PENDAHULUAN
korupsi-indonesia-2014-naik-7-peringkat
4 Ibid
5 Ibid
6 Ibid
7 Ibid
penyuapan masih mendominasi kasus-kasus korupsi.8 Selama
tahun 2016, ada 16 kasus penyuapan yang ditangani KPK.9 Hal
ini menunjukkan, kasus penyuapan paling banyak dilakukan
dalam praktik korupsi.10 Pada urutan kedua adalah pengadaan
barang dan jasa dengan 13 kasus.11 Sementara tindak pidana
pencucian uang dan pungutan masing-masing terjadi 5 kasus.
Urutan berikutnya adalah perizinan dengan 4 kasus.12 Dari
fenomena kasus korupsi tersebut sangat berkaitan dengan
problem integritas penyelenggara negara.
Salah satu aspek yang memerlukan perhatian adalah bagaimana
mencegah para penyelenggara negara agar tidak melakukan
perbuatan melanggar hukum seperti tindak pidana korupsi,
Salah satu upaya untuk mencegah penyelenggara negara dari
tindakan korupsi, adalah melalui penegakan etika penyelenggara
negara.13 Meningkatnya gejala kelebihan beban hunian lembaga
pemasyarakatan semakin hari semakin kelebihan beban, oleh
karena itu peningkatan kelebihan beban hunian lembaga
pemasyarakatan menjadikan fungsi lembaga pemasyarakatan
menjadi tidak efektif. Tidak efektifnya lembaga pemasyarakatan
8 Ibid
9 Ibid
10 Ibid
11 Ibid
12 Ibid
13 Kata Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang artinya cara
legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
21 La Ode Husen. 2015. MENEGAKKAN ETIKA DAN KEHORMATAN
24 Ibid
25 Ibid
26 Ibid
27 Kisia Revin Anggehta. 2014. ETIKA DAN TATA KELOLA, Topik
33 Ibid
34 Ibid
35 Ibid
36 Ibid
37 Ibid
38 Ibid
etik penyelenggara negara.39 Menegakkan kode etik
penyelenggara negara dapat dilakukan sebelum pejabat
penyelenggara negara melakukan perbuatan melanggar hukum,
karena pelanggaran etika itu telaah dapat terdeteksi dan
diketahui lebih awal, baik itu dari prilaku keseharian pejabat
yang bersangkutan maupun adanya pengaduan dari masyarakat
yang mengetahui bahwa pejabat yang bersangkutan telah
melakukan pelanggaran kode etik, misalnya saja ada pejabat
penyelenggara negara yang sering keluar masuk tempat-tempat
hiburan malam, atau tempat prostitusi, sementara tidak
melaksanakan tugas ditempat itu, kebiasaan minum-minuman
keras, kebiasaan bermain judi dan prilaku menyimpang
lainnya.40 Penegakan kode etik, pada hakikatnya mempunyai
tujuan untuk menjadikan penyelenggara negara lebih berwibawa
dan berintegritas, sekaligus dapat mencegah perilaku pejabat
penyelenggara dari praktek korupsi, dan tegaknya hukum dan
keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai
kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan
integritas Negara.41 Hal ini berarti ada conditio sine qua non
antara penegakan hukum dan penegakan etika dengan upaya
mewujudkan negara yang berintegritas.
39 Ibid
40 Ibid
41 KEPUTUSAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG RI DAN
48 Ibid
49 Ibid
50 Ibid
51 Ibid
52 Ibid
53 Ibid
54 Ibid., hlm. 2.
55 Ibid
sistem kelembagaan penegakannya secara konkret dalam
praktik, menyebabkan pengertian orang akan etik itu tumbuh
dan berkembang menjadi seperti norma hukum juga, yaitu
melibatkan pengertian tentang benar-salah yang lebih dominan
daripada pertimbangan baik-buruk.56
Pada umumnya para ahli menggambarkan sistem filsafat etik itu
dalam 4 cabang, yaitu sebagai berikut:57
1. Descriptive ethics: etika yang berkenaan dengan perilaku
yang benar dan baik sebagaimana yang dipikirkan orang.
2. Normative ethics atau prescriptive ethics: etika yang
berkenaan dengan perilaku yang dinilai sudah seharusnya
dilakukan.
3. Applied ethics: etika yang berkenaan dengan
pengetahuan tentang moral dan bagaimana pengetahuan itu
diwujudkan dalam praktik.
4. Meta ethics: etika yang membahas mengenai apa yang
dimaksud dengan benar dan baik itu sendiri.
Berikut ini perlu dijelaskan bahwa etika deskriptif (descriptive
ethics) pada pokoknya berkaitan dengan pelbagai bidang kajian,
yaitu etika keagamaan, teori-teori nilai, filsafat ekonomi, filsafat
politik, filsafat hukum, logika deontik, teori aksi, penalaran
praktis (practical reasoning), moralitas, etika visual (visual
ethics), etika kepercayaan (ethics of belief).58 Sedangkan etika
preskriptif atau normatif (normative or prescriptive ethics)
berkenaan dengan apa yang orang harus percaya sebagai benar
dan salah, ataupun baik dan buruk.59
Terdapat beberapa teori dan aliran pemikiran yang berkembang
dalam studi tentang etika, Misalnya konsekuensialisme
56 Ibid
57 Ibid
58 Ibid
59 Ibid
(consequentialism), yaitu aliran yang mengembangkan teori-teori
moral yang berpendapat bahwa akibat-akibat perbuatan yang
dilakukan seseorang menjadi sebab yang dianggap benar bagi
timbulnya penilaian (judgment) tentang tindakan moral yang
terjadi.60 Karena itu, suatu tindakan (by commission ataupun by
omission) yang secara moral dapat dikatakan baik dan benar
beralasan untuk menghasilkan akibat yang baik dan benar
pula.61 Pandangan demikian juga tercermin dalam pandangan
aliran utilitarianisme.62 Selain itu, terdapat etika deontologis
(deontological ethics), yaitu suatu pendekatan yang bersifat rule-
driven, yang menilai moralitas dari suatu tindakan didasarkan
tindakan yang ditentukan oleh aturan yang menjadi rujukan.63
Dalam teori absolutisme moral (moral absolutism), perbuatan
tertentu secara mudah dinilai salah atau jahat, terlepas dari
konteks ataupun niat yang terdapat di balik tindakan,64 misalnya
perbuatan membunuh ataupun mencuri, selamanya akan dinilai
salah dan jahat, dan karena itu tidak bermoral, meskipun niatnya
baik, misalnya, mencuri harta orang kaya untuk membantu
orang miskin.65 Tentu ada pula teori yang lebih bersifat
pragmatis (pragmatic ethics) yang sekaku pandangan
absolutisme moral tersebut.66
Selain itu, ada yang disebut etika kebajikan (virtue ethics) yang
mengutamakan karakter moral seseorang sebagai kekuatan
pendorong perilaku etis tertentu.67 Dalam etika Aristotelian,
sebagai kajian pertama tentang etik dalam sejarah, faktor
60 Ibid
61 Ibid
62 Ibid
63 Ibid., hlm. 3.
64 Ibid
65 Ibid
66 Ibid
67 Ibid
karakter moral ini juga menempati kedudukan utama mengenai
bagaimana seseorang mencapai derajat terbaik dalam
hidupnya.68 Aristoteles percaya bahwa tujuan hidup manusia
haruslah untuk hidup baik dan mencapai eudaimonia, yang
berarti well-being atau happiness.69 Hal ini dapat dicapai dengan
dimilikinya kemuliaan karakter (virtuous character), atau
ditakdirkan mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang baik dan
sempurna.70 Di antara pandangan Aristoteles yang sangat
populer mengenai hal ini disebut Nicomachean Ethics.71 Di
samping itu, ada pula pandangan etik yang disebut Eudemian
Ethics, dan Magna Moralia.72 Masih terdapat beberapa teori lain
yang cukup rumit dan membutuhkan penjelasan sangat panjang
untuk diuraikan, seperti teori eudaimonisme yang mengukur
kebahagiaan dalam hubungannya dengan moralitas.73 Ada pula
teori yang disebut etika kepedulian (ethics of care) yang juga
merupakan salah satu teori etika normatif atau preskriptif
(normative ethical theory).74 Juga ada etika egoisme (ethical
egoism) yang menyatakan, bahwa agen moral memang sudah
seharusnya melakukan apa menurut kepentingannya sendiri
harus dilakukan (self-interest).75 Ada pula teori-teori tentang
etika hak, seperti yang dapat dibayangkan dalam aspirasi yang
berkembang dalam Revolusi Amerika dan Prancis. Ini yang
disebut sebagai etika hak (rights ethics) yang memicu lahirnya
gerakan hak asasi manusia dalam sejarah.76
68 Ibid
69 Ibid
70 Ibid
71 Ibid
72 Ibid
73 Ibid
74 Ibid
75 Ibid
76 Ibid
Masih banyak lagi doktrin tentang etik yang dikembangkan oleh
para filosof dan para ahli etika, misalnya Living Ethics,
Biocentrism ethics, Altruism ethics, dan bahkan Feminist ethics.77
Teori Etika, misalnya, mengembangkan pandangan yang
menawarkan nilai-nilai kemanusiaan kepada makhluk di luar
manusia dan bahkan ekosistem (non-human species and
ecosystems), serta proses-proses yang terjadi dalam realitas alam
(processes in nature).78 Etika altruisme merupakan doktrin yang
mengembangkan pandangan bahwa setiap individu kewajiban
moral untuk membantu, melayani, atau memberi manfaat
kepada orang lain, dan bilamana perlu mengorbankan
kepentingannya sendiri.79 Sementara itu, meta-ethics atau
disebut juga epistemologi moral berkaitan dengan hakikat
pernyataan-pernyataan moral yang dipelajari, terutama
mengenai konsep-konsep etika dan teori-teori etika yang
terkait.80 Aliran-aliran pemikiran dan pendekatan yang dapat
dikatakan berkembang dalam konteks meta-ethics ini, misalnya
soal moral nihilism, moral syncretism, moral relativism, fallibilism
(fallibility), moral skepticism, particularism, rationalism,
conventionalism, axiology, formal ethics, rationality, discourse
ethics, ethics of justice, revolutionary ethics, stages of moral
development, dan sebagainya.81 Di samping itu, ada pula teori-
teori etika yang dikategorikan ke dalam kelompok cognitivism
dan non-cognitivism, dimana yang dianggap non-kognitif
misalnya, aliran emotivism dan prescriptivism, sedangkan yang
kognitif (cognitivism) mencakup aliran-aliran realisme filosofis
82 Ibid
83 Ibid
84 Ibid
85 Ibid., hlm 5.
86 Ibid
87 Ibid
88 Ibid
memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan.89
Ada pula etika kloning (ethics of cloning), veterinary ethics,
utilitarian bioethics, dan neuroethics.90 Di bidang teknologi
terapan, juga berkembang yang dinamakan Etika Teknologi
(Ethics of Technology atau technoethics, yaitu sistem etika yang
berkenaan dengan kegiatan pengembangan dan penerapan
teknologi di tengah masyarakat.91 Beberapa sistem etika terapan
yang dikembangkan di bidang ini misalnya ada ethics of
terraforming, ada juga cyberethics, dan ethics of artifisial
intelligence. Di era kekinian, kategorisasi etika ialah mencakup
machine ethics dan roboethics.92 Roboethics ini menyangkut
perilaku atau perbuatan moral manusia dalam mendesain,
mengkonstruksi, menggunakan dan memperlakukan robot
sebagai makhluk intelek yang bersifat artifisial. Selain itu, di
bidang teknologi ini juga ada internet ethics dan information
ethics.93 Etika lingkungan hidup (environmental ethics)
berhubungan dengan lingkungan hidup, yaitu tugas dan
tanggung jawab moral manusia terhadap hewan, tumbuh-
tumbuhan, dan bahkan lingkungan semesta alam pada
umumnya.94 Hewan, hak tumbuh-tumbuhan dan bahkan hutan,
gunung, sungai, lautan, dan outer-space, semuanya mempunyai
hak untuk diperlakukan secara adil, baik, sehat, dan menjamin
keseimbangan antar fungsi-fungsi kehidupan secara
berkelanjutan. Bahkan dalam buku Green Constitution (Nuansa
95
89 Ibid
90 Ibid
91 Ibid
92 Ibid
93 Ibid
94 Ibid
95 Ibid., hlm 5-6.
tercepat dalam Konstitusi Ekuador 2008.96 Ini juga yang
tercermin dalam gerakan animal liberation yang
mempromosikan kesadaran baru bahwa kepentingan hewan
yang memerlukan perhatian serupa dengan kepentingan
manusia untuk dihormati, dilindungi, dan dipenuhi
kepentingannya.97 Teori-teori etika di bidang ini misalnya adalah
trail ethics dan environmental virtue ethics.98 Bahkan ada pula
etika iklim (climate ethics) yang berkenaan dengan dimensi-
dimensi etis perubahan iklim, dan konsep-konsep yang
dikembangkan terkait dengan hal itu, seperti keadilan iklim
(climate justice), dan sebagainya.99 Etika Sosial, Etika Organisasi,
dan Etika Profesi Teori-teori lain yang sangat penting di bidang
etika ini adalah etika sosial (social ethics), etika berorganisasi
(organizational ethics), dan etika profesi (professional ethics).100
Etika sosial atau social ethics, baik yang bersifat khas di masing-
masing komunitas sosial maupun dalam arti sosial secara
universal di antara bangsa-bangsa sebagai satu unit global
berkenaan dengan perilaku ideal di bidang kehidupan sosial
masyarakat, misalnya etika pergaulan bertetangga, etika
kependudukan (population ethics), dan bahkan etika seksual.101
Di bidang keorganisasian, dikenal pula adanya teori etika
pengambilan keputusan (decision ethics) dan etika keanggotaan
organisasi (organizational ethics).102 Adapun yang lebih duluan
berkembang dalam sejarah dan hingga saat ini adalah etika
profesi (professional ethics).103 Sekarang hampir semua profesi
96 Ibid., hlm 6.
97 Ibid
98 Ibid
99 Ibid
100 Ibid
101 Ibid
102 Ibid
103 Ibid
yang diakui di dunia telah mempunyai sistem kode etik dan kode
perilaku, seperti etika akuntansi, etika arkeologi, etika insinyur,
etika komputer, etika dan standar jurnalisme, etika penelitian
dan riset internet, etika hakim, etika advokat, etika kepolisian,
etika penerjemah, etika pekerja sosial, etika media, etika
kedokteran, etika perawat, dan sebagainya.104
Etika Sektor Publik (Public Sector Ethics), Etika terapan (applied
ethics) yang juga sudah sangat berkembang dewasa ini ialah
sistem etika di sektor publik dan penyelenggaraan kekuasaan
negara.105 Inilah yang biasa dinamakan dengan istilah
government ethics ataupun ethics in public administration yang
sering disalahpahami seakan-akan hanya berkenaan dengan
etika pemerintahan dalam arti sempit, yaitu terkait para pejabat
di lingkungan pemerintahan eksekutif saja.106 Namun, dalam
pengertian bahasa Inggris Amerika, government ethics yang
dimaksud adalah dalam arti yang luas, yaitu mencakup
keseluruhan aspek sistem norma etika yang mengikat dan
menuntun bagi para penyelenggara kekuasaan negara secara
keseluruhan.107 Bahkan, sekarang, terkait dengan ini dalam
pelbagai forum Internasional pun sering mulai dijadikan agenda
penting yang menghasilkan berbagai konvensi internasional
mengenai etika bagi para pejabat publik.108
1. Titik Taut Sistem Norma Agama dan Etika
Berikut ini dijelaskan Titik taut Sistem Norma Agama dan Etika
hukum. Norma berasal dari kata bahasa Inggris yang berasal dari
istilah norm istilah Yunani nomoi atau nomos yang berarti hukum
104 Ibid
105 Ibid
106 Ibid., hlm 6-7.
107 Ibid., hlm 7.
108 Ibid
atau kaidah dalam bahasa Arab.109 Karena itu, judul buku Plato
Nomoi juga biasa diterjemahkan dengan kata The Laws dalam
bahasa Inggris.110 Istilah kaidah atau qoidah dalam bahasa Arab
juga biasa dikonotasikan pengertiannya dengan hukum
(singular) atau al-ahkam (jamak).111 Karena itu, lima kaidah yang
dikenal dalam ajaran agama Islam, yaitu kaidah wajib, haram,
sunnah, makruh, dan mubah biasa juga disebut sebagai al-ahkam
al-khamsah atau kaidah yang lima.112
Kaidah atau norma itu sebenarnya merupakan suatu
pelembagaan atau institusionalisasi nilai-nilai yang diidealkan
sebagai kebaikan, keluhuran, dan bahkan kemuliaan berhadapan
dengan nilai-nilai yang dipan-dang buruk, tidak luhur, atau tidak
mulia.113 Nilai-nilai baik dan buruk itu berisi keinginan dan
harapan yang tercermin dalam perilaku setiap manusia.114 Nilai
baik dan buruk itulah yang dilembagakan atau dikonkretisasikan
dalam bentuk atau berupa norma atau kaidah perilaku dalam
kehidupan bersama.115 Sebagaimana tercermin dalam pengertian
tentang al-ahkam al-khamsah tersebut di atas, kaidah-kaidah
perilaku itu dapat dibedakan dalam lima norma, yaitu:116
a. wajib atau obligattere,
b. haram atau prohibere,
c. sunnah atau anjuran untuk melakukan,
d. makruh atau anjuran untuk jangan melakukan, dan
e. mubah atau kebolehan atau permittere.
109 Ibid
110 Ibid
111 Ibid
112 Ibid
113 Ibid
114 Ibid
115 Ibid
116 Ibid
Kelima norma tersebut menurut Jimly Asshiddiqie, dapat
dibedakan dalam tiga jenis sistem norma, yaitu norma agama,
norma hukum, dan norma kesusilaan. Norma agama mencakup
kelima kaidah itu sekaligus. Tetapi norma hukum hanya
mencakup tiga kaidah saja, yaitu:117
a. kaidah kewajiban (obligattere),
b. kaidah larangan (haram), dan
c. kaidah kebolehan atau (mubah, ibadah).
Sebaliknya, norma kesusilaan berisi tiga kaidah, yaitu:
a. kaidah kebolehan (mubah),
b. kaidah anjuran untuk melakukan (sunnah), dan
c. kaidah anjuran untuk tidak melakukan (makruh).118
Pengelompokan jenis kaidah yang lima (al-ahkam al-khamsah)
menurut Profesor Hazairin tersebut dapat kita elaborasi lebih
rinci dengan mengaitkannya dengan sistem norma yang
dikembangkan dalam filsafat hukum dan politik yang selalu
dinisbatkan berasal dari warisan tradisi Yunani kuno mengenai
adanya tiga macam kaidah yang meliputi:119
(a) obligattere (kewajiban),
(b) permittere (kebolehan), dan
(c) prohibere (larangan) seperti diuraikan di atas.
Norma kesusilaan, menurut Profesor Soerjono Soekanto, dapat
dibedakan antara norma kesusilaan pribadi dan norma
kesusilaan antar pribadi.120 Keduanya dapat dicakup ke dalam
pengertian etika, dimana etika atau kesusilaan pribadi
menyangkut keinsafan pribadi setiap manusia tentang nilai baik
dan buruk dalam suatu keadaan atau dalam menghadapi segala
sesuatu yang perlu disikapi oleh seseorang, terlepas dari
117 Ibid
118 Ibid., hlm 8.
119 Ibid
120 Ibid
hubungannya dengan orang lain, misalnya seorang yang kaya
raya dan baru saja mendapat rizki yang besar, dengan mudah
dapat saja tergerak hatinya untuk berbuat baik dengan
membagikan rizki dengan memberikan bantuan beasiswa tanpa
publikasi kepada anak-anak sekolah SD dan SMP se-desa di suatu
daerah terpencil.121 Dorongan untuk membantu anak-anak desa
itu merupakan dorongan etika yang murni bersifat pribadi.
Pengertian tentang etika pribadi inilah yang biasa disebut
dengan istilah kesusilaan saja.122
Sedangkan etika atau kesusilaan antar pribadi terkait dengan
nilai baik dan buruk dalam hubungan antarmanusia dalam
pergaulan bersama secara interaktif dalam kehidupan
bermasyarakat.123 Kesusilaan antar pribadi inilah yang oleh
Soerjono Soekanto disebut sebagai kaidah sopan-santun atau
kesopanan, misalnya dalam bertutur kepada seorang yang
usianya dan kedudukan sosialnya lebih tinggi harus
menggunakan kata-kata yang dipilih dan yang biasa dipakai
dalam hubungan yang dianggap pantas.124 Dalam pergaulan,
diidealkan bahwa kita harus memakai pakaian yang pantas
menurut tempat dan waktunya. Ke pesta, tidaklah dianggap
pantas untuk berpakaian daster bagi perempuan atau piyama
bagi laki-laki. Demikian pula pakaian yang pantas dikenakan di
kantor oleh perempuan bekerja, bukanlah baju kebaya dengan
sanggul yang biasa dikenakan untuk pergi ke pesta atau juga
bukanlah pakaian rok mini atau baju minim yang hanya pantas
dipakai untuk bertamasya ke pantai. Dengan demikian, jika
121 Ibid
122 Ibid
123 Ibid
124 Ibid
digambarkan dalam bagan, ketiga sistem norma agama, hukum,
dan kesusilaan (etika) tersebut adalah sebagai berikut.125
Tabel 1. Sistem Norma126
Agama Hukum Etika
Wajib X X –
Sunnah X – X
(anjuran +)
Mubah X X X
(kebolehan)
Makruh X – X
(anjuran –)
Haram X X –
(larangan)
131 Ibid
132 Ibid
133 Ibid
134 Ibid., hlm 9-10.
135 Ibid., hlm 10.
menempatkannya di neraka, baik surga atau neraka di akhirat
ataupun surga atau neraka di dunia.136
Di luar ajaran tentang kewajiban dan larangan itu terbentang
luas hal-hal lain sebagai kebolehan atau hal-hal yang dianjurkan
untuk dikerjakan (sunnah) ataupun hal-hal yang dianjurkan
untuk tidak dilakukan (makruh).137 Dalam pemahaman ajaran
Islam, kaidah kebolehan dianggap sebagai kaidah asal dalam
hubungan horizontal antarsesama manusia dan sesama makhluk
Tuhan (urusan muamalah), sedangkan dalam hubungan dengan
Tuhan (urusan ibadah) kaidah asalnya adalah larangan
(haram).138 Dalam urusan ibadah, semua hal diperbolehkan,
kecuali yang secara tegas dinyatakan sebagai larangan.
Sedangkan dalam urusan muamalah, semua hal dilarang, kecuali
yang secara tegas dinyatakan sebagai kewajiban.139
Semua hal yang diperbolehkan (mubah) dapat berkembang
menjadi anjuran positif atau anjuran negatif.140 Anjuran disebut
positif apabila berisi dorongan agar sesuatu dikerjakan
(sunnah).141 Sedangkan anjuran negatif berisi dorongan agar hal
dimaksud tidak dilakukan (makruh).142 Artinya, hal-hal yang
diperbolehkan dalam ajaran agama dapat saja berubah menjadi
anjuran positif ataupun menjadi anjuran negatif, yang dikaitkan
semata-mata dengan sistem insentif pahala.143 Dalam kaidah
anjuran positif (sunnah), apabila dilakukan, tersedia ganjaran
pahala. Tetapi, apabila anjuran itu tidak diikuti, maka hal itu
136 Ibid
137 Ibid
138 Ibid
139 Ibid
140 Ibid
141 Ibid
142 Ibid
143 Ibid
tidak menyebabkan yang bersangkutan mendapatkan dosa.144
Sebaliknya, kaidah anjuran negatif (makruh) juga menyediakan
pahala bagi orang yang mengikutinya, yaitu tidak melakukan hal-
hal dimaksud, tetapi tidak diancam dengan dosa jika anjuran itu
tidak diikuti, yaitu dengan tetap melakukan hal-hal yang
diharapkan tidak dilakukan.145 Pendek kata, dalam konsepsi
anjuran, baik positif ataupun negatif, selalu terkait konsepsi
pahala dan surga.146
Norma Hukum. Dari kelima kaidah wajib, haram, mubah, sunnah,
dan makruh tersebut, hanya tiga kaidah saja yang dapat kita
sebut sebagai kaidah hukum, yaitu wajib, haram (larangan), dan
mubah (boleh) seperti tabel di bawah ini.147
Tabel 3. Norma Hukum148
Kewajiban Obligattere
Kebolehan Permittere
Haram atau Larangan Prohibere
144 Ibid
145 Ibid
146 Ibid
147 Ibid., hlm 11.
148 Ibid
149 Ibid
150 Ibid
pada kaidah wajib, haram, dan boleh151. Menurut ajaran liberal,
pada asal mulanya, semua hal merupakan kebolehan, kecuali
oleh hukum tegas dinyatakan sebagai larangan atau kewajiban.
Jika larangan dilanggar dan kewajiban tidak dijalankan sebagai-
mana mestinya, norma hukum menyediakan sistem sanksi yang
tegas.152
Namun, dalam implementasinya, sistem norma hukum itu
sendiri memang tidak selalu diikuti oleh sistem sanksi.153 Itu
sebabnya kita mendapati banyak sekali undang-undang yang
tidak menentukan sistem sanksi sama sekali, misalnya undang-
undang yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, seperti
UU tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta, di dalamnya tidak
ditentukan ada sanksi karena sifat norma yang dituangkan di
dalam undang-undang ini hanya bersifat mengatur dan
membimbing pelaksanaan pemerintahan di ibukota Jakarta.154
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa substansi norma hukum,
di samping ada yang bersifat memaksa (imperative), ada pula
norma hukum yang hanya bersifat mengatur dan membimbing
saja (directive).155 Dalam perumusan norma yang bersifat
memaksa selalu ada sistem sanksi, baik berupa sanksi pidana,
sanksi perdata, ataupun sanksi administrasi, dan bentuk-bentuk
lainnya.156 Akan tetapi, dalam perumusan norma yang bersifat
mengatur dan membimbing, kadang-kadang tidak disediakan
ancaman saksi sama sekali.157 Namun, hal itu tidak mengurangi
151 Ibid
152 Ibid
153 Ibid
154 Ibid
155 Ibid
156 Ibid., hlm 11-12.
157 Ibid., hlm 12.
makna normatif hukum yang berisi tiga jenis kaidah, yaitu wajib
(obligattere), boleh (permittere) dan haram (prohibere).158
Doktrin tentang norma hukum yang hanya berisi tiga macam
kaidah kewajiban (obligattere), kebolehan (permittere), dan
larangan (prohibere) patut dipertanyakan kembali.159 Ketiga
sistem kaidah ini bersifat khas terkait dengan konsepsi mengenai
bidang hukum pidana dan bidang hukum perdata.160 Kedua
bidang hukum pidana dan perdata inilah yang menjadi cikal
bakal mula-mula berkembangnya sistem hukum dalam sejarah
umat manusia.161 Namun, dalam perkembangan sesudah abad
ke-17, muncul kesadaran baru mengenai pentingnya bidang
hukum tata usaha negara (hukum administrasi negara) dan
bahkan hukum tata negara.162 Bahkan pada abad ke-19 muncul
doktrin baru mengenai ide negara hukum (rechtsstaat) yang
dikaitkan dengan gagasan pelembagaan peradilan administrasi
negara (administratieve rechtspraak) untuk maksud
menyediakan mekanisme upaya hukum bagi warga guna
menggugat para pejabat yang membuat keputusan-keputusan
yang merugikan warga negara.163 Dengan berkembangnya sistem
hukum administrasi negara dan hukum tata negara dalam arti
luas, pengertian mengenai keharusan mutlak adanya sanksi
dalam perumusan norma hukum menjadi berubah.164
Menurut Jimly Asshiddiqie, pendapat Profesor Hazairin
sebagaimana dikemukakan di atas mengenai doktrin al-ahkam
al-khamsah perlu dievaluasi kembali.165 Bahkan doktrin
158 Ibid
159 Ibid
160 Ibid
161 Ibid
162 Ibid
163 Ibid
164 Ibid
165 Ibid
mengenai tiga kaidah obligattere (kewajiban), permittere
(kebolehan), dan prohibere (larangan) yang kita warisi dari
filsafat Yunani dan diterima luas dalam pemikiran filsafat hukum
kontemporer dapat kita diskusikan kembali.166 Perumusan
norma hukum sebagaimana tercermin dalam naskah-naskah
undang-undang dasar, undang-undang, dan pelbagai peraturan
perundang-undangan sebagai dokumen hukum yang bersifat
mengikat untuk umum tidak selalu berisi sistem sanksi yang
bersifat memaksa.167 Ketegasan sifat memaksa yang terdapat
dalam kaidah kewajiban dan kaidah larangan tidak selalu diikuti
dengan sanksi yang konkret.168 Sementara itu, kaidah kebolehan
(permittere) yang terdapat dalam norma hukum sekali pun,
dalam implementasinya, juga bersifat sangat dinamis, sehingga
tidak dapat dipastikan secara mutlak tentang kebolehannya.
Sesuatu yang boleh dilakukan, jika didorong oleh motif yang
buruk (te kwade trouw) dapat berubah menjadi sesuatu yang
jahat.169 Oleh karena itu, dalam norma hukum juga dapat termuat
adanya nilai-nilai kaidah anjuran, seperti dalam sistem norma
agama atau pun norma etika.170
Rumusan norma hukum dalam pelbagai naskah peraturan
perundang-undangan di zaman sekarang kita sering menemukan
unsur-unsur nilai kaidah anjuran positif atau pun anjuran negatif
itu.171 Dalam perkembangan dewasa ini, substansi sifat kaidah
anjuran ini semakin banyak ditemukan dalam pelbagai rumusan
undang-undang, terutama dalam perumusan-perumusan norma
yang menyangkut prinsip-prinsip mengarahkan (directive
166 Ibid
167 Ibid
168 Ibid
169 Ibid
170 Ibid
171 Ibid., hlm 12-13.
principles) atau prinsip-prinsip yang membimbing (guiding
principles) yang bersifat abstrak, misalnya pasal-pasal yang
memuat asas dan prinsip-prinsip, semuanya tidak bersifat
konkret, sehingga tidak menentukan dengan pasti apakah berisi
kaidah wajib atau larangan atau kebolehan.172 Contoh lain dapat
pula kita temukan dalam Konstitusi Irlandia tahun 1931 yang
kemudian dicontoh oleh Konstitusi India pada tahun 1946, yang
secara khusus memuat ketentuan mengenai prinsip-prinsip
haluan kebijakan negara (directive principles of state policy)
dimana isinya bukanlah kewajiban, tetapi juga bukan larangan
atau pun kebolehan.173
Sehubungan dengan itu ide penyusunan prinsip kebijakan
Directive Principles of State Policy (TJPSP) ini oleh kaum
nasionalis Irlandia dalam naskah Konstitusi tahun 1937 dapat
ditelusuri dari pengaruh Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Hak-
Hak Warga (Declaration of the Rights of Men and of Citizens)
Revolusi Prancis 1789 dan Deklarasi Kemerdekaan Amerika
Serikat 1776 (Declaration of Independence by the American
Colonies).174 Meskipun prinsip-prinsip penuntun dalam
konstitusi itu tidak bersifat enforceable di pengadilan, tetapi
prinsip-prinsip konstitusional yang terkandung di dalamnya
dipahami sebagai haluan negara yang menjadi kewajiban negara
untuk mewujudkannya dengan sebaik-baiknya dalam praktik
penyelenggaraan kekuasaan negara.175
Dapat dikatakan bahwa di dalam rumusan-rumusan haluan
negara (state policies) seperti unsur-unsur yang memang
seharusnya diikuti, tetapi bukan sebagai kewajiban hukum yang
konkret dengan disertai oleh ancaman sanksi yang bersifat
182 Ibid
183 Ibid
184 Ibid
185 Ibid
186 Ibid
187 Ibid., hlm 14-15.
semuanya dapat termuat dalam perumusan norma hukum
modern.188 Artinya, perumusan norma hukum dapat saja
memuat semua kaidah yang lima tersebut, yaitu:189
a) kaidah wajib (kewajiban) atau obligattere,
b) kaidah larangan (haram) atau prohibere,
c) kaidah kebolehan atau permittere,
d) kaidah anjuran positif (sunnah), maupun
e) kaidah anjuran negatif (makruh).
Hal ini terjadi karena: Pertama, perkembangan yang terjadi di
bidang hukum administrasi dengan sistem sanksinya yang
tersendiri atau bahkan tidak diharuskan dilengkapi dengan
sistem sanksi sama sekali, karena sifat normanya yang hanya
mengatur atau memberikan arah (directive and guiding
principles).190 Kedua, karena perkembangan yang terjadi di
bidang etika yang mulai semakin banyak dan luas diatur oleh
atau dengan peraturan perundang-undang. Karena itu,
perumusan norma hukum pun harus menyesuaikan diri dengan
sifat-sifat norma etika yang diatur dan dijadikan sebagai objek
pengaturan oleh undang-undang.191
Norma Etika. Dengan tetap bertitik tolak dari pendapat Hazairin
sebagaimana sudah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa
dalam sistem norma etik atau kesusilaan terdapat tiga kaidah
seperti tergambar di bawah.192
Tabel 4. Norma Etika193
Sunnah Anjuran untuk
Kebolehan Permittere
Makruh Anjuran Jangan
194 Ibid
195 Ibid
196 Ibid
197 Ibid., hlm 15-16.
198 Ibid., hlm 16.
199 Ibid
200 Ibid
201 Ibid
terutama berkaitan dengan sistem sanksinya, lebih bersifat
pencegahan, di samping pula penindakan.202 Untuk itu, sanksinya
biasa ditentukan berupa teguran atau peringatan yang
bertingkat-tingkat, mulai dari teguran lisan, teguran tertulis,
ataupun teguran ringan dan teguran keras.203 Bahkan kadang-
kadang ditentukan pula bahwa teguran itu dapat dijatuhkan
secara bertahap atau bertingkat, misalnya teguran tingkat
pertama, teguran kedua, dan teguran tingkat terakhir.204
Penentuan dan pengaturan mengenai sistem dan mekanisme
penjatuhan sanksi itu dalam suatu pedoman penegakan kode
etik dengan sebaik-baiknya, menurut keperluan berdasarkan
sifat pekerjaan yang perilaku aparatnya hendak dikendalikan
dengan sistem etik yang terkait.205 Bentuk yang paling keras
karena tingkat keseriusan atau beratnya pelanggaran etik yang
dilakukan oleh seorang aparat atau pemegang jabatan publik
(ambtsdrager), adalah sanksi pemberhentian atau pemecatan
seseorang dari jabatan publik yang bersangkutan.206
202 Ibid
203 Ibid
204 Ibid
205 Ibid
206 Ibid
BAB III
PENEGAKAN ETIKA DALAM UPAYA MENCEGAH TERJADINYA
KORUPSI
213 Ibid
214 Ibid
215 Ibid., hlm. 16.
216 Ibid
217 Ibid
218 Ibid
berperan dalam proses penegakan kode etik profesi wartawan
dimaksud.219
Semuanya gejala demikian itu terjadi, karena sebagian besar
pengertian orang tentang etika dan sistem kode etika, baru
bersifat formal dan bahkan proforma.220 Kode etik diharapkan
dapat berfungsi mendidik dan membimbing kesadaran volunter
yang bersifat sukarela atas dasar kesadaran sendiri tanpa harus
benar-benar ditegakkan dengan paksa.221 Inilah yang menjadi
alasan maka pada akhir abad ke-20 muncul kesadaran baru
mengena pentingnya pelembagaan institusi penegak kode etik
untuk menjamin berfungsinya sistem infra-struktur etik itu
dengan efektif.222 Sistem norma etik tidak cukup hanya
dipositivisasikan dalam bentuk pemberlakuan kode etik dai kode
perilaku. Sistem kode etik dan kode perilaku haruslah benar-
benar ditegakkan secara fungsional dengan dukungan
kelembagaan yang efektif.223
Karena itu, mulai akhir abad ke-20 muncul ide untuk
membangun infrastruktur kelembagaan penegak kode etik,
terutama di lingkungan jabatan-jabatan publik yang memerlukan
kepercayaan (trust atau amanah).224 Di Amerika Serikat,
misalnya, banyak sekali komisi-komisi etika (ethics commission)
yang dibentuk untuk maksud menegakkan kode etik di
lingkungan jabatan-jabatan eksekutif, legislatif, serta yudikatif.225
Bahkan, dari 50 negara bagian, sudah ada 42 negara bagian
Amerika Serikat yang berhasil membangun sistem infrastruktur
yang lengkap, mencakup kode etik dan pelembagaan komisi etik
219 Ibid
220 Ibid
221 Ibid
222 Ibid
223 Ibid
224 Ibid., hlm. 17.
225 Ibid
(Ethics Commission) untuk penegakannya.226 Hal ini sejalan
dengan anjuran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dalam
Sidang Umumnya pada tahun 1996, merekomendasikan agar
negara-negara anggota PBB mengembangkan apa yang disebut
sebagai ethics infrastructures in public offices. Infrastruktur yang
dimaksud mencakup pengertian kode etik dan lembaga penegak
kode etik.227 Dibentuknya lembaga-lembaga penegak kode etik
ini jelas dimaksudkan agar sistem kode etik dan kode perilaku
yang disusun dan diberlakukan sungguh-sungguh dijalankan dan
ditegakkan dengan sistem sanksi yang efektif bagi para
pelanggarnya. Inilah era baru yang dinamakan sebagai tahap
perkembangan etika yang bersifat fungsional.228
Lembaga-lembaga penegak kode etik ini ada yang disebut Komisi
Etika, Dewan Kehormatan, ataupun Komite Etika, semuanya
difungsikan untuk memeriksa laporan-laporan ataupun
pengaduan-pengaduan dan menegakkan kode etik bagi para
pelanggar dengan menjatuhkan sanksi yang tegas.229 Namun
demikian, dalam perkembangan pada tahap ini, sebagaimana
dipraktikkan dimana-mana di seluruh dunia, mekanisme
penegakan kode etik dimaksud biasa dilakukan secara tertutup,
karena pertimbangan yang sangat logis, bahwa sistem etika pada
dasarnya menyangkut hubungan-hubungan yang bersifat pribadi
atau privat.230 Karena itu, proses pemeriksaan dugaan
pelanggaran kode etik biasanya dilakukan secara tertutup.231
Sebagian pengertian lama tentang etika yang bersifat pribadi
yang daya lakukan bersumber dari dorongan kesadaran internal
226 Ibid
227 Ibid
228 Ibid
229 Ibid
230 Ibid
231 Ibid
tiap-tiap pribadi atau imposed om within, masih melekat dalam
mekanisme pengelolaan kelembagaan penegak kode etik.232
Pendek kata, sistem penegakan kode etik dan kode perilaku pada
tahap ini sama sekali belum dikaitkan dengan pengertian
peradilan.233 Penegakan kode etik belum dikonstruksikan
sebagai proses peradilan, seperti yang dikenal di dunia peradilan
modern yang harus bersifat transparan dan terbuka.234 Lembaga
penegak kode etik pun belum dipahami atau disebut sebagai
badan peradilan, khususnya pengadilan etika yang sepadan
dengan pengertian pengadilan di bidang hukum.235 Karena itu,
pada tahap keempat ini, perkembangan sistem etika dinamakan
sebagai tahap perkembangan tika fungsional tertutup. Sistem
penegakan etikanya masih bersifat tertutup dan belum
menerapkan prinsip-prinsip modern tentang peradilan
sebagaimana dipahami dalam bidang hukum.236 Dalam praktik di
Indonesia dewasa ini, mekanisme penegakan kode etik secara
tertutup ini juga terus diterapkan di semua bidang etika. Di
bidang kehakiman, kita telah mendirikan Komisi Yudisial yang
secara khusus diatur keberadaannya dalam Pasal 24B UUD
1945.237 Di bidang legislatif, UU tentang MPR, DPR, DPD, dan
DPRD (MD3) juga menentukan adanya badan Kehormatan, baik
di lingkungan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) maupun DPD
(Dewan perwakilan Daerah).238 Di lingkungan KPK (Komisi
pemberantasan Korupsi) juga dapat dibentuk adalah Majelis
Kehormatan yang bersifat ad hoc. Demikian pula di lingkungan
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dapat dibentuk
239 Ibid
240 Ibid
241 Ibid
242 Ibid
243 Ibid
244 Ibid
tidak dapat dipertanggungjawabkan.245 Selama proses
penegakan kode etik tidak terbuka, tidak dapat diharapkan
adanya akuntabilitas publik yang memberikan jaminan
objektivitas, imparsialitas, profesionalitas, integritas, dan
kredibilitas.246 Pada gilirannya, siapa yang dapat diyakinkan
bahwa proses penegakan kode etik itu sungguh-sungguh
terpercaya.247 Jika prosesnya tidak dapat dipercaya, bagaimana
mungkin hasilnya akan dapat dipercaya oleh masyarakat yang
terus berkembang makin terbuka karena sistem demokrasi yang
dianut.248
Karena itu juga, selama ini semua kasus dugaan pelanggaran
kode etik di pelbagai organisasi profesi, di pelbagai lembaga-
lembaga kenegaraan, dan instansi pemerintahan, dan organisasi
kemasyarakatan, cenderung bersifat melindungi, tidak sungguh-
sungguh menegakkan kode etika dan yang berlaku adalah kultur
ewuh-pekewuh, misalnya Majelis Kehormatan Dokter, cenderung
melindungi dan membela kepentingan para dokter sendiri,
dibandingkan dengan memenuhi tuntutan pasien.249 Begitu juga
organisasi profesi akuntan dan advokat biasanya hanya
melindungi teman-temannya sendiri daripada klien.250
Akibatnya, penegakan etika menjadi tidak efektif, etika profesi
tidak tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan
kebutuhan zaman, sementara tuntutan akan pelayanan
profesional yang semakin baik, dan kesadaran konsumer dan
klien akan hak-haknya tumbuh menjadi lebih kritis dan terbuka,
menyebabkan munculnya tuntutan untuk mengembangkan
245 Ibid
246 Ibid
247 Ibid
248 Ibid
249 Ibid., hlm 44.
250 Ibid
pendekatan kriminalisasi terhadap kasus-kasus malpraktik
dalam pelayanan profesional.251
Tuntutan demikian itu tercermin dalam kebijakan kriminalisasi
yang dilembagakan melalui proses legislasi di DPR dengan
maksud mulia untuk melindungi konsumen.252 Kebijakan
semacam itu muncul, misalnya, dalam pelbagai produk undang-
undang baru, seperti UU Praktik Kedokteran, UU Jabatan Notaris,
UU yang mengatur tentang profesi akuntan, UU tentang Advokat,
dan lain-lain sebagainya.253 Upaya kriminalisasi ini adalah upaya
maksimum dipandang perlu dilakukan, karena sistem etika
profesi sama sekali tidak berfungsi untuk mengendalikan dan
membimbing etika dan perilaku para profesional di bidangnya
masing-masing.254 Sebagai akibat berkembangnya
kecenderungan kriminalisasi ini muncullah keguncangan di
dunia profesi, sehingga terjadi kasus unjuk para dokter di
seluruh Indonesia menunjukkan solidaritas untuk membela
nasib dokter di Manado yang mengalami kriminalisasi.255 Para
notaris dan akuntan juga aktif mempersoalkan kebijakan
kriminalisasi terhadap profesinya masing-masing.256 Namun
jawabannya justru terletak pada tidak bekerjanya sistem etika
profesi itu sendiri. Jikalau etika profesi berjalan efektif, dan
mekanisme penegakan kode etika berfungsi dengan baik dan
terpercaya, maka niscaya upaya kriminalisasi itu sama sekali
tidak diperlukan.257
Sampai sekarang, jumlah anggota DPR yang diberhentikan
karena melanggar kode etik baru 1 orang. Kasus-kasus dugaan
251 Ibid
252 Ibid
253 Ibid
254 Ibid
255 Ibid
256 Ibid
257 Ibid
pelanggaran kode etik yang lain yang menimpa banyak anggota
DPR, kandas karena mekanisme di lingkungan internal Badan
Kehormatan DPR sendiri.258 Untuk kali yang pertama, dan juga
merupakan satu-satunya anggota DPR yang pernah dipecat
dalam sejarah dari keanggotaan DPR hanyalah H. Azidin dari
Fraksi Partai Demokrat periode 2004 – 2009.259 Sesudah itu
tidak pernah lagi ada sanksi yang dijatuhkan kepada anggota
DPR yang dilaporkan melakukan dugaan pelanggaran kode etik
DPR.260
Terbentuknya Majelis Kehormatan Hakim MK atas dugaan
pelanggaran kode etik oleh Hakim Dr. Arsyad Sanusi, S.H., dan
Majelis Kehormatan Hakim MA atas dugaan pelanggaran kode
etik oleh Hakim Ahmad Yamani, S.H. Juga dapat dipakai untuk
menjelaskan buruknya sistem tertutup itu.261 Ketika
menyidangkan Hakim Arsyad Sanusi, Majelis Kehormatan Hakim
MK bersidang secara tertutup dan hasilnya Arsyad Sanusi
diminta mengundurkan diri untuk pensiun dini, persis sama
dengan Hakim Agung Ahmad Yamani beberapa bulan kemudian,
juga diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan pensiun
dini, tanpa kejelasan apakah terbukti melanggar kode etik atau
tidak. Padahal, untuk kasus yang sama dengan Arsyad Sanusi di
MK, Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-PKU)
memeriksa salah seorang anggota KPU Andi Nurpati atas
pengaduan pelanggaran kode etik yang diduga telah
dilakukannya dalam kasus yang melibatkan peran Hakim
Konstitusi Arsyad Sanusi dan Calon anggota legislatif 2009, Dewi
Yasin Limpo. Hasil pemeriksaan oleh DK-KPU dalam persidangan
yang bersifat terbuka untuk umum membuktikan bahwa Andi
258 Ibid
259 Ibid
260 Ibid
261 Ibid., hlm 44-45.
Nurpati terlibat pelanggaran di beberapa tempat, termasuk
dalam kaitan dengan kasus Arsyad Sanusi dan Dewi Yasin Limpo,
sehingga oleh karena itu, Andi Nurpati diberhentikan dari
keanggotaan Komisi Pemilihan Umum. Sedangkan Majelis
Kehormatan Hakim MK tidak menyatakan bahwa Hakim Arsyad
Sanusi melanggar kode etik, melainkan hanya menerima niat
baik Hakim Arsyad Sanusi untuk mengajukan permohonan
pensiun dini dari jabatan Hakim Konstitusi.262
Mirip dengan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi, putusan Majelis
Kehormatan Hakim MA atas dugaan pelanggaran kode etik
Hakim Agung Ahmad Yamani juga demikian.263 Putusan yang
dijatuhkan baginya melalui persidangan yang bersifat tertutup
hanya memberi kesempatan kepadanya untuk mengajukan
permohonan pensiun dini.264 Terhadap putusan demikian,
banyak orang menilainya bukan sebagai sanksi atau hukuman
bagi Ahmad Yamani, melainkan kemudahan untuk melepaskan
diri dari sorotan masyarakat.265 Karena itu, muncul reaksi keras
dari masyarakat yang menuntut agar Hakim Agung disidangkan
lagi melalui pemeriksaan terbuka dengan Komisi Yudisial. Atas
dasar kesepakatan bersama antara MA dan KY akhirnya berhasil
ditempuh suatu mekanisme persidangan majelis kehormatan
secara terbuka, sebagaimana yang dipraktikkan oleh Dewan
Kehormatan KPU dan kemudian diteruskan oleh Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).266 Sesudah kasus
Ahmad Yamani disidangkan kembali melalui persidangan yang
terbuka untuk umum, baru diketahui secara luas bahwa Ahmad
Yamani memang telah secara nyata terbukti melanggar kode etik
267 Ibid
268 Ibid
269 Ibid
270 Ibid
271 Ibid., hlm. 46.
272 Ibid
273 Ibid
274 Ibid
dan 2011, maupun DKPP yang terbentuk sejak tahun 2012,
sehingga dapat dengan berkelanjutan menerapkan prinsip-
prinsip peradilan modern yang bersifat objektif, imparsial,
profesional, terbuka, transparan, akuntabel, dan berintegritas.
Dalam waktu 2 tahun sejak berdirinya pada bulan Juni 2012,275
DKPP sendiri tercatat telah memberhentikan secara tetap atau
memecat komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) ataupun
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di seluruh Indonesia,
sebanyak 126 orang, dan lebih dari 100-an orang yang diberi
peringatan mulai dari teguran ringan sampai teguran keras.
Semua ini dilakukan secara terbuka sebagai jaminan adanya
akuntabilitas publik dengan menerapkan semua prinsip
peradilan modern yang dikenal di dunia hukum.276 Karena itu,
dinamakan tahap perkembangan terakhir ini sebagai tahap
perkembangan etika fungsional terbuka. Dari sini kita dapat
memperkenalkan konsep peradilan etika (court of ethics) di
samping yang dikenal selama ini pengertian tentang peradilan
dalam ranah norma hukum (court of law).277
Bahkan, dari pengertian tersebut, kita dapat pula
memperkenalkan pengertian baru tentang the rule of ethics di
samping pengertian tentang the Rule of law.278 Dalam konsepsi
Rule of Law tercakup pengertian tentang kode hukum (code of
law) atau kitab undang-undang (book of law) dan pengadilan
hukum (court of law).279 Sedangkan dalam konsepsi Rule of
Ethics tercakup pengertian kode etik (code of ethics) atau kode
perilaku (code of conduct) dan sekaligus juga pengertian tentang
275 Ibid
276 Ibid
277 Ibid
278 Ibid., hlm. 47.
279 Ibid
pengadilan etika (court of ethics).280 Konsepsi demikian ini tentu
belum populer, apalagi mengenai pengertian peradilan dan
pengadilan etika, sama sekali belum dikenal di dunia.281 Artinya,
perkembangan sistem etika pada tahap kelima ini dapat
dikatakan masih harus dirintis dengan sebaik-baiknya, sebagai
inovasi yang diprakarsai oleh bangsa kita untuk kepentingan
integritas kemanusiaan di seluruh dunia di masa mendatang.282
Pada akhir tahun 1996, tepatnya pada tanggal 12 Desember
1996, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan Sidang
Umum ke-82.283 Dalam Sidang Umum ke-82 ini berhasil disahkan
Resolusi PBB tentang Action Against Corruption yang
melampirkan naskah International Code of Conduct for Public
Officials sebagai Annex.284 Naskah International Code of Conduct
for Public Officials tersebut terdiri atas 6 romawi yang berisi 5
standar perilaku yang diidealkan bagi para pejabat yang memang
jabatan publik di semua negara anggota Perserikatan Bangsa-
Bangsa. Keenam butir materi kode perilaku bagi pejabat publik
tersebut adalah:285
280 Ibid
281 Ibid
282 Ibid
283 MAULIDA MAULAYA UBBAH. 2018. makalah dasar-dasar
292
Lihat Pasal 1 KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
PENJELASAN tentang PASAL DEMI PASAL
293
Lihat Pasal 2 KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA
PENJELASAN tentang PASAL DEMI PASAL
294
Lihat Pasal 3 KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA PENJELASAN
tentang PASAL DEMI PASAL
Esa.295 (Pasal 5): Dokter harus mampu mempertebal keyakinan
pasien bahwa ia dapat sembuh dan mengalihkan perhatian
pasien yang depresi atau cemas ke hal yang memberikan
harapan dan menimbulkan optimisme.
(Pasal 6): Penelitian dan publikasi hasil penelitian itu juga harus
berlandaskan stik penelitian dan penulisan ilmiah. (Pasal 7):
Membuat surat keterangan dokter. (Pasal 8): Dokter adalah
tenaga profesi yang mempunyai kemampuan untuk
menggerakkan potensi yang ada bagi terwujudnya tujuan
kesehatan individu, keluarga dan masyarakat umumnya serta
mencakup segala aspek (pelayanan kesehatan paripurna), yaitu
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. (Pasal 9): Untuk
menjalankan seluruh program, maka perlu dijalin kerjasama
dengan instansi-instansi lain di luar bidang kedokteran. Pasal
10): dalam menghadapi berbagai masalah pasien, maka seorang
dokter harus selalu mempertimbangkan apa yang terbaik yang
harus dilakukan (mulai dari peranan pasien di keluarga/tentang
kemungkinan kelanjutan hidupnya di masa depan). (Pasal 11):
Pendekatan yang dilakukan dokter dalam penyembuhan
hendaknya selalu bersifat holistik dengan mempertimbangkan
tidak hanya aspek fisik, tetapi juga aspek psikis, spiritual, dan
intelektual pasiennya.
(Pasal 12): Dokter yang bijaksana harus selalu mendalami latar
belakang kehidupan pasiennya. Pada hal-hal yang khusus perlu
diberi kesempatan bagi pasien untuk bertemu dengan orang-
orang yang dikehendakinya. (Pasal 13): Hubungan dokter
dengan pasien bersifat konfidensial, percaya-mempercayai dan
hormat-menghormati. (Pasal 14): Setiap orang wajib melakukan
pertolongan pertama kepada siapapun yang mengalami
kecelakaan atau sakit mendadak, apalagi seorang dokter. (Pasal
1. Berperilaku Adil
Prinsip berperilaku adil merupakan rumusan kode etiknya yang
mengandung makna menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang
didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama
kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang
paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan
dan memberi kesempatan yang sama {equality and fairness)
terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang
melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang
memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan
benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan
orang.
Sedangkan kaidah penerapannya dalam rangka Pedoman
Perilaku, di-rumuskan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu rumusan
umum dan spesifik. Secara umum, ditentukan bahwa (i) Hakim
wajib melaksanakan tugas-tugas hukumnya dengan
menghormati asas praduga tak bersalah, tanpa mengharapkan
imbalan; (ii) Hakim wajib tidak memihak, baik di dalam maupun
di luar pengadilan dan tetap menjaga serta menumbuhkan
kepercayaan masyarakat pencari keadilan; (iii) Hakim wajib
menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan pencabutan
haknya untuk mengadili perkara yang bersangkutan; (iv) Hakim
dilarang memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah
berperkara atau kuasanya termasuk penuntut dan saksi berada
dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi hakim yang
bersangkutan; (v) Hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya
dilarang menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan,
prasangka, atau pelecehan terhadap suatu ras, jenis kelamin,
agama, asal kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau
mental, usia atau status sosial ekonomi maupun atas dasar
kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau pihak-pihak
yang terlibat dalam proses peradilan baik melalui perkataan
maupun tindakan; (vi) Hakim dalam suatu proses persidangan
wajib meminta kepada semua pihak yang terlibat proses
persidangan untuk menerapkan standar perilaku sebagaimana
dimaksud dalam butir (5); (v) Hakim dilarang bersikap,
mengeluarkan perkataan atau melakukan tindakan lain yang
dapat menimbulkan kesan memihak, berprasangka, mengancam,
atau menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saksi-saksi,
dan harus pula menerapkan standar perilaku yang sama bagi
advokat, penuntut, pegawai pengadilan atau pihak lain yang
tunduk pada arahan dan pengawasan hakim yang bersangkutan;
(vi) Hakim harus memberikan keadilan kepada semua pihak dan
tidak beriktikad semata-mata untuk menghukum; dan (vii)
Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan pegawai pengadilan
atau pihak-pihak lain untuk mempengaruhi, mengarahkan, atau
mengontrol jalannya sidang, sehingga menimbulkan perbedaan
perlakuan terhadap para pihak yang terkait dengan perkara.
Secara spesifik, Hakim diharuskan untuk (i) mendengar kedua
belah pihak. Bahkan, sebenarnya, Hakim sudah semestinya
bukan hanya mendengar kedua belah pihak, tetapi semua pihak
yang berkepentingan atau yang dapat membuktikan
kepentingannya terhadap perkara yang bersangkutan sesuai
dengan prinsip audi et alteram partem dalam peradilan yang
berlaku secara universal; (ii) Hakim harus memberikan
kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari
keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam
suatu proses hukum di Pengadilan; dan (iii) Hakim tidak boleh
berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar
persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung
pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang
dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang
berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan
ketidakberpihakan.
2. Berperilaku Jujur
Dalam kode etik, dirumuskan keharusan berperilaku jujur yang
bermakna bahwa para hakim berlaku jujur dan berani
menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah
adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang
kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan
yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang
tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan
maupun di luar persidangan.
Dalam kaidah penerapannya, secara umum, ditentukan bahwa
setiap (i) Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari
perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan
tercela; dan (ii) Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah
laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan,
selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat,
penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga
tercermin sikap ketidakberpihakan Hakim dan lembaga
peradilan (impartiality). Sedangkan secara spesifik, ditentukan
pula hal-hal yang harus dilakukan berkenaan dengan pemberian
hadiah dan sejenisnya, yaitu bahwa (i) Hakim tidak boleh
meminta/menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim,
orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk
meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan,
pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari (a)
Advokat; (b) Penuntut; (c) Orang yang sedang diadili; (d) Pihak
lain yang kemungkinan kuat akan diadili; dan (e) Pihak yang
memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung
terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan
kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara
wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung
maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas
peradilannya.
Yang dapat dikecualikan dari ketentuan tersebut hanyalah
pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan
(circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk
mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan.
Pemberian atau hadiah yang dimaksud itu, misalnya, adalah
pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam
kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar
keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya,
yang nilainya tidak melebihi Rp 500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah
sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Di samping itu, (ii) Hakim dilarang menyuruh/mengizinkan
pegawai pengadilan atau pihak lain yang di bawah pengaruh,
petunjuk atau kewenangan hakim yang bersangkutan untuk
meminta atau menerima hadiah, hibah, warisan, pemberian,
pinjaman atau bantuan apa pun sehubungan dengan segala hal
yang dilakukan atau akan dilakukan atau tidak dilakukan oleh
hakim yang bersangkutan berkaitan dengan tugas atau fungsinya
dari (a) Advokat; (b) Penuntut; (c) Orang yang sedang diadili
oleh hakim tersebut; (d) Pihak lain yang kemungkinan kuat akan
diadili oleh hakim tersebut; (e) Pihak yang memiliki kepentingan
baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara
yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh
Hakim yang bersangkutan yang secara wajar patut diduga
bertujuan untuk mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugas
peradilannya.
Demikian pula hakim, dilarang (iii) menerima Imbalan dan
Pengeluaran/Ganti Rugi. Hakim hanya dapat menerima imbalan
dan atau kompensasi biaya untuk kegiatan ekstra yudisial dari
pihak yang tidak mempunyai konflik kepentingan, sepanjang
imbalan atau kompensasi tersebut tidak mempengaruhi
pelaksanaan tugas-tugas yudisial dari hakim yang bersangkutan;
Mengenai (iv) Pencatatan dan Pelaporan Hadiah dan Kekayaan
(a) Hakim wajib melaporkan secara tertulis gratifikasi yang
diterima kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK), Ketua Muda Pengawasan mahkamah Agung dan Ketua
Komisi Yudisial paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima; dan (b)
Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi sebelum, selama dan setelah menjabat,
serta bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan
setelah menjabat.
5. Berintegritas Tinggi
Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh,
berwibawa, jujur, dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada
hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang
pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam
melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong
terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala
bentuk intervensi, dengan mengendapkan tuntutan hati nurani
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, serta selalu
berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk
mencapai tujuan terbaik. Dalam penerapannya, secara umum
dirumuskan bahwa (i) Hakim harus berperilaku tidak tercela; (ii)
Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki
konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan
kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan
(reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan; (iii)
Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun
tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam
suatu perkara tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan;
(tv) Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik
langsung maupun tidak langsung dengan Advokat yang sering
berperkara di wilayah hukum Pengadilan tempat Hakim tersebut
menjabat; (v) Pemimpin Pengadilan diperbolehkan menjalin
hubungan yang wajar dengan lembaga eksekutif dan legislatif
dan dapat memberikan keterangan, pertimbangan serta nasihat
hukum selama hal tersebut tidak berhubungan dengan suatu
perkara yang sedang disidangkan atau yang diduga akan
diajukan ke Pengadilan; (vi) Hakim wajib bersikap terbuka dan
memberikan informasi mengenai kepentingan pribadi yang
menunjukkan tidak adanya konflik kepentingan dalam
menangani suatu perkara; (vii) Hakim dilarang melakukan tawar
menawar putusan, memperlambat pemeriksaan perkara,
menunda eksekusi atau menunjuk advokat tertentu dalam
menangani suatu perkara di pengadilan, kecuali ditentukan lain
oleh undang-undang.
Hakim juga dilarang terlibat dalam situasi konflik kepentingan,
baik dalam hubungan pribadi dan keluarga, dalam hubungan
pekerjaan, hubungan finansial, dan sebagainya. Terkait
hubungan keluarga (i) Hakim dilarang mengadili suatu perkara
apabila memiliki hubungan keluarga, Ketua Majelis, Hakim
Anggota lainnya, Penuntut, Advokat dan Panitera yang
menangani perkara tersebut; (ii) Hakim dilarang mengadili suatu
perkara apabila Hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang
akrab dengan pihak yang berperkara, Penuntut, Advokat yang
menangani perkara tersebut.
Terkait dengan hubungan pekerjaan atau organisasi, (i) Hakim
dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah mengadili atau
menjadi Penuntut, Advokat atau Panitera dalam perkara tersebut
pada persidangan di Pengadilan tingkat yang lebih rendah; (ii)
Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah
menangani hal-hal yang berhubungan dengan perkara atau
dengan para pihak yang akan diadili, saat menjalankan pekerjaan
atau profesi lain sebelum menjadi Hakim; (iii) Hakim dilarang
mengijinkan seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa
orang tersebut seakan-akan berada dalam posisi khusus yang
dapat mempengaruhi Hakim secara tidak wajar dalam
melaksanakan tugas-tugas peradilan. Demikian pula (iv) Hakim
dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya
adalah organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik
apabila Hakim tersebut masih atau pernah aktif dalam
organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik tersebut.
Dalam hubungan finansial, (i) Hakim harus mengetahui urusan
keuangan pribadinya maupun beban-beban keuangan lainnya
dan harus berupaya secara wajar untuk mengetahui urusan
keuangan para anggota keluarganya; (ii) Hakim dilarang
menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar
kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga dalam
hubungan finansial; (iii) Hakim dilarang mengizinkan pihak lain
yang akan menimbulkan kesan bahwa seseorang seakan-akan
berada dalam posisi khusus yang dapat memperoleh keuntungan
finansial.
Di samping itu, diatur pula mengenai kaitan prasangka dan
pengetahuan hakim atas fakta-fakta yang berhubungan dengan
substansi perkara. Hakim dilarang mengadili suatu perkara
apabila Hakim tersebut telah memiliki prasangka yang berkaitan
dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau bukti yang
berkaitan dengan suatu perkara yang akan disidangkan. Dalam
hubungan dengan
Pemerintah Daerah, (i) Hakim juga dilarang menerima janji,
hadiah, hibah, pemberian, pinjaman atau manfaat lainnya,
khususnya yang bersifat rutin atau terus-menerus dari
Pemerintah Daerah, walaupun pemberian tersebut tidak
mempengaruhi pelaksanaan tugas-tugas yudisial.
Dalam hal-hal terlibat dalam situasi yang dilarang sebagaimana
dimaksudkan di atas, diatur pula tata cara pengunduran diri
hakim atas inisiatifnya sendiri, (i) Hakim yang memiliki konflik
kepentingan sebagaimana diatur dalam butir 5.2 wajib
mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang
bersangkutan. Keputusan untuk mengundurkan diri harus dibuat
seawal mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang
mungkin timbul terhadap lembaga peradilan atau persangkaan
bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak
berpihak; dan (ii) Apabila muncul keragu-raguan bagi Hakim
mengenai kewajiban mengundurkan diri, memeriksa dan
mengadili suatu perkara, wajib meminta pertimbangan Ketua.
6. Bertanggung Jawab
Sikap bertanggung bermakna kesediaan dan keberanian untuk
melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi
wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk
menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan
tugasnya tersebut. Dalam penerapannya, ditentukan (i)
Penggunaan Predikat Jabatan Hakim dilarang menyalahgunakan
jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau pihak lain; dan
(ii) Penggunaan Informasi Peradilan Hakim dilarang
mengungkapkan atau menggunakan informasi yang bersifat
rahasia, yang didapat dalam kedudukan sebagai Hakim, untuk
tujuan yang tidak ada hubungan dengan tugas-tugas peradilan.
8. Berdisiplin Tinggi
Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-
kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban
amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin
tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di
dalam pelaksanaan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan
berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta
tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya.
Dalam penerapannya, ditentukan bahwa (i) Hakim berkewajiban
mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok
sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku,
khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara
benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari
keadilan; (ii) Hakim harus menghormati hak-hak para pihak
dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan
perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan; (iii) Hakim
harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; (iv) Ketua Pengadilan atau
Hakim yang ditunjuk, harus mendistribusikan perkara kepada
Majelis Hakim secara adil dan merata, serta menghindari
pendistribusian perkara kepada Hakim yang memiliki konflik
kepentingan.
2. Prosedur Penegakan
Kode Etik Notaris Indonesia termasuk telah cukup lengkap
mengatur mengenai prosedur penegakannya. Tata Cara
Penegakan Kode Etik diatur dalam Bab V, VI, dan VII, mulai dari
Pasal 7 sampai dengan Pasal 14, mulai dari prosedur
pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi, eksekusi atas
sanksi-sanksi, pemecatan sementara, dan seterusnya. Pasal 7
menentukan bahwa pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik
dilakukan dengan cara sebagai berikut: (a) Pada tingkat pertama
oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan
Kehormatan Daerah; (b) Pada tingkat banding oleh Pengurus
Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan Dewan Kehormatan
Wilayah; dan (c) Pada tingkat akhir oleh Pengurus Pusat Ikatan
Notaris Indonesia adalah Dewan Kehormatan Pusat.
Pasal 8 menentukan bahwa Dewan Kehormatan merupakan alat
perlengkapan Perkumpulan yang berwenang melakukan
pemeriksaan atas pe-langgaran terhadap Kode Etik dan
menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan
kewenangan masing-masing. Pemeriksaan dan Penjatuhan
Sanksi Pada Tingkat Pertama diatur pada Pasal 9 yang
menentukan sebagai berikut.
1) Apabila ada anggota yang diduga melakukan pelanggaran
terhadap Kode Etik, baik dugaan tersebut berasal dari
pengetahuan Dewan Kehormatan Daerah sendiri maupun karena
laporan dari Pengurus Daerah ataupun pihak lain kepada Dewan
Kehormatan Daerah, maka selambat-lambatnya dalam waktu
tujuh (7) hari kerja Dewan Kehormatan Daerah wajib segera
mengambil tindakan dengan mengadakan sidang Dewan
Kehormatan Daerah untuk membicarakan dugaan terhadap
pelanggaran tersebut.
2) Apabila menurut hasil sidang Dewan Kehormatan Daerah
sebagaimana yang tercantum dalam ayat (1), ternyata ada
dugaan kuat terhadap pe-langgaran Kode Etik, maka dalam
waktu tujuh (7) hari kerja setelah tanggal sidang tersebut,
Dewan Kehormatan Daerah berkewajiban memanggil anggota
yang diduga melanggar tersebut dengan surat tercatat atau
dengan ekspedisi, untuk didengar keterangannya dan diberi
kesempatan untuk membela diri.
3) Dewan Kehormatan Daerah baru akan menentukan
putusannya mengenai terbukti atau tidaknya pelanggaran kode
etik serta penjatuhan sanksi terhadap pelanggarnya (apabila
terbukti), setelah mendengar keterangan dan pembelaan diri
dari anggota yang bersangkutan dalam sidang Dewan
Kehormatan Daerah yang diadakan untuk keperluan itu, dengan
perkecualian sebagaimana yang diatur dalam ayat (6) dan i ayat
(7) pasal ini.
4) Penentuan putusan tersebut dalam ayat (3) di atas dapat
dilakukan oleh Dewan Kehormatan Daerah, baik dalam sidang
itu maupun dalam sidang lainnya, sepanjang penentuan
keputusan melanggar atau tidak melanggar tersebut dilakukan
selambat-lambatnya dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja,
setelah tanggal sidang Dewan Kehormatan Daerah di mana
Notaris tersebut telah didengar keterangan dan/atau
pembelaannya.
5) Bila dalam putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah
dinyatakan terbukti ada pelanggaran terhadap Kode Etik, maka
sidang sekaligus menentukan sanksi terhadap pelanggarnya.
6) Dalam hal anggota yang dipanggil tidak datang atau tidak
memberi kabar apa pun dalam waktu tujuh (7) hari kerja setelah
dipanggil, maka Dewan Kehormatan Daerah akan mengulangi
panggilannya sebanyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu tujuh (7)
hari kerja, untuk setiap panggilan.
7) Dalam waktu tujuh (7) hari kerja, setelah panggilan
ketiga (3) ternyata masih juga tidak datang atau tidak memberi
kabar dengan alasan apa pun, maka Dewan Kehormatan Daerah
akan tetap bersidang untuk membicarakan pelanggaran yang
diduga dilakukan oleh anggota yang dipanggil itu dan
menentukan putusannya, selanjutnya secara mutatis mutandis
berlaku ketentuan dalam ayat (5) dan ayat (6) di atas serta ayat
(9).
8) Terhadap sanksi pemberhentian sementara (schorsing)
atau pemecatan (onzetting) dari keanggotaan Perkumpulan
diputuskan, Dewan Kehormatan Daerah wajib berkonsultasi
terlebih dahulu dengan Pengurus Daerahnya.
9) Putusan sidang Dewan Kehormatan Daerah wajib dikirim
oleh Dewan Kehormatan Daerah kepada anggota yang melanggar
dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan tembusannya
kepada Pengurus Cabang, Pengurus Daerah, Pengurus Pusat dan
Dewan Kehormatan Pusat, semuanya itu dalam waktu tujuh (7)
hari kerja, setelah dijatuhkan putusan oleh sidang Dewan
Kehormatan Daerah.
10) Apabila pada angkat kepengurusan Daerah belum
dibentuk Dewan Kehormatan Daerah, maka Dewan Kehormatan
Wilayah berkewajiban dan mempunyai wewenang untuk
menjalankan kewajiban serta kewenangan Dewan Kehormatan
Daerah dalam rangka penegakan Kode Etik atau melimpahkan
tugas kewajiban dan kewenangan Dewan Kehormatan Daerah
kepada kewenangan Dewan Kehormatan Daerah terdekat dari
tempat kedudukan atau tempat tinggal anggota yang melanggar
Kode Etik tersebut. Hal tersebut berlaku pula apabila Dewan
Kehormatan Daerah tidak sanggup menyelesaikan atau
memutuskan permasalahan yang dihadapinya. Pemeriksaan dan
Penjatuhan Sanksi.
Pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat Banding, diatur
pada Pasal 10 yang menentukan sebagai berikut.
1) Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan
sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari
keanggotaan Perkumpulan dapat diajukan/dimohonkan banding
kepada Dewan Kehormatan Wilayah.
2) Permohonan untuk naik banding wajib dilakukan oleh
anggota yang bersangkutan dalam waktu tiga puluh (30) hari
kerja, setelah tanggal penerimaan surat putusan penjatuhan
sanksi dari Dewan Kehormatan Daerah.
3) Permohonan naik banding dikirim dengan surat tercatat
atau dikirim langsung oleh anggota yang bersangkutan kepada
Dewan Kehormatan Wilayah dan tembusannya kepada Dewan
Kehormatan Pusat, Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah dan
Pengurus Daerah.
4) Dewan Kehormatan Daerah dalam waktu tujuh (7) hari
setelah menerima surat tembusan permohonan banding wajib
mengirim semua salinan atau foto copy berkas pemeriksaan
kepada Dewan Kehormatan Pusat.
5) Setelah menerima permohonan banding, Dewan
Kehormatan Wilayah wajib memanggil anggota yang naik
banding, selambat-lambatnya dalam waktu tujuh (7) hari kerja,
setelah menerima permohonan tersebut. Anggota yang
mengajukan banding dipanggil untuk didengar keterangannya
dan diberi kesempatan untuk membela diri dalam sidang Dewan
Kehormatan Wilayah.
6) Dewan Kehormatan Wilayah wajib memberi putusan
dalam tingkat banding melalui sidangnya, dalam waktu tiga
puluh (30) hari kerja, setelah anggota yang bersangkutan
dipanggil, didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk
membela diri.
7) Apabila anggota yang dipanggil tidak datang dan tidak
memberi kabar dengan alasan yang sah melalui surat tercatat,
maka sidang Dewan Kehormatan Wilayah tetap akan memberi
putusan dalam waktu yang ditentukan pada ayat (5) di atas.
8) Dewan Kehormatan Wilayah wajib mengirim putusannya
kepada anggota yang minta banding dengan surat tercatat
dengan ekspedisi dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan
Daerah, Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah dan Pengurus Pusat
Ikatan Notaris Indonesia Pusat semuanya itu dalam waktu tujuh
(7) hari kerja setelah sidang Dewan Kehormatan Wilayah
menjatuhkan keputusannya atas banding tersebut.
9) Apabila pemeriksaan dan penjatuhan sanksi dalam
tingkat pertama telah dilakukan oleh Dewan Kehormatan
Wilayah, berhubung pada tingkat kepengurusan daerah yang
bersangkutan belum dibentuk Dewan Kehormatan Daerah; maka
keputusan Dewan Kehormatan Wilayah tersebut merupakan
keputusan tingkat banding.
Adapun pemeriksaan dan mekanisme penjatuhan Sanksi pada
tingkat akhir di-atur pada Pasal 11 yang menentukan sebagai
berikut.
1) Putusan yang berisi penjatuhan sanksi pemecatan
sementara (schorsing) atau pemecatan (onzetting) dari
keanggotaan Perkumpulan yang dilakukan oleh Dewan
Kehormatan Wilayah dapat diajukan/dimohonkan pemeriksaan
pada tingkat terakhir kepada Dewan Kehormatan Pusat.
2) Permohonan untuk pemeriksaan tingkat akhir wajib
dilakukan oleh anggota yang bersangkutan dalam waktu tiga
puluh (30) hari kerja, setelah tanggal penerimaan surat putusan
penjatuhan sanksi dari Dewan Kehormatan Wilayah.
3) Permohonan pemeriksaan tingkat akhir dikirim dengan
surat tercatat atau melalui ekspedisi atau oleh anggota yang
bersangkutan kepada Dewan Kehormatan Pusat dan
tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus
Pusat, Pengurus Wilayah dan Pengurus Daerah.
4) Dewan Kehormatan Wilayah dalam waktu tujuh (7) hari
setelah menerima surat tembusan permohonan pemeriksaan
tingkat terakhir wajib mengirim semua salinan foto copy berkas
pemeriksaan kepada Dewan Kehormatan Pusat.
5) Setelah menerima permohonan pemeriksaan tingkat
terakhir. Dewan Kehormatan Pusat wajib memanggil anggota
yang meminta pemeriksaan tersebut, selambat-lambatnya dalam
waktu tiga puluh (30) hari kerja, setelah menerima permohonan
pemeriksaan tersebut, dipanggil, didengar keterangannya dan
diberi kesempatan untuk membela diri dalam sidang Dewan
Kehormatan Pusat.
6) Dewan Kehormatan Pusat wajib memberi putusan dalam
pemeriksaan tingkat terakhir melalui sidangnya, dalam waktu
tiga puluh (30) hari kerja, setelah anggota yang bersangkutan
dipanggil, didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk
membela diri.
7) Apabila anggota yang dipanggil tidak datang dan tidak
memberi kabar dengan alasan yang sah melalui surat tercatat,
maka sidang Dewan Kehormatan Pusat tetap akan memberi
putusan dalam waktu yang ditentukan pada ayat (5) di atas.
8) Dewan Kehormatan Wilayah Pusat wajib mengirim
putusannya kepada anggota yang minta pemeriksaan tingkat
terakhir dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan
tembusannya kepada Dewan Kehormatan Daerah, Pengurus
Cabang, Pengurus Daerah dan Pengurus Pusat, semuanya itu
dalam waktu tujuh (7) hari kerja, setelah sidang Dewan
Kehormatan Pusat menjatuhkan keputusannya atas pemeriksaan
tingkat terakhir tersebut.
Selanjutnya, mengenai prosedur eksekusi atas sanksi-sanksi
pelanggaran Kode Etik diatur dalam Pasal 12, yaitu: (i) Putusan
yang ditetapkan deh Dewan Kehormatan Daerah, Dewan
Kehormatan Wilayah maupun yang ditetapkan oleh Dewan
Kehormatan Pusat dilaksanakan oleh Pengurus Daerah; dan (ii)
Pengurus Daerah wajib mencatat dalam buku anggota
Perkumpulan yang ada pada Pengurus Daerah atas setiap
keputusan yang elah ditetapkan oleh Dewan Kehormatan
Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah dan/atau Dewan
Kehormatan Pusat mengenai kasus Kode Etik berikut nama
anggota yang bersangkutan. Selanjutnya, untuk kepentingan
publik, nama-nama Notaris yang dijatuhi sanksi tersebut, kasus
dan keputusan Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan
Wilayah dan/atau Dewan Kehormatan Pusat diumumkan dalam
Media Notariat yang terbit setelah pencatatan dalam buku
anggota Perkumpulan tersebut.
Khusus mengenai pelaksanaan sanksi pemecatan sementara dan
kewajiban Pengurus mengenai hal itu, ditentukan pula pada
Pasal 13 dan Pasal 14 bahwa dengan tanpa mengurangi
ketentuan yang mengatur tentang prosedur atau tata cara
maupun penjatuhan sanksi secara bertingkat, maka terhadap
seorang anggota Perkumpulan yang telah melanggar Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan yang
bersangkutan dinyatakan bersalah, serta dipidana berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, Pengurus Pusat wajib memecat sementara sebagai
anggota Perkumpulan disertai usul kepada Kongres agar anggota
Perkumpulan tersebut dipecat dari anggota Perkumpulan.
Pengenaan sanksi pemecatan sementara (schorsing) demikian
juga sanksi (onzetting) maupun pemberhentian dengan tidak
hormat sebagai anggota Perkumpulan terhadap pelanggaran
sebagaimana dimaksud wajib diberitahukan oleh Pengurus Pusat
kepada Majelis Pengawas
Daerah dan tembusannya disampaikan kepada Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
302 Ibid
303 Ibid
negara hukum, dengan konsep negara hukum, hendaknya hukum
dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang
di dalamnya terdapat (a), elemen kaidah hukum (elemen
instrumental); (b). elemen kelembagaan (elemen institutional);
dan (c). elemen prilaku para subyek hukum yang menyandang
hak dan kewajiban atau wewenang yang ditentukan oleh norma
hukum (elemen subyektif dan cultural).
Pemahaman penyelenggara negara terhadap penegakan etika
dalam penelitian ini memperlihatkan pemahaman/pengetahuan
yang berbeda yang dapat dilihat pada diagram berikut ini:
304 http://www.satuharapan.com/read-detail/read/kasus-setya-
novanto-dan-disfungsi-etika-pejabat-publik
305 Ibid
306 Ibid
pertemuan dan salah satu rekaman percakapan sang Ketua DPR
RI benar-benar membuat banyak kalangan terperangah.307
Karena, sang Ketua DPR RI melakukan rangkaian pertemuan
dengan Petinggi PT. Freeport dalam sebuah negosiasi tidak resmi
seputar masa depan PT. Freeport di Indonesia.308 Konon,
pertemuan sudah pada fase ketiga dan melibatkan seorang
pengusaha perminyakan yang sangat terkenal di Indonesia.
Padahal, bukanlah tugas seorang Ketua DPR RI untuk sampai
repot-repot melakukan lobby yang menjadi area kewenangan
dan tugas eksekutif.309 Dalam hal ini, seorang Setya Novanto
benar-benar “super rajin” dalam membantu pihak eksekutif.
Pada pertemuan yang ketiga ternyata direkam oleh petinggi PT.
Freeport, dan termasuk di rekaman tersebut pencatutan nama
Presiden dan Wakil Presiden untuk mendapat besaran saham
masing-masing 11% dan 9%.310 Jelas ini bukan masalah sepele.
Meski Presiden Jokowi memilih untuk menyerahkan persoalan
tersebut ke MKD DPR RI, tetapi jelas pencatutan tersebut
teramat tidak menyenangkan.311 Apalagi karena dilakukan oleh
Pejabat Tinggi Negara yang jika memang benar demikian,
menunjukkan betapa miskin etikanya yang bersangkutan.
Peristiwa pencatutan ini kembali menghentakkan publik dan
menunjukkan bahwa tidak sedikit pihak yang berjibaku dan
melakukan lobby-lobby bawah tanah untuk urusan PT. Freeport
dalam hal perpanjangan kontraknya.312 Meski sebenarnya
banyak pihak tersebut tidak berkepentingan secara langsung,
namun yang pasti bahwa peristiwa ini menggambarkan
307 Ibid
308 Ibid
309 Ibid
310 Ibid
311 Ibid
312 Ibid
bagaimana kelompok elite Negeri ini merampok hak-hak rakyat
melalui tindakan abuse of power.313 Sangat beralasan dan
terlampau sering terbuktikan kalimat Lord Acton itu, bahwa
kekuasaan cenderung korup, power tends to corrupt.314 Jika
benar terbukti rekaman tersebut yang dikomentari Kapolri tidak
perlu diperiksa lagi, maka betapa fakta ini akan lebih
menggegerkan lagi.
Dua skandal dalam rentang waktu yang tidak lama sudah cukup
menunjukkan bahwa Setya Novanto memang tidak dalam
kapasitas memadai untuk menjadi Ketua DPR RI.315 Skandal
sebelumnya pun, sebetulnya sudah teramat membebani citra
DPR secara kelembagaan.316 Minus etika dalam mengemban
jabatan sepenting Ketua DPR RI, sekaligus menjadi Ketua
Lembaga Tinggi Negara, merupakan fakta yang sangat
memalukan.317 Keputusan memberikan teguran dalam skandal
pertama sudah membuktikan ada sesuatu yang dilanggar oleh
Setya Novanto, dan pelanggaran itu adalah pelanggaran etika.318
Akan sangat mengherankan jika rakyat Indonesia tidak merasa
malu dengan fakta tersebut.319
Terlepas dari benar tidaknya Setya Novanto mencatut nama
Presiden dan Wakil Presiden, jika benar sudah terdapat
pengakuan bahwa memang terjadi pertemuan dengan pejabat
PT. Freeport, maka sudah terjadi Pelanggaran Etika.320 Untuk apa
dan dalam keperluan apa seorang Ketua DPR RI bertemu bahkan
hingga tiga kali dengan seorang pejabat PT. Freeport di tengah
313 Ibid
314 Ibid
315 Ibid
316 Ibid
317 Ibid
318 Ibid
319 Ibid
320 Ibid
gonjang-ganjing perpanjangan kontrak mereka? Apakah dengan
gratis dan sekadar niat baik seorang Ketua DPR RI menemani
seorang pengusaha bertemu seorang petinggi PT. Freeport?321
Apalagi jika kemudian ternyata memang benar bahwa terjadi
pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden..322 Maka makin
lengkaplah bukan hanya kegaduhan, tetapi skandal hitam abuse
of power yang dimainkan langsung oleh Ketua Lembaga Tinggi
Negara.323 Tetapi meskipun beberapa fakta awal sudah cukup
diketahui publik, tidaklah berarti bahwa pelanggaran etika
tersebut akan diikuti dengan tindakan pengunduran diri dari
jabatan.324 Bahkan, sebaliknya, publikasi yang disodorkan ke
publik terasa seperti ingin mengubah wajah pelanggar menjadi
korban.325 Konon Setya Novanto sangat mungkin adalah korban
sebuah konspirasi politik ala operasi intelijen.326 Lihat, pada
awalnya seorang Setya Novanto dalam posisi sangat kesulitan
untuk memberikan sanggahan dalam 2, 3 hal merebaknya kasus
tersebut.327 Tetapi, ketika perlahan-lahan kolega yang
bersangkutan berbicara, pasang badan dan membela, dan
terakhir Koalisi Merah Putih juga mendukung, maka sanggahan
dan drama kasus tersebut mulai meliuk-liuk.328 Bahkan bukan
tidak mungkin Setya Novanto hanya akan kembali menerima
teguran, karena bukankah tidak ada hukuman pidana selain
hukuman moral untuk sebuah tindakan pelanggaran etika?329
321 Ibid
322 Ibid
323 Ibid
324 Ibid
325 Ibid
326 Ibid
327 Ibid
328 Ibid
329 Ibid
Harus diakui, masalah etika di kalangan pejabat memang adalah
masalah besar bagi Bangsa kita dewasa ini.330 Berbeda dengan
Jepang yang langsung memilih berhenti jika ketahuan melakukan
tindakan pelanggaran, maka di Indonesia terlampau jarang
pejabat yang mau melakukannya.331 Tetapi repotnya, memang
pelanggaran etika nyaris tidak ada hukumannya di Indonesia.
Contoh yang paling jelas dan selalu terpampang di media
elektronik adalah lebih banyaknya kursi kosong saat Sidang
Paripurna DPR RI meski dalam daftar hadir justru tercatat 75%
hadir.332 Selain itu, mudah kita menemukan anggota DPR yang
mengantuk dan bahkan ketiduran ketika Sidang-Sidang sedang
berlangsung. Semua terjadi dan berlangsung tanpa hukuman.
Karena itu, bukan masalah yang mengagetkan lagi jika kemudian
secara perlahan masalah yang dihadapi oleh Setya Novanto akan
dingin dengan sendirinya.333 Maka, yang akan diikuti ke depan
adalah bukti bahwa di tingkat pejabat tinggi dan pejabat publik
terjadi disfungsi etika.334 Karena itu, teringat dengan puisi the
death of common sense, salah satu petikannya sangat menarik:
Today we mourn the passing of a beloved old friend, common
sense, who has been with us for many years Not many attended his
funeral because so few realized he was gone. (Hari ini kami
berduka atas kematian sahabat lama kami, akal sehat, yang
sudah hidup bersama kami sekian tahun lamanya.335
Etika Profesi merupakan pedoman seseorang dalam
menjalankan tugas Profesinya. Seseorang yang berkerja harus
patuh pada semua etika Profesinya masing-masing. Contoh etika
330 Ibid
331 Ibid
332 Ibid
333 Ibid
334 Ibid
335 Ibid
Profesi seperti Etika Profesi Akuntan, Pengacara (Advokat),
Kedokteran, Jurnalistik dll. Walau Etika Profesi digunakan
sebagai pedoman untuk bersikap dalam profesinya masing-
masing, masih banyak pihak yang melakukan pelanggaran.
Olehnya itu, akan dibahas salah satu contoh kasus pelanggaran
terhadap Etika Profesi Advokat.
KPK resmi menetapkan pengacara kondang Otto Cornelius
Kaligis sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan dan
pemberian suap hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Medan, Sumatera Utara.336 Penetapan tersangka itu setelah
adanya hasil gelar perkara dilakukan penyidik.337 “Disimpulkan
dari hasil gelar perkara, ditemukan 2 alat bukti permulaan yang
cukup, ada dugaan tipikor yang diduga dilakukan oleh OCK” (O.C.
Kaligis), kata Pelaksana Tugas Pimpinan KPK Johan Budi SP di
gedung KPK, Jakarta, Selasa (14/7/2015).338 O.C. Kaligis
dikenakan Pasal 6 ayat 1 a Pasal 5 a dan b atau Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 55 ayat 1 ke-
1 KUHP.339 Bersama sejumlah penyidik, O.C. Kaligis mendatangi
Gedung KPK sekitar pukul 15.50 WIB. Dengan menumpang mobil
Toyota Kijang Innova hitam, O.C. Kaligis hanya melempar
senyum tanpa memberi sepatah dua kata terkait kedatangannya.
la langsung masuk ke dalam gedung KPK.340 KPK saat ini tengah
mendalami dugaan keterlibatan Gubernur Sumatera Utara Gatot
Pujo Nugroho dan pengacara kondang O.C. Kaligis dalam kasus
336 https://www.liputan6.com/news/read/2273108/kpk-ada-2-
alat-bukti-jadikan-oc-kaligis-tersangka-suap-hakim
337 Ibid
338 Ibid
339 Ibid
340 Ibid
dugaan penerimaan dan pemberian suap kepada hakim PTUN
Medan.341 Apalagi, keduanya juga sudah diagendakan diperiksa
sebagai saksi oleh penyidik.342 Gatot dan O.C. Kaligis diperiksa
untuk melengkapi berkas pemeriksaan tersangka M. Yagari
Bhastara alias Gerri, yang merupakan anak buah O.C. Kaligis.343
Kasus pemberian dan penerimaan suap hakim PTUN Medan ini
terungkap berkat hasil operasi tangkap tangan (OTT) yang
dilakukan KPK di Sumatera Utara, Kamis 9 Juli 2015 malam.
Dalam OTT itu, KPK menangkap tangan 5 orang. Mereka adalah
Ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro bersama 2 koleganya
sesama hakim PTUN, Amir Fauzi dan Dermawan Ginting,
panitera pengganti PTUN Syamsir Yusfan, serta seorang
pengacara dari kantor O.C. Kaligis & Associates M. Yagari
Bhastara alias Gerry.344 Kurang dari 24 jam kemudian, usai
pemeriksaan secara intensif, KPK akhirnya resmi menetapkan
kelimanya sebagai tersangka. Gerry diduga sebagai pemberi
suap, sedangkan Tripeni, Amir, Dermawan, dan Syamsir
ditengarai selaku penerima suap.345 PT National Sago Prima
(NSP) yang merupakan anak perusahaan PT Sampoerna Agro,
Tbk. telah menyampaikan pledoi. Uang U$ 15 ribu dan S$ 5 ribu
turut diamankan dalam OTT itu dan dijadikan sebagai barang
bukti transaksi dugaan suap yang diberikan Gerry kepada
keempat aparat penegak hukum tersebut. Dalam
perkembangannya, uang itu diduga diberikan untuk
memuluskan putusan gugatan Pemprov Sumut yang ditangani
PTUN Medan.346
341 Ibid
342 Ibid
343 Ibid
344 Ibid
345 Ibid
346 Ibid
Gugatan ke PTUN itu dilayangkan Kepala Biro Keuangan
Pemprov Sumut, Ahmad Fuad Lubis, yang notabene adalah anak
buah Gubernur Gatot Pujo Nugroho, kepada Kejaksaan Agung
terkait kasus dana Bansos dan Bantuan Dana Bawahan. Pemprov
Sumut menyewa O.C. Kaligis & Associates untuk menangani
gugatan tersebut.347 Oleh KPK, selaku pihak pemberi, Gerry
disangka dengan Pasal 6 ayat 1 huruf a dan Pasal 5 ayat 1 huruf a
atau b dan atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana diubah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
juncto Pasal 64 ayat 1 dan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.348
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, Tripeni Irianto
Putro yang diduga sebagai pihak penerima suap dijerat dengan
Pasal 12 huruf a atau huruf b atau huruf c atau Pasal 6 ayat 2
atau Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 64 ayat 1
dan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.349 Untuk dua orang Hakim
lainnya yakni hakim Amir Fauzi dan hakim Dermawan Ginting
juga diduga sebagai pihak penerima dijerat dengan Pasal 12
huruf a atau huruf b atau huruf c atau Pasal 6 ayat 2 atau Pasal 5
ayat 2 atau Pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan panitera pengganti PTUN Medan, Syamsir Yusfan
yang turut disangka sebagai pihak penerima dikenakan Pasal 12
huruf a atau b atau Pasal 11 UU Tipikor Pasal 64 ayat 1 jo Pasal
55 ayat 1 ke-1 KUHP.350
Analisis kualitatif memperlihatkan bahwa Korupsi atau
penyogokan merupakan hal yang sangat tidak baik.351 Tidak
347 Ibid
348 Ibid
349 Ibid
350 Ibid
351 http://aldisyalfaniaroon.blogspot.com/2017/11/contoh-
kasus-pelanggaran-kode-etik.html
hanya dapat merugikan diri sendiri namun juga dapat merugikan
banyak pihak.352 Korupsi merupakan salah satu jenis
pelanggaran hukum yang berat.353 Namun dalam realitanya
penegakan hukum bagi para koruptor dan atau pengoyok masih
ringan.354 Hal ini tidak dapat menjadikan efek jera bagi para
pelakunya. Semakin banyak kasus korupsi atau penyogokan yang
terjadi maka semakin mencerminkan moral bangsa yang sangat
rapuh dan mudah hancur.355 Dalam kasus di atas menyeret
seorang pengacara kondang yaitu O.C Kaligis.356 Sebagai seorang
advokat profesional tidak seharusnya melakukan tindakan
seperti kasus di atas.357 Pada dasarnya bahwa setiap advokat
harus profesional dalam melakukan pekerjaanya. Setiap advokat
dituntut untuk selalu melihat sebuah masalah dengan sebenar-
benarnya tanpa mengambil jalan pintas sebagai penyelesaian
untuk setiap kasus yang ditanganinya.358 Setiap advokat harus
patuh pada etika profesi yang berlaku. Berikut adalah
pelanggaran etika profesi advokat untuk kasus di atas, antara
lain:359 Pasal 3 huruf b yaitu “Advokat dalam melakukan
tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh
imbalan mated tetapi lebih mengutamakan tegaknya Hukum,
Kebenaran dan Keadilan.” Pasal 4 huruf a yaitu,” Advokat dalam
perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian
dengan jalan damai.” Pasal 4 huruf c,” Advokat tidak dibenarkan
menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya
352 Ibid
353 Ibid
354 Ibid
355 Ibid
356 Ibid
357 Ibid
358 Ibid
359 Ibid
akan menang.” Pasal 9 huruf a,” Setiap Advokat wajib tunduk dan
mematuhi Kode Etik Advokat ini.”
Berikut ini diuraikan tentang penegakan etika profesi hakim
yang merupakan salah satu persyaratan mutlak dalam sebuah
negara yang berdasarkan hukum adalah pengadilan yang
mandiri, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang
mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum,
kepastian hukum dan keadilan.360 Hanya pengadilan yang
memiliki semua kriteria tersebut yang dapat menjamin
pemenuhan hak asasi manusia.361 Sebagai aktor utama lembaga
peradilan, posisi, dan peran hakim menjadi sangat penting,
terlebih dengan segala kewenangan yang dimilikinya.362 Melalui
putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan
seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan
tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah dap
masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak
hidup seseorang.363 Oleh sebab itu, semua kewenangan yang
dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka
menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang
bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam
lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang sama
kedudukannya di depan hukum dan hakim.364 Kewenangan
hakim yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang
tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan
irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan hukum,
kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggung-jawabkan
360 Ibid
361 Ibid
362 Ibid
363 Ibid
364 Ibid
secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal
dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.365
Seperti kita ketahui bahwa setiap profesi termasuk hakim
menggunakan sistem etika terutama untuk menyediakan
struktur yang mampu menciptakan disiplin tata kerja dan
menyediakan garis batas tata nilai yang dapat dijadikan
pedoman para profesional untuk menyelesaikan dilema etika
yang dihadapi saat menjalankan fungsi pengembanan profesinya
sehari-hari.366 Sistem etika bagi profesional dirumuskan secara
konkret dalam suatu kode etik profesi. Tujuan kode etik ini
adalah menjunjung tinggi martabat profesi atau seperangkat
kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipatuhi dalam
mengemban suatu profesi.367 Keberadaan suatu pedoman etika
dan perilaku hakim sangat dibutuhkan dalam rangka menjaga
dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta
perilaku hakim.368 Pedoman etika dan perilaku hakim
merupakan inti yang melekat pada profesi hakim, sebab ia
adalah kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral. Oleh
karena itu, hakim dituntut untuk berintegritas dan professional,
serta menjunjung tinggi pedoman etika dan perilaku hakim.
Profesionalisme tanpa etika menjadikannya “bebas sayap”
(vluegel vrij) dalam arti tanpa kendali dan tanpa pengarahan.
Sebaliknya, etika tanpa profesionalisme menjadikannya “lumpuh
sayap” (vluegellam) dalam arti tidak maju bahkan tidak tegak.369
Penerapan kode etik profesi hakim yaitu bahwa telah terjadi
banyak sekali pelanggaran yang telah dilakukan oleh para hakim
di Indonesia, misalnya hakim disuap agar pihak yang salah tidak
365 Ibid
366 Ibid
367 Ibid
368 Ibid
369 Ibid
diberikan hukuman yang berat bahkan di bebas lepaskan dari
segala tuntutan.370 Hal ini jelas melanggar kode etik hakim yaitu
yang terdapat dalam UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman pasal 5 ayat (1) dimana Pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.371 Selain itu, hakim juga sering menggunakan jabatannya
tidak pada tempatnya, misalnya seorang hakim menggunakan
jabatannya untuk menguntungkan pribadinya karena orang
melihatnya sebagai seorang hakim.372 Ditambah lagi ketika
memanfaatkan jabatan tersebut banyak orang lain yang
dirugikan.373 Hal ini bertentangan dengan kode etik profesi yang
dihasilkan dalam Musyawarah Nasional XIII di Bandung yaitu
mempergunakan nama jabatan korps untuk kepentingan pribadi,
bahkan sebenarnya, masih banyak lagi pelanggaran kode etik
yang dilakukan oleh hakim.374 Tetapi, memang publik kurang
mengetahuinya karena tidak begitu diangkat di ranah publik, dan
pemberian sanksinya pun belum begitu tegas terbukti masih
banyak terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim.
Pelanggaran kode etik hakim tersebut tentu sangat
mempengaruhi putusan hakim dalam sebuah pengadilan.375
Sering terdengar bahwa putusan hakim sangat sering tidak adil
sehingga dirasa sangat mengecewakan, misalnya saja kasus-
kasus ringan seperti pencurian kakao dan pencurian piring
diputus oleh hakim dengan hukuman yang sama dengan atau
bahkan lebih berat daripada kasus korupsi yang merugikan
370
http://jatuesthipurnaningrum.blogspot.com/2012/11/penegakan-
kode-etik-hakim-untuk.html
371 Ibid
372 Ibid
373 Ibid
374 Ibid
375 Ibid
keuangan negara sampai bermilyar-milyar.376 Hal tersebut jelas
terlihat bahwa putusan hakim-hakim di Indonesia sangat tidak
adil.377 Sampai-sampai terdapat opini publik bahwa hukum itu
seperti pisau yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas.378
Posisi hakim yang sangat sentral dan memiliki kekuasaan
membuat putusan itulah yang membuat hakim sering dilirik
untuk dijadikan seorang ‘mafia’.379 Belum lagi adanya modus
‘balik modal’ yang dilakukan oleh para hakim-hakim kita karena
dulunya ia diterima menjadi hakim dengan memberikan
sejumlah uang yang tidak sedikit sehingga hal tersebut jelas
mendorong hakim untuk gampang untuk menerima suap.
Sempat juga kita dengar bahwa hakim-hakim Indonesia
melakukan aksi demo menuntut kenaikan gaji hakim. Minimnya
gaji hakim juga dapat dijadikan suatu alasan untuk hakim mudah
menerima suap dari sana-sini.380 Sistem perekrutan hakim di
Indonesia pun juga belum didasarkan pada norma-norma
profesionalisme kemampuan pribadi hakim yang bersangkutan,
sehingga hal tersebut akan mempengaruhi kualitas seorang
hakim. Kesemua faktor itulah yang sangat mempengaruhi hakim
melakukan pelanggaran kode etiknya sehingga berdampak pada
ketidakadilan sebuah putusan yang dikeluarkannya.381 Orang
besar yang mempunyai harta melimpah akan menyuap sang
hakim dengan uang banyak sehingga sang hakim tersebut
memutus hukuman yang ringan kepadanya, namun sebaliknya
orang kecil atau rakyat jelata yang tidak mempunyai banyak
376 Ibid
377 Ibid
378 Ibid
379 Ibid
380 Ibid
381 Ibid
uang untuk menyuap sang hakim tentu akan dijatuhi putusan
dengan hukuman yang berat.382
Putusan-putusan yang dikeluarkan oleh hakim melalui ketokan
palunya tersebut tentu sangat mempengaruhi citra atau wibawa
suatu pengadilan.383 Suatu proses pengadilan dapat dikatakan
berwibawa tercermin dari putusan hukuman yang dikeluarkan
oleh hakim yang dirasa adil oleh semua pihak walaupun dalam
proses persidangan tersebut terdapat ketidakjujuran yang
dilakukan oleh terdakwa melalui kuasa hukumnya, polisi yang
melakukan penyelidikan dan penyidikan, jaksa, atau mafia kasus
lainnya selain hakim.384 Hal tersebut menunjukkan bahwa hakim
mempunyai posisi yang sangat penting untuk membangun dan
mewujudkan wibawa sebuah pengadilan. Seburuk apapun
proses persidangan di pengadilan akan tetap terlihat berwibawa
apabila hakim benar-benar mematuhi kode etik profesinya
sebagai wakil Tuhan di bumi sehingga putusan yang
dikeluarkannya dapat diterima oleh semua pihak dan dikatakan
oleh publik sebagai sebuah putusan yang benar-benar adil.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada kondisi saat ini
dimana hakim sering melakukan pelanggaran terhadap kode etik
profesinya sehingga putusan yang dikeluarkannya sering
mengecewakan karena dirasa tidak adil dan cenderung memihak
kepada orang yang berduit, membuat pengadilan di Indonesia
terkesan tidak berwibawa lagi.385
Selain itu persoalan rendahnya integritas pejabat publik telah
menjadi penyebab banyak penyelenggara negara yang terlibat
korupsi yang ditangani oleh KPK. Berdasarkan kasus korupsi
382 Ibid
383 Ibid
384 Ibid
385 Ibid
yang ditangani KPK menunjukkan telah dapat teridentifikasi
pada tahun 2014 – 2015.
No Instansi Jumlah
1 DPR-RI 2
2 Kepala Lembaga Kementerian/Lembaga 9
3 Komisi -
4 Pemerintah Provinsi 11
5 Pemerintah Kabupaten Kota 19
Jumlah 58
388 Ibid
ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak
pada keadilan. Keseluruhan aturan hukum yang menjamin
tegaknya supremasi dan kepastian hukum sejalan dengan upaya
pemenuhan rasa keadilan yang hidup dan berkembang di dalam
masyarakat. Etika ini meniscayakan penegakan hukum secara
adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap
setiap warganegara di hadapan hukum, dan menghindarkan
penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan dan
bentuk-bentuk manipulasi hukum lainnya.
Penegakan etika penegakan hukum dalam lingkup Kejaksaan
Agung dimana Profesi Jaksa sudah ada sejak sebelum Indonesia
Merdeka.389 Asal mula kata Jaksa be rasa I dari kata dyaksa. Pada
masa kerajaan majapahit jaksa dikenal dengan istilah dhyaksa,
adhyaksa dan dharmadhyaksa. Peran Dhyaksa sebagai pejabat
Negara yang bertugas untuk menangani masalah-masalah
peradilan di bawah kekuasaan kerajaan majapahit. Patih Gajah
Mada selaku pejabat Adhyaksa. Sebagai lembaga penegak hukum
di lingkungan eksekutif yang penting, kejaksaan diharapkan
muncul paradigma baru yang tercermin dalam sikap dan
perasaan. Sehingga Jaksa memiliki jati diri dalam memenuhi
profesionalitas sebagai wakil Negara dan wakil Negara dalam
penegakan hukum. Profesionalisme jaksa terhambat oleh
masalah-masalah seperti independensi, pelanggaran kode etik,
penurunan kualitas sumber daya manusia. Intervensi dalam
tubuh kejaksaan menjadi menghambat independensi sehingga
menghambat profesionalisme jaksa dalam mengatasi sebuah
perkara demi penegakan hukum dalam kekuasaan peradilan.
Di sisi keahlian, maka demi meningkatkan keahlian jaksa perlu
meningkatkan mengasah kemampuan melalui berbagai
pembelajaran. Baik pendidikan formal maupun non formal.
389 http://nadiasifauliya.blogspot.com/2017/04/profesionalisme-
berbasis-jabatan-pada.html?m=1
Disamping itu, pekerjaan di bidang hukum seharusnya bersifat
rasional.390 Maka dibutuhkan sifat rasional berupa sikap ilmiah
yang mempergunakan metodologi modern.391 Sehingga dapat
mengurangi sifat subjektif jaksa terhadap perkara-perkara yang
akan dihadapinya.392 Dilihat dari keahlian Jaksa, kemampuan
menganalisa sebuah kasus. meskipun perkara tampak sepintas
sama, namun keharusan untuk menganalisa sebuah kasus
memiliki keunikan tersendiri.393 Kemampuan menganalisis
bukan hanya didasarkan pendekatan yang legalitas, positivis dan
mekanistis.394 Seorang jaksa, dituntut dapat memahami
peristiwa pidana secara menyeluruh agar kebenaran dapat
ditemukan sehingga kebenaran dapat ditemukan dan
menghasilkan putusan yang adil.395
Jaksa berada dalam lembaga kejaksaan adalah salah satu pilar
hukum. Lembaga kejaksaan dan Profesi Jaksa memiliki tuntutan
masyarakat agar berjalan secara profesional serta terjaga
independensinya.396 Independensi Jaksa dalam menegakkan
keadilan terhambat dengan intervensi politik dari pemerintahan
yang dialami lembaga kejaksaan.397 Profesi jaksa sudah terbukti
memiliki peran strategis, Daniel S. Lev menggambarkan
dinamika politik mempengaruhi tingkat independensi profesi ini.
Intervensi politik telah menghambat profesionalisme Jaksa.
Hambatan berawal dari kedudukan lembaga kejaksaan di dalam
sistem ketatanegaraan republik Indonesia.398
390 Ibid
391 Ibid
392 Ibid
393 Ibid
394 Ibid
395 Ibid
396 Ibid
397 Ibid
398 Ibid
Keberadaannya yang berada di lingkungan eksekutif.
Profesionalisme jaksa diuji ketika terdapat masalah
independensi lembaga.399
Prosedur penuntutan yang sentralistik. Sesuai dengan dasar
doktrin een en ondeelbaar, berakibat mewajibkan setiap Jaksa
penuntut umum untuk mengajukan rencana tuntutan kepada
atasannya.400 Pola Rentut membuka peluang adanya intervensi
atasan kepada bawahan, padahal sebagai Jaksa harus
independen.401 Berbeda dengan hakim yang dijamin
independensinya berwenang memberikan putusan maka,
wewenang jaksa mengajukan tuntutan di persidangan belum
dijamin.402 Jaksa harus berkonsultasi dan mendapatkan
persetujuan dari atasannya secara berjenjang bergantung jenis
tindak pidananya dalam melakukan proses tuntutan. 403
Kewajiban Rencana Tuntutan Pidana ini menjadikan jaksa
menjadi tidak lagi merdeka dalam menjalankan tugas dan
fungsinya dan berpotensi menghambat profesionalisme seorang
jaksa.404 Kewajiban Rencana Tuntutan (rentut) ada sejak 1985
melalui Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor 09/1985.405
Pada awalnya, pola rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak
pidana yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung yang berubah
seiring dengan perkembangan zaman.406 Untuk tindak pidana
umum, kewajiban rentut ini juga dapat ditemukan hingga saat ini
dalam Peraturan Jaksa Agung 036/A/JA/09/2011 tentang
Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Pidana
399 Ibid
400 Ibid
401 Ibid
402 Ibid
403 Ibid
404 Ibid
405 Ibid
406 Ibid
Umum.407 Pasal 37 Perja 036/A/JA/09/2011 menyebutkan
bahwa Penuntut Umum membuat Surat Tuntutan Pidana dan
mengajukan rencana tuntutan pidana secara berjenjang sesuai
hierarki kebijakan pengendalian penanganan perkara.408 Kepala
Kejaksaan sesuai hierarki memberikan petunjuk tuntutan yang
harus dilaksanakan oleh penuntut umum di persidangan. Dalam
pasal ini pula saat jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan
bebas, dia harus melakukan gelar perkara terlebih dahulu
dihadapan pimpinan Kejaksaan sesuai hierarki kebijakan
pengendalian penanganan perkara.409 Mencermati Pasal 39 Perja
ini, dapat disimpulkan secara garis besar dapat disimpulkan
bawah independensi jaksa memang dibatasi dan baru diberikan
untuk hal-hal tertentu yang harus diatur secara khusus.410
Dikhawatirkan Pola Rentut ini membuka peluang adanya
intervensi atasan kepada bawahan, padahal sebagai seorang
Jaksa harus independen.411 Kewajiban Rencana Tuntutan Pidana
ini menjadikan jaksa menjadi tidak lagi merdeka dalam
menjalankan tugas dan fungsinya dan berpotensi menghambat
profesionalisme Jaksa.412 Selain itu juga bertentangan dengan
Guidelines on the Role of Prosecutors and international Association
of Prosecutors juga tidak selaras dengan hasil resolusi pertemuan
“The Eropean Status of Justice” sebagaimana diatur dalam Section
9.1 dan Section 9.2, yakni:413 Section 9.1. the following: Self-
government in prosecution creates an essential instrument of
judicial power independence. Judges (public officers) in
prosecution secure equality of citizens before the law. They
407 Ibid
408 Ibid
409 Ibid
410 Ibid
411 Ibid
412 Ibid
413 Ibid
discharge their functions independently on political power. They
are subordinated to law only. Section 9.2. Judges (prosecutors)
who discharge their functions in prosecution shall have identical
rights and identical guarantees as stated in the Status hereof.
Kedua hal tersebut di atas mengamanatkan kemampuan untuk
memutuskan secara mandiri dalam lembaga penuntutan
merupakan instrumen penting dalam mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang mandiri.414 Pemerintah harus melepaskan
kekuasaan mereka dari kekuasaan lainnya, termasuk kekuasaan
penuntutan selain itu adanya jaminan hak dan kewajiban Jaksa
secara hukum di dalam melakukan proses penuntutan.415
Padahal kemampuan seorang Jaksa untuk memutuskan secara
mandiri dalam lembaga penuntutan merupakan instrumen
penting dalam mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman.
Oleh karenanya untuk meningkatkan profesionalisme jaksa
sebagai penuntut umum, maka harusnya kewajiban rentut ini
dihapus untuk meningkatkan independensi Jaksa.416 Selanjutnya,
agar menegakkan independensi jaksa secara tegas. Maka harus
diatur menghilangkan pola runtut dalam peraturan Jaksa demi
menegakkan independensi kekuasaan penuntutan.417 Karena
independensi jaksa perlu dijamin sebagai bentuk kepercayaan
masyarakat terhadap jaksa sebagai wakil masyarakat dalam
proses perkara pidana.418 Sehingga masalah tuntutan pidana
diberi kepercayaan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum
yang menangani perkara pidana.419
414 Ibid
415 Ibid
416 Ibid
417 Ibid
418 Ibid
419 Ibid
Meskipun independensi Jaksa telah terjamin. Akan tetapi belum
lengkap apabila tidak dibarengi dengan pemberdayaan aparatur
Negara kejaksaan.420 Pemberdayaan berdasar undang-undang
aparatur sipil Negara agar menjadi lembaga yang professional
dan berintegritas.421 Kejaksaan diharapkan terlibat sepenuhnya
dalam proses pembangunan untuk menciptakan kondisi yang
mendukung dalam mengamankan pelaksanaan pembangunan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, serta
kewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan keadilan di
Negara serta melindungi kepentingan masyarakat.422
Visi dan misi kejaksaan untuk mencapai maksud tersebut, maka
aparat Kejaksaan perlu meningkatkan kinerja dengan optimal di
segala bidang dengan berorientasi pada visi dan misi agar
berupaya demi perlindungan dan penegakan kepentingan umum
dan kepentingan hukum serta senantiasa berpegang pada asas
persamaan di depan hukum.423 Pemberdayaan sumber daya
manusia Kejaksaan seyogianya melakukan peningkatan kualitas
melalui pembinaan yang tepat demi menjadikan kejaksaan
menjadi berkualitas yang baik dari waktu ke waktu.424 Melalui
pembinaan Jaksa dalam pembangunan bidang aparatur Negara
berperan strategis untuk mendukung keberhasilan
pembangunan nasional.425 Maka untuk meningkatkan kualitas
dan profesionalisme aparatur Negara, kini perlu dipersiapkan
suatu pemberdayaan manusia di lembaga kejaksaan.426
420 Ibid
421 Ibid
422 Ibid
423 Ibid
424 Ibid
425 Ibid
426 Ibid
Sumber daya manusia merupakan faktor yang menentukan
keberhasilan dalam setiap organisasi.427 Dapat dikatakan Sumber
Daya Manusia menjadi salah satu unsur kekuatan daya saing
bangsa, bahkan penentu utama.428 Oleh sebab itu, SDM harus
memiliki kompetensi dan kinerja tinggi.429 Lebih lanjut, dalam
konteks berbangsa, SDM tidak saja dituntut untuk menjadi
professional dan sebagai pembangun citra pelayanan publik,
tetapi juga dituntut sebagai perekat dan pemersatu bangsa.430
Profesionalisme Jaksa sangat penting untuk menunjukkan
keberhasilan institusi lembaga kejaksaan.431 Individu kejaksaan
perlu untuk memberdayakan sesuai individu demi keberhasilan
lembaga kejaksaan secara menyeluruh agar hukum dapat
terlaksananya di masyarakat.432 Karena ditangan aparat hukum
itulah hukum itu hidup dan berkembang. Maka profesionalisme
aparat penegak hukum tercermin pada citra positif seorang
penegak hukum perlu di masyarakat.433 Ditangan seorang aparat
penegak hukum disitulah hukum hidup, dan karena kekuatan
atau otoritas, yang dimilikinya. inilah sampai muncul pertanyaan
bahwa “it doesn’t matter what the law says. What matters is
what the guy behind the desk interprets the law to say”.434 Menu
rut pendapat dari beberapa pakar sosiologi hukum sering
menyebutkan bahwa hukum itu tidak lain adalah perilaku
pejabat-pejabat hukum.435 Seorang Jaksa sebagai wakil
masyarakat dalam penuntutan sebenarnya bukan hanya
427 Ibid
428 Ibid
429 Ibid
430 Ibid
431 Ibid
432 Ibid
433 Ibid
434 Ibid
435 Ibid
memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan
hukum semata, namun memperjuangkan keadilan hukum yang
terjadi di masyarakat.436
Dalam penegakan hukum, hukum bukanlah sesuatu yang bersifat
mekanistis, tapi hukum bergantung pada sikap tindakan penegak
hukum itu sendiri.437 Maka melalui tindakan dan perilaku aparat
penegak hukum itu tujuan hukum yang tertulis dapat tercermin
melalui pelaksanaan hukum itu. Sehingga perlunya mengawal
penegakan hukum agar sesuai dengan keadilan.438 Profesi Jaksa
mendapat tantangan dalam rangka penegakkan hukum. Profesi
jaksa memerlukan suatu tanggung jawab yang besar baik
individual maupun sosial terutama ketaatan terhadap norma-
norma hukum positif serta tunduk pada kode etik profesi.439
Lembaga kejaksaan melalui kode etik kejaksaan memiliki nilai-
nilai luhur dan ideal sebagai pedoman perilaku dalam satu
profesi. Kode etik Jaksa apabila dijalankan sesuai dengan sesuai
tujuan akan menghasilkan para Jaksa yang professional dan
mempunyai kualitas moral yang baik.440 Kode etik Jaksa adalah
Tata Krama Adhyaksa dimana Jaksa akan berjanji untuk akan
melaksanakan tugasnya dan beriman kepada Tuhan yang Maha
Esa serta mempertanggungjawabkan dirinya kepada bangsa dan
Negara. Dengan adanya doktrin ini maka akan memperkuat
sistem pengawasan Jaksa karena adanya dua peraturan yang
dilanggar jika ada pelanggaran.441 Etika berasal dari kata “ethos”
yang berarti sifat menjadi orang baik. Ethos diartikan sebagai
kesusilaan, kecenderungan perasaan batin seseorang untuk
436 Ibid
437 Ibid
438 Ibid
439 Ibid
440 Ibid
441 Ibid
berbuat kebaikan.442 Etika merupakan semacam batasan atau
standar yang mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok
sosialnya.443 Untuk kode etik profesi jaksa di Indonesia telah
diatur dalam peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia nomor:
PER-067/A/JA/07/2007 tentang kode etik jaksa. Dimana dalam
Pasal 4,444
Dalam melaksanakan tugas profesi, Jaksa dilarang:
1. Menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk
kepentingan pribadi dan/atau pihak lain;
2. Merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan
perkara;
3. Menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk
melakukan penekanan secara fisik dan/atau psikis;
4. Meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau
keuntungan serta melarang keluarganya
5. Meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau
keuntungan sehubungan dengan jabatannya;
6. Menangani perkara yang mempunyai kepentingan
pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai
atau finansial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung
atau tidak langsung;
7. Bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun;
8. Membentuk opini publik yang dapat merugikan
kepentingan penegakan hukum;
9. Memberikan keterangan kepada publik kecuali terbatas
pada hal-hal teknis perkara yang ditangani.
Pemberdayaan kejaksaan dapat dilakukan dengan memampukan
diri mengantisipasi situasi dan tuntutan yang sedang dan yang
akan berkembang dengan sangat pesat. Cara yang dilakukan
442 Ibid
443 Ibid
444 Ibid
ialah dengan jalan mempersiapkan sumber daya manusia yang
aspiratif, responsif, dan pro aktif, serta aparatur yang integritas
moralnya cukup kokoh dan kematangan intelektualnya cukup
mantap serta berkemampuan profesional yang tinggi.
Permasalahan pelanggaran kode etik Jaksa mulai berkembang
mulai dari munculnya kasus jaksa seperti suap menyuap, jaksa
nakal, jual beli perkara sampai tindak pidana asusila.445 Menurut
data bahwa pada Tahun 2015, tercatat pemecatan sebanyak
Jaksa di tingkat pusat dan daerah.446 Tercatat pada Juli 2015, ada
60 jaksa yang sudah dipecat karena melakukan perbuatan
indisipliner dan melanggar kode etik. Pelanggaran yang
dilakukan karena terindikasi menggunakan narkoba, sering
bolos kerja, dan mencuri barang-barang sitaan yang masuk
perkara.[11] Jaksa Agung Muda Pengawasan, Jasman Panjaitan
mencatat bahwa pemecatan Jaksa lebih tinggi dari pada tahun
lalu. hingga akhir 2014 lalu Kejagung hanya memecat 40 jaksa
nakal yang ada di seluruh Indonesia.447 Jumlah yang jauh lebih
sedikit dibanding pemecatan terhadap jaksa hingga pertengahan
tahun ini yang mencapai angka 60 orang.448 Beberapa jabatan
pimpinan kejaksaan yang kosong karena pemecatan itu adalah
Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat,
Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Cibadak, dan Kepala Seksi
Pidana Umum Kejari Cibadak.449 Hal ini tidak boleh dibiarkan
karena profesi Jaksa ialah posisi yang terhormat dan memiliki
kedudukan yang penting dalam proses penegakan hukum.
Lembaga kejaksaan memiliki kedudukan penting dalam proses
445 Ibid
446 Ibid
447 Ibid
448 Ibid
449 Ibid
peradilan Negara.450 Sehingga perlunya menjaga integritas jaksa
sebagai pejabat hukum. Sehingga, sangat disayangkan apabila
ternodai oleh adanya kasus pelanggaran yang terjadi di tubuh
kejaksaan.451
Profesi hukum membutuhkan integritas didalamnya, menurut
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh. Integritas ialah harga mati
pada profesi hukum khususnya Jaksa.452 Karena integritas Jaksa
sangat penting selain hanya ilmu dan pengalaman yang dimiliki
seorang jaksa sebagai penegak hukum.453 Lebih lanjut, hanya
orang-orang yang punya integritas, yaitu keberanian, kejujuran,
keadilan, yang layak untuk bekerja di bidang hukum. Merosotnya
profesionalisme di kalangan jaksa baik di tataran atas dan bawah
seperti Keahlian, rasa tanggung jawab, disiplin, integritas, dan
kinerja terpadu nampaknya membuktikan profesionalisme mulai
mengendur.454 Maka, perlunya mengasah keahlian serta
pengawasan kode etik demi kelancaran suatu profesi itulah yang
perlu dilakukan.455
Profesi Jaksa telah dilengkapi dengan kode etik Jaksa.456
Keberadaan kode etik pada dasarnya internal kelembagaan yang
berkaitan, dan tujuannya untuk melindungi profesi bersangkutan
dengan pelayanan atas kepentingan publik.457 Disamping
berupaya menjadikan lembaga kejaksaan yang independen,
Penegakan kode etik jaksa dapat dilakukan dengan pembuatan
standar operasional yang jelas dan pemberian sanksi yang
450 Ibid
451 Ibid
452 Ibid
453 Ibid
454 Ibid
455 Ibid
456 Ibid
457 Ibid
tegas.458 Pemberian sanksi tegas ini supaya meminimalisir dan
menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya.459 Selain juga
bertujuan untuk meningkatkan Profesionalisme sumber daya
manusia di kejaksaan.460 Upaya pemberdayaan sumber daya
manusia kejaksaan ini untuk mengukuhkan kekuasaan
penuntutan menjadi lembaga yang bermoral dan berkualitas.461
Apabila upaya di atas telah dijalankan, maka akan menghasilkan
para Jaksa sebagai aparatur Negara yang professional dan
mempunyai kualitas moral yang baik.462 Permasalahan yang
menerpa kejaksaan mengakibatkan kejaksaan harus direformasi.
Profesionalisme Jaksa sangat penting untuk menunjukkan
terlaksananya hukum di masyarakat.463 Karena ditangan seorang
jaksa sebagai aparat penegak hukum disitulah hukum hidup, dan
karena kekuatan atau otoritas, yang dimilikinya.464 Maka,
Peningkatan profesionalisme sumber daya manusia Kejaksaan
seyogianya melakukan peningkatan kualitas melalui cara di
atas.465 Melalui pembinaan Jaksa dalam pembangunan bidang
aparatur Negara berperan strategis untuk mendukung
keberhasilan pembangunan nasional.466
3. Budaya (Culture)
Analisis tentang pengaruh budaya terhadap penegakan etika
penyelenggara negara dapat dilihat pada diagram berikut ini:
458 Ibid
459 Ibid
460 Ibid
461 Ibid
462 Ibid
463 Ibid
464 Ibid
465 Ibid
466 Ibid
Diagram 6: Pengaruh Budaya Dalam penegakan Etika
A. Kesimpulan
1. Penegakan etika dan kehormatan penyelenggara negara
pada hakikatnya belum menjadi instrumen dalam upaya
mencegah terjadinya korupsi telah sehingga upaya untuk
mewujudkan nilai-nilai moral dan etika serta keadilan dari
masyarakat, untuk menjadikan negara yang berintegritas. masih
menjadi ius constituendum.
2. Penegakan etika dan kehormatan penyelenggara negara
belum dapat mencegah penyelenggara negara dari prilaku yang
cenderung melakukan penyalahgunaan wewenang yang
berakibat terjadinya tindak pidana korupsi.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan etika dan
kehormatan penyelenggara negara dalam upaya mencegah
terjadinya korupsi, meliputi aspek substansi hukum, struktur
hukum dan budaya hukum.
B. Saran-Saran
1. Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang
berintegritas hendaknya menggunakan instrumen hukum dalam
bentuk undang-undang etika dan kehormatan penyelenggara
segera diundangkan sehingga dapat membentuk lembaga
peradilan etika.
2. Dalam rangka menumbuhkan kesadaran etis dan
moralitas penyelenggara negara perlu diimplementasikan secara
konkrit tentang pendidikan etika profesinya secara
berkelanjutan mulai dari proses rekrutmen.
3. Untuk mengatasi terjadinya tindak pidana korupsi dalam
penyelenggara negara maka perlu dirumuskan secara konkrit
indikator-indikator etika dan kehormatan penyelenggara negara
guna mengetahui dan mengidentifikasi pelanggaran yang terjadi.
DAFTAR PUSTAKA