PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. TINJAUAN TEORI
Berdasarkan data Riset kesehatan dasar tahun 2013 prevalensi stroke tertinggi
terdapat di Sulawesi Selatan (17,9). Sementara itu di Sumatera Utara prevalensi kejadian
stroke sebesar 6,3%. Prevalensi penyakit stroke juga meningkat seiring bertambahnya
usia. Kasus stroke tertinggi adalah usia 75 tahun keatas (43,1%) dan lebih banyak pria
(7,1%) dibandingkan dengan wanita (6,8%) (Depkes, 2013).
Berdasarkan data yang diperoleh dari rumah sakit, pada tahun 2013 jumlah
penderita stroke berjumlah 345 orang dan pada tahun 2014 terjadi peningkatan menjadi
349 orang dan pada tahun 2015 berjumlah 278 orang. Sementara itu jumlah kasus stroke
pada lansia >60 tahun yang mengalami hipertensi setiap tahunnya mengalami
peningkatan. Hal ini dilihat dari data yang menunjukkan bahwa pada tahun 2013 terdapat
sejumlah 147 kasus dan pada tahun 2014 terdapat 100 kasus berlanjut pada tahun 2015
sebanyak 364 kasus. Hal tersebutlah yang membuat stroke menjadi salah satu penyakit
paling mematikan di dunia.
3
B. PEMBAHASAN
1. Definisi Stroke
Menurut WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat
gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam
atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas
selain vaskuler (KSSNP, 1999).
Stroke adalah “serangan otak” dengan cara yang sama dengan penyumbatan
aliran darah ke jantung (serangan jantung). Stroke terjadi ketika area otak kehilangan
aliran darah. Paling umum, ini terjadi ketika pembuluh darah terhalangi oleh bekuan
darah atau terlalu sempit untuk dilewati darah. Stroke juga dapat terjadi ketika pembuluh
darah pecah dan terjadi kebocoran darah ke otak, menyebabkan kerusakan. Kekurangan
darah yang dipompa ke otak, akibat serangan jantung, juga bisa menyebabkan stroke.
Ketika aliran darah ke otak berhenti tiba-tiba, seseorang akan jatuh pingsan
dalam waktu sekitar dua belas detik. Karena otak bergantung pada glukosa dan oksigen
yang dibawa oleh sel-sel darah untuk energi, sel-sel otak akan mulai mati setelah sekitar
empat menit tanpa nutrisi ini. Ini situasi kritis. Tidak seperti jaringan tubuh lain yang
memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri dari waktu ke waktu, jaringan otak sangat
terspesialisasi dan kurang mampu untuk pulih.
2. Penyebab Stroke
4
Emboli
Emboli terjadi ketika gumpalan yang terbentuk di pembuluh darah di
suatu tempat di dalam tubuh terputus, memasuki sistem sirkulasi otak, dan berjalan
sampai menemukan arteri yang tidak dapat dilalui. Arteri serebral tengah, terletak di
bagian tengah otak, paling sering dipengaruhi oleh emboli. Gumpalan dapat disebabkan
oleh trombosit, komponen mekanisme pembekuan darah, atau oleh kolesterol di arteri
leher yang melunak dan pecah menjadi pembuluh darah. Ketika gumpalan bersarang di
pembuluh darah, area otak yang dilayani oleh pembuluh darah itu bisa mati. Gumpalan
kadang-kadang pecah menjadi potongan-potongan yang lebih kecil cukup cepat untuk
mengembalikan aliran darah. Beberapa pasien emboli mengalami masalah sekunder:
perdarahan dari pembuluh yang rusak di mana emboli tersangkut.
Jantung, serta arteri leher, merupakan sumber utama dari pembekuan
darah. Gumpalan dari jantung dapat timbul dari irama jantung yang tidak normal,
serangan jantung, penempatan bedah katup jantung buatan, operasi bypass jantung,
infeksi di dalam jantung, kerusakan pada katup jantung dari penyakit jantung rematik,
atau prolaps katup mitral (katup runtuh ke dalam, membiarkan darah masuk ke ruang
yang tidak tepat). Jika gumpalan besar yang berasal dari fragmen jantung, otak mungkin
dihujani dengan potongan kecil, menyebabkan banyak pola kerusakan otak. Pola-pola ini
sering membantu dokter mengidentifikasi stroke yang disebabkan oleh emboli.
5
evaluasi medis pada tahap paling awal, ketika kerusakan otak dapat dipulihkan, adalah
cara terbaik untuk mencegah kerusakan otak permanen.
Intracerebral Hemorrhage
Perdarahan intracerebral terjadi ketika pembuluh darah pecah,
membocorkan darah ke jaringan jaringan otak. Tekanan atau spasme pembuluh darah
dari perdarahan dapat menjepit pembuluh darah di sekitarnya, mematikan lebih banyak
aliran darah dan menghasilkan efek stroke lebih lanjut.
6
c) Penyebab lain
Hipotensi
Hipotensi terjadi ketika tekanan darah turun ke tingkat yang sangat
rendah. Tidak cukup darah dipompa ke otak. Istilah medis untuk kerusakan otak yang
dihasilkan ini adalah Encephalopathy Anoxic. Pasien-pasien ini berbeda dari semua
pasien stroke lainnya karena semua, bukan hanya sebagian, dari otak dapat kehilangan
suplai darahnya. Ini dapat terjadi pada kasus gagal jantung berat, dengan irama jantung
abnormal tertentu, dan pada beberapa serangan jantung ketika jantung gagal memompa
darah secara adekuat. Beberapa orang yang selamat dari Cardiopulmonary Resuscitation
(CPR) mungkin juga jatuh ke dalam kelompok ini.
7
Efek stroke diantaranya:
Kelumpuhan satu sisi tubuh. Ini merupakan salah satu akibat stroke yang
paling sering terjadi. Kelumpuhan biasanya terjadi di sisi yang berlawanan dari
letak lesi di otak, karena adanya pengaturan representasi silang oleh otak.
Pemulihannya bervariasi untuk masing-masing individu.
Gangguan penglihatan. Penderita stroke sering mengalami gangguan
penglihatan berupa defisit lapangan pandang yang dapat mengenai satu atau
kedua mata. Hal ini menyebabkan penderita hanya dapat melihat sesuatu pada
satu sisi saja, sehingga misalnya ia hanya memakan makanan di sisi yang
dapat dilihatnya atau hanya mampu membaca tulisan pada satu sisi buku saja.
Afasia adalah kesulitan berbicara ataupun memahami pembicaraan. Stroke
dapat mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berbicara/berbahasa,
membaca dan menulis atau untuk memahami pembicaraan orang lain.
Gangguan lain dapat berupa disatria, yaitu gangguan artikulasi kata-kata saat
berbicara.
Gangguan persepsi. Stroke dapat mengganggu persepsi seseorang. Penderita
stroke dapat tidak mengenali obyek-obyek yang ada di sekitarnya atau tidak
mampu menggunakan benda tersebut.
Lelah. Penderita stroke sering mengalami kelelahan. Mereka membutuhkan
tenaga ekstra untuk melakukan hal-hal yang biasa dikerjakan sebelumnya.
Kelelahan juga dapat terjadi akibat penderita kurang beraktivitas, kurang
makan atau mengalami depresi.
Depresi dapat terjadi pada penderita stroke. Masih merupakan perdebatan
apakah depresi yang terjadi merupakan akibat langsung dari kerusakan otak
akibat stroke atau merupakan reaksi psikologis terhadap dampak stroke yang
dialaminya. Dukungan keluarga akan sangat membantu penderita.
Emosi yang labil. Stroke dapat mengakibatkan penderitanya mengalami
ketidakstabilan emosi sehingga menunjukkan respons emosi yang berlebihan
atau tidak sesuai. Keluarga/pengasuh harus memahami hal ini dan membantu
meyakinkan penderita bahwa hal ini adalah hal yang lazim terjadi akibat stroke
dan bukan berarti ia menjadi gila.
Gangguan memori. Penderita stroke dapat mengalami gangguan memori dan
kesulitan mempelajari dan mengingat hal baru.
8
Perubahan kepribadian. Kerusakan otak dapat menimbulkan gangguan kontrol
emosi positif maupun negatif. Hal ini dapat mempengaruhi perilaku penderita
dan caranya berinteraksi dengan lingkungannya. Perubahan perilaku ini dapat
menimbulkan kemarahan keluarga/pengasuhnya. Untungnya perubahan
perilaku ini akan mengalami perbaikan seiring dengan pemulihan strokenya.
9
pengetahuan yang kurang akibat pendidikan rendah, sehingga kurang mengetahui akibat
gaya hidup salah seperti senang makan tinggi lemak dan lain-lain akan memudahkan
timbulnya penyakit degeneratif.
Prevalensi stroke lebih tinggi pada kelompok yang tidak mengonsumsi sayur
buah yaitu sebesar 3% dibanding yang mengonsumsi.
Pada responden dengan aktifitas fisik kurang, prevalensi stroke (2,7%) lebih
tinggi dibanding aktifitas cukup (0,8%).
Prevalensi stroke lebih tinggi pada kelompok mantan perokok sebesar 3,6%.
Kemungkinan pada waktu kejadian stroke mereka merokok, namun setelah terjadi stroke
merokok dihentikan (mantan).
Prevalensi stroke tinggi pada yang obesitas dan obesitas sentral. Obesitas
berisiko 1,3 kali dan obesitas sentral 1,53 kali. Namun setelah dikontrol dengan faktor
usia, jenis kelamin, dan pendidikan ternyata obesitas dan obesitas sentral menjadi tidak
signifikan.
Prevalensi stroke pada yang hipertensi 3,1%. Hipertensi berisiko menjadi
stroke 2,87 kali setelah dikontrol dengan sosiodemografi dan biologik.
Pada gangguan mental emosional prevalensi stroke 6,1%, kemungkinan
gangguan mental emosional meningkat akibat stroke (keterbatasan metode potong
lintang).
Penderita Tb berisiko 1,51 kali dibanding yang tidak menderita Tb. Hal ini
sesuai seperti yang didapatkan Sheu14 setelah 3 tahun follow up, pasien tuberkulosis
yang menderita iskemik stroke (6%) lebih tinggi dibanding yang bukan Tb (3,7%)
dengan hazard ratio 1,52 kali (95% CI, 1,21-1,91).
Prevalensi stroke pada diabetes melitus 6,7%, dan setelah dikontrol DM
berisiko 2,96 kali (95% CI: 2,62 – 3,34) dibanding yang tidak DM.
Prevalensi stroke pada jantung koroner sebesar 7,2% dan setelah dikontrol
dengan faktor-faktor lain, berisiko dengan OR 3,13 kali (95% CI 2,72-3,60).
Adanya faktor risiko stroke ini membuktikan bahwa stroke adalah suatu
penyakit yang dapat diramalkan sebelumnya dan bukan merupakan suatu hal yang terjadi
begitu saja, sehingga istilah cerebrovascular accident telah ditinggalkan. Penelitian
epidemiologis membuktikan bahwa pengendalian faktor risiko dapat menurunkan risiko
seseorang untuk menderita stroke (Hankey, 2002).
10
5. Pemulihan Stroke
11
yang disebut “bertunas”. Ketika koneksi saraf hilang, sel-sel saraf dapat mengirimkan
"tunas" baru untuk mencari koneksi. Jika koneksi dibuat, peningkatan fungsi dapat
terjadi.
Namun, tunas mungkin tidak dapat membangun kembali koneksi lama
jika sebagian besar otak rusak atau jika kecambah terperangkap dalam jaringan parut.
Fungsi otak juga dapat meningkat setelah pembengkakan dari stroke berkurang. Sama
seperti jari membengkak dengan cairan inflamasi setelah dihancurkan, otak membengkak
di dalam tengkorak ketika rusak oleh stroke. Saraf tidak berfungsi dengan baik di bawah
tekanan jenis ini. Pembengkakan dan tekanan di dalam kepala biasanya hilang dalam
beberapa hari atau minggu, memulihkan beberapa fungsi saraf. Jika pembengkakan tidak
mereda, seorang pasien mungkin tidak bertahan.
b. Pemulihan Fungsional
Pemulihan fungsional menggambarkan kemampuan pasien untuk
mendapatkan kembali aktivitas kehidupan sehari-hari. Pemulihan fungsional dipengaruhi
oleh pemulihan dan rehabilitasi neurologis.
Usia pasien juga merupakan faktor dalam pemulihan. Umumnya, peluang
pemulihan menurun seiring bertambahnya usia. Ini sebagian karena proses penyembuhan
otak — keliatan — kemampuan otak sehat yang tersisa untuk mengambil alih fungsi otak
yang rusak. Seiring bertambahnya usia, proses ini menjadi kurang efektif.
Faktor lain dalam pemulihan adalah seberapa cepat rehabilitasi dimulai
setelah stroke. Tujuannya adalah agar pasien memulai terapi sesegera mungkin. Mereka
yang memulai terapi segera, daripada berminggu-minggu atau berbulan-bulan kemudian,
akan membuat lebih banyak kemajuan.
Akhirnya, pemulihan fungsional juga dipengaruhi oleh sikap positif, baik
pasien maupun anggota keluarga. Psikolog terkemuka, William James, mengajarkan
bahwa sikap adalah penentu terpenting bagi kesuksesan. Kita semua bisa menerapkan
ajarannya untuk pemulihan stroke. Jika pasien tidak mampu mengembangkan sikap
positif sebagai akibat kerusakan otak, penting bahwa teman dan keluarga menciptakan
lingkungan yang mendukung dan positif. Ketika "masalah" dipandang sebagai
"tantangan" mereka lebih mudah diatasi. Pergeseran lembut dalam pemikiran semacam
itu bisa sangat efektif. Kunci untuk rehabilitasi adalah “gunakan apapun yang berhasil”.
12
Penting juga bahwa keluarga dan teman-teman melakukan sebanyak
mungkin untuk mendidik diri mereka sendiri tentang stroke dan pemulihan. Informasi
dapat dikumpulkan dari berbagai sumber — tim perawatan kesehatan, buku-buku
pendidikan dan video, serta kelas pendidikan stroke.
Anemia
Anemia, jumlah sel darah merah yang rendah, membatasi kemampuan
darah untuk membawa oksigen ke otak. Ini pada gilirannya membatasi kemampuan fisik
pasien karena olahraga mengkonsumsi lebih banyak oksigen daripada imobilitas.
Kebanyakan rehabilitasi fungsional terapeutik melibatkan pengerahan tenaga fisik.
Radang Sendi
Radang sendi yang sedang hingga parah, peradangan pada jaringan sendi,
dapat menyebabkan rasa sakit yang cukup untuk mencegah pasien agar tidak bisa
berjalan lagi. Pasien artritis mungkin tidak dapat mentoleransi berat berdiri, bahkan
dengan dukungan tongkat atau pejalan kaki. Sendi nyeri lainnya dapat mengganggu
aktivitas seperti berpakaian, dandan, dan transfer.
Penyakit Jantung
Masalah jantung yang parah dapat menghambat upaya rehabilitasi.
Sejumlah pasien stroke yang cukup mengalami serangan jantung selain stroke, membuat
kerusakan jantung menjadi perhatian segera. Dokter menggunakan penilaian terbaik
mereka ketika memutuskan apakah hati pasien cukup kuat untuk menangani latihan
terapeutik.
Pasien dengan angina bahkan dapat menderita serangan jantung ketika
mereka memaksakan diri. Kondisi medis di mana fungsi jantung memompa adalah
marjinal, seperti pada gagal jantung kongestif, mungkin tidak mengizinkan pasien untuk
melakukan pekerjaan fisik yang cukup untuk berpartisipasi dalam terapi. Fibrilasi atrium
(AF) adalah suatu kondisi di mana denyut jantung yang tidak teratur dapat
memungkinkan darah mengendap di dalam jantung dan membentuk gumpalan. AF
menambahkan dua faktor rumit untuk proses rehabilitasi. Pertama, ini dapat
meningkatkan kemungkinan stroke lebih lanjut dari emboli. Kedua, kemampuan
memompa darah dari jantung berkurang 10 hingga 15 persen, semakin merampas tubuh
oksigen dan membatasi toleransi latihan.
13
Penyakit Paru-Paru
Setiap jenis penyakit paru-paru membatasi jumlah oksigen yang masuk ke
dalam tubuh, sehingga membatasi kemampuan seseorang untuk berolahraga. Banyak
orang yang mengalami stroke adalah perokok lama. Merokok dapat menyebabkan
penyakit paru-paru seperti asma dan emfisema. Perokok dan orang lain dengan penyakit
paru-paru kronis biasanya tidak banyak berolahraga. Karena itu, mereka sering dalam
kondisi fisik yang buruk ketika mereka mengalami stroke.
Masalah Kulit
Pasien dengan masalah kulit bukan kandidat yang baik untuk rehabilitasi
karena gerakan apapun dapat meregang dan merobek kulit mereka. Meskipun orang-
orang ini biasanya tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan yang melibatkan berjalan
atau duduk, mereka mungkin dapat membangun kembali kekuatan dengan berpartisipasi
dalam kegiatan terbatas.
Daya Tahan Rendah
Istirahat di tempat tidur bisa melemahkan. Satu minggu istirahat ketat
dapat menyebabkan hilangnya 15 persen kekuatan otot dan daya tahan. Masalah-masalah
ini memburuk semakin lama seorang pasien di tempat tidur. Mendapatkan kembali
kekuatan membutuhkan setidaknya dua kali lebih lama daripada kehilangan, bahkan jika
tidak ada masalah medis yang rumit. Deconditioning, atau sindrom imobilisasi ini, secara
signifikan memperpanjang proses remobilisasi.
Gangguan Penglihatan, Pendengaran, dan Sentuh
Masalah penglihatan dan pendengaran dapat mengganggu kemampuan
untuk berkomunikasi dan mempelajari kembali. Jika seorang pasien tidak bisa lagi
memahami pembicaraan, terapis mungkin perlu menggunakan sinyal tangan untuk
berkomunikasi. Kemajuan menjadi cukup sulit jika pasien tidak dapat melihat gerakan
atau mendengar cukup baik untuk memahami instruksi lisan.
Diabetes
Diabetes dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh kecil mata. Ini
mengarah pada penglihatan yang buruk, bahkan kebutaan. Itu juga bisa mengakibatkan
stroke. Diabetes dapat merusak saraf kecil di tangan, kaki, dan kaki, membuat anggota
badan mati rasa. Mati rasa ini dapat mempengaruhi aktivitas seperti berpakaian dan
berjalan dan dapat membuat penderita diabetes rentan terhadap cedera yang tidak mereka
rasakan. Jika cedera ini menjadi terinfeksi, amputasi dapat terjadi, semakin menghambat
rehabilitasi.
14
Malnutrisi
Penelitian telah menunjukkan bahwa orang-orang yang kekurangan gizi
cenderung membutuhkan perawatan rumah sakit yang diperpanjang dan juga mungkin
memiliki hasil fungsional yang lebih rendah. Meskipun ahli gizi rumah sakit dapat
mendesain menu untuk mencoba mengatasi masalah ini, pasien stroke dengan kesulitan
menelan mungkin mengalami kesulitan mengonsumsi makanan dalam jumlah yang
cukup.
\
7. Pencegahan Stroke
Pencegahan Primer Stroke
Pendekatan pada pencegahan primer adalah mencegah dan mengobati
faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Hipertensi adalah faktor risiko yang paling
prevalen, dan telah dibuktikan bahwa penurunan tekanan darah memiliki dampak yang
sangat besar pada risiko stroke. Akhir-akhir ini perhatian ditujukan kepada pentingnya
hipertensi sitolik saja (isolated systolic hypertension, ISH), yang sekarang dianggap
sebagai faktor risiko utama untuk stroke (Domanski er al., 1999). Dibuktikan bahwa
terapi aktif terhadap ISH secara bermakna menurunkan risiki stroke, terutama pada
pasien usia lanjut. Pada sebuah uji klinis acak, pengidap ISH yang mendapat penyekat
saluran kalsium nitrendipin (Cardif, Nitrepin) memperlihatkan penurunan 42% dalam
stroke fatal dan nonfatal selama periode rata-rata 2 tahun (JNC VI, 1997; Staessen et al.,
1997).
The European Stroke Initiative (ESI< 2000) telah mempublikasikan
rekomendasi untuk penatalaksanaan stroke yang mencerminkan praktik yang sekarang
dijalankan. Rekomendasi pencegahan primer yang paling terinci dan banyak diteliti
adalah bahwa antikoagulasi oral harus digunakan sebagai profilaksis primer terhadap
semua pasien dengan fibrilasi atrium yang berisiko tinggi mengalami stroke−¿pengidap
hipertensi, usia lebih dari 75 tahun, embolisme sistemik, atau berkurangnya fungsi
ventrikel kiri. ESI merekomendasikan INR sasaran sebesar 2,5 untuk antikoagulasi. INR
sasaran lebih rendah (2,0) untuk pasien berusia lebih dari 75 tahun yang berisiko tinggi
menglami pendarahan otak. Karena fibrilasi atrium meningkatkan risiko mengalami
stroke hampir lima kali lipat, maka antikoagulasi pada populasi ini sangatlah penting.
Pendekatan pencegahan primer penting yang kedua adalah mempertimbangkan
endarterektomi karotis (CEA) pada pasien simsomatik dengan bising karotis, terutama
dengan stenosis 60% sampai 90%.
15
Penatalaksanaan diabetes yang baik merupakan faktor penting lain dalam
pencegahan stroke primer. Meningkatnya kadar gula darah secara berkepanjangan
berkaitan erat dengan disfungsi sel endotel yang, pada gilirannya, memicu terbentuknya
aterosklerosis (Laight et al., 1999). Selaim itu, terdapat suatu komponen kelainan
metabolisme pada diabetes melitus yang baru di ketahui yang disebut sebagai keadaan
protrombik; pada keadaan protrombik ini terjadi peningkatan kadar inhibitor aktivator
plasminogen 1 (plasminogen activator inhibitor-1; PAI-1) (Bastard et al., 2000).
Kecenderungan membentuk bekuan abnormal semakin dipercepat oleh resistensi insulin,
sehingga kecenderungan mengalami koagulasi intravaskular semakin meningkat
(Laakso, 1999).
Terdapat dua pendekatan utama pada pencegahan stroke: (1) strategi
kesehatan masyarakat atau populasi dan (2) strategi risiko tinggi. Strategi populasi
didasarkan pada peraturan dan program pendidikan yang bertujuan mengurangi perilaku
berisiko pada seluruh populasi. Strategi risiko tinggi mengarahkan upayanya untuk
orang-orang yang memiliki risiko stroke di atas rata-rata. Agar hemat biaya, pendekatan
risiko-tinggi harus didasarkan pada risiko basal (absolut) seseorang mengalami suatu
kejadian dan bukan didasarkan hanya pada usia atau pertimbangan risiko relatif yang
berkaitan dengan satu faktor risiko. Pada semua kelompok usia dan di semua kategori
risiko, perempuan memiliki risiko absolut yang lebih rendah daripada laki-laki.
16
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
Dari penjelasan mengenai stroke diatas, dapat disimpulkan bahwa stroke
merupakan suatu penyakit yang berasal dari kelainan yang terdapat di pembuluh darah
otak. Kelainan itu dapat disebabkan oleh berbagai macam hal seperti adanya
penyumbatan di pembuluh darah otak yang disebabkan oleh gumpalan berupa kolestrol
dan zat lemak, adanya hipotensi sehingga darah yang dialirkan ke otak mengalami
defisit, dan sebagainya. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk menjaga tubuh
kita agar tidak terjangkit penyakit yang bisa memicu datangnya penyakit stroke. Pola
hidup yang sehat serta pengaturan asupan nutrisi yang sesuai merupakan salah satu cara
agar terhindar dari penyakit stroke.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Burkman, Kip. 1998. The Stroke Recovery Book: A Guide for Patients and Families
Penderita Stroke di Indonesia” di Buletin Penelitian Kesehatan, Vol. 44, No. 1 (hal: 49-
58)
3. McCane, Kathryn L. Sue E Hueter., Valentian L Brashers., dan Neal S Rote. 2014.
Pathophysiology: The Biologic Basis for Desease in Adults and Children, Seventh
4. Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
5. Rambe, Aldy S. 2006. Stroke: Sekilas Tentang Definisi, Penyebab, Efek, dan Faktor
7. Xiu, Philip. 2012. Pathology: Crash Course 4th Edition. China: Elsevier Mosby
18