Anda di halaman 1dari 50

Case Report Session

30-31 G1P0A0H0 minggu + CKD stage 5 + Anemia Berat +

Hipertensi Stage III

Oleh :

Yolanda Eka Putri

19100707360803083

Preseptor :

dr. Yostilla derosa, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M.NATSIR

UNIVERSITAS BAITURRAHMAH FAKULTAS KEDOKTERAN

SOLOK

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa karena kehendak-Nya
penulis dapat menyelesaikan case report dengan judul “G1P0H0A0 30-31 minggu
+CKD stage V + Anemia Berat + Hipertensi Stage III ”. Case ini dibuat sebagai
salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam. Mengingat
pengetahuan dan pengalaman penulis serta waktu yang tersedia untuk menyusun
case report ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak kekurangan baik dari
segi isi, susunan bahasa, maupun sistematika penulisannya. Untuk itu kritik dan
saran pembaca yang membangun sangat penulis harapkan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr.
Yostilla Derosa, Sp. PD selaku preseptor Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit
Dalam di Rumah Sakit Umum Daerah M. Natsir Solok, yang telah memberikan
masukan yang berguna dalam penyusunan case report ini.

Akhir kata penulis berharap kiranya case report ini dapat menjadi masukan
yang berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi lain
terkait dengan masalah kesehatan pada umumnya, khususnya mengenai
“G1P0H0A0 30-31 minggu + CKD stage V + Anemia Berat + Hipertensi Stage
III”.

Solok, November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................ 1

1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1


1.2 Tujuan Penulisan................................................................................. 4
1.2.1 Tujuan Umum................................................................................ 4
1.2.2 Tujuan Khusus............................................................................... 4
1.3 Manfaat Penulisan............................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................n5

2.1 CKD (Chronic Kidney Disease).......................................................... 5


2.1.1 Definisi CKD.............................................................................. 5
2.1.2 Etiologi CKD.............................................................................. 5
2.1.3 Patofisiologi CKD...................................................................... 5
2.1.4 Klasifikasi CKD.......................................................................... 7
2.1.5 Manifestasi Klinik CKD............................................................. 7
2.1.6 Diagnosis CKD........................................................................... 9
2.1.7 Diagnosis Banding CKD............................................................ 10
2.1.8 Tatalaksana CKD........................................................................ 10
2.1.9 Komplikasi CKD........................................................................ 12
2.1.10 Prognosis CKD......................................................................... 12
2.2 ANEMIA............................................................................................. 13
2.2.1 Definisi Anemia.......................................................................... 13
2.2.2 Klasifikasi Anemia..................................................................... 14
2.2.3 Etiologi Anemia.......................................................................... 16
2.2.4 Tanda/Gejala Anemia................................................................. 17
2.2.5 Patofisiologi Anemia.................................................................. 18
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang Anemia................................................ 21
2.2.7 Penatalaksanaan Anemia............................................................ 22
2.3 HIPERTENSI...................................................................................... 24
2.3.1 Definisi Hipertensi...................................................................... 24
2.3.2 Klasifikasi Hipertensi................................................................. 25
2.3.3 Patofisiologi Hipertensi.............................................................. 27
2.3.4 Faktor-faktor Risiko Hipertensi.................................................. 32
2.3.5 Manifestasi Klinis Hipertensi..................................................... 32
2.3.6 Komplikasi Hipertensi................................................................ 33

iii
2.3.7 Komplikasi Hipertensi Pada Ginjal............................................ 34
2.3.8 Penatalaksanaan Hipertensi........................................................ 34

BAB III LAPORAN KASUS.................................................................. 40


BAB IV PENUTUP.................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 48

iv
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan

etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan

pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Penyakit ginjal kronik (Chronic

Kidney Disease) terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan

lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Kerusakan pada kedua

ginjal bersifat irreversibel. Dikatakan penyakit ginjal kronik apabila kerusakan

ginjal terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional,

dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, dengan manifestasi kelainan

patologis, terdapat pada kelainan ginjal misalnya pada pencitraan (imaging) atau

laju glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2.

Saat ini jumlah CKD sudah bertambah banyak dari tahun ke tahun. Menurut

(WHO, 2002) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran kemih telah

menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya. Hal ini

menunjukkan bahwa penyakit ini menduduki peringkat ke12 tertinggi angka kema

tian. Jumlah kejadian CKD didunia tahun 2009 menurut USRDS terutama di

Amerika rata-rata prevalensinya 10-13% atau sekitar 25 juta orang yang terkena

CKD. Sedangkan di Indonesia tahun 2009 prevalensinya 12,5% atau 18 juta orang

dewasa yang terkena CKD. Prevalensi CKD di Sumatera Barat sebesar 0,2%.

Prevalensi CKD tertinggi sebanyak 0,4% yaitu di Kabupaten Tanah Datar dan

Kota Solok. Di Kota Padang didapatkan prevalensi CKD sebesar 0,3%. Kejadian

tertinggi CKD di Sumatera Barat adalah pada kelompok umur 45-54 tahun

1
sebanyak 0,6%. Perbandingan CKD berdasarkan jenis kelamin pria dan wanita

adalah tiga berbanding dua.

Modifikasi faktor resiko PGK dilakukan pada hipertensi, obesitas morbid,

sindroma metabolik, hiperkolesterolemia, anemia, dan rokok. Menurut KDIGO,

PGK dengan tanda-tanda kegagalan ginjal (serositis, gangguan keseimbangan

asam-basa atau elektrolit, pruritus), kegagalan pengontrolan volume dan tekanan

darah, gangguan status gizi yang refrakter, dan gangguan kognitif membutuhkan

terapi hemodialisis. Pada penderita yang sudah mencapai derajat V (LFG <15

mlmnt/1,73m2) juga harus dimulai terapi hemodialisis.

Hemodialisis adalah proses pertukaran zat terlarut dan produk sisa tubuh. Zat

sisa yang menumpuk pada pasien PGK ditarik dengan mekanisme difusi pasif

membran semipermeabel. Perpindahan produk sisa metabolik berlangsung

mengikuti penurunan gradien konsentrasi dari sirkulasi ke dalam dialisat. Dengan

metode tersebut diharapkan pengeluaran albumin yang terjadi pada pasien PGK

dapat diturunkan, gejala uremia berkurang, sehingga gambaran klinis pasien juga

dapat membaik. Hemodialisis dapat mempengaruhi gambaran klinis penderita

PGK, berupa gejala mual muntah, anoreksia, anemia, pruritus, pigmentasi,

kelainan psikis, insomnia, hipertensi, maupun gejala lainnya.

Hemodialisis masih merupakan terapi pengganti ginjal utama disamping

peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal disebagian besar negara di dunia.

Terdapat lebih dari 2 juta pasien yang saat ini menjalani HD di seluruh dunia.

Hemodialisa terbanyak dilakukan di Amerika Serikat yang mencapai sekitar

350.000 orang, Jepang 300.000 orang, sedangkan di Indonesia mendekati 150.000

orang.

2
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah masa

eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk

membawa okseigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan

oxygen carrying capacity). Anemia bukanlah suatu satu kesatuan penyakit

tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit dasar .

Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik diklinik

maupun di lapangan. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta

orang menderita anemia. Prevalensi anemia di Indonesia menurut kelompok

populasi paling sering terjadi pada wanita dewasa hamil dengan prevalensi 50-

70%, diikuti wanita dewasa tidak hamil 30-40%, laki-laki dewasa 20-30%, dan

anak-anak usia sekolah 25-35%.

Hipertensi adalah suatu keadaan kronis yang ditandai dengan meningkatnya

tekanan darah pada dinding pembuluh darah arteri. Keadaan tersebut

mengakibatkan jantung bekerja lebih keras untuk mengedarkan darah keseluruh

tubuh melalui pembuluh darah. Hipertensi berkaitan dengan tekanan sistolik atau

tekanan distolik atau tekanan keduanya. Hipertensi dapat didefisinikan sebagai

tekanan darah tinggi persisten dimana tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan

tekanan distoliknya diatas 90 mmHg.

Data National Centers for disease control (NCHS, 2017) prevalensi hipertensi

meningkat dengan usia, pada orang dewasa berusia 18-39 tahun (7,5%), diantara

mereka yang berusia 40-59 tahun (33,2%), dan mereka yang berusia 60 tahun

keatas (63,1%). Data WHO, (2015) menunjukkan 1,3 milyar penduduk di dunia

menderita hipertensi. Artinya 1 dari 3 orang di dunia terdiagnosis hipertensi.

Hanya 36,8 % diantaranya yang minum obat. Prevalensi hipertensi diprediksi

3
akan terus meningkat setiap tahunnya, diperkirakan pada tahun 2025 akan ada 1,5

milyar orang yang terkena hipertensi. Penyakit hipertensi sampai saat ini telah

mengakibatkan kematian 9,4 juta jiwa setiap tahunnya.

1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui dan memahami tentang anemia berat + ckd stage V on hd +


hipertensi stage II yang dialami pada pasien.

1.2.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi,

patogenesa, diagnosa, dan penatalaksanaan ckd stage V on hd.

2. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, klasifikasi,

diagnosa, dan penatalaksanaan anemia berat.

3. Mengetahui dan memahami tentang definisi, etiologi, diagnosa,

dan penatalaksanaan hipertensi stage II.

1.3 Manfaat Penulisan

1. Sebagai sumber media informasi mengenai ckd stage V on hd, anemia


berat, hipertensi stage III.

2. Sebagai laporan kasus yang menyajikan analisis kasus ckd stage V on


hd, anemia berat, hipertensi stage III.

3. Untuk memenuhi tugas case report session kepaniteraan klinik senior di

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS M. Natsir Solok 2020.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 CKD (CHRONIC KIDNEY DISEASE)

2.1.1 Definisi

Gagal ginjal kronik (GGK) biasanya akibat akhir dari kehilangan fungsi

ginjal lanjut secara bertahap. Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir

(ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana

kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan

cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain

dalam darah). Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang

progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun.

2.1.2 Etiologi

Tabel 1 : Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisa di Indonesia

Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia


Penyebab Insiden
Glomerulonefritis 46,39%
Diabetes Melitus 18,65%
Obstruksi dan infeksi 12,85%
Hipertensi 8,46%
Sebab lain 13,65%

2.1.3 Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada

penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangannya proses yang terjadi

sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan

fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya

5
kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth

factors.

Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh

peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Pada stadium paling

dini pada penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal

reserve), dimana basal Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) masih normal atau dapat

meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi

nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin

serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan

(asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum

sampai pada LFG sebesar 30%.

Kerusakan ginjal dapat menyebabkan terjadinya penurunan fungsi ginjal,

produk akhir metabolik yang seharusnya dieksresikan ke dalam urin, menjadi

tertimbun dalam darah. Kondisi seperti ini dinamakan sindrom uremia. Uremia

dapat mempengaruhi setiap sistem tubuh., semakin banyak timbunan produk

metabolik (sampah), maka gejala akan semakin berat. Kondisi ini dapat

menyebabkan gangguan keseimbangan cairan seperti hipovolemi atau

hipervolemi, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium.

LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan

pasien memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain

dialisis atau transplantasi ginjal, pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada

stadium gagal ginjal.

6
2.1.4 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik

K/DOQI merekomendasikan pembagian CKD berdasarkan stadium dari tingkat

penurunan LFG :

 Stadium 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten

dan LFG yang masih normal > 90 ml / menit / 1,73 m2

 Stadium 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara

60-89 mL/menit/1,73 m2

 Stadium 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2

 Stadium 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15- 29mL/menit/1,73m2

 Stadium 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal

ginjal terminal.

Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin

Test ) dapat digunakan dengan rumus :

( 140−umur ) x berat badan( kg)


Clearance creatinin ( ml/ menit ) =
72 x creatinin serum

Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85

2.1. 5 Manifestasi klinis

1. Manifestasi klinik antara lain:

a. Gejala dini : lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan

berkurang, mudah tersinggung, depresi

7
b. Gejala yang lebih lanjut : anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkal

atau sesak nafas baik waktu ada kegiatan atau tidak, udem yang disertai

lekukan, pruritis mungkin tidak ada tapi mungkin juga sangat parah.

2. Manifestasi klinik menurut antara lain : hipertensi, (akibat retensi cairan dan

natrium dari aktivitas sisyem renin - angiotensin – aldosteron), gagal jantung

kongestif dan udem pulmoner (akibat cairan berlebihan) dan perikarditis (akibat

iriotasi pada lapisan perikardial oleh toksik, pruritis, anoreksia, mual, muntah, dan

cegukan, kedutan otot, kejang, perubahan tingkat kesadaran, tidak mampu

berkonsentrasi).

3. Manifestasi klinik menurut Suyono adalah sebagai berikut:

a. Gangguan kardiovaskuler Hipertensi, nyeri dada, dan sesak nafas akibat

perikarditis, effusi perikardiac dan gagal jantung akibat penimbunan

cairan, gangguan irama jantung dan edema.

b. Gangguan Pulmoner Nafas dangkal, kussmaul, batuk dengan sputum

kental dan riak, suara krekels.

c. Gangguan gastrointestinal Anoreksia, nausea, dan fomitus yang

berhubungan dengan metabolisme protein dalam usus, perdarahan pada

saluran gastrointestinal, ulserasi dan perdarahan mulut, nafas bau

ammonia.

d. Gangguan muskuloskeletal Resiles leg sindrom ( pegal pada kakinya

sehingga selalu digerakan ), burning feet syndrom ( rasa kesemutan dan

terbakar, terutama ditelapak kaki ), tremor, miopati ( kelemahan dan

hipertropi otot – otot ekstremitas.

8
e. Gangguan Integumen kulit berwarna pucat akibat anemia dan kekuning –

kuningan akibat penimbunan urokrom, gatal – gatal akibat toksik, kuku

tipis dan rapuh.

f. Gangguan endokrin

g. Gangguan seksual : libido fertilitas dan ereksi menurun, gangguan

menstruasi dan aminore. Gangguan metabolic glukosa, gangguan

metabolic lemak dan vitamin D.

h. Gangguan cairan elektrolit dan keseimbangan asam dan basa biasanya

retensi garam dan air tetapi dapat juga terjadi kehilangan natrium dan

dehidrasi, asidosis, hiperkalemia, hipomagnesemia, hipokalsemia.

i. System hematologi anemia yang disebabkan karena berkurangnya

produksi eritopoetin, sehingga rangsangan eritopoesis pada sum – sum

tulang berkurang, hemolisis akibat berkurangnya masa hidup eritrosit

dalam suasana uremia toksik, dapat juga terjadi gangguan fungsi trombosis

dan trombositopeni.

2.1.6 Diagnosis

Pendekatan diagnosis dicapai dengan melakukan pemeriksaan yang

kronologis, mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

rutin khusus.

A. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang


berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal
(LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan

9
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

B. Pemeriksaan penunjang

 Laboratorium : darah perifer lengkap, penurunan LFG dengan

rumus Kockroft Gault, penurunan serum ureum dan kreatinin, tes

klirens kreatinin (TTK) ukur, asam urat, elektrolit, gula darah,

profil lipid, analisa gas darah, serologi hepatitis, feritin serum,

hormon PTH , albumin, globulin, pemeriksaan imunologi,

homeostatis lengkap, urinalisis.

 Radiologis : foto polos abdomen, BNO IVP, USG, CT scan,

ekokardiografi

 Biopsi ginjal

2.1.7 Diagnosis Banding

Gagal ginjal akut

2.1.8 Tatalaksana

A. Non farmakologis
 Nutrisi

LFG Asupan protein (g/kgBB Asupan Fosfat


(ml/menit/ ideal/hari) kalori (g/kgBB/h
1,73m3) (kkal/kgBB ari)
ideal/hari)
> 60 0,75 Tidak
dibatasi
25-60 0,6 – 0,8 ;termasuk 0,35 30-35 ≤ 10
g/kgBB/hari protein nilai
biologi tinggi
5 – 25 0,6 – 0,8 ; termasuk 0,35 30 - 35 ≤ 10
g/kgBB/hari protein nilai
biologi tinggi atau tambahan
0,3 g asam amino esensial

10
atau asam keton
< 60 0,8 (+ 1 g protein/ g 30 - 35 ≤9
(sindrom proteinuria atau 0,3 g/kgBB
nefrotik) tambahan asam amino
esensial atau asam keton

 Protein

- Pasien non dialisis 0,6 – 0,75 gram/kgBB/hari sesuai dengan

CCT dan toleransi pasien

- Pasien hemodialisis 1 – 1,2 gram/kgBB/hari

- Pasien peritoneal dialisis 1,3 gram/kgBB/hari

 Pengaturan asupan lemak : 30 – 40% dari kalori total dan

mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh

dan tidak jenuh

 Pengaturan asupan karbohidrat : 50 – 60% dari kalori total

 Natrium : < 2 gram/hari (dalam bentuk gram < 6 gram/hari)

 Kalium : 40 -70 mEq/hari

 Fosfor : 5 – 10 mg/kgBB/hari. Pasien HD : 17 mg/hari

 Kalsium : 1400 -1600 mg/hari (tidak melebihi 2000 mg/hari)

 Besi : 10 -18 mg/hari

 Magnesium : 200 – 300 mg/hari

 Asam folat pasien HD : 5 mg

 Air : jumlah urin 24 jam + 500 ml (insensible water loss)

B. Farmakologis

 Kontrol tekanan darah :

11
- Penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II :

evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan

kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan

- Penghambat kalsium

- Diuretik

 Koreksi anemia dengan target Hb 10 – 12 g/dl

 Kontrol hiperfosfatemi : kalsium karbonat atau kalsium asetat

 Kontrol osteodistrofi renal : kalsitriol

 Koreksi asidodosis metabolik dengan target HCO3 20 - 22 mEq/l

 Koreksi hiperkalemi

 Kontrol dislipidemia dengan targer LDL < 100 mg/dl, dianjurkan

golongan statin

 Terapi ginjal pengganti

2.1.9 Komplikasi

 Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)

 Anemia

 Penyakit kardiovaskular

1.2.10 Prognosis

Penting sekali untuk merujuk pasien GGK stadium 4 dan 4. Terlambat

merujuk (kurang dari 3 bulan sebelum onset terapi pengganti ginjal) berkaitan erat

dengan meningkatnya angka mortalitas setelah dialisis dimulai. Pada titik ini,

pasien lebih baik ditangani bersama oleh pelayanan kesehatan tingkat primer

12
bersama nefrologis. Selama fase ini, perhatian harus diberikan terutama dalam

memberikan edukasi pada pasien mengenai terapi pengganti ginjal (hemodialisis,

dialisis peritoneal, transplantasi) dan pemilihan akses vaskular untuk HD.

2.2 Anemia

2.2.1 Definisi Anemia

Anemia adalah keadaan yang menunjukkan rendahnya hitung sel darah

merah, kadar hemoglobin, dan hematokrit di bawah normal. Anemia bukan

merupakan suatu penyakit tunggal, melainkan merupakan pencerminan terhadap

keadaan suatu penyakit atau gangguan pada fungsi tubuh. Secara fisiologis,

anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkat

oksigen ke jaringan. Prevalensi anemia di Indonesia menurut kelompok populasi

paling sering terjadi pada populasi wanita dewasa hamil dengan prevalensi 50-

70%, diikuti wanita dewasa tidak hamil 30-40%, laki-laki dewasa 20-30%, dan

anak-anak usia sekolah 25-35%.

Batasan umum seseorang dikatakan anemia dapat menggunakan kriteria

WHO pada tahun 1968, dengan kriteria sebagai berikut :

 Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dl

 Perempuan dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dl

 Perempuan dewasa hamil Hb < 11 gr/dl

 Anak usia 6-14 tahun Hb < 12 gr/dl

 Anak usia 6 bulan – 6 tahun Hb < 11 gr/dl

Untuk kriteria anemia di klinik, rumah sakit, atau praktik klinik pada

umumnya dinyatakan anemia bila terdapat nilai sebagai berikut:

13
 Hb < 10 gr/dl

 Hematokrit < 30%

 Eritrosit < 2,8 juta/mm2

Derajat anemia ditentukan oleh kadar Hb. Klasifikasi derajat anemia yang

umum dipakai adalah (Handayani & Andi, 2008):

 Ringan sekali Hb 10 gr/dl – 13 gr/dl

 Ringan Hb 8 gr/dl – 9,9 gr/dl

 Sedang Hb 6 gr/dl – 7,9 dr/dl

 Berat Hb < 6 gr/dl

2.2.2 Klasifikasi

Menurut Baughman , klasifikasi anemia adalah :

A. Anemia Aplastik

Anemia aplastik (hipoproliferatif) disebabkan oleh penurunan pada

prekusor sel-sel sumsum tulang dan penggantian sumsum dengan lemak. Anemia

ini dapat disebabkan oleh kongenital atau didapat, idiopati akibat dari infeksi

tertentu, obat-obatan dan zat kimia, serta kerusakan akibat radiasi. Penyembuhan

sempurna dan cepat mungkin dapat diantisipasi jika pemajanan pada pasien

dihentikan secara dini.Jika pemajanan tetap berlangsung setelah terjadi tanda-

tanda hipoplasi, depresi sumsum tulang hampir dapat berkembang menjadi gagal

sumsum tulang dan irreversible.

B. Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi adalah kondisi dimana kandungan besi dalam

tubuh menurun dibawah kadar normal. Zat besi yang tidak adekuat menyebabkan

berkurangnya sintesis Hb sehingga menghambat proses pematangan eritrosit. Ini

14
merupakan tipe anemia yang paling umum. Anemia ini dapat ditemukan pada pria

dan wanita pasca menopause karena perdarahan (misal, ulkus, gastritis, tumor

gastrointestinal), malabsopsi atau diet sangat tinggi serat (mencegah absorpsi

besi).Alkoholisme kronis juga dapat menyebabkan masukan besi yang tidak

adekuat dan kehilangan besi melalui darah dari saluran gastrointestinal.

C. Anemia Megaloblastik (Defisiensi Vitamin B12 dan Defisiensi Asam Folat)

Anemia yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B 12 dan defisiensi asam

folat memperlihatkan perubahan-perubahan sumsum tulang dan darah perifer

yang identik.Defisiensi vitamin B12 sangat jarang terjadi tetapi dapat terjadi akibat

ketidakadekuatan masukan pada vegetarian yang ketat, kegagalan absorpsi saluran

gantrointestinal, penyakit yang melibatkan ilium atau pankreas yang dapat

merusak absorpsi vitamin B12. Tanpa pengobatan pasien akan meninggal setelah

beberapa tahun, biasanya akibat gagal jantung kongesti sekunder akibat dari

anemia. Sedangkan defisiensi asam folat terjadi karena asupan makanan yang

kurang gizi asam folat, terutama dapat ditemukan pada orang tua, individu yang

jarang makan sayuran dan buah, alkoholisme, anoreksia nervosa, pasien

hemodialisis.

D. Anemia Sel Sabit

Anemia sel sabit adalah anemia hemolitik berat yang diakibatkan oleh

defek molekul Hb dan berkenaan dengan serangan nyeri.Anemia ini ditemukan

terutama pada orang Mediterania dan populasi di Afrika, serta terutama pada

orang-orang kulit hitam. Anemia sel sabit merupakan gangguan resesif otosom

yang disebabkan oleh pewarisan dua salinan gen hemoglobin defektis, satu buah

dari masing-masing orang tua. Hemoglobin yang cacat itu disebut hemoglobin S

15
(HbS), menjadi kaku dan membentuk konfigurasi seperti sabit apabila terpajan

oksigen berkadar rendah.

E. Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolysis,

yaitu pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya. Anemia

hemolitik adalah jenis yang tidak sering dijumpai, tetapi bila dijumpai

memerlukan pendekatan diagnostik yang tepat. Anemia hemolitik dapat

disebabkan oleh anemia sel sabit, malaria, penyakit hemolitik pada bayi baru

lahir, dan reaksi transfuse.

Klasifikasi anemia berdasarkan gambaran morfologi :

1. Anemia mikrositer hipokrom : bila MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg

2. Anemia normositik normokrom : bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg

3. Anemia makrositer : bila MCV > 95 fl

2.2.3 Etiologi

Menurut Price & Wilson penyebab anemia dapat dikelompokan sebagai berikut:

1. Gangguan produksi eritrosit yang dapat terjadi karena:

a. Perubahan sintesa Hb yang dapat menimbulkan anemi difisiensi Fe,

Thalasemia, dan anemi infeksi kronik.

b. Perubahan sintesa DNA akibat kekurangan nutrien yang dapat

menimbulkan anemi pernisiosa dan anemi asam folat.

c. Fungsi sel induk (stem sel) terganggu , sehingga dapat menimbulkan

anemia aplastik dan leukemia.

d. Infiltrasi sumsum tulang, misalnya karena karsinoma.

2. Kehilangan darah

16
a. Akut karena perdarahan atau trauma atau kecelakaan yang terjadi

secara mendadak.

b. Kronis karena perdarahan pada saluran cerna atau menorhagia.

3. Meningkatnya pemecahan eritrosit (hemolisis)

Hemolisis dapat terjadi karena:

a. Faktor bawaan, misalnya, kekurangan enzim G6PD (untuk mencegah

kerusakan eritrosit.

b. Faktor yang didapat, yaitu adanya bahan yang dapat merusak eritrosit

misalnya, ureum pada darah karena gangguan ginjal atau penggunaan

obat acetosal.

4. Bahan baku untuk pembentukan eritrosit tidak ada

Bahan baku yang dimaksud adalah protein , asam folat, vitamin B12, dan

mineral Fe. Sebagian besar anemia anak disebabkan oleh kekurangan satu atau

lebih zat gizi esensial (zat besi, asam folat, B12) yang digunakan dalam

pembentukan sel-sel darah merah. Anemia bisa juga disebabkan oleh kondisi lain

seperti penyakit malaria, infeksi cacing tambang.

2.2.4 Tanda Gejala

A. Gejala umum anemia

Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena

iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap

penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah

penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb < 7g/dl). Sindrom anemia

terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata

berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas , dan dispepsia. Pada

17
pemeriksaan ,pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa

mulut, telapak tangan, dan jaringan dibawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak

spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit diluar anemia dan tidak sensitif

karena timbul setelah penuruna hemoglobin yang berat (Hb <7 g/dl).

B. Gejala khas masing-masing anemia

Gejala ini spesifik untuk masing – masing anemia. Sebagai contoh :

 Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis

angularis, dan kuku sendok (koilonychia).

 Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi

vitamin B 12.

 Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali.

 Anemia aplastik : perdarahan dan tanda –tanda infeksi

C. Gejala penyakit dasar

Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia

sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala

akibat infeksi cacing tambang : sakit perut, pembengkakan parotis dan warna

kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar

dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis

reumatoid.

2.2.5 Patofisiologi

Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum tulang atau

kehilangan sel darah merah berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum tulang

dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor, atau akibat

penyebab yang tidak diketahui.Lisis sel darah merah terjadi dalam sel fagositik

18
atau dalam sistem retikulo endothelial, terutama dalam hati dan limpa. Sebagai

hasil sampingan dari proses tersebut, bilirubin yang terbentuk dalam fagositi akan

memasuki aliran darah. Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam

sirkulasi, maka hemoglobin akan muncul dalam plasma. Apabila konsentrasi

plasmanya melebihi kapasitas hemoglobin plasma, makan hemoglobin akan

berdifusi dalam glomerulus ginjal dan ke dalam urin. Pada dasarnya gejala anemia

timbul karena dua hal, yaitu anoksia organ target karena berkurangnya jumlah

oksigen yang dapat dibawa oleh darah ke jaringan dan mekanisme kompensasi

tubuh terhadap anemia. Kombinasi kedua penyebab ini akan menimbulkan gejala

yang disebut sindrom anemia.

Berdasarkan proses patofisiologi terjadinya anemia, dapat digolongkan pada

tiga kelompok (Edmundson, 2013 dalam Rokim dkk, 2014):

1. Anemia akibat produksi sel darah merah yang menurun atau gagal

Pada anemia tipe ini, tubuh memproduksi sel darah yang terlalu sedikit

atau sel darah merah yang diproduksi tidak berfungsi dengan baik.Hal ini terjadi

akibat adanya abnormalitas sel darah merah atau kekurangan mineral dan vitamin

yang dibutuhkan agar produksi dan kerja dari eritrosit berjalan normal. Kondisi

kondisi yang mengakibatkan anemia ini antara lain sickle cell anemia, gangguan

sumsum tulang dan stem cell, anemia defisiensi zat besi, vitamin B12, dan Folat,

serta gangguan kesehatan lain yang mengakibatkan penurunan hormon yang

diperlukan untuk proses eritropoesis.

2. Anemia akibat penghancuran sel darah merah

Bila sel darah merah yang beredar terlalu rapuh dan tidak mampu bertahan

terhadap tekanan sirkulasi maka sel darah merah akan hancur lebih cepat sehingga

19
menimbulkan anemia hemolitik. Penyebab anemia hemolitik yang diketahui atara

lain:

a. Keturunan, seperti sickle cell anemia dan thalassemia.

b. Adanya stressor seperti infeksi, obat obatan, bisa hewan, atau beberapa

jenis makanan.

c. Toksin dari penyakit liver dan ginjal kronis.

d. Autoimun.

e. Pemasangan graft, pemasangan katup buatan, tumor, luka bakar, paparan

kimiawi, hipertensi berat, dan gangguan thrombosis.

Mutasi sel eritrosit/perubahan pada sel eritrosit



Antigesn pada eritrosit berubah

Dianggap benda asing oleh tubuh

sel darah merah dihancurkan oleh limposit

Anemia hemolisis

3. Anemia akibat kehilangan darah

Anemia ini dapat terjadi pada perdarahan akut yang hebat ataupun pada

perdarahan yang berlangsung perlahan namun kronis. Perdarahan kronis

umumnya muncul akibat gangguan gastrointestinal (misal ulkus, hemoroid,

gastritis, atau kanker saluran pencernaan), penggunaan obat obatan yang

mengakibatkan ulkus atau gastritis (misal OAINS), menstruasi, dan proses

kelahiran.

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang

20
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan

diagnose anemia adalah (Handayani & Andi, 2008):

1. Pemeriksaan laboratorium hematologis

 Pemeriksaan penyaring: pemeriksaan penyaring untuk kasus

anemia terdiri dari pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit

dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia

serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk

pengarahan diagnosis lebih lanjut.

 Pemeriksaan darah seri anemia : pemeriksaan darah seri anemia

meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan laju endap

darah.

 Pemeriksaan sumsum tulang: dilakukan pada kasus anemia dengan

diagnosis definitive meskipun ada beberapa kasus diagnosisnya

tidak memerlukan pemeriksaan sumsum tulang. Pemeriksaan

sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis anemia aplastik,

anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologik yang dapat

mesupresi sistem eritroid, seperti sindrom mielodisplastik (MDS).

 Pemeriksaan khusus

 anemia defisiensi besi : serum iron.

 Anemia megaloblastik : folat serum, vitamin B 12 serum, tes

supresi deoksiuridin dan tes Schiling.

 Anemia hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb,

elektroforesis hemoglobin dan lain lain

 Anemia aplastik : biopsi sumsum tulang

21
2. Pemeriksaan laboratorium non hematologis

 Faal ginjal

 Faal endokrin

 Asam urat

 Faal hati

 Biakan kuman

3. Pemeriksaan penunjang lain

 Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan hispatologi.

 Radiologi: torak, bone survey, USG, atau limfangiografi.

 Pemeriksaan sitogenetik.

 Pemeriksaan biologi molekuler (PCR: polymerase chain reaction,

FISH: fluorescence in situ hybridization).

2.2.7 Penatalaksanaan

PRC ( Packed Red Cells)

PRC digunakan pada pasien anemia yang tidak disertai penurunan volume

darah, misalnya pasien dengan anemia hemolitik, anemia hipoplastik kronik,

leukemia akut, leukemia kronik, penyakit keganasan,talasemia, gagal ginjal kronis

dan perdarahan perdarahan kronis yang ada tanda “oxygen need” (rasa sesak,

mata berkunang, palpitasi, pusing dan gelisah). PRC diberikan sampai tanda

oxygen need hilang, biasanya pada hemoglobin 8-10 gr/dl.

Transfusi PRC hampir selalu diindikasikan pada kadar Hb ≤7 g/dl,

terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimptomatik atau

penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah

dapat diterima. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada kadar Hb 7-10

22
g/dl apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan

laboratorium.

Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi

tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transport oksigen lebih

tinggi (contoh pada penyakit paru obstruktif kronik berat dan penyakit jantung

iskemik berat).

Sel darah merah ada tiga jenis yaitu sel darah merah pekat, suspensi sel

darah merah,dan sel darah merah yang dicuci. Indikasi mutlak pemberian PRC

adalah bila Hb penderita 5 g/dl. Jumlah PRC yang diperlukan untuk menaikkan

Hb dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Jumlah PRC = Hb x 3 x BB
Hb: selisih Hb yang diinginkan dengan Hb sebelum transfusi
BB : berat badan

Resiko transfusi darah :

a. Demam

b. Alergi : sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap protein atau zat lain

dalam darah yang diterima

c. Infeksi

d. Kerusakan paru : kondisi ketika paru-paru akan meradang dalm waktu 6

jam setelah transfusi. Jika peradangan yang terjadi parah, kerusakan paru-

paru bisa membuat sulit bernafas.

e. Kelebihan cairan : bisa dapat menyebabkan jantung tidak mampu

memompa cukup darah ke seluruh tubuh. Sesak napas juga bisa terjadi

akibat paru-paru dipenuhi oleh cairan. Resiko kelebihan cairan lebih tinggi

23
pada orang usia lanjut yang memiliki penhyakit serius seperti penyakit

jantung.

f. Kelebihan zat besi : transfusi darah dapat memicu kelebihan zat besi

dalam darah.

g. Penyakit graft versus host : terjadi akibat sel darah putih yang diterima

menyerang jaringan sumsum tulang dan jaringan tubuh penerima darah.

2.3 Hipertensi

2.3.1 Definisi Hipertensi

Hipertensi adalah meningkatnya tekanan darah sistolik lebih besar dari 140

mmHg dan atau diastolik lebih besar dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran

dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup istirahat (tenang). Hipertensi

didefinisikan oleh Joint National Committee on Detection, Evaluation and

Treatment of High Blood Pressure sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140 / 90

mmHg.

Hipertensi merupakan penyakit yang timbul akibat adanya interaksi berbagai

faktor resiko yang dimiliki seseorang. Faktor pemicu hipertensi dibedakan

menjadi yang tidak dapat dikontrol seperti riwayat keluarga, jenis kelamin, dan

umur. Faktor yang dapat dikontrol seperti obesitas, kurangnya aktivitas fisik,

perilaku merokok, pola konsumsi makanan yang mengandung natrium dan lemak

jenuh.

Hipertensi dapat mengakibatkan komplikasi seperti stroke, kelemahan

jantung, penyakit jantung koroner (PJK), gangguan ginjal dan lain-lain yang

berakibat pada kelemahan fungsi dari organ vital seperti otak, ginjal dan jantung

yang dapat berakibat kecacatan bahkan kematian. Hipertensi atau yang disebut the

24
silent killer yang merupakan salah satu faktor resiko paling berpengaruh penyebab

penyakit jantung (cardiovascular).

2.3.2 Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu hipertensi sistolik,

hipertensi diastolik, dan hipertensi campuran. Hipertensi sistolik (isolated systolic

hypertension) merupakan peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan

tekanan diastolik dan umumnya ditemukan pada usia lanjut. Tekanan sistolik

berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri apabila jantung berkontraksi

(denyut jantung). Tekanan sistolik merupakan tekanan maksimum dalam arteri

dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan darah sebagai tekanan atas yang

nilainya lebih besar.

Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) merupakan peningkatan tekanan

diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik, biasanya ditemukan pada

anak-anak dan dewasa muda. Hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah

kecil menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan terhadap

aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan diastoliknya. Tekanan

darah diastolik berkaitan dengan tekanan arteri bila jantung berada dalam keadaan

relaksasi di antara dua denyutan. Hipertensi campuran merupakan peningkatan

pada tekanan sistolik dan diastolik.

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

1) Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui

penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95 %

kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya seperti genetik, lingkungan,

hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek

25
dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor

yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta

polisitemia.

2) Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 5% kasus.

Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penggunaan estrogen, penyakit

ginjal, hipertensi vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, dan sindrom

Cushing, feokromositoma, koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan

dengan kehamilan, dan lain-lain.

Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII),

klasifikasi hipertensi pada orang dewasa dapat dibagi menjadi kelompok normal,

prehipertensi, hipertensi derajat I dan derajat II.

Tabel 2 : Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik


Darah (mmHg) (mmHg)
Normal < 120 < 80
Pre-hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 ≥ 160 ≥ 100

Tabel 3 : Klasifikasi hipertensi berdasarkan British Hypertension Society

Kategori Tekanan Darah


Optimal < 120 / < 80
Normal < 130 / < 85
High normal 130 – 139 / 85 – 89
Hipertensi grade 1 (mild) 140 – 159 / 90 – 99
Hipertensi grade 2 (moderate) 160 – 179 / 100 – 109
Hipertensi grade 3 (severe) ≥ 180 / ≥ 110
Isolated systolic hypertension
Grade 1 140 – 159 / < 90
Grade 2 ≥ 160 / < 90

26
Menurut Black & Hawks (2014) hipertensiadapat diklasifikasikan berdasarkan

derajat hipertensinya.

a. Berdasarkan derajat

Tabel 4 : Klasifikasi hipertensi berdasarkan derajat

Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik


Darah (mmHg) (mmHg)
Normal < 130 dan < 85
Pre-hipertensi 130-139 atau 85-89
Hipertensi stage I 140-159 atau 90-99
Hipertensi stage II 160-179 atau 100-109
Hipertensi stage III ≥ 180 atau ≥ 110

b. Berdasarkan tingkatan

Tabel 5 : Klasifikasi hipertensi berdasarkan tingkatan

Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah Diastolik


Kategori
(mmHg) (mmHg)
Normal < 130 < 85
Normal tinggi 130-139 85-89
Stadium 1 (ringan) 140-159 90-99
Stadium 2 (sedang) 160-179 100-109
Stadium 3 (berat) 180-209 110-119
Stadium malgina ≥ 210 ≥ 120

2.4.3 Patogenesis

Tubuh memiliki sistem yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah

secara akut yang disebabkan oleh gangguan sirkulasi, yang berusaha untuk

mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang reflek

kardiovaskular melalui sistem saraf termasuk sistem kontrol yang bereaksi segera.

Kestabilan tekanan darah jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang

mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ terutama ginjal.

1) Perubahan anatomi dan fisiologi pembuluh darah

Aterosklerosis adalah kelainan pada pembuluh darah yang ditandai dengan

penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Aterosklerosis merupakan proses

27
multifaktorial. Terjadi inflamasi pada dinding pembuluh darah dan terbentuk

depositsubstansi lemak, kolesterol, produk sampah seluler, kalsium dan berbagai

substansi lainnya dalam lapisan pembuluh darah. Pertumbuhan ini disebut plak.

Pertumbuhan plak di bawah lapisan tunika intima akan memperkecil lumen

pembuluh darah, obstruksi luminal, kelainan aliran darah, pengurangan suplai

oksigen pada organ atau bagian tubuh tertentu.

Sel endotel pembuluh darah juga memiliki peran penting dalam

pengontrolan pembuluh darah jantung dengan cara memproduksi sejumlah

vasoaktif lokal yaitu molekul oksida nitrit dan peptida endotelium. Disfungsi

endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer.

2) Sistem renin-angiotensin

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin

II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). Angiotensin II

inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua

aksi utama.

a. Meningkatkan sekresi Anti-Diuretic Hormone (ADH) dan rasa haus.

Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke

luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi

osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler

akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler.

Akibatnya, volume darah meningkat, yang pada akhirnya akan

meningkatkan tekanan darah.

b. Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Untuk mengatur

volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl

28
(garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya

konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan

volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan

volume dan tekanan darah.

3) Sistem saraf simpatis

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah

terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini

bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar

dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.

Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke

bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron

preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca

ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin

mengakibatkan konstriksi pembuluh darah.

29
Gambar 1 : Faktor-faktor yang mempengaruhi tekanan darah

Pada dasarnya, tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan

perifer. Berbagai faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tekanan perifer

akan mempengaruhi tekanan darah seperti asupan garam yang tinggi, faktor

genetik, stres, obesitas, faktor endotel. Selain curah jantung dan tahanan perifer

sebenarnya tekanan darah dipengaruhi juga oleh tebalnya atrium kanan, tetapi

tidak mempunyai banyak pengaruh. Dalam tubuh terdapat sistem yang berfungsi

mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan oleh gangguan

sirkulasi yang berusaha untuk mempertahankan kestabilan tekanan darah dalam

jangka panjang.

Sistem pengendalian tekanan darah sangat kompleks. Pengendalian dimulai

dari sistem yang bereaksi dengan cepat misalnya reflek kardiovaskuler melalui

sistem saraf, reflek kemoreseptor, respon iskemia, susunan saraf pusat yang

berasal dari atrium, arteri pulmonalis otot polos. Dari sistem pengendalian yang

bereaksi sangat cepat diikuti oleh sistem pengendalian yang bereaksi kurang

cepat, misalnya perpindahan cairan antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial

yang dikontrol hormon angiotensin dan vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem

yang poten dan berlangsung dalam jangka panjang misalnya kestabilan tekanan

darah dalam jangka panjang dipertahankan oleh sistem yang mengatur jumlah

cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ.

Peningkatan tekanan darah pada hipertensi primer dipengaruhi oleh

beberapa faktor genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan membran

sel, aktivitas saraf simpatis dan renin, angiotensin yang mempengaruhi keadaan

hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme natrium dalam ginjal serta

30
obesitas dan faktor endotel. Akibat yang ditimbulkan dari penyakit hipertensi

antara lain penyempitan arteri yang membawa darah dan oksigen ke otak, hal ini

disebabkan karena jaringan otak kekurangan oksigen akibat penyumbatan atau

pecahnya pembuluh darah otak dan akan mengakibatkan kematian pada bagian

otak yang kemudian dapat menimbulkan stroke.

Komplikasi lain yaitu rasa sakit ketika berjalan kerusakan pada ginjal dan

kerusakan pada organ mata yang dapat mengakibatkan kebutaan, sakit kepala,

Jantung berdebar-debar, sulit bernafas setelah bekerja keras atau mengangkat

beban kerja, mudah lelah, penglihatan kabur, wajah memerah, hidung berdarah,

sering buang air kecil terutama di malam hari telingga berdering (tinnitus) dan

dunia terasa berputar.

2.4.4 Faktor-faktor Risiko Hipertensi

Faktor resiko terjadinya hipertensi antara lain:

1) Usia

Tekanan darah cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Pada

laki-laki meningkat pada usia lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita

meningkat pada usia lebih dari 55 tahun.

2) Ras/etnik

Hipertensi bisa mengenai siapa saja. Bagaimanapun, biasa sering muncul

pada etnik Afrika Amerika dewasa daripada Kaukasia atau Amerika Hispanik.

3) Jenis Kelamin

31
Pria lebih banyak mengalami kemungkinan menderita hipertensi daripada

wanita.

4) Kebiasaan Gaya Hidup tidak Sehat

Gaya hidup tidak sehat yang dapat meningkatkan hipertensi, antara lain

minum minuman beralkohol, kurang berolahraga, dan merokok.

2.4.5 Manifestasi Klinis Hipertensi

Gambaran klinis pasien hipertensi meliputi nyeri kepala saat terjaga,

kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah

intrakranial. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi. Ayunan

langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat. Nokturia karena

peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus. Edema dependen dan

pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya

terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran

darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain.

2.4.6 Komplikasi Hipertensi

Hipertensi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan berbahaya

sehingga menimbulkan komplikasi. Komplikasi tersebut dapat menyerang

berbagai target organ tubuh yaitu otak, mata, jantung, pembuluh darah arteri, serta

ginjal. Sebagai dampak terjadinya komplikasi hipertensi, kualitas hidup penderita

menjadi rendah dan kemungkinan terburuknya adalah terjadinya kematian pada

penderita akibat komplikasi hipertensi yang dimilikinya.

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Beberapa penelitian menemukan bahwa

penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari

32
kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain

adanya autoantibodi terhadap reseptor angiotensin II, stress oksidatif, down

regulation, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi

garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan

organ target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi

transforming growth factor-β (TGF-β).

Umumnya, hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Kerusakan organ-organ yang umum ditemui

pada pasien hipertensi adalah:

1) Jantung

 Hipertrofi ventrikel kiri

 Angina atau infark miokardium

 Gagal jantung

2) Otak

 Stroke atau transient ishemic attack

3) Penyakit ginjal kronis

4) Penyakit arteri perifer

5) Retinopati

2.4.7 Komplikasi Hipertensi Pada Ginjal

Penyakit ginjal kronik dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat

tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal dan glomerolus. Kerusakan glomerulus

akan mengakibatkan darah mengalir ke unit-unit fungsional ginjal, sehingga

33
nefron akan terganggu dan berlanjut menjadi hipoksia dan kematian ginjal.

Pengurangan massa ginjal akan mengakibatkan nefron yang masih hidup akan

melakukan kompensasi yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin

dan growth factors. Proses maladaptasi ini berlangsung singkat sehingga terjadi

peningkatan LFG mendadak yang akhirnya mengalami penurunan. Hiperfiltrasi

yang terjadi juga akibat peningkatan aktivitas aksis rennin-angiotensin-aldosteron

intrarenal. Kerusakan progresif nefron akan terjadi dan berlangsung lama

(kronik). Kerusakan membran glomerulus juga akan menyebabkan protein keluar

melalui urin sehingga sering dijumpai edema sebagai akibat dari tekanan osmotik

koloid plasma yang berkurang. Hal tersebut terutama terjadi pada hipertensi

kronik.

2.4.8 Penatalaksanaan Hipertensi

Tujuan dari setiap program terapi adalah untuk mencegah kematian dan

komplikasi dengan mencapai dan mempertahankan tekanan darah arteri pada atau

kurang dari 140/90 mmHg (130/90 mmHg untuk penderita diabetes melitus atau

penderita penyakit ginjal kronis), kapanpun jika memungkinkan.

a. Pendekatan non farmakologis mencangkup penurunan berat badan,

pembatasan alkohol dan natrium, olahraga teratur dan relaksai, tinggi buah

dan sayur, dan produk susu rendah lemak telah terbukti menurunkan

tekanan darah tinggi.

b. Pilih kelas obat yang memiliki efektifitas terbesar, efek samping terkecil

dan peluang terbesar untuk diterima pasien. Dua kelas obat tersedia

sebagai terapi lini pertama: diuretik dan penyekat beta.

c. Tingkatkan kepatuhan dengan menghindari jadwal obat yang kompleks.

34
Penderita hipertensi dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kembali

setelah 7-14 hari untuk melakukan pengukuran tekanan darah, rata-rata

pengukuran tekanan darah pada pemeriksaan yang kedua digunakan sebagai

kriteria untuk diagnosis dan kontrol hipertensi. Kondisi tekanan darah tinggi yang

terus-menerus akan menyebabkan jantung bekerja lebih keras, sehingga kondisi

ini akan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada pembuluh darah, jantung,

ginjal, otak, dan mata.

Algoritma Penanganan Berdasarkan JNC 7 (Joint National

Committee)

35
Tabel 6 : Indikasi khusus pengobatan hipertensi

Indikasi khusus Diuretik Beta ACEI ARB CCB Anti


bloker aldosteron
Gagal jantung + + + + +
Pasca infark + + +
miokardium
Resiko tinggi PJK + + + +
Diabetes + + + + +
Penyakit ginjal + +
kronik
Cegah stroke + +
berulang

Algoritma Penanganan Berdasarkan JNC 8

36
BAB III

LAPORAN KASUS

37
I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Yd
Jenis kelamin : Pekanbaru
Usia : 22 tahun
No MR : 168754
Agama : Islam
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Selayo
Tanggal Masuk : 25 Oktober 2020

II. ANAMNESIS :

Keluhan Utama
Dada terasa sesak dan nyeri ulu hati sejak 2 hari SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang :
 Pasien mengeluhkan badan terasa mual, muntah, dan letih sejak 2 hari
SMRS.
 Pasien mengeluhkan dada sesak dan nyeri ulu hati sejak 2 hari SMRS
 Pasien tidak mengeluhkan demam
 Pasien mengeluhkan BAK tidak lancar dan hanya sedikit, BAK jernih dan
berwarna putih, pasien juga terkadang mengeluhkan rasa ingin BAK tetapi
BAK nya tidak keluar
 BAB normal, tidak ada darah dan lendir
 Pasien tidak mengeluhkan adanya pandangan kabur
 Pasien tidak mengeluhkan nyeri kepala
 Nyeri pada bagian pinggang disangkal
 Rasa kesemutan dan terbakar ditelapak kaki juga disangkal
Riwayat Penyakit Dahulu
 Pasien pernah dirawat 2 tahun yang lalu dengan keluhan yang sama
 Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung
 Riwayat penyakit paru disangkal

38
 Riwayat penyakit DM disangkal
 Riwayat kolesterol disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat penyakit DM disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit ginjal disangkal

Riwayat Psikososial
Pasien seorang perempuan berusia 22 tahun tinggal bersama suami dan
tidak bekerja. Pasien memiliki kebiasaan tidak terlalu suka air putih. Pasien tidak
mengkonsumsi rokok. Pasien juga tidak suka mengkonsumsi makanan yang
bersantan.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis Coorperative
Tekanan Darah : 170/120 mmHg
Nadi : 102 x/menit
Pernafasan : 25 x/menit
Suhu : 36.5 C
Tinggi badan : 153 cm
Berat badan : 49 kg

IV. STATUS GENERALISATA


Kepala : Normochepal, rambut berwarna hitam dan tidak rontok
Mata : Konjungtiva anemis (+/+)
Sklera ikterik (-/-)
Pupil isokor
Telinga : Bentuk normal, liang telinga lapang, ada sedikit sekret
Hidung : Bentuk normal, sekret (-), cuping hidung (-)

39
Mulut : Bentuk normal, tidak ada kelainan, atrofi lidah (-), bibir
kering (-)
Leher : JVP 5 - 2 cmH2O, Tidak ada pembesaran KGB dan tyroid

Thorak
Paru:
Inspeksi : Dinding dada terlihat simetris kiri dan kanan dalam
keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : Sonor di seluruh lapang dada
Auskultasi : Suara nafas Vesikuler, rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis telihat di RIC VI garis axilaris anterior sinistra
Palpasi : Ictus cordis teraba 2 jari di RIC IV linea midclavicularis
sinistra
Perkusi : Batas kiri: RIC V line medioclavicularis sinistra
Batas kanan: RIC IV linea sternalis dextra
Batas atas: RIC II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Irama reguler, bising (-), S3 gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut cembung gravid
Palpasi : Supel, nyeri tekan(-), nyeri lepas(-)
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : Bimanual (-), Ballotement (-), CVA (-)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus (+)
Ektremitas
Superior
Inspeksi : Edema (-/-), Sianosis (-/-), Palmer eritem (-/-).
Palpasi : Perabaan hangat, pulsasi arteri radialis kuat angkat

40
Tes sensibilitas : Sensibilitas halus (+), Sensibilitas kasar (+)
Inferior
Inspeksi : Edema (+/+) minimal, Sianosis (-/-)
Palpasi : Perabaan hangat, Pulsasi A.Femoralis, A.Dorsalis
pedis, A.Tibialis posterior, dan A.Poplitea kuat
angkat

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
TGL Hasil Selesai : 13 Oktober 2020
 Pemeriksaan darah rutin :
o Hb : 5.2 g/dL (LL)
o Eritrosit : 1.75 106/mm3 (L)
o Hematokrit : 15.3 % (L)
o MCV : 87.4 fL (N)
o MCH : 29.7 pg/cell (N)
o MCHC : 34.0 (N)
o RDW CV : 15.4 % (H)
o Leukosit : 19.4 103mm3 (N)
o Trombosit : 267 103mm3 (N)

 Kimia klinik :
o Ureum : 145 mg/dl (H)
o Kreatinin : 7.10 mg/dl (HH)

VI. DIAGNOSIS KERJA


Diagnosis Primer : G1P0A0H0 30-31 minggu + CKD stage V
Diagnosis Sekunder : Anemia Berat & Hipertensi stage III

VII. DIAGNOSIS BANDING


AKD (Acute Kidney Disease)

41
VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN

 Pemeriksaan kreatin rutin

 Darah rutin

IX. PENATALAKSANAAN
Non Farmakologis
 Bed rest
 Pengaturan diet yang terkontrol
 Batasi air minum
Farmakologis
 Transfusi PRC 5 unit
 IVFD D5% 12 jam/kolf
 Inj.ceftriaxone 1x2gr
 Inj. Dexametason 2x2amp
 Asam folat 3 x 1mg
 Metildopa 3 x 500mg
 Adalat oros 1x3mg

X. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Follow Up

42
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planing

25 Oktober -nyeri ulu hati(+) KU: sakit G1P0H0A0 30-31 -Monitoring


2020 -nafas sesak (+) sedang minggu +CKD TTV
-badan terasa letih TD : 170/120 stage V + Anemia - Penganjuran
(+) mmHg Berat + Hipertensi pemakaian O2
-tampak pucat Nadi : 102 Stage III -Pengajaran
x/menit teknik
Nafas : 25 relaksasi
x/menit
suhu : 36,5 oC

26 Oktober - nafas agak sesak KU:sakit G1P0H0A0 30-31 -Monitor TTV


2020 (+) sedang minggu +CKD -Transfusi
- tampak pucat TD : 160/95 stage V + Anemia PRC 5 unit
- demam (-) mmHg Berat + Hipertensi 2/hari jarak
Nadi : Stage III 12jam pre lasix
105x/menit 1amp
Nafas:27x/me
nit
suhu : 36oC

27 Oktober -urine sedikit KU: sakit G1P0H0A0 30-31 -stop adalat


2020 (200cc) sedang minggu +CKD oros
-tampak pucat TD : 80/60 stage V + Anemia

43
-sakit kepala (+) mmHg Berat + Hipertensi
Nadi : 78 Stage III
x/menit
Nafas:20x/me
nit
suhu : 36,oC

anemis (+)

28 Oktober -oedem (+) KU: sakit G1P0H0A0 30-31 -pantau TTV


2020 -badan terasa letih sedang minggu +CKD -pantau nyeri
(+) TD : 106/57 stage V + Anemia
-nyeri ulu hati (+) mmHg Berat + Hipertensi
Nadi : 69 Stage III
x/menit
Nafas:20x/me
nit
suhu : 36,6oC

anemis (+)

BAB IV

PENUTUP

Seorang pasien perempuan berumur 22 tahun dirawat dibangsal interne

wanita dengan keluhan utama pasien merasa sesak dan nyeri ulu hati sejak 2 hari

SMRS.

44
Pasien mengeluhkan badan terasa lemah, letih, dan kurang nafsu makan sejak

2 hari SMRS. Pasien tidak mengeluhkan batuk. Pasien tidak mengeluhkan

demam. Pasien mengeluhkan BAK tidak lancar dan hanya sedikit, BAK jernih

dan berwarna putih, pasien juga terkadang mengeluhkan rasa ingin BAK tetapi

BAK nya tidak keluar. BAB normal, tidak ada darah dan lendir. Pasien juga

sedang mengandung anak pertama dengan usia kandungan 30-31minggu dan

sejak kehamilan berlangsung penghentian mongkonsumsi obat ginjal dilalukan

Pasien memiliki riwayat hipertensi (+), pasien memiliki riwayat dirawat

dengan keluhan yang sama. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung.

Riwayat penyakit paru disangkal. Riwayat penyakit DM disangkal. Riwayat

kolesterol disangkal

Pasien memiliki kebiasaan tidak suka mengkonsumsi air putih sejak beberapa

tahun yang lalu. Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok. Pasien juga tidak suka

mengkonsumsi makanan yang bersantan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tidak

adanya rohnki (-/-) dan wheezing (-/-), tekanan darah mencapai 170/120 mmHg,

suhu mencapai 36,5oC dan hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 5,2

gr/dL. Oleh karena nya pasien tersebut di diagnosa G1P0H0A0 30-31 minggu

+CKD stage V + Anemia Berat + Hipertensi Stage III

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Salim S dkk. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam Panduan


Praktis Klinis: Jakarta. 2019.
2. Mairos J dkk.Screening for Anemia and Iron Deficiency in the Adult
Portuguese Population..Internal Medicine Journal. 2020; doi:
10.1155/2020/1048283.
3. Harmeiwaty E dkk. 2019. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia.
4. Iman Supandiman dkk. Anemia pada penyakit kronis: Dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2016.
1138-1140.
5. Kandarini Y. Strategi Pemilihan Terapi Kombinasi Obat Hipertensi. Denpasar :
Ilmu Penyakit Dalam Divisi Ginjal dan Hipertensi. 2016.
6. Krisnanda MK. Hipertensi. Universitas Udayana : Ilmu Penyakit Dalam. 2017.

46

Anda mungkin juga menyukai