Anda di halaman 1dari 86

Laporan Kasus

ANEMIA EC CKD STAGE V + HHD EC HIPERTENSI


GRADE I + DIABETES MELITUS + PPOK + GOUT
ARTRITIS + DEHIDRASI LOW INTAKE
+ HIPOALBUMINEMIA
+ PROTEINURIA

Aisyah Putri Indah Lestari, S.Ked.


712019068

Pembimbing:
dr. Kristinawati Sp.PD

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Referat berjudul
ANEMIA EC CKD STAGE V+ HHD EC HIPERTENSI GRADE I
+ DIABETES MELLITUS + PPOK + GOUT ARTRITIS
+ DEHIDRASI LOW INTAKE
+ HIPOALBUMINEMIA
+ PROTEINURIA

Dipersiapkan dan disusun oleh


Aisyah Putri Indah Lestari, S.Ked.
712019068

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah
Palembang di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah
Palembang BARI.

Palembang, April 2021


Dosen Pembimbing

dr. Kristinawati Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah swt, Yang Maha Esa dengan segala keindahan-Nya,
zat Yang Maha Pengasih dengan segala kasih sayang-Nya, yang terlepas dari segala
sifat lemah semua makhluk. 

Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan


referat yang berjudul “Anemia ec CKD Stage V + HHD ec Hipertensi Grade I +
Diabetes Mellitus + PPOK + Gout Artritis + Dehidrasi Low Intake + Hipoalbuminemia
+ Proteinuria” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik
Senior Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang di Departemen
Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis mendapat bantuan, bimbingan dan
arahan maka dari itu kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada dr.
Kristina Sp.PD selaku dosen pembimbing.
Semoga Allah swt membalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis
menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, karena kesempurnaan itu
hanya milik Allah. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan di masa mendatang.

Palembang, April 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMANPENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN.................................................................................... 1
BAB II. LAPORAN KASUS................................................................................ 3
2.1 Identifikasi .............................................................................................. 3
2.2. Anamnesis .............................................................................................. 3
2.3. Riwayat Penyakit Dahulu ...................................................................... 4
2.4. Riwayat Penyakit Keluarga ................................................................... 4
2.5. Riwayat Kebiasaan ................................................................................ 5
2.6. Pemeriksaan Fisik .................................................................................. 5
2.7 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 9
2.8. Resume ................................................................................................ 13
2.9. Assessment ............................................................................................13
2.10. Diagnosis Banding ..............................................................................17
2.11. Diagnosis Kerja ................................................................................. 17
2.12. Rencana Tindakan Khusus......................................................................
2.13. Penatalaksanaan ................................................................................. 17
2.14. Prognosis ............................................................................................ 18
2.15. Follow Up .......................................................................................... 19
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 19
3.1. Anemia ec CKD.................................................................................... 19
3.2. HHD ec Hipertensi Grade I.................................................................. 28
3.3. Diabetes Mellitus.................................................................................. 44
3.4 PPOK.........................................................................................................
3.5. Gout Arthritis........................................................................................ 51

iv
3.6.Dehidrasi Low Intake............................................................................ 54
3.7. Hipoalbuminemia................................................................................. 56
3.8. Proteinuria............................................................................................. 57

BAB IV. ANALISA KASUS .............................................................................. 68


BAB V. KESIMPULAN ..................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 78

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan
kelainan dari struktur atau fungsi ginjal. Keadaan ini muncul selama lebih dari 3
bulan dan dapat mempengaruhi kondisi kesehatan. Penurunan fungsi ginjal dapat
menimbulkan gejala pada pasien PGK.1
Menurut World Health Organization (WHO), antara tahun 1995-2025
diperkirakan akan terjadi peningkatan pasien dengan penyakit ginjal 41,4% di
Indonesia. Prevalensi anemia pada pasien GGK menurut World Health
Organizatin (WHO) adalah 84,5% dengan prevalensi pada pasien dialysis kronis
menjadi 100% dan 73% pada pasien pradialisis.1
HHD adalah istilah yang digunakan secara umum untuk penyakit jantung,
seperti LVH (Left Ventricle Hypertrophy), CHD (Coronary Heart Disease) dan
CHF (Congestive Heart Failure). LVH adalah penyakit yang terjadi saat tekanan
darah tinggi yang membuat jantung menjadi sulit untuk memompa darah.
Sehingga membuat otot jantung yang bekerja secara keras akan tumbuh dan
menebal, hal ini akan mengubah fungsi jantung pada ventrikel kiri. LVH ditandai
oleh peningkatan massa otot ventrikel kiri dan penyempitan ruang ventrikel kiri.2
Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme yang bisa diturunkan
secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan hilangnya toleransi
karbohidrat. Pasien DM tipe 2 rentan mengalami peningkatan terhadap risiko
terjadinya komplikasi. Komplikasi yang bisa terjadi dalam jangka waku yang
lama adalah penyakit kardiovaskuler, gagal ginjal kronis, kerusakan retina yang
mengakibatkan kebutaan, kerusakan saraf, serta ganggren dengan risiko
amputasi.3
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau sering disebut juga chronic
pulmonary disease (COPD) masih menjadi masalah utama dalam bidang
kesehatan. Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta pasien PPOK dengan
prevalensi 5,6%. bisa meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena

1
90% pasien PPOK perokok atau mantan perokok. Mortalitas PPOK lebih tinggi
pada laki-laki meningkat pada kelompok umur > 45 tahun. Hal ini bisa
dihubungkan bahwa fungsi respirasi pada umur 30-40 tahun.
Arthritis gout terjadi akibat peningkatan kronis konsentrasi asam urat di dalam
plasma (hiperusemia : >7 mg/dl). Adanya penurunan ekskresi asam urat.
Kebanyakan arthritis gout disebabkan oleh pembentukan asam urat yang
berlebihan dan penurunan ekskrsi. Arthritis gout dapat mengenai laki-laki maupun
wanita, hanya saja gout memang lebih sering mengenai laki-laki. Dikatakan
bahwa kemungkinan arthritis gout menyerang laki-laki adalah 1 sampai 3 per
1.000 laki-laki sedangkan pada wanita adalah 1 per 5.000 wanita. Arthritis gout
dapat menyebabkan sakit kepala dan nyeri khususnya pada sendi.Nyeri tersebut
adalah keadaan subjektif dimana seseorang memperlihatkan ketidak nyamanan
secara verbal maupun non verbal. Respon seseorang terhadap nyeri dipengaruhi
oleh emosi, tingkat kesadaran, latar belakang budaya, pengalaman masa lalu
tentang nyeri dan pengertian nyeri. Nyeri mengganggu kemampuan seseorang
untuk beristirahat, konsentrasi, dan kegiatan yang biasa dilakukan.4
Hipoalbuminemia adalah suatu kondisi abnormal yang ditunjukkan dengan level
albumin dalam darah yang rendah, dimana albumin merupakan protein utama
yang penting dalam tubuh. Hipoalbuminemia berhubungan dengan status
fungsional yang buruk, durasi rawat inap yang lebih lama serta morbiditas dan
mortalitas yang lebih tinggi.5
Proteinuria adalah manifestasi paling umum dari penyakit ginjal. Definisi
proteinuria menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney
Disease (NIDDK) adalah sebuah keadaan dimana terdapatnya komponen protein
dalam kandungan urin. Ulasan dari sejumlah penelitian eksperimental
menunjukkan bahwa proteinuria tidak hanya tanda kerusakan ginjal, tetapi juga
berpartisipasi dalam perkembangan penyakit ginjal.

1.2. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan pembuatan laporan kasus ini:
1. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat memahami setiap kasus
Anemia ec CKD Stage V + HHD ec Hipertensi Grade I + Diabetes Mellitus +
PPOK + Gout Artritis + Dehidrasi Low Intake + Hipoalbuminemia +
Proteinuria
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya diskusi laporan
Anemia ec CKD Stage V + HHD ec Hipertensi Grade I + Diabetes Mellitus +
PPOK + Gout Artritis + Dehidrasi Low Intake + Hipoalbuminemia +
Proteinuria, penyebabnya ini dengan pembimbing klinik.
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai kasus Anemia ec CKD Stage V + HHD
ec Hipertensi Grade I + Diabetes Mellitus + PPOK + Gout Artritis +
Dehidrasi Low Intake + Hipoalbuminemia + Proteinuria serta penyebabnya,
terkait pada kegiatan kepaniteraan.

1.3. Manfaat
1.3.1. Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu
tentang laporan kasus ini
1.3.2. Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang
diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan)
kepada pasien dan keluarganya tentang kegawatan pada pasien
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identifikasi
No. RM : 60.31.99
Nama lengkap : Tn. S
Umur : 2 Januari 1973/ 49 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Ojek
Alamat : Jalan Panjahitan
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 28 April 2021
Tanggal Pemeriksaan : 28 April 2021
Dokter Pemeriksa : dr. Kristinawati Sp.PD
Ruangan : Perawatan Laki-Laki Kelas III Non-Infeksi

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama:
Pasien datang dengan keluhan bengkak dikedua tungkai bawah sejak 1
hari SMRS

Riwayat Perjalanan Penyakit:


Pasien datang ke IGD RSUD Palembang BARI dengan keluhan bengkak
dikedua tungkai bawah sejak 1 hari SMRS dan hilang timbul sejak 4 bulan yang
lalu. Bengkak dirasakan pertama kali pada bagian sebelah kanan terlebih dahulu,
terasa menyut, dan membuat pasien sulit berjalan. Kemudian selang satu minggu
tungkai bawah sebelah kiri pasien juga mengalami pembengkakan tetapi tidak
terasa menyut. Pasien mengatakan keluhan bengkak bertambah parah jika pasien
berdiri lama maka menjadi keras seperti batu dan pasien mengatakan pada saat
ibadah hanya mampu dalam keadaan duduk. Keluhan bengkak disertai nyeri tekan

3
pada tungkai bawah. Pasien mengatakan juga bahwa wajah pasien mengalami
pembengkakan sejak 1 bulan yang lalu.
Pasien mengatakan adanya keluhan tambahan yaitu nyeri pada pinggang
kanan dan menjalar ke pinggang kiri, nyeri dirasakan hilang timbul, terasa seperti
ditusuk-tusuk. Pasien mengeluh tangan dan kaki nya terasa kesemutan atau kebas,
telapak kaki terasa seperti ditusuk-tusuk. Lututnya terasa sakit pada bagian kanan.
Selain itu pasien mengeluh pusing (+), mual (+) dan muntah (+), dan muntahnya
berupa makanan yang dimakan sebelumnya.
Pasien mengeluh pada bagian matanya mengalami mata kabur dari jarak
dekat maupun jauh, penglihatan berbayang, dan terasa berasap tetapi jika pasien
menangis atau mengeluarkan air mata maka penglihatannya kembali jelas. Nafsu
makan tidak ada tetapi tidak ada penurunan berat badan. Pada BAK pasien
mengatakan berbuih, berwarna kekuningan, normal tidak terputus-putus dan tidak
terasa nyeri saat BAK. Pasien mengatakan BAB nya normal. dikeluarga tidak ada
yang mengalami keluhan serupa.
Batuk (-), sesak disangkal, nyeri dada (-), riwayat merokok (-) tetapi
pasien seorang ojek dan dari sekumpulan teman-temannya merokok, riwayat
minum jamu-jamuan berupa kunyit dan telur ayam kampung mentah serta pil
jamu asam urat berupa obat mujizat yang dibeli sendiri oleh pasien. Riwayat asam
urat sejak 2 bulan yang lalu. Riwayat DM disangkal, riwayat hipertensi
sebelumnya tidak diketahui oleh pasien tetapi pasien mengatakan baru tahu sejak
pasien berobat untuk keluhan bengkak di tungkai bawahnya dan diberi obat
furosemid oleh puskesmas. Riwayat thyroid pada tahuan 2000an tetapi sudah
dinyatakan sembuh.

2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat penyakit hipertensi : Ada
Riwayat penyakit diabetes melitus : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat penyakit lambung : disangkal
Riwayat penyakit asma : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal

2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit diabetes melitus : disangkal
Riwayat penyakit jantung : ada (saudara)
Riwayat penyakit ginjal : disangkal
Riwayat penyakit paru : disangkal
Riwayat penyakit lambung : disangkal
Riwayat penyakit asma : disangkal

2.5 Riwayat Kebiasaan


Os memiliki riwayat darah tinggi dan minum obat darah tinggi berupa
furosemide. Dan os mengaku sering mengkonsusmsi jamu-jamuan berupa kunyit
dan telur ayam kampung mentah serta pil asam urat berupa mujizat.

2.6 Pemeriksaan fisik


Dilakukan pada tanggal 28 April 2021
Keadaan Umum:
- Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
- Kesadaran : Compos mentis
- Tekanan darah : 140/90 mmHg
- Nadi : 73x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- Pernafasan : 22x/ menit, tipe thorakoabdominal
- Temperature : 36,5oC
- Berat Badan : 50 kg
- Tinggi Badan : 163 cm
- Kesan Status Gizi : Berat Badan Ideal (IMT 18,8)
Keadaan Spesifik:
1. Pemeriksaan Kepala:
- Bentuk kepala : Normocepali
- Rambut : Tidak rontok, tidak mudah dicabut
- Muka : Bengkak, Pucat (+)

2. Pemeriksaan Mata:
- Exoftalmus : Tidak ada
- Endoftalmus : Tidak ada
- Palpebra : Edema (-/-)
- Konjungtiva : Anemis (+/+)
- Sklera : Ikterik (-/-)
- Pupil : Refleks cahaya (+/+), (3mm/3mm), isokor
- Visus : Kabur jarak dekat dan jauh
- Gerakan : Baik ke segala arah
- Lapang Pandang : Luas

3. Pemeriksaan Telinga :
- Liang telinga :Normal
- Serumen : (-/-)
- Sekret : (-/-)
- Nyeri tekan : (-/-)
- Gangguan pendengaran : (+)

4. Pemeriksaan Hidung :
- Deformitas : (-)
- Nafas cuping hidung : (-)
- Sekret : (-)
- Epistaksis : (-)
- Mukosa hiperemis : (-)
- Septum deviasi : (-)
5. Pemeriksaan Mulut danTengorokan:
- Mulut mengot : (-)
- Bibir : sianosis (-), pucat (+)
- Gusi : hiperemis (-)
- Lidah : kotor (-), atrofi papil (-)
- Tonsil : T1-T1 Tenang
- Faring : hiperemis (-)

6. Pemeriksaan Leher :
- Inspeksi : terlihat pulsasi vena jugularis, , tidak terlihat
benjolan, lesi pada kulit (-)
- Palpasi : Pembesaran Tiroid (-), Pembesaran KGB (-)
- JVP : 5-3 cm H2O
7. Pemeriksaan Kulit :
- Hiperpigmentasi : (-)
- Ikterik : (-)
- Petikhie : (-)
- Sianosis : (-)
- Pucat pada telapak tangan dan kaki :(+)
- Turgor : CRT < 2 detik.

8. Pemeriksaan Thorax:
Paru-Paru Depan
Inspeksi : Statis, Dinamis, Simetris, Spider nevi (-)
Statis  Kanan sama dengan kiri
Dinamis  Tidak ada yang teringgal
Sela iga melebar (-), retraksi intercostae (-), benjolan (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan sisi kiri, benjolan (-)
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru kanan kiri
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Paru-Paru Belakang
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan sisi kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis tidak teraba
Perkusi :
- Atas : ICS II linea parasternalis dextra et sinistra
- Kanan Bawah : ICS IV linea parasternalis dextra
- Kiri bawah : ICS VI linea axillaris anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 normal, reguler, Murmur
(-), Gallop (-)

9. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusa (-), spider nevi (-),
Benjolan (-)
Palpasi : Lemas, nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba,
massa (-), ballotement (-), nyeri tekan (-), ketok CVA (-)
Perkusi : Tympani (+), undulasi (-), shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 3x/menit.

10. Pemeriksaan Genitalia:


Tidak diperiksa

11.Ekstremitas:
Lengan Kiri Kanan
- Tonus Eutoni Eutoni
- Gerakan Cukup Cukup
- Kekuatan 5 5
- Otot Eutrofi Eutrofi

Tangan Kiri Kanan


- Warna telapak Pucat Pucat
- Kuku Normal Normal
- Kelainan jari Normal Normal

Tungkai dan kaki Kiri Kanan


- Tonus Eutoni Eutoni
- Gerakan Cukup Cukup
- Kekuatan 5 5
- Otot Eutrofi Eutrofi
- Edema + +
Reflek Fisiologis Kiri Kanan
- Biceps Normal Normal
- Triceps Normal Normal
- Patella Normal Normal
- Achilles Normal Normal
Reflek Patologis Kiri Kanan
- Babynski Negatif Negatif
- Oppenheim Negatif Negatif
- Gordon Negatif Negatif
- Schaeffer Negatif Negatif
- Rossolimo Negatif Negatif
2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan EKG (Tanggal 27 April 2021)

Interpretasi EKG:
1) Irama Sinus Rhytm
2) HR : 85 x/menit
3) Axis normal
4) Gelombang P normal, jarak PR normal
5) Gelombang T Normal

2. Pemeriksaan Rontgen Toraks (Tanggal 27 April 2021)


Pada pemeriksaan foto Rontgen didapatkan :
 Cor membesar
 Corakan bronkovaskular normal
 Tidak tampak infiltrat
 Tulang-tulang intak
 Soft tissue baik
Kesan :
 Cardiomegaly

3. Pemeriksaan Laboratorium (Tanggal 27 April 2021)


Parameter Hasil Nilai Normal Interpretasi
Hematologi
Hemoglobin 7,1 g/dl 14,0 - 18,0 g/dl Anemia
Eritrosit 2,52 juta/ul 4.5-5.5. juta/ul Anemia
Hematokrit 21 % 42-52% Anemia
Trombosit 216.103/ul 150-440.103/ul Normal
Leukosit 6.0 103/ul 5-10 103/ul Normal
Hitung Jenis
Eosinophil 2% 0-3% Normal
Basophil 0% 0-1% Normal
Neutrophil 2% 2-6 % Normal
batang
Neutrophil 55% 50-70% Normal
segmen
Limfosit 31 % 20-40% Normal
Monosit 10 % 2-8% Normal
Kimia Klinik
Protein Total 4.77 g/dl 6,7-8,7 g/dl Menurun
Albumin 3,49 g/dl 3,8-5,1 g/dl Kritis
Globulin 1,28 g/dL 1,5-3,0 g/dL Menurun
Ureum 281 mg/dl 20-40 mg/dl Kritis
Kreatinin 8.8 mg/dl 0,6-1,1 mg/dl Meningkat
Glukosa Darah 187 mg/dl < 180 mg/dl Hiperglikemia
Sewaktu
Urine Lengkap (Makroskopis)
Warna Kuning
Kejernihan Jernih
Reaksi / pH 6,0 5,85 Normal
Berat jenis 1,025 1,000-1,030 Normal
Protein +++ Negatif Proteinuria
Bilirubin Negatif Negatif Normal
Glukosa Negatif Negatif Normal
Keton Negatif Negatif Normal
Darah / Hb + Negatif Hematuria
Nitrit Negatif Negatif Normal
Urobilinogen Positif Positif Normal
Leukosit Negatif Negatif Normal
Urine Lengkap (Mikroskopis)
Leukosit 1-2/LPB 0-5/LPB Normal
Eritrosit 5-8/LPB 1-3/LPB Hematuria
Sel epitel - Normal
Silinder - Normal
Kristal - Normal

2.8 Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Palembang BARI dengan keluhan bengkak
dikedua tungkai bawah sejak 1 hari SMRS dan hilang timbul sejak 4 bulan yang
lalu. Bengkak dirasakan pertama kali pada bagian sebelah kanan terlebih dahulu,
terasa menyut, dan membuat pasien sulit berjalan. Kemudian selang satu minggu
tungkai bawah sebelah kiri pasien juga mengalami pembengkakan tetapi tidak
terasa menyut. Pasien mengatakan keluhan bengkak bertambah parah jika pasien
berdiri lama maka menjadi keras seperti batu dan pasien mengatakan pada saat
ibadah hanya mampu dalam keadaan duduk. Keluhan bengkak disertai nyeri tekan
pada tungkai bawah. Pasien mengatakan juga bahwa wajah pasien mengalami
pembengkakan sejak 1 bulan yang lalu.
Pasien mengatakan adanya keluhan tambahan yaitu nyeri pada pinggang
kanan dan menjalar ke pinggang kiri, nyeri dirasakan hilang timbul, terasa seperti
ditusuk-tusuk. Pasien mengeluh tangan dan kaki nya terasa kesemutan atau kebas,
telapak kaki terasa seperti ditusuk-tusuk. Lututnya terasa sakit pada bagian kanan.
Selain itu pasien mengeluh pusing (+), mual dan muntah (+), dan muntahnya
berupa makanan yang dimakan sebelumnya.
Pasien mengeluh pada bagian matanya mengalami mata kabur dari jarak
dekat maupun jauh, penglihatan berbayang, dan terasa berasap tetapi jika pasien
menangis atau mengeluarkan air mata maka penglihatannya kembali jelas. Nafsu
makan tidak ada tetapi tidak ada penurunan berat badan. Pada BAK pasien
mengatakan berbuih, berwarna kekuningan, normal tidak terputus-putus dan tidak
terasa nyeri saat BAK. Pasien mengatakan BAB nya normal. dikeluarga tidak ada
yang mengalami keluhan serupa.
Batuk (-), sesak disangkal, nyeri dada (-), riwayat merokok (-) tetapi
pasien seorang ojek dan dari sekumpulan teman-temannya merokok, riwayat
minum jamu-jamuan berupa kunyit dan telur ayam kampung mentah serta pil
jamu asam urat berupa obat mujizat yang dibeli sendiri oleh pasien. Riwayat asam
urat sejak 2 bulan yang lalu. Riwayat DM disangkal, riwayat hipertensi
sebelumnya tidak diketahui oleh pasien tetapi pasien mengatakan baru tahu sejak
pasien berobat untuk keluhan bengkak di tungkai bawahnya dan diberi obat
furosemid oleh puskesmas. Riwayat thyroid pada tahuan 2000an tetapi sudah
dinyatakan sembuh.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis dengan tekanan darah : 140/90 mmHg, nadi : 73x/
menit, reguler, pernapasan : 22x/ menit, dan temperature: 36,5oC. Pada
pemeriksaan kepala, didapatkan wajah mengalami edema. Pada pemeriksaan
thoraks, dinding dada simetris statis dan dinamis dengan stem fremitus kanan
sama dengan sisi kiri. Iktus cordis tidak terlihat dan tidak teraba. Pada auskultasi
suara nafas vesikuler. Bunyi jantung 1 dan 2 normal. Lalu pada pemeriksaan
ekstremitas superior tidak ada kelainan, dan inferior didapatkan edema pada
tungkai bawah kanan dan kiri. Pada pemeriksaan abdomen, Pada palpasi dengan
perut lemas dengan nyeri tekan epigastrium.
Pemeriksaan penunjang dilakukan. Pada pemeriksaan darah rutin, ditemukan
penurunan kadar hemoglobin (7,1 g/dL), hematocrit (21%), eritrosit (2,52
juta/ul). Ureum (281), kreatinin (8.8), protein total (4,77) dan albumin (3,49),
globulin (1,28), GDS 187. Pada urin lengkap didapatkan protein +++ dan
darah/hb (+), eritrosit (+). Pemeriksaan rontgen didapatkan kardiomegali

2.9 Assessment
1. Diagnosis Kerja : Anemia ec Chronic Kidney Disease Stage V
Subjektif :
Pasien datang dengan keluhan bengkak dikedua tungkai bawah sejak 4 bulan
yang lalu, kemudian mengalami bengkak pada wajah sejak 1 bulan yang lalu.
Keluhan lain yang dirasakan berupa nyeri pinggang yang menjalar dari kanan
kekiri. BAK pasien berbuih tetapi tidak terasa nyeri, mual dan muntah (+), nafsu
makan tidak ada. Pasien memiliki riwayat hipertensi (+), dan juga pasien memiliki
riwayat asam urat (+). Pasien mengatakan nafsu makan tidak ada, dan pasien juga
sering BAK pada siang maupun malam hari, pasien mengatakan mengalami
kesemutan/kebas pada ujung jari tangan maupun kaki (neuropati perifer), dan juga
pasien mengatakan gatal pada tangan.
Objektif :
a. Pemeriksaan Fisik
- TD: 140/90 mmHg
- Edema tungkai bawah
- Mual (+)
- Konjungtiva anemis (+/+),
- Palmar pucat,
Pemeriksaan Penunjang:
 Hb (7,1 g/dL)
 Hematocrit (21%)
 Eritrosit (2,52)
 Penurunan LFG: 7,1
 Ureum (281g/dL)
 Kreatinin (8,8 mg/dL)
 Albumin (3,49 d/dL)
 Globulin (1,28 g/dL)
 Eritrosit 5-8/LPB

Diagnosis Banding :
1. Anemia ec Chronic Kidney Disease Stage V
2. Anemia ec Acute Kidney Injury
3. Anemia ec Acute on Chronic Kidney Disease

Rencana Pemeriksaan Tambahan :   TIBC, besi serum, ferritin, foto polos


abdomen, biopsi Ginjal
P:
 Non Farmakologi
 Nutrisi: pengaturan asupan lemak, asupan protein, asupan karbohidrat,
asupan kalsium dan magnesium
 Kurangi aktivitas fisik
 Farmakologi
 IVFD RL gtt 20x/m
 Transfusi PRC 3 kolf
 Injeksi furosemide 1x1 amp
 Spironolactone 1x1 tab 25 mg
 Injeksi ceftriaxone 2x1 gr
 Candesartan 1x1 tab 8 mg
 Injeksi omeprazole 40 mg
 Ondansetron 3x8 mg IV

2. Diagnosis Kerja : HHD ec Hipertensi Grade I


Subjektif :
Pasien memiliki riwayat hipertensi, sebelumnya pasien tidak mengetahui jika
mengalami hipertensi dan saat pasien datang ke puskesmas ternyata hasilnya
pasien mengalami hipertensi dan diberikan obat furosemide oleh puskesmas. Pada
pemeriksaan fisik tekanan darah pasien 140/90 mmHg yang menandakan pasien
di diagnosis HHD ec Hipertensi Stage I. pasien mengalami edema, pandangan
pasien terasa kabur dari jarak dekat maupun jarak jauh, pasien sering BAK pada
siang maupun malam hari

Objektif :
b. Pemeriksaan Fisik
- TD: 140/90 mmHg
- Pulsasi a. carotis
- Batas jantung melebar
Pemeriksaan penunjang
- Hb (7,1 g/dL)
- Hematocrit (21%)
- Ureum (281g/dL)
- Kreatinin (8,8 mg/dL)

Diagnosis Banding :
1. PJK ec HHD
2. CHF ec CAD
Rencana Pemeriksaan Tambahan :   profil lipid, elektrolit

P:
 Non Farmakologi
 Edukasi: mengontrol faktor risiko, edukasi pasien dan keluarga
 Diet rendah garam
 Farmakologi
- Candesartan 1x1 tab 8 mg

3. Diagnosis Kerja : Diabetes Mellitus


Subjektif :
Pasien mengluh tangan dan kaki pasien merasa kesemutan dan kebas, rasanya
seperti ditusuk, dan juga pasien mengeluh pada telapak kaki terasa seperti ditusuk,
pasien mengatakan pasien sering BAK. Pasien mengatakan pandangan kabur dari
jarak dekat maupun jauh

Objektif :
a. Pemeriksaan Fisik
- Usia > 45th
- Kesemutan pada ujung jari tangan dan kaki
- Pandangan mata kabur
 Hasil lab:
- Gula darah Sewaktu: 187 gr/dL
- Kreatinin 8,8 mg/dL
- Albumin 3,49 d/dL
Diagnosis Banding :
1. Hiperglikemia Reaktif
2. Toleransi Glukosa Terganggu
Rencana Pemeriksaan Tambahan :   HbA1c, keton, profil lipi

P:
 Non Farmakologi
 Edukasi mengenai penyakit (definisi, penyebab, manifestasi klinis,
tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasien kepada pasien dan
keluarga.
 Tirah baring
 Kurangi aktivitas fisik
 Batasi asupan glukosa
 Farmakologi
- Metformin 2x500 gr

4. Diagnosis Kerja : Gout Arthritis


Subjektif :
Pasien mengeluh nyeri sendi pada lutut, rasa nya seperti ditusuk-tusuk, pasien
memiliki riwayat asam urat, dan pasien juga sering mengkonsumsi jamu-jamuan
dan juga pasien sering minum pil mujizat untuk menurunkan asam urat.

Objektif :
Pemeriksaan Penunjang:
- Kreatinin 8,8 mg/dL

Diagnosis Banding :
1. Rheumathoid Arthritis
2. Osteoarthritis

Rencana Pemeriksaan Tambahan :   radiologis, asam urat


P:
 Non Farmakologi
 Penyuluhan diet rendah purin
 Hidrasi yang cukup
 Hindari konsumsi alkohol
 Kurangi aktivitas fisik
 Edukasi konsumsi obat-obatan
 Farmakologi
 Allopurinol 2x300 mg

5. Diagnosis Kerja : Penyakit Paru Obstruktif Kronik


Subjektif : Pasien merupakan seorang ojek online, pasien mengatakan tidak
merokok, tetapi teman seperkumpulan pasien merokok semua, bisa
dikatakan pasien adalah perokok pasif
Objektif :
Pemeriksaan Fisik:
- RR: 22x/menit
- Distensi vena jugularis
- Edema

Diagnosis Banding :
1. Asma Bronkial
2. Bronkiektaksis

Rencana Pemeriksaan Tambahan :   - spirometri, rontgen thorax

P:
 Non Farmakologi
- Jaga jarak dengan teman perokok
- Latihan fisik
- Latihan pernafasan
- Terapi oksigen jangka panjang
- Pantau nutrisi
 Farmakologi
- Bronkodilator: salbutamol 2,5 mg

. Diagnosis Kerja : Dehidrasi low intake

Subjektif : Pasien juga mengatakan nafsu makan dirasakan berkurang, namun tidak
ada penurunan berat badan dalam waktu dekat
Objektif : -

Diagnosis Banding : -
Rencana Pemeriksaan Tambahan :   -

P:
 Non Farmakologi
 Terapi gizi

. Diagnosis Kerja : Hipoalbuminemia

Subjektif : Pasien juga mengeluh kaki bengkak pada kedua tungkai sejak 4 bulan
SMRS. Kaki bengkaknya terasa nyeri, dan juga terdapat bengkak pada
wajah sejak 1 bulan yang lalu
Objektif : Edema pretibial (+/+)
Pemeriksaan penunjang: Protein total (4.77 g/dl), albumin (3,49 mg/dl)

Diagnosis Banding :
2. Hipoalbuminemia ec sindrom nefrotik
3. Hipoalbuminemia ec sirosis hepatis
Rencana Pemeriksaan Tambahan :   -
P:
 Non Farmakologi
 Edukasi mengenai penyakit (definisi, penyebab, manifestasi klinis,
tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasien kepada pasien dan
keluarga.
 Tirah baring
 Terapi gizi
 Farmakologi
 Mazalbumin 3x1

. Diagnosis Kerja : Proteinuria

Subjektif : pasien mengatakan pada saat BAK, BAK pasien berbuih, bengkak pada
tungkai bawah dan wajah
Objektif : -
Pemeriksaan penunjang: Protein total (4.77 g/dl), proteinuria (+++)

Diagnosis Banding :
1. proteinuria ec sindrom nefrotik

Rencana Pemeriksaan Tambahan :   -


P:
 Non Farmakologi
 Edukasi mengenai penyakit (definisi, penyebab, manifestasi klinis,
tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasien kepada pasien dan
keluarga.
 Tirah baring
 Terapi gizi
 Farmakologi
 Diuretik: furosemid 1x1 / spironolactone 1x1 mg
2.10 Diagnosis kerja
Anemia ec CKD Stage V + HHD ec Hipertensi grade I + Diabetes Mellitus +
PPOK + Gout Artritis + Dehidrasi low intake + Hipoalbuminemia + Proteinuria

2.11 Diagnosis Banding


1. Anemia ec AKI + PJK ec HHD + Hiperglikemi Reaktif + Asma Bronkial +
Arthritis Rheumatoid + Dehidrasi low intake + Hipoalbuminemia ec sindrom
nefrotik + Proteinuria ec sindrom nefrotik
2. Anemia ec Acute On Chronic Kidney Diseasee + CHF ec CAD + Toleransi
Glukosa Terganggu + Bronkietaksis + Arthritis Septik + Hipoalbuminemia ec
sirosis hepatis + Proteinuria

.12 Rencana Pemeriksaan Penunjang Khusus


1. CKD: TIBC, ferritin serum, poto polos abdomen, biopsi ginjal
2. HHD: profil lipid, elektrolit
3. DM: HbA1c, keton, profil lipid
4. PPOK: spirometri, rontgen thorax
5. GA: radiologi, asam urat

.13 Penatalaksanaan
a. Non Farmakologis
 Edukasi mengenai penyakit (definisi, penyebab, manifestasi klinis,
tatalaksana, dan prognosis) yang dialami pasien kepada pasien dan keluarga.
 Tirah baring
 Kurangi aktivitas fisik
 Terapi gizi
b. Farmakologis
- IVFD RL gtt 20x/m
- Transfusi PRC 400 cc
- Injeksi furosemide 2x1 amp 20 mg
- Spironolactone 1x1 tab 25 mg
- Injeksi ceftriaxone 2x1 vial
- Candesartan 1x1 tab 8 mg
- Injeksi omeprazole 40 mg
- Injeksi ondansetron 3 x 8 gram
- Metformin 2x500 mg
- Allopurinol 2x300 mg
- Neurodex 1x1 tab 100 mg

2.14 Prognosis
- Quo ad vitam : Bonam
- Quo ad fungtionam : Dubia ad Bonam
- Quo ad Sanationam : Dubia ad Bonam

2.14.15 Follow Up

Tanggal Subjective Objective Assesment Planning


28 April Bengkak KU: Tampak Anemia ec CKD  IVFD RL gtt 20x/m
2021 pada sakit sedang stage + HHD ec  Transfusi PRC 200 cc
tungkai Sens: Compos Hipertensi grade I  Injeksi furosemide 1x1 amp
bawah, mentis + Diabetes  Injeksi ceftriaxone 2x1 gr
nyeri sendi TD: 140/90 Mellitus + PPOK +  Candesartan 1x1 tab 8 mg
lutut, nyeri mmHg Gout Artritis +
 Injeksi omeprazole 40 mg
pinggang N:73x/menit, Dehidrasi low
 Injeksi ondansetron 3 x 8
regular, isi dan intake +
gram
tegangan Hipoalbuminemia
 Metformin 2x500 mg
cukup + Proteinuria
 Allopurinol 2x300 mg
RR:22 x/menit
 Neurodex 1x1
T: 36,5ºC
 Hemodialisa

29 April Kaki KU: Tampak Anemia ec CKD  IVFD RL gtt 20x/m


2021 bengkak, sakit sedang stage V + HHD ec  Transfusi PRC 200 cc
wajah Sens: Compos Hipertensi grade I  Injeksi furosemide 1x1 amp
bengkak, mentis + Diabetes  Injeksi ceftriaxone 2x1 gr
nyeri sendi TD: 130/80 Mellitus + PPOK +  Candesartan 1x1 tab mg
lutut, nyeri mmHg Gout Artritis +
 Injeksi omeprazole 40 mg
pinggang N:77x/menit, Dehidrasi low  Injeksi ondansetron 3 x 8
regular, isi dan intake + gram
tegangan Hipoalbuminemia  Metformin 2x500 mg
cukup + Proteinuria  Allopurinol 2x300 mg
RR:21 x/menit  Neurodex 1x1
T: 36,6ºC
30 April Bengkak pada KU: Tampak Anemia ec CKD  IVFD RL gtt 20x/m
2021 kaki kiri sudah sakit ringan stage V + HHD ec  Transfusi PRC 200cc
sedikit Sens: Compos Hipertensi grade I  Injeksi furosemide 1x1 amp
kempes, sakit mentis + Diabetes  Injeksi ceftriaxone 2x1 gr
kepala TD: 150/90 Mellitus + PPOK +  Candesartan 1x1 tab mg
mmHg Gout Artritis +
 Injeksi omeprazole 40 mg
N:83 x/menit, Dehidrasi low
 Injeksi ondansetron 3 x 8
regular, isi dan intake +
gram
tegangan Hipoalbuminemia
 Metformin 2x500 mg
cukup + Proteinuria
 Allopurinol 2x300 mg
RR:22 x/menit
 Neurodex 1x1
T: 36,5ºC
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Chronic Kidney Disease


a. Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
merupakan suatu kelainan pada struktur atau fungsi ginjal, yang berlangsung >
3 bulan, yang berdampak pada kesehatan. Penyakit Ginjal Kronik (PGK)
merupakan proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal dan dapat berakhir dengan gagal
ginjal. Gagal ginjal merupakan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel yang
memerlukan terapi pen gganti ginjal yang tetap seperti dialisis atau
transplantasi ginjal. Glomerular Filtration Rate (GFR) atau Laju Filtrasi
Glomerular (LFG) merupakan suatu pertanda untuk menilai fungsi ginjal.6

b. Epidemiologi
Pada tahun 2015, hasil Global Burden of Disease, menyebutkan bahwa
PGK merupakan penyebab kematian terbanyak ke-12, sekitar 1,1 juta orang
meninggal akibat PGK di seluruh dunia. Mortalitas PGK meningkat sekitar
31,7% dalam 10 tahun terakhir, menjadikan PGK salah satu penyebab
kematian yang mengalami peningkatan tercepat, selain diabetes dan
demensia2. Pada studi yang sama, kematian akibat PGK berada pada
peringkat 17, meningkat 18,4% dari tahun 2005. Hal ini berlawanan dengan
penyakit tidak menular lainnya seperti penyakit kardiovaskular dan penyakit
paru obstruktif kronis, di mana mortalitas yang disebabkannya yaitu menurun
sekitar 10,2% dan 3,0%.7
Sedangkan, di Indonesia, perawatan penyakit ginjal merupakan ranking
dua pebiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung 1. Hasil
Riskesdas 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal
kronis sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi PGK di
negara-negara lain, juga hasil penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia
(Pernefri) tahun 2006, yang mendapatkan prevalensi PGK sebesar 12,5%. Hal

24
ini karena Riskesdas 2013 hanya menangkap data orang yang terdiagnosis
PGK sedangkan sebagian besar PGK di Indonesia baru terdiagnosis pada
tahap lanjut dan akhir.8
Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring
dengan bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur
35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-
laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi
pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan
wiraswasta, petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan
terbawah dan menengah bawah masing-masing 0,3%. Sedangkan provinsi
dengan prevalensi tertinggi adalah Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti
Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4 %. Di Sumatera
Selatan, prevalensi penyakit gagal ginjal kronis adalah 0,1%.8
Data IRR dari 249 renal unit yang melaporm tercatat 30.544 pasien aktif
menjalani dialisis pada tahun 2015, sebagian besar adalah pasien dengan
gagal ginjal kronik. Sedangkan menurut penyebabnya, yang terbanyak adalah
akibat penyakit ginjal hipertensi dan nefropati diabetika. Secara global,
penyebab PGK adalah diabetes mellitus. Di Indonesia, sampai dengan tahun
2000, penyebab terbanyak adalah glomerulonefritis, namun beberapa tahun
terakhir menjadi hipertensi berdasarkan data IRR. Namun, belum dapat
dipastikan apakah memang hipertensi merupakan penyebab PGK atau
hipertensi akibat penyakit ginjal tahap akhir, karena data IRR didapatkan dari
pasien hemodialisis yang sebagian merupakan pasien dengan penyakit ginjal
tahap akhir.9

c. Etiologi & Faktor Risiko


Penyakit ginjal kronik merupakan penyakit multifaktorial. Penyebab
penyakit ginjal kronik bervariasi antara satu negara dengan negara yang
lainnya. Penyebab penyakit ginjal kronik yang paling sering di negara maju
seperti Amerika Serikat adalah diabetik nefropati, sedangkan penyebab
penyakit ginjal kronik di negara berkembang adalah glomerulonefritis kronik
dan nefritis intertisial17. Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat
menyebabkan penyakit ginjal kronik seperti hipertensi, diabetes melitus,

25
pertambahan usia, ada riwayat keluarga penyakit ginjal kronik, obesitas,
penyakit kardiovaskular, berat lahir rendah, penyakit autoimun seperti lupus
eritematosus sistemik, keracunan obat, infeksi sistemik, infeksi saluran
kemih, batu saluran kemih dan penyakit ginjal bawaan.10
Faktor risiko terjadinya penyakit ginjal kronik, antara lain:

a) Pertambahan usia akan mempengaruhi anatomi, fisiologi dan sitologi


pada ginjal. Setelah usia 30 tahun, ginjal akan mengalami atrofi dan
ketebalan kortek ginjal akan berkurang sekitar 20% setiap dekade.
Perubahan lain yang akan terjadi seiring dengan bertambahnya usia
berupa penebalan membran basal glomerulus, ekspansi mesangium
glomerular dan terjadinya deposit protein matriks ekstraselular sehingga
menyebabkan glomerulosklerosis.11
b) Berdasarkan Indonesian Society of Nephrology (InaSN) tahun 2000,
diabetes dan hipertensi merupakan penyebab kedua dan ketiga gagal
ginjal kronik di Indonesia setelah glomerulonephritis.12
c) Hipertensi yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan
resistensi arteriol aferen dan terjadi penyempitan arteriol eferen akibat
perubahan struktur mikrovaskuler. Kondisi ini akan menyebabkan
iskemik glomerular dan mengaktivasi respon inflamasi. Hasilnya, akan
terjadi pelepasan mediator inflamasi, endotelin dan aktivasi angiostensin
II intrarenal. Kondisi ini akan menyebabkan terjadi apoptosis,
meningkatkan produksi matriks dan deposit pada mikrovaskuler
glomerulus dan terjadilah sklerosis glomerulus atau nefrosklerosis.13
d) Keadaan hiperglikemia yang lama akan berakibat buruk pada ginjal dan
dapat menyebabkan terjadinya fibrosis dan inflamasi pada glomerulus
dan tubulus. Kondisi ini menyebabkan percepatan kerusakan fungsi
ginjal.
e) Riwayat batu saluran kemih akan menyababkan obstruksi yang
diakibatkan oleh batu saluran kemih tersebut dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intratubular yang diikuti oleh vasokonstriksi
pembuluh darah hingga mengakibatkan iskemik pada ginjal. Iskemik
pada waktu yang lama dapat menyebabkan glomeruloskerosis, atrofi

26
tubulus dan fibrosis intertisial. Obstruksi komplit pada ginjal selama 24
jam akan mengakibatkan kehilangan fungsi nefron secara permanen
sebanyak 15%.14
f) Infeksi saluran kemih merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
penyakit ginjal kronik. Terjadinya infeksi saluran kemih disertai dengan
refluk vesiko ureter akan memperbesar terbentuknya skar di ginjal yang
akan menyebabkan terjadinya penurunan fungsi ginjal.15
g) Lupus eritematosus sistemik adalah penyakit autoimun yang menyerang
banyak organ salah satunya adalah ginjal. Enam puluh persen pasien LES
akan mengalami kerusakan ginjal.16

d. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving
nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul
vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini menyebabkan
hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini
akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun
penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis
renin-angiotensin-aldosteron sentrarenal, ikut memberikan kontribusi
terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.
Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor b (TGF-b).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas
penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemi,
dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis
dan fibrosis glomerulus maupun tubulus interstisial.17
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya

27
cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana LFG masih normal atau
malah meningkat. Kemudian secara perlahan, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien belum merasakan
keluhan (asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada
pasien seperti, nokturi, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan
penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, uremia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium,
pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena
infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas maupun infeksi
saluran cerna, juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo dan
hipervolemia, gangguan keseimbangan elektolit antara lain natrium dan
kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang
lebih serius, dan pasien sudah membutuhkan terapi pengganti ginjal (renal
replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada
keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.17
Terdapat 3 patogenesis yang terjadi pada PGK diantaranya adalah:18
a. Toksik Azotemia (metabolit toksik)
Toksik Azotemia adalah substansi normal, pada penurunan LFG
menyebabkan retensi zat tersebut (Ureum, Metilguanidin,
Guanindinosuccinic acid). Retensi zat-zat tersebut menyebabkan beberapa
keluhan diantaranya: haus, poliuria, mual, anoreksia, stomatitis, kolitis
ulserasi mukosa duodenum dan gaster, perdarahan, kejang-kejang otot,
parese saraf motorik, hipertrigliseridemia.
b. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik
Kelainan metabolisme:
- Metabolisme Karbohidrat
Terjadi pseudo diabetes melitus, menurut beberapa penelitian
gangguan metabolisme ini terjadi akibat adanya antagonis insulin

28
perifer, kelainan insulin basal, dan sekresi insulin yang lambat terhadap
beban glukosa.
- Metabolisme Lemak
Hiprertrigliserida terjadi diduga akibat dari kenaikan sintesis
Triglyserida-rich lipoprotein dalam hepar.
- Metabolisme Protein
Pada orang normal pembatasan jumlah protein dalam waktu lama akan
menyebabkan keseimbangan negatif dari nitrogen. Sebaliknya pada
pasien PGK pembatasan jumlah protein tidak akan menyebabkan
keseimbangan negatif dari nitrogen.
- Metabolisme Asam urat
Hiperurikemia pada pasien PGK tidak mempunyai hubungan dengan
derajat penurunan faal ginjal, namun digunakan sebagai indikator
penentuan diagnosis dini dari PGK.
- Metabolisme Elektrolit
Metabolisme Na
Peningkatan ekskresi Na yang diduga akibat adanya atrial natriuretic
factor (ANF) yang menghambat reabsorbsi ion Na pada tubulus ginjal.
Normalnya Na diekskresikan sebesar 20-40 mEq/hari, pada keadaan
salt-wasting, Na diekskresikan mencapai 100-200 mEq/hari.
Mekanisme salt-wasting, memiliki hubungan dengan beberapa faktor
diantaranya beban urea redistribusi aliran darah intrarenal,
hormon/faktor natriuresis, dan muntah-muntah.
Bila kehilangan Na disertai penurunan volume cairan ekstraselular
(VCES), akan diikuti dengan penurunan filtrasi glomerulus, sehingga
faal ginjal akan lebih buruk lagi. Keadaan ini terjadi pada acute on
chronic renal failure. Bila kehilangan Na ini tidak disertai dengan
kehilangan air (VCES normal), makan akan terjadi kondisi
hiponatremia. Pada sebagian pasien PGK, terutama yang berhubungan
dengan glomerulopati sering ekskresi Na menurun, terjadi retensi Na
dan air yang akan menyebakan terjadinya odema. Jadi memahami

29
metabolisme Na pada pasien PGK sangat penting terutama untuk
pemberian garam Na dalam menu diet.
- Metabolisme air
Gangguan kemampuan filtrasi pada pasien PGK tidak selalu
berhubungan dengan penyakit dari collecting duct atau loop of Henle,
lebih sering akibat beban urea dari nefron-nefron yang masih utuh.
Pada beberapa pasien PGK dengan jumlah nefron makin berkurang,
fleksibilitas untuk ekskresi air juga akan berkurang sehingga dengan
mudah terjadi kelebihan cairan (water overload). Keadaan water
overload baik renal maupun ekstra renal dapat menyebabkan
hiponatremia. Defisit air disertai natrium (dehidrasi) lebih sering
menyebabkan penurunan faal ginjal yang terbalikan pada pasien-pasien
gagal ginjal sehingga terjadi oliguria, keadaan demikian dinamakan
acute on chronic on failure. Penurunan kemampuan untuk
keseimbangan cairan ini akan mengakibatkan sering kencing pada
malam hari (nokturia). Bila nokturia ini tidak diimbangi dengan
pemberian air dapat menyebabkan dehidrasi pada malam hari. Keadaan
dehidrasi ini akan memperburuk LFG. Keluhan mual dan muntah
makin berat pada pagi hari seperti muntah sedang hamil muda
(morning sickness).
- Metabolism kalsium
Pada pasien PGK sering ditemukan hipokalsemia, disebabkan
penurunan absorbsi Ca melalui usus dan gangguan mobilisasi Ca serta
hiperfosfatemia.
- Kesimbangan asam basa
Pada PGK terjadi gangguan ekskresi ion H+ sehingga dapat
menyebabkan asidosis sistemik dengan penurunan pH plasma dan
darah. Patogenesis asidosis metabolic pada PGK:
1) Penurunan ekskresi ammonia karena kehilangan sejumlah
nefron.
2) Penurunan ekskresi titrable acid terutama fosfat, karena asupan
dan absorbsi melalui usus berkurang.

30
3) Kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urine (bicarbonate
wasting).
- Fosfat
Hiperfosfatemia yang terjadi pada PGK memegang peranan penting
pada hipokalsemia dan hiperparatiroidisme, dan akhirnya dapat
menyebabkan penyebaran kalsifikasi pada organ-organ lain (metastatic
calcification).
- Magnesium
Kenaikan serum Magnesium sangat jarang menimbulkan keluhan akan
gejala, kecuali magnesium yang terkandung dalam laksantif dan
antasida akan menekan SSP.

e. Klasifikasi
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan
oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi
menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi
tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium.6
Klasifikasi PGK dibuat atas dasar CGA yaitu berdasarkan penyebab,
kategori LFG, dan kategori albuminuria. Perhitungan LFG dengan rumus
Cockroft-Gault untuk orang dewasa, yaitu:

LFG (ml/mnt/1,73m2) =
( 140−umur ) x berat badan
x(0,85 jika wanita)
72 x kreatinin serum

Tabel 2.1. Kategori LFG


Kategori LFG Arti
LFG ml/mnt/1,73 m2
G1 ≥ 90 Normal atau tinggi
G2 60-89 Sedikit menurun
G3a 45-59 Sedikit-sedang menurun
G3b 30-44 Sedang-berat menurun
G4 15-29 Berat menurun
G5 <15 Gagal ginjal

31
Tabel 2.2 Etiologi
Penyakit Contoh
Penyakit glomerular Diabetes, pemyakit autoimun sistemik,
infeksi sistemik, obat-obatan, neoplasia
Penyakit tubulointerstisial Infeksi sistemik, autoimun, sarcoidosis,
obat-obatan, toksin lingkungan, neoplasia
Aterosklerosis, hipertensi, iskemia, emboli
Penyakit vascular kolesterol, vaskulitis sistemik,
mikroangiopati trombosis, sklerosis
sistemik
Penyakit kistik dan Penyakit ginjal polikistik, Alport
kongenital syndrome, penyakit Fabry

Tabel 2.3. Katergori Albuminuria


Kategori AER ACR Arti
mg/mmol mg/g
A1 <30 <3 <30 Normal-sedikit
meningkat
A2 30- 3-30 30-300 Sedang meningkat
300
A3 >300 >30 >300 Berat meningkat

Tabel 2.4 Stadium PGK berdasarkan kategori penyebab, LFG, dan albuminuria
Penyebab Kategori Kategori Kriteria PGK Keterangan
LFG albuminuria
Penyakit G5 A3 Penurunan
ginjal diabetik LFG,
albuminuria
Sklerosis fokal G2 A3 Albuminuria Penyebab
idiopatik tersering
sindrom nefrotik
pada anak-anak
Penerima G2 A1 Riwayat Prognosis baik
transplantasi transplantasi setelah
ginjal ginjal transplantasi

32
ginjal
Penyakit G2 A1 Gambaran Penyebab
ginjal radiologi tersering
polikistik penyakit yang
disebablan oleh
mutasi single
gene
Refleks G1 A1 Abnormalitas Kondisi
vesicoureteral radiologi tersering pada
anak-anak
Asidosis G1 A1 Abnormalitas Gangguan
tubulus distal elektrolit genetik yang
renal jarang
Penyakit G4 A2 Penurunan Biasanya
ginjal LFG dan disebabkan oleh
hipertensi albuminuria hipertensi kronis
tidak terkontrol,
dengan pasien
yang memiliki
predisposisi

33
f. Manifestasi Klinis
Pada penyakit ginjal kronis, setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi
uremia, maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala.
Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan
ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien. Manifestasi kardiovaskuler,
pada penyakit ginjal kronis mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan
natrium dari aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron), gagal jantung
kongestif, edema pulmoner (akibat cairan berlebihan), dan perikarditis (akibat
iritasi pada lapisan pericardial oleh toksin uremik).6
Gejala dermatologi yang sering terjadi mencakup rasa gatal yang parah
(pruritis). Butiran uremik, suatu penumpukan kristal urea di kulit, saat ini jarang
terjadi akibat penanganan dini dan agresif terhadap penyakit ginjal tahap akhir.
Gejala gastrointestinal juga sering terjadi dan mencakup anoreksia, mual,
muntah dan cegukan. Perubahan neuromuskuler mencakup perubahan tingkat
kesadaran, ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot, dan kejang.6
Keluhan gejala klinis yang timbul pada CKD hampir mengenai seluruh
sistem, yaitu:
Tabel 2.5 Gejala klinis PGK

34
Sistem Organ Manifestasi Klinis
Umum Lemah, malaise, gangguan pertumbuhan dan
debilitas, edema
Kulit Pucat, rapuh, gatal, bruising
Kepala dan leher Fetor uremia
Mata Fundus hipertensi, mata merah
Jantung dan Hipertensi, sindroma overload, payah jantung,
vaskuler pericarditis uremik, tamponade
Respirasi Efusi pleura, nafas Kussmaul, pleuritis uremik
Gastrointestinal Anoreksia, mual, muntah, gastritis, ulkus, colitis
uremik, perdarahan saluran cerna
Ginjal Nokturia, poliuria, haus, proteinuria, hematuria
Reproduksi Penurunan libido, impotensi, amenorrhea,
infertilitas, genikomasti
Syaraf Letargi, malaise, anoreksia, drowsiness, tremor,
mioklonus, asteriksis, kejang, penurunan kesadaran,
koma
Tulang Kalsifikasi jaringan lunak
Sendi Gout, pseudogout, kalsifikasi
Darah Anemia, kecenderungan berdarah karena penurunan
fungsi trombosit, defisiensi imun akibat penurunan
fungsi imunologis dan fagositosis
Endokrin Intoleransi glukosa, resistensi insulin,
hiperlipidemia, penurunan kadar testosteron dan
estrogen
Farmasi Penurunan ekskresi lewat ginjal

35
g. Diagnosis
Pendekatan diagnosis Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit ginjal
kronis (PGK) mempunyai sasaran sebagai berikut:
a. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
b. Mengetahui etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi
c. Mengidentifikasi pemburuk faal ginjal (reversible factors)
d. Menentukan strategi terapi rasional
e. Menentukan prognosis

Kriteria penyakit ginjal kronik, adalah sebagai berikut:


a. Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural
maupun fungsional, dengan atau tanpa penurunan LFG, dengan manifestasi:
kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam
komposisi darah atau urine, atau kelainan dalam tes pencitraan
b. Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/mnt/1,73 m 2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Tabel 2.6 Pertanda kerusakan ginjal

Pertanda kerusakan ginjal

Albuminuria (AER (albumin excretion rate) ≥30mg/24jam; ACR


(albumin to creatinine ratio) ≥30mg/g [≥3mg/mmol])
Kelainan urine sedimen
Kelainan elektrolit dikarenakan kelainan tubular
Kelainan dari sudut histologi
Kelainan struktural yang terdeteksi dari pemeriksaan penunjang
Riwayat transplantasi ginjal
Penurunan LFG: Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60

36
ml/mnt/1,73 m2 (LFG kategori G3a-G5)

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan


pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan
fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang rutin dan khusus.
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang
berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi PGK,
perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal
ginjal (LFG). Gambaran klinik (kelainan subyektif dan obyektif termasuk
kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinis luas dan melibatkan
banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

b. Pemeriksaan laboratorium
Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan
derajat penurunan faal ginjal, identifikasi etiologi, dan menentukan
perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.
- Pemeriksaan faal ginjal (RFT)
Pemeriksaan ureum, kreatinin serum, dan asam urat serum sudah cukup
memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal.
- Etiologi Penyakit ginjal kronik
Analisis urine rutin, mikrobiologi urine, kimia darah, elektrolit dan
imunodiagnosis.
- Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit
Progresifitas penurunan faal ginjal, hemopoesis, elektrolit, endokrin, dan
pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal.

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis


Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan
tujuannya, yaitu:
- Diagnosis etiologi PGK

37
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos abdomen,
ultrasonografi (USG), nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi
antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU).
- Diagnosis pemburuk faal ginjal
Pemeriksaan radiologi dan radionuklida (renogram) dan pemeriksaan
ultrasonografi (USG).

h. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan pada gagal ginjal kronik adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Semua faktor
yang berperan dalam terjadinya gagal ginjal kronik dicari dan diatasi.
Penatalaksanaan konservatif, meliputi:
- Pengaturan diet, cairan dan garam
- Memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa
- Mengendalikan hipertensi
- Penanggulangan asidosis
- Pengobatan neuropati
- Deteksi dan mengatasi komplikasi
Penatalaksanaan terapi pengganti ginjal diantaranya dialisis (hemodialisis,
peritoneal dialisis) dan transplantasi ginjal. Selain itu tujuan penatalaksanaannya
adalah menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit serta mencegah komplikasi
yaitu sebagai berikut:
1. Dialisis
Dialisis dapat dlakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan pendarahan, dan
membantu menyembuhkan luka.
2. Koreksi hiperkalemi
Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat
menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat adalah
jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah,
hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi

38
hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake
kalium, pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.
3. Koreksi anemia
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb.
Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya
terdapat insufisiensi koroner.
4. Koreksi asidosis
Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari.
Natrium bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Hemodialisis
dan dialisis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.
5. Pengendalian hipertensi
Semua obat antihipertensi mampu menurunkan tekanan kapiler
intraglomerular bila tekanan darah turun mencapai tekanan optimal yang
dapat memberikan preservasi ginjal. Obat golongan penghambat sistem
renin angiotensin aldosteron (ACE-inhibitor, ARB) mempunyai nilai lebih
dalam mencegah progresi PGK karena mempunyai efek renoprotektor.
Beberapa penelitian memerlukan lebih dari satu macam obat untuk
mencapai tekanan darah optimal.
Tujuan terapi hipertensi pada PGK antara lain:
- Mempertahankan atau preserve fungsi ginjal dengan cara
mempertahankan LFG dan mengurangi ekskresi protein.
- Menurunkan tekanan darah secara agresif
- Menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler pada PGK.
Terapi hipertensi pada PGK non diabetik dan PGK diabetik, level
turunnya tekanan darah sistolik dan level proteinuria dipakai sebagai
diagnosis dan prognosis progresifitas dan komplikasi CVD pada PGK.
a. Hipertensi PGK non diabetic
Tekanan darah dianjurkan mencapai < 140/90 mmHg dan pemeriksaan
urine dimana nilai rasio total protein/kreatinin > 200 mg/g dengan atau
tanpa hipertensi dianjurkan diterapi dengan ACE-I atau ARB.
b. Hipertensi PGK dengan diabetes

39
Target tekanan darah < 140/90 mmHg, PGK diabetes stage 1-4: ARB
atau ACE-I, bila diperlukan dikombinasi dengan diuretika.

Gambar 1. Target tekanan darah dan terapi farmakologi dan non-farmakologi

6. Transplantasi Ginjal
Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien PGK, maka seluruh
faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.

Indikasi dialisis
Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah memerlukan
dialisis tetap atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya LFG sekitar 5-10 ml/mnt.
Dialisis juga diiperlukan bila:
- Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
- Gangguan elektrolit (hiperkalemia, hiponatremi) yang tidak dapat diatasi
dengan obat-obatan
- Overload cairan (edema paru)
- Anuria
- Ensefalopati uremikum, penurunan kesadaran
- Efusi perikardial
- Sindrom uremia (mual,muntah, anoreksia, neuropati, pruritus) yang memburuk.
Pencegahan
- Olahraga secara teratur

40
Olahraga selain baik bagi kesehatan ternyata dapat juga mengurangi
resiko penyakit pada ginjal, olah ragalah secara teratur, walaupun olah raga
ringan asalkan teratur akan lebih baik dari pada olah raga berat tetapi tidak
teratur.
- Hindari Obesitas
Obesitas atau kegemukan dapat berakibat pada penyakit ginjal, maka
dari itu mulai sekarang carilah berat badan yang ideal, agar terhindar dari
penyakit ginjal.
- Air putih yang cukup
Konsumsilah air putih yang cukup sesuai kebutuhan, tidak berlebihan
dan tidak terlalu sedikit, hindari mengkonsumsi minuman beralkohol,
Narkotika. Hindari juga mengkonsumsi obat-obatan (Seperti obat sakit
kepala, dll) terlalu sering kecuali atas resep dokter.
- Kurangi mengkonsumsi makanan berlemak
Mengkonsumsi makanan berlemak berlebihan dapat meningkatkan
kadar kolesterol dalam tubuh, dan ginjal harus bekerja ekstra keras.
- Cek kesehatan ginjal secara berkala
Cek kesehatan ginjal dirumah sakit, sekaligus dapat mengecek
kesehatan tubuh. Lakukan secara berkala.

i. Komplikasi
Pada PGK dapat terjadi beberapa komplikasi sebagai berikut:
Tabel 2.7 Komplikasi PGK

Derajat Penjelasan LFG Komplikasi


(ml/men/1,73m2
)
1 Kerusakan ≥ 90 -
ginjal dengan
LFG normal
2 Kerusakan 60-89 Tekanan darah mulai
ginjal dengan meningkat

41
penurunan LFG
ringan
3 Kerusakan 30-59 - Hiperfosfatemia
ginjal dengan - Hipokalsemia
penurunan LFG - Anemia
sedang - Hiperparatiroid
- Hiperosmosisteinemia
4 Kerusakan 15-29 - Malnutrisi
ginjal dengan - Asidosis metabolik
penurunan LFG - Cenderung
berat hiperkalemia
- Dislipidemia
5 Gagal ginjal < 15 - Gagal jantung
- Uremia

j. Prognosis
Penentuan prognosis pada penderita PGK, harus diperhatikan beberapa hal
berikut seperti 1) penyebab PGK; 2) kategori LFG; 3) kategori albuminuria; 4)
faktor risiko lain dan kondisi komorbiditas.

Gambar 2. Prognosis PGK

42
3.2 Hipertensi Heart Disease
a. Definisi
Penyakit jantung hipertensi adalah penyakit jantung yang disebabkan
oleh tidak terkontrolnya tekanan darah tinggi dalam waktu yang lama, yang
ditandai adanya hipertrofi ventrikel kiri (HVK) sebagai akibat langsung dari
tingginya tekanan darah tersebut. Hipertrofi ventrikel kiri pada penyakit
jantung hipertensi juga dipengaruhi oleh faktor neurohormonal.19

b. Epidemiologi
Jumlah penderita penyakit jantung hipertensi masih belum diketahui
secara pasti. Namun, berdasarkan hasil studi yang ada, kebanyakan kasus
hipertensi akan bermanifestasi sebagai penyakit jantung. Hasil studi tersebut
di antaranya menyebutkan angka kejadian hipertrofi ventrikel kiri menurut
hasil EKG adalah sebanyak 2.9% pada pasien pria dan 1.5% pada pasien
wanita. Sedangkan menurut hasil ekokardiogram, hipertrofi ventrikel kiri
terjadi pada 15-20% pasien hipertensi. Pada pasien tanpa HVK didapatkan

43
33% di antaranya mengalami disfungsi diastolik ventrikel kiri yang
asimtomatik. Secara umum, risiko kejadian HVK mengalami peningkatan
sebanyak dua kali lipat pada pasien dengan obesitas. Sekitar 50-60%
penderita hipertensi akan mengalami risiko untuk gagal jantung dengan risiko
kejadian yang meningkat dua kali lipat pada pria dan tiga kali lipat pada
wanita.19

c. Etiologi
Sebab utama penyakit jantung hipertensi adalah tekanan darah yang
meningkat dan berlangsung kronik. Sedangkan penyebab hipertensi sendiri
sangat beragam, pada orang dewasa sebab-sebab tersebut antara lain:19
1. Hipertensi primer/esensial/idiopatik yang terjadi pada 90% kasus
hipertensi pada orang dewasa.
2. Hipertensi sekunder sebesar 10% dari kejadian hipertensi pada orang
dewasa disebabkan oleh:

1) Penyakit ginjal
1. Stenosis arteri renalis
2. Polycystyc kidney disease
3. Chronic renal failure
4. Vaskulitis intrarenal
2) Kelainan endokrin
1. Hiperaldosteronisme primer
2. Feokromositoma
3. Chusing syndrome
4. Hiperplasia adrenal kongenital
5. Hipotiroidisme dan hipertiroideisme
6. Akromegali
7. Hormon eksogen (kortikosteroid, esterogen,
simpatomimetik, monoamin okside inhibitor, tyramin dalam
makanan)
3) Sebab lain
1. Koarktasi aorta

44
2. Tekanan intrakranial yang meningkat
3. Sleep apnea
4. Hipertensi sistolik terisolasi

d. Faktor Risiko
1. Ras
Ras Afrika-Amerika lebih rentan terkena penyakit jantung
hipertensi. Hal ini bahkan menjadi etiologi umum untuk kasus gagal
jantung di Amerika Serikat.

2. Jenis kelamin
Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria yang berusia di bawah
55 tahun, namun pada wanita hipertensi lebih banyak ditemukan pada
usia di atas 55 tahun. Hal ini kemungkinan terjadi karena seiring
bertambahnya usia maka tekanan darah akan semakin meningkat
terutama pada pria. Tapi setelah menopause tiba wanita akan
mengalami peningkatan tekanan darah yang lebih tajam dan mencapai
angka tertinggi yang lebih tinggi daripada pria.

3. Usia
Seiring bertambahnya usia maka tekanan darah akan semakin
meningkat. Hal ini sebanding dengan terjadinya penyakit jantung
hipertensi yang lebih banyak dialami oleh para lanjut usia.

e. Patogenesis
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi berjalan cukup kompleks,

karena berhubungan dengan berbagai faktor, seperti hemodinamik, struktural,

neuroendokrin, selular, dan molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor tersebut

saling berintegrasi dan akhirnya menyebabkan perkembangan dan komplikasi

dari hipertensi, sementara di sisi lain tingginya tekanan darah memodulasi

45
faktor-faktor tersebut. Meningkatnya tekanan darah menyebabkan perubahan

struktur dan fungsi jantung melalui dua cara, yaitu secara langsung oleh

peningkatan afterload atau beban akhir jantung, dan secara tidak langsung

oleh perubahan neurohormonal dan vaskuler terkait.

Hipertrofi ventrikel kiri (HVK) merupakan kompensasi jantung


menghadapi tekanan darah tinggi ditambah dengan faktor neurohumoral yang
ditandai oleh penebalan konsentrik otot jantung (hipertrofi konsentrik).
Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan relaksasi
ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi
eksentrik). Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu
mekanisme Frank-Starling melalui peningkatan volume diastolik ventrikel
sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi gangguan kontraksi
miokard (penurunan/gangguan fungsi sistolik).
HVK terjadi pada 15-20% pasien hipertensi dan angka kejadiannya

meningkat dua kali lipat pada pasien obesitas. HVK adalah peningkatan masa

otot ventrikel kiri yang disebabkan oleh respon miosit pada berbagai stimulus

yang menyertai pada peningkatan tekanan darah. Hipertrofi miosit timbul

sebagai kompensasi dari beban akhir (afterload) yang meningkat. Stimulus


mekanis dan neurohormonal yang menyertai hipertensi dapat mengaktivasi
pertumbuhan sel miokardial dan ekspresi gen yang berakhir pada HVK.
Selain itu aktivasi sistem renin-angitensin-aldosteron melalui aksi angiotensin
II pada reseptor angiotensin I menimbulkan pertumbuhan interstitium dan
komponen matriks sel. Intinya terjadinya HVK disebabkan oleh hipertrofi
miosit dan ketidakseimbangan antara miosit dan interstitium struktur
miokard.
Terdapat beberapa pola HVK, di antaranya remodeling konsentrik, HVK
konsentrik, dan HVK eksentrik. HVK konsentrik adalah penebalan ventrikel
kiri dan massa ventrikel kiri dengan peningkatan tekanan diastolik dan

46
volume ventrikel kiri yang umumnya terjadi pada pasien hipertensi.
Sedangkan HVK eksentrik adalah penebalan ventrikel kiri tapi lokasinya
tidak beraturan, hanya meliputi beberapa bagian saja. HVK konsentrik
menunjukkan prognosis yang buruk untuk hipertensi. Terjadinya HVK ini
memiliki peran protektif pada respon peningkatan tekanan dinding untuk
mempertahankan cardiac output yang adekuat, yang kemudian akan
berkembang menjadi disfungsi miokardial diastolik disusul sistolik.
Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris, infark jantung, dan lain-
lain) dapat terjadi karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis dengan
peningkatan kebutuhan oksigen miokard akibat dari HVK. HVK, iskemia
miokard dan gangguan fungsi endotel merupakan faktor utama kerusakan
miosit pada hipertensi.19

f. Diagnosis
Diagnosis penyakit jantung hipertensi ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis
ditemukan:20
1. Rasa berdebar, melayang, impotensi sebagai akibat dari peninggian
tekanan darah.
2. Rasa cepat capek, sesak napas, sakit dada, bengkak pada kedua kaki atau
perut.
3. Terdapat gangguan vaskular seperti epistaksis, hematuria, pandangan
kabur karena perdarahan retina, transient cerebral ischemic.
4. Terdapat penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder, misalnya:
polidipsi, poliuria, kelemahan otot pada aldosteronisme primer,
peningkatan BB dengan emosi labil pada sindroma cushing. Pada
feokromositoma didapatkan keluhan episode sakit kepala, palpitasi,
banyak keringat, dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:

1. Batas-batas jantung melebar


2. Impuls apeks prominen
3. Bunyi jantung S2 meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta

47
4. Kadang-kadang ditemukan murmur diastolik akbat regurgitasi aorta
5. Bunyi S4 (gallop atrial atau presistolik) dapat ditemukan akibat
peninggian tekanan atrium kiri
6. Bunyi S3 (gallop ventrikel atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat dilatasi ventrikel kiri
7. Suara napas tambahan seperti ronkhi basah atau kering
8. Pemeriksaan perut untuk mencari aneurisma, pembesaran hati, limpa,
ginjal, dan ascites
9. Auskultasi bising sekitar kiri kanan umbilicus (renal artery stenosis)

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan


diagnosis penyakit jantung hipertensi antara lain:
1. Pemeriksaan laboratorium awal, yang mencakup :
- Urinalisis: protein, leukosit, eritrosit, silinder o
- Hemoglobin/hematokrit
- Elektrolit darah/kalium
- Ureum/kreatinin
- Gula darah puasa
- Kolesterol total, trigliserida, HDL dan LDL kolesterol
- Kalsium dan fosfor
- TSH
2. Analisis gas darah
3. Elektrokardiografi untuk menemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri
jantung. Pemeriksaan dengan elektrokardiografi menunjukkan HVK pada
sekitar 20-50% kasus, dan metode pemeriksaan ini masih menjadi
metode standard.
4. Foto thorax untuk menemukan adanya pembesaran jantung atau tanda-
tanda bendungan.

48
Gambar 3. Klasifikasi Derajat Gagal Jantung, New York Heart
Association (NYHA)

g. Tatalaksana
Tatalaksana medis untuk pasien dengan penyakit jantung hipertensi
dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:21
1. Penatalaksanaan untuk tekanan darah yang meningkat
2. Pencegahan dan penatalaksanaan dari penyakit jantung hipertensi

Dalam menatalaksana peningkatan tekanan darah, target tekanan darah


harus <140/90 mmHg pada pasien tanpa diabetes atau gagal ginjal kronik

49
(chronic kidney 6 disease) dan <130/90 mmHg pada pasien yang memiliki
penyakit tersebut. Ada beragam strategi dalam tatalaksana penyakit jantung
hipertensi, misalnya modifikasi pola makan, aerobic exercise secara teratur,
penurunan berat badan, atau penggunaan obat untuk hipertensi, gagal jantung
sekunder disfungsi diastolik dan sistolik ventrikel kiri, coronary artery
disease, serta aritmia.

a. Modifikasi pola makan


Penelitian membuktikan bahwa diet dan gaya hidup yang sehat
dengan atau tanpa kombinasi dengan penggunaan obat dapat
menurunkan tekanan darah dan mengurangi simptom dari gagal jantung
dan memperbaiki hipertrofi vetrikel kiri (HVK). Diet khusus yang
dianjurkan adalah diet sodium, tinggi potasium (pada pasien dengan
fungsi ginjal yang normal), makan buah- buahan segar dan sayur-
sayuran, rendah kolesterol dan rendah konsumsi alkohol. Diet rendah
sodium dengan atau tanpa kombinasi dengan pengunaan obat-obatan
mengurangi tekanan darah pada kebanyakan African Americans.
Restriksi sodium tidak menstimulasi kompensasi dari renin-angiotensin
system dan dapat memiliki efek antihipertensi. Rekomendasi intake
sodium per hari adalah 50-100 mmol, setara dengan 3-6 g garam, yang
rata-rata mengurangi tekanan darah 2-8 mmHg.
Banyak penelitian epidemiologi menunjukkan, asupan tinggi
potasium diasosiasikan dengan menurunnya tekanan darah. Potasium
yang diberikan secara intravena mengakibatkan vasodilatasi, yang
dipercaya dimediasi oleh nitric oxide pada dinding pembuluh darah.
Buah dan sayuran segar direkomendasikan untuk pasien yang memiliki
fungsi ginjal yang normal.
Asupan rendah kolesterol adalah profilaksis untuk pasien dengan
penyakit jantung koroner. Konsumsi alkohol yang berlebihan
dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah pada peningkatan massa
dari ventrikel kiri.
b. Aerobic exercise secara teratur

50
- Lakukan aerobic exercise secara teratur 30 menit sehari, 3-4 kali
seminggu.
- Olahraga yang teratur, seperti berjalan, berlari, berenang, atau
bersepeda menunjukkan penurunan tekanan darah dan
meningkatkan kesehatan dari jantung dan pembuluh darah karena
meningkatkan fungsi endotelial, vasodilatasi perifer, menurunkan
denyut nadi istirahat, dan mengurangi level dari katekolamin.
- Isometric dan strenuous exercise harus dihindari.
c. Pengurangan berat badan
Kegemukan banyak dihubungkan dengan hipertensi dan HVK.
Penurunan berat badan secara bertahap (1 kg/minggu) sangat dianjurkan.
Penggunaan obat-obatan untuk mengurangi berat badan harus dilakukan
dengan perhatian yang khusus.
d. Farmakoterapi
- Penatalaksanaan dari hipertensi dan penyakit jantung hipertensi
dengan menggunakan diuretika tiazide, beta-blockers dan
kombinasi alpha dan beta-blockers, calcium channel blockers,
ACE inhibitors, angiotensin receptor blockers, dan direct
vasodilators seperti hydralazine.
- Kebanyakan pasien membutuhkan 2 atau lebih obat antihipertensi
untuk mencapai target tekanan darah.
- Diuretika tiazide adalah obat pilihan pertama pada pasien dengan
hipertensi tanpa komplikasi.
- Obat-obatan dari kelas yang lain diberikan atas indikasi.
1. Calcium channel blocke: selektif untuk hipertensi sistolik
pada pasien yang tua
2. ACE inhibitors: pilihan pertama untuk pasien dengan
diabetes dan/atau dengan disfungsi ventrikel kiri
3. Angiotensin receptor blockers: alternatif untuk pasien yang
memiliki efek samping dari ACE inhibitors.
4. Beta-blockers: pilihan pertama pada pasien dengan gagal
jantung karena disfungsi sistolik ventrikel kiri, pasien dengan

51
ischemic heart disease dengan atau tanpa riwayat myocardial
infarction, dan pasien dengan thyrotoxicosis.
5. Obat-obat intravena pada pasien hipertensi emergensi, yaitu
nitroprusside, labetalol, hydralazine, enalapril, dan beta-
blockers (tidak digunakan untuk pasien dengan gagal jantung
akut ataupun dekompensata).
e. Tatalaksana untuk HVK
HVK meningkatkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular.
Obat-obatan di atas dapat mengurangi HVK. Data dari metaanalisis yang
terbatas dikemukakan, ACE inhibitors memiliki keunggulan yang lebih
untuk menangani HVK.

3.3 Diabetes Mellitus


Diabetes melitus merupakan gangguan metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia akibat kerusakan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
Kontrol glikemik sangat penting untuk mencegah komplikasi. Salah satu
komplikasi mikrovaskular akibat pengendalian gula darah yang buruk pada
diabetes melitus ialah penurunan fungsi ginjal. Diabetes melitus merupakan
penyebab kedua gagal ginjal kronik di Indonesia. Menurut American Diabetic
Association (2016) dan Perkeni (2003), kontrol glikemik pada pasien diabetes

52
melitus dengan penyakit ginjal kronik berdasarkan HbA1c (gold standard), GDP
dan Glycated Albumin (GA). Indeks glikemik dinyatakan tidak terkontrol bila
HbA1C ≥ 7%, GDP ≥100 mg/dL dan atau GA ≥16%.
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association
(ADA), , yaitu:
1. Diabetes Melitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi
akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah sering
kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus, sebagian besar
penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus. Biasanya terjadi
pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Melitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik,
kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi
insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya glukosa
dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan 75% dari
penderita DM type II ini dengan obesitas atau kegemukan dan biasanya
diketahui DM setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Melitus Tipe lain
- Defek genetik pada fungsi sel beta
- Defek genetik pada kerja insulin
- Penyakit eksokrin pankreas
- Endokrinopati
- Diinduksi obat atau zat kimia
- Infeksi
- Imunologi

Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien Diabetes Melitus akan


mengeluhkan apa yang disebut 4P : polifagi dengan penurunan berat badan,
Polidipsi dengan poliuri, juga keluhan tambahan lain seperti sering kesemutan,
rasa baal dan gatal di kulit.
Kriteria diagnostik :

53
a. Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu ≥200 mg/dl. Gula darah
sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memerhatikan waktu makan terakhir, atau Kadar Gula Darah Puasa ≥ 126
mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikit nya 8
jam, atau Kadar gula darah 2 jam pada TTGO ≥200 mg/dl. TTGO dilakukan
dengan standard WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75
gram glukosa anhidrus yang dilarutkan dalam air.
b. Gejala tidak klasik ditambah hasil pemeriksaan gula darah abnormal minimal
2x
Pemilihan obat antidiabetik oral (OAD) pada pasien diabetes melitus tipe 2
(DMT2) dengan penyakit ginjal kronik (PGK) sangatlah penting karena sebagian
besar OAD diekskresikan melalui ginjal sehingga diperlukan penyesuaian dosis.
Selain itu, peran OAD dalam menghambat progresi PGK, yang dinilai dengan
perburukan laju filtrasi glomerulus (LFG) dan/atau albuminuria, juga menjadi
salah satu aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam memilih OAD pada
pasien DMT2 dengan PGK. Pada PGK stadium lanjut (stadium 4 dan 5), hanya
ada beberapa golongan OAD yang secara farmakokinetik aman digunakan, seperti
SU kerja pendek, TZD, dan sebagian penghambat DPP-IV. Pada PGK dengan
stadium yang lebih awal, pilihannya lebih banyak. Walaupun demikian, pada
sebagian besar kasus DMT2 dengan PGK akan diperlukan penyesuaian dosis
OAD. Di Indonesia, sulfonilurea (SU) kerja pendek umum dipakai untuk
pengelolaan DMT2 dengan PGK. Sulfonilurea kerja pendek (gliklazid dan
glipizid) dan penghambat SGLT-2 (empaglifozin dan canaglifozin) dapat
menghambat progresi PGK pada DMT2.22

3.4 Penyakit Paru Obstruktif Kronis


a. Definisi
PPOK adalah penyakit paru kronik atau sering disebut juga chronic
obstructive pulmonary disease (COPD) yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran yang bersifat progressif non reversibel atau reversibel
parsial.25 Sedangkan guidline GOLD terbaru, PPOK adalah penyakit paru

54
kronik yang ditandai hambatan aliran udara disaluran nafas yang tidak
sepenuhnya reversible.26

b. Faktor Risiko
a. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpentin lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
1. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
2. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu
perkalian jumla batang rokok dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
b. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
c. Hipereaktivitis bronkus
d. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
e. Defisiensi antitripsin alfa-1, umumnya jarang terdapat di Indonesia.25

. Diagnosis
Anamnesis 25
.

a. Faktor Risiko
Faktor risiko yang penting adalah usia (biasanya usia
pertengahan), dan riwayat pajanan, baik berupa asap rokok, polusi

55
udara, maupun polusi. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya
penyebab kausal yang terpenting, penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu di apakah pasien merupakan
seorang perokok aktif, perokok pasif, atau bekas Penentuan derajat
berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jrata
batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun.
Interpretas adalah derajat ringan (0-200), sedang (200-600), dan berat
(>600).
b. Gejala Klinis
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan
respirasi ini harus dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai
gejala yang biasa terjadi pa penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang
timbul selama 3 bulan yang tidak hila pengobatan yang diberikan.
Kadang-kadang pasien menyatakan tanpa disertai batuk. Selain itu,
Sesak napas merupakan gejala yang dikeluhkan pasien terutama pada
saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien mengalami adaptasi dengan
sesak napas yang bersifat progressif lambat sehingga tidak dikeluhkan
Pemeriksaan Fisik
Temuan pemeriksaan fisik mulai dari inspeksi dapat berupa bentuk dada
tong “barrel chest”, terdapat cara bernapas purse lips breathing (seperti
orang terlihat penggunaan dan hipertrofi otot-otot bantu napas, pelebaran
sela iga, dan bisa terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis
dan edema tungkai perkusi biasanya ditemukan adanya hipersonor.
Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah, suara napas
vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang.

Pemeriksaan Penunjang
a. Faal paru
b. Spirometri
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KV VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai

56
untuk menilai beratnya dan memantau perjalanan penyakit. Apabila
spirometri tidak tersedia ata mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai al dengan memantau
variabilitas harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%.
Spirometri merupakan alat yang digunakan untuk menilai batasan
alira atau obstruksi. Spirometry mengukur volume udara yang
dihembuskan secara pa titik maksimal inspirasi (kapasitas vital paksa
atau KVP) dan volume udar dihembuskan selama detik pertama
( Volume ekspirasi paksa dalam detik perta VEP1) dan rasio
keduanya VEP1/KVP. Pengukuran spirometry ini diukur berd usia,
tinggi, jenis kelamain & ras. Meskipun sensitivitasya bagus, pucak
aliran ekspirasi tidak bisa dia sebagai satu-satunya nilai diagnostic
karena spesifitasnya lemah.
c. Radiologi
Pada foto toraks pasien curiga PPOK bisa didapatkan normal atau
tidak ada kelai juga ditemukan kelainan paru berupa hiperinflasi atau
hiperlusen, diafragma corakan bronkovaskuler meningkat, jantung
pendulum, dan ruang retrosternal Meskipun kadang-kadang hasil
pemeriksaan radiologis masih normal pada PP tetapi pemeriksaan
radiologis ini berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis paru
lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.
d. Laboratorium darah rutin

c. Tatalaksana
1. Non Farmakologi
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut
secara pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi
keluarganya. Edu diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit

57
gawat darurat ataupun di I rumah. Agar edukasi dapat diterima dengan
mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan ska bahan edukasi sebagai
berikut :
a. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis
PPOK ditega
b. Pengunaan obat – obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau
nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat
- Dosis obat yang tepat dan efek samping nya
c. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
d. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
e. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi:
- Batuk atau sesak bertambah
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
f. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
g. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas.

2. Farmakologi
Dalam GOLD 2018 disebutkan bahwa pada studi terbaru
menunjukka n bahwa pe antibiotik secara teratur dapat mengurangi
tingkat eksaserbasi. Azitromicin (250mg/har mg 3 kali/minggu) atau
eritrmicin (500mg 2 kali/minggu) dapat mengurangi resiko e dalam

58
kurung waktu 1 tahun masa perawatan. Selain itu penggunaan
azitrmicin dikaitk peningkatan insidensi resistensi bakteri dan
membuat gangguan pendengaran. Hasil an menunjukkan kurangnya
manfaat pengguaan antibiotik pada pasien perokok, dan belu yang
menunjukkan keefektifitan penggunaan antibiotic pada perawatan
tahun kedua pas untuk mencegah eksaserbasi.25

3.5 Gout Artritis


Menurut American College of Rheumatology, gout adalah suatu penyakit dan
potensi ketidakmampuan akibat radang sendi yang sudah dikenal sejak lama,
gejalanya biasanya terdiri dari episodik berat dari nyeri inflamasi satu sendi. Gout
adalah bentuk inflamasi artritis kronis, bengkak dan nyeri yang paling sering di

59
sendi besar jempol kaki. Namun, gout tidak terbatas pada jempol kaki, dapat juga
mempengaruhi sendi lain termasuk kaki, pergelangan kaki, lutut, lengan,
pergelangan tangan, siku dan kadang di jaringan lunak dan tendon. Biasanya
hanya mempengaruhi satu sendi pada satu waktu, tapi bisa menjadi semakin parah
dan dari waktu ke waktu dapat mempengaruhi beberapa sendi. Gout merupakan
istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan metabolik yang ditandai oleh
meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Penyakit asam urat atau gout
merupakan penyakit akibat penimbunan kristal monosodium urat di dalam tubuh
sehingga menyebabkan nyeri sendi disebut Gout artritis.23

Faktor Risiko

Berikut ini yang merupakan faktor resiko dari gout:24

1. Suku bangsa /ras


Suku bangsa yang paling tinggi prevalensi nya pada suku maori di
Australia. Prevalensi suku Maori terserang penyakit asam urat tinggi sekali
sedangkan Indonesia prevalensi yang paling tinggi pada penduduk pantai
dan yang paling tinggi di daerah Manado-Minahasa karena kebiasaan atau
pola makan dan konsumsi alkohol.
2. Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol menyebabkan serangan gout karena alkohol
meningkatkan produksi asam urat. Kadar laktat darah meningkat sebagai
akibat produk sampingan dari metabolisme normal alkohol. Asam laktat
menghambat ekskresi asam urat oleh ginjal sehingga terjadi peningkatan
kadarnya dalam serum.
3. Konsumsi ikan laut
Ikan laut merupakan makanan yang memiliki kadar purin yang tinggi.
Konsumsi ikan laut yang tinggi mengakibatkan asam urat.
4. Penyakit
Penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan hiperurisemia. Mis.
Obesitas, diabetes melitus, penyakit ginjal, hipertensi, dislipidemia, dsb.
Adipositas tinggi dan berat badan merupakan faktor resiko yang kuat untuk

60
gout pada laki-laki, sedangkan penurunan berat badan adalah faktor
pelindung.
5. Obat-obatan
Beberapa obat-obat yang turut mempengaruhi terjadinya hiperurisemia. Mis.
Diuretik, antihipertensi, aspirin, dsb. Obat-obatan juga mungkin untuk
memperparah keadaan. Diuretik sering digunakan untuk menurunkan
tekanan darah, meningkatkan produksi urin, tetapi hal tersebut juga dapat
menurunkan kemampuan ginjal untuk membuang asam urat. Hal ini pada
gilirannya, dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah dan
menyebabkan serangan gout. Gout yang disebabkan oleh pemakaian
diuretik dapat "disembuhkan" dengan menyesuaikan dosis. Serangan Gout
juga bisa dipicu oleh kondisi seperti cedera dan infeksi. Hal tersebut dapat
menjadi potensi memicu asam urat. Hipertensi dan penggunaan diuretik
juga merupakan faktor risiko penting independen untuk gout. Aspirin
memiliki 2 mekanisme kerja pada asam urat, yaitu: dosis rendah
menghambat ekskresi asam urat dan meningkatkan kadar asam urat,
sedangkan dosis tinggi (> 3000 mg / hari) adalah uricosurik.
6. Jenis Kelamin
Pria memiliki resiko lebih besar terkena nyeri sendi dibandingkan
perempuan pada semua kelompok umur, meskipun rasio jenis kelamin laki-
laki dan perempuan sama pada usia lanjut. Dalam Kesehatan dan Gizi Ujian
Nasional Survey III, perbandingan laki-laki dengan perempuan secara
keseluruhan berkisar antara 7:1 dan 9:1. Dalam populasi managed care di
Amerika Serikat, rasio jenis kelamin pasien laki-laki dan perempuan dengan
gout adalah 4:1 pada mereka yang lebih muda dari 65 tahun, dan 3:1 pada
mereka lima puluh persen lebih dari 65 tahun. Pada pasien perempuan yang
lebih tua dari 60 tahun dengan keluhan sendi datang ke dokter didiagnosa
sebagai gout, dan proporsi dapat melebihi 50% pada mereka yang lebih tua
dari 80 tahun.
7. Diet tinggi purin

61
Hasil analisis kualitatif menunjukkan bahwa HDL yang merupakan bagian
dari kolesterol, trigliserida dan LDL disebabkan oleh asupan makanan
dengan purin tinggi.

Manifestasi Klinis

Gout terjadi dalam empat tahap. Tidak semua kasus berkembang menjadi tahap

akhir. Perjalanan penyakit asam urat mempunyai 4 tahapan, yaitu:24

1. Tahap 1 (Tahap Gout Artritis akut)


Serangan pertama biasanya terjadi antara umur 40-60 tahun pada laki-
laki, dan setelah 60 tahun pada perempuan. Onset sebelum 25 tahun
merupakan bentuk tidak lazim artritis gout, yang mungkin merupakan
manifestasi adanya gangguan enzimatik spesifik, penyakit ginjal atau
penggunaan siklosporin. Pada 85-90% kasus, serangan berupa artritis
monoartikuler dengan predileksi MTP-1 yang biasa disebut podagra. Gejala
yang muncul sangat khas, yaitu radang sendi yang sangat akut dan timbul
sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada gejala apapun,
kemudian bangun tidur terasa sakit yang hebat dan tidak dapat berjalan.
Keluhan monoartikuler berupa nyeri, bengkak, merah dan hangat, disertai
keluhan sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah, disertai
lekositosis dan peningkatan endap darah. Sedangkan gambaran radiologis
hanya didapatkan pembengkakan pada jaringan lunak periartikuler. Keluhan
cepat membaik setelah beberapa jam bahkan tanpa terapi sekalipun.
Pada perjalanan penyakit selanjutnya, terutama jika tanpa terapi yang
adekuat, serangan dapat mengenai sendi-sendi yang lain seperti pergelangan
tangan/kaki, jari tangan/kaki, lutut dan siku, atau bahkan beberapa sendi
sekaligus. Serangan menjadi lebih lama durasinya, dengan interval serangan
yang lebih singkat, dan masa penyembuhan yang lama. Diagnosis yang
definitive/gold standard, yaitu ditemukannya Kristal urat (MSU) di cairan
sendi atau tofus.
2. Tahap 2 (Tahap Gout interkritikal)

62
Pada tahap ini penderita dalam keadaan sehat selama rentang waktu
tertentu. Rentang waktu setiap penderita berbeda-beda. Dari rentang waktu
1-10 tahun. Namun rata-rata rentang waktunya antara 1-2 tahun. Panjangnya
rentang waktu pada tahap ini menyebabkan seseorang lupa bahwa dirinya
pernah menderita serangan gout Artritis akut. Atau menyangka serangan
pertama kali yang dialami tidak ada hubungannya dengan penyakit Gout
Artritis.
3. Tahap 3 (Tahap Gout Artritis Akut Intermitten)
Setelah melewati masa Gout Interkritikal selama bertahun-tahun tanpa
gejala, maka penderita akan memasuki tahap ini yang ditandai dengan
serangan artritis yang khas seperti diatas. Selanjutnya penderita akan sering
mendapat serangan (kambuh) yang jarak antara serangan yang satu dengan
serangan berikutnya makin lama makin rapat dan lama serangan makin lama
makin panjang, dan jumlah sendi yang terserang makin banyak. Misalnya
seseorang yang semula hanya kambuh setiap setahun sekali, namun bila
tidak berobat dengan benar dan teratur, maka serangan akan makin sering
terjadi biasanya tiap 6 bulan, tiap 3 bulan dan seterusnya, hingga pada suatu
saat penderita akan mendapat serangan setiap hari dan semakin banyak
sendi yang terserang.
4. Tahap 4 (tahap Gout Artritis Kronik Tofaceous)
Tahap ini terjadi bila penderita telah menderita sakit selama 10 tahun
atau lebih. Pada tahap ini akan terbentuk benjolan-benjolan disekitar sendi
yang sering meradang yang disebut sebagai Thopi. Thopi ini berupa
benjolan keras yang berisi serbuk seperti kapur yang merupakan deposit dari
kristal monosodium urat. Thopi ini akan mengakibatkan kerusakan pada
sendi dan tulang disekitarnya. Bila ukuran thopi semakin besar dan banyak
akan mengakibatkan penderita tidak dapat menggunakana sepatu lagi.

Diagnosis

63
Diagnosa asam urat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik serta dapat
dilakukan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis, dan cairan sendi..

1. Pemeriksaan Laboratorium
Seseorang dikatakan menderita asam urat ialah apabila pemeriksaan
laboratorium menunjukkan kadar asam urat dalam darah diatas 7 mg/dL
untuk pria dan lebih dari 6 mg/dL untuk wanita. Bukti adanya kristal urat
dari cairan sinovial atau dari topus melalui mikroskop polarisasi sudah
membuktikan, bagaimanapun juga pembentukan topus hanya setengah dari
semua pasien dengan gout. Pemeriksaan gula darah dilakukan untuk
mendeteksi ada dan tidaknya penyakit diabetes mellitus. Ureum dan
kreatinin diperiksa untuk mengetahui normal dan tidaknya fungsi ginjal.
Sementara itu pemeriksaan profil lemak darah dijadikan penanda ada dan
tidaknya gejala aterosklerosis.
2. Pemeriksaan Cairan Sendi
Pemeriksaan cairan sendi dilakukan di bawah mikroskop. Tujuannya
ialah untuk melihat kristal urat atau monosodium urate (kristal MSU) dalam
cairan sendi. Untuk melihat perbedaan jenis artritis yang terjadi perlu
dilakukan kultur cairan sendi. Dengan mengeluarkan cairan sendi yang
meradang maka pasien akan merasakan nyeri sendi yang berkurang. Dengan
memasukkan obat ke dalam sendi, selain menyedot cairan sendi tentunya,
maka pasien akan lebih cepat sembuh. Mengenai metode penyedotan cairan
sendi ini, ketria mengatakan bahwa titik dimana jarum akan ditusukkan
harus dipastikan terlebih dahulu oleh seorang dokter. Tempat penyedotan
harus disterilkan terlebih dahulu, lalu jarum tersebut disuntikkan dan cairan
disedot dengan spuite. Pada umunya, sehabis penyedotan dilakukan,
dimasukkan obat anti-radang ke dalam sendi. Jika penyedotan ini dilakukan
dengan cara yang tepat maka pasien tidak akan merasa sakit. Jarum yang
dipilih juga harus sesuai kebutuhan injeksi saat itu dan lebih baik dilakukan
pembiusan pada pasien terlebih dahulu. Jika lokasi penyuntikan tidak steril
maka akan mengakibatkan infeksi sendi. Perdarahan bisa juga terjadi jika
tempat suntikan tidak tepat dan nyeri hebat pun bisa terjadi jika teknik

64
penyuntikan tidak tepat. Selain memeriksa keadaan sendi yang mengalami
peradangan, dokter biasanya akan memeriksa kadar asam urat dalam darah.
Kadar asam urat yang tinggi adalah sangat sugestif untuk diagnosis gout
artritis. Namun, tidak jarang kadar asam urat ditemukan dalam kondisi
normal. Keadaan ini biasanya ditemukan pada pasien dengan pengobatan
asam urat tinggi sebelumnya. Karena, kadar asam urat sangat bervariasi dan
dipengaruhi oleh pengobatan maka kadar standar atau kadar normal di
dalam darah adalah berkisar dari 3,5 – 7 mg/dL. Pemeriksaan cairan sendi
ini merupakan pemeriksaan yang terbaik. Cairan hasil aspirasi jarum yang
dilakukan pada sendi yang mengalami peradangan akan tampak keruh
karena mengandung kristal dan sel-sel radang. Seringkali cairan memiliki
konsistensi seperti pasta dan berkapur. Agar mendapatkan gambaran yang
jelas jenis kristal yang terkandung maka harus diperiksa di bawah
mikroskop khusus yang berpolarisasi. Kristal-kristal asam urat berbentuk
jarum atau batangan ini bisa ditemukan di dalam atau di luar sel. Kadang
bisa juga ditemukan bakteri bila terjadi septic artritis.
3. Pemeriksaan dengan Rontgen
Pemeriksaan ini baiknya dilakukan pada awal setiap kali pemeriksaan
sendi. Dan jauh lebih efektif jika pemeriksaan roentgen ini dilakukan pada
penyakit sendi yang sudah berlangsung kronis. Pemeriksaan roentgen perlu
dilakukan untuk melihat kelainan baik pada sendi maupun pada tulang dan
jaringan di sekitar sendi. Seberapa sering penderita asam urat untuk
melakukan pemeriksaan roentgen tergantung perkembangan penyakitnya.
Jika sering kumat, sebaiknya dilakukan pemeriksaan roentgen ulang.
Bahkan kalau memang tidak kunjung membaik, kita pun dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI). Tetapi
demikian, dalam melakukan pemeriksaan roentgen, kita jangan terlalu
sering. Sebab, pemeriksaan roentgen yang terlalu sering mempunyai risiko
terkena radiasi semakin meningkat. Pengaruh radiasi yang berlebihan bisa
mengakibatkan kanker, kemandulan, atau kelainan janin dalam kandungan
pada perempuan. Oleh karena itu, kita harus ekstra hati-hati dan harus bisa

65
meminimalisasi dalam melakukan pemeriksaan roentgen ini untuk
menghindari kemungkinan terjadinya berbagai risiko tersebut.
Gold standard dalam menegakkan gout artritis adalah menggunakan
mikroskop terpolarisasi, yaitu dengan ditemukannya kristal urat MSU
(Monosodium Urat) di cairan sendi atau tofus. Untuk memudahkan
diagnosis gout artritis akut, dapat digunakan kriteria dari ARA (American
Rheumatism Association) tahun 1997 sebagai berikut :
1. Ditemukannya kristal urat dicairan sendi, atau
2. Adanya tofus yang berisi Kristal urat,atau
3. Terdapat 6 dari 12 kriteria klinis,laboratoris,dan radiologis sebagai
berikut :

a. Terdapat lebih dari satu kali serangan arthritis akut


b. Inflamasi maksimal terjadi pada hari pertama gejala atau serangan
datang
c. Artritis monoartikuler (hanya terjadi di satu sisi persendian)
d. Kemerahan pada sendi yang terserang
e. Bengkak dan nyeri pada sendi MTP-1 (ibu jari kaki)
f. Artritis unilateral yang melibatkan MTP-1 (di salah satu sisi)
g. Artritis unilateral yang melibatkan sendi tarsal
h. Adanya tofus di artilago articular dan kapula sendi
i. Terjadinya peningkatan kadar asam urat dalam darah ( > 7.5mg/dL)
j. Pembengkakan sendi yang asimetris (radiologis)
k. Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)
l. Kultur mikroorganisme cairan sendi menunjukkan hasil negatif

Yang harus dicatat adalah diagnosis gout tidak bisa digugurkan meskipun
kadar asam urat normal.

66
3.6 Dehidrasi Low Intake
Dehidrasi, atau disebut juga ketidakseimbangan hiperosmolar (hyperosmolar
imbalance), terjadi akibat kehilangan cairan yang tidak diimbangi dengan
kehilangan elektrolit dalam jumlah proporsional, terutama natrium. Kehilangan
cairan (air) menyebabkan peningkatan kadar natrium, peningkatan osmolalitas,
serta dehidrasi intraseluler. Air berpindah dari sel dan kompartemen interstisial
menuju ruang vaskular. Kondisi ini menyebabkan gangguan fungsi sel dan kolaps
sirkulasi.

3.7 Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia adalah rendahnya kadar albumin didalam darah akibat
abnormalitas. Hipoalbuminemia menggambarkan pasokan asam amino yang tidak
memadai dari protein, sehingga menggangu sintesis albumin serta protein lain
oleh hati. Hipoalbuminemia dapat menimbulkan terjadinya edema karena gerakan
air keluar dari ruang vaskular dan masuk ke ruang interstitial.

Gejala Hipoalbuminemia

Beberapa gejala yang dapat muncul pada penderita hipoalbuminemia adalah


sebagai berikut:

1. Pembengkakan akibat penumpukan cairan pada wajah atau tungkai


(edema).

2. Pembengkakan kelenjar air liur.

3. Pembesaran lidah (makroglosia).

4. Hepatomegali dan splenomegali.

5. Pembesaran jantung.

6. Bradikardia (denyut jantung lambat)

7. Gangguan irama jantung.

8. Hipotensi (tekanan darah rendah).

9. Nafsu makan berkurang.

67
10. Diare

11. Mual dan muntah.

12. Berat badan turun.

13. Hilangnya lemak di bawah lapisan kulit

14. Penurunan jumlah massa otot.

15. Kulit kering dan kasar.

16. Luka sulit sembuh.

17. Jaundice (sakit kuning).

18. Ginekomastia (pembesaran payudara pada pria).

19. Ensefalopati (gangguan pada otak).

20. Spider angiomas (berkumpulnya pembuluh darah kecil di permukaan


kulit).

21. Palmar erythema (telapak tangan memerah).

22. Asteriksis (tremor pada pergelangan tangan).

3.8 Proteinuria
Proteinuria (albuminuria) adalah suatu kondisi dimana terlalu banyak protein
dalam urin yang dihasilkan dari adanya kerusakan ginjal. Ketika ginjal bekerja
dengan benar, mereka menyaring produk limbah keluar dari darah akan
tetapi tetap menyimpan unsur penting termasuk albumin. Albumin adalah protein
yang membantu dalam mencegah air bocor keluar dari darah ke jaringan lain. 
Penyebab proteinuria disebabkan oleh penyakit sistemik yang menyebabkan
ginjal tidak dapat menyaring kembali protein ke dalam ginjal. Penyakit diabetes
dan hipertensi dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal sehingga menyebabkan
proteinuria. Pre-eklampsia, suatu kondisi yang dapat mempengaruhi wanita hamil,
termasuk tekanan darah yang sangat tinggi dan merupakan salah satu penyebab
potensial dari protein dalam urin. Penyebab lain termasuk obat-obatan, toksin,

68
gangguan imun yang menyerang ginjal, infeksi dan trauma. Ada beberapa orang
yang memiliki faktor risiko proteinuria lebih tinggi, seperti:

 Penderita diabetes
 Tekanan darah tinggi atau hipertensi
 Trauma
 Aktivitas fisik terlalu intens
 Konsumsi obat tertentu yang menyebabkan protein masuk ke urine
 Racun
 Infeksi sistemik
 Infeksi saluran kemih
 Gangguan kekebalan tubuh
 Obesitas
 Usia di atas 65 tahun
 Faktor genetik gangguan ginjal
 Preeklampsia (tekanan darah tinggi saat hamil)

Tanda atau gejala proteinuria


Beberapa tanda atau gejala yang bisa jadi menunjukkan seseorang mengalami
proteinuria di antaranya:

 Kencing berbusa
 Frekuensi kencing sangat sering
 Mudah merasa lelah
 Mual dan muntah
 Wajah, kaki, tangan bengkak
 Hilang nafsu makan
 Kram otot di malam hari
 Mata bengkak terutama di pagi hari

69
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien datang ke IGD RSUD Palembang BARI dengan keluhan bengkak


dikedua tungkai bawah sejak 1 hari SMRS dan hilang timbul sejak 4 bulan yang
lalu. Bengkak dirasakan pertama kali pada bagian sebelah kanan terlebih dahulu,
terasa menyut, dan membuat pasien sulit berjalan. Kemudian selang satu minggu
tungkai bawah sebelah kiri pasien juga mengalami pembengkakan tetapi tidak
terasa menyut. Pasien mengatakan keluhan bengkak bertambah parah jika pasien
berdiri lama maka menjadi keras seperti batu dan pasien mengatakan pada saat
ibadah hanya mampu dalam keadaan duduk. Keluhan bengkak disertai nyeri tekan
pada tungkai bawah. Pasien mengatakan juga bahwa wajah pasien mengalami
pembengkakan sejak 1 bulan yang lalu.
Pasien mengatakan adanya keluhan tambahan yaitu nyeri pada pinggang
kanan dan menjalar ke pinggang kiri, nyeri dirasakan hilang timbul, terasa seperti
ditusuk-tusuk. Pasien mengeluh tangan dan kaki nya terasa kesemutan atau kebas,
telapak kaki terasa seperti ditusuk-tusuk. Lututnya terasa sakit pada bagian kanan.
Selain itu pasien mengeluh pusing (+), mual dan muntah (+), dan muntahnya
berupa makanan yang dimakan sebelumnya.
Pasien mengeluh pada bagian matanya mengalami mata kabur dari jarak
dekat maupun jauh, penglihatan berbayang, dan terasa berasap tetapi jika pasien
menangis atau mengeluarkan air mata maka penglihatannya kembali jelas. Nafsu
makan tidak ada tetapi tidak ada penurunan berat badan. Pada BAK pasien
mengatakan berbuih, berwarna kekuningan, normal tidak terputus-putus dan tidak
terasa nyeri saat BAK. Pasien mengatakan BAB nya normal. dikeluarga tidak ada
yang mengalami keluhan serupa.
Batuk (-), sesak disangkal, nyeri dada (-), riwayat minum jamu-jamuan
berupa kunyit dan telur ayam kampung mentah serta pil jamu asam urat berupa
obat mujizat yang dibeli sendiri oleh pasien. Riwayat asam urat sejak 2 bulan
yang lalu. Riwayat DM disangkal, riwayat hipertensi sebelumnya tidak diketahui
oleh pasien tetapi pasien mengatakan baru tahu sejak pasien berobat untuk

70
keluhan bengkak di tungkai bawahnya dan diberi obat furosemid oleh puskesmas.
Riwayat thyroid pada tahuan 2000an tetapi sudah dinyatakan sembuh.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis dengan tekanan darah : 140/90 mmHg, nadi : 73x/
menit, reguler, pernapasan : 22x/ menit, dan temperature: 36,5oC. Pada
pemeriksaan kepala, didapatkan wajah mengalami edema. Pada pemeriksaan
thoraks, dinding dada simetris statis dan dinamis dengan stem fremitus kanan
sama dengan sisi kiri. Iktus cordis tidak terlihat dan tidak teraba. Pada auskultasi
suara nafas vesikuler. Bunyi jantung 1 dan 2 normal. Lalu pada pemeriksaan
ekstremitas superior tidak ada kelainan, dan inferior didapatkan edema pada
tungkai bawah kanan dan kiri. Pada pemeriksaan abdomen, Pada palpasi dengan
perut lemas dengan nyeri tekan epigastrium.
Pemeriksaan penunjang dilakukan. Pada pemeriksaan darah rutin, ditemukan
penurunan kadar hemoglobin (7,1 g/dL), hematocrit (21%), eritrosit (2,52
juta/ul). Ureum (281), kreatinin (8.8), protein total (4,77) dan albumin (3,49),
globulin (1,28), GDS 187. Pada urin lengkap didapatkan protein +++ dan
darah/hb (+), eritrosit (+). Pemeriksaan rontgen didapatkan kardiomegali
Berdasarkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, kemungkinan diagnosis dari pasien tersebut adalah Anemia ec CKD
stage V. Hal ini sesuai berdasarkan teori yang ditemukan yang sesuai yaitu pada
faktor risiko CKD didapatkan berupa hipertensi, diabetes mellitus, pertambahan
usia, riwayat keluarga, obesitas, penyakit kardiovaskular, dll, hal ini seusia dengan
teori yang didapat pada pasien yaitu faktor risiko nya adalah pasien mengalami
hipertensi dan diabetes melitus serta pertambahan usia, dimana pertambahan usia
akan mempengaruhi anatomi, fisiologi dan sitologi ginjal. Setelah usia 30 tahun,
ginjal akan mengalami atrofi dan ketebalan kortek ginjal akan berkurang sekitar
20% setiap dekade. Perubahan lain yang akan terjadi seiring dengan
bertambahnya usia berupa penebalan membran basal glomerulus, ekspansi
mesangium glomerular dan terjadinya deposit protein matriks ekstraselular
sehingga menyebabkan glomerulosklerosis. Hipertensi yang berlangsung lama
akan menyebabkan perubahan resistensi arteriol aferen dan terjadi penyempitan
arteriol eferen akibat perubahan struktur mikrovaskuler. Keadaan hiperglikemia

71
yang lama akan berakibat buruk pada ginjal dan dapat menyebabkan terjadinya
fibrosis dan inflamasi pada glomerulus dan tubulus. Kondisi ini menyebabkan
percepatan kerusakan fungsi ginjal. Pada saat anamnesis didapatkan keluhan
pasien berupa edema di tungkai bawah dan wajah, dimana keadaan ini dapat
disebabkan keadaan hipoalbimunemia. Hipoalbuminemia adalah kondisi ketika
kadar albumin dalam darah di bawah normal. Kondisi ini biasanya terjadi pada
seseorang dengan penyakit yang berat atau sudah berlangsung lama (kronis).
Salah satu penyakit yang paling sering menyebabkan hipoalbuminemia adalah
penyakit peradangan. Adapun gejala nya berupa pembengkakan akibat
penumpukan cairan pada wajah atau tungkai, nafsu makan berkurang, mual dan
muntah. Gejala pasien yang sesuai dengan manifestasi klinis CKD berupa nyeri
pada pinggang, dan didapatkan pada saat BAK, urin nya berbuih. Pada
pemeriksaan hematologi didapatkan hemoglobin, hematokrit dan eritrosit nya
menurun yang menandakan pasien mengalami anemia. Pada saat fungsi ginjal
terganggu maka ginjal tidak dapat memproduksi cukup eritropietin, dan sumsung
tulang tidak dapat memproduksi sel darah merah secara optimal. Semakin buruk
fungsi ginjal, semakin sedikit eritropietin yang diproduksi, dan akan terjadi
penurunan sel darah merah. Pada pasien didapatkan kencing berbusa, mual dan
muntah, wajah dan kaki edema, nafsu makan tidak ada, protein urin +++, ini bisa
juga merupakan tanda atau gejala dari proteinuria.
Pasien mengeluh tangan dan kaki nya terasa kesemutan atau kebas, telapak
kaki terasa seperti ditusuk-tusuk, hal ini sesuai dengan teori dimana pasien
mengalami diabetes mellitus. Diabetes melitus merupakan gangguan metabolik
yang ditandai oleh hiperglikemia akibat kerusakan sekresi insulin, kerja insulin
atau keduanya. Rasa kesemutan atau kebas disebut juga dengan neuropati perifer,
yaitu gangguan saraf pada penderita diabetes yang menyerang saraf ditungkai dan
kaki, serta lengan dan tangan. Dimana neuropati perifer ini merupakan jenus
neuropati diabetik yang paling sering terjadi. Adapun gejala penglihatan kabur
dan berasap menandakan bahwa adanya gangguan penglihatan seperti pandangan
yang buram merupakan sebagai tanda awal diabetes. Adanya perubahan pada
kadar gula darah tak hanya menyebabkan pergeseran cairan kedalam lensa mata,
tapi juga memengaruhi fungsi dan kelenturannya untuk memfokuskan pandangan.

72
Kondisi ini menyebabkan otot sekitar mata harus bekerja lebih keras untuk
menfokuskan pandangan. Dan didapatkan pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan gula darah sewaktu 187 mg/dL.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah pasien 140/90 mmHg
yang menjadikan pasien di diagnosis HHD ec hipertensi grade I, karena pasien
memiliki riwayat hipertensi dan pasien juga mengatakan mengkonsumsi obat
furosemide. Diuretik sering digunakan untuk menurunkan tekanan darah,
meningkatkan produksi urin, tetapi hal tersebut juga dapat menurunkan
kemampuan ginjal. Pasien mengeluh adanya nyeri sendi pada bagian lutut yang
menjadikan pasien di diagnosis gout artritis karena gout adalah suatu penyakit
yang gejalanya biasanya terjadi bengkak dan nyeri di bagian jempol kaki,
pergelanan kaki, lutut, lengan, pergelangan lengan, siku. Gout merupakan istilah
yang dipakai untuk sekelompok gangguan metabolik yang ditandai oleh
meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Penyakit asam urat atau gout
merupakan penyakit akibat penimbunan kristal monosodium urat di dalam tubuh.
Dan ini berkaitan dengan riwayat pasien sering mengkonsumsi jamu-jamuan
dimana untuk mengurangi asam urat pada pasien dan pasien juga sering
mengkonsumsi pil asam urat.
Didapatkan hasil anamnesis pasien merupaka perokok pasif, dimana ini
sesuai dari teori faktor risiko PPOK, Paparan asap rokok menjadi salah satu
penyebab utama penyakit ini. Dengan kata lain, PPOK bisa saja menyerang orang
yang merokok secara aktif maupun pasif. Kandungan bahan kimia yang ada pada
rokok sangat berbahaya dan dapat merusak lapisan paru-paru serta jalan napas.
Pada pemeriksaan fisik dapatkan tekanan vena jugularis meningkat, hal ini sesuai
dengan teori dimana biasanya pada PPOK ditemukan peningkatanan tekanan vena
jugularis. Pasien ditemukan edema, ini juga sesuai dengan teori dimana selain
ditemukan peningkatan vena jugularis pada pasien, biasanya ditemukan juga
edema.
Pasien juga mengeluhkan nafsu makan yang menurun namun tidak disertai
penurunan berat badan dalam waktu dekat ini. Ini kemungkinan merupakan tanda
dari dehidrasi low intake.

73
Tatalaksana pada pasien ini dibagi menjadi 2 yaitu, terapi non farmakologis
dan farmakologis. Terapi non farmakologis berupa Edukasi mengenai penyakit,
tirah baring, kurangi aktivitas fisik, terapi gizi (hindari minum teh dan konsumsi
makanan tinggi vitamin C). Sedangkan untuk terapi farmakologis yang diberikan
pada kasus ini adalah: IVFD RL gtt 20x/m, transfusi PRC 400 cc, injeksi
Furosemid 1x1 amp/iv, injeksi ceftriaxone 2x1 gr, captopril 3x6,25 mg, injeksi
omeprazole 40 mg, ondansetron 3 x 8 mg IV.
Furosemid diberikan untuk mengatasi edema tungkai akibat keadaan
hipoalbuminemia. Obat ini merupakan obat golongan diuretik loop, dimana obat
ini bekerja dengan menghambat reabsorpsi ion natrium dan klorida pada tubulus
ginjal proksimal dan distal serta loop Henle, dengan mengganggu sistem co-
transport yang mengikat klorida, menyebabkan peningkatan air, kalsium,
magnesium, natrium, dan klorida. Furosemid memiliki biovailabilitas sebesar 47-
64% pada pemberian oral dengan onset 30-60 menit pada pemberian per oral, 30
menit pada pemberian intramuskular, dan 5 menit melalui intravena. Waktu
puncak obat ini adalah 1-2 jam pada pemberian oral, dan kurang dari 15 menit
melalui intravena. Durasi kerja obat adalah 6-8 jam melalui oral dan 2 jam melalui
intravena. Furosemid dimetabolisme di hepar, dieliminasi melalui urine dengan
waktu paruh 30-120 menit pada pasien dengan fungsi ginjal normal, dan 9 jam
pada pasien dengan end stage renal disease. Furosemid dikombinasi dengan
spironolactone merupakan salah satu contoh diuretik hemat kalium yang sering
digunakan. Spironolactone merupakan antagonis aldosteron. Spironolactone
adalah diuretik lemah dan penggunaannya terutama dikombinasikan dengan
diuretik lain seperti furosemide dimana untuk mencegah terjadinya hipokalemia.
Pemberian Inj. Ceftriaxone 2x1 gr karena ceftriaxnone adalah golongan
antibiotik cephalosporin gen III yang dapat digunakan untuk mengobati beberapa
kondisi akibat infeksi bakteri, seperti pneumonia, sepsis, meningitis, infeksi kulit,
gonore atau kencing nanah, dan infeksi pada pasien dengan leukosit rendah.
Ceftriaxon mempunyai spectrum luas dan waktu paruh eliminasi 8 jam.
Ceftriaxon efektif terhadap mikroorganisme gram positif dan gram negatif.
Ceftriaxon juga sangat stabil terhadap enzim beta laktamase yang dihasilkan oleh
bakteri.

74
Candesartan termasuk ke dalam obat golongan angiotensin receptor
blockers (ARB) yang bekerja dengan cara menghambat reseptor angiotensin
II. Saat angiotensin II dihambat, pembuluh darah akan dilatasi sehingga aliran
darah menjadi lebih lancar dan tekanan darah turun. Selain itu, obat ini juga
berfungsi dalam pengobatan pada pasien dengan gagal jantung dan gangguan
fungsi sistolik ventrikel kiri ketika obat penghambat ACE tidak ditoleransi. Pada
pasien hipertensi dengan gangguan ginjal, disarankan melakukan pemantauan
secara berkala terkait kadar kalium dan kadar kreatinin dalam serum. Pasien
dengan stenosis arteri renalis, yaitu penyempitan salah satu atau lebih dari satu
arteri yang mengangkut darah menuju ginjal (renal artery). Pasien dengan
intravascular volume depletion, yaitu pengurangan volume intravaskular. Meski
demikian, obat masih dapat digunakan jika obat diperlukan untuk mengatasi
keadaan yang mengancam jiwa, atau penyakit serius, dimana obat yang lebih
aman tidak dapat digunakan atau tidak efektif.
Metformin mempunyai efek utamanya adalah menurunkan glukoneogenesis
dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan. Karena kerjanya hanya bila
ada insulin endogen, maka hanya efektif bila masih ada fungsi sebagian sel islet
pankreas. Metformin merupakan obat pilihan pertama pasien dengan berat badan
berlebih dimana diet ketat gagal untuk mengendalikan diabetes, jika sesuai bisa
juga digunakan sebagai pilihan pada pasien dengan berat badan normal. Juga
digunakan untuk diabetes yang tidak dapat dikendalikan dengan terapi
sulfonilurea.
Allopurinol  adalah obat generik yang digunakan untuk menurunkan kadar
asam urat dalam darah. Obat ini bekerja dengan cara menghambat enzim xanthine
oksidase sehingga menghambat pembentukan asam urat dan juga dapat
menghambat sintesis purin. Enzim xanthine oksidase adalah enzim yang
bertanggung jawab untuk oksidasi suatu zat alami dalam tubuh bernama
hypoxanthine untuk menjadi xanthine, dan kemudian menjadi asam urat. Obat ini
digunakan untuk pencegahan serangan gout kronis, mengobati sindrom lisis tumor
dalam kemoterapi yang menyebabkan terjadinya hyperuricemia akut berat,
mengobati batu ginjal dengan komponen asam urat dan kalsium oksalat
(nefrolitiasis asam urat).

75
Injeksi omeprazole merupakan obat dari golongan Proton Pomp Inhibitor
(PPI) yang digunakan untuk mengobati kelainan sekresi asam lambung dengan
menghambat enzim H+/K+ ATPase yang secara selektif dan irreversible
mengeluarkan asam HCl dari sel-sel parietal ke lumen lambung.
Ondansetron Ondansetron adalah antagonis reseptor 5-HT3 yang bekerja
secara selektif. Meskipun mekanisme kerjanya belum diketahui dengan jelas,
namun ondansetron bukan merupakan antagonis reseptor dopamin. Reseptor
serotonin tipe 5- HT3 berada diperifer (di ujung nervus vagus) maupun di sentral
yaitu di chemoreceptor trigger zone.
Neurodex adalah obat yang mengandung vitamin B1, vitamin B6, vitamin
B12. Neurodex digunakan untuk mengatasi kekurangan vitamin B kompleks,
mengatasi mual dan muntah saat pagi hari pada wanita hamil, membantu proses
penyembuhan penyakit, dan membantu mengatasi anemia. Neurodex digunakan
untuk mengatasi kekurangan vitamin B kompleks, mengatasi mual dan muntah
saat pagi hari pada wanita hamil, membantu proses penyembuhan penyakit, dan
membantu mengatasi anemia. Dosis: 1 tablet, diminum 1 kali sehari. Tidak boleh
diberikan pada pasien yang memiliki riwayat hipersensitif terhadap salah satu
komposisi dari Neurodex.

BAB V
KESIMPULAN

76
Telah dipaparkan kasus dengan diagnosis Anemia ec CKD stage V + HHD ec
Hipertensi Grade I + Diabetes Mellitus + PPOK + Gout Arthritis + Dehidrasi low intake
+ Hipoalbuminemia + Proteinuria. Pasien telah dirawat di RSUD Palembang BARI
selama 6 hari dan dipulangkan dengan kondisi perbaikan dan disarankan untuk menjaga
pola hidup sehat dan konsumsi obat secara teratur, pasien disarankan lebih lanjut untuk
konsultasi ke dokter spesialis penyakit dalam.

DAFTAR PUSTAKA

77
1. KDIGO, 2013. KDIGO Clinical Practice Guideline for the Evaluation and
Managementof Chronic Kidney Disease, Official Jounal of the International
Society of Nephrology, Vol. 3: Issue 1.

2. Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7; ali
Bahasa, Brahm U, Pendt ;editor Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto, Nurwany
Darmaniah, Nanda Wulandari.-ed.7-Jakarta: EGC.

3. Smeltzer, S. C., 2010. Textbook Of Medicine- Surgical Nursing. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins.

4. Suratun, 2008. Klien Gangguan sistem Muuskuloskeletal. Seri Asuhan


Keperawatan ; Editor Monika Ester, Jakarta: EGC.

5. Mulyana R, Setiati S, Martini RD, Hrimurti K, Dwimartutie N. The Effect of


Ophiocephalus stratius Extract on the Level of IGF-1 and Albumin in Elderly
Patients with Hypoalbuminemia. Acta Med Indones – Indones J Intern Med.
2017;49(4):324-329.

6. Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO). KDIGO 2012 Clinical


Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney
Disease. Kidney inter., Suppl. 2013;3:5-62

7. Wang H, Naghavi M, Allen C., et al. GBD 2015 Mortality and Causes of Death
Collaborators. Globalm Regional, and National Life Expectancy, All-cause
Mortality, and Cause-specific Mortality for 249 Causes of Death, 1980-2015: a
Systematic Analysis for the Global Burden of Disease Study 2015. Lancet 2016;
388: 1459-544. Doi: 10.1016/S0140-6736(16)31012-1.

8. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.


2013. RISKESDAS 2013. Jakarta.

9. Kemenkes RI. 2017. Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI. Doi:ISSN 2442-7659.

10. Suwitra, Ketut. 2014. “Penyakit Ginjal Kronik” dalam Sudoyo, A., W., et al
(Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 6. Jakarta: FKUI

11. Hsieh, M. and D.A. Power. 2009. “Abnormal Renal Function and Electrolyte
Disturbance in Older P eople”. Journal of Pharmacy Practice and Research
Vol. 39(3). Hal. 230-234.

12. Prodjosujadi.W. 2006. Incidence, Prevalence, Treatment and Cost of End-Stage


Renal Disease in Indonesia.
(https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16774003 diakses pada 19 Oktober
2017).

78
13. Firmansyah, M.A. 2013. Diagnosis dan Tata Laksana Nefrosklerosis
Hipertensif. CDK Vol. 40(2). Hal.107-111.

14. Rule, A.D.,et al. 2011. “ Chronic Kidney Disease in Kidney Stone Formers”.
Clin J Am SocNephrolVol. 6. Hal. 2069-2075.

15. Sukandar, Enday. “Infeksi Saluran Kemih Pasien Dewasa”. Dalam Sudoyo, Aru
W, et al (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Internal Publishing, Jakarta,
Indonesia 2009 hal: 1008.

16. Rasic, S.,et al. 2010. “Long-Term Outcome of Patients with Lupus Nephritis: a
Single Center Experience”. Bosnian Journal of Basic Medical Sciences Vol.10.
Hal : 63-67.

17. Eroschenko, Victor P. 2015. Atlas Histologi diFiore dengan Korelasi Fungsional.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

18. Guyton dan Hall, 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta: EGC.

19. Anonym. Hipertensi/Tekanan Darah Tinggi. Available from URL :


http://www.badungkab.go.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=485&Itemid=95.

20. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
FKUI; 2006

21. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta:
Media Aesculapius FK UI: 2001.

22. Tahapary D, Sihotang R, Ramadhani R. Efikasi dan Keamanan Obat Antidiabetik


Oral Pada Pasien DM Tipe II dengan Penyakit Ginjal Kronik. Jurnal Penyakit
Dalam Indonesia. 2018. Vol 5, 3:150-155.

23. Poor G, Mituszova M. History, Classification and epidemiology of crystal- related


artropathies. Rheumatology. 2rd ed. Edinburg: Elsevier;2003.p.1893-1901

24. Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Rudy S,Sergen JS. (eds) Kelley’s Textbook of
Rheumatology, 8th ed. W.B Saunders, Philadelphia. 2009:1481-1506.

25. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. PPOK Pedoman Praktis Diagnosi


Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta; 2004.

26. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2018. G
Strategy for the Diagnosis, Management and Prevention of Chronic Obstr
Pulmonary Disease. p. 8-12

79
59

Anda mungkin juga menyukai