbalan selain dari pada yang layak, sesuai dengan
jasanya, kecuali dengan keikhlasan dan pengetahuan dan atau
kehendak pasien.
3. Membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan
farmasi/obat, perusahaan alat kesehatan/kedokteran atau badan
lain yang dapat mempengaruhi pekerjaan dokter.

287 Lihat Pasal 1-9 MAJELIS KEHORMATAN ETIK KEDOKTERAN


INDONESIA (MKEK). dalam KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
DAN PEDOMAN PELAKSANAAN KODE ETIK KEDOKTERAN
INDONESIA. 2004. Jakarta: IKATAN DOKTER INDONESIA.
288 Lihat Pasal 10-13 KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
289 Lihat Pasal 14-15 KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
290 Lihat Pasal 16-17 KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
291
Lihat Pasal 3 KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
PENJELASAN tentang PASAL DEMI PASAL
4. Melibatkan diri secara langsung atau tidak langsung untuk
mempromosikan obat, alat atau bahan lain guna kepentingan
dan keuntungan pribadi dokter.
Dalam Penjelasan dan Pedoman Pelaksanaan KODEKI, diuraikan
bahwa penerimaan dan pengamalan KODEKI hanya dapat
dilakukan para dokter dengan baik, jika para dokter memahami
dan menghayati butir-butir KODEKI itu dan masyarakat ikut
berpartisipasi dalam pelaksanaannya. Godaan termasuk materi
dapat menjuruskan para dokter melanggar etik profesinya,
bahkan rela melakukan malpraktik pidana. Berikut ini adalah
penjelasan dan pedoman pelaksanaan KODEKI pasal demi pasal.
Pasal 1 mengatur tentang sumpah jabatan.292 Penjelasan Pasal 2
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ukuran tertinggi
dalam butir ini, ialah bahwa seorang dokter hendaklah memberi
pelayanan kedokteran/kesehatan sesuai kemajuan iptek
kedokteran yang mutakhir, dilandasi etik kedokteran, hukum
dan agama. Dengan demikian norma hukum, norma etika, dan
norma agama disinergikan dalam satu ke satuan sistem rujukan
tentang standar perilaku yang ideal bagi para dokter.293
Sedangkan Pasal 3 merumuskan bahwa profesi kedokteran lebih
merupakan panggilan perikemanusiaan dengan mendahulukan
keselamatan dan kepentingan pasien, dan tidak mengutamakan
kepentingan pribadi.294
(Pasal 4) Seorang dokter harus sadar bahwa segala kemampuan
yang ia miliki adalah karunia dari Sang Pencipta Yang Maha

292
Lihat Pasal 1 KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
PENJELASAN tentang PASAL DEMI PASAL
293
Lihat Pasal 2 KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
PENJELASAN tentang PASAL DEMI PASAL
294
Lihat Pasal 3 KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA PENJELASAN
tentang PASAL DEMI PASAL
Esa.295 (Pasal 5): Dokter harus mampu mempertebal keyakinan
pasien bahwa ia dapat sembuh dan mengalihkan perhatian
pasien yang depresi atau cemas ke hal yang memberikan
harapan dan menimbulkan optimisme.
(Pasal 6): Penelitian dan publikasi hasil penelitian itu juga harus
berlandaskan stik penelitian dan penulisan ilmiah. (Pasal 7):
Membuat surat keterangan dokter. (Pasal 8): Dokter adalah
tenaga profesi yang mempunyai kemampuan untuk
menggerakkan potensi yang ada bagi terwujudnya tujuan
kesehatan individu, keluarga dan masyarakat umumnya serta
mencakup segala aspek (pelayanan kesehatan paripurna), yaitu
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. (Pasal 9): Untuk
menjalankan seluruh program, maka perlu dijalin kerjasama
dengan instansi-instansi lain di luar bidang kedokteran. Pasal
10): dalam menghadapi berbagai masalah pasien, maka seorang
dokter harus selalu mempertimbangkan apa yang terbaik yang
harus dilakukan (mulai dari peranan pasien di keluarga/tentang
kemungkinan kelanjutan hidupnya di masa depan). (Pasal 11):
Pendekatan yang dilakukan dokter dalam penyembuhan
hendaknya selalu bersifat holistik dengan mempertimbangkan
tidak hanya aspek fisik, tetapi juga aspek psikis, spiritual, dan
intelektual pasiennya.
(Pasal 12): Dokter yang bijaksana harus selalu mendalami latar
belakang kehidupan pasiennya. Pada hal-hal yang khusus perlu
diberi kesempatan bagi pasien untuk bertemu dengan orang-
orang yang dikehendakinya. (Pasal 13): Hubungan dokter
dengan pasien bersifat konfidensial, percaya-mempercayai dan
hormat-menghormati. (Pasal 14): Setiap orang wajib melakukan
pertolongan pertama kepada siapapun yang mengalami
kecelakaan atau sakit mendadak, apalagi seorang dokter. (Pasal

Lihat Pasal 4 KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA


295

PENJELASAN tentang PASAL DEMI PASAL


15): Para dokter harus membina persatuan dan kesatuan,
bersama-sama di bawah panji-panji perikemanusiaan
memerangi penyakit yang mengganggu kesehatan dan
kebahagiaan umat manusia. (Pasal 16): Seorang dokter harus
bisa menjelaskan pada pasien jika ia masih menjalani
pengobatan dengan dokter yang pertama, maka harus diteruskan
kecuali jika pasien memiliki penyakit baru, maka dokter yang
kedua tidak dianggap merebut pasien dari dokter pertama.
(Pasal 17): Dokter harus memberi teladan dalam memelihara
kesehatan, melakukan pencegahan terhadap penyakit,
berperilaku sehat sehingga dapat bekerja dengan baik dan
tenang. (Pasal 18): Seorang dokter harus selalu mengikuti
perkembangan, baik untuk manfaat did sendiri dan keluarga,
maupun untuk pasien dan masyarakat. (Pasal 19): Setiap dokter
harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan
mengamalkan KODEKI.
Dalam LSDI dan KODEKI telah tercantum secara garis besar
perilaku atau tindakan-tindakan yang layak dan tidak layak
dilakukan seorang dokter dalam menjalankan profesinya.
Terhadap pelanggaran yang terbukti dilakukan tersedia
ancaman sanksi yang tergantung berat ringannya kesalahan atau
pelanggaran kode etik. Perbuatan atau tindakan yang termasuk
kategori pelanggaran itu dapat dibedakan antara (i) pelanggaran
yang bersifat etika murni, dan (ii) pelanggaran yang bersifat
etikolegal, yaitu bercampur dengan pelanggaran norma hukum.
Di samping itu, setiap pelanggaran yang memenuhi unsur
pelanggaran hukum secara otomatis tergolong juga sebagai
pelanggaran etika, tetapi sesuatu yang melanggar etika belum
tentu melanggar hukum. Karena percampuran antara sifat
pelanggaran hukum dan etika ini sering terjadi dalam praktik.
Inilah yang dinamakan pelanggaran yang bersifat etikolegal.
Bentuk-bentuk sanksi pelanggaran etik dapat berupa:
1. teguran, yang dapat meliputi teguran lisan atau tertulis,
yang berisi tuntutan sikap dan perilaku yang bersifat pembinaan;
2. penundaan kenaikan gaji atau kenaikan pangkat;
3. penurunan gaji atau penurunan pangkat setingkat lebih
rendah (demosi);
4. pencabutan izin praktik dokter untuk sementara atau
untuk selama-lamanya;
5. pada kasus-kasus pelanggaran yang bersifat etikolegal,
bagi pelanggar dapat diberikan sanksi hukuman sesuai undang-
undang kepegawaian yang berlaku dan diproses hukum melalui
pengadilan.
Beberapa contoh pelanggaran yang bersifat etika murni,
misalnya: (i) menarik imbalan yang tidak wajar, atau menarik
imbalan jasa dari keluarga sejawat sendiri (sejawat dokter atau
dokter gigi); (ii) mengambil alih pasien tanpa persetujuan dokter
sejawat; (iii) memuji diri sendiri di depan pasien, apalagi dengan
membandingkan dengan keburukan dokter lain; (iv)
memberikan perlakuan khusus kepada pasien tertentu dengan
mengabaikan pasien lain yang berdekatan yang menghadapi
masalah yang sama; (v) tidak mengikuti pendidikan kedokteran
secara berkesinambungan; (vi) dokter mengabaikan
kesehatannya sendiri; dan sebagainya.
Sedangkan contoh pelanggaran yang bersifat etikolegal, yaitu
pelanggaran etika yang juga sekaligus sudah memenuhi unsur
pelanggaran hukum, misalnya: (i) memberikan pelayanan
kedokteran di bawah standar; (ii) menerbitkan surat keterangan
palsu; (iii) membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter lain;
(iv) melakukan tindakan abortus provokatus yang dilarang
menurut undang-undang; (v) melakukan pelecehan seksual
terhadap pasien; dan lain sebagainya.
Dalam etika kedokteran, baik dokter maupun pasien sama-sama
mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Setiap
pasien mempunyai (i) hak untuk hidup; (ii) hak atas tubuhnya
sendiri dan hak untuk mati secara wajar; (iii) memperoleh
pelayanan kedokteran yang manusiawi sesuai dengan standar
profesi kedokteran; (iv) memperoleh penjelasan tentang
diagnosis dan terapi dari dokter yang mengobatinya; (v)
menolak prosedur diagnosis dan terapi yang direncanakan,
bahkan dapat menarik diri dari kontrak terpeutik; (vi)
memperoleh penjelasan tentang riset kedokteran yang akan
diikutinya; (vii) menolak atau menerima keikutsertaannya dalam
riset kedokteran; (viii) dirujuk kepada dokter spesialis kalau
diperlukan, dan dikembalikan kepada dokter yang merujuknya
setelah selesai konsultasi atau pengobatan untuk memperoleh
perawatan atau tindak lanjut; (ix) kerahasiaan dan rekam
mediknya atas hal pribadi; (x) memperoleh penjelasan tentang
peraturan-peraturan rumah sakit; (xi) berhubungan dengan
keluarga, penasihat atau rohaniwan dan lain-lainnya yang
diperlukan selama perawatan di rumah sakit; (xii) memperoleh
penjelasan tentang perincian biaya rawat inap, obat,
pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Rontgen, Ultrasonografi
(USG), CT-scan, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan
sebagainya, (jika dilakukan) biaya kamar bedah, kamar bersalin,
imbalan jasa dokter dan lain-lainnya.
Setiap dokter juga mempunyai hak-haknya sendiri, yaitu: (i)
melakukan praktik dokter setelah memperoleh Surat Izin Dokter
(SID) dan Surat Izin Praktik (SIP); (ii) memperoleh informasi
yang benar dan lengkap dari pasien/keluarga tentang
penyakitnya; (iii) bekerja sesuai standar profesi; (iv) menolak
melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan etika,
hukum, agama dan hati nuraninya; (v) mengakhiri dengan
hubungan seorang pasien, jika menurut penilaian kerja sama
pasien dengannya tidak ada gunanya lagi, kecuali dalam keadaan
gawat darurat; (vi) menolak pasien yang bukan bidang
spesialisnya, kecuali dalam keadaan darurat atau tidak ada
dokter lain yang mampu menanganinya; (vii) hak atas privacy
dokter; (viii) ketenteraman bekerja; (ix) mengeluarkan surat-
surat keterangan dokter; (x) menerima imbalan jasa, (xi)
menjadi anggota perhimpunan profesi, dan (xii) hak membela
diri.
Sebaliknya, setiap pasien dan dokter mempunyai kewajiban-
kewajibannya sendiri yang juga harus dipenuhi, yaitu: (i)
memeriksakan diri sedini mungkin pada dokter; (ii) memberikan
informasi yang benar dan lengkap tentang penyakitnya; (iii)
mematuhi nasihat dan petunjuk dokter; (iv) menandatangani
surat-surat PTM, surat jaminan dirawat di rumah sakit dan lain-
lainnya; (v) merasa yakin pada dokternya, dan yakin akan
sembuh; (vi) melunasi segala biaya perawatan di rumah sakit,
biaya pemeriksaan dan pengobatan serta honorarium dokter.
Sedangkan kewajiban para dokter yang pokok adalah:
membaktikan hidupnya untuk perikemanusiaan dengan selalu
lebih mengutamakan kewajiban di atas hak-hak ataupun
kepentingan pribadinya. Dalam menjalankan tugasnya, bagi
dokter berlaku Aegroti Salus lex Suprema, yang berarti
keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi (yang utama).
Kewajiban dokter, sebagaimana telah diuraikan di atas, meliputi
kewajiban umum, kewajiban terhadap penderita (pasien),
kewajiban terhadap teman sejawat dan kewajiban terhadap diri
sendiri.

B. Kode Etik Hakim Indonesia


Dewasa ini, hakim Indonesia di lingkungan Mahkamah Agung
diikat oleh Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang
tertuang dalam bentuk Keputusan Bersama Ketua Mahkamah
Agung dan Ketua Komisi Yudisial Tahun 2009. Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim ini disusun dengan kesadaran bahwa
pengadilan yang mandiri, netral (tidak memihak), kompeten,
transparan, akuntabel dan berwibawa, yang mampu
menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian
hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau
persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan
hukum. Pengadilan sebagai pilar utama dalam penegakan hukum
dan keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa.
Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap
keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya
martabat dan integritas Negara. Hakim sebagai aktor utama atau
figur sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk
mengasah kepekaan nurani, memelihara integritas, kecerdasan
moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan
hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Oleh sebab itu,
semua wewenang dan tugas yang dimiliki oleh hakim harus
dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan
keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan
orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana
setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim.
Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menuntut
tanggung jawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang
diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan kewajiban
menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib
dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua
manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mewujudkan suatu pengadilan
sebagaimana di atas, perlu terus diupayakan secara maksimal
tugas pengawasan secara internal dan eksternal oleh Mahkamah
Agung Republik Indonesia dan Komisi Yudisial Republik
Indonesia. Wewenang dan tugas pengawasan tersebut
diorientasikan untuk memastikan bahwa semua hakim sebagai
pelaksana utama dari fungsi pengadilan itu berintegritas tinggi,
jujur dan profesional, sehingga memperoleh kepercayaan dari
masyarakat dan pencari keadilan.
Salah satu hal penting yang disorot masyarakat untuk
mempercayai hakim, adalah perilaku dari hakim yang
bersangkutan, baik dalam menjalankan tugas yudisialnya
maupun dalam kesehariannya. Sejalan dengan tugas dan
wewenangnya itu, hakim dituntut untuk selalu menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta etika dan
perilaku hakim. Berdasarkan wewenang dan tugasnya sebagai
pelaku utama fungsi pengadilan, maka sikap hakim yang
dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari dan tirta itu
merupakan cerminan perilaku hakim yang harus senantiasa
diimplementasikan dan direalisasikan oleh semua hakim dalam
sikap dan perilaku hakim yang berlandaskan pada prinsip
Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa,
berbudi luhur dan jujur. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, yang melandasi prinsip-prinsip kode etik dan pedoman
perilaku hakim ini bermakna pengalaman tingkah laku sesuai
agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa ini akan mampu mendorong hakim untuk
berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai ajaran dan
tuntunan agama dan kepercayaan yang dianutnya.
Kewajiban hakim untuk memelihara kehormatan dan keluhuran
martabat serta perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan harus diimplementasikan
secara konkret dan konsisten baik dalam menjalankan tugas
yudisialnya maupun di luar tugas yudisialnya, sebab hal itu
berkaitan erat dengan upaya penegakan hukum dan keadilan.
Kehormatan adalah kemuliaan atau nama baik yang senantiasa
harus dijaga dan dipertahankan dengan sebaik-baiknya oleh
para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Kehormatan
hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya dan
pertimbangan yang melandasi atau keseluruhan proses
pengambilan keputusan yang bukan saja berdasarkan peraturan
perundang-undangan, tetapi juga rasa keadilan dan kearifan
dalam masyarakat.
Sebagaimana halnya kehormatan, keluhuran martabat
merupakan tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri yang
mulia yang sepatutnya tidak hanya dimiliki, tetapi harus dijaga
dan dipertahankan oleh hakim melalui sikap tindak atau perilaku
yang berbudi pekerti luhur itulah kehormatan dan keluhuran
martabat hakim dapat dijaga dan ditegakkan. Kehormatan dan
keluhuran martabat berkaitan erat dengan etika perilaku. Etika
adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
mengenai benar dan salah yang dianut satu golongan atau
masyarakat. Perilaku dapat diartikan sebagai tanggapan atas
reaksi individu yang terwujud dalam gerakan (sikap) dan ucapan
yang sesuai dengan apa yang dianggap pantas oleh kaidah-
kaidah hukum yang berlaku.
Etika berperilaku adalah sikap dan perilaku yang didasarkan
kepada kematangan jiwa yang diselaraskan dengan norma-
norma yang berlaku di dalam masyarakat. Implementasi
terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim dapat
menimbulkan kepercayaan atau ketidakpercayaan masyarakat
kepada putusan pengadilan. Oleh sebab itu, hakim dituntut untuk
selalu berperilaku yang berbudi pekerti luhur. Hakim yang
berbudi pekerti luhur dapat menunjukkan bahwa profesi hakim
adalah suatu kemuliaan (officium nobile). Profesi hakim memiliki
sistem etika yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan
menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan
pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam
menjalankan fungsi dan mengemban profesinya.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan
keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan tugas
profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar
kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral
untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat
dengan norma-norma etika dan adaptasi kebiasaan yang berlaku
dalam tata pergaulan masyarakat. Namun demikian, untuk
menjamin terciptanya pengadilan yang mandiri dan tidak
memihak, diperlukan pula pemenuhan kecukupan sarana dan
prasarana bagi hakim baik selaku penegak hukum maupun
sebagai warga masyarakat.
Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dan
Negara memberi jaminan keamanan bagi Hakim dan Pengadilan,
termasuk kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas dan
anggaran. Walaupun demikian meskipun kondisi-kondisi di atas
belum sepenuhnya terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan
alasan bagi Hakim untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak dan
penjaga hukum dan keadilan yang memberi kepuasan pada
pencari keadilan dan masyarakat. Sebelum disusun Kode Etik
dan Pedoman Perilaku Hakim ini, Mahkamah Agung telah
mengadakan kajian dengan memperhatikan masukan dari Hakim
di berbagai tingkatan dan lingkungan peradilan, kalangan
praktisi hukum, akademisi hukum, serta pihak-pihak lain dalam
masyarakat. Selain itu memperhatikan hasil perenungan ulang
atas pedoman yang pertama kali dicetuskan dalam Kongres IV
Luar Biasa IKAH1 tahun 1966 di Semarang, dalam bentuk Kode
Etik Hakim Indone-sia dan disempurnakan kembali dalam
Munas XIII IKAHI tahun 2000 di Bandung. Untuk selanjutnya
ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung RI tahun
2002 di Surabaya yang merumuskan 10 (sepuluh) prinsip
Pedoman Perilaku Hakim yang didahului pula dengan kajian
mendalam yang meliputi proses perbandingan terhadap prinsip-
prinsip internasional, maupun peraturan-peraturan serupa yang
ditetapkan di berbagai negara, antara lain The Bangalore
Principles of Judicial Conduct.
Selanjutnya Mahkamah Agung menerbitkan Pedoman Perilaku
Hakim melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI
Nomor: KALA/104-A/SK/XII/2006 tanggal 22 Desember 2006
tentang Pedoman Perilaku Hakim dan Surat Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI Nomor: 215/KMA/SK/XII/2007 tanggal 19
Desember 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman
Perilaku Hakim.
Demikian pula Komisi Yudisial RI telah melakukan pengkajian
yang mendalam dengan memperhatikan masukan dari berbagai
pihak melalui kegiatan Konsultasi Publik yang diselenggarakan
di 8 (delapan) kota yang pesertanya terdiri dari unsur hakim,
praktisi hukum, akademisi hukum, serta unsur-unsur
masyarakat termasuk lembaga swadaya masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan
memenuhi Pasal 32A juncto Pasal 81B Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka
disusunlah Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang
merupakan pegangan bagi para Hakim seluruh Indonesia serta
Pedoman bagi Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dalam
melaksanakan fungsi pengawasan internal maupun eksternal.
Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai
berikut.
1. Berperilaku adil.
2. Berperilaku jujur.
3. Berperilaku arif dan bijaksana.
4. Bersikap mandiri.
5. Berintegritas tinggi.
6. Bertanggung jawab.
7. Menjunjung tinggi harga diri.
8. Berdisiplin tinggi.
9. Berperilaku rendah hati.
10. Bersikap profesional.
Norma etika yang diatur dan dijabarkan dalam Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim tersebut adalah sebagai berikut.

1. Berperilaku Adil
Prinsip berperilaku adil merupakan rumusan kode etiknya yang
mengandung makna menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang
didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama
kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang
paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan
dan memberi kesempatan yang sama {equality and fairness)
terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang
melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang
memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan
benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan
orang.
Sedangkan kaidah penerapannya dalam rangka Pedoman
Perilaku, di-rumuskan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu rumusan
umum dan spesifik. Secara umum, ditentukan bahwa (i) Hakim
wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya dengan
menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan
imbalan; (ii) Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun
di luar pengadilan dan tetap menjaga serta menumbuhkan
kepercayaan masyarakat pencari keadilan; (iii) Hakim wajib
menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan pencabutan
haknya untuk mengadili perkara yang bersangkutan; (iv) Hakim
dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah
berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada
dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang
bersangkutan; (v) Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya
dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan,
prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin,
agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau
mental, usia atau status sosial ekonomi maupun atas dasar
kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihak-pihak
yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan
maupun tindakan; (vi) Hakim dalam suatu proses persidangan
wajib meminta kepada semua pihak yang terlibat proses
persidangan untuk menerapkan standar perilaku sebagaimana
dimaksud dalam butir (5); (v) Hakim dilarang bersikap,
mengeluarkan perkataan atau melakukan tindakan lain yang
dapat menimbulkan kesan memihak, berprasangka, mengancam,
atau menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saksi-saksi,
dan harus pula menerapkan standar perilaku yang sama bagi
advokat, penuntut, pegawai pengadilan atau pihak lain yang
tunduk pada arahan dan pengawasan hakim yang bersangkutan;
(vi) Hakim harus memberikan keadilan kepada semua pihak dan
tidak beriktikad semata-mata untuk menghukum; dan (vii)
Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan
atau pihak-pihak lain untuk mempengaruhi, mengarahkan, atau
mengontrol jalannya sidang, sehingga menimbulkan perbedaan
perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan perkara.
Secara spesifik, Hakim diharuskan untuk (i) mendengar kedua
belah pihak. Bahkan, sebenarnya, Hakim sudah semestinya
bukan hanya mendengar kedua belah pihak, tetapi semua pihak
yang berkepentingan atau yang dapat membuktikan
kepentingannya terhadap perkara yang bersangkutan sesuai
dengan prinsip audi et alteram partem dalam peradilan yang
berlaku secara universal; (ii) Hakim harus memberikan
kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari
keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam
suatu proses hukum di Pengadilan; dan (iii) Hakim tidak boleh
berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar
persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung
pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang
dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang
berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan
ketidakberpihakan.

2. Berperilaku Jujur
Dalam kode etik, dirumuskan keharusan berperilaku jujur yang
bermakna bahwa para hakim berlaku jujur dan berani
menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah
adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang
kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan
yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang
tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan
maupun di luar persidangan.
Dalam kaidah penerapannya, secara umum, ditentukan bahwa
setiap (i) Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari
perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan
tercela; dan (ii) Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah
laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan,
selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat,
penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga
tercermin sikap ketidakberpihakan Hakim dan lembaga
peradilan (impartiality). Sedangkan secara spesifik, ditentukan
pula hal-hal yang harus dilakukan berkenaan dengan pemberian
hadiah dan sejenisnya, yaitu bahwa (i) Hakim tidak boleh
meminta/menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim,
orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk
meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan,
pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari (a)
Advokat; (b) Penuntut; (c) Orang yang sedang diadili; (d) Pihak
lain yang kemungkinan kuat akan diadili; dan (e) Pihak yang
memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan
kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara
wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung
maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas
peradilannya.
Yang dapat dikecualikan dari ketentuan tersebut hanyalah
pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan
(circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk
mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan.
Pemberian atau hadiah yang dimaksud itu, misalnya, adalah
pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam
kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar
keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya,
yang nilainya tidak melebihi Rp 500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah
sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Di samping itu, (ii) Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan
pegawai pengadilan atau pihak lain yang di bawah pengaruh,
petunjuk atau kewenangan hakim yang bersangkutan untuk
meminta atau menerima hadiah, hibah, warisan, pemberian,
pinjaman atau bantuan apa pun sehubungan dengan segala hal
yang dilakukan atau akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh
hakim yang bersangkutan berkaitan dengan tugas atau fungsinya
dari (a) Advokat; (b) Penuntut; (c) Orang yang sedang diadili
oleh hakim tersebut; (d) Pihak lain yang kemungkinan kuat akan
diadili oleh hakim tersebut; (e) Pihak yang memiliki kepentingan
baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara
yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh
Hakim yang bersangkutan yang secara wajar patut diduga
bertujuan untuk mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas
peradilannya.
Demikian pula hakim, dilarang (iii) menerima Imbalan dan
Pengeluaran/Ganti Rugi. Hakim hanya dapat menerima imbalan
dan atau kompensasi biaya untuk kegiatan ekstra yudisial dari
pihak yang tidak mempunyai konflik kepentingan, sepanjang
imbalan atau kompensasi tersebut tidak mempengaruhi
pelaksanaan tugas-tugas yudisial dari hakim yang bersangkutan;
Mengenai (iv) Pencatatan dan Pelaporan Hadiah dan Kekayaan
(a) Hakim wajib melaporkan secara tertulis gratifikasi yang
diterima kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK), Ketua Muda Pengawasan mahkamah Agung dan Ketua
Komisi Yudisial paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima; dan (b)
Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi sebelum, selama dan setelah menjabat,
serta bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan
setelah menjabat.

3. Berperilaku Arif dan Bijaksana


Sikap arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai
dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-
norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan
maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi
pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari
tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong
terbentuknya pribadi yang berwawasan luas. mempuyai
tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.
Dalam kaidah penerapannya, secara umum dinyatakan bahwa (i)
Hakim wajib menghindari tindakan tercela; (ii) Hakim, dalam
hubungan pribadinya dengan anggota profesi hukum lain yang
secara teratur beracara di pengadilan, wajib menghindari situasi
yang dapat menimbulkan kecurigaan atau sikap keberpihakan:
(iii) Hakim dilarang mengadili perkara di mana anggota keluarga
hakim yang bersangkutan bertindak mewakili suatu pihak yang
berperkara atau sebagai pihak yang memiliki kepentingan
dengan perkara tersebut; (iv) Hakim dilarang mengizinkan
tempat kediamannya digunakan oleh seorang anggota suatu
profesi hukum untuk menerima klien atau menerima anggota-
anggota lainnya dari profesi hukum tersebut; V) Hakim dalam
menjalankan tugas-tugas yudisialnya wajib terbebas dari
pengaruh keluarga dan pihak ketiga lainnya; (vi) Hakim dilarang
menggunakan wibawa pengadilan untuk kepentingan pribadi,
keluarga atau pihak ketiga lainnya; (vii) Hakim dilarang
mempergunakan keterangan yang diperolehnya dalam proses
peradilan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan wewenang
dan tugas yudisialnya; (viii) Hakim dapat membentuk atau ikut
serta dalam organisasi para hakim atau turut serta dalam
lembaga yang mewakili kepentingan para hakim; (ix) Hakim
berhak melakukan kegiatan ekstra yudisial, sepanjang tidak
mengganggu pelaksanaan yudisial, antara lain menulis, memberi
kuliah, mengajar dan turut serta dalam kegiatan-kegiatan yang
berkenaan dengan hukum, sistem hukum, ketatalaksanaan,
keadilan atau hal-hal yang terkait dengannya.
Sedangkan secara spesifik, ditentukan pula sebagai pedoman
perilaku bagi para hakim mengenai (i) Pemberian Pendapat atau
Keterangan kepada Publik (a) Hakim dilarang mengeluarkan
pernyataan kepada masyarakat yang dapat mempengaruhi,
menghambat atau mengganggu berlangsungnya proses peradilan
yang adil, independen, dan tidak memihak; (b) Hakim tidak
boleh memberi keterangan atau pendapat mengenai substansi
suatu perkara di luar proses persidangan pengadilan, baik
terhadap perkara yang diperiksa atau diputusnya maupun
perkara lain; (c) Hakim yang diberikan tugas resmi oleh
Pengadilan dapat menjelaskan kepada masyarakat tentang
prosedur beracara di Pengadilan atau informasi lain yang tidak
berhubungan dengan substansi perkara dari suatu perkara; (d)
Hakim dapat memberikan keterangan atau menulis artikel dalam
surat kabar atau terbitan berkala dan bentuk-bentuk kontribusi
lainnya yang dimaksudkan untuk menginformasikan kepada
masyarakat mengenai hukum atau administrasi peradilan I
secara umum yang tidak berhubungan dengan masalah substansi
perkara tertentu; (e) Hakim tidak boleh memberi keterangan,
pendapat, komentar, kritik, atau pembenaran secara terbuka
atas suatu perkara atau putusan I pengadilan baik yang belum
maupun yang sudah mempunyai kekuatan I hukum tetap dalam
kondisi apapun; (vi) Hakim tidak boleh memberi keterangan,
pendapat, komentar, kritik, atau pembenaran secara terbuka
atas suatu perkara atau putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah yang
hasilnya tidak dimaksudkan untuk dipublikasikan yang dapat
mempengaruhi putusan hakim dalam perkara lain.
Terkait dengan (iii) Kegiatan Keilmuan, Sosial Kemasyarakatan
dan Kepartaian, (i) Hakim dapat menulis, memberi kuliah,
mengajar dan berpartisipasi dalam kegiatan keilmuan atau suatu
upaya pencerahan mengenai hukum, sistem hukum, administrasi
peradilan dan non-hukum, selama kegiatan-kegiatan tersebut
tidak dimaksudkan untuk memanfaatkan posisi hakim dalam
membahas suatu perkara; (ii) Hakim boleh menjabat sebagai
pengurus atau anggota organisasi nirlaba yang bertujuan untuk
perbaikan hukum, sistem hukum, administrasi peradilan,
lembaga pendidikan dan sosial kemasyarakatan, sepanjang tidak
mempengaruhi sikap kemandirian hakim; (iii) Hakim tidak boleh
menjadi pengurus atau anggota dari partai politik atau secara
terbuka menyatakan dukungan terhadap salah satu partai politik
atau terlibat dalam kegiatan yang dapat menimbulkan
persangkaan beralasan bahwa hakim tersebut mendukung suatu
partai politik; (iv) Hakim dapat berpartisipasi dalam kegiatan
kemasyarakatan dan amal yang tidak mengurangi sikap netral
(ketidakberpihakan) hakim.
4. Bersikap Mandiri
Sikap mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa
bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan
bebas dari pengaruh apa pun. Sikap mandiri mendorong
terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh
pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan
moral dan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam penerapannya,
(i) Hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri
dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik
yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak
manapun; (ii) Hakim wajib bebas dari hubungan yang tidak patut
dengan lembaga eksekutif maupun legislatif serta kelompok lain
yang berpotensi mengancam kemandirian (independensi) hakim
dan badan peradilan; dan (iii) Hakim wajib berperilaku mandiri
guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap badan
peradilan.

5. Berintegritas Tinggi
Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh,
berwibawa, jujur, dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada
hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang
pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam
melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong
terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala
bentuk intervensi, dengan mengendapkan tuntutan hati nurani
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta selalu
berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk
mencapai tujuan terbaik. Dalam penerapannya, secara umum
dirumuskan bahwa (i) Hakim harus berperilaku tidak tercela; (ii)
Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki
konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan
kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan
(reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan; (iii)
Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun
tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam
suatu perkara tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan;
(tv) Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik
langsung maupun tidak langsung dengan Advokat yang sering
berperkara di wilayah hukum Pengadilan tempat Hakim tersebut
menjabat; (v) Pemimpin Pengadilan diperbolehkan menjalin
hubungan yang wajar dengan lembaga eksekutif dan legislatif
dan dapat memberikan keterangan, pertimbangan serta nasihat
hukum selama hal tersebut tidak berhubungan dengan suatu
perkara yang sedang disidangkan atau yang diduga akan
diajukan ke Pengadilan; (vi) Hakim wajib bersikap terbuka dan
memberikan informasi mengenai kepentingan pribadi yang
menunjukkan tidak adanya konflik kepentingan dalam
menangani suatu perkara; (vii) Hakim dilarang melakukan tawar
menawar putusan, memperlambat pemeriksaan perkara,
menunda eksekusi atau menunjuk advokat tertentu dalam
menangani suatu perkara di pengadilan, kecuali ditentukan lain
oleh undang-undang.
Hakim juga dilarang terlibat dalam situasi konflik kepentingan,
baik dalam hubungan pribadi dan keluarga, dalam hubungan
pekerjaan, hubungan finansial, dan sebagainya. Terkait
hubungan keluarga (i) Hakim dilarang mengadili suatu perkara
apabila memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis, Hakim
Anggota lainnya, Penuntut, Advokat dan Panitera yang
menangani perkara tersebut; (ii) Hakim dilarang mengadili suatu
perkara apabila Hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang
akrab dengan pihak yang berperkara, Penuntut, Advokat yang
menangani perkara tersebut.
Terkait dengan hubungan pekerjaan atau organisasi, (i) Hakim
dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah mengadili atau
menjadi Penuntut, Advokat atau Panitera dalam perkara tersebut
pada persidangan di Pengadilan tingkat yang lebih rendah; (ii)
Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah
menangani hal-hal yang berhubungan dengan perkara atau
dengan para pihak yang akan diadili, saat menjalankan pekerjaan
atau profesi lain sebelum menjadi Hakim; (iii) Hakim dilarang
mengijinkan seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa
orang tersebut seakan-akan berada dalam posisi khusus yang
dapat mempengaruhi Hakim secara tidak wajar dalam
melaksanakan tugas-tugas peradilan. Demikian pula (iv) Hakim
dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya
adalah organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik
apabila Hakim tersebut masih atau pernah aktif dalam
organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik tersebut.
Dalam hubungan finansial, (i) Hakim harus mengetahui urusan
keuangan pribadinya maupun beban-beban keuangan lainnya
dan harus berupaya secara wajar untuk mengetahui urusan
keuangan para anggota keluarganya; (ii) Hakim dilarang
menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar
kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga dalam
hubungan finansial; (iii) Hakim dilarang mengizinkan pihak lain
yang akan menimbulkan kesan bahwa seseorang seakan-akan
berada dalam posisi khusus yang dapat memperoleh keuntungan
finansial.
Di samping itu, diatur pula mengenai kaitan prasangka dan
pengetahuan hakim atas fakta-fakta yang berhubungan dengan
substansi perkara. Hakim dilarang mengadili suatu perkara
apabila Hakim tersebut telah memiliki prasangka yang berkaitan
dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau bukti yang
berkaitan dengan suatu perkara yang akan disidangkan. Dalam
hubungan dengan
Pemerintah Daerah, (i) Hakim juga dilarang menerima janji,
hadiah, hibah, pemberian, pinjaman atau manfaat lainnya,
khususnya yang bersifat rutin atau terus-menerus dari
Pemerintah Daerah, walaupun pemberian tersebut tidak
mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas yudisial.
Dalam hal-hal terlibat dalam situasi yang dilarang sebagaimana
dimaksudkan di atas, diatur pula tata cara pengunduran diri
hakim atas inisiatifnya sendiri, (i) Hakim yang memiliki konflik
kepentingan sebagaimana diatur dalam butir 5.2 wajib
mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang
bersangkutan. Keputusan untuk mengundurkan diri harus dibuat
seawal mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang
mungkin timbul terhadap lembaga peradilan atau persangkaan
bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak
berpihak; dan (ii) Apabila muncul keragu-raguan bagi Hakim
mengenai kewajiban mengundurkan diri, memeriksa dan
mengadili suatu perkara, wajib meminta pertimbangan Ketua.

6. Bertanggung Jawab
Sikap bertanggung bermakna kesediaan dan keberanian untuk
melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi
wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk
menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan
tugasnya tersebut. Dalam penerapannya, ditentukan (i)
Penggunaan Predikat Jabatan Hakim dilarang menyalahgunakan
jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak lain; dan
(ii) Penggunaan Informasi Peradilan Hakim dilarang
mengungkapkan atau menggunakan informasi yang bersifat
rahasia, yang didapat dalam kedudukan sebagai Hakim, untuk
tujuan yang tidak ada hubungan dengan tugas-tugas peradilan.

7. Menjunjung Tinggi Harga Diri


Harga diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat
dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi
oleh setiap orang. Prinsip menjunjung tinggi harga diri,
khususnya Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi
yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang
senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur
Peradilan. Dalam kaidah penerapannya secara umum ditentukan
bahwa Hakim harus menjaga kewibawaan serta martabat
lembaga peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Terkait aktivitas bisnis, (i) Hakim dilarang terlibat
dalam transaksi keuangan dan transaksi keuangan dan transaksi
usaha yang berpotensi memanfaatkan posisi sebagai Hakim; dan
(ii) Seorang hakim wajib menganjurkan agar anggota
keluarganya tidak ikut dalam kegiatan yang dapat
mengeksploitasi jabatan hakim tersebut. Terkait aktivitas lain,
Hakim tegas dilarang menjadi Advokat, atau pekerjaan lain yang
berhubungan dengan perkara. Selain itu, (i) Hakim dilarang
bekerja dan menjalankan fungsi sebagai layaknya seorang
Advokat, kecuali jika (a) Hakim tersebut menjadi pihak di
persidangan; (b) Memberikan nasihat hukum cuma-cuma untuk
anggota keluarga atau teman sesama hakim yang tengah
menghadapi masalah hukum;
Demikian pula (ii) Hakim dilarang bertindak sebagai arbiter atau
mediator dalam kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam
jabatan yang secara tegas diperintahkan atau diperbolehkan
dalam undang-undang atau peraturan lain; (iii) Hakim dilarang
menjabat sebagai eksekutor, administrator atau kuasa pribadi
lainnya, kecuali untuk urusan pribadi anggota keluarga Hakim
tersebut, dan hanya diperbolehkan jika kegiatan tersebut secara
wajar (reasonable) tidak akan mempengaruhi pelaksanaan
tugasnya sebagai Hakim; (4) Hakim dilarang melakukan rangkap
jabatan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Tentang aktivitas di masa pensiun, juga diatur bahwa Mantan
Hakim dianjurkan dan sedapat mungkin tidak menjalankan
pekerjaan sebagai Advokat yang berpraktek di Pengadilan
terutama di lingkungan peradilan tempat yang bersangkutan
pernah menjabat, sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun
setelah memasuki masa pensiun atau berhenti sebagai Hakim.

8. Berdisiplin Tinggi
Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-
kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban
amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin
tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di
dalam pelaksanaan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan
berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta
tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya.
Dalam penerapannya, ditentukan bahwa (i) Hakim berkewajiban
mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok
sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku,
khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara
benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari
keadilan; (ii) Hakim harus menghormati hak-hak para pihak
dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan
perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan; (iii) Hakim
harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; (iv) Ketua Pengadilan atau
Hakim yang ditunjuk, harus mendistribusikan perkara kepada
Majelis Hakim secara adil dan merata, serta menghindari
pendistribusian perkara kepada Hakim yang memiliki konflik
kepentingan.

9. Berperilaku Rendah Hati


Sikap rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan
kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari
setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong
terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus
belajar, menghargai pendapat orang lain,
menumbuhkembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan
kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam
mengemban tugas. Dalam penerapannya, dirumuskan bahwa (i)
Pengabdian Hakim harus melaksanakan pekerjaan sebagai
sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan Hakim bukan semata-
mata sebagai mata pencaharian dalam lapangan kerja untuk
mendapat penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang
akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan
Yang Maha Esa; (ii) Terkait dengan popularitas, Hakim tidak
boleh bersikap, bertingkah laku atau melakukan tindakan
mencari popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan dari
siapapun juga.

10. Bersikap Profesional


Sikap profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi
oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya
dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar
pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional
akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga
dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk
meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai
setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.
Dalam penerapan, ditentukan (i) Hakim harus mengambil
langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk dapat
melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik; (ii) Hakim
harus secara tekun melaksanakan tanggung jawab administratif
dan bekerja sama dengan para Hakim dan pejabat pengadilan
lain dalam menjalankan administrasi peradilan; (iii) Hakim wajib
mengutamakan tugas yudisialnya di atas kegiatan yang lain
secara profesional; dan (iv) Hakim wajib menghindari terjadinya
kekeliruan dalam membuat keputusan, atau mengabaikan fakta
yang dapat menjerat terdakwa atau para pihak atau dengan
sengaja membuat pertimbangan yang menguntungkan terdakwa
atau para pihak dalam mengadili suatu perkara yang
ditanganinya.
Sebagai penutup, ditentukan pula bahwa setiap Pimpinan
Pengadilan harus berupaya sungguh-sungguh untuk memastikan
agar Hakim di dalam lingkungannya mematuhi Kode Etik dan
Pedoman Perilaku Hakim ini. Pelanggaran terhadap Pedoman ini
dapat diberikan sanksi. Dalam menentukan sanksi yang layak
dijatuhkan, harus dipertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan
dengan pelanggaran, yaitu latar belakang, tingkat keseriusan,
dan akibat dari pelanggaran tersebut terhadap lembaga
peradilan maupun pihak lain. Hakim yang diduga telah
melakukan pelanggaran terhadap peraturan ini diperiksa oleh
Mahkamah Agung RI dan/atau Komisi Yudisial RI. Mahkamah
Agung RI atau Komisi Yudisial RI menyampaikan hasil putusan
atas hasil pemeriksaan kepada Ketua Mahkamah Agung. Hakim
yang diusulkan untuk dikenakan sanksi pemberhentian
sementara dan pemberhentian oleh Mahkamah Agung RI atau
Komisi Yudisial RI diberi kesempatan untuk membela diri di
Majelis Kehormatan Hakim.

C. Kode Etik Advokat Indonesia


Kode Etik Advokat ini ditegaskan bahwa (1) Kode Etik ini dibuat
dan diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia, yang
disahkan dan ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia
(IKADIN),296 Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat
Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara
Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi
Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) dan Himpunan Konsultan
Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku bagi
setiap orang yang menjalankan profesi Advokat di Indonesia
tanpa terkecuali; (2) Setiap Advokat wajib menjadi anggota dari
salah satu organisasi profesi tersebut dalam ayat (1) pasal ini;
(3) Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-
organisasi profesi tersebut dalam ayat (1) pasal ini sesuai
dengan Pernyataan Bersama tertanggal 11 Februari 2002 dalam
hubungan kepentingan profesi Advokat dengan lembaga-
lembaga negara dan pemerintah; (4) Organisasi-organisasi
profesi tersebut dalam ayat (1) pasal ini akan membentuk
Dewan kehormatan sebagai Dewan Kehormatan Bersama, yang
struktur akan disesuaikan dengan Kode Etik Advokat ini.
Sebelum berlakunya Kode Etik ini, menurut Pasal 23, “Perkara-
perkara pelanggaran kode etik yang belum diperiksa dan belum
diputus atau belum berkekuatan hukum yang tetap atau dalam
pemeriksaan tingkat banding akan diperiksa dan diputus
berdasarkan Kode Etik Advokat ini”. Kode Etik Advokat

296 Lihat Kode Etik Advokat Indonesia disusun berdasarkan


ketentuan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pada Bab XI Pasal 22,
ayat (1), (2), (3), dan (4
Indonesia PERADI (Persatuan Advokat Indonesia) ini berlaku
sejak ditetapkan pada tanggal 23 Mei, 2002, tetapi baru
ditandatangani di Jakarta oleh Komite Kerja Advokat Indonesia
yang diberi mandat untuk itu pada tanggal 1 Oktober 2002.
Dalam pendahuluan Kode Etik, dinyatakan bahwa semestinya
organisasi profesi memiliki Kode Etik yang membebankan
kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum
kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya.
Advokat sebagai profesi terhormat {officium nobile) yang dalam
menjalankan profesinya berada di bawah perlindungan hukum,
undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang
didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang
berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan
dan Keterbukaan. Bahwa profesi advokat adalah selaku penegak
hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya,
oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai
antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum
lainnya.
Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan
martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi
Kode Etik dan Sumpah profesi, yang pelaksanaannya diawasi
oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang
eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa
melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi
anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesinya
tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik
Advokat yang berlaku. Dengan demikian Kode Etik Advokat
Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan
profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan
kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung
jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien,
pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada
dirinya sendiri.
Kode Etik ini terdiri atas 14 bab, 24 pasal. Pada Bab II,
ditentukan: Pasal (2) Advokat Indonesia adalah warga negara
Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap
satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran
dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam
melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta
sumpah jabatannya; Pasal (3): (a) Advokat dapat menolak untuk
memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang
memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan
pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan
bertentangan dengan hak nuraninya, tetapi tidak dapat menolak
dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku,
keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik, dan kedudukan
sosialnya; (b) Advokat dalam melakukan tugasnya tidak
bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi
lebih mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan Keadilan;
(c) Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan
mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib
memperjuangkan hak-hak asasi manusia dalam Negara Hukum
Indonesia; (d) Advokat wajib memelihara rasa solidaritas di
antara teman sejawat; (e) Advokat wajib memberikan bantuan
dan pembelaan hukum kepada teman sejawat yang diduga atau
didakwa dalam suatu perkara pidana atas permintaannya atau
karena penunjukan organisasi profesi; (f) Advokat tidak
dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat
merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat; (g)
Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat
sebagai profesi terhormat (officium nobile)\ (h) Advokat dalam
menjalankan profesinya harus bersikap sopan terhadap semua
pihak namun wajib mempertahankan hak dan martabat advokat;
(i) Seorang Advokat yang kemudian diangkat untuk menduduki
suatu jabatan Negara (Eksekutif, Legislatif dan judikatif) tidak
dibenarkan untuk berpraktik sebagai Advokat dan tidak
diperkenankan namanya dicantumkan atau dipergunakan oleh
siapapun atau oleh kantor manapun dalam suatu perkara yang
sedang diproses/berjalan selama ia menduduki jabatan tersebut.
Pada Bab III Pasal 4, diatur pula tentang Hubungan Advokat
dengan Klien bahwa (a) Advokat dalam perkara-perkara perdata
harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai; (b)
Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat
menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya; (c)
Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa
perkara yang ditanganinya akan menang; (d) Dalam menentukan
besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan
kemampuan klien; (e) Advokat tidak dibenarkan membebani
klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu; (f) Advokat dalam
mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian
yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima
uang jasa; (g) Advokat harus menolak mengurus perkara yang
menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya; (h) Advokat
wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang
diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap
menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara
Advokat dan klien itu; (i) Advokat tidak dibenarkan melepaskan
tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak
menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat
menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi
klien yang bersangkutan, dengan tidak mengurangi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a; (j) Advokat yang
mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus
mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-
kepentingan tersebut, apabila di kemudian hari timbul
pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang
bersangkutan; (k) Hak retensi Advokat terhadap klien diakui
sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.
Tentang hubungan dengan teman sejawat (kolega), diatur dalam
Bab IV Pasal 5 yang menentukan bahwa: (a) Hubungan antara
teman sejawat Advokat harus dilandasi sikap saling
menghormati, saling menghargai dan saling mempercayai; (b)
Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika berhadapan
satu sama lain dalam sidang pengadilan, hendaknya tidak
menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik secara lisan
maupun tertulis; (c) Keberatan-keberatan terhadap tindakan
teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan Kode Etik
Advokat harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk
diperiksa dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media
massa atau cara lain; (d) Advokat tidak diperkenankan menarik
atau merebut seorang klien dari teman sejawat; (e) Apabila klien
hendak mengganti Advokat, maka Advokat yang baru hanya
dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti pencabutan
pemberian kuasa kepada Advokat semula dan berkewajiban
mengingatkan klien untuk memenuhi kewajibannya apabila
masih ada terhadap Advokat semula; (f) Apabila suatu perkara
kemudian diserahkan oleh klien terhadap Advokat yang baru,
maka Advokat semula wajib memberikan kepadanya semua
surat dan keterangan yang penting untuk mengurus perkara itu,
dengan memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien
tersebut. Sedangkan untuk advokat asing diatur pada Bab V
Pasal 6, tentang Sejawat Asing yang menentukan bahwa Advokat
asing yang menjalankan profesinya di Indonesia berdasarkan
peraturan perundang-undangan, juga tunduk kepada serta wajib
menaati Kode Etik ini.
Selanjutnya, mulai dari Bab VI sampai dengan Bab XII (Bab
Penutup) semuanya berkenaan dengan prosedur penegakan
yang berfungsi sebagai pedoman beracara dalam proses
penegakan kode etik ini. Untuk pelaksanaan kode etik, dibentuk
Dewan Kehormatan, yang pada Pasal 10, ditegaskan: (1) “Dewan
Kehormatan berwenang memeriksa dan mengadili perkara
pelanggaran Kode Erik yang dilakukan oleh Advokat”, dan
“Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan melalui dua
tingkat, yaitu (a) Tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah;
(b) Tingkat Dewan Kehormatan Pusat. (3) Dewan Kehormatan
Cabang/daerah memeriksa pengaduan pada tingkat pertama dan
Dewan Kehormatan Pusat pada tingkat terakhir. (4) Segala biaya
yang dikeluarkan dibebankan kepada: (a) Dewan Pimpinan
Cabang/Daerah dimana teradu sebagai anggota pada tingkat
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah; (b) Dewan Pimpinan Pusat
pada tingkat Dewan Kehormatan Pusat organisasi di mana
teradu sebagai anggota; (c) Pengadu/Teradu.
Dari semua ketentuan mengenai prosedur penegakan kode etik
advokat ini dan juga dari pengertian-pengertian yang
dikembangkan dalam konteks sifat mengadili yang menjadi
kewenangan Dewan Kehormatan, dapat diketahui bahwa proses
penegakan kode etik advokat ini dikonstruksikan dalam konteks
sistem peradilan yang dikenal di dunia hukum dan keadilan pada
umumnya. Satu-satunya yang dapat dinilai tersisa dari rujukan
sistem peradilan hukum dalam penyelenggaraan sistem
penegakan kode etik advokat ini adalah soal sifat persidangan
Dewan Kehormatan yang masih dipertahankan bersifat tertutup
sebagaimana kebiasaan selama ini. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 14 ayat (5) yang menyatakan bahwa “Sidang-sidang
dilakukan secara tertutup, sedangkan keputusan diucapkan
dalam sidang terbuka Padahal, dalam sistem peradilan hukum,
semua persidangan harus diselenggarakan terbuka, kecuali
dalam kasus-kasus tertentu, seperti dalam perkara peradilan
anak atau peradilan perceraian, sekiranya diperlukan dan
apalagi bila disepakati oleh para pihak, maka atas perintah
hakim, persidangan dapat dilakukan secara tertutup. Namun,
sifat dasar dari peradilan hukum itu harus bersifat terbuka,
bukan tertutup. Sedangkan sifat dasar dari sistem etika itu
selama ini memang pada umumnya dipandang sebagai sesuatu
yang harus tertutup, karena persoalan etika selama ini dipahami
seolah-olah hanya berkenaan dengan urusan yang bersifat
pribadi atau privat, sehingga penanganannya diidealkan harus
bersifat tertutup.
Padahal di zaman sekarang, semua hal dan segala urusan, apalagi
berkaitan dengan kepentingan publik yang luas, memang sudah
seharusnya diidealkan bersifat transparan dan akuntabel.
Karena itu, sudah seharusnya urusan etika itu, apalagi etika
publik yang memang terkait dengan kepentingan umum, dikelola
secara transparan dan terbuka. Apalagi sistem sanksi yang dapat
dikenakan kepada para pelanggar kode etik itu sendiri dapat
pula mengancam hak dan kebebasan seseorang yang diputus
telah melanggar kode etik.
Menurut ketentuan Pasal 16, sanksi yang dapat dijatuhkan bagi
pelanggar kode etik advokat adalah:
1. peringatan biasa;
2. peringatan keras;
3. pemberhentian sementara untuk waktu tertentu;
dan/atau
4. pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.
Sudah tentu, bentuk-bentuk sanksi tersebut dijatuhkan dengan
pertimbangan atas berat atau ringannya sifat pelanggaran
terhadap Kode Etik Advokat. Peringatan biasa dijatuhkan
bilamana sifat pelanggarannya tidak berat. Peringatan keras
bilamana sifat pelanggarannya dinilai berat atau karena
mengulangi kembali melanggar kode etik dan atau tidak
mengindahkan sanksi peringatan yang pernah diberikan.
Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu dijatuhkan
bilamana sifat pelanggarannya terbukti berat, atau bilamana
yang bersangkutan tidak mengindahkan dan tidak menghormati
ketentuan kode etik atau bilamana setelah mendapat sanksi
berupa peringatan keras masih mengulangi melakukan
pelanggaran kode etik.
Sanksi terberat adalah pemecatan dari keanggotaan organisasi
profesi bilamana yang bersangkutan terbukti melakukan
pelanggaran kode etik dengan maksud dan tujuan merusak citra
serta martabat kehormatan profesi Advokat yang wajib
dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat.
Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu
tertentu harus diikuti larangan untuk menjalankan profesi
advokat di luar maupun di muka pengadilan. Terhadap mereka
yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu
tertentu dan atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi
disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk diketahui dan
dicatat dalam daftar Advokat.
Pendek kata, sistem penegakan Kode Etik Advokat Indonesia ini
tidak ubahnya bagaikan sistem peradilan pada umumnya, minus
keterbukaan. Karena itu, sara terus mempromosikan pengertian
bam tentang peradilan itik (court of ethics) dan prinsip rule of
ethics di samping pengertian tentang peradilan hukum (court of
law) dan prinsip rule of law yang sudah biasa dipahami selama
ini. Karena itu, tahap perkembangan sistem etik modern, dewasa
ini sudah mencapai tahapan paling mutakhir, yaitu era
fungsionalisasi etika secara terbuka dalam bentuk peradilan
etika yang tidak boleh lagi bersifat tertutup. Apalagi, dalam
sistem penegakan kode etik advokat ini sudah diperkenalkan
pula mekanisme upaya banding etik dan Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah ke tingkat Dewan Kehormatan Pusat se-
bagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) sampai ayat (13).
Dengan demikian, bagi mereka yang tidak puas dengan putusan
Dewan Kehormatan tingkat daerah atau cabang masih diberi
kesempatan untuk melakukan upaya banding etik ke Dewan
Kehormatan Pusat.
D. Kode Etik Notaris
1. Materi Kode Etik
Ikatan Notaris merupakan wadah perkumpulan notaris yang
sudah ada sejak zaman Hindia Belanda. Ikatan Notaris Indonesia
atau disingkat INI didirikan pada tanggal 1 Juli 1908 dan diakui
sebagai badan hukum (rechtspersoon) berdasarkan
Gouvernements Besluit (Penetapan Pemerintah) No. 9, tanggal 5
September 1908, dan merupakan satu-satunya wadah pemersatu
bagi semua dan setiap orang yang memangku dan menjalankan
tugas jabatan notaris. Jabatan notaris ini diakui sebagai pejabat
umum sebagaimana telah diakui dan mendapat pengesahan dari
pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman
Republik Indonesia pada Tahun 1995 yang terus diakui
berdasarkan ketentuan UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris. Undang-Undang yang baru ini juga dengan tegas
mengatur segala sesuatu berkenaan dengan Kode Etik Notaris
dan prosedur penegakannya.
Kode Etik Notaris dirumuskan sebagai keseluruhan kaidah moral
yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia
(INI) yang selanjutnya disebut ‘perkumpulan’ berdasarkan
keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh
dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang hal itu. Kode Etik berlaku dan diberlakukan
bagi setiap dan semua anggota perkumpulan dan wajib ditaati
dalam menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk di
dalamnya para Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti
dan Notaris Pengganti Khusus. Di samping kode etik, setiap
pemegang dan pelaku tugas jabatan notaris sebagai anggota
perkumpulan juga terikat pada Disiplin Organisasi, yaitu
kepatuhan anggota Perkumpulan dalam rangka memenuhi
kewajiban-kewajiban terutama kewajiban administrasi dan
kewajiban finansial yang telah diatur oleh Perkumpulan.
Untuk menegakkan Kode Etik Notaris, dibentuk Dewan
Kehormatan yang merupakan alat perlengkapan perkumpulan
sebagai suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari
keberpihakan dalam perkumpulan. Dewan Kehormatan, baik
Pusat maupun Daerah, bertugas untuk (i) melakukan pembinaan,
bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota dalam
menjunjung tinggi kode etik; (n) memeriksa dan mengambil
keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan kode etik yang
bersifat internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan
kepentingan masyarakat secara langsung; (iii) memberikan
saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan
pelanggaran Kode Etik dan jabatan Notaris. Terhadap putusan
Dewan Kehormatan Daerah dapat diajukan permohonan banding
ke Dewan Kehormatan Wilayah, dan terhadap putusan Dewan
Kehormatan Wilayah dapat diajukan permohonan terakhir ke
Dewan Kehormatan Pusat yang memeriksa dan memutus pada
tingkat akhir dan bersifat final.
Yang dirumuskan sebagai pelanggaran menurut Kode Etik
Notaris adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh
anggota Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan
menjalankan jabatan Notaris yang melanggar ketentuan Kode
Etik dan/atau disiplin organisasi. Kewajiban adalah sikap,
perilaku, perbuatan atau tindakan yang harus dilakukan anggota
Perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan
menjalankan jabatan Notaris, dalam rangka menjaga dan
memelihara citra wibawa lembaga notariat dan menjunjung
tinggi keluhuran harkat dan martabat jabatan Notaris. Larangan
adalah sikap, perilaku, perbuatan atau tindakan yang tidak boleh
dilakukan oleh anggota Perkumpulan maupun orang lain yang
memangku dan menjalankan jabatan Notaris, yang dapat
menurunkan citra serta wibawa lembaga notariat ataupun
keluhuran harkat dan martabat jabatan Notaris. Sanksi adalah
suatu hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya dan
sifat pemaksa ketaatan dan disiplin anggota Perkumpulan
maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan
Notaris, dalam menegakkan Kode Etik dan disiplin organisasi.
Eksekusi adalah pelaksanaan sanksi yang dijatuhkan oleh dan
berdasarkan putusan Dewan Kehormatan yang telah mempunyai
kekuatan tetap dan pasti untuk dijalankan. Sedangkan yang
didefinisikan sebagai Klien adalah setiap orang atau badan yang
secara sendiri-sendiri atau bersama-sama datang kepada Notaris
untuk membuat akta, berkonsultasi dalam rangka pembuatan
akta serta minta jasa Notaris lainnya.
Ruang lingkup berlakunya Kode Etik Notaris mencakup dan
berlaku bagi seluruh anggota Perkumpulan maupun orang lain
yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris baik dalam
pelaksanaan jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti disebut di atas, di samping pemegang jabatan Notaris,
ada pula Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan
Notaris Pengganti Khusus yang dalam praktik juga menjalankan
tugas atau sebagian tugas notaris
Setiap Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan
tugas jabatan notaris oleh Pasal 3 diwajibkan untuk:
a. memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik;
b. menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan
martabat jabatan notaris;
c. menjaga dan membela kehormatan perkumpulan;
d. bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa
tanggung jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan isi sumpah jabatan notaris;
e. meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki
tidak terbatas pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan;
f. mengutamakan pengabdian kepada kepentingan
masyarakat dan negara;
g. memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan
lainnya untuk masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut
honorarium;
h. menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan
kantor tersebut merupakan satu-satunya kantor bagi notaris
yang bersangkutan dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-
hari;
i. memasang 1 (satu) buah papan nama di depan atau di
lingkungan kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40
cm, 150 cm x 60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat:
1) nama lengkap dan gelar yang sah;
2) tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang
terakhir sebagai Notaris;
3) tempat kedudukan;
4) alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama
berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di
papan nama harus jelas dan mudah dibaca. Kecuali di lingkungan
kantor tersebut tidak dimungkinkan untuk pemasangan papan
nama dimaksud;
j. hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap
kegiatan yang diselenggarakan oleh perkumpulan; menghormati,
mematuhi, melaksanakan setiap dan seluruh keputusan
perkumpulan;
k. membayar uang iuran perkumpulan secara tertib
l. membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman
sejawat yang meninggal dunia;
m. melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang
honorarium ditetapkan perkumpulan;
n. menjalankan jabatan notaris terutama dalam pembuatan,
pembacaan dan penandatanganan akta dilakukan di kantornya,
kecuali alasan-alasan yang sah;
o. menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan
dalam melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari
serta saling memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling
menghormati, saling menghargai, saling membantu serta selalu
berusaha menjalin komunikasi dan tali silaturahmi;
p. memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik,
tidak membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya;
q. melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum
disebut sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara
lain namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum
dalam:
1) UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
2) Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris;
3) Isi Sumpah Jabatan Notaris;
4) Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan
Notaris Indonesia.
Kepada setiap notaris dan pelaku tugas jabatan notaris lainnya,
berdasarkan Pasal 4, ditentukan larangan-larangan sebagai
berikut.
a. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor
cabang ataupun kantor perwakilan.
b. Memasang pagan Hama dan/atau tulisan yang berbunyi
Notaris atau Kantor Notaris di luar lingkungan kantor.
c. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri
maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama
dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau
elektronik, dalam bentuk:
1) iklan;
2) ucapan selamat;
3) ucapan belasungkawa;
4) ucapan terima kasih;
5) kegiatan pemasaran;
6) kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial keagamaan,
maupun olahraga;
d. Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum
yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk
mencari atau mendapatkan klien.
e. Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya
telah dipersiapkan oleh pihak lain.
f. Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani.
g. Berusaha atau berupaya dengan jalan apa pun, agar
seseorang berpindah dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu
ditujukan langsung kepada klien yang bersangkutan maupun
melalui perantara orang lain.
h. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara
menahan dokumen-dokumen yang telah diserahkan dan/atau
melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien
tersebut tetap membuat akta padanya.
i. Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak
langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang
tidak sehat dengan sesama rekan Notaris.
j. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien
dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah
ditetapkan Perkumpulan,
k. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih
berstatus karyawan kantor Notaris lain tanpa persetujuan
terlebih dahulu dari Notaris yang bersangkutan.
l. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris
atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris
menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh
rekan sejawat yang ternyata didalamnya terdapat kesalahan-
kesalahan yang serius dan/atau membahayakan klien, make
Notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat
yang bersangkutan etas kesalahan yang dibuatnya dengan cara
yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah
timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang
bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut,
m. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang
bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan
suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi
Notaris lain untuk berpartisipasi,
n. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
o. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum
disebut sebagai pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara
lain namun tidak terbatas pada pelanggaran-pelanggaran
terhadap:
1) ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
2) penjelasan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang jabatan Notaris;
3) isi sumpah jabatan Notaris;
4) hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga dan/atau Keputusan-Keputusan lain
yang telah ditetapkan oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia
tidak boleh dilakukan oleh anggota.
Yang secara tegas boleh dikecualikan dari larangan tersebut di
atas, sehingga tidak termasuk dalam pengertian pelanggaran,
menurut ketentuan Pasal 5, hanyalah hal-hal sebagai berikut.
a. Memberikan ucapan selamat, ucapan berduka cita
dengan mempergunakan kartu ucapan, surat, karangan bunga
ataupun media lainnya yang tidak mencantumkan Notaris, tetapi
hanya nama saja.
b. Pemuatan nama dan alamat Notaris dalam buku panduan
telepon, fax dan telex, yang diterbitkan secara resmi oleh PT.
Telkom dan/atau instansi-instansi dan/atau lembaga-lembaga
resmi lainnya.
c. Memasang 1 (satu) tanda penunjuk jalan dengan ukuran
tidak melebihi 20 cm x 50 cm, dasar berwarna putih, huruf
berwarna hitam, tanpa mencantumkan nama Notaris serta
dipasang dalam radius maksimum 100 meter dari kantor
Notaris.
Dalam Bab IV Pasal 6 Kode Etik, diatur tentang Sanksi. Terhadap
setiap pelanggaran Kode Etik Notaris, dikenakan beberapa
kemungkinan sanksi yaitu:
a. teguran;
b. peringatan;
c. schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan
Perkumpulan;
d. onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan;
e. pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan
Perkumpulan.
Penjatuhan sanksi-sanksi sebagaimana tersebut di atas terhadap
anggota yang melanggar Kode Etik disesuaikan dengan kuantitas
dan kualitas pelanggaran yang dilakukan anggota tersebut. Jika,
misalnya, suatu pelanggaran-meskipun bersifat ringan telah
dilakukan secara berulang-ulang, maka terhadapnya dapat saja
dijatuhkan sanksi yang sifatnya lebih berat daripada kualitas
pelanggarannya.

2. Prosedur Penegakan
Kode Etik Notaris Indonesia termasuk telah cukup lengkap
mengatur mengenai prosedur penegakannya. Tata Cara
Penegakan Kode Etik diatur dalam Bab V, VI, dan VII, mulai dari
Pasal 7 sampai dengan Pasal 14, mulai dari prosedur
pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi, eksekusi atas
sanksi-sanksi, pemecatan sementara, dan seterusnya. Pasal 7
menentukan bahwa pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik
dilakukan dengan cara sebagai berikut: (a) Pada tingkat pertama
oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan
Kehormatan Daerah; (b) Pada tingkat banding oleh Pengurus
Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan
Wilayah; dan (c) Pada tingkat akhir oleh Pengurus Pusat Ikatan
Notaris Indonesia adalah Dewan Kehormatan Pusat.
Pasal 8 menentukan bahwa Dewan Kehormatan merupakan alat
perlengkapan Perkumpulan yang berwenang melakukan
pemeriksaan atas pe-langgaran terhadap Kode Etik dan
menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan
kewenangan masing-masing. Pemeriksaan dan Penjatuhan
Sanksi Pada Tingkat Pertama diatur pada Pasal 9 yang
menentukan sebagai berikut.
1) Apabila ada anggota yang diduga melakukan pelanggaran
terhadap Kode Etik, baik dugaan tersebut berasal dari
pengetahuan Dewan Kehormatan Daerah sendiri maupun karena
laporan dari Pengurus Daerah ataupun pihak lain kepada Dewan
Kehormatan Daerah, maka selambat-lambatnya dalam waktu
tujuh (7) hari kerja Dewan Kehormatan Daerah wajib segera
mengambil tindakan dengan mengadakan sidang Dewan
Kehormatan Daerah untuk membicarakan dugaan terhadap
pelanggaran tersebut.
2) Apabila menurut hasil sidang Dewan Kehormatan Daerah
sebagaimana yang tercantum dalam ayat (1), ternyata ada
dugaan kuat terhadap pe-langgaran Kode Etik, maka dalam
waktu tujuh (7) hari kerja setelah tanggal sidang tersebut,
Dewan Kehormatan Daerah berkewajiban memanggil anggota
yang diduga melanggar tersebut dengan surat tercatat atau
dengan ekspedisi, untuk didengar keterangannya dan diberi
kesempatan untuk membela diri.
3) Dewan Kehormatan Daerah baru akan menentukan
putusannya mengenai terbukti atau tidaknya pelanggaran kode
etik serta penjatuhan sanksi terhadap pelanggarnya (apabila
terbukti), setelah mendengar keterangan dan pembelaan diri
dari anggota yang bersangkutan dalam sidang Dewan
Kehormatan Daerah yang diadakan untuk keperluan itu, dengan
perkecualian sebagaimana yang diatur dalam ayat (6) dan i ayat
(7) pasal ini.
4) Penentuan putusan tersebut dalam ayat (3) di atas dapat
dilakukan oleh Dewan Kehormatan Daerah, baik dalam sidang
itu maupun dalam sidang lainnya, sepanjang penentuan
keputusan melanggar atau tidak melanggar tersebut dilakukan
selambat-lambatnya dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja,
setelah tanggal sidang Dewan Kehormatan Daerah di mana
Notaris tersebut telah didengar keterangan dan/atau
pembelaannya.
5) Bila dalam putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah
dinyatakan terbukti ada pelanggaran terhadap Kode Etik, maka
sidang sekaligus menentukan sanksi terhadap pelanggarnya.
6) Dalam hal anggota yang dipanggil tidak datang atau tidak
memberi kabar apa pun dalam waktu tujuh (7) hari kerja setelah
dipanggil, maka Dewan Kehormatan Daerah akan mengulangi
panggilannya sebanyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu tujuh (7)
hari kerja, untuk setiap panggilan.
7) Dalam waktu tujuh (7) hari kerja, setelah panggilan
ketiga (3) ternyata masih juga tidak datang atau tidak memberi
kabar dengan alasan apa pun, maka Dewan Kehormatan Daerah
akan tetap bersidang untuk membicarakan pelanggaran yang
diduga dilakukan oleh anggota yang dipanggil itu dan
menentukan putusannya, selanjutnya secara mutatis mutandis
berlaku ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) di atas serta ayat
(9).
8) Terhadap sanksi pemberhentian sementara (schorsing)
atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan Perkumpulan
diputuskan, Dewan Kehormatan Daerah wajib berkonsultasi
terlebih dahulu dengan Pengurus Daerahnya.
9) Putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah wajib dikirim
oleh Dewan Kehormatan Daerah kepada anggota yang melanggar
dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya
kepada Pengurus Cabang, Pengurus Daerah, Pengurus Pusat dan
Dewan Kehormatan Pusat, semuanya itu dalam waktu tujuh (7)
hari kerja, setelah dijatuhkan putusan oleh sidang Dewan
Kehormatan Daerah.
10) Apabila pada angkat kepengurusan Daerah belum
dibentuk Dewan Kehormatan Daerah, maka Dewan Kehormatan
Wilayah berkewajiban dan mempunyai wewenang untuk
menjalankan kewajiban serta kewenangan Dewan Kehormatan
Daerah dalam rangka penegakan Kode Etik atau melimpahkan
tugas kewajiban dan kewenangan Dewan Kehormatan Daerah
kepada kewenangan Dewan Kehormatan Daerah terdekat dari
tempat kedudukan atau tempat tinggal anggota yang melanggar
Kode Etik tersebut. Hal tersebut berlaku pula apabila Dewan
Kehormatan Daerah tidak sanggup menyelesaikan atau
memutuskan permasalahan yang dihadapinya. Pemeriksaan dan
Penjatuhan Sanksi.
Pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat Banding, diatur
pada Pasal 10 yang menentukan sebagai berikut.
1) Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan
sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari
keanggotaan Perkumpulan dapat diajukan/dimohonkan banding
kepada Dewan Kehormatan Wilayah.
2) Permohonan untuk naik banding wajib dilakukan oleh
anggota yang bersangkutan dalam waktu tiga puluh (30) hari
kerja, setelah tanggal penerimaan surat putusan penjatuhan
sanksi dari Dewan Kehormatan Daerah.
3) Permohonan naik banding dikirim dengan surat tercatat
atau dikirim langsung oleh anggota yang bersangkutan kepada
Dewan Kehormatan Wilayah dan tembusannya kepada Dewan
Kehormatan Pusat, Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah dan
Pengurus Daerah.
4) Dewan Kehormatan Daerah dalam waktu tujuh (7) hari
setelah menerima surat tembusan permohonan banding wajib
mengirim semua salinan atau foto copy berkas pemeriksaan
kepada Dewan Kehormatan Pusat.
5) Setelah menerima permohonan banding, Dewan
Kehormatan Wilayah wajib memanggil anggota yang naik
banding, selambat-lambatnya dalam waktu tujuh (7) hari kerja,
setelah menerima permohonan tersebut. Anggota yang
mengajukan banding dipanggil untuk didengar keterangannya
dan diberi kesempatan untuk membela diri dalam sidang Dewan
Kehormatan Wilayah.
6) Dewan Kehormatan Wilayah wajib memberi putusan
dalam tingkat banding melalui sidangnya, dalam waktu tiga
puluh (30) hari kerja, setelah anggota yang bersangkutan
dipanggil, didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk
membela diri.
7) Apabila anggota yang dipanggil tidak datang dan tidak
memberi kabar dengan alasan yang sah melalui surat tercatat,
maka sidang Dewan Kehormatan Wilayah tetap akan memberi
putusan dalam waktu yang ditentukan pada ayat (5) di atas.
8) Dewan Kehormatan Wilayah wajib mengirim putusannya
kepada anggota yang minta banding dengan surat tercatat
dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan
Daerah, Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah dan Pengurus Pusat
Ikatan Notaris Indonesia Pusat semuanya itu dalam waktu tujuh
(7) hari kerja setelah sidang Dewan Kehormatan Wilayah
menjatuhkan keputusannya atas banding tersebut.
9) Apabila pemeriksaan dan penjatuhan sanksi dalam
tingkat pertama telah dilakukan oleh Dewan Kehormatan
Wilayah, berhubung pada tingkat kepengurusan daerah yang
bersangkutan belum dibentuk Dewan Kehormatan Daerah; maka
keputusan Dewan Kehormatan Wilayah tersebut merupakan
keputusan tingkat banding.
Adapun pemeriksaan dan mekanisme penjatuhan Sanksi pada
tingkat akhir di-atur pada Pasal 11 yang menentukan sebagai
berikut.
1) Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan
sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari
keanggotaan Perkumpulan yang dilakukan oleh Dewan
Kehormatan Wilayah dapat diajukan/dimohonkan pemeriksaan
pada tingkat terakhir kepada Dewan Kehormatan Pusat.
2) Permohonan untuk pemeriksaan tingkat akhir wajib
dilakukan oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu tiga
puluh (30) hari kerja, setelah tanggal penerimaan surat putusan
penjatuhan sanksi dari Dewan Kehormatan Wilayah.
3) Permohonan pemeriksaan tingkat akhir dikirim dengan
surat tercatat atau melalui ekspedisi atau oleh anggota yang
bersangkutan kepada Dewan Kehormatan Pusat dan
tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus
Pusat, Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah.
4) Dewan Kehormatan Wilayah dalam waktu tujuh (7) hari
setelah menerima surat tembusan permohonan pemeriksaan
tingkat terakhir wajib mengirim semua salinan foto copy berkas
pemeriksaan kepada Dewan Kehormatan Pusat.
5) Setelah menerima permohonan pemeriksaan tingkat
terakhir. Dewan Kehormatan Pusat wajib memanggil anggota
yang meminta pemeriksaan tersebut, selambat-lambatnya dalam
waktu tiga puluh (30) hari kerja, setelah menerima permohonan
pemeriksaan tersebut, dipanggil, didengar keterangannya dan
diberi kesempatan untuk membela diri dalam sidang Dewan
Kehormatan Pusat.
6) Dewan Kehormatan Pusat wajib memberi putusan dalam
pemeriksaan tingkat terakhir melalui sidangnya, dalam waktu
tiga puluh (30) hari kerja, setelah anggota yang bersangkutan
dipanggil, didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk
membela diri.
7) Apabila anggota yang dipanggil tidak datang dan tidak
memberi kabar dengan alasan yang sah melalui surat tercatat,
maka sidang Dewan Kehormatan Pusat tetap akan memberi
putusan dalam waktu yang ditentukan pada ayat (5) di atas.
8) Dewan Kehormatan Wilayah Pusat wajib mengirim
putusannya kepada anggota yang minta pemeriksaan tingkat
terakhir dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan
tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus
Cabang, Pengurus Daerah dan Pengurus Pusat, semuanya itu
dalam waktu tujuh (7) hari kerja, setelah sidang Dewan
Kehormatan Pusat menjatuhkan keputusannya atas pemeriksaan
tingkat terakhir tersebut.
Selanjutnya, mengenai prosedur eksekusi atas sanksi-sanksi
pelanggaran Kode Etik diatur dalam Pasal 12, yaitu: (i) Putusan
yang ditetapkan deh Dewan Kehormatan Daerah, Dewan
Kehormatan Wilayah maupun yang ditetapkan oleh Dewan
Kehormatan Pusat dilaksanakan oleh Pengurus Daerah; dan (ii)
Pengurus Daerah wajib mencatat dalam buku anggota
Perkumpulan yang ada pada Pengurus Daerah atas setiap
keputusan yang elah ditetapkan oleh Dewan Kehormatan
Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah dan/atau Dewan
Kehormatan Pusat mengenai kasus Kode Etik berikut nama
anggota yang bersangkutan. Selanjutnya, untuk kepentingan
publik, nama-nama Notaris yang dijatuhi sanksi tersebut, kasus
dan keputusan Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan
Wilayah dan/atau Dewan Kehormatan Pusat diumumkan dalam
Media Notariat yang terbit setelah pencatatan dalam buku
anggota Perkumpulan tersebut.
Khusus mengenai pelaksanaan sanksi pemecatan sementara dan
kewajiban Pengurus mengenai hal itu, ditentukan pula pada
Pasal 13 dan Pasal 14 bahwa dengan tanpa mengurangi
ketentuan yang mengatur tentang prosedur atau tata cara
maupun penjatuhan sanksi secara bertingkat, maka terhadap
seorang anggota Perkumpulan yang telah melanggar Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan yang
bersangkutan dinyatakan bersalah, serta dipidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, Pengurus Pusat wajib memecat sementara sebagai
anggota Perkumpulan disertai usul kepada Kongres agar anggota
Perkumpulan tersebut dipecat dari anggota Perkumpulan.
Pengenaan sanksi pemecatan sementara (schorsing) demikian
juga sanksi (onzetting) maupun pemberhentian dengan tidak
hormat sebagai anggota Perkumpulan terhadap pelanggaran
sebagaimana dimaksud wajib diberitahukan oleh Pengurus Pusat
kepada Majelis Pengawas
Daerah dan tembusannya disampaikan kepada Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

E. Kode Etik Guru Indonesia


1. PGRI dan Etika Guru
Istilah kode etik profesi pengajar atau guru pertama kali
dirumuskan secara tertulis oleh organisasi National Education
Association (NEA) pada tahun 1929 di Amerika Serikat, yaitu
“Code of Ethics for the Teaching Profession”. Kode etik ini
beberapa kali mengalami perubahan dan perbaikan pada tahun
1941, 1953 dan terakhir tahun 1963. Di zaman Hindia Belanda,
pendidikan di Indonesia diarahkan sesuai dengan kehendak
penjajah, sehingga rakyat bersifat statis, dan para guru yang
mengajarpun sangat dominan pengaruhnya dalam proses
pendidikan dan pengajaran yang bersifat otoriter, tidak
partisipatoris, dan merendahkan siswa.
Di saat-saat seperti itulah muncul tokoh pendidikan, Ki Hajar
Dewan-toro, yang mendirikan sekolah taman siswa yang
menekankan pentingnya akhlak dan budi pekerti para guru. Ki
Hajar Dewantoro mengajarkan semboyan sikap para guru yang
mencakup 4 pengertian, yaitu (i) ing ngarso sung tulodo
(memberi contoh dan suri tauladan bila berada di depan), (ii) ing
madyo mangun karso (ikut aktif dan giat serta menggugah
semangat bila berada di tengah), (iii) tut wuri handayani
(mendorong dan mempengaruhi bila berada di belakangnya),
(iv) waspodo purbo waseso (harus selalu waspada dan
mengawasi serta sanggup melakukan koreksi).
Keempat perilaku mulia itu sebenarnya juga berlaku untuk sifat-
sifat kepemimpinan. Karena itu, cara kerja guru dan pemimpin
memang seharusnya kurang lebih memang sama. Guru adalah
pemimpin, dan pemimpin itu harus juga bertindak sebagai guru.
Jika dan guru dan para pemimpin berakhlaq-mulia, maka hal itu
merupakan cermin dari moral dan akhlak bangsa sebagai
keseluruhan, sebab akhlak para guru dan para pemimpin itulah
yang akan dijadikan contoh dalam bersikap dan berperilaku bagi
rakyat dan para peserta didik.
Para guru pribumi pertama kali mengorganisasikan diri dalam
wadah Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) pada tahun 1912
yang berubah menjadi Persatuan Guru Indonesia pada tahun
1932. Sesudah kemerdekaan, tepatnya 100 hari sesudah
proklamasi, berdirilah Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI), yaitu pada tanggal 25 November 1945, yang sampai
sekarang diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Namun, ketika
pertama berdiri, PGRI belum menyusun secara tersendiri suatu
kode etik bagi para anggota. Kode Etik Guru Indonesia baru
dirumuskan dan disahkan pada Kongres PGRI ke XIII yang
diadakan tanggal 21-25 November 1973 di Jakarta. Kode Etik ini
terus mengalami perbaikan pada Kongres XIV 1979, Kongres
tahun 1989, dan seterusnya. Penyempurnaan terakhir dilakukan
lagi pada Kongres ke-XXI di Jakarta tahun 2013.
Secara umum, isi Kode Etik Guru Indonesia ini sejalan dengan
prinsip-prinsip universal yang diadopsi dari Code of Ethics for the
Teaching Profession National Education Association Amerika
Serikat. Namun, isinya disesuaikan dengan budaya bangsa
Indonesia dan kebutuhan praktik dunia pendidikan di Indonesia.
Dalam Kongres Persatuan Guru Republik Indonesia PGRI)
mengenai kode etik guru ini, misalnya, sangat ditekankan oleh
para peserta Kongres bahwa pendidikan merupakan suatu
bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan
tanah air serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia
berjiwa Pancasila dan UUD 1945 merasa bertanggung jawab atas
terwujudnya cita-cita proklamasi kemerdekaan (17-8-1945).

2. Kode Etik Guru 2013


Kode Etik Guru Indonesia yang terakhir diberlakukan sampai
sekarang adalah Kode Etik yang disahkan oleh Kongres
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ke-XXI di Jakarta
tahun 2013. Dalam Kongres ini, naskah Kode Etik Guru Indonesia
disahkan pada tanggal 4 Juli, 2013. Dalam Pembukaan Kode Etik
Guru Indonesia ini dinyatakan:
“Guru sebagai pendidik adalah jabatan profesi yang mulia. Oleh
sebab itu, moralitas guru harus senantiasa terjaga karena
martabat dan kemuliaan sebagai unsur dasar moralitas guru itu
terletak pada keunggulan perilaku, akal budi, dan
pengabdiannya. Guru merupakan pengemban tugas
kemanusiaan dengan mengutamakan kebajikan dan mencegah
manusia dari kehinaan serta kemungkaran dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun watak serta
budaya, yang mengantarkan bangsa Indonesia pada kehidupan
masyarakat yang maju, adil dan makmur, serta beradab
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Guru dituntut untuk
menjalankan profesinya dengan ketulusan hati dan
menggunakan keandalan kompetensi sebagai sumber daya
dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu
berkembangnya potensi peserta didik menjadi manusia utuh
yang beriman dan bertakwa serta menjadi warga negara yang
baik, demokratis, dan bertanggung jawab. Pelaksanaan tugas
guru Indonesia terwujud dan menyatu dalam prinsip ing ngarsa
sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Untuk itu, sebagai pedoman perilaku guru Indonesia dalam
melaksanakan tugas keprofesionalan perlu ditetapkan Kode Etik
Guru Indonesia”.
Materi kode etik guru ini disusun dalam bentuk rumusan
kewajiban para guru, yaitu (i) kewajiban umum, (ii) kewajiban
terhadap peserta didik, (iii) kewajiban terhadap masyarakat, (iv)
kewajiban teman sejawat, (v) kewajiban terhadap profesi, (vi)
kewajiban terhadap organisasi profesi, dan (vii) kewajiban
terhadap pemerintah. Bagian Pertama Pasal 1 Kode Etik ini
memuat ketentuan mengenai kewajiban para guru Indonesia
secara umum, yaitu: (1) Menjunjung tinggi, menghayati, dan
mengamalkan sumpah/janji guru; dan (2) Melaksanakan tugas
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai dan mengevaluasi peserta didik untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional.
Bagian II Pasal 2 tentang Kewajiban Guru terhadap Peserta
Didik, meliputi sebagai berikut.
1) Bertindak profesional dalam melaksanakan tugas
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil belajar peserta didik.
2) Memberikan layanan pembelajaran berdasarkan
karakteristik individual serta tahapan tumbuh kembang
kejiwaan peserta didik.
3) Mengembangkan suasana pembelajaran yang aktif,
kreatif, efektif, dan menyenangkan.
4) Menghormati martabat dan hak-hak serta
memperlakukan peserta didik secara adil dan objektif..
5) Melindungi peserta didik dari segala tindakan yang dapat
mengganggu perkembangan, proses belajar, kesehatan, dan
keamanan bagi peserta didik.
6) Menjaga kerahasiaan pribadi peserta didik, kecuali
dengan alasan yang dibenarkan berdasarkan hukum,
kepentingan pendidikan, kesehatan, dan kemanusiaan.
7) Menjaga hubungan profesional dengan peserta didik dan tidak
memanfaatkan untuk keuntungan pribadi dan/atau kelompok
dan tidak melanggar norma yang berlaku.
Sementara itu, Pasal 3 merumuskan tentang Kewajiban Guru
terhadap Orangtua/Wali Peserta Didik, yaitu meliputi:
(1) Menghormati hak orang tua/wali peserta didik untuk
berkonsultasi dan memberikan informasi secara jujur dan
objektif mengenai kondisi dan perkembangan belajar peserta
didik.
(2) Membina hubungan kerja sama dengan orang tua/wali
peserta didik dalam melaksanakan proses pendidikan untuk
peningkatan mutu pendidikan.
(3) Menjaga hubungan profesional dengan orang tua/wali
peserta didik dan tidak memanfaatkan untuk memperoleh
keuntungan pribadi.
Kewajiban Guru terhadap Masyarakat dirumuskan dalam Pasal
4,vaitu:
(1) Menjalin komunikasi yang efektif dan kerja sama yang
harmonis dengan masyarakat untuk memajukan dan
mengembangkan pendidikan.
(2) Mengakomodasi aspirasi dan keinginan masyarakat
dalam pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan.
(3) Bersikap responsif terhadap perubahan yang terjadi
dalam masyarakat dengan mengindahkan norma dan sistem nilai
yang berlaku.
(4) Bersama-sama dengan masyarakat berperan aktif untuk
menciptakan lingkungan sekolah yang kondusif.
(5) Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat, serta
menjadi panutan bagi masyarakat.
Pasal 5 Kode Etik menentukan mengenai Kewajiban terhadap
Teman Sejawat, sesama guru, yaitu:
(1) Membangun suasana kekeluargaan, solidaritas, dan
saling menghormati antar teman sejawat di dalam maupun di
luar satuan pendidikan.
(2) Saling berbagi ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
keterampilan, dan pengalaman, serta saling memotivasi untuk
meningkatkan profesionalitas dan martabat guru.
(3) Menjaga kehormatan dan rahasia pribadi teman sejawat.
(4) Menghindari tindakan yang berpotensi menciptakan
konflik antar teman sejawat.
Pasal 6, Kewajiban Guru terhadap Profesi, yaitu:
(1) Menjunjung tinggi jabatan guru sebagai profesi.
(2) Mengembangkan profesionalisme secara berkelanjutan
sesuai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Melakukan tindakan dan/atau
mengeluarkan pendapat yang tidak merendahkan martabat
profesi.
(3) Dalam melaksanakan tugas tidak menerima janji dan
pemberian yang dapat mempengaruhi keputusan atau tugas
keprofesian.
(4) Melaksanakan tugas secara bertanggung jawab terhadap
kebijakan pendidikan. Kewajiban Guru terhadap Organisasi
Profesi (Pasal 7), meliputi:
(1) Menaati peraturan dan berperan aktif dalam
melaksanakan program organisasi profesi.
(2) Mengembangkan dan memajukan organisasi profesi.
(3) Mengembangkan organisasi profesi untuk menjadi pusat
peningkatan profesionalitas guru dan pusat informasi tentang
pengembangan pendidikan.
(4) Menjunjung tinggi kehormatan dan martabat organisasi
profesi.
(5) Melakukan tindakan dan/atau mengeluarkan pendapat
yang tidak merendahkan martabat profesi.
Kewajiban yang terakhir adalah Kewajiban Guru terhadap
Pemerintah yang dirumuskan pada Pasal 8, yaitu meliputi:
(1) Berperan serta menjaga persatuan dan kesatuan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam wadah NKRI
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
(2) Berperan serta dalam melaksanakan program
pembangunan pendidikan.
(3) Melaksanakan ketentuan yang ditetapkan pemerintah.

F. Kode Etik Pegawai Negeri Sipil


Kode Etik Pegawai Negeri Sipil dituangkan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah, yaitu PP No. 42 Tahun 2004, sebagai
pelaksanaan ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang diubah dengan Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 1999. Kode Etik Pegawai Negeri Sipil
merupakan pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan Pegawai
Negeri Sipil di dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan
hidup sehari-hari. Dengan adanya Kode Etik ini, diharapkan
Pegawai Negeri Sipil akan menjadi lebih kuat, kompak dan
bersatu padu, memiliki kepekaan, tanggap dan memiliki
kesetiakawanan yang tinggi, berdisiplin, serta sadar akan
tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur Negara dan abdi
masyarakat, dapat diwujudkan melalui pembinaan korps
Pegawai Negeri Sipil, termasuk kode etiknya. Kode Etik ini
dimaksudkan untuk menanamkan jiwa korps dan mengamalkan
etika bagi Pegawai Negeri Sipil, dipandang perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode
Etik Pegawai Negeri Sipil.
Yang dimaksud sebagai jiwa korps atau jiwa korsa Pegawai
Negeri Sipil adalah rasa kesatuan dan persatuan, kebersamaan,
kerja sama, tanggung jawab, dedikasi, disiplin, kreativitas,
kebanggaan dan rasa memiliki Organisasi Pegawai Negeri Sipil
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Segala bentuk
pelanggaran dalam bentuk ucapan, tulisan, atau perbuatan
pegawai negeri sipil yang bertentangan dengan butir-butir jiwa
korsa dan kode etik, dapat diancam dengan sanksi kode yang
penegakannya dilakukan oleh Majelis Kehormatan Kode Etik
Pegawai Negeri Sipil atau disingkat Majelis Kode Etik. Majelis ini
merupakan lembaga non struktural pada instansi pemerintah
yang bertugas melakukan penegakan pelaksanaan serta
menyelesaikan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
Pegawai Negeri Sipil. Selanjutnya, pejabat yang berwenang akan
menjatuhkan sanksi, yaitu pejabat pembina kepegawaian atau
pejabat lain yang ditunjuk menurut undang-undang. 2.
Pembinaan Jiwa Korsa Pegawai Negeri Sipil Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004, menyatakan: “Pembinaan
jiwa Korps PNS dimaksudkan untuk meningkatkan perjuangan,
pengabdian, kesetiaan, dan ketaatan PNS kepada Negara
Kesatuan dan Peme-rintah RI berdasarkan Pancasila dan UUD
1945’.
Menurut Pasal 3, pembinaan jiwa korsa Pegawai Negeri Sipil ini
bertujuan untuk:
a. Membina karakter/watak, memelihara rasa persatuan
dan kesatuan secara kekeluargaan guna mewujudkan kerja sama
dan semangat pengabdian kepada masyarakat serta
meningkatkan kemampuan, dan keteladanan Pegawai Negeri
Sipil.
b. Mendorong etos kerja Pegawai Negeri Sipil untuk
mewujudkan Pegawai Negeri Sipil yang bermutu tinggi dan sadar
akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur Negara, dan
abdi masyarakat.
c. Menumbuhkan dan meningkatkan semangat, kesadaran,
dan wawasan kebangsaan Pegawai Negeri Sipil sehingga dapat
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pembinaan itu mencakup:
a. peningkatan etos kerja dalam rangka mendukung
produktivitas kerja dan profesionalitas Pegawai Negeri Sipil;
b. partisipasi dalam penyusunan kebijaksanaan Pemerintah
yang terkait dengan Pegawai Negeri Sipil;
c. peningkatan kerja sama antar-Pegawai Negeri Sipil untuk
memelihara dan memupuk kesetiakawanan dalam rangka
meningkatkan jiwa korps Pegawai Negeri Sipil;
d. perlindungan terhadap hak-hak, sipil atau kepentingan
Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dengan tetap mengedepankan
kepentingan rakyat, bangsa, dan Negara.
Untuk mewujudkan pembinaan jiwa korps Pegawai Negeri Sipil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 dan
menjunjung tinggi kehormatan serta keteladanan sikap, tingkah
laku dan perbuatan Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan
tugas kedinasan dan pergaulan hidup sehari-hari, Kode Etik
dipandang merupakan landasan yang dapat mewujudkan hal
tersebut. Nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi oleh setiap
Pegawai Negeri Sipil adalah:

a. ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa;


b. kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945;
c. semangat nasionalisme;
d. mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan
pribadi atau golongan;
e. ketaatan terhadap hukum dan peraturan perundang-
undangan;
f. penghormatan terhadap hak asasi manusia;
g. tidak diskriminatif;
h. profesionalisme, netralitas, dan bermoral tinggi;
i. semangat jiwa korps.

3. Kode Etik Pegawai Negeri Sipil


Dalam pelaksanaan tugas kedinasan dan kehidupan sehari-hari
setiap PNS wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam
bernegara, dalam penyelenggaraan Pemerintahan, dalam
berorganisasi, dalam bermasyarakat, serta terhadap diri sendiri
dan sesama Pegawai Negeri Sipil yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini. Dalam PP No. 42 Tahun 2004 itu dibedakan
antara Etika PNS dalam bernegara, etika dalam berorganisasi,
etika dalam bermasyarakat, etika terhadap diri sendiri, dan etika
terhadap sejawat atau sesama PNS. Etika dalam bernegara
meliputi:
a. melaksanakan sepenuhnya Pancasila dan UUD 1945;
b. mengangkat harkat dan martabat bangsa dan bernegara;
c. menjadi perekat dan pemersatu bangsa dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
d. menaati semua peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam melaksanakan tugas;
e. akuntabel dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa;
f. tanggap, terbuka, jujur, dan akurat, serta tepat waktu
dalam melaksanakan setiap kebijaksanaan dan program
Pemerintah;
g. menggunakan atau memanfaatkan semua sumber daya
negara secara efisien dan efektif;
h. tidak memberikan kesaksian palsu atau keterangan yang
tidak benar. Sedangkan Etika Pegawai Negeri Sipil dalam
berorganisasi adalah:
a. melaksanakan tugas dan wewenang sesuai ketentuan
yang berlaku;
b. menjaga informasi yang bersifat rahasia;
c. melaksanakan setiap kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
Pejabat yang berwenang;
d. membangun etos kerja untuk meningkatkan kinerja
organisasi;
e. menjalin kerja sama secara kooperatif dengan unit kerja
lain yang terkait dalam rangka pencapaian tujuan;
f. memiliki kompetensi dalam pelaksanaan tugas;
g. patuh dan taat terhadap standar operasional dan tata
kerja;
h. mengembangkan pemikiran secara kreatif dan inovatif
dalam rangka peningkatan kinerja organisasi;
i. berorientasi pada upaya peningkatan kualitas kerja.
Etika dalam bermasyarakat meliputi:
a. mewujudkan pola hidup sederhana;
b. memberikan pelayanan dengan empati, hormat, dan
santun, tanpa pamrih dan tanpa unsur pemaksaan;
c. memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan
adil serta tidak diskriminatif;
d. tanggap terhadap keadaan lingkungan masyarakat;
e. berorientasi kepada peningkatan kesejahteraan
masyarakat dalam melaksanakan tugas.
Etika terhadap diri sendiri meliputi:
a. jujur dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang
tidak benar;
b. bertindak dengan penuh kesungguhan dan ketulusan;
c. menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok
maupun golongan;
d. berinisiatif untuk meningkatkan kualitas pengetahuan,
kemampuan, keterampilan, dan sikap;
e. memiliki daya juang yang tinggi;
f. memelihara kesehatan rohani dan jasmani;
g. menjaga keutuhan dan keharmonisan keluarga;
h. berpenampilan sederhana, rapi, dan sopan.
Etika terhadap sesama Pegawai Negeri Sipil meliputi:
a. saling menghormati sesama warga negara yang memeluk
agama/kepercayaan yang berlainan;
b. memelihara rasa persatuan dan kesatuan sesama
Pegawai Negeri Sipil;
c. saling menghormati antara teman sejawat baik secara
vertikal maupun horizontal dalam suatu unit kerja, instansi,
maupun antar instansi;
d. menghargai perbedaan pendapat;
e. menjunjung tinggi harkat dan martabat Pegawai Negeri
Sipil;
f. menjaga dan menjalin kerja sama yang kooperatif
sesama Pegawai Negeri Sipil;
g. berhimpun dalam satu wadah Korps Pegawai Republik
Indonesia yang menjamin terwujudnya solidaritas dan soliditas
semua Pegawai Negeri Sipil dalam memperjuangkan hak-haknya.
Dalam PP No. 42 Tahun 2004, Kode Etik Pegawai Negeri Sipil
dibedakan antara Kode Etik Instansi dan Kode Organisasi
Profesi.
a. Kode etik instansi ditetapkan oleh pejabat pembina
kepegawaian masing-masing instansi.
b. Kode etik organisasi profesi ditetapkan oleh organisasi
profesi di lingkungan pegawai negeri sipil masing-masing. Kode
etik instansi ataupun kode etik organisasi profesi yang dimaksud
dapat ditetapkan sesuai dengan karakteristik masing-masing
instansi dan organisasi profesinya.

4. Penegakan Kode Etik


Mengenai prosedur dan mekanisme penegakan kode etik
pegawai negeri sipil, pengaturannya telah ditentukan dalam Bab
VI pada Pasal 15 sampai dengan Pasal 21 Peraturan Pemerintah
tersebut. Bagi setiap Pegawai Negeri Sipil yang melakukan
pelanggaran Kode Etik dikenakan sanksi moral. Sanksi moral
dimaksud dibuat secara tertulis dan dinyatakan oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian. Sanksi moral tersebut dapat berupa: (a)
pernyataan secara tertutup; atau (b) pernyataan secara terbuka.
Dalam pemberian sanksi moral harus disebutkan jenis
pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan. Pejabat yang berwenang dapat memberikan
delegasi kewenangannya kepada pejabat lain di lingkungannya
yang sekurang-kurangnya pejabat struktural eselon IV. Pegawai
Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran kode etik selain
dikenakan sanksi moral, dapat pula dikenakan tindakan
administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
atas rekomendasi Majelis Kode Etik.
Untuk menegakkan kode etik, pada setiap instansi dibentuk
Majelis Kode Etik. Pembentukan Majelis Kode Etik dimaksud
ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian yang
bersangkutan dengan keanggotaan terdiri atas:
a. 1 (satu) orang Ketua merangkap Anggota;
b. 1 (satu) orang Sekretaris merangkap anggota; dan
c. sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Anggota.
Sesuai kebutuhan, jumlah anggota Majelis Kode Etik dapat
berjumlah lebih dari lima orang, asalkan jumlahnya tetap ganjil.
Jabatan dan pangkat Anggota Majelis Kode Etik tidak boleh lebih
rendah dari jabatan dan pangkat Pegawai Negeri Sipil yang
diperiksa karena disangka melanggar kode etik.
Majelis Kode Etik mengambil keputusan setelah memeriksa
Pegawai Negeri Sipil yang disangka melanggar kode etik. Majelis
Kode Etik mengambil keputusan setelah Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri. Keputusan
Majelis Kode Etik diambil secara musyawarah mufakat. Dalam
hal musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud tidak tercapai,
keputusan dapat diambil dengan suara terbanyak. Keputusan
Majelis Kode Etik bersifat final.
Majelis Kode Etik wajib menyampaikan keputusan hasil sidang
majelis kepada Pejabat yang berwenang sebagai bahan dalam
memberikan sanksi moral dan/atau sanksi lainnya kepada
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (1) PP No. 42 Tahun 2004. Kode etik profesi
di lingkungan Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum diubah berdasarkan
Peraturan Pemerintah ini.

G. Kode Etik Profesi Akuntan


1. Perkembangan Etika Profesi Akuntan
Timbul dan berkembangnya profesi akuntan publik di suatu
negara berjalan seiring dengan berkembangnya perusahaan dan
berbagai bentuk badan hukum perusahaan di negara yang
bersangkutan masing-masing. Jika perusahaan-perusahaan di
suatu negara terus tumbuh dan berkembang se-hingga
membutuhkan permodalan yang tidak hanya dengan
mengandalkan modal dari pemilik atau para pemiliknya, tetapi
juga dari kreditur yang lebih luas, dan apabila modal dari
masyarakat bagi badan hukum perusahaan yang memenuhi
syarat untuk go-public, maka sudah sangat pasti diperlukan
dukungan jasa akuntan publik. Dari profesi akuntan publik inilah
masyarakat kreditur dan investor mengharapkan penilaian yang
objektif, bebas (independen) dan tidak memihak (imparsial)
mengenai informasi tentang fakta dan angka-angka yang dimuat
dalam laporan keuangan oleh manajemen perusahaan.
Profesi akuntan dapat memberikan layanan-layanan jasa dalam
pelbagai bentuknya untuk kepentingan masyarakat luas, yaitu
berupa jasa assurance, jasa atestasi, dan jasa non-assurance. Jasa
assurance adalah jasa profesional dan independen yang
meningkatkan mutu informasi bagi pengambil keputusan. Jasa
atestasi terdiri atas jasa audit, eksaminasi, review, dan prosedur-
prosedur lain yang disepakati. Jasa atestasi merupakan suatu
pernyataan pendapat, pertimbangan orang lain yang independen
dan kompeten tentang apakah asersi suatu entitas sudah sesuai
dalam semua hal yang bersifat material, dengan kriteria yang
telah ditetapkan. Sementara itu, yang dimaksud dengan jasa non-
assurance adalah jasa yang dihasilkan oleh akuntan publik yang
didalamnya ia tidak memberikan suatu pendapat, keyakinan
negatif, ringkasan temuan, atau bentuk lain. Adapun yang
termasuk ke dalam pengertian jasa non-assurance yang
dihasilkan oleh profesi akuntan publik, misalnya, adalah jasa
kompilasi, jasa perpajakan, jasa konsultasi.
Kegiatan pemeriksaan yang dikategorikan sebagai auditing itu
sendiri sebenarnya adalah merupakan suatu proses yang
sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara
objektif mengenai pernyataan tentang kejadian ekonomi, dengan
maksud untuk menentukan tingkat kesesuaian antara
pernyataan dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya,
serta penyampaian hasil-hasilnya kepada para pihak yang
berkepentingan. Dari segi auditor independen, auditing itu
sendiri adalah pemeriksaan yang dilakukan secara objektif atas
laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi dengan
tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut
menyajikan keadaan keuangan dan hasil usaha perusahaan atau
organisasi itu secara wajar atau tidak. Di samping itu, profesi
akuntan publik juga turut bertanggung jawab untuk
meningkatkan kualitas keandalan laporan keuangan perusahaan
dan organisasi, sehingga masyarakat memperoleh informasi
keuangan yang terpercaya sebagai dasar untuk mengambil
keputusan dalam rangka alokasi sumber-sumber keuangan atau
kekayaan masing-masing.
Untuk menjamin kepercayaan publik terhadap profesi akuntan,
diperlukan penerapan standar mutu yang tinggi dalam
pelaksanaan tugas profesional akuntan. Etika profesi akuntan
disusun dan ditetapkan pertama kali dalam Kongres Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) pada tahun 1973. Kode Etik ini
selanjutnya terus disempurnakan dalam Kongres IAI pada tahun
1981, 1986, 1994, dan terakhir pada tahun 1998 diberi nama
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia. Berdasarkan Kode Etik ini,
dibentuk pula etika profesi kompartemen akuntan publik yang
berpraktik dalam kantor akuntan publik, yang menyediakan
berbagai jenis jasa yang diatur dalam Standar Profesional
Akuntan Publik, yaitu auditing, atestasi, akuntansi dan review,
dan jasa konsultasi. Auditor independen adalah akuntan publik
yang melaksanakan penugasan audit atas laporan keuangan
historis yang menyediakan jasa audit atas dasar standar auditing
yang tercantum dalam Standar Profesional Akuntan Publik. Kode
Etik Ikatan Akuntan Indonesia dijabarkan ke dalam Etika
Kompartemen Akuntan Publik untuk mengatur perilaku akuntan
yang menjadi anggota IAI yang berpraktik dalam profesi akuntan
publik.

2. Etika dan Moral di Dunia Bisnis


Etika dan integritas merupakan suatu pengertian tentang
keutuhan kepribadian, utuh antara pikiran dan perasaan, serta
utuh pula apa yang dikatakan dengan yang nyata-nyata
dilakukan. Integritas juga mengandung muatan hasrat dan
keinginan yang murni untuk membantu orang lain, dengan
kejujuran yang kuat dan kemampuan untuk menganalisis batas-
batas persaingan atau kompetisi, serta kemampuan untuk
mengakui kesalahan dan belajar dari kegagalan. Dalam sistem
demokrasi politik dan ekonomi pasar yang berkembang di era
globalisasi dewasa ini, dinamika kompetisi atau hubungan saling
bersaing antara individu dalam masyarakat itu juga terkembang
kian terbuka dalam semua lingkungan bermasyarakat, di semua
aspek kehidupan, termasuk di dunia usaha atau bisnis, dan di
seluruh dunia, termasuk juga di Indonesia.
Kata kompetisi merajalela di mana-mana seakan melupakan
pentingnya kerja sama. Padahal kompetisi dan kerja sama
(competition and cooperation) harus dipahami sebagai dua
konsep hidup yang saling berpasangan dan saling melengkapi.
Dalam kompetisi, diisyaratkan bahwa orang yang dinilai berhasil
adalah mereka yang sanggup menggagalkan dan bahkan
menghancurkan orang yang dianggap sebagai lawan atau
pesaing. Karena itu, kata kompetisi sering dinilai sebagai
lambang keserakahan. Inilah kecenderungan yang dapat terus
berkembang sehubungan dengan perdagangan dunia yang
semakin bebas di masa mendatang yang justru sangat
mempromosikan kompetisi yang juga semakin bebas.
Karena itu, untuk menghadapi tuntutan kompetisi yang semakin
luas di dunia bisnis, sistem integritas harus difungsikan dengan
membangun infrastruktur etika yang efektif di lingkungan dunia
usaha. Kompetisi merupakan sesuatu yang niscaya, tetapi
kemampuan bersaing secara sehat dan beretika adalah kunci
keberhasilan yang sesungguhnya. Kompetisi yang sehat dan
beretika itu akan membuat arena persaingan berfungsi dengan
baik, bukan saja untuk mendorong pertumbuhan dan
menghasilkan keuntungan yang besar, tetapi juga untuk
menjamin keadilan yang merata atas pertumbuhan dan
perkembangan sumber-sumber ekonomi dan kesejahteraan
dalam masyarakat.
Kemampuan berkompetisi tidak ditentukan oleh ukuran besar
kecilnya sebuah perusahaan. Sudah saatnya para pelaku usaha
atau pelaku bisnis dapat lebih aktif menciptakan kegiatan bisnis
yang bermoral dan beretika, yang tercermin dalam kesungguhan
membangun hubungan sinergi dan saling menguntungkan antar
sesama pelaku usaha dan dengan konsumen dalam struktur
keadilan sosial yang semakin baik dan sehat. Dunia usaha atau
bisnis yang bermoral dan beretika akan mendorong semangat
pelayanan (spirit of serving) yang lebih luas bagi kepentingan
konsumen disertai kesadaran yang lebih sejati mengenai
hubungan saling membutuhkan antar golongan atas dan bawah,
antara pelaku usaha dan konsumen besar, menengah, dan kecil
dalam rangka membangun struktur kehidupan yang lebih adil.
Etika bersumber dari ajaran moral tentang perilaku yang baik
versus yang buruk, yang benar versus yang salah. Karena itu,
sering dikatakan bahwa moral sangat erat kaitannya dengan
agama dan budaya dalam arti bahwa kaidah-kaidah moral pelaku
bisnis sangat dipengaruhi oleh ajaran agama dan tradisi budaya
yang mempengaruhi para pelaku-pelaku bisnis atau pelaku
usaha. Setiap agama dan tradisi budaya selalu mengajarkan nilai-
nilai moral yang terpuji, termasuk dalam kegiatan mencari dan
mendapatkan keuntungan usaha. Moral kegiatan usaha yang
terpuji pasti memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak
atau bahkan bagi semua pihak, misalnya jika suatu transaksi
bisnis dilakukan dengan jujur dan konsekuen, kedua belah pihak
akan puas dan timbul rasa percaya satu sama lain, yang pada
gilirannya mendorong kerja sama yang saling menguntungkan.
Oleh karena moral lahir dari kesadaran beragama dan berbudaya
yang tinggi, maka sudah semestinya orang yang beragama dan
berbudaya yang luhur akan memiliki moral yang terpuji pula
dalam aneka kegiatan bisnisnya. Berdasarkan ini sebenarnya
moral dalam berbisnis tidak mudah harus ditentukan dalam
bentuk peraturan yang ditetapkan secara resmi. Moral dapat
tumbuh sendiri dari dalam diri seseorang dengan pengetahuan
akan ajaran agama yang dianut budaya dan dimiliki benar-benar
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, untuk
memastikan nilai-nilai moral menurut ajaran agama dan tradisi
budaya itu benar-benar fungsional, dalam praktik diperlukan
upaya pelembagaannya dalam sistem etika yang
dipositivisasikan dalam bentuk kode etik yang ditegakkan
dengan dukungan infrastruktur kelembagaan yang disepakati
bersama.
Karena itu, dalam praktik di dunia usaha dewasa ini, diciptakan
sistem kode etika di dunia usaha atau di dunia bisnis. Jika ajaran
moral mendorong orang untuk melakukan kebaikan, maka etika
difungsikan sebagai rambu-rambu atau patokan-patokan
perilaku yang disepakati bersama secara sukarela oleh semua
atau oleh setiap anggota komunitas atau organisasi. Dunia usaha
yang bermoral tentu diharapkan akan mampu mengembangkan
etika (patokan/rambu-rambu) yang menjamin kegiatan bisnis
yang seimbang, selaras, dan serasi. Sebagai rambu-rambu
perilaku, sistem etika suatu komunitas usaha dapat membimbing
dan mengingatkan para anggotanya kepada suatu undakan yang
terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan
dilaksanakan. Etika di dunia bisnis tentu harus disepakati
bersama karena tidak saja menyangkut hubungan antara
pengusaha dengan pengusaha, tetapi juga menurut Standard
yang bersifat nasional dan bahkan internasional.
Karena itu, idealnya, untuk mewujudkan etika bisnis secara luas,
diperlukan pembicaraan yang transparan antara semua pihak,
baik pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain
agar jangan hanya satu pihak saja yang menjalankan etika
sementara pihak lain berpijak kepada apa yang mereka inginkan.
Jika pihak terkait tidak mengetahui dan tidak menyetujui adanya
norma-norma etika tertentu, apa yang disepakati oleh kalangan
pelaku bisnis tadi tidak akan dapat terwujud. Karena itu, untuk
menjamin etika bisnis yang disepakati bersama, sistem etika
bisnis ini memerlukan penuangan dalam undang-undang yang
menjamin kepentingan semua pihak. Terkait dengan kaidah etika
bisnis ini, banyak hal yang perlu mendapat perhatian, seperti:
pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial (social
responsibility), jati diri, penciptaan iklim persaingan yang baik
dan sehat, penerapan prinsip pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development). Di samping itu, para pelaku bisnis
juga harus terlibat aktif dalam upaya menghentikan praktik
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam kegiatan bisnis, dan
mampu membangun tradisi profesional dan sistem rekrutmen
berdasarkan prestasi atau merit system dalam organisasi usaha,
a. Pengendalian diri. Para pelaku bisnis dan pihak terkait harus
mampu mengendalikan diri masing-masing untuk tidak
memperoleh apa pun dari siapapun dan dalam bentuk apa pun
dan/atau dengan cara yang bertentangan dengan aturan-aturan
hukum dan etika yang berlaku.
Para pelaku bisnis tidak boleh mendapatkan keuntungan dengan
cara yang curang atau dengan cara menekan pihak lain, dan tidak
juga boleh menggunakan keuntungan itu dengan cara yang
curang atau dengan menekan pihak lain.
Meskipun keuntungan tersebut merupakan hak pelaku bisnis
sendiri, tetapi penggunaannya harus memperhatikan kondisi
masyarakat sekitarnya.
Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility).
Pelaku bisnis diharuskan untuk bersikap peduli dengan keadaan
masyarakat sekitar kegiatan usahanya atau dengan kondisi
masyarakat yang terkena dampak kegiatan usahanya di mana
pun mereka berada, tidak hanya dalam bentuk ‘uang’ melalui
pemberian sumbangan, melainkan dengan pelbagai
kemungkinan cara yang lebih mencerminkan besarnya
tanggungjawab sosial pelaku bisnis. Tanggung jawab sosial itu
tercermin dalam tindakan nyata yang memperlihatkan adanya
kesadaran, perhatian (empati), dan perasaan simpati terhadap
masalah yang dihadapi oleh masyarakat luas, apalagi warga yang
menderita karena pengaruh langsung ataupun tidak langsung
dari adanya kegiatan usaha yang ia kembangkan. Termasuk ke
dalam pengertian tanggung jawab sosial ini, misalnya, jika
mendapatkan kesempatan untuk menjual pada tingkat harga
yang lebih tinggi sewaktu terjadinya peningkatan permintaan
(excess demand) yang bersifat tiba-tiba, seorang pengusaha yang
beretika tidak akan memanfaatkan kesempatan itu untuk
meraup keuntungan berlipat ganda untuk kepentingannya
sendiri tanpa memikirkan kesulitan yang dihadapi konsumen.
Dalam keadaan demikian, para pelaku bisnis harus mampu
mengendalikan diri dan mengembangkan serta merealisasikan
rasa tanggung jawab sosial terhadap masyarakat.
Penguatan jati diri (identitas) dengan tidak mudah terombang-
ambing oleh perubahan zaman karena pesatnya perkembangan
informasi dan teknologi. Etika bisnis tentu saja harus terbuka
dengan perkembangan informasi dan teknologi. Akan tetapi,
informasi dan teknologi baru itu harus dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya tidak dengan mengorbankan identitas budaya
perusahaan dan identitas budaya masyarakat, terutama warga
masyarakat kebanyakan yang berada dalam posisi marginal dan
lemah tidak menjadi kehilangan jati diri karena faktor
transformasi informasi dan teknologi.
Penciptaan ruang persaingan yang baik dan sehat. Persaingan
dalam dunia bisnis diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan
kualitas, tetapi persaingan tidak boleh mematikan yang lemah.
Harus terbangun jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar dan
menengah ke bawah, sehingga pertumbuhan usaha besar
mampu memberikan spread-effect terhadap perkembangan
sekitarnya, dan perkembangan usaha kecil dan menengah secara
vertikal dan horizontal. Untuk itu dalam menciptakan persaingan
diperlukan juga kekuatan-kekuatan pengimbang dalam dinamika
kegiatan bisnis yang bersangkutan.
Penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan (sustainable development and ecological
friendly) berdasarkan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945. Dunia bisnis
seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat
sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan
di masa mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut
tidak mengeksploitasi lingkungan dan keadaan saat sekarang
semaksimal mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan
keadaan di masa datang walaupun saat sekarang merupakan
kesempatan untuk memperoleh keuntungan besar.
Pencegahan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme KKN) sesuai
dengar, amanat Reformasi 1998. Jika pelaku bisnis mampu
menghindar dari sikap dan praktik KKN, dan dengan tegas
menolak praktik KKN itu, dapat dipastikan tidak akan terjadi
praktik korupsi, kolusi, manipulasi, praktik mafia, nepotisme,
dan segala bentuk perilaku curang, serta praktik tidak terpuji
lainnya di kalangan para penyelenggara kekuasaan negara dan
pemerintahan yang terus tumbuh subur dewasa ini yang justru
mencemarkan nama baik pelaku bisnis sendiri, serta citra bangsa
dan negara secara keseluruhan. Pemantapan sikap konsisten dan
konsekuen untuk menyatakan ‘ya’ pada yang benar dan
menyatakan ‘tidak’ pada yang salah. Jika, misalnya seorang
pengusaha memang tidak layak menerima kredit karena
persyaratan tidak terpenuhi, jangan pernah berusaha
menggunakan ‘katebelece’ dari ‘koneksi’ serta melakukan
‘kongkalikong’ dengan data yang salah, apalagi dengan
memaksakan diri berkolusi dengan memberikan imbalan
‘komisi’ kepada pihak terkait.
Pemupukan sikap saling percaya di antara golongan pengusaha
kuat dan golongan pengusaha menengah ke bawah. Untuk
menciptakan kondisi bisnis yang kondusif dibutuhkan sikap
saling percaya (mutual trust) di antara golongan pengusaha kuat
dengan golongan pengusaha lemah untuk kepentingan dan
keuntungan bersama, agar dunia usaha tumbuh dan berkembang
dinamis mendorong tumbuh dan berkembangnya semua pelaku
bisnis.
Penegasan sikap konsekuen dan konsisten dengan aturan main
yang telah disepakati bersama baik berdasarkan rule of law
maupun rule of ethics. Semua aturan hukum dan etika harus
ditegakkan dengan pasti, konsekuen, dan konsisten, sehingga
melahirkan iklim usaha yang dapat diperhitungkan (predictable)
dan direncanakan secara objektif dan rasional.

3. Tipe Audit dan Auditor


Pemeriksaan keuangan atau ‘auditing’ meliputi tiga tipe, yaitu: (i)
audit laporan keuangan, (ii) audit kepatuhan, dan (iii) audit
operasional. Audit laporan keuangan adalah audit yang
dilakukan oleh auditor independen terhadap laporan keuangan
yang disajikan oleh kliennya untuk menyatakan pendapat
mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Audit
kepatuhan adalah audit yang tujuannya untuk menentukan
kepatuhan entitas yang diaudit terhadap kondisi atau peraturan
tertentu. Audit operasional merupakan review secara sistematik
atas kegiatan organisasi, atau bagian tertentu dari kegiatan
operasional organisasi, dengan tujuan: (a) untuk mengevaluasi
kinerja, (b) untuk mengidentifikasi kesempatan untuk
peningkatan, dan (c) untuk membuat rekomendasi guna
perbaikan atau tindakan lebih lanjut.
Sementara itu, dari segi auditornya, dapat pula dibedakan tiga
tipe audi-tor menurut lingkungan pekerjaan auditing, yaitu (i)
auditor independen, (ii) auditor pemerintah, dan (iii) auditor
intern. Auditor independen merupakan auditor profesional yang
menyediakan jasa kepada masyarakat umum, terutama di bidang
audit laporan keuangan yang disusun oleh klien. Auditor
pemerintah adalah auditor profesional yang bekerja di instansi
pemerintah, yang tugas pokoknya melakukan audit atas
pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit
organisasi dalam pemerintahan atau pertanggungjawaban
keuangan yang ditujukan kepada pemerintah. Auditor internal
adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan (Badan Usaha
Milik Negara atau badan usaha swasta), yang tugas pokoknya
adalah menentukan, apakah kebijakan dan prosedur yang
ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan
baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi,
menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan
organisasi, dan menentukan keandalan informasi yang
dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi.

4. Materi Kode Etika Profesional Akuntan


Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan berfungsi
sebagai pedoman atau panduan perilaku bagi seluruh anggota
IAI, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di
lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di
lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung jawab
profesionalnya. Profesi akuntansi sendiri bertujuan untuk
memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme
tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi, dengan orientasi
kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan mulia itu
terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, yaitu
sebagai berikut.
a) Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan jasa akuntan
yang kredibel dan terpercaya. Kredibilitas akuntan itu sangat
menentukan kredibilitas sistem informasi dan informasi laporan
mengenai data dan angka yang dapat diandalkan untuk
pengambilan keputusan yang baik.
b) Profesionalisme. Masyarakat membutuhkan akuntan
yang mempunyai sikap dan kapasitas profesional dengan jelas
serta dapat diidentifikasikan benar-benar sebagai profesional di
bidang akuntansi oleh para pemakai jasa Akuntan.
c) Kualitas Jasa. Para pengguna jasa akuntan dapat
diyakinkan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan
diberikan dengan standar kinerja tinggi dan bahkan tertinggi.
d) Kepercayaan. Para pengguna jasa akuntan percaya
bahwa pemberian jasa oleh akuntan telah dilakukan menurut
standar etika profesional akuntansi.
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian: (1)
Prinsip Etika, (2) Aturan Etika, dan (3) Interpretasi Aturan Etika.
Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi Aturan Etika,
yang mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh
anggota. Prinsip Etika disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi
seluruh anggota, sedangkan Aturan Etika disahkan oleh Rapat
Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota Himpunan yang
bersangkutan.
Interpretasi Aturan Etika merupakan interpretasi yang
dikeluarkan oleh Badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah
memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak
berkepentingan lainnya, sebagai panduan dalam penerapan
Aturan Etika, tanpa dimaksudkan untuk membatasi lingkup dan
penerapannya.

H. Kode Etika Jurnalistik


Di Indonesia dapat ditemukan banyak organisasi yang bergerak
di dunia pers, dan demikian pula Kode Etik Jurnalistik juga ada di
tiap-tiap organisasi pers yang ada. Sebagai contoh dapat
disebutkan beberapa di antaranya, yaitu Kode Etik Jurnalistik
Persatuan Wartawan Indonesia (KEJ-PWI), Kode Etik Wartawan
Indonesia (KEWI), Kode Etik Jurnalistik Aliansi jurnalis
Independen (KEJ-AJI), Kode Etik Jurnalis Televisi Indonesia, dan
lain-lain sebagainya. Adanya sistem kode etik jurnalistik ini tentu
tidak dapat dilepaskan dan sejarah perkembangan pers di
Indonesia yang sangat dinamis.
Pada awal kemerdekaan, sistem kode etik jurnalistik ini belum
dikenal. Kode etik jurnalistik yang pertama baru lahir pada tahun
1947, yaitu 1 tahun setelah berdirinya organisasi Persatuan
Wartawan Indonesia (PWI) di Solo, pada tahun 1946. Setelah
terbentuknya PWI, muncul pula organisasi wartawan lainnya
yang tidak mau bergabung dengan PWI. Karena itu, dibentuk
Dewan Pers yang pada tanggal 30 September 1968 mengesahkan
Kode Etik Jurnalistik yang berlaku untuk wartawan yang bukan
anggota PWI, sedangkan bagi anggota PWI tetap berlaku Kode
Etik PWI. Sejak itu berlakulah dualisme kode etik jurnalistik.
Pada tahun 1969, terbitlah Peraturan Menteri Penerangan
Nomor 02/Pers/MENPEN/1969 yang menegaskan bahwa
wartawan Indonesia diwajibkan menjadi anggota organisasi
wartawan Indonesia yang telah disahkan pemerintah. Namun,
organisasi wartawan yang disahkan oleh pemerintah baru ada
tahun 1975, yaitu pada tanggal 20 Mei 1975 pemerintah
mengesahkan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebagai
satu-satunya organisasi wartawan Indonesia. Karena itu, dengan
sendirinya Kode Etik Jurnalistik yang berlaku bagi seluruh
wartawan Indonesia adalah PWI.
Sesudah era reformasi, dan rezim Orde Baru yang menerapkan
kebijakan penyeragaman berubah, sehingga lahiriah UU No. 40
Tahun 1999 tentang Pers yang membebaskan wartawan untuk
memilih organisasinya sendiri. Dengan undang-undang ini,
muncullah banyak organisasi wartawan baru, sehingga Kode Etik
Jurnalistik yang diberlakukan pun menjadi banyak pula. Inilah
yang mendorong, sehingga pada tanggal 6 Agustus 1999,
sebanyak 25 organisasi wartawan di Bandung melahirkan Kode
Etik Wartawan Indonesia (KEWI), yang disahkan oleh Dewan
Pers pada 20 Juni 2000. Kemudian pada 14 Maret 2006,
sebanyak 29 organisasi pers membuat Kode Etik jurnalistik baru,
yang disahkan oleh Dewan Pers pada tanggal 24 Maret 2006.
Ke-29 organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers
Indonesia itu adalah:
1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI);
2. Aliansi Wartawan Independen (AWI);
3. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI);
4. Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI);
1. Asosiasi Wartawan Kota (AWK);
5. Federasi Serikat Pewarta;
6. Gabungan Wartawan Indonesia (GWI);
2. Himpunan Penulis dan Wartawan Indonesia (HIPWI);
9. Himpunan Insan Pers Seluruh Indonesia (HIPSI);
10. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI);
11. Ikatan Jurnalis Penegak Harkat dan Martabat Bangsa
(IJAB HAMBA);
12. Ikatan Pers dan Penulis Indonesia (IPPI);
9. Kesatuan Wartawan Demokrasi Indonesia (KEWADI);
10. Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI);
11. Komite Wartawan Indonesia (KWI);
16. Komite Nasional Wartawan Indonesia (KOMNAS-WI);
17. Komite Wartawan Pelacak Profesional Indonesia
(KOWAPPI);
18. Korps Wartawan Republik Indonesia (KOWRI);
19. Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI);
20. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI);
19. Persatuan Wartawan Pelacak Indonesia (PEWARPI);
20. Persatuan Wartawan Reaksi Cepat Pelacak Kasus
(PWRCPK);
21. Persatuan Wartawan Independen Reformasi Indonesia
(PWIRI);
22. Perkumpulan Jurnalis Nasrani Indonesia (PJNI);
23. Persatuan Wartawan Nasional Indonesia (PWNI);
24. Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat;
21. Serikat Pers Reformasi Nasional (SEPERNAS);
25. Serikat Wartawan Indonesia (SWT);
22. Serikat Wartawan Independen Indonesia (SWII).
Kode Etik Jurnalistik ini mempunyai kedudukan yang sangat
vital bagi wartawan. Bahkan, dibandingkan dengan peraturan
perundang-undangan yang memiliki sanksi fisik sekalipun, Kode
Etik Jurnalistik ini dinilai kedudukan yang lebih istimewa bagi
wartawan. Menurut Dr. Alwi Dahlan, misalnya, Kode Etik
Jurnalistik yang sangat penting bagi kalangan wartawan ini
mempunyai lima fungsi, yaitu:
1. melindungi keberadaan seseorang profesional dalam
berkiprah di bidangnya;
2. melindungi masyarakat dari malpraktik oleh praktisi
yang kurang profesional;
3. mendorong persaingan sehat antar praktisi;
4. mencegah kecurangan antar rekan profesi;
5. mencegah manipulasi informasi oleh narasumber.
Kode Etik Jurnalistik pada pokoknya memuat 4 asas, yaitu
sebagai berikut.
1. Asas Demokratis
Demokratis berarti berita harus disiarkan secara berimbang dan
independen, selain itu, Pers wajib melayani hak jawab dan hak
koreksi, dan pers harus mengutamakan kepentingan publik. Asas
demokratis ini juga tercermin dari Pasal 11 yang mengharuskan
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara
proporsional, sebab dengan adanya hak jawab dan hak koreksi
ini, pers tidak boleh menzalimi pihak manapun. Semua pihak
yang terlibat harus diberikan kesempatan untuk menyatakan
pandangan dan pendapatnya, tentu secara proporsional.
2. Asas Profesionalitas
Secara sederhana, pengertian asas ini adalah wartawan
Indonesia harus menguasai profesinya, baik dari segi teknis
maupun filosofinya, misalnya Pers harus membuat, menyiarkan,
dan menghasilkan berita yang akurat dan faktual. Dengan
demikian, wartawan indonesia terampil secara teknis, bersikap
sesuai norma yang berlaku, dan paham terhadap nilai-nilai
filosofi profesinya. Hal lain yang ditekankan kepada wartawan
dan pers dalam asas ini adalah harus menunjukkan identitas
kepada narasumber, dilarang melakukan plagiat, tidak
mencampurkan fakta dan opini, menguji informasi yang didapat,
menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan
off the record, serta pers harus segera mencabut, meralat dan
memperbaiki berita yang tidak akurat dengan permohonan maaf.
3. Asas Moralitas
Sebagai sebuah lembaga, media massa atau pers dapat
memberikan dampak sosial yang sangat luas terhadap tata nilai,
kehidupan, dan penghidupan masyarakat luas yang
mengandalkan kepercayaan. Kode Etik Jurnalistik menyadari
pentingnya sebuah moral dalam menjalankan kegiatan profesi
wartawan. Untuk itu, wartawan yang tidak dilandasi oleh
moralitas tinggi, secara langsung sudah melanggar asas Kode
Etik jurnalistik. Hal-hal yang berkaitan dengan asas moralitas
antara lain Wartawan tidak menerima suap, Wartawan tidak
menyalahgunakan profesi, tidak merendahkan orang miskin dan
orang cacat (Jiwa maupun fisik), tidak menulis dan menyiarkan
berita berdasarkan diskriminasi SARA dan gender, tidak
menyebut identitas korban kesusilaan, tidak menyebut identitas
korban dan pelaku kejahatan anak-anak, dan segera meminta
maaf terhadap pembuatan dan penyiaran berita yang tidak
akurat atau keliru.
4. Asas Supremasi Hukum
Dalam hal ini, wartawan bukanlah profesi yang kebal dari hukum
yang berlaku. Untuk itu, wartawan dituntut untuk patuh dan
tunduk kepada hukum yang berlaku. Dalam memberitakan
sesuatu wartawan juga diwajibkan menghormati asas praduga
tak bersalah.
Dalam Pembukaan Kode Etik Jurnalistik ini dinyatakan bahwa:
“Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak
asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.
Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk
memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi
kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan
manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan
Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung
jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma
agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan
peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu
pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh
masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi
hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan
Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai
pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan
menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu,
wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik
Jurnalistik”.
Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik menegaskan bahwa wartawan
Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang
akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Artinya: (i) dengan
sikap independen itu, wartawan Indonesia hanya akan
memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati
nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak
lain termasuk pemilik perusahaan pers; (ii) fakta atau peristiwa
itu diberitakan secara akurat dalam arti dapat dipercaya benar
sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi; (iii)
pemberitaan telah dilakukan berimbang dalam arti semua pihak
telah mendapat kesempatan yang setara; dan (iv) pemberitaan
dilakukan tidak disertai oleh itikad buruk, tidak terdapat niat
untuk secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan
kerugian pihak lain.
Pasal 2 menyatakan pula bahwa wartawan Indonesia menempuh
cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas
jurnalistik. Cara-cara yang dianggap profesional adalah: (i)
menunjukkan identitas diri kepada narasumber; (ii)
menghormati hak privasi; (iii) tidak menyuap; (iv) menghasilkan
berita yang faktual dan jelas sumbernya; (v) rekayasa
pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara
dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan
secara berimbang; (vi) meng-hormati pengalaman traumatik
narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;(vii) tidak
melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan
wartawan lain sebagai karya sendiri; (v) penggunaan cara-cara
tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita
investigasi bagi kepentingan publik.
Sementara itu, Pasal 3 menyatakan bahwa wartawan Indonesia
selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak
mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta
menerapkan asas praduga tak bersalah, (i) Menguji informasi
berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran
informasi itu; (ii) Berimbang adalah memberikan ruang atau
waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara
proporsional; (iii) Opini yang menghakimi adalah pendapat
pribadi wartawan yang berbeda dengan opini interpretatif, yaitu
pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta; dan (iv)
Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi
seseorang.
Pasal 4 Kode Etik juga menegaskan bahwa wartawan Indonesia
tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul, (i) Bohong
berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan
sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi; (ii)
Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara
sengaja dengan niat buruk; (iii) Sadis berarti kejam dan tidak
mengenal belas kasihan; (iv) Cabul berarti penggambaran
tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, gratis atau
tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi;
dan (v) Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan
mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara. Selain itu,
pada Pasal 5 dinyatakan pula bahwa wartawan Indonesia tidak
boleh menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan
susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi
pelaku kejahatan. Identitas adalah semua data dan informasi
yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain
untuk melacak; Demikian pula anak-anak yang berusia kurang
dari 16 tahun dan belum menikah harus dijaga kerahasiaan
identitasnya.
Demikian pula terkait dengan praktik suap-menyuap, Pasal 6
Kode Etik dengan tegas melarang. Wartawan Indonesia tidak
boleh menyalah-gunakan profesi dan tidak boleh menerima
suap. Adapun yang dimaksud dengan menyalahgunakan profesi
adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas
informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi
tersebut menjadi pengetahuan umum. Sedangkan yang dimaksud
dengan suap tidak lain adalah segala pemberian dalam bentuk
uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi
independensi. Dalam Pasal 7 juga diatur bahwa wartawan
Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber
yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya,
menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off
the record sesuai dengan kesepakatan. Adapun yang dimaksud
dengan (i) Hak tolak adalah hak untuk tidak mengungkapkan
identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan
narasumber dan keluarganya; (ii) Embargo adalah penundaan
pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan
narasumber; (iii) Informasi latar belakang adalah segala
informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau
diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya; dan (iv) Off the
record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang
tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita
berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang
atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis
kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang
lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani (Pasal 8).
Adapun yang dimaksud dengan prasangka adalah anggapan yang
kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
Sedangkan yang dimaksud dengan diskriminasi adalah
pembedaan perlakuan (unequal treatment). Juga diatur dalam
Pasal 9 bahwa wartawan Indonesia harus menghormati hak
narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk
kepentingan publik. Menghormati hak narasumber adalah sikap
menahan diri dan berhati-hati. Sedangkan yang dimaksud
dengan kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan
seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan
kepentingan publik. Dalam Pasal 10 ditentukan bahwa wartawan
Indonesia harus segera mencabut, meralat, dan memperbaiki
berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan
maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Segera
berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada
maupun tidak ada teguran dari pihak luar. Sedangkan
permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan
substansi pokok.
Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik menyatakan bahwa wartawan
Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara
proporsional. Adapun yang dimaksud dengan hak jawab adalah
hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan
tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta
yang merugikan nama baiknya. Sedangkan yang dimaksud hak
koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan
informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya
maupun tentang orang lain. Sementara itu, yang dimaksud
dengan proporsional berarti setara dengan bagian berita yang
perlu diperbaiki. Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik
jurnalistik dilakukan oleh Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran
kode etik jurnalistik oleh wartawan diberikan oleh organisasi
wartawan dan atau perusahaan pers masing-masing.
I. Kode Etik Kehumasan
Sejarah Kode Etik Kehumasan di Indonesia berkaitan dengan
sejarah berdirinya Asosiasi Public Relations Internasional
(IPRA). Organisasi Internasional ini pada mulanya dicetuskan di
Belanda pada bulan Maret 1950 oleh para praktisi Public
Relation (PR) atau Humas (Hubungan Masyarakat) dari berbagai
negara, seperti Inggris, Belanda, Prancis, Norwegia, dan Amerika
Serikat yang menghadiri acara The Royal Netherlands
Internasional Trade Fair, 1950. Pada tanggal 1 Mei 1955,
organisasi profesi International Public Relations Association
(IPRA) berdiri secara resmi, dan dalam sidang umum di Venice
pada bulan Mei 1961, 4 kode perilaku utama berhasil disahkan
yang sekaligus berfungsi sebagai standar atau piagam moral bagi
perilaku profesional kehumasan. Keempat perilaku pokok
tersebut meliputi: (a) integritas pribadi dan profesionalisme, (b)
perilaku terhadap klien dan majikan, (c) perilaku terhadap
media dan umum, dan (d) perilaku terhadap rekan seprofesi.
Kode Etik IPRA ini sudah beberapa kali mengalami perubahan,
yaitu dalam Sidang Umum di Athena 12 Mei 1965, dan terakhir
dalam konvensi di Teheran, pada tanggal 17 April 1968. Pada
bulan November 1991, di Nairobi, IPRA menetapkan pula kode
etik kehumasan khusus yang berkaitan dengan lingkungan hidup
dan pembangunan, yaitu “IPRA Nairobi Code for Communication
in Environment and Development”.
Kode etik kehumasan organisasi profesi humas Internasional
tersebut juga dijadikan rujukan oleh organisasi kehumasan di
Indonesia. Organisasi kehumasan di Indonesia mulai berdiri
pada tahun 1980-an. Unit kerja kehumasan pertama yang
didirikan adalah di lingkungan perusahaan PERTAMINA yang
pada mulanya dilembagakan sebagai unit kerja tersendiri
dengan nama Divisi Hubungan Pemerintah dan Masyarakat
(HUPMAS) Pertamina. Peranan divisi HUPMAS (Hubungan
Pemerintah dan Masyarakat) Pertamina ini sangat penting dalam
upaya menjalin hubungan komunikasi timbal balik antara
Pertamina dengan pihak klien, relasi bisnis, perusahaan swasta
atau BUMN atau Asing dan masyarakat. Pada tahun 1954, di
lingkungan Kepolisian juga diadakan unit HUMAS yang juga
tersendiri. Setelah itu, pelbagai instansi pemerintah dan
perusahaan swasta mulai menganggap penting adanya fungsi
kehumasan ini sehingga semakin banyak yang mengadakan unit
kerja yang khusus untuk menangani urusan kehumasan ini.
Bahkan, pada tahun 1962, Perdana Menteri Juanda
menginstruksikan agar setiap instansi pemerintah harus
membentuk bagian/divisi HUMAS dengan tugas ikut serta dalam
proses pembuatan keputusan oleh pimpinan hingga
pelaksanaannya, dan aktif memberikan informasi, motivasi,
pelaksanaan komunikasi timbal balik dua arah supaya tercipta
citra atas lembaga atau institusi yang diwakilinya. Pada tahun
1967, untuk koordinasi kehumasan antar departemen dan
lembaga dibentuk badan koordinasi (Bakor) yang kemudian
diubah menjadi Bako Humas (Badan Koordinasi Kehumasan
Pemerintah) dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan No.
31/Kep/Menpen/Tahun 1971 sebagai institusi formal di
lingkungan Departemen Penerangan. Setelah itu, baru dibentuk
organisasi profesi kehumasan, yaitu pada tanggal 15 Desember
1972 dengan nama Perhimpunan Hubungan Masyarakat
Indonesia (PERHUMAS) yang kemudian tercatat menjadi
anggota International Public Relations Association (IPRA) dan
ASEAN Public Relations Organization (FAPRO). Organisasi inilah
yang mengadakan Konvensi Nasional HUMAS di Bandung akhir
tahun 1993 yang berhasil mengesahkan Kode Etik Kehumasan
Indonesia (KEKI).
Profesi kehumasan di Indonesia terus berkembang sehingga
pada tanggal 10 April 1987, terbentuk lagi satu wadah asosiasi
perusahaan-perusahaan kehumasan yang disebut Asosiasi
Perusahaan Public Relations (APPRI) dimana yang berhimpun di
sini adalah perusahaan-perusahaan publik relations, seperti
konsultan jasa kehumasan, dan lain-lain. Sesudah itu, terbentuk
pula pelbagai perhimpunan profesi kehumasan yang lebih
spesifik di kalangan swasta, seperti di bidang humas perhotelan,
humas perbankan dan lembaga keuangan lainnya. Bahkan, pada
tanggal 11 November 2003, berdiri pula PRSI (Public Relations
Society of Indonesia) di Jakarta yang menyerupai PRSA (Public
Relations Society of Amerika). PRSA ini merupakan organisasi
profesional yang bergengsi dan berpengaruh serta diberi
wewenang memberikan sertifikasi akreditasi Public Relations
Profesional (APR) di Amerika Serikat yang diakui secara
internasional.
Khusus mengenai Kode Etik Humas di lembaga-lembaga
pemerin-tahan, yang dijadikan acuan adalah Keputusan Menteri
Komunikasi dan Informatika No. 371/KEP/M.KOMINFO/8/2007
tanggal 28 Agustus 2007. Rujukannya adalah Kode Etik
International Public Relations Association (IPRA) yang tersebut
di atas. Isi kode etik IPRA tersebut berfungsi menjadi semacam
‘Piagam Moral’ yang simpel, mudah diratifikasi atau diadopsi ke
dalam kode etik Humas atau Public Relations di masing-masing
negara anggota IPRA sebagai pedoman atau rambu-rambu dalam
mengembangkan etika profesional di bidang kehumasan.
Piagam moral kehumasan tersebut mencakup rambu-rambu bagi
PRO (Public Relations Officers) by profession ataupun by
function. Acuan pertama ditujukan untuk subyek atau orang
yang berprofesi atau penyandang jabatan profesional Humas
atau Public Relations yang diharuskan memiliki integritas
pribadi dan tanggung jawab profesional. Sedangkan yang kedua,
yaitu Public Relations by Function ditujukan pada proses
kehumasan sebagai lembaga dalam berbagai proses
pengambilan keputusan, tanggung jawab sosial, kegiatan
komunikasi, publikasi, promosi, dan lain-lain untuk menciptakan,
menjaga citra positif melalui pembinaan hubungan dan kemauan
baik dengan konsumen dan semua pemangku kepentingan
lainnya.
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR BERPENGARUH DALAM PENEGAKAN ETIKA
DAN KEHORRMATAN PENYELENGGARA NEGARA

Etika penyelenggara yang bersih memiliki kedudukan dan


peranan yang penting sebagai pedoman berperilaku untuk
mewujudkan integritas dalam menjalankan tugasnya dan
wewenangnya.297 Terjadinya korupsi tidak hanya disebabkan
oleh besarnya kewenangan yang dimiliki, namun juga karena
tidak berintegritas sehingga terjadi pelanggaran etika pejabat
negara.298 Dengan menggunakan analisis penelitian kualitatif
serta pendekatan literatur tentang pelanggaran hukum yang
berawal dari pelanggaran etika pejabat negara melalui studi
kasus Korupsi yang sedang ditangani KPK, betapa pelanggaran
etika pejabat negara terjadi mulai dari eksekutif dan legislatif.299
Pelanggaran etika pejabat negara tersebut terjadi karena adanya
pergulatan kepentingan dalam rangka pencarian sumber dana
untuk pemenangan kandidat calon ketua umum partai politik.300
Dalam melakukan tindak pidana korupsi, selain melibatkan
eksekutif dan legislatif, juga melibatkan pihak swasta. Celah
hukum penyusunan APBN dimanfaatkan untuk menaikkan nilai
proyek Hambalang sehingga diperoleh anggaran dan keuntungan
yang besar, dan dana yang dikorupsi juga semakin besar.301 Studi
kasus tersebut menunjukkan adanya pelanggaran etika pejabat
negara berupa perilaku tidak jujur, memanipulasi data dan tidak

297 M. Nasir Djamil; TB Massa Djafar. 2016. Etika Publik Pejabat


Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih. Politik :
Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan vol 12 no 1,
Universitas Nasional. hlm 1757-1768. hal 1757.
298 Ibid
299 Ibid
300 Ibid
301 Ibid
transparan agar proyek Hambalang dapat disetujui.302
Pelanggaran etika tersebut diiringi pelanggaran hukum yang
berimplikasi pada penurunan kepercayaan publik terhadap
upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, khususnya bagi
para pejabat yang berasal dari partai politik.303
Menganalisis berbagai faktor yang mempengaruhi penegakan
kode etik dan kehormatan penyelenggara negara didasarkan
pada hipotesis bahwa faktor yang mempengaruhi adalah
substansi hukum/perangkat hukum, aparatur penegak hukum,
sarana prasarana hukum, masyarakat dan budaya.
1. Substansi Hukum
Hasil penelitian tentang tingkat pendidikan penyelenggara
negara yang dijadikan responden menunjukkan bahwa dari 100
responden anggota yang terdiri dari angora DPR-RI, Anggota
Polri, PNS dan Pejabat Pengadilan serta Tokoh Masyarakat
bahwa ada 31 % tamat SMU, 57 % berpendidikan S2, ada 10 %
berpendidikan S1, dan ada 1 % S.3. sebagaimana terlihat pada
diagram berikut:

Diagram 1. Latar Belakang Pendidikan Responden

Sumber: Data Primer diolah 2017


Penegakan etika telah menjadi suatu keniscayaan karena bangsa
Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan telah memilih
demokrasi konstitusional sebagai sistem politik negara, maka
konsekuensinya semua tatanan bernegara, berpemerintahan
serta bermasyarakat juga harus mencerminkan karakteristik
demokrasi yang berintegritas dan beretika. Faktor-faktor
berpengaruh dalam penegakan etika menganalisis etika pejabat
atau penyelenggara negara konsisten dengan landasan teori

302 Ibid
303 Ibid
negara hukum, dengan konsep negara hukum, hendaknya hukum
dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang
di dalamnya terdapat (a), elemen kaidah hukum (elemen
instrumental); (b). elemen kelembagaan (elemen institutional);
dan (c). elemen prilaku para subyek hukum yang menyandang
hak dan kewajiban atau wewenang yang ditentukan oleh norma
hukum (elemen subyektif dan cultural).
Pemahaman penyelenggara negara terhadap penegakan etika
dalam penelitian ini memperlihatkan pemahaman/pengetahuan
yang berbeda yang dapat dilihat pada diagram berikut ini:

Diagram 2. Pengetahuan dan pemahaman responden


Tentang Etika

Sumber: Data Primer diolah 2017


Dari diagram tersebut, memperlihatkan bahwa meskipun tingkat
pengetahuan dan pemahaman responden terhadap penegakan
etika yakni 75 % mengetahui dan 25 % cukup mengetahui. Hal
ini dapat dipahami karena subtansi yang mengatur tentang etika
penjabat atau penyelenggara negara memerlukan tingkat
kecerdasan untuk memahaminya.
Diagram 3. Hubungan Penegakan Etika dengan Pencegahan
Korupsi

Sumber: Data Primer diolah 2017


Pendapat responden sebanyak 23 % menyatakan mengetahui
bahwa penegakan etika penyelenggara negara dapat mencegah
korupsi, dan 77 % menyatakan tidak mengetahui mencegah
korupsi.
Berkenaan dengan integritas penyelenggara negara responden
memberikan pendapatnya bahwa mereka memiliki integritas
dengan skor 57 % memadai, 23 % sangat memadai dan 20 %
cukup memadai, seperti terlihat pada diagram berikut ini:
Diagram 4. Integritas Pejabat atau Penyelenggara Negara

Sumber: Data Primer diolah 2017


Hal ini menunjukkan adan ekspektasi dari pejabat penyelenggara
negara untuk penegakan kode etik dalam upaya mencegah
terjadinya korupsi. Disamping ini penegakan kode etik
bertujuan: mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang
menyimpang dari dasar yang telah ditentukan, terselenggaranya
pelaksanaan kegiatan secara efektif dan efisien, menentukan
kewenangan dan tanggung jawab berbagai instansi sehubungan
dengan tugas yang harus dilaksanakan.
2. Struktur Hukum
Aparatur negara yang terlibat dalam pelanggaran etika pejabat
publik yang populer adalah kasus Setya Novanto, yang
menggemparkan jagat politik Indonesia dengan menghadiri
Jumpa Pers Donald Trump, salah satu Calon Presiden dari Partai
Republik, America Serikat.304 Sebagai Ketua DPR RI yang sedang
bertugas di Amerika Serikat, entah apa alasan sebenarnya Setya
Novanto menyempatkan diri bersama salah seorang Wakil Ketua
DPR RI menemui Donald Trump.305 Bahkan ikut mengeluarkan
kalimat singkat dalam rangkaian publikasi (kampanye) sang
taipan Amerika menuju kursi nomor satu Negara Adi Daya itu.
Akhirnya, sang Ketua DPR RI menjadi pesakitan di MKD
(Mahkamah Kehormatan Dewan) dan dihadiahi teguran.
Pada tahun 2015, kembali Setya Novanto menghadirkan
kegemparan yang bahkan lebih mengguncang.306 Sekali ini,

304 http://www.satuharapan.com/read-detail/read/kasus-setya-
novanto-dan-disfungsi-etika-pejabat-publik
305 Ibid
306 Ibid
pertemuan dan salah satu rekaman percakapan sang Ketua DPR
RI benar-benar membuat banyak kalangan terperangah.307
Karena, sang Ketua DPR RI melakukan rangkaian pertemuan
dengan Petinggi PT. Freeport dalam sebuah negosiasi tidak resmi
seputar masa depan PT. Freeport di Indonesia.308 Konon,
pertemuan sudah pada fase ketiga dan melibatkan seorang
pengusaha perminyakan yang sangat terkenal di Indonesia.
Padahal, bukanlah tugas seorang Ketua DPR RI untuk sampai
repot-repot melakukan lobby yang menjadi area kewenangan
dan tugas eksekutif.309 Dalam hal ini, seorang Setya Novanto
benar-benar “super rajin” dalam membantu pihak eksekutif.
Pada pertemuan yang ketiga ternyata direkam oleh petinggi PT.
Freeport, dan termasuk di rekaman tersebut pencatutan nama
Presiden dan Wakil Presiden untuk mendapat besaran saham
masing-masing 11% dan 9%.310 Jelas ini bukan masalah sepele.
Meski Presiden Jokowi memilih untuk menyerahkan persoalan
tersebut ke MKD DPR RI, tetapi jelas pencatutan tersebut
teramat tidak menyenangkan.311 Apalagi karena dilakukan oleh
Pejabat Tinggi Negara yang jika memang benar demikian,
menunjukkan betapa miskin etikanya yang bersangkutan.
Peristiwa pencatutan ini kembali menghentakkan publik dan
menunjukkan bahwa tidak sedikit pihak yang berjibaku dan
melakukan lobby-lobby bawah tanah untuk urusan PT. Freeport
dalam hal perpanjangan kontraknya.312 Meski sebenarnya
banyak pihak tersebut tidak berkepentingan secara langsung,
namun yang pasti bahwa peristiwa ini menggambarkan

307 Ibid
308 Ibid
309 Ibid
310 Ibid
311 Ibid
312 Ibid
bagaimana kelompok elite Negeri ini merampok hak-hak rakyat
melalui tindakan abuse of power.313 Sangat beralasan dan
terlampau sering terbuktikan kalimat Lord Acton itu, bahwa
kekuasaan cenderung korup, power tends to corrupt.314 Jika
benar terbukti rekaman tersebut yang dikomentari Kapolri tidak
perlu diperiksa lagi, maka betapa fakta ini akan lebih
menggegerkan lagi.
Dua skandal dalam rentang waktu yang tidak lama sudah cukup
menunjukkan bahwa Setya Novanto memang tidak dalam
kapasitas memadai untuk menjadi Ketua DPR RI.315 Skandal
sebelumnya pun, sebetulnya sudah teramat membebani citra
DPR secara kelembagaan.316 Minus etika dalam mengemban
jabatan sepenting Ketua DPR RI, sekaligus menjadi Ketua
Lembaga Tinggi Negara, merupakan fakta yang sangat
memalukan.317 Keputusan memberikan teguran dalam skandal
pertama sudah membuktikan ada sesuatu yang dilanggar oleh
Setya Novanto, dan pelanggaran itu adalah pelanggaran etika.318
Akan sangat mengherankan jika rakyat Indonesia tidak merasa
malu dengan fakta tersebut.319
Terlepas dari benar tidaknya Setya Novanto mencatut nama
Presiden dan Wakil Presiden, jika benar sudah terdapat
pengakuan bahwa memang terjadi pertemuan dengan pejabat
PT. Freeport, maka sudah terjadi Pelanggaran Etika.320 Untuk apa
dan dalam keperluan apa seorang Ketua DPR RI bertemu bahkan
hingga tiga kali dengan seorang pejabat PT. Freeport di tengah

313 Ibid
314 Ibid
315 Ibid
316 Ibid
317 Ibid
318 Ibid
319 Ibid
320 Ibid
gonjang-ganjing perpanjangan kontrak mereka? Apakah dengan
gratis dan sekadar niat baik seorang Ketua DPR RI menemani
seorang pengusaha bertemu seorang petinggi PT. Freeport?321
Apalagi jika kemudian ternyata memang benar bahwa terjadi
pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden..322 Maka makin
lengkaplah bukan hanya kegaduhan, tetapi skandal hitam abuse
of power yang dimainkan langsung oleh Ketua Lembaga Tinggi
Negara.323 Tetapi meskipun beberapa fakta awal sudah cukup
diketahui publik, tidaklah berarti bahwa pelanggaran etika
tersebut akan diikuti dengan tindakan pengunduran diri dari
jabatan.324 Bahkan, sebaliknya, publikasi yang disodorkan ke
publik terasa seperti ingin mengubah wajah pelanggar menjadi
korban.325 Konon Setya Novanto sangat mungkin adalah korban
sebuah konspirasi politik ala operasi intelijen.326 Lihat, pada
awalnya seorang Setya Novanto dalam posisi sangat kesulitan
untuk memberikan sanggahan dalam 2, 3 hal merebaknya kasus
tersebut.327 Tetapi, ketika perlahan-lahan kolega yang
bersangkutan berbicara, pasang badan dan membela, dan
terakhir Koalisi Merah Putih juga mendukung, maka sanggahan
dan drama kasus tersebut mulai meliuk-liuk.328 Bahkan bukan
tidak mungkin Setya Novanto hanya akan kembali menerima
teguran, karena bukankah tidak ada hukuman pidana selain
hukuman moral untuk sebuah tindakan pelanggaran etika?329

321 Ibid
322 Ibid
323 Ibid
324 Ibid
325 Ibid
326 Ibid
327 Ibid
328 Ibid
329 Ibid
Harus diakui, masalah etika di kalangan pejabat memang adalah
masalah besar bagi Bangsa kita dewasa ini.330 Berbeda dengan
Jepang yang langsung memilih berhenti jika ketahuan melakukan
tindakan pelanggaran, maka di Indonesia terlampau jarang
pejabat yang mau melakukannya.331 Tetapi repotnya, memang
pelanggaran etika nyaris tidak ada hukumannya di Indonesia.
Contoh yang paling jelas dan selalu terpampang di media
elektronik adalah lebih banyaknya kursi kosong saat Sidang
Paripurna DPR RI meski dalam daftar hadir justru tercatat 75%
hadir.332 Selain itu, mudah kita menemukan anggota DPR yang
mengantuk dan bahkan ketiduran ketika Sidang-Sidang sedang
berlangsung. Semua terjadi dan berlangsung tanpa hukuman.
Karena itu, bukan masalah yang mengagetkan lagi jika kemudian
secara perlahan masalah yang dihadapi oleh Setya Novanto akan
dingin dengan sendirinya.333 Maka, yang akan diikuti ke depan
adalah bukti bahwa di tingkat pejabat tinggi dan pejabat publik
terjadi disfungsi etika.334 Karena itu, teringat dengan puisi the
death of common sense, salah satu petikannya sangat menarik:
Today we mourn the passing of a beloved old friend, common
sense, who has been with us for many years Not many attended his
funeral because so few realized he was gone. (Hari ini kami
berduka atas kematian sahabat lama kami, akal sehat, yang
sudah hidup bersama kami sekian tahun lamanya.335
Etika Profesi merupakan pedoman seseorang dalam
menjalankan tugas Profesinya. Seseorang yang berkerja harus
patuh pada semua etika Profesinya masing-masing. Contoh etika

330 Ibid
331 Ibid
332 Ibid
333 Ibid
334 Ibid
335 Ibid
Profesi seperti Etika Profesi Akuntan, Pengacara (Advokat),
Kedokteran, Jurnalistik dll. Walau Etika Profesi digunakan
sebagai pedoman untuk bersikap dalam profesinya masing-
masing, masih banyak pihak yang melakukan pelanggaran.
Olehnya itu, akan dibahas salah satu contoh kasus pelanggaran
terhadap Etika Profesi Advokat.
KPK resmi menetapkan pengacara kondang Otto Cornelius
Kaligis sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan dan
pemberian suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Medan, Sumatera Utara.336 Penetapan tersangka itu setelah
adanya hasil gelar perkara dilakukan penyidik.337 “Disimpulkan
dari hasil gelar perkara, ditemukan 2 alat bukti permulaan yang
cukup, ada dugaan tipikor yang diduga dilakukan oleh OCK” (O.C.
Kaligis), kata Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Johan Budi SP di
gedung KPK, Jakarta, Selasa (14/7/2015).338 O.C. Kaligis
dikenakan Pasal 6 ayat 1 a Pasal 5 a dan b atau Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 ke-
1 KUHP.339 Bersama sejumlah penyidik, O.C. Kaligis mendatangi
Gedung KPK sekitar pukul 15.50 WIB. Dengan menumpang mobil
Toyota Kijang Innova hitam, O.C. Kaligis hanya melempar
senyum tanpa memberi sepatah dua kata terkait kedatangannya.
la langsung masuk ke dalam gedung KPK.340 KPK saat ini tengah
mendalami dugaan keterlibatan Gubernur Sumatera Utara Gatot
Pujo Nugroho dan pengacara kondang O.C. Kaligis dalam kasus

336 https://www.liputan6.com/news/read/2273108/kpk-ada-2-
alat-bukti-jadikan-oc-kaligis-tersangka-suap-hakim
337 Ibid
338 Ibid
339 Ibid
340 Ibid
dugaan penerimaan dan pemberian suap kepada hakim PTUN
Medan.341 Apalagi, keduanya juga sudah diagendakan diperiksa
sebagai saksi oleh penyidik.342 Gatot dan O.C. Kaligis diperiksa
untuk melengkapi berkas pemeriksaan tersangka M. Yagari
Bhastara alias Gerri, yang merupakan anak buah O.C. Kaligis.343
Kasus pemberian dan penerimaan suap hakim PTUN Medan ini
terungkap berkat hasil operasi tangkap tangan (OTT) yang
dilakukan KPK di Sumatera Utara, Kamis 9 Juli 2015 malam.
Dalam OTT itu, KPK menangkap tangan 5 orang. Mereka adalah
Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro bersama 2 koleganya
sesama hakim PTUN, Amir Fauzi dan Dermawan Ginting,
panitera pengganti PTUN Syamsir Yusfan, serta seorang
pengacara dari kantor O.C. Kaligis & Associates M. Yagari
Bhastara alias Gerry.344 Kurang dari 24 jam kemudian, usai
pemeriksaan secara intensif, KPK akhirnya resmi menetapkan
kelimanya sebagai tersangka. Gerry diduga sebagai pemberi
suap, sedangkan Tripeni, Amir, Dermawan, dan Syamsir
ditengarai selaku penerima suap.345 PT National Sago Prima
(NSP) yang merupakan anak perusahaan PT Sampoerna Agro,
Tbk. telah menyampaikan pledoi. Uang U$ 15 ribu dan S$ 5 ribu
turut diamankan dalam OTT itu dan dijadikan sebagai barang
bukti transaksi dugaan suap yang diberikan Gerry kepada
keempat aparat penegak hukum tersebut. Dalam
perkembangannya, uang itu diduga diberikan untuk
memuluskan putusan gugatan Pemprov Sumut yang ditangani
PTUN Medan.346

341 Ibid
342 Ibid
343 Ibid
344 Ibid
345 Ibid
346 Ibid
Gugatan ke PTUN itu dilayangkan Kepala Biro Keuangan
Pemprov Sumut, Ahmad Fuad Lubis, yang notabene adalah anak
buah Gubernur Gatot Pujo Nugroho, kepada Kejaksaan Agung
terkait kasus dana Bansos dan Bantuan Dana Bawahan. Pemprov
Sumut menyewa O.C. Kaligis & Associates untuk menangani
gugatan tersebut.347 Oleh KPK, selaku pihak pemberi, Gerry
disangka dengan Pasal 6 ayat 1 huruf a dan Pasal 5 ayat 1 huruf a
atau b dan atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
juncto Pasal 64 ayat 1 dan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.348
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, Tripeni Irianto
Putro yang diduga sebagai pihak penerima suap dijerat dengan
Pasal 12 huruf a atau huruf b atau huruf c atau Pasal 6 ayat 2
atau Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat 1
dan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.349 Untuk dua orang Hakim
lainnya yakni hakim Amir Fauzi dan hakim Dermawan Ginting
juga diduga sebagai pihak penerima dijerat dengan Pasal 12
huruf a atau huruf b atau huruf c atau Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 5
ayat 2 atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan panitera pengganti PTUN Medan, Syamsir Yusfan
yang turut disangka sebagai pihak penerima dikenakan Pasal 12
huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor Pasal 64 ayat 1 jo Pasal
55 ayat 1 ke-1 KUHP.350
Analisis kualitatif memperlihatkan bahwa Korupsi atau
penyogokan merupakan hal yang sangat tidak baik.351 Tidak

347 Ibid
348 Ibid
349 Ibid
350 Ibid
351 http://aldisyalfaniaroon.blogspot.com/2017/11/contoh-

kasus-pelanggaran-kode-etik.html
hanya dapat merugikan diri sendiri namun juga dapat merugikan
banyak pihak.352 Korupsi merupakan salah satu jenis
pelanggaran hukum yang berat.353 Namun dalam realitanya
penegakan hukum bagi para koruptor dan atau pengoyok masih
ringan.354 Hal ini tidak dapat menjadikan efek jera bagi para
pelakunya. Semakin banyak kasus korupsi atau penyogokan yang
terjadi maka semakin mencerminkan moral bangsa yang sangat
rapuh dan mudah hancur.355 Dalam kasus di atas menyeret
seorang pengacara kondang yaitu O.C Kaligis.356 Sebagai seorang
advokat profesional tidak seharusnya melakukan tindakan
seperti kasus di atas.357 Pada dasarnya bahwa setiap advokat
harus profesional dalam melakukan pekerjaanya. Setiap advokat
dituntut untuk selalu melihat sebuah masalah dengan sebenar-
benarnya tanpa mengambil jalan pintas sebagai penyelesaian
untuk setiap kasus yang ditanganinya.358 Setiap advokat harus
patuh pada etika profesi yang berlaku. Berikut adalah
pelanggaran etika profesi advokat untuk kasus di atas, antara
lain:359 Pasal 3 huruf b yaitu “Advokat dalam melakukan
tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh
imbalan mated tetapi lebih mengutamakan tegaknya Hukum,
Kebenaran dan Keadilan.” Pasal 4 huruf a yaitu,” Advokat dalam
perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian
dengan jalan damai.” Pasal 4 huruf c,” Advokat tidak dibenarkan
menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya

352 Ibid
353 Ibid
354 Ibid
355 Ibid
356 Ibid
357 Ibid
358 Ibid
359 Ibid
akan menang.” Pasal 9 huruf a,” Setiap Advokat wajib tunduk dan
mematuhi Kode Etik Advokat ini.”
Berikut ini diuraikan tentang penegakan etika profesi hakim
yang merupakan salah satu persyaratan mutlak dalam sebuah
negara yang berdasarkan hukum adalah pengadilan yang
mandiri, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang
mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum,
kepastian hukum dan keadilan.360 Hanya pengadilan yang
memiliki semua kriteria tersebut yang dapat menjamin
pemenuhan hak asasi manusia.361 Sebagai aktor utama lembaga
peradilan, posisi, dan peran hakim menjadi sangat penting,
terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya.362 Melalui
putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan
seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan
tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah dap
masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak
hidup seseorang.363 Oleh sebab itu, semua kewenangan yang
dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka
menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang
bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam
lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama
kedudukannya di depan hukum dan hakim.364 Kewenangan
hakim yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang
tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan
irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan hukum,
kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggung-jawabkan

360 Ibid
361 Ibid
362 Ibid
363 Ibid
364 Ibid
secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal
dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.365
Seperti kita ketahui bahwa setiap profesi termasuk hakim
menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan
struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan
menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan
pedoman para profesional untuk menyelesaikan dilema etika
yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembanan profesinya
sehari-hari.366 Sistem etika bagi profesional dirumuskan secara
konkret dalam suatu kode etik profesi. Tujuan kode etik ini
adalah menjunjung tinggi martabat profesi atau seperangkat
kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam
mengemban suatu profesi.367 Keberadaan suatu pedoman etika
dan perilaku hakim sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.368 Pedoman etika dan perilaku hakim
merupakan inti yang melekat pada profesi hakim, sebab ia
adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Oleh
karena itu, hakim dituntut untuk berintegritas dan professional,
serta menjunjung tinggi pedoman etika dan perilaku hakim.
Profesionalisme tanpa etika menjadikannya “bebas sayap”
(vluegel vrij) dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan.
Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh
sayap” (vluegellam) dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak.369
Penerapan kode etik profesi hakim yaitu bahwa telah terjadi
banyak sekali pelanggaran yang telah dilakukan oleh para hakim
di Indonesia, misalnya hakim disuap agar pihak yang salah tidak

365 Ibid
366 Ibid
367 Ibid
368 Ibid
369 Ibid
diberikan hukuman yang berat bahkan di bebas lepaskan dari
segala tuntutan.370 Hal ini jelas melanggar kode etik hakim yaitu
yang terdapat dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat (1) dimana Pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.371 Selain itu, hakim juga sering menggunakan jabatannya
tidak pada tempatnya, misalnya seorang hakim menggunakan
jabatannya untuk menguntungkan pribadinya karena orang
melihatnya sebagai seorang hakim.372 Ditambah lagi ketika
memanfaatkan jabatan tersebut banyak orang lain yang
dirugikan.373 Hal ini bertentangan dengan kode etik profesi yang
dihasilkan dalam Musyawarah Nasional XIII di Bandung yaitu
mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi,
bahkan sebenarnya, masih banyak lagi pelanggaran kode etik
yang dilakukan oleh hakim.374 Tetapi, memang publik kurang
mengetahuinya karena tidak begitu diangkat di ranah publik, dan
pemberian sanksinya pun belum begitu tegas terbukti masih
banyak terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim.
Pelanggaran kode etik hakim tersebut tentu sangat
mempengaruhi putusan hakim dalam sebuah pengadilan.375
Sering terdengar bahwa putusan hakim sangat sering tidak adil
sehingga dirasa sangat mengecewakan, misalnya saja kasus-
kasus ringan seperti pencurian kakao dan pencurian piring
diputus oleh hakim dengan hukuman yang sama dengan atau
bahkan lebih berat daripada kasus korupsi yang merugikan

370

http://jatuesthipurnaningrum.blogspot.com/2012/11/penegakan-
kode-etik-hakim-untuk.html
371 Ibid
372 Ibid
373 Ibid
374 Ibid
375 Ibid
keuangan negara sampai bermilyar-milyar.376 Hal tersebut jelas
terlihat bahwa putusan hakim-hakim di Indonesia sangat tidak
adil.377 Sampai-sampai terdapat opini publik bahwa hukum itu
seperti pisau yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas.378
Posisi hakim yang sangat sentral dan memiliki kekuasaan
membuat putusan itulah yang membuat hakim sering dilirik
untuk dijadikan seorang ‘mafia’.379 Belum lagi adanya modus
‘balik modal’ yang dilakukan oleh para hakim-hakim kita karena
dulunya ia diterima menjadi hakim dengan memberikan
sejumlah uang yang tidak sedikit sehingga hal tersebut jelas
mendorong hakim untuk gampang untuk menerima suap.
Sempat juga kita dengar bahwa hakim-hakim Indonesia
melakukan aksi demo menuntut kenaikan gaji hakim. Minimnya
gaji hakim juga dapat dijadikan suatu alasan untuk hakim mudah
menerima suap dari sana-sini.380 Sistem perekrutan hakim di
Indonesia pun juga belum didasarkan pada norma-norma
profesionalisme kemampuan pribadi hakim yang bersangkutan,
sehingga hal tersebut akan mempengaruhi kualitas seorang
hakim. Kesemua faktor itulah yang sangat mempengaruhi hakim
melakukan pelanggaran kode etiknya sehingga berdampak pada
ketidakadilan sebuah putusan yang dikeluarkannya.381 Orang
besar yang mempunyai harta melimpah akan menyuap sang
hakim dengan uang banyak sehingga sang hakim tersebut
memutus hukuman yang ringan kepadanya, namun sebaliknya
orang kecil atau rakyat jelata yang tidak mempunyai banyak

376 Ibid
377 Ibid
378 Ibid
379 Ibid
380 Ibid
381 Ibid
uang untuk menyuap sang hakim tentu akan dijatuhi putusan
dengan hukuman yang berat.382
Putusan-putusan yang dikeluarkan oleh hakim melalui ketokan
palunya tersebut tentu sangat mempengaruhi citra atau wibawa
suatu pengadilan.383 Suatu proses pengadilan dapat dikatakan
berwibawa tercermin dari putusan hukuman yang dikeluarkan
oleh hakim yang dirasa adil oleh semua pihak walaupun dalam
proses persidangan tersebut terdapat ketidakjujuran yang
dilakukan oleh terdakwa melalui kuasa hukumnya, polisi yang
melakukan penyelidikan dan penyidikan, jaksa, atau mafia kasus
lainnya selain hakim.384 Hal tersebut menunjukkan bahwa hakim
mempunyai posisi yang sangat penting untuk membangun dan
mewujudkan wibawa sebuah pengadilan. Seburuk apapun
proses persidangan di pengadilan akan tetap terlihat berwibawa
apabila hakim benar-benar mematuhi kode etik profesinya
sebagai wakil Tuhan di bumi sehingga putusan yang
dikeluarkannya dapat diterima oleh semua pihak dan dikatakan
oleh publik sebagai sebuah putusan yang benar-benar adil.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada kondisi saat ini
dimana hakim sering melakukan pelanggaran terhadap kode etik
profesinya sehingga putusan yang dikeluarkannya sering
mengecewakan karena dirasa tidak adil dan cenderung memihak
kepada orang yang berduit, membuat pengadilan di Indonesia
terkesan tidak berwibawa lagi.385
Selain itu persoalan rendahnya integritas pejabat publik telah
menjadi penyebab banyak penyelenggara negara yang terlibat
korupsi yang ditangani oleh KPK. Berdasarkan kasus korupsi

382 Ibid
383 Ibid
384 Ibid
385 Ibid
yang ditangani KPK menunjukkan telah dapat teridentifikasi
pada tahun 2014 – 2015.

Tabel 1. Perkara TPK Berdasarkan Wilayah 2014 – 2015


NO WILAYAH JUMLAH
1 Pemerintah Pusat 18
2 2 NAD (Nanggroe Aceh
4 Sumatera Selatan 3
5 Sumatera Utara 2
6 Riau dan Kepulauan Riau 3
7 Bengkulu 7
8 DKI Jakarta
9 Banten 10
10 Jawa Barat 8
11 Jawa Tengah 2
12 Jawa Timur 5
13 Sulawesi Utara
14 Bali 2
15 Lampung
16 Kalimantan Selatan
17 Kalimantan Timur
18 Sulawesi Utara
19 Sulawesi Selatan 2
20 Sulawesi Tengah
21 NTB 2
22 NTT 2
23 Papua 4
Total 58

Sumber: Data Sekunder diolah 2017


Berdasarkan data pada Tabel 1, menunjukkan bahwa ada 58
kasus korupsi yang telah ditangani KPK dalam kurun waktu
2014 – 2015, hasil identifikasi atas kasus tersebut menunjukkan
bahwa kecenderungan pejabat publik sampai terlibat korupsi
disebabkan oleh rendahnya integritas pejabat publik.

Tabel 2. Perkara TPK Berdasarkan Instansi 2014 – 2015

No Instansi Jumlah
1 DPR-RI 2
2 Kepala Lembaga Kementerian/Lembaga 9
3 Komisi -
4 Pemerintah Provinsi 11
5 Pemerintah Kabupaten Kota 19
Jumlah 58

Sumber: Data Sekunder diolah 2017


Dari 58 perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK
tersebut menunjukkan keseluruhan perkara tersebut terjadi
pada lembaga negara dan pemerintahan dan berkaitan dengan
persoalan integritas pejabat publik. Dalam hal ini ada korelasi
yang signifikan antara terjadinya tindak pidana korupsi dengan
mentalitas penyelenggara negara.
Jumlah kasus korupsi di Indonesia Menurut Indonesia
Corruption Watch (ICW), sejumlah lembaga penegakan hukum
(Kejaksaan, Polri dan KPK) melaporkan 629 kasus yang
menyangkut penggelapan, penipuan, penyalahgunaan anggaran,
penyuapan, dan penyalahgunaan wewenang. Lebih dari 1.300
orang menjadi tersangka. Pada 2013, menurut ICW, sebanyak
560 kasus dugaan korupsi melibatkan 1.271 tersangka.
Sedangkan masalah korupsi ini adalah masalah yang sudah
menjadi makanan para pejabat elit kebanyakan dan sekaligus
menjadi beban negara dan masyarakat. Para koruptor memakan
yang bukan miliknya, haknya, kewajibannya alias milik negara
dan masyarakat. Lagi-lagi jika pelaku korup itu memiliki etika
maka dia akan lebih memahami mana yang menjadi haknya dan
mana yang bukan.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran
etis dan moralitas pejabat publik, harus lebih normatif,
manusiawi dan agamis. Selain itu dapat pula dilakukan dengan
memberi pendidikan dan pemahaman yang lebih etis, tentang
moralitas, nilai dan norma kehidupan khususnya bagi profesinya
dalam kepelatihan dan pendidikannya, maupun pada saat proses
rekrut. Untuk menjadi pejabat publik sebaiknya perlu ada tes-tes
psikologis untuk menyeleksi dan memperkecil masalah
psikologis yang pada dasarnya dimiliki kebanyakan orang. Selain
itu pemahaman mereka terhadap agamanya harus ada standar
minimal, karena setiap agama mengajarkan tentang nilai-nilai
moral yang baik sebagai landasan hidup. Dengan demikian akan
memberikan harapan akan kehidupan yang lebih sejahtera dan
memperkecil kemungkinan timbulnya masalah dan konflik yang
menghambat kesejahteraan kehidupan.
Sehubungan dengan upaya yang dilakukan untuk menumbuhkan
kesadaran etis tersebut menurut Socrates bahwa tindakan etis
adalah tindakan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran.
Benar dari sisi cara, teknik, prosedur, maupun dari sisi tujuan
yang akan dicapai. Dalam praktik hidup sehari-hari, teoritisi di
bidang etika menjelaskan bahwa dalam kenyataannya, ada dua
pendekatan mengenai etika ini, yaitu pendekatan deontological
dan pendekatan teleological.386 Pada pendekatan deontological,
perhatian dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada
bagaimana orang melakukan usaha (ikhtiar) dengan sebaik-
baiknya dan mendasarkan pada nilai-nilai kebenaran untuk
mencapai tujuannya.387 Pada pendekatan teleological, perhatian

386 AGUNG ATSANI PUTRA. 2015. PENGARUH ORIENTASI ETIKA,


LOCUS OF CONTROL DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP PERILAKU
ETIS AKUNTAN (Studi Empiris Pada BUMN di kota Padang). ARTIKEL
SKRIPSI. UNIVERSITAS NEGERI PADANG. hal 4.
387 Ibid
dan fokus perilaku dan tindakan manusia lebih pada bagaimana
mencapai tujuan dengan sebaik-baiknya, dengan kurang
memperhatikan apakah cara, teknik, ataupun prosedur yang
dilakukan benar atau salah.388
Tabel 3. Perkara TPK Berdasarkan Jabatan
NO Instansi Jumlah
1 Anggota DPR-RI 4
2 Kementerian/Lembaga 26
3 Gubernur 2
4 Pemerintah Provinsi 11
5 Walikota/Bupati dan Wakil 12
6 Eselon I, II dan III 2
7 Hakim 2
8 Swasta 15
9 Lain-Lain 8
Jumlah 82

Sumber: Data Sekunder diolah 2017


Keadilan memang tertuju bagi orang-orang yang terkait dalam
sebuah delik hukum, baik korban maupun pelaku, tapi yang lebih
mendasar adalah keadilan publik. Pihak yang berkepentingan
terhadap proses penegakan hukum tidak hanya pelaku dan
korban, tapi juga publik yang merasakan dampak, baik langsung
maupun tidak langsung, sebuah perbuatan yang telah dilakukan.
Menegakkan hukum yang bertujuan untuk mencapai
pemanfaatan hukum. Pemanfaatan hukum maksudnya lebih
ditujukan pada terpenuhinya kepentingan masyarakat, bangsa,
dan negara, bukan demi kepentingan pribadi atau kelompok
Penegakan hukum perspektif etika adalah penegakan hukum
yang benar-benar diusahakan hingga menghasilkan keadilan.
Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan dimaksudkan untuk
menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan dan
keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan dengan

388 Ibid
ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak
pada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin
tegaknya supremasi dan kepastian hukum sejalan dengan upaya
pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam
masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara
adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap
setiap warganegara di hadapan hukum, dan menghindarkan
penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan
bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.
Penegakan etika penegakan hukum dalam lingkup Kejaksaan
Agung dimana Profesi Jaksa sudah ada sejak sebelum Indonesia
Merdeka.389 Asal mula kata Jaksa be rasa I dari kata dyaksa. Pada
masa kerajaan majapahit jaksa dikenal dengan istilah dhyaksa,
adhyaksa dan dharmadhyaksa. Peran Dhyaksa sebagai pejabat
Negara yang bertugas untuk menangani masalah-masalah
peradilan di bawah kekuasaan kerajaan majapahit. Patih Gajah
Mada selaku pejabat Adhyaksa. Sebagai lembaga penegak hukum
di lingkungan eksekutif yang penting, kejaksaan diharapkan
muncul paradigma baru yang tercermin dalam sikap dan
perasaan. Sehingga Jaksa memiliki jati diri dalam memenuhi
profesionalitas sebagai wakil Negara dan wakil Negara dalam
penegakan hukum. Profesionalisme jaksa terhambat oleh
masalah-masalah seperti independensi, pelanggaran kode etik,
penurunan kualitas sumber daya manusia. Intervensi dalam
tubuh kejaksaan menjadi menghambat independensi sehingga
menghambat profesionalisme jaksa dalam mengatasi sebuah
perkara demi penegakan hukum dalam kekuasaan peradilan.
Di sisi keahlian, maka demi meningkatkan keahlian jaksa perlu
meningkatkan mengasah kemampuan melalui berbagai
pembelajaran. Baik pendidikan formal maupun non formal.

389 http://nadiasifauliya.blogspot.com/2017/04/profesionalisme-
berbasis-jabatan-pada.html?m=1
Disamping itu, pekerjaan di bidang hukum seharusnya bersifat
rasional.390 Maka dibutuhkan sifat rasional berupa sikap ilmiah
yang mempergunakan metodologi modern.391 Sehingga dapat
mengurangi sifat subjektif jaksa terhadap perkara-perkara yang
akan dihadapinya.392 Dilihat dari keahlian Jaksa, kemampuan
menganalisa sebuah kasus. meskipun perkara tampak sepintas
sama, namun keharusan untuk menganalisa sebuah kasus
memiliki keunikan tersendiri.393 Kemampuan menganalisis
bukan hanya didasarkan pendekatan yang legalitas, positivis dan
mekanistis.394 Seorang jaksa, dituntut dapat memahami
peristiwa pidana secara menyeluruh agar kebenaran dapat
ditemukan sehingga kebenaran dapat ditemukan dan
menghasilkan putusan yang adil.395
Jaksa berada dalam lembaga kejaksaan adalah salah satu pilar
hukum. Lembaga kejaksaan dan Profesi Jaksa memiliki tuntutan
masyarakat agar berjalan secara profesional serta terjaga
independensinya.396 Independensi Jaksa dalam menegakkan
keadilan terhambat dengan intervensi politik dari pemerintahan
yang dialami lembaga kejaksaan.397 Profesi jaksa sudah terbukti
memiliki peran strategis, Daniel S. Lev menggambarkan
dinamika politik mempengaruhi tingkat independensi profesi ini.
Intervensi politik telah menghambat profesionalisme Jaksa.
Hambatan berawal dari kedudukan lembaga kejaksaan di dalam
sistem ketatanegaraan republik Indonesia.398

390 Ibid
391 Ibid
392 Ibid
393 Ibid
394 Ibid
395 Ibid
396 Ibid
397 Ibid
398 Ibid
Keberadaannya yang berada di lingkungan eksekutif.
Profesionalisme jaksa diuji ketika terdapat masalah
independensi lembaga.399
Prosedur penuntutan yang sentralistik. Sesuai dengan dasar
doktrin een en ondeelbaar, berakibat mewajibkan setiap Jaksa
penuntut umum untuk mengajukan rencana tuntutan kepada
atasannya.400 Pola Rentut membuka peluang adanya intervensi
atasan kepada bawahan, padahal sebagai Jaksa harus
independen.401 Berbeda dengan hakim yang dijamin
independensinya berwenang memberikan putusan maka,
wewenang jaksa mengajukan tuntutan di persidangan belum
dijamin.402 Jaksa harus berkonsultasi dan mendapatkan
persetujuan dari atasannya secara berjenjang bergantung jenis
tindak pidananya dalam melakukan proses tuntutan. 403
Kewajiban Rencana Tuntutan Pidana ini menjadikan jaksa
menjadi tidak lagi merdeka dalam menjalankan tugas dan
fungsinya dan berpotensi menghambat profesionalisme seorang
jaksa.404 Kewajiban Rencana Tuntutan (rentut) ada sejak 1985
melalui Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor 09/1985.405
Pada awalnya, pola rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak
pidana yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung yang berubah
seiring dengan perkembangan zaman.406 Untuk tindak pidana
umum, kewajiban rentut ini juga dapat ditemukan hingga saat ini
dalam Peraturan Jaksa Agung 036/A/JA/09/2011 tentang
Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Pidana

399 Ibid
400 Ibid
401 Ibid
402 Ibid
403 Ibid
404 Ibid
405 Ibid
406 Ibid
Umum.407 Pasal 37 Perja 036/A/JA/09/2011 menyebutkan
bahwa Penuntut Umum membuat Surat Tuntutan Pidana dan
mengajukan rencana tuntutan pidana secara berjenjang sesuai
hierarki kebijakan pengendalian penanganan perkara.408 Kepala
Kejaksaan sesuai hierarki memberikan petunjuk tuntutan yang
harus dilaksanakan oleh penuntut umum di persidangan. Dalam
pasal ini pula saat jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan
bebas, dia harus melakukan gelar perkara terlebih dahulu
dihadapan pimpinan Kejaksaan sesuai hierarki kebijakan
pengendalian penanganan perkara.409 Mencermati Pasal 39 Perja
ini, dapat disimpulkan secara garis besar dapat disimpulkan
bawah independensi jaksa memang dibatasi dan baru diberikan
untuk hal-hal tertentu yang harus diatur secara khusus.410
Dikhawatirkan Pola Rentut ini membuka peluang adanya
intervensi atasan kepada bawahan, padahal sebagai seorang
Jaksa harus independen.411 Kewajiban Rencana Tuntutan Pidana
ini menjadikan jaksa menjadi tidak lagi merdeka dalam
menjalankan tugas dan fungsinya dan berpotensi menghambat
profesionalisme Jaksa.412 Selain itu juga bertentangan dengan
Guidelines on the Role of Prosecutors and international Association
of Prosecutors juga tidak selaras dengan hasil resolusi pertemuan
“The Eropean Status of Justice” sebagaimana diatur dalam Section
9.1 dan Section 9.2, yakni:413 Section 9.1. the following: Self-
government in prosecution creates an essential instrument of
judicial power independence. Judges (public officers) in
prosecution secure equality of citizens before the law. They

407 Ibid
408 Ibid
409 Ibid
410 Ibid
411 Ibid
412 Ibid
413 Ibid
discharge their functions independently on political power. They
are subordinated to law only. Section 9.2. Judges (prosecutors)
who discharge their functions in prosecution shall have identical
rights and identical guarantees as stated in the Status hereof.
Kedua hal tersebut di atas mengamanatkan kemampuan untuk
memutuskan secara mandiri dalam lembaga penuntutan
merupakan instrumen penting dalam mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang mandiri.414 Pemerintah harus melepaskan
kekuasaan mereka dari kekuasaan lainnya, termasuk kekuasaan
penuntutan selain itu adanya jaminan hak dan kewajiban Jaksa
secara hukum di dalam melakukan proses penuntutan.415
Padahal kemampuan seorang Jaksa untuk memutuskan secara
mandiri dalam lembaga penuntutan merupakan instrumen
penting dalam mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman.
Oleh karenanya untuk meningkatkan profesionalisme jaksa
sebagai penuntut umum, maka harusnya kewajiban rentut ini
dihapus untuk meningkatkan independensi Jaksa.416 Selanjutnya,
agar menegakkan independensi jaksa secara tegas. Maka harus
diatur menghilangkan pola runtut dalam peraturan Jaksa demi
menegakkan independensi kekuasaan penuntutan.417 Karena
independensi jaksa perlu dijamin sebagai bentuk kepercayaan
masyarakat terhadap jaksa sebagai wakil masyarakat dalam
proses perkara pidana.418 Sehingga masalah tuntutan pidana
diberi kepercayaan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum
yang menangani perkara pidana.419

414 Ibid
415 Ibid
416 Ibid
417 Ibid
418 Ibid
419 Ibid
Meskipun independensi Jaksa telah terjamin. Akan tetapi belum
lengkap apabila tidak dibarengi dengan pemberdayaan aparatur
Negara kejaksaan.420 Pemberdayaan berdasar undang-undang
aparatur sipil Negara agar menjadi lembaga yang professional
dan berintegritas.421 Kejaksaan diharapkan terlibat sepenuhnya
dalam proses pembangunan untuk menciptakan kondisi yang
mendukung dalam mengamankan pelaksanaan pembangunan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, serta
kewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan keadilan di
Negara serta melindungi kepentingan masyarakat.422
Visi dan misi kejaksaan untuk mencapai maksud tersebut, maka
aparat Kejaksaan perlu meningkatkan kinerja dengan optimal di
segala bidang dengan berorientasi pada visi dan misi agar
berupaya demi perlindungan dan penegakan kepentingan umum
dan kepentingan hukum serta senantiasa berpegang pada asas
persamaan di depan hukum.423 Pemberdayaan sumber daya
manusia Kejaksaan seyogianya melakukan peningkatan kualitas
melalui pembinaan yang tepat demi menjadikan kejaksaan
menjadi berkualitas yang baik dari waktu ke waktu.424 Melalui
pembinaan Jaksa dalam pembangunan bidang aparatur Negara
berperan strategis untuk mendukung keberhasilan
pembangunan nasional.425 Maka untuk meningkatkan kualitas
dan profesionalisme aparatur Negara, kini perlu dipersiapkan
suatu pemberdayaan manusia di lembaga kejaksaan.426

420 Ibid
421 Ibid
422 Ibid
423 Ibid
424 Ibid
425 Ibid
426 Ibid
Sumber daya manusia merupakan faktor yang menentukan
keberhasilan dalam setiap organisasi.427 Dapat dikatakan Sumber
Daya Manusia menjadi salah satu unsur kekuatan daya saing
bangsa, bahkan penentu utama.428 Oleh sebab itu, SDM harus
memiliki kompetensi dan kinerja tinggi.429 Lebih lanjut, dalam
konteks berbangsa, SDM tidak saja dituntut untuk menjadi
professional dan sebagai pembangun citra pelayanan publik,
tetapi juga dituntut sebagai perekat dan pemersatu bangsa.430
Profesionalisme Jaksa sangat penting untuk menunjukkan
keberhasilan institusi lembaga kejaksaan.431 Individu kejaksaan
perlu untuk memberdayakan sesuai individu demi keberhasilan
lembaga kejaksaan secara menyeluruh agar hukum dapat
terlaksananya di masyarakat.432 Karena ditangan aparat hukum
itulah hukum itu hidup dan berkembang. Maka profesionalisme
aparat penegak hukum tercermin pada citra positif seorang
penegak hukum perlu di masyarakat.433 Ditangan seorang aparat
penegak hukum disitulah hukum hidup, dan karena kekuatan
atau otoritas, yang dimilikinya. inilah sampai muncul pertanyaan
bahwa “it doesn’t matter what the law says. What matters is
what the guy behind the desk interprets the law to say”.434 Menu
rut pendapat dari beberapa pakar sosiologi hukum sering
menyebutkan bahwa hukum itu tidak lain adalah perilaku
pejabat-pejabat hukum.435 Seorang Jaksa sebagai wakil
masyarakat dalam penuntutan sebenarnya bukan hanya

427 Ibid
428 Ibid
429 Ibid
430 Ibid
431 Ibid
432 Ibid
433 Ibid
434 Ibid
435 Ibid
memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan
hukum semata, namun memperjuangkan keadilan hukum yang
terjadi di masyarakat.436
Dalam penegakan hukum, hukum bukanlah sesuatu yang bersifat
mekanistis, tapi hukum bergantung pada sikap tindakan penegak
hukum itu sendiri.437 Maka melalui tindakan dan perilaku aparat
penegak hukum itu tujuan hukum yang tertulis dapat tercermin
melalui pelaksanaan hukum itu. Sehingga perlunya mengawal
penegakan hukum agar sesuai dengan keadilan.438 Profesi Jaksa
mendapat tantangan dalam rangka penegakkan hukum. Profesi
jaksa memerlukan suatu tanggung jawab yang besar baik
individual maupun sosial terutama ketaatan terhadap norma-
norma hukum positif serta tunduk pada kode etik profesi.439
Lembaga kejaksaan melalui kode etik kejaksaan memiliki nilai-
nilai luhur dan ideal sebagai pedoman perilaku dalam satu
profesi. Kode etik Jaksa apabila dijalankan sesuai dengan sesuai
tujuan akan menghasilkan para Jaksa yang professional dan
mempunyai kualitas moral yang baik.440 Kode etik Jaksa adalah
Tata Krama Adhyaksa dimana Jaksa akan berjanji untuk akan
melaksanakan tugasnya dan beriman kepada Tuhan yang Maha
Esa serta mempertanggungjawabkan dirinya kepada bangsa dan
Negara. Dengan adanya doktrin ini maka akan memperkuat
sistem pengawasan Jaksa karena adanya dua peraturan yang
dilanggar jika ada pelanggaran.441 Etika berasal dari kata “ethos”
yang berarti sifat menjadi orang baik. Ethos diartikan sebagai
kesusilaan, kecenderungan perasaan batin seseorang untuk

436 Ibid
437 Ibid
438 Ibid
439 Ibid
440 Ibid
441 Ibid
berbuat kebaikan.442 Etika merupakan semacam batasan atau
standar yang mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok
sosialnya.443 Untuk kode etik profesi jaksa di Indonesia telah
diatur dalam peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia nomor:
PER-067/A/JA/07/2007 tentang kode etik jaksa. Dimana dalam
Pasal 4,444
Dalam melaksanakan tugas profesi, Jaksa dilarang:
1. Menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk
kepentingan pribadi dan/atau pihak lain;
2. Merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan
perkara;
3. Menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk
melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis;
4. Meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau
keuntungan serta melarang keluarganya
5. Meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau
keuntungan sehubungan dengan jabatannya;
6. Menangani perkara yang mempunyai kepentingan
pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai
atau finansial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung
atau tidak langsung;
7. Bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun;
8. Membentuk opini publik yang dapat merugikan
kepentingan penegakan hukum;
9. Memberikan keterangan kepada publik kecuali terbatas
pada hal-hal teknis perkara yang ditangani.
Pemberdayaan kejaksaan dapat dilakukan dengan memampukan
diri mengantisipasi situasi dan tuntutan yang sedang dan yang
akan berkembang dengan sangat pesat. Cara yang dilakukan

442 Ibid
443 Ibid
444 Ibid
ialah dengan jalan mempersiapkan sumber daya manusia yang
aspiratif, responsif, dan pro aktif, serta aparatur yang integritas
moralnya cukup kokoh dan kematangan intelektualnya cukup
mantap serta berkemampuan profesional yang tinggi.
Permasalahan pelanggaran kode etik Jaksa mulai berkembang
mulai dari munculnya kasus jaksa seperti suap menyuap, jaksa
nakal, jual beli perkara sampai tindak pidana asusila.445 Menurut
data bahwa pada Tahun 2015, tercatat pemecatan sebanyak
Jaksa di tingkat pusat dan daerah.446 Tercatat pada Juli 2015, ada
60 jaksa yang sudah dipecat karena melakukan perbuatan
indisipliner dan melanggar kode etik. Pelanggaran yang
dilakukan karena terindikasi menggunakan narkoba, sering
bolos kerja, dan mencuri barang-barang sitaan yang masuk
perkara.[11] Jaksa Agung Muda Pengawasan, Jasman Panjaitan
mencatat bahwa pemecatan Jaksa lebih tinggi dari pada tahun
lalu. hingga akhir 2014 lalu Kejagung hanya memecat 40 jaksa
nakal yang ada di seluruh Indonesia.447 Jumlah yang jauh lebih
sedikit dibanding pemecatan terhadap jaksa hingga pertengahan
tahun ini yang mencapai angka 60 orang.448 Beberapa jabatan
pimpinan kejaksaan yang kosong karena pemecatan itu adalah
Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat,
Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Cibadak, dan Kepala Seksi
Pidana Umum Kejari Cibadak.449 Hal ini tidak boleh dibiarkan
karena profesi Jaksa ialah posisi yang terhormat dan memiliki
kedudukan yang penting dalam proses penegakan hukum.
Lembaga kejaksaan memiliki kedudukan penting dalam proses

445 Ibid
446 Ibid
447 Ibid
448 Ibid
449 Ibid
peradilan Negara.450 Sehingga perlunya menjaga integritas jaksa
sebagai pejabat hukum. Sehingga, sangat disayangkan apabila
ternodai oleh adanya kasus pelanggaran yang terjadi di tubuh
kejaksaan.451
Profesi hukum membutuhkan integritas didalamnya, menurut
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Integritas ialah harga mati
pada profesi hukum khususnya Jaksa.452 Karena integritas Jaksa
sangat penting selain hanya ilmu dan pengalaman yang dimiliki
seorang jaksa sebagai penegak hukum.453 Lebih lanjut, hanya
orang-orang yang punya integritas, yaitu keberanian, kejujuran,
keadilan, yang layak untuk bekerja di bidang hukum. Merosotnya
profesionalisme di kalangan jaksa baik di tataran atas dan bawah
seperti Keahlian, rasa tanggung jawab, disiplin, integritas, dan
kinerja terpadu nampaknya membuktikan profesionalisme mulai
mengendur.454 Maka, perlunya mengasah keahlian serta
pengawasan kode etik demi kelancaran suatu profesi itulah yang
perlu dilakukan.455
Profesi Jaksa telah dilengkapi dengan kode etik Jaksa.456
Keberadaan kode etik pada dasarnya internal kelembagaan yang
berkaitan, dan tujuannya untuk melindungi profesi bersangkutan
dengan pelayanan atas kepentingan publik.457 Disamping
berupaya menjadikan lembaga kejaksaan yang independen,
Penegakan kode etik jaksa dapat dilakukan dengan pembuatan
standar operasional yang jelas dan pemberian sanksi yang

450 Ibid
451 Ibid
452 Ibid
453 Ibid
454 Ibid
455 Ibid
456 Ibid
457 Ibid
tegas.458 Pemberian sanksi tegas ini supaya meminimalisir dan
menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya.459 Selain juga
bertujuan untuk meningkatkan Profesionalisme sumber daya
manusia di kejaksaan.460 Upaya pemberdayaan sumber daya
manusia kejaksaan ini untuk mengukuhkan kekuasaan
penuntutan menjadi lembaga yang bermoral dan berkualitas.461
Apabila upaya di atas telah dijalankan, maka akan menghasilkan
para Jaksa sebagai aparatur Negara yang professional dan
mempunyai kualitas moral yang baik.462 Permasalahan yang
menerpa kejaksaan mengakibatkan kejaksaan harus direformasi.
Profesionalisme Jaksa sangat penting untuk menunjukkan
terlaksananya hukum di masyarakat.463 Karena ditangan seorang
jaksa sebagai aparat penegak hukum disitulah hukum hidup, dan
karena kekuatan atau otoritas, yang dimilikinya.464 Maka,
Peningkatan profesionalisme sumber daya manusia Kejaksaan
seyogianya melakukan peningkatan kualitas melalui cara di
atas.465 Melalui pembinaan Jaksa dalam pembangunan bidang
aparatur Negara berperan strategis untuk mendukung
keberhasilan pembangunan nasional.466

3. Budaya (Culture)
Analisis tentang pengaruh budaya terhadap penegakan etika
penyelenggara negara dapat dilihat pada diagram berikut ini:

458 Ibid
459 Ibid
460 Ibid
461 Ibid
462 Ibid
463 Ibid
464 Ibid
465 Ibid
466 Ibid
Diagram 6: Pengaruh Budaya Dalam penegakan Etika

Sumber: Data diolah 2013

Budaya politik menjadi elemen yang sangat berpengaruh dalam


penegakan etika dan kehormatan, elemen ini menjadi unsur yang
sangat subyektif terkait dengan prilaku dan karakteristik
penyelenggara negara itu sendiri. Dari data tersebut
menunjukkan bahwa 92 % menyatakan budaya mempengaruhi
etika penyelenggara negara. Selain itu fungsi atau lingkungan
kerja menjadi faktor yang mempengaruhi etika individu
seseorang. Semakin seringnya pimpinan dan karyawan
melakukan aktivitas yang tidak etis bahkan ilegal, maka banyak
organ pemerintahan yang mengambil langkah untuk
meningkatkan perilaku etis di lingkungan kerja, antara lain
dengan menetapkan kode etik. Pada sektor publik tantangan
yang dihadapi aparatur negara cukup memprihatinkan terutama
karena masih ada pemimpin dan aparatur negara yang
mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja Permasalahan
dalam budaya kerja yang dihadapi adalah terabaikannya nilai-
nilai etika dan budaya kerja dalam birokrasi pemerintahan
sehingga melemahkan disiplin, etos kerja dan produktivitas
kerja, maka penting bagi aparatur sektor publik khususnya yang
ada di lembaga pemerintahan untuk peka terhadap masalah
etika. Faktor lingkungan yang merupakan budaya etis organisasi
yang berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai-nilai moral.
Pada prinsipnya budaya masyarakat akan mempengaruhi
orientasi etika. Adapun orientasi etika dapat dilihat pada tabel
berikut:

Tabel 4 Klasifikasi Orientasi Etika Kaitannya dengan Budaya


Relativisme Tinggi Relativisme Rendah
Idealisme Tinggi Situasionis: Absolutisme
Menolak aturan moral, membela Mengasumsikan bahwa hasil
analisis individual atas setiap yang terbaik hanya dicapai
tindakan dalam setiap situasi dengan mengikuti aturan
moral secara universal
Idealisme Rendah Subyektif: Eksepsionis:
Penghargaan lebih didasarkan Moral secara mutlak
pada nilai personal dibandingkan digunakan sebagai pedoman
prinsip moral secara universal pengambilan keputusan
namun secara pragmatis
terbuka untuk melakukan
pengecualian terhadap
standar yang berlaku.

Dengan demikian jika dilihat dari aspek budaya menunjukkan


kemampuan seorang pejabat atau penyelenggara negara untuk
berperilaku etis sangat dipengaruhi oleh sensitivitas individu
tersebut. Faktor yang penting dalam menilai perilaku etis adalah
adanya kesadaran para individu bahwa mereka adalah agen
moral. Kesadaran individu tersebut dapat dinilai melalui
kemampuan untuk menyadari adanya nilai-nilai etis dalam suatu
keputusan yang disebutkan sebagai sensitivitas etis.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Penegakan etika dan kehormatan penyelenggara negara
pada hakikatnya belum menjadi instrumen dalam upaya
mencegah terjadinya korupsi telah sehingga upaya untuk
mewujudkan nilai-nilai moral dan etika serta keadilan dari
masyarakat, untuk menjadikan negara yang berintegritas. masih
menjadi ius constituendum.
2. Penegakan etika dan kehormatan penyelenggara negara
belum dapat mencegah penyelenggara negara dari prilaku yang
cenderung melakukan penyalahgunaan wewenang yang
berakibat terjadinya tindak pidana korupsi.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan etika dan
kehormatan penyelenggara negara dalam upaya mencegah
terjadinya korupsi, meliputi aspek substansi hukum, struktur
hukum dan budaya hukum.

B. Saran-Saran
1. Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang
berintegritas hendaknya menggunakan instrumen hukum dalam
bentuk undang-undang etika dan kehormatan penyelenggara
segera diundangkan sehingga dapat membentuk lembaga
peradilan etika.
2. Dalam rangka menumbuhkan kesadaran etis dan
moralitas penyelenggara negara perlu diimplementasikan secara
konkrit tentang pendidikan etika profesinya secara
berkelanjutan mulai dari proses rekrutmen.
3. Untuk mengatasi terjadinya tindak pidana korupsi dalam
penyelenggara negara maka perlu dirumuskan secara konkrit
indikator-indikator etika dan kehormatan penyelenggara negara
guna mengetahui dan mengidentifikasi pelanggaran yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Ali Mansyur, Menju Masyarakat Anti Korupsi, Terpetik dari


Memahami Hukum, Dari Konstruksi Sampai Implementasi,
Editor, Satya Arinanto & NinukTriani, Rajawali Pers, 2009, him.
153
Jimly Assidiqie, Beban Penjara Sebagai Wahana Resosialisasi
Narapidana, Terteptik dari Newsletter DKPP, Edisi/III/Agustus
2014, him. 1
Triningsih, Anna. “Politik Hukum Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan dalam Penyelenggaraan Negara.” Jurnal
Konstitusi 13, no. 1 (2016): 124-144.
Deu, Melfa. “Kode Etik Hakim dan Komisi Yudisial di
Indonesia.” LEX ET SOCIETATIS 3, no. 1 (2015).
Eka Martiana Wulansari, Pengaturan Tentang Etika
Penyelenggara Negara Dalam Rancangan Undang-Undang, dalam
Rechtsvinding, Online, Media Pembinaan Hukum Nasional,
Jimly Assidiqie, Menegakan Etika Penyelenggara Pemilu,
Rajagrafindo, Jakarta, 2013, him. 107
Jimly Asshidiqie, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi, Perspektif
Baru Tentang Rule of Law and Rule of Ethics & Constitutional law
and Constitutional Ethics, Sunar Grafika, Jakarta, him. 42
Al Kazemi Ali dan Gary Zajak. 1999. “Ethics Sensitivity and
Awaraness Within Organizations in Kuwait: An empirical
Exploration of Espoused Theory and Theory-in-Use”,.ournal of
Business Ethics 20 pp. 353 – 361
Chua, F.C M.H.B. Perera and M.R Mathews. 1994. Integration of
Ethics Into Tertiary Accounting Programes in New Zealand and
Australia
Elias, J. L. 1989. Moral education: secular and religious. Florida:
Robert E. Krieger Publishing Co., Inc
Haris, Charles E.Jr, Michael.S, Perichard and Michael J.Robins,
Engenering Etics, Conceps and Case, Belmont, C.A.Wadworth
Publishing, 1975, him. 104-107
Forsyth, Donelson. R. 1980. “A Taxonomi of Ethical Idealogis,
Journal of Personality and Social Psychology”. January, him. 175-
184
Keith E. Withiington On The need for a Theory of Constiturional
Ethocs, dalam Constitutional Cornel, Volume, 9 Number 3
Finn, D.W., LB Chonko, and J.D Hunt. 1988. “Ethical Problem in
Public Accounting: The View from The Top”. Journal of Bussiness
Ethics, 7, pp. 605 – 615
Suhardin, Yohanes. “Fenomena Mengabaikan Keadilan dalam
Penegakan Hukum.” Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada 21, no. 2 (2009): 341-354.
UN Convention Against Corruption. Dalam Konvensi PBB pada
attikel 8 secara khusus diatur tentang Codes of Conduct for Public
Officials, artikel 8
Kode Etik Advokat Indonesia disusun berdasarkan ketentuan UU
No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Pada Bab XI Pasal 22, ayat
(1), (2), (3), dan (4)

Anda mungkin juga menyukai