Anda di halaman 1dari 48

CASE REPORT STUDY

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. ACHMAD MOCHTAR
BUKITTINGGI
CKD Stage V + DM Tipe II + HT
Clinical Preseptor :
dr. Vera Roza, Sp.PD
apt. Defi Oktafia, S.Si., M.Farm. Klin

Disusun oleh :
Felycia Wardi, S.Farm (2102074)
Sita Afmika, S.Farm (2102108)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIV RIAU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Study Report Praktik
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi.
Dalam proses penyelesaian laporan kasus ini penulis banyak mendapatkan
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada :
1 Ibu dr. Vera Roza, Sp.PD selaku preseptor yang telah meluangkan waktu
untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan arahan sehingga laporan Case
Study ini dapat diselesaikan.
2 Bapak apt. Defi Oktafia, S.Si., M.Farm. Klin selaku preseptor yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan arahan
sehingga laporan Case Study ini dapat diselesaikan.
3 Staf Bangsal Interne Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar
Bukittinggi yang telah memberikan bantuan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan Case Study ini.
Terimakasih atas semua bimbingan, bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua untuk
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa mendatang khususnya tentang
pengobatan penyakit “CKD STAGE V + DM TYPE II + HIPERTENSI” Penulis
menyadari laporan kasus ini masih memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak.

Bukittinggi, Juli 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................3
2.1. Cronic Kidney Disease ( CKD ).....................................................................3
2.1.1. Definisi CKD......................................................................................3
2.1.2. Etiologi dan Klasifikasi......................................................................3
2.1.3. Patofisiologi dan Etiologi CKD..........................................................4
2.1.4. Manifestasi Klinik..............................................................................5
2.1.5. Terapi CKD........................................................................................7
2.1.6. Penatalaksanaan CKD........................................................................7
2.2. Diabetes Mellitus............................................................................................8
2.2.1. Definisi Diabetes Mellitus..................................................................8
2.2.2. Patofisiologi........................................................................................9
2.2.3. Tatalaksana Terapi..............................................................................9
2.3. Hipertensi.....................................................................................................13
2.3.1. Definisi.............................................................................................14
2.4. Tinjauan Obat...............................................................................................14
BAB III TINJAUAN KASUS........................................................................................27
BAB IV PEMBAHASAN...............................................................................................39
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN..........................................................................43
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................44

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Gagal Ginjal Kronis (Chronic Kidney Disease) adalah keadaan terjadinya


penurunan fungsi ginjal yang cukup berat secara perlahan-lahan (menaun)
disebabkan oleh berbagai penyakit ginjal. Penyakit ini bersifat progresif dan
umumnya tidak dapat pulih kembali (irreversible). Gejala penyakit ini umumnya
adalah tidak ada nafsu makan, mual, muntah, pusing, sesak nafas, rasa lelah,
edema pada kaki dan tangan, serta uremia (Almatsier, 2006). Gagal ginjal adalah
suatu keadaan penurunan fungsi ginjal secara mendadak. Gagal ginjal terjadi
ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan
fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya di eliminasi di urine menumpuk
dalam cairan tubuh akibat gangguan eksresi renal dan menyebabkan gangguan
fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit serta asam basa (Harmilah,
2020).
Fungsi ginjal menandakan kondisi ginjal dan fungsinya dalam fisiologi
ginjal. Glomerular Filtration Rate (GFR) menandakan jumlah cairan yang di
filtrasi oleh ginjal. Creatinine Cleareance Rate (CrCl) menandakan jumlah
kreatinin darah yang disaring oleh ginjal. CrCl merupakan parameter yang
berguna untuk mengetahui GFR dari ginjal.
Diabetes mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan adanya
hiperglikemia yang disebabkan oleh ketidak mampuan dari organ pancreas untuk
memproduksi insulin atau kurangnya sensitivitas insulin pada sel target tersebut.
Abnormalitas pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang ditemukan
pada penderita penyakit diabetes mellitus terjadi dikarenakan kurangnya aktivitas
insulin pada sel target. Diabetes mellitus dikategorikan menjadi empat tipe yaitu
diabetes mellitus tipe-1, diabetes mellitus tipe-2, diabetes mellitus gestational dan
diabetes mellitus tipe lain yang disebabkan oleh faktor-faktor lain.(Kerner and
Brückel, 2014).
Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah diatas nilai normal.
Menurut Nurarif A.H. & Kusuma H. (2016), hipertensi adalah peningkatan
tekanan darah sistolik sekitar 140 mmHg atau tekanan diastolik sekitar 90 mmHg.

1
Hipertensi merupakan masalah yang perlu diwaspadai, karena tidak ada tanda
gejala khusus pada penyakit hipertensi dan beberapa orang masih merasa sehat
untuk beraktivitas seperti biasanya. Hal ini yang membuat hipertensi sebagai
silent killer (Kemenkes, 2018), orang-orang akan tersadar memiliki penyakit
hipertensi ketika gejala yang dirasakan semakin parah dan memeriksakan diri ke
pelayanan kesehatan.

2
BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1. Cronic Kidney Disease ( CKD )


2.1.1. Definisi CKD
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah Penyakit ginjal kronik (PGK)
merupakan suatu kegagalan fungsi ginjal untuk mempertahankan metabolisme
dan keseimbangan cairan serta elektrolit akibat destruksi struktur ginjal yang
progresif yang ditandai dengan penumpukan sisa metabolisme (toksik uremik) di
dalam tubuh (Muttaqin & Sari, 2011).

2.1.2. Etiologi dan Klasifikasi


Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.Klasifikasi atas dasar derajat penyakit,
dibuat atas dasar GFR, yang dihitung menggunakanrumus Kockcroft-Gault
sebagai berikut:

GFR pria (ml/menit/1,73 m2) = (140- umur) × Berat Badan


72 × kreatinin plasma (mg/dl)

GFR wanita (ml/menit/1,73 m2) = (140- umur) × Berat Badan


72 × kreatinin plasma (mg/dl) × 0,85
Tabel 1. Klasifikasi CKD berdasarkan Derajat Penyakit
Sta- Description GFR Complications
ge mL/min/1,73m2
I Kerusakan ginjal (misalnya, ≥90 Pasien berisiko CKD
protein dalam urin) dengan
GFR normal

II Kerusakan ginjal dengan ↓ 60-89 Hipertensi

3
GFR ringan
IIIa Penurunan moderat GFR 45-59 Peningkatan ringan
IIIb Penurunan moderat GFR 30-44 serum kreatinin,
penurunan ringan
kadar kalsium, dan
timbulnya anemia
IV Penurunan parah GFR 15-29 Anoreksia, anemia
sedang, hiperkalemia
hiperfosfatemia,
dislipidemia,
neuropati, hipertrofi
ventrikel kiri
V Gagal ginjal (Kidney failure) ≤15 atau dialysis Gejala uremik,
anemia berat,
malnutrisi,
hiperparatiroidisme
sekunder, asidosis
metabolik
2.1.3. Patofisiologi dan Etiologi CKD
Penyakit ginjal kronik (PGK) sering berlangsung secara progresif melalui
empat derajat. Penurunan cadangan ginjal menggambarkan LFG sebesar 35%
sampai 50% laju filtrasi normal. Insufisiensi renal memiliki LFG 20 % sampai
35% laju filtrasi normal. Gagal ginjal mempunyai LFG 20% hingga 25% laju
filtrasi normal, sementara penyakit ginjal stadium terminal atau akhir (end stage
renal disease) memiliki LFG < 20% lajufiltrasi normal (Kowalak, dkk,.2011).
Proses terjadinya penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada
penyakit yang mendasarinya, tapi dalam proses perkembangannya yang terjadi
kurang lebih sama. Dua adaptasipenting dilakukan oleh ginjal untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit. Penurunan massa ginjal
mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih bertahan
(surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi ginjal untuk melaksanakan
seluruh beban kerja ginjal, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti

4
sitokinin dan growth factors. Hal ini menyebabkan peningkatan kecepatan filtrasi,
yang disertai oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus.
Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil untuk mempertahankan keseimbangan
elektrolit dan cairan tubuh, hingga ginjal dalam tingkat fungsi yang sangat rendah.
Pada akhirnya, jika 75% massa nefron sudah hancur, maka LFG dan beban zat
terlarut bagi setiap nefron semakin tinggi, sehingga keseimbangan glomerulus –
tubulus (keseimbangan antara peningkatan filtrasi dan reabsorpsi oleh tubulus)
tidak dapat lagi dipertahankan (Sudoyo, dkk,. 2013).
Glomerulus yang masih sehat pada akhirnya harus menanggung beban
kerja yang terlalu berlebihan. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
sklerosis, menjadi kaku dan nekrosis. Zat –zat toksis menumpuk dan perubahan
yang potensial menyebabkankematian terjadi pada semua organ –organ penting
(Kowalak, dkk,. 2011).
Penyebab tersering penyakit ginjal kronis yang diketahui adalah diabetes
melitus,selanjutnya diikuti oleh tekanan darah tinggi dan glomerulonephritis.
Penyebab lainnya dapat berupa idiopatik. Namun penyebab-penyebab dari
penyakit ginjal kronis dapat diklasifikasikan berdasarkan anatomi ginjal yang
terlibat9,10:
- Penyakit vaskular, yang dapat melibatkan pembuluh darah besar seperti
bilateral artery stenosis, dan pembuluh darah kecil seperti nefropati
iskemik, hemolytic-uremic syndrome, dan vasculitis4
- Kelainan pada glomerulus yang dapat berupa
o Penyakit glomerulus primer seperti nefritis dan focal segmental
glomerulosclerosis
o Penyakit glomerulus sekunder seperti nefropati diabetic dan lupus
nefritis
- Penyakit bawaan seperti penyakit ginjal polikistik
-Nefropati obstruktif yang dapat berupa batu ginjal bilateral dan
hyperplasia prostate
- Infeksi parasite (yang sering berupa enterobiasis) dapat menginfeksi
ginjal dan menyebabkan nefropati
2.1.4. Manifestasi Klinik

5
Manifestasi klinik yang dapat muncul di berbagai sistem tubuh akibat
penyakit ginjal kronik (PGK) menurut Baradero, Dayrit, & Siswadi (2009) dan
Price & Wilson (2013) adalah sebagai berikut :
1. Sistem hematopoietic
Manifestasi klinik pada sistem hematopoietik yang dapat muncul
sebagai berikut ekimosis, anemia menyebabkan cepat lelah,
trombositopenia, kecenderungan perdarahan, hemolisis.Sistem
kardiovaskuler
2. Manifestasi klinik yang dapat muncul pada kardiovaskuler antara lain
hipertensi, retinopati dan ensefalopati hipertensif, disritmia, perikarditis
(friction rub), edema, beban sirkulasi berlebihan, hipervolemia, takikardia,
gagal jantung kongestif.
3. Sistem respirasi
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem respirasi antara
lain sputum yang lengket, pernafasan kusmaul, dipsnea, suhu tubuh
meningkat, pleural friction rub, takipnea, batuk disertai nyeri, hiliar
pneumonitis, edema paru, halitosis uremik atau fetor.
4. Sistem gastrointestinal
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem gastrointestinal
manifestasi klinik yang dapat muncul adalah distensi abdomen, mual dan
muntah serta anoreksia menyebabkan penurunan berat badan, nafas berbau
amoniak, rasa kecap logam, mulut kering,stomatitis, parotitis, gastritis,
enteritis, diare dan konstipasi, perdarahan gastrointestinal.
5. Sistem neurologi
Tanda yang dapat muncul dari terganggunya distribusi metabolik
akibat PGK antara lain penurunan ketajaman mental, perubahan tingkat
kesadaran, letargi/gelisah, bingung atau konsentrasi buruk, asteriksis,
stupor, tidur terganggu/insomnia, kejang, koma.
6. Sistem musculoskeletal
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem skeletal yaitu
nyeri sendi, perubahan motorik –foot dropyang berlanjut menjadi

6
paraplegia, osteodistrofi ginjal, pertumbuhan lambat pada anak, rikets
ginjal.
7. Sistem dermatologi
Tanda yang dapat muncul dari terganggunya distribusi metabolik
akibat PGK antara lain ekimosis, uremic frosts/ “kristal” uremik, lecet,
pucat, pigmentasi, pruritus, perubahan rambut dan kuku (kuku mudah
patah, tipis, bergerigi, ada garis–garis merah –biru yang berkaitan dengan
kehilangan protein), kulit kering, memar.
8. Sistem urologi
Manifestasi klinik pada sistem urologi dapat muncul seperti berat
jenis urin menurun, haluaran urin berkurang atau hiperuremia, azotemia,
proteinuria, hipermagnesemia, ketidakseimbangan natrium dan kalium,
fragmen dan sel dalam urin.
9. Sistem reproduksi
Manifestasi klinik yang dapat muncul pada sistem reproduksi
adalah libido menurun, disfungsi ereksi, infertilitas, amenorea, lambat
pubertas.
2.1.5. Terapi CKD
Bila ditemukan tanda dan gejala penyakit ginjal, maka yang harus
dilakukan adalah :
 Kontrol gula darah pada penderita diabetes,
 Kontrol tekanan darah pada penderita hipertensi,
 Pengaturan pola makan yang sesuai dengan kondisi ginjal
Penyakit ginjal kronik tidak dapat disembuhkan,tetapi kita masih dapat
mempertahankan agar tetap berfungsi seoptimal mungkin, yaitu melalui :
Pencegahan Primer
 Terapi dengan obat-obatan
 Transplantasi (cangkok) ginjal
 Dialisis (cuci darah)
 Modifikasi gaya hidup
2.1.6. Penatalaksanaan CKD
Perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan

7
derajatnya.
Derajat LFG Rencana Tatalaksana
(ml/menit/1,73
Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
I ≥ 90 evaluasi pemburukan (progression fungsi
ginjal, memperkecil resiko kardivaskuler
Menghambat pemburukan (progression)
II 60-89
fungsi ginjal
III 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
IV 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
V ≤ 15 atau dialisis Terapi pengganti ginjal
Sumber : Sudoyo, Setiyohdadi Alwi, Simadibrata,. K. & Setiati (2007)

2.2. Diabetes Mellitus


2.2.1. Definisi Diabetes Mellitus
Diabetes tipe 2 disebut non insuline dependent atau adult onset
diabetes,ditandai dengan kurangnya produksi insulin (Pusat Data dan Informasi

8
Kementerian Kesehatan RI,2013). DM tipe 2 merupakan kombinasi dari restitensi
insulin dan kelainan pada produksi insulin pada beta sel pankreas .seiring
berjalannya waktu,disfungsi beta sel pankreas akan semakin parah dan berakibat
kekurangan insulin absolut (peter c. Kurniali,2013). Diabetes tipe 2 merupakan
dampak dari gangguan sekresi insulin dari resistansi terhadap kerja insulin yang
sering kali disebabkan oleh obesitas (defisiensi relatif) (Bilous, R., & Donelly, R.
2015).
2.2.2. Patofisiologi
1. Penurunan Sekresi Insulin
Penurunan sekresi insulin terjadi akibat disfungsi sel-sel β pankreas.
Suatu penelitian menemukan bahwa gangguan fungsi sel pankreas ini terjadi
secara dini bahkan sebelum adanya resistensi insulin.
2. Resistensi Insulin
Resistensi insulin akan terjadi bila alur penyimpanan nutrisi yang
bertugas memaksimalkan efisiensi penggunaan energi terpapar terus menerus
dengan surplus energi. Surplus energi ini akan menurunkan sensitifitas insulin.
Paparan surplus energi dalam jangka panjang akan menyebabkan sensitifitas
insulin semakin menurun hingga terjadi resistensi insulin, terutama pada
jaringan otot, hepar, dan lemak.
Patofisiologi penyakit ginjal kronis untuk diabetes melitus melibatkan
hiperglikemia yang memicu pembentukan reactive oxygen species (ROS) dan
Advanced Glycosylation End Products (AGE). Pembentukan AGE dan ROS
menyebabkan terjadi stress oxidative pada jaringan nefron ginjal. Peningkatan
stress oxidative pada nefron ginjal menyebabkan kenaikan permeabilitas ginjal
lalu terjadinya proteinuria, efek lain kenaikan permeabilitas glomerulus juga
mengaktifkan system RAAS yang menyebabkan kenaikan tekanan darah dan
lebih jauh meningkatkan permeabilitas ginjal dan memperparah kerusakan
ginjal. Mekanisme lain dari kerusakan ginjal dimana AGE dan ROS
menstimulasi pembentukan growth factor, growth factor yang terbentuk
berupa TGF, VEGF, dan PDGF. Pembentukan growth factor tersebut dapat
menyebabkan terjadinya fibrosis pada ginjal dan menurunkan GFR.
2.2.3. Tatalaksana Terapi

9
Diabetes mellitus tipe 2 memerlukan penatalaksanaan yang komprehensif,
berupa penurunan berat badan, pemberian obat antidiabetes, dan perubahan gaya
hidup. Kontrol keberhasilan terapi menggunakan pemeriksaan HbA1c penting
untuk mencegah terjadinya komplikasi. Selain itu, penatalaksanaan diabetes juga
harus memperhatikan komorbid lainnya yang perlu dikontrol seperti tekanan
darah dan profil lipid pasien.
1. Terapi Non farmakologis
Terapi non farmakologis merupakan bagian dari penatalaksanaan
komprehensif diabetes. Terapi yang diberikan menyangkut perubahan gaya
hidup, diet, dan penanganan obesitas.
 Perubahan Gaya Hidup
Gaya hidup sedentari memiliki asosiasi yang erat dengan diabetes
mellitus tipe 2. Anjurkan pasien untuk olahraga secara teratur karena
olahraga dapat membantu mengatasi resistensi insulin. Pada tahap awal
penyakit, olahraga bahkan cukup untuk mengatasi diabetes mellitus tipe 2
tanpa penambahan terapi farmakologis.
 Diet
Mayoritas pasien diabetes mellitus tipe 2 merupakan pasien
obesitas sehingga doktter sebaiknya merujuk pasien ke ahli gizi. Target
penurunan berat badan 5-10% dalam jangka waktu setahun terbukti tidak
hanya menurunkan kadar gula darah, tetapi juga menurunkan  kadar
kolesterol total, trigliserida, dan LDL, risiko penyakit kardiovaskular, dan
tekanan darah.
2. Terapi farmakologi
Terdapat beberapa pilihan golongan pengobatan untuk diabetes
mellitus tipe 2, yaitu:
 Biguanida
 Sulfonilurea
 Derivat meglitinide
 Thiazolidinediones
 Glucagonlike peptide-1 (GLP-1) agonists
 Dipeptidyl peptidase IV (DPP-4) inhibitors

10
 Selective sodium-glucose transporter-2 (SGLT-2) inhibitors
 Insulin
 Agonis dopamin
a. Biguanide
Metformin merupakan obat antidiabetes oral golongan biguanide
yang digunakan sebagai terapi lini pertama untuk diabetes mellitus tipe 2.
Hal ini disebabkan oleh risiko efek sampingnya yang jauh lebih minim
dibandingkan obat antidiabetes lainnya. Dosis awal umumnya 500 mg,
diberikan 2 kali sehari. Sesuaikan dosis dengan respon terapi setiap 2
minggu sampai kontrol gula darah tercapai. Umumnya dosis yang
dibutuhkan untuk mencapai kontrol gula darah adalah 1500-2550 mg/hari
dibagi dalam 2-3 kali pemberian. Dosis maksimal pemberian metformin
adalah 2550 mg/hari. Metformin dapat dikombinasikan dengan obat
antidiabetes oral lainnya atau juga dengan insulin.
b. Sulfonilurea
Obat golongan sulfonilurea seperti glibenclamide, glipizide,
dan glimepiride dapat digunakan sebagai terapi diabetes mellitus tipe 2.
Generasi kedua obat golongan sulfonilurea ini dikonsumsi sekali sehari
dan dapat dikombinasi dengan obat antidiabetes oral lainnya atau insulin.
Dosis sulfonilurea yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
1) Chlorpropamide 
 Dosis awal, 100-250 mg oral, sekali sehari, dititrasi naik 50-125
mg sesuai respon terapi setiap 3-5 hari
 Dosis maintenance, 100-500 mg per hari
 dosis maksimum, 750 mg per hari
2) Tolbutamide
 Dosis awal, 1-2 gram oral sekali sehari atau dalam dosis terbagi
 Dosis maintenance, 0,25-3 gram oral sekali sehari atau dalam dosis
terbagi
 Dosis maksimum, 3 gram per hari
3) Glibenclamide
 Dosis awal standar, 2,5-5 mg oral sekali sehari

11
 Dosis titrasi, meningkat tidak lebih daripada 2,5 mg pada interval
mingguan
 Dosis maintenance, 1,25-20 mg oral sebagai dosis tunggal atau
dosis terbagi
 Dosis maksimum, 20 mg per hari
4) Glimepiride
 Dosis awal, 1-2 mg oral sekali sehari
 Dosis maintenance, dinaikkan 1 atau 2 mg tiap 1-2 minggu
berdasarkan respon glukosa dalam darah
 Dosis maksimum, 8 mg per hari.
c. Obat Antidiabetes Oral Lainnya
Derivat meglitinide seperti repaglinide dan nateglinide umumnya
digunakan pada pasien yang memiliki alergi terhadap obat golongan
sulfonilurea. Thiazolidinediones (pioglitazone atau rosiglitazone) tidak
hanya menurunkan kadar gula darah tetapi juga memiliki efek
menghammbat progresi diabetes. Walau demikian, obat ini memiliki risiko
efek samping edema dan peningkatan berat badan, terutama jika
dikombinasi dengan insulin.
GLP-1 agonis seperti liraglutide tidak hanya memiliki efek
antidiabetes tetapi juga menurunkan berat badan sehingga saat ini diteliti
sebagai terapi untuk obesitas. DPP-4 inhibitor seperti linagliptin dan
sitagliptin memiliki risiko efek samping yang lebih kecil dibandingkan
metformin, terutam efek samping gastrointestinal seperti mual dan diare.
Selain kedua golongan tersebut, terdapat juga obat golongan SGLT-2
inhibitor seperti canagliflozin yang juga dapat digunakan untuk
mengontrol gula darah pasien diabetes mellitus tipe 2.
Obat lain yang dapat digunakan sebagai terapi diabetes mellitus
tipe 2 adalah bromocriptine mesylate, obat golongan agonis dopamine.
Obat ini dapat dipertimbangkan pada pasien obesitas yang tidak merespon
terhadap pengobatan antidiabetes lainnya.
d. Insulin

12
Berbeda dengan diabetes mellitus tipe 1, pada diabetes mellitus
tipe 2 terjadi resistensi insulin sehingga pemberian insulin pada pasien
harus dibuat secara individual. Indikasi pemberian insulin adalah pasien
diabetes mellitus tipe 2 yang telah diterapi dengan obat antidiabetes oral
dengan kadar gula darah tidak terkontrol dan HbA1c >6.5% selama
setidaknya 3 bulan.
Dosis insulin dimulai dengan pemberian 10 unit/hari secara
subkutan atau 0,1-0,2 unit/kgBB/hari dalam dosis terbagi 2/3 pada pagi
hari dan sisanya pada malam hari. Pada pagi hari, insulin yang digunakan
adalah insulin regular dan intermediate-acting dengan rasio 1:2. Pada
malam hari, insulin diberikan dengan rasio insulin regular
dan intermediate-acting 1:1.
e. Self Monitoring
Pasien harus diedukasi untuk dapat memonitor dan mencatat kadar
gula darah harian menggunakan glukometer. Dokter juga harus
memberikan edukasi mengenai kemungkinan komplikasi diabetes dan
gejalanya, tanda hipoglikemia serta penanganan pertamanya, dan gejala
ketoasidosis diabetik yang memerlukan kunjungan segera ke rumah sakit.
f. Follow Up
Follow up teratur merupakan hal yang penting dilakukan untuk
memantau keberhasilan terapi dan mengatur dosis dan pilihan obat yang
diberikan. Follow up juga bermanfaat untuk deteksi dini kemungkinan
komplikasi yang terjadi akibat diabetes mellitus tipe 2.
Pemantauan keberhasilan terapi  dilakukan dengan pemeriksaan
HbA1c setiap 3 bulan sekali dan bila kadar gula darah sudah terkontrol
dengan baik dapat diperpanjang menjadi 6 bulan sekali.
Follow up  juga dilakukan untuk memantau risiko komplikasi yang
mungkin terjadi pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Pemeriksaan yang
perlu dilakukan adalah pemeriksaan mata setiap tahun, kontrol tekanan
darah <130/80 mmHg, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan kaki, kadar
kolesterol, serta fungsi ginjal.
3. Rujukan ke Rumah Sakit

13
Pasien diabetes mellitus tipe 2 memerlukan perawatan di rumah sakit
jika pasien mengalami kejadian hiperglikemia berulang, penurunan kesadaran
baik akibat ketoasidosis diabetik maupun akibat hipoglikemia berat karena
pengobatan, serta jika terjadi komplikasi seperti gangren kaki.
Pasien yang memerlukan operasi perlu mendapat perhatian khusus
mengenai stabilisasi gula darah saat puasa preoperatif.
2.3. Hipertensi
2.3.1. Definisi
Hipertensi adalah kelainan sistem sirkulasi darah yang mengakibatkan
peningkatan tekanan darah diatas nilai normal atau tekanan darah ≥140/90
mmHg (Kemenkes.RI, 2014). Hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa
gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan
meningkatnya risiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan
jantung dan kerusakan(Aisyiyah Nur Farida, 2012). Gejala penyakit hipertensi
adalah sakit kepala/rasa berat di tengkuk, mumet (vertigo), jantung berdebar-
debar, mudah Ielah, penglihatan kabur, telinga berdenging (tinnitus), dan
mimisan (Kemenkes.RI, 2014).
Mekanisme kerusakan ginjal oleh hipertensi disebabkan oleh penebalan
sel-sel tunica intima pada glomerulus ginjal, penebalan sel tunica intima
menyebabkan mengecilnya vaskular yang berujung pada mengecilnya aliran
pembuluh darah ke bagian glomerulus, berkurangnya aliran pembuluh darah ke
glomerulus menyebabkan aktifnya system Renin- 8 Angiotensin-Aldosteron
yang menyebabkan kenaikan tekanan darah lebih lanjut sehingga terjadi
kerusakan ginjal yang permanen.
Awalnya mekanisme aktifasi system Renin-Angiotensin-Aldosterone
dapat mengkompensasi kurangnya aliran darah ke ginjal, namun seiring waktu
akan menyebabkan nekrosis pada sel ginjal. Kerusakan glomerulus ginjal dapat
menyebabkan Global sclerosis dimana terjadi kerusakan yang permanen dari
glomerulus atau Focal segmental necrosis yang merupakan system kompensasi
ginjal dimana terjadi pembesaran glomerulus pada suatu area karena kerusakan
nefron pada area lain pada ginjal. Secara kronik perubahan-perubahan pada
glomerulus ginjal akan menyebabkan kematian nefron yang akan menyebabkan

14
penurunan GFR secara perlahan.
2.4. Tinjauan Obat
1. Asam Folat
Nama Obat Asam Folat

Komposisi Asam folat atau vitamin B9

Kelas Terapi Suplemen

Indikasi Anemia

Efek Samping Mual, gangguan tidur, kembung, kehilangan nafsu


makan, rasa tidak enak di mulut

Dosis Dosis awal : 5mg setiap hari selama 4 bulan


Dosis pemeliharaan : 5 mg setiap 1-7 hari tergantung
penyakit dasarnya.

Pemberian Obat Peroral

Sediaan Tablet

Kategori A

Gambar Sediaan

2. Bicnat
Nama Obat Bicnat

Komposisi Sodium Bicarbonat

15
Indikasi Asidosis metabolic

Mekanisme Kerja Obat ini bekerja dengan cara mengurai natrium dan


bikarbonat di dalam air untuk membentuk alkaline
yang menetralkan asam.
Efek Samping Mual, haus, perut kembung, kram perut

Dosis 500mg

Pemberian Obat Peroral

Sediaan Tablet 500mg

16
Kategori B

Gambar Sediaan

3. Amlodipin
Komposisi Amlodipin 5 mg
Kelas terapi Calsium Chanel Blocker (CCB)
Indikasi Hipertensi, profilaksis angina (Basic pharmacology and
drugs notes, 2019).
Mekanisme Kerja Memblokade kanal kalsium pada membran sehingga
menghambat kalsium masuk ke dalam sel (Basic
pharmacology and drugs notes, 2019).

Dosis Hipertensi : dosis awal 1x5 mg/hari; dosis maksimal


10 mg/hari. Pasien lanjut usia atau gangguan fungsi hati
dosis awal 1x2,5 mg/hari.
Terapi pada infark miokard akut : 5-10 mg/hari.
Efek Samping Edema pretibial, gangguan tidur, sakit kepala, letih,
hipotensi, tremor, aritmia, takikardi, mual, nyeri perut,
ruam kulit, wajah memerah (Basic pharmacology and
drugs notes, 2019).
Pemberian Obat Oral
Gambar

17
4. Candesartan
Komposisi Candesartan 8 mg
Kelas terapi Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)
Indikasi Merupakan alternatif yang berguna untuk pasien yang
harus menghentikan ACE-Inhibitor akibat batuk persisten
atau intoleransi terhadap ACE-Inhibitor. ARB digunakan
sebagai alternatif dari ACE-Inhibitor dalam tatalaksana
gagal jantung atau nefropati akibat diabetes (Basic
Pharmacology and Drugs Notes, 2019).
Mekanisme Kerja Memblokade reseptor AT1 sehingga menyebabkan
vasodilatasi, peningkatan ekskresi Na dan cairan
(mengurangi volume plasma), menurunkan hipertrofi
vaskular (Basic Pharmacology and Drugs Notes, 2019).
Dosis Hipertensi : dosis awal 1x8 mg/hari (gangguan fungsi
hati 1x2 mg/hari, gangguan fungsi ginjal atau volume
deplesi intravaskular 1x4 mg/hari), tingkatkan jika perlu
pada interval 4 minggu hingga maksimal 1x32 mg/hari;
dosis penunjang lazim 1x8 mg/hari.
Gagal jantung : dosis awal 1x4 mg/hari, tingkatkan pada
interval sedikitnya 2 minggu hingga dosis target 32 mg
sekali sehari atau hingga dosis maksimal yang masih
dapat ditoleransi.
Pemberian Obat Per oral
Kontraindikasi Hipersensitivitas, pasien dengan gagal ginjal kronis obat
ini bisa menyebabkan nefropati yang diinduksi oleh
alumunium.
(Basic pharmacology and drugs notes, 2019).
Efek Samping Kehamilan (obat harus dihentikan bila pemakai ternyata
hamil), menyusui, stenosis arteri renalis bilateral atau
stenosis pada satu-satunya ginjal yang masih berfungsi.
(Basic pharmacology and drugs notes, 2019).
Farmakokinetik Konsentrasi puncak candesartan dalam plasma tercapai

18
sekitar 3-4 jam setelah konsumsi peroral dan waktu paruh
plasma terhitung sekitar 9 jam pada individu yang sehat.
Pada individu dengan hipertensi, waktu paruh dilaporkan
lebih lama.
- Konsentrasi serum puncak rata-rata tercapai 3-4 jam
setelah konsumsi tablet.
- Vd : 0,13 L/kg
Gambar

5. Clonidin
Komposisi Clonidin 0,15 mg
Kelas terapi Agonis Alpha sentral
Indikasi clonidine atau klonidin utama adalah antihipertensi dan
antinyeri kanker. Secara off label, clonidine juga
digunakan untuk profilaksis migraine, menopausal
flushing, attention deficit hypersensitivity disorder
(ADHD), dan sindrom Taurret
Mekanisme Kerja Clonidine berfungsi melalui agonist alpha-2
adrenoceptors di hipotalamus posterior dan medula. Efek
ini menyebabkan aliran simpatis pada sistem saraf pusat
berkurang, yang secara klinis menurunkan tekanan darah
arteri. Oleh karena itu, clonidine digunakan untuk obat
penderita hipertensi
Dosis oral, 50-100 mcg 3 kali sehari dinaikkan setiap hari kedua
atau ketiga; dosis maksimum sehari biasanya 1,2 mg.
Injeksi intravena lambat perlahan, 150-300 mcg;

19
maksimum 750 mcg dalam 24 jam.
Pemberian Obat Per oral
Kontraindikasi Kontraindikasi clonidine atau klonidin terutama pada
pasien yang hipersensitif terhadap clonidine, dan pasien
bradiaritmia berat. Selain itu, obat ini tidak dianjurkan
untuk anak <6 tahun.
Efek Samping mulut kering, sedasi, depresi, retensi cairan, bradikardia,
fenomena Raynaud, sakit kepala, pusing, eforia, tidak bisa
tidur, ruam kulit, mual, konstipasi, impotensi (jarang).
Perhatian Menyesuaikan dosis pada penderita gangguan fungsi
ginjal
Gambar

6. Lasix
Komposisi Furosemide 10 mg/ml
Kelas terapi Diuretic
Indikasi Mengatasi penumpukan cairan di dalam tubuh
Mekanisme Kerja sebagai diuretik kuat dengan menghambat cotranspoter
Na+/K+/Cl2- pada membran luminal tubulus dalam
mereabsorpsi elektrolit natrium, kalium, dan klorida.
Dosis 20–50 mg, diberikan secara perlahan. Dosis dapat
ditingkatkan 20 mg setiap 2 jam jika diperlukan. Dosis
maksimal 1.500 mg per hari.
Pemberian Obat Injeksi
Kontraindikasi Kontraindikasi dan peringatan penggunaan furosemide
adalah pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, karena
furosemide dapat menimbulkan nefrotoksisitas.

20
Efek Samping Hiperurisemia, hypokalemia
Gambar

7. Ranitidin
Komposisi Ranitidin
Kelas terapi Antagonis H2
Indikasi eradikasi infeksi H. pylori, tukak lambung dan duodenal,
dispepsia, GERD, esofagitis erosif, kondisi hipersekresi,
stress ulcer, serta profilaksis aspirasi asam lambung
sebelum anestesi umum
Mekanisme Kerja Ranitidin merupakan antagonis kompetitif reversibel
reseptor histamin pada sel parietal mukosa lambung yang
berfungsi untuk mensekresi asam lambung. Ranitidin
mensupresi sekresi asam lambung dengan 2 mekanisme:
Histamin yang diproduksi oleh sel ECL gaster diinhibisi
karena ranitidin menduduki reseptor H2 yang berfungsi
menstimulasi sekresi asam lambung
Substansi lain (gastrin dan asetilkolin) yang menyebabkan
sekresi asam lambung, berkurang efektifitasnya pada sel
parietal jika reseptor H2 diinhibisi.

Dosis Kondisi: Dispepsia


Dewasa: 150 mg 2 kali sehari, selama 6 minggu. Untuk
pengobatan jangka pendek, dosisnya adalah 75 mg yang
dikonsumsi hingga 4 kali sehari, maksimal selama 2
minggu.

Kondisi: Tukak lambung dan ulkus duodenum ringan


Dewasa: 300 mg 1 kali sehari dikonsumsi sebelum tidur

21
atau 150 mg 2 kali sehari, setidaknya selama 4 minggu.
Dosis pemeliharaan 150 mg sekali sehari sebelum tidur.
Anak-anak usia 3–11 tahun: 2–4 mg/kgBB, 2 kali sehari.
Dosis maksimal 300 mg per hari. Pengobatan dilakukan
selama 4–8 minggu.
Pemberian Obat Injeksi
Kontraindikasi Kontraindikasi ranitidin adalah bila terdapat riwayat
porfiria akut dan hipersensitivitas terhadap ranitidin.
Efek Samping konstipasi, diare, dan nyeri perut, serta efek samping
muskuloskeletal berupa atralgia atau mialgia.
Gambar

8. Cetirizine
Komposisi Cetirizine 10 mg
Kelas terapi Antihistamin
Indikasi untuk mengatasi reaksi alergi, misalnya alergi makanan,
rhinitis alergi, atau urtikaria
Mekanisme Kerja Mekanisme kerja obat cetirizine pada konstriksi otot polos
seperti pada kondisi spasme bronkus akibat reaksi alergi,
adalah dengan menginhibisi efek histamin pada otot polos
tersebut. Kerja obat terhadap terjadinya vasokonstriktor
histamin adalah dengan memberikan efek vasodilator
dengan cara mengaktivasi reseptor H1 pada sel-sel
endotelial.
Dosis Dewasa : 10 mg, sekali sehari
Pemberian Obat Injeksi
Kontraindikasi Penggunaan obat cetirizine dikontraindikasikan jika

22
terdapat riwayat alergi terhadap obat ini, atau
komponennya, atau dengan obat yang segolongan, seperti
hydroxyzine
Efek Samping Sedasi
Gambar

9. Alpentin
Komposisi Gabapentin 100 mg, 300 mg
Indikasi terapi tambahan untuk epilepsi parsial dengan atau tanpa
kejang umum yang tidak dapat dikendalikan dengan
antiepilepsi lain, nyeri neuropati.
Mekanisme Kerja Gabapentin dapat dengan bebas melewati sawar darah-
otak dan bekerja pada neurotransmiter. Gabapentin
memiliki gugus sikloheksil dengan struktur
neurotransmitter GABA sebagai struktur kimianya.
Meskipun memiliki struktur yang mirip dengan GABA,
obat ini tidak mengikat reseptor GABA dan tidak
mempengaruhi sintesis atau penyerapan GABA.
Dosis 300 mg pada hari ke-1, kemudian 300 mg 2 kali sehari
pada hari ke-2, 300 mg 3 kali sehari (kira-kira setiap 8
jam) pada hari ke-3, kemudian ditingkatkan sesuai
respons bertahap 300 mg per hari (dalam dosis terbagi 3)
sampai maksimal 1,8 g sehari.
Pemberian Obat Per oral
Kontraindikasi hipersensitivitas, pankreatitis akut, tidak efektif pada
kejang generalisasi primer, galaktosemia (intoleransi
galaktosa) untuk sediaan kapsul gabapentin yang

23
mengandung laktosa
Efek Samping nyeri punggung, nyeri perut, demam, infeksi virus, lelah,
pusing, vasodilatasi, konstipasi, abnormalitas pada gigi,
peningkatan nafsu makan, diare, mulut kering, dispepsia,
mual dan muntah,
Gambar

10. Lactulose sirup


Komposisi tiap 5 ml mengandung lactulose 3,335 mg
Kelas terapi laksatif
Indikasi Untuk mengatasi konstipasi
Mekanisme Kerja meningkatkan tekanan osmotik dalam lumen saluran
pencernaan, sehingga kadar cairan dalam usus meningkat
dan feses menjadi lebih lunak
Dosis Dosis awal 15–45 ml per hari, dapat dibagi menjadi 1–2
jadwal konsumsi. Dosis pemeliharaan adalah 15–30 ml
per hari, dapat dibagi menjadi 1–2 jadwal konsumsi.
Pemberian Obat Per oral
Kontraindikasi galaktosemia, pasien yang harus menjalani diet rendah
galaktosa, obstruksi saluran cerna, dan perforasi saluran
cerna
Efek Samping Laktulosa dapat menimbulkan efek samping pada sistem
gastrointestinal, menimbulkan ketidakseimbangan
elektrolit, dan menyebabkan reaksi alergi.

24
Gambar

11. Cefixime
Komposisi Cefixime 100 mg, 200 mg
Kelas terapi Antibiotik golongan sefalosporin generasi III
Indikasi Indikasi cefixime untuk terapi infeksi saluran kemih tanpa
komplikasi, otitis media, faringitis, tonsillitis, bronkitis
kronik eksaserbasi akut, tifoid, serta gonorrhea tanpa
komplikasi.
Mekanisme Kerja Cefixime berikatan dengan penicillin-binding proteins
(PBP) yang berada dalam dinding sel bakteri,
menghambat langkah akhir sintesis peptidoglikan atau
dinding bakteri. Ketika pembentukan dinding sel
terhambat, aktivitas enzim autolysin dan murein
hydrolase, yang merupakan enzim autolitik dinding sel,
tetap berlanjut sehingga bakteri mengalami lisis
Dosis 200–400 mg, per hari, yang bisa dibagi ke dalam 1–2 kali
pemberian, selama 7–14 hari.
Pemberian Obat Per oral
Kontraindikasi bila terdapat alergi atau riwayat alergi terhadap obat ini
atau antibiotik golongan sefalosporin lainnya, serta pada
bayi berusia di bawah 28 hari yang yang menerima
produk kalsium.
Efek Samping fek samping ringan seperti diare, dispepsia, flatus, dan
nyeri perut

25
Gambar

12. Gliquidone
Komposisi Gliquidone 30 mg
Kelas terapi Sulfonilurea
Indikasi Mengontrol kadar gula darah pada pasien Diabetes
mellitus tipe II
Mekanisme Kerja Gliquidone adalah obat antidiabetik golongan sulfonilurea
generasi kedua. Obat ini diindikasikan untuk pasien
dengan non insulin dependent diabetes (NIDDM) atau
diabetes mellitus tipe 2.
Dosis Dosis awal 15 mg, dosis harian hingga 45 – 60 mg setiap
hari. Maksimal 180 mg perhari
Pemberian Obat Per oral
Kontraindikasi Kontraindikasi gliquidone dilakukan pada berbagai
keadaan, termasuk pasien dengan riwayat hipersensitivitas
dan pasien hamil.
Efek Samping Hipoglikemia
Gambar

26
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Penyelesaian dengan metode SOAP :


1. Identitas pasien

Nama Ny. S
No. MR 4286xx
Umur 48 th
Jenis Kelamin Perempuan
Ruangan Bangsal Interne

27
Agama Islam
Diagnosa CKD Stage V + DM Tipe II + HT
Mulai perawatan 14 Juli 2022
Dokter dr. V, Sp.PD

Keluhan Utama :
- Pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas yang memberat
sejak tadi malam, sesak sejak 2 bulan yang lalu
- Pasien mengalami badan letih disertai mual
- Pasien mengeluh bengkak pada kedua tungkai
Riwayat Penyakit Sekarang
- sesak dirasakan memberat ketika terlentang
- kedua tungkai bengkak
- mual (+)
- BAK sedikit
- Nyeri ulu hati (+)
- Letih & lesu (+)
- Timbul benjolan di punggung dan dada
- Gatal diseluruh tubuh
Riwayat Penyakit Terdahulu
- Diabetes melitus
- Hipertensi
- Anemia (+)
- Riwayat penyakit jantung
Riwayat Penyakit Keluarga
- Diabetes melitus
- Riwayat penyakit jantung
Riwayat Alergi
- Tidak ada

2. Data penunjang
A. Data Pemeriksaan Fisik

28
Data Klinik Normal 14/07 15/07 18/07 19/07

Suhu (°C) 36.5-37.5 36,8 36 36,5 36,5


Nadi (x/menit) 80 – 100 98 82 81 83
Nafas (x/menit) 15-20 24 22 23 25
Tekanan darah 120/80mmHg 187/98 127/68 123/87 127/80

B. Data Laboratorium
1. Hematologi (Mosby’s Diagnostic Twelfth Edition, 2015)
Tanggal
Nilai Normal
Pemeriksaan 16/07/22
Hemoglobin 10,4
L = 13.0 – 16.0
(g/dL)
Eritrosit 3,51
L = 4.5 – 5.5
(106/μL)
Hematokrit 31,4
L = 42.0 = 52.0
(%)
MCV (fL) 79 – 99 89,5

MCH (pg) 27 – 31 29,6


MCHC 33,1
33 – 37
(g/dL)
Leukosit 6,3
5.0 – 10.0
(103/μL)
Basofil (%) 0 – 0.2 0,6

Eosinofil (%) 1–3 1,9

Monosit (%) 2–8 4,0

2. Elektrolit Serum
Pemeriksaan Nilai Normal 14/07/22
Natrium (Na) (mEq/L) 135-145 135,9
Kalium (K) (mEq/L) 3.5-5.5 4,94
Klorida (Cl) (mEq/L) 98-108 109,6
Kalsium (Cl) (mg/dL) 8,8 – 10,4 -

29
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Nilai Normal 15/07/22
ALT / SGOT (U/L) 0-41 62
AST / SGOT (U/L) 0-40 15
Albumin (g/dL) 3.5-5.2 2,8
Cholesterol Total(mg/dL) 0-200 175
Glucose (mg/dL) 74-109 192
HDL chol (mg/dL) 35-65 42
Triglycerides (mg/dL) 0-200 141
LDL chol (mg/dL) 0-130 105

Pemeriksaan Nilai Normal 14/07/22


Creatinine (mg/dL) 0.51- 1.17 11,56
Glukosa (mg/dL) 74- 106 177
Urea (mg/dL) 16.6- 48.5 213,3

3.2.Follow up pasien
Hari
rawata Tanggal Keterangan
n
1 14 – 07 - 2022 S : - pasien datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas yang
memberat sejak tadi malam
- Pasien mengalami badan letih disertai mual
- Pasien mengeluh bengkak pada kedua tungkai
O : suhu tubuh 36,8°C, nadi 82x/menit, laju pernapasan
24x/menit, tekanan darah 187/98mmHg
Terapi yang diterima :
Jam 09:30
- IVFD RL
- Cek labor darah
- Rapid Ag
- Inj Lasix 40 mg

30
- Inj Ranitidin 1 amp
Jam 11:15
- Inj Furosemid 3x2 amp
- As folat 3x1
- Bicnat 3x1
- Candesartan 1x16 mg
- Amlodipin 1x10 mg
- Clodinin 2x0,15 mg
- Inj Ranitidin 2x1
A : pola nafas tidak efektif, nausea
P : monitoring TTV
2 15– 07 - 2022 S : sesak berkurang, bengkak, mual (-), nyeri ulu hati
berkurang, letih dan lesu berkurang, gatal diseluruh tubuh (+).
O : suhu tubuh 36°C, nadi 82x/menit, laju pernapasan 22x/menit,
tekanan darah 127/66mmHg.
Kreatinin : 11,56 mg/dL, glukosa: 177 mg/dL, urea: 213,3 mg/dL
Kalium : 4,94 mg/dL, natrium 135,9 mg/dL, khlorida : 109,6
mg/dL
Terapi yang diterima :
- Inj Furosemid 3x2 amp
- As folat 3x1
- Bicnat 3x1
- Candesartan 1x16 mg
- Amlodipin 1x10 mg
- Clodinin 2x0,15 mg
- Inj Ranitidin 2x1
A : Semua terapi yang didapat sudah sesuai dengan diagnosa
dan keluhan pasien
P : monitoring Efek terapi dan ESO
3 18 – 07 – 2022 S : sesak (-), pasien dengan CKD on HD
O : GD : 192, UR: 123, Cr: 8,07

31
Terapi yang diterima :
- IVFD renxamin : RL 10 tts/mnt
- Inj Furosemid 3x2 amp
- As folat 3x1
- Bicnat 3x1
- Candesartan 1x16 mg
- Amlodipin 1x10 mg
- Clodinin 2x0,15 mg
- Inj Ranitidin 2x1
A : Semua terapi yang didapat sudah sesuai dengan diagnosa
dan keluhan pasien
P : monitoring Efek terapi dan ESO
4 19– 07 – 2022 S :-
O : suhu tubuh 36,5°C, nadi 83x/menit, laju pernapasan
25x/menit, tekanan darah 127/80mmHg
Terapi yang diterima :
- IVFD renxamin : RL 10 tts/mnt
- Inj Furosemid 3x2 amp
- As folat 3x1
- Bicnat 3x1
- Candesartan 1x16 mg
- Amlodipin 1x10 mg
- Clodinin 2 x 0,15 mg
- Inj Ranitidin 2x1
A : Semua terapi yang didapat sudah sesuai dengan diagnosa
dan keluhan pasien
P : monitoring efek terapi dan ESO
5 20-07-2022 S :-
O : pasien mengalami susah buang air besar
Terapi yang diterima :
- IVFD renxamin : RL 10 tts/mnt
- Inj Furosemid 3x2 amp
- As folat 3x1

32
- Bicnat 3x1
- Candesartan 1x16 mg
- Amlodipin 1x10 mg
- Clodinin 2 x 0,15 mg
- Inj Ranitidin 2x1
- Lactulose sirup 2 x 15 ml
- Cefixime 2 x 1
- Gliquidone 1 x 1
A : Semua terapi yang didapat sudah sesuai dengan diagnosa
dan keluhan pasien
P : monitoring efek terapi dan ESO

3.1. Assesment

 Pemberian Cetirizine dan Gabapentin dapat meningkatkan efek samping

seperti pusing, kantuk dan kesulitan berkonsentrasi (moderate)

Lembar DRPs

Pasien : Ny. S Diagonosa : CKD STAGE V + DM TYPE Dokter Penanggung Jawab:


II + HT dr. V, Sp.PD

Ruangan : INTERNE Apoteker : apt. N, S.Farm


N
Drug Therapy Problem
o Check
Penjelasan
Terapi obat yang tidak List
1
diperlukan

33
Terdapat terapi tanpa indikasi
Obat telah diberikan sesuai dengan indikasi
medis Tidak
Pasien mendapatkan terapi Tidak ada pasien mendapatkan terapi tambahan
Tidak
tambahan yang tidak di perlukan yang tidak diperlukan
Pasien masih memungkinkan Pasien harus menjalani terapi farmakologi untuk
Tidak
menjalani terapi non farmakologi membantu penyembuhan.
Terdapat duplikasi terapi Ya Pasien tidak mendapat terapi yang duplikasi
Pasien tidak mendapat penanganan
Pasien mendapatkan terapi untuk mengatasi efek
terhadap efek samping yang Tidak
samping
seharusnya dapat dicegah
2 Kesalahan obat
Bentuk sediaan yang diberikan tepat yaitu dalam
Bentuk sediaan tidak tepat Tidak bentuk injeksi dan oral karena
mempertimbangkan kondisi pasien
Terdapat kontra indikasi Tidak Tidak terdapat kontraindikasi
Kondisi pasien tidak dapat Kondisi pasien dapat diatasi dengan obat untuk
Tidak
disembuhkan oleh obat mengurangi keluhan pasien

Obat tidak diindikasikan untuk Tidak ada obat yang tidak diindikasikan untuk
Tidak
kondisi pasien pasien

Terdapat obat lain yang lebih


Tidak Pengobatan yang diberikan sudah efektif
efektif
3 Dosis tidak tepat
Dosis terlalu rendah Tidak Dosis yang diberikan sudah tepat

Frekuensi penggunaan tidak tepat Tidak Frekuensi yang diberikan sudah tepat

Durasi penggunaan tidak tepat Tidak Durasi penggunaan sudah tepat

4 Reaksi yang tidak diinginkan


Obat aman untuk pasien dan memberikan efek
Obat tidak aman untuk pasien Tidak
yang sesuai dengan yang diharapkan

34
Pasien tidak menunjukkan reaksi alergi dari
Terjadi reaksi alergi Tidak
penggunaan obat

 Pemberian Cetirizine dan Gabapentin

dapat meningkatkan efek samping seperti


Terjadi interaksi obat Ya
pusing, kantuk dan kesulitan

berkonsentrasi (moderate)

Dosis obat dinaikkan atau Tidak ada dosis obat yang dinaikkan atau
Tidak
diturunkan terlalu cepat diturunkan terlalu cepat.
Muncul efek yang tidak
Tidak tidak muncul efek yang tidak di inginkan
diinginkan
5 Ketidak sesuaian kepatuhan pasien
Tidak ada masalah untuk penyediaan obat pasien,
Obat tidak tersedia Tidak semua obat yang dibutuhkan pasien telah tersedia
di apotek rumah sakit
Pasien tidak mampu menyediakan
Ya Pasien tidak mampu menyediakan obat
obat
Pasien tidak mengerti intruksi
F Tidak Pasien mengerti instruksi penggunaan obat
penggunaan obat
Pasein tidak patuh atau memilih
Tidak Pasien patuh dalam penggunaan obat
untuk tidak menggunakan obat
6 Pasien membutuhkan terapi tambahan
Terdapat kondisi yang tidak Pasien telah mendapatkan terapi sesuai dengan
Tidak
diterapi kondisinya.
Pasien membutuhkan obat lain Tidak Pasien telah mendapatkan obat yang bekerja
yang Sinergis sinergis.
Pasien membutuhkan terapi Tidak Pasien sudah mendapatkan terapi yang tepat
profilaksis

3.2. Plan

35
1. Terapi Non Farmakologi

 Lakukan pemantauan tekanan darah setiap harinya


 Edukasi pasien terkait pengobatan yang diterima
 Edukasi pasien terkait permasalahan pada ginjal pasien

2. Terapi Farmakologi

Nama Tanggal Pemberian Obat


Ru
Obat te 14 15 16 17 18 19 20

Renxamin : RL
IV      stop

Lasix Inj 3 x 2
IV      stop

Asam folat 3 x 1
PO       

Bicnat 3 x 1
PO       

Ranitidin Inj 2 x 1
IV      Stop

Candesartan 16

PO       
mg 1 x 1 malam

Amlodipin 10 mg

PO       
1 x 1 malam

Clonidin 2 x 1
PO       

36
Alpentin 1 x 100

PO  
mg

Cetirizine 2 x 1
PO  

Lactulac sirup 2 x

PO 
15 ml

Gliquidone 1 x 30

PO 
mg

Cefixime 2 x 1
PO 

3. Perhitungan Dosis

NO Nama Obat Dosis Literatur Dosis yang Komentar


diberikan
1. Renxaxmin : 0,8 – 1,2 -
IVFD
g/kgBB/hari
Renxamin : RL 12 jam/kolf
RL : 20- 30 ml/kgBB
per jam
2 20–50 mg, diberikan 3x2 Dosis yang diberikan
Inj. Lasix
secara perlahan. Dosis sesuai dengan
dapat ditingkatkan 20 literature

37
mg setiap 2 jam jika
diperlukan. Dosis
maksimal 1.500 mg
per hari.
3 5 mg diminum setiap Dosis yang diberikan
Asam folat
hari selama 4 bulan, sesuai dengan
dosis dilanjutkan literature
3x1
menjadi 15 mg.
Dosis pemeliharaan :
5 mg setiap 1-7 hari
4 1 – 4 kali sehari tablet Dosis yang diberikan
Bicnat
500 mg 3x1 sesuai dengan
literature

5 1 mg/kgBB (max 50 Dosis yang diberikan


Inj. Ranitidin
mg) 6 – 8 jam per hari 3x1 sesuai dengan litertur

6 1 x 8 mg perhari Dosis yang diberikan


Candesartan 16
(gangguan fungsi hati
sesuai dengan litertur
mg 1 x 2 mg/hari), dosis
maksimal 32 mg/hari. 1x1
(gangguan fungsi
ginjal 1 x 4 mg/hari)
(basic pharmacology
and drug notes 2019)
7 Dosis awal : 5 mg/hari Dosis yang diberikan
Amlodipin 10
Dosis maksimal : 10
1x1 sesuai dengan litertur
mg mg/ hari

(PIO Nas,2015)
8 1 – 5 mcg/kgBB Dosis yang diberikan
Clonidin
secara IV, 1 – 6
1x1 sesuai dengan litertur
mcg/kgBB (dewasa 50
– 300 mcg) 8 – 12 jam
per hari oral
9 Dosis yang diberikan
Alpentin 10 mg/kgBB (dewasa sesuai dengan litertur
1 x 100 mg
(Gabapentin) 300 mg) per hari

38
10 Dosis yang diberikan
Cetirizine 5 – 10 mg per hari 2x1 sesuai dengan litertur
11 30 – 40 ml, 3 – 4 kali Dosis yang diberikan
sehari, sesuaikan dosis sesuai dengan litertur
hingga mudah buang
Lactulose 2 x 15 ml
air besar, setidaknya
sebanyak 2-3 kali
sehari
12 0,25 – 1 mg/kgBB Dosis yang diberikan
Gliquidone (dewasa 15-60 mg) 8 – 1x1 sesuai dengan litertur
12 jam oral
13 5 mg/KgBB (dewasa :
Dosis yang diberikan
Cefixime 200 mg) 12-24 jam 2x 1
sesuai dengan litertur
oral

BAB IV
PEMBAHASAN

Chronic kidney diseases adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih
dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti
proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik
ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/ menit/1,73m².
Pasien juga memiliki riwayat diabetes sejak 10 tahun dan riwayat
hipertensi sejak 12 tahun. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko utama
terjadinya penyakit ginjal kronik pada pasien. Penelitian mencatat bahwa 35%

39
hingga 65% dari penderita hipertensi esensial berkembang menjadi proteinuria,
dengan satu pertiganya berkembang menjadi insufisiensi ginjal dan 6 hingga 10%
meninggal akibat uremia. Diabetic Kidney Disease (DKD) akan terjadi pada 30-
40% penderita diabetes, dan sepertiga dari penderita tersebut akan berkembang
menjadi gagal ginjal.
Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya penyakit ginjal.
Sebaliknya, CKD merupakan penyebab tersering terjadinya hipertensi sekunder.
Prevalensi CKD dikarakteristikan lebih baik sejak National Kidney Foundation
mengeluarkan klasifikasi standar berdasarkan tingkat Glomerular Filtration Rate
(GFR) dan ada atau tidaknya bukti renal injury. Pasien dengan stage 1 dan 2
memerlukan bukti adanya kerusakan ginjal (e.g., proteinuria), dan GFR masing-
masing ≥ 90 dan 60–89 mL/menit. Stage 3, 4, dan 5 dengan GFR masing-masing
30–59, 15–29, dan <15 mL/menit tanpa memerhatikan adanya bukti kerusakan
ginjal.
Seorang pasien atas nama Ny. Susanti, usia 45 thn, datang kerumah sakit
pada tanggal 14 Juli 2022 mengeluhkan sesak dirasakan memberat ketika
terlentang,kedua tungkai membengkak, mual, BAK sedikit, nyeri ulu hati, letih
dan lesu, timbul benjolan dipinggang dan dada, gatal diseluruh tubuh. Dengan
riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus, riwayat penyakit jantung, Anemia.
Pemeriksaan fisik pasien didapatkan hasil suhu 37oC, RR 20x/menit, nadi
98x/menit dan tekanan darah 180/90 mmHg.
Pada tanggal 14 Juli 2022 pasien diberikan inful RL yang diberikan untuk
menggantikan cairan tubuh dan elektrolit yang hilang. Pasien diberikan terapi
ranitidin Injeksi 3x1 , obat ini diberikan untuk mencegah strees ulcer. Pasien
diberikan furosemid Injeksi 3x2 digunakan sebagai antihipertensi pasien.
Diberikan asam folat 3x1 tablet, Asam folat diberikan kepada pasien karena
berperan dalam pemeliharaan eritropoiesis, yang dapat membantu proses
eritropoiesis sel darah merah karena efek terapeutik dari asam folat yaitu sebagai
pemulihan dan pemeliharaan hematopoiesis normal. Ginjal yang sehat biasanya
akan memproduksi eritropoetin, yang menstimulasi sumsum tulang untuk
memproduksi sel-sel darah merah yang dibutuhkan untuk membawa oksigen ke
organ-organ vital. Ginjal yang tidak normal biasanya tidak bisa memproduksi

40
eritropoetin dalam jumlah yang cukup. Akibatnya sumsum tulang hanya
memproduksi sedikit sel darah merah. Sehingga dengan penggunaan asam folat
yang dapat membantu pemulihan hematopoiesis maka dapat membantu
meningkatkan kadar hemoglobin (Alvionita dkk, 2016). Pasien mendapat terapi
natrium bikarbonat tablet 3x1,  natrium bikarbonat bermanfaat mengurangi
progresifitas penyakit ginjal kronis dan mengurangi kebutuhan dialisis. Selanjutnya
diberikan Amlodipin 1x1 yang diminum pada pagi hari, obat ini golongan
Calcium Channel Blocker yang digunakan untuk terapi antihipertensi. Mekanisme
kerja CCB adalah memblokade kanal kalsium pada membran sehingga
menghambat kalsium masuk ke dalam sel.
Pasien selanjutnya diberikan candesartan 16mg 1x1 yang diminum pada
malam hari, obat ini golongan angiostensin reseptor bloker yang digunakan untuk
terapi antihipertensi. Mekanisme kerja ARB adalah memblokade reseptor AT1
sehingga menyebabkan vasodilatasi, peningkatan eksresi Na dan cairan
(mengurangi volume plasma), menurunkan hipertrofi vascular. Pasien juga
diberikan ranitidin injeksi agar lebih cepat memberikan efek secara sistemik untuk
mengatasi nyeri perut yang dirasakan pasien.
Pasien mendapat terapi clonidine 0,15 mg 2x1 sebagai antihipertensi yang
termasuk kedalam golongan anti adrenergik kerja sentral, bekerja menurunkan
aktivitas saraf simpatis. Obat golongan ini merupakan pilihan utama bagi pasien
hipertensi yang memiliki aktivitas saraf simpatis yang tinggi seperti takikardi,
gelisah, hiperhidrosis.
Pada tanggal 19 juli 2022, pasien mengatakan bahwa pada area tangan
terasa gatal, sehingga diberikan cetirizine dengan dosis 10 mg, dan diminum
sehari sekali. Obat golongan ini merupakan golongan antihistamin yang memiliki
efek sedasi yang cukup tinggi, sehingga di sarankan, apabila pasien rawat jalan,
obat diminum pada saat tidak melakukan aktivitas diluar ruangan. Pasien juga
mendapatkan tambahan obat yaitu alpentin yang mengandung gabapentin yang
memiliki indikasi sebagai obat anti gatal. Pasien diberikan cefixime oral 2 x 1,
cefixime merupakan golongan sefalosporin generasi III yang bekerja dimana
Cefixime berikatan dengan penicillin-binding proteins (PBP) yang berada dalam
dinding sel bakteri, menghambat langkah akhir sintesis peptidoglikan atau dinding

41
bakteri. Ketika pembentukan dinding sel terhambat, aktivitas enzim autolysin dan
murein hydrolase, yang merupakan enzim autolitik dinding sel, tetap berlanjut
sehingga bakteri mengalami lisis, cefixime diberikan selama 5 hari dan harus
dihabiskan oleh pasien.
Pada tanggal 20 juli 2022. Pasien mengatakan bahwa sudah beberapa hari
tidak mengalami buang air besar, sehingga diberikan lactulose sirup dengan dosis
2 x 15 ml, tiap 5 ml mengandung lactulose sebanyak 3,335 mg dan diminum 2
kali sehari sesudah makan. Pasien juga diberikan obat antidiabetes golongan
sulfonylurea yaitu gliquidone dengan dosis 30 mg dan diminum setengah jam
sebelum makan, dan pemakaian sehari sekali pada pagi hari. Obat gliquidone
memiliki efek samping yaitu hipoglikemia, sehingga diberikan informasi terkait
obat tersebut apabila pasien mengalami kelelahan akibat mengkonsumsi obat ini
maka dapat diberikan air gula.
Pasien juga di perbolehkan untuk pulang dan diberikan 10 macam obat,
yaitu :
1. Lactulose sirup 2 x 15 ml
2. Cefixime 2 x 1
3. Bicnat 3 x 1
4. As. Folat 3 x 1
5. Candesartan 1 x 16 mg
6. Amlodipine 1 x 1
7. Gliquidone 1 x 30 mg setengah jam sebelum makan
8. Klonidin 2 x 1
9. Cetirizine 1 x 1
10. Alpentin 2 x 1
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara Istirahat yang cukup
dan meminimalisir stress, Mengurangi penggunaan Obat-obatan yang memiliki efek
samping serius berupa perdarahan pada saluran cerna, menghindari makanan dan
minuman yang memperparah gejala tukak dan merangsang sekresi asam seperti makanan
pedas, asam, mengandung alkohol, kafein.
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan
tekanan darah, dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan
risiko permasalahan kardiovaskular.

42
Beberapa pola hidup sehat yang dianjurkan oleh banyak guidelines adalah :
 Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan
memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan
manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari
diabetes dan dislipidemia.
 Mengurangi asupan garam. Dianjurkan untuk asupan garam tidak melebihi
2 gr/ hari
 Olahraga. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/
hari, minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

4. 1 . Kesimpulan
Kesimpulan dari kasus ini adalah:
1. Pasien di diagnosis CKD, Hipertensi, Diabetes Melitus tipe 2
2. Pasien mendapatkan beberapa obat yaitu oral dan injeksi
 Clonidine sebagai antihipertensi
 Amlodipine sebagai antihipertensi
 Candesartan sebagai antihipertensi
 Cetirizine sebagai anti alergi

43
 Alpentin sebagai anti alergi
 Gliquidone sebagai antidiabetes oral
 Lactulose sirup sebagai obat konstipasi
 Asam folat sebagai vitamin
 Bicnac sebagai untuk mengurangi natrium dan karbonat
dalam tubuh
 Lasix sebagai mengatasi penumpukan cairan dalam tubuh
 Ranitidine sebagai pengobatan pada lambung
4. 2 . Saran
Dilakukan pemantauan atau monitoring terhadap efek samping obat yang
diberikan kepada pasien dan dilakukan pemantauan terhadap pemakaian obat yang
dapat menganggu fungso ginjal

DAFTAR PUSTAKA

Bararah, T., Mohammad Jauhar. 2013. Asuhan Keperawatan; panduan Lengkap


menjadi Perawat Profesional. Jilid 2. Jakarta : Prestasi Pustaka.
CDK. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Acute Kidney Injury (AKI) pada Syok
Septik. Jurnal. NTT : Indonesia
DiPiro J.T., Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells,
L. Michael Posey. 2017. Pharmacotherapy Handbook, Tenth Edit.
McGraw-Hill Education Companie. Inggris.
Djojoningrat D. 2009. Dispepsia fungsional. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5

44
ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Djumhana, Ali. Bagian Ilmu Penyakit Dalam – RS Dr Hasan Sadikin. Bandung:
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Hadi, Sujono. 2013. Gastroenterologi. Bandung : PT. Alumni.
Junaidi, I. (2011). Stroke Waspadai Ancamannya.Yogyakarta:Penerbit
Andi.Halaman 13-75.
Kemenkes RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI
Muttaqin dan Sari. 2011. Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem
Perkemihan.Salemba Medika,Jakarta
PAPDI. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman tatalaksana
sindrom koro ner akut. Pedoman Tatalaksan Sindr Koroner Akut.
2015;88.
Rani, A. A., Jacobus, A., 2011. Buku Ajar Gastroenterologi, In: Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 1st ed. Jakarta Pusat: Interna Publishing. 55-65
Ristianingsih, R. 2017. Analisis Asuhan Keperawatan Dengan Pemenuhan
Kebutuhan Dasar Nutrisi: Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang Dari
Kebutuhan Tubuh Pada Kasus Dispepsia Di Ruang Mawar Rsud Prof
Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Universitas Muhammaddiyah
Gombong. Jawa Tengah
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2013.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Edisi 12. Jakarta : EGC.
Sudoyo, A. W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V, Jilid
III.Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.
Sudoyo, Setiyohadi, et. al. , (2007), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Cetakan Ke-
2, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

45

Anda mungkin juga menyukai