Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 51 TAHUN DENGAN CKD ON HD


DISERTAI DM TIPE 2, HIPERTENSI, DAN ANEMIA

Disusun Oleh

BEATRICE

216100802030

Pembimbing :
dr. Darryl Virgiawan Tanod ,Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD dr. DORIS SYLVANUS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2023
LEMBAR PENGESAHAN

Beatrice
216100802030

LAPORAN KASUS

SEORANG LAKI-LAKI 51 TAHUN DENGAN CKD ON HD


DISERTAI DM TIPE 2, HIPERTENSI DAN ANEMIA

Diajukan sebagai salah satu syarat


mengikuti Ujian Akhir di SMF Ilmu
Penyakit dalam Laporan Kasus ini
disahkan tanggal :
Januari 2023
Oleh : Pembimbing

dr. Darryl Virgiawan Tanod, Sp.PD

i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Beatrice, S.Ked


NIM 216100802030
Program Studi : Profesi Dokter
Fakultas : Fakultas Kedokteran Universitas Palangka Raya

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Laporan Kasus ini benar-benar merupakan


hasil karya sendiri, bukan penipuan dari hasil karya orang lain. Kutipan pendapat dan
tulisan orang lain ditunjuk sesuai dengan cara-cara penulisan yang berlaku, apabila
dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam Laporan Kasus ini terdapat
unsur plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lain yang melanggar aturan maka saya bersedia
menerima sanksi atas perbuatan saya.

Palangka Raya, Januari 2023

Beatrice

ii
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang
berjudul “SEORANG LAKI-LAKI DENGAN CKD ON HD DISERTAI DM
TIPE 2, HIPERTENSI DAN ANEMIA”. Laporan Kasus ini disusun untuk memenuhi
salahsatu tugas dalam kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu Penyakit Dalam tahun 2023 di
RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Darryl
Virgiawan Tanod, Sp.PD sebagai pembimbing yang telah membantu penulis dalam
penyelesaian penyusunan Laporan Kasus ini. Laporan Kasus ini disusun dengan
kemampuan penulis yang terbatas sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk perbaikan Laporan Kasus ini dan semoga bermanfaat bagi
semua pihak.

Palangka Raya, Januari 2023

Beatrice

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 6
2.1 Definisi ...................................................................................................... 6
2.2 Klasifikasi .................................................................................................. 6
2.3 Epidemiologi .............................................................................................. 8
2.4 Faktor Risiko .............................................................................................. 9
2.5 Patofisiologi ............................................................................................. 12
2.6 Manifestasi Klinis .................................................................................... 13
2.7 Diagnosis ................................................................................................. 14
2.8 Penatalaksanaan ....................................................................................... 16
2.9 Prognosis ................................................................................................. 25
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................. 34
I. Identitas Pasien .......................................................................................... 34
II. Anamnesis ................................................................................................ 34
III. Pemeriksaan Fisik .................................................................................... 36
IV. Pemeriksaan Penunjang ........................................................................... 38
V. Diagnosis .................................................................................................. 43
VI. Penatalaksanaan....................................................................................... 44
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................. 46
BAB V SIMPULAN .......................................................................................... 49
Daftar Pustaka

3
BAB I
PENDAHULUAN

Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan suatu keadaan menurunnya fungsi


1
ginjal yang telah berlangsung lama (kronis) yaitu lebih dari 3 bulan. Menurut The
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) of the National Kidney
Foundation (NKF) definisi dari CKD adalah kerusakan ginjal secara struktural atau
fungsional yang berlangsung dalam waktu lebih dari 3 bulan, atau penurunan Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG) kurang dari 60 mL/min/1.73 m2 dalam waktu 3 bulan atau
lebih dengan atau tanpa kerusakan struktur ginjal.2
Angka kejadian kasus dialisis terus meningkat setiap tahun menunjukkan
CKD telah menjadi masalah kesehatan yang perlu diperhatikan. Peningkatan yang
progresif di Amerika Serikat adalah meningkatnya penderita CKD yang
membutuhkan terapi pengganti ginjal dalam dua dekade terakhir.1 Jumlah penderita
CKD di Indonesia sendiri pun makin meningkat. Pada tahun 2014 mencatat penderita
baru CKD sebanyak 17.193 dan khususnya untuk daerah Bali sebanyak 1.258
pasien.3
CKD dapat terjadi dipengaruhi oleh berbagai etiologi yang mendasari seperti
Diabetes, hipertensi, obstruksi, glomerulonefritis yang mengakibatkan kerusakan
ginjal yang ireversibel dan hilangnya nefron sehingga mengarah ke penurunan
progresifitas LFG.
Diagnosis dini CKD perlu dilakukan berkaitan dengan prognosis yang jauh
lebih baik pada pasien CKD dan intervensi dapat segera dilakukan untuk
memperlambat penurunan fungsi pada ginjal. Edukasi terhadap pasien dan
keluarganya tentang penyakit dan komplikasi yang memungkinkan akan sangat
membantu memperbaiki hasil pengobatan sehingga meskipun CKD merupakan
penyakit yang ireversibel, akan tetapi dengan penangan yang baik akan dapat
mengurangi gejala yang muncul dan memperbaiki kualitas hidup penderitanya. 1
Deteksi CKD pada pasien dengan risiko tinggi sangat penting karena CKD stadium 1-
3 umumnya asimtomatis sehingga dapat memberikan intervensi sebelum penderita
mengalami gagal ginjal terjadi komplikasi akibat CKD.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah
suatu proses patofisiologis yang didasari oleh etiologi yang beragam, yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal secara progresif, dan pada umumnya berakhir
dengan gagal ginjal. Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang ireversibel yang mencapai pada derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal tetap, yaitu dapat berupa dialisis atau
transplantasi ginjal.1 Kerusakan ginjal mengacu pada berbagai macam kelainan yang
ditemukan selama pemeriksaan, yang bisa saja bersifat non-spesifik terhadap
penyakit penyebabnya tetapi dapat mengarah pada penurunan fungsi ginjal. Fungsi
ekskresi, endokrin, dan metabolik menurun secara bersamaan pada hampir semua
kasus CKD. Kriteria CKD menurut KDIGO 2012 adalah kerusakan ginjal ≥ 3 bulan,
baik berupa kelainan struktural atau fungional yang dapat dideteksi melalui
pemeriksaan laboratorium (proteinuria; Albumin-Creatinine-Ratio > 30 mg/g; total
protein-creatinine-ratio > 200 mg/g), abnormalitas sedimen urin, gangguan elektrolit
atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan
histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan radiologi, atau
riwayat transplantasi ginjal serta penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG < 60
ml/menit/1,73 m2) dalam waktu lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa kelainan
struktural ginjal.2

2.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi CKD didasarkan atas dua hal yaitu berdasarkan derajat
penyakit dan berdasarkan etiologi. Klasifikasi berdasarkan derajat penyakit
didasarkan pada LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockroft-
Gault sebagai berikut:

5
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x berat badan (kg)
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
Pada perempuan, rumus tersebut dikalikan 0,85. Rumus
Kockroft-Gault tidak berlaku pada umur di bawah 18 tahun atau di
atas 80 tahun, berat badan di bawah 40 kg atau di atas 100 kg, wanita hamil,
pasien penderita Acute Kidney Injury (AKI), kerusakan otot yang luas (crush
syndrome, tetraparesis), atau ada anggota tubuh yang tidak lengkap
(amputasi).1
Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dapat dilihat di tabel berikut:2
Tabel 1. Klasfikasi derajat CKD berdasarkan LFG
Stadium Deskripsi LFG (ml/menit/1,73 m2)
I Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ≥90
meningkat
II Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan 60 – 89
III Penurunan LFG sedang 30 – 59
IV Penurunan LFG berat 15 – 29
V Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Sedangkan klasifikasi atas dasar diagnosis etiologi dilihat di tabel berikut:2


Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan etiologi
Penyakit Tipe mayor
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes Penyakit glomerular
(penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat,
neoplasia)
Penyakit vaskular
(renal artery disease, hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstitial
(pielonefritis kronis, batu, obstruksi, keracunan
obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin /takrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant gromerulopathy

6
Berdasarkan etiologinya, CKD juga dapat diklasifikasikan atas dasar ada atau
tidaknya penyakit sistemik yang mendasarinya dan lokasi dari kelainan anatomis atau
patologis dari ginjal. Klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.2
Tabel 3. Penyakit sistemik dan kelainan ginjal
Contoh Penyakit Sistemik Contoh Penyakit Ginjal
yang Mempengaruhi Primer (tidak disertai
Ginjal penyakit sistemik yang
mempengaruhi ginjal)
Penyakit glomerular Diabetes, penyakit autoimun Glomerulonefritis
sistemik, infeksi sistemik, diffuse, focal, crescentic
obat, neoplasia (termasuk proliferative,
amyloidosis) gromerulonekrosis focal
dan segmental, mefropati
membrane, minimal
change disease
Penyakit Infeksi sistemik, autoimun, Infeksi saluran kemih,
tubulointerstitial sarcoidosis, obat, urat, toksin batu, obstruksi
lingkungan, neoplasia
(myeloma)
Penyakit pembuluh Aterosklerosis, hipertensi, Associated renal limited
darah iskemia, emboli kolesterol, vasculitis, fibromuscular
vaskulitis sistemik, dysplasia
mikroangiopati trombotik,
sklerosis sistemik
Penyakit kistik dan Penyakit polikistik ginjal, Displasia renal, penyakit
congenital Alport syndrome, Fabry kistik medulla,
disease podositopati

2.1.2 Epidemiologi
Chronic Kidney Disease merupakan penyakit yang sering dijumpai
pada praktek klinik sehari-hari. Prevalensinya di negara maju mencapai 10-
13% dari populasi. Di Australia pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 1.7
juta pasien yang menderita Chronic Kidney Disease, atau 1 dari 10 orang di
Australi mengalami Chronic Kidney Disease.4 Di negara-negara berkembang
lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus per juta penduduk per
tahun.1

7
Di Indonesia, populasi yang terdiagnosis CKD sebesar 0,2% yang
lebih rendah dari prevalensi CKD di negara-negara lain. Menurut Riskesdes
2013 prevalensi meningkat seiring bertambahnya umur, pada kelompok umur
35-44 tahun dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Sebuah studi yang
dilakukan Perhimpunan Nefrologi Indonesia melaporkan sebayak 12,5%
populasi di Indonesia mengalami penurunan fungsi ginjal.4

2.1.3 Faktor Risiko


Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2000 mencatat
penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada
tabel 4. Walaupun menurut data Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2018,
hipertensi dan diabetes muncul sebagai penyebab tertinggi. Dikelompokkan
pada sebab lain diantaranya nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat,
penyakit ginjal bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.3

Tabel 4 Penyebab Gagal Ginjal yang Menjalani Hemodialisis di Indonesia


Tahun 2018
Penyebab Insiden Tahun 2018
Glomerulonefritis 5447
Diabetes mellitus 14998
Obstruksi 1800
Hipertensi 19427
Sebab lain 6224

8
2.1.4.1 Diabetes Mellitus

Diabetes dapat merusak ginjal dengan memberikan gangguan pada


aliran darah yang melewati ginjal. Sistem filtrasi pada ginjal dipenuhi oleh
pembuluh darah yang sangat kecil. Seiring waktu, tingginya kadar gula dalam
darah dapat menyebabkan pembuluh darah tersebut menjadi sempit dan
terhambat. Tanpa darah yang cukup, kerusakan dapat terjadi pada ginjal dan
albumin dapat melewati sistem filtrasi tersebut dan akan didapatkan pada urin,
dimana hal tersebut tidak seharusnya terjadi.6
Diabetes diikuti oleh komplikasi akut dan kronis. Komplikasi akut
antara lain ketoasidosis diabetik, status hiperglikemia hiperosmolar, dan
hipoglikemia. Komplikasi kronis yang menahun dapat dibagi menjadi
makroangiopati, mikroangiopati dan neuropati. Komplikasi makroangiopati
meliputi kelainan kardiovaskuler, kelainan serebrovaskuler, dan kelainan
pembuluh darah tepi. Komplikasi mikroangiopati meliputi retinopati dan
nefropati.
Perjalanan penyakit pada DKD dapat dilihat dari histopatologi, GFR,
albuminuria, dan tekanan darah. Seiring meningkatnya stadium pada DKD,
terjadi penurunan GFR yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah,
akhir dari DKD adalah end stage renal disease (ESRD). Pasien DKD yang
telah mencapai stadium ESRD akan membutuhkan dialisis ataupun
transplantasi ginjal. DKD ditandai dengan adanya sejumlah besar protein
dalam urin, terutama albumin, diawali dengan timbulnya mikroalbuminuria
(30-299mg/24jam) yang berlanjut menjadi makroalbuminuria (≥
300mg/24jam) dan akhirnya berujung pada ESRD. Menurut Konsensus
Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia tahun
2021, diagnosis DKD ditegakkan bila kadar albumin dalam urin 24 jam lebih
dari 30 mg. Peningkatan kadar albumin dalam urin berkaitan dengan
progresivitas kelainan pada ginjal yang berakhir pada ESRD.

9
2.1.4.2 Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥ 90 mmHg.5 Hipertensi dapat dibedakan menjadi
primer/esensial dan sekunder berdasarkan penyebabnya. Hipertensi
primer/esensial apabila tidak diketahui penyebabnya dan hipertensi sekunder
apabila diketahui penyakit pada ginjalnya atau disebut juga hipertensi renal.
Penyakit ginjal hipertensi merupakan salah satu penyebab CKD.6 Penyakit
hipertensi pada dasarnya adalah penyakit yang dapat merusak pembuluh
darah, jika pembuluh darahnya ada pada ginjal, maka tentu saja ginjalnya
mengalami kerusakan. Seseorang yang tidak mempunyai gangguan ginjal,
tetapi memiliki penyakit hipertensi dan tidak diobati akan menyebabkan
komplikasi pada kerusakan ginjal, dan kerusakan ginjal yang terjadi akan
memperparah hipertensi tersebut.
Ginjal merupakan salah satu organ bagi tubuh manusia yang berfungsi
penting dalam homestasis yaitu mengeluarkan sisasisa metabolisme, menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit, memproduksi hormon yang dapat
mempengaruhi organ organ lainnya, salah satu contohnya adalah kontrol
tekanan darah dalam menyeimbangkan tekanan darah. Organ ginjal itu sendiri
bekerja di dukung oleh aliran darah ke ginjal, jaringan ginjal dan saluran
pembungan ginjal, bila salah satu faktor pendukung terganggu maka akan
menyebabkan fungsi ginjal akan terganggu bahkan dapat berhenti. Iskemia
ginjal merupakan faktor utama penyebab terjadinya hipertensi, iskemia yang
merupakan kurangnya pasokan darah menuju ginjal karena berbagai penyakit
pada ginjal, menyebabkan pengurangan tekanan arteri sistemik proksimal ke
lesi (distal), sehingga menginduksi hipo-perfusi untuk segmen arteri distal,
hal ini menyebabkan mekanisme autoregulation yang sebenarnya untuk
memulihkan hipoperfusi pada ginjal.

10
2.1.4 Patofisiologi
Chronic Kidney Disease disebabkan oleh adanya gangguan atau
kerusakan pada ginjal, terutama pada komponen filtrasi ginjal seperti
membrane basal glomerulus, sel endotel, dan sel podosit. Kerusakan
komponen ini dapat disebabkan secara langsung oleh kompleks imun,
mediator inflamasi, atau toksin serta dapat pula disebabkan oleh mekanisme
progresif yang berlangsung dalam jangka panjang. 9
Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Pada penyakit Diabetes terjadinya peningkatan laju filtrasi
glomerulus pada nefropati diabetik kemungkinan disebabkan oleh dilatasi
arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormon
vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin dan glukagon. Efek langsung
dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks
ekstraseluler, serta produksi TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi protein
kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki
fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan
permeabilitas kapiler. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya
glikasi nonenzimatik asam amino dan protein. Pada awalnya, glukosa akan
mengikat residu amino serta non-enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu
terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi
masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlanjut
terus, akan terbentuk Advenced Glycation End-Product (AGEs) yang
ireversibel. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan
seluler seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam penarikan
sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks
ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan terus berlanjut
sampai terjadi ekspansi mesangium dan pementukan nodul serta fibrosis
tubulointerstisialis sesuai dengan tahap 1-5. Dari kadar glukosa yang tinggi
menyebabkan terjadinya glikosilasi protein membran basalis, sehingga terjadi
penebalan selaput membran basalis, dan terjadi pula penumpukkan zat serupa

11
glikoprotein membran basalis pada mesangium sehingga lambat laun kapiler-
kapiler glomerulus terdesak, dan aliran darah terganggu yang dapat
menyebabkan glomerulosklerosis dan hipertrofi nefron yang akan
menimbulkan nefropati diabetik. Nefropati diabetik menimbulkan berbagai
perubahan pada pembuluh-pembuluh kapiler dan arteri, penebalan selaput
endotelial, trombosis, adalah karakteristik dari mikroangiopati diabetik dan
mulai timbul setelah periode satu atau dua tahun menderita Diabetes Melitus.
Hipoksia dan iskemia jaringan-jaringan tubuh dapat timbul akibat dari
mikroangiopati khususnya terjadi pada retina dan ginjal. Manifestasi
mikroangiopati pada ginjal adalah nefropati diabetik, dimana akan terjadi
gangguan faal ginjal yang kemudian menjadi kegagalan faal ginjal menahun
pada penderita yang telah lama mengidap Diabetes Melitus.

Berikut tahapan-tahapan nefropati diabetik:


1. Tahap I Pada tahap ini LGF meningkat sampai dengan 40% di atas
normal yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum
nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversibel
dan berlangsung 0-5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe 2 ditegakkan.
Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat, biasanya kelainan
fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali.

2. Tahap II Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis DM tegak, saat


perubahan struktur ginjal berlanjut, dan LGF masih tetap meningkat.
Albuminuria hanya akan meningkat setelah latihan jasmani, keadaan
stres atau kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat
berlangsung lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap
berikutnya. Progresivitas biasanya terkait dengan memburuknya
kendali metabolik. Tahap ini disebut sebagai tahap sepi (silent stage).

3. Tahap III Ini adalah tahap awal nefropati atau insipient diabetic
nephropathy saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanya

12
terjadi 10-15 tahun diagnosis DM tegak. Secara histopatologis, juga
telah jelas penebalan membran basalis glomerulus. LGF masih tetap
ada dan mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahan bertahun-tahun
dan progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan
tekanan darah yang kuat.

4. Tahap IV Ini merupakan tahapan saat dimana Nefropati Diabetik


bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata dengan
pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat tajam dan LGF
menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15-20 tahun DM tegak.
Penyulit diabetes lainnya sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati,
neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan vascular umum.
Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan
pengendalian glukosa darah, lemak darah dan tekanan darah.

5. Tahap V Ini adalah tahap akhir gagal ginjal, saat LGF sudah
sedemikian rendah sehingga penderita menunjukkan tanda-tanda
sindrom uremik, dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi
pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal. Secara histopatologik pada
nefropati diabetik meliputi perubahan pada glomerulus yang mengenai
kapiler glomerulus membrana basalis dan kapsul, perubahan pada
vaskuler ginjal yaitu terjadi arteriosklerosis, perubahan pada tubulus
dan intestial yang dapat berupa endapan hialin pada tubulus proksimal,
deposit glikogen pada tubulus proksimal, atropi tubulus dan fibrosis
interstitial.
Penyakit lain yang dapat mendasari terjadinya CKD adalah
penyakit hipertensi pada dasarnya adalah penyakit yang dapat merusak
pembuluh darah, jika pembuluh darahnya ada pada ginjal, maka tentu
saja ginjalnya mengalami kerusakan. Hipertensi menyebabkan
rangsangan barotrauma pada kapiler glomerolus dan meningkatkan
tekanan kapiler glomerolus terebut, yang lama kelamaan akan

13
menyebabkan glomerolusclerosis. Glomerulusclerosis dapat
merangsang terjadinya hipoksia kronis yang menyebabkan kerusakan
ginjal. Hipoksia yang terjadi menyebabkan meningkatnya kebutuhan
metabolisme oksigen pada tempat tersebut, yang menyebakan
keluarnya substansi vasoaktif (endotelin, angiotensin dan
norephineprine) pada sel endotelial pembuluh darah lokal tersebut yang
menyebabkan meningkatnya vasokonstriksi. Aktivasi RAS (Renin
Angiotensin Sistem) disamping menyebabkan vasokontriksi, juga
menyebakan terjadinya stres oksidatif yang meningkatkan kebutuhan
oksigen dan memperberat terjadinya hipoksia. Stress oksidatif juga
menyebabkan penurunan efesiensi transport natrium dan kerusakan
pada DNA, lipid & protein, sehingga pada akhirnya akan menyebakan
terjadinya tubulointertitial fibrosis yang memperparah terjadinya
kerusakan ginjal.

14
2.1.5 Manifestasi Klinis
Pasien dengan CKD derajat I hingga III dengan LFG >30
mL/menit/1,73 m2 seringkali asimtomatik atau tidak menunjukkan gejala.
Pasien belum mengalami gejala gangguan keseimbangan air ataupun
elektrolit, atau kekacauan dari sistem endokrin dan sistem metabolik. Gejala
seringkali mulai muncul pada pasien dengan CKD derajat IV hingga V
dengan LFG < 30 mL/menit/1,73 m2.2,5

Manifestasi klinis berupa sindroma berkemih pada pasien dengan CKD


derajat V biasanya terjadi oleh akibat dari akumulasi berbagai racun dengan
jenis yang belum diketahui. Peningkatan kadar garam dan cairan yang dialami
ginjal pada CKD dapat menyebabkan terjadinya edema perifer dan tidak
jarang bermanifestasi menjadi edema paru dan hipertensi karena volume cairan
meningkat.2,5
Anemia juga seringkali ditemui pada penderita CKD. Anemia pada
CKD terjadi akibat penurunan sintesis eritropoietin oleh ginjal, yang
bermanifestasi menjadi gejala-gejala anemia yaitu lemas, penurunan
kemampuan dalam berkegiatan, penurunan fungsi imun, dan penurunan
kualitas hidup. Insiden anemia pada CKD meningkat seiring dengan
menurunnya LFG.11 Anemia juga berhubungan dengan munculnya penyakit
kardiovaskular, kejadian baru dari gagal jantung ataupun perburukan dari
penyakit gagal jantung, hingga peningkatan kematian yang disebabkan oleh
sistem kardiovaskular.2,5
Manifestasi klinis lainnya dapat muncul pada derajat akhir dari CKD,
terutama pada pasien yang tidak menjalani proses dialisa secara adekuat,
diuraikan sebagai berikut:7
- Perikarditis, yang didapatkan oleh karena komplikasi dari tamponade
jantung, yang dapat menyebabkan kematian.
- Ensepalopati yang dapat menyebabkan koma hingga kematian
- Neuropati perifer

15
- Restless Leg Syndrome
- Gejala gastrointestinal seperti anoreksia, mual, muntah, diare
- Manifestasi pada kulit seperti kulit kering, pruritus, ekimosis
- Lemas, malnutrisi
- Disfungsi ereksi, penurunan libido, amenorea
- Disfungsi platelet dengan peningkatan kemungkinan untuk
perdarahan.

2.1.6 Diagnosis
Pada sebagian pasien diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran
klinik yang lengkap dan faktor penyebab yang didapat dari evaluasi klinik dan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dan pencitraan
ginjal. Diagnosis pasti sering memerlukan biopsi ginjal yang meskipun sangat
jarang dilakukan karena dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu,
biopsi ginjal dilakukan pada pasien tertentu yang diagnosis pastinya hanya
dapat ditegakkan dengan biopsi ginjal atau jika diagnosis pasti tersebut akan
merubah baik pengobatan maupun prognosis. 5
Diagnosis pada nefropati diabetic ditegakkan melalui pemeriksaan
urinary albumin to creatinin ratio (UACR). Nefropati diabetik merupakan
diagnosis klinis berdasarkan adanya albuminuria dan/atau penurunan LFG.
Pada Diabetes yang telah menjadi DKD ditemukan sindrom klinis pada
pasien DM yang ditandai dengan albuminuria menetap yaitu pada kadar 30-
299 mg/24 jam merupakan tanda dini dari nefropati diabetik pada DM tipe 2.
Jika albuminuria persisten >300mg/24 jam sering berlanjut menjadi gagal
ginjal stadium akhir.

16
2.1.7.1 Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien CKD meliputi:1
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti hipertensi, diabetes
mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hiperurikemi,
LupusEritematosus Sistemik dan lain sebagainya.
2. Sindrom uremia yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah,
nokturia, kelebihan volume cairan (volume overloaded), neuropati perifer,
pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
3. Gejala komplikasinya antara lain, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung, asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, klorida).
2.1.7.2 Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium CKD meliputi:1
1. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
2. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk
memperkirakan fungsi ginjal.
3. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper
atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalemia, asidosis metabolik.
4. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.

17
2.1.7.3 Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis CKD meliputi:1
1. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
2. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh
kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi
4. Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks
yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
5. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
2.1.7.4 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran
ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak bisa
ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,
menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan.
Biopsi ginjal indikasi – kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal sudah
mengecil (cintracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali,
infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.1,5

2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CKD meliputi1:
a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)
c. Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal
d. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
e. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

Perencanaan tatalaksana CKD sesuai dengan derajatnyadapat dilihat pada


tabel berikut.1

18
Tabel 5. Rencana Tatalaksana CKD Sesuai dengan Derajatnya1

Derajat LFG(mL/menit/1,73 m2) Rencana Tatalaksana


1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progression)
fungsi ginjal, memperkecil risiko
kardiovaskular
2 60-89 Menghambat pemburukan (progression)
fungsi ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Terapi pengganti ginjal

2.1.8.1 Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Diabetes dan Hipertensi


- Diabetes Melitus
Pencegahan Diabetes agar tidak jatuh pada DKD dilakukan dengan
koreksi hiperglikemia, hipertensi, dan dislipidemia, serta modifikasi gaya
hidup. Dengan kontrol glukosa darah, tekanan darah dan lipid, dan berhenti
merokok menunjukkan secara signifikan prognosis yang baik terhadap
kejadian kardiovaskular dan membantu memperlambat perkembangan
penyakit ginjal, termasuk makroalbuminuria dan penurunan eGFR untuk
pasien dengan DM tipe 2. Pengendalian gula darah dapat dilakukan dengan
olahraga, diet, dan penggunaan obat antidiabetes. Pada pasien DM untuk
kontrol gula darah, hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea
dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 adalah 0,2 diatas
nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%.

19
- Hipertensi
Pengendalian tekanan darah dapat dilakukan dengan diet rendah garam,
pemberian obat anti hipertensi, perbaikan fungsi ginjal seperti diet rendah
protein, pemberian Angiotensin Converting Enzime Inhibitor atau ACE-I dan
Angiotensin Reseptor Blocker atau ARB dan pengendalian faktor
komorbiditas lain seperti pengedalian kadar lemak, mengurangi obesitas.
Penghambat perubahan enzim angiotensin (Angiotensin Converting
Enzyme/ ACE inhibitor) atau antagonis reseptor Angiotensin II kemudian
dilakukan evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan
kreatinin > 35% atau timbul hiperkalemia harus dihentikan. 1,2
Penghambat kalsium, diuretic, beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim converting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin
reseptor bloker melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
perburukan fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek
samping terhadap obat-obat tersebut dapat diberikan calcium channel bloker,
seperti verapamil dan diltiazem.

2.1.8.2 Memperlambat Perburukan (Progression) Fungsi Ginjal


Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi
glomerulus. Cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah:1
1. Restriksi Protein.
Pembatasan asupan protein dan fosfat pada CKD dapat dilihat pada tabel
berikut:1

LFG mL/menit Asupan Protein g/kh/hari Fosfat


g/kg/hari
>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
25-60 0,6-0,8/kg/hari ≤ 10 g
5-25 0,6-0,8/kg/hari atau tambahan 0,3 ≤ 10 g
g asam amino esensial atau asam
keton

20
<60 (Sindrom 0,8/kg/hari(=1 gr protein /g ≤9g
Nefrotik) proteinuria atau
0,3 g/kg tambahan asam amino
esensial atau asam keton

Tabel 6. Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada CKD

Pembatasan protein mulai dilakukan pada LFG< 60 ml/mnt, sedangkan diatas


nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Pada
penderita CKD konsumsi protein yang direkomendasikan adalah 0,6-0,8
gr/kgBB/hari (50% protein dianjurkan yang mempunyai nilai biologi tinggi)
dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari. Sebab kelebihan protein tidak disimpan
dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain yang
terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, diet tinggi protein
pada pasien CKD akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan
ion anoganik lain dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang
disebut uremia. Selain itu, asupan protein berlebih akan mengakibatkan
perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus yang akan meningkatkan perburukan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat,
karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Dibutuhkan
jumlah asupan protein dan kalori dapat ditingkatkan.1,5

2.1.8.3 Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi


1. Anemia

Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah penurunan


produksi eritropoetin oleh ginjal. Disamping itu faktor non renal yang juga
ikut berkontribusi antara lain infeksi, inflamasi, masa hidup sel darah
merahyang pendek pada CKD dan faktor yang berpotensi menurunkan fungsi
sumsum tulang seperti defisiensi besi, defisiensi asam folat dan toksisitas
aluminium. Selain itu adanya perdarahan saluran cerna tersembunyi dan
malnutrisi dapat menambah beratnya keadaan anemia.1
Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan dan status

21
besi harus diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme
kerjanya. Tujuan pemberian EPO adalah untuk mengoreksi anemia renal
sampai target Hb = 10g/dL. Target pencapaian Hb dengan transfusi darah

adalah 7-9g/dL. Pemberian transfusi darah pada pasien CKD harus hati-hati
dan hanya diberikan pada keadaan khusus yaitu:1
 Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
 Hb < 7g/dL dan tidak memungkinkan menggunakan EPO
 Hb < 8g/dL dengan gangguan hemodinamik

Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram dengan EPO


ataupun yang telah mendapat EPO namun respon tidak adekuat, diberi
preparat besi intravena. 1

22
Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal
dilakukan pada CKD stage V, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit.
Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau
transplantasi ginjal.
Pembuatan akses vaskular sebaiknya sudah dikerjakan sebelum klirens
kreatinin dibawah 15 ml/menit. Dianjurkan pembuatan akses vaskular jika
klirens kreatinin telah dibawah 20 ml/menit.
2.1.9 Prognosis

Pasien dengan CKD secara keseluruhan memiliki kemungkinan untuk


mengalami penurunan fungi ginjal yang progresif dan mencapai derajat akhir
dari penyakit ginjal. Tingkat progresifitas tersebut bergantung pada umur,
penyebab dasar, dan kesuksesan implementasi pada pencegahan sekunder dan
individu dari pasien itu sendiri. Pengobatan yang dilakukan pada CKD pada
umumnya adalah untuk memperlambat progresifitas penurunan fungsi ginjal
dan mencegah terjadinya komplikasi akibat uremia yang dapat menyebabkan
morbiditas dan kematian.6,7
Secara garis besar prognosis dari CKD yang tidak ditangani adalah
buruk. Mortality rate untuk pasien yang menjalani dialisis adalah sebesar 20%.
Apalagi jika disertai dengan gangguan kardiovaskular, mortality rate dapat
meningkat menjadi 30%. Prediksi prognosis dapat dilihat melalui beberapa
parameter seperti penyebab CKD, kategori LFG, kategori albuminuria dan
faktor resiko serta komplikasi yang sudah terjadi.2

23
Prognosis berdasarkan LFG dan kategori albuminurianya sebagai berikut.

Gambar 2. Prognosis CKD Berdasaran LFG dan Kategori Albuminuria

24
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama :D
Umur : 51 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Palangka Raya
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Supir
Tanggal MRS : 15 November 2019
Tanggal Pemeriksaan : 20 November 2019

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Lemas
Riwayat Penyakit Sekarang

± 5 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluhkan badan lemas,


lemas dirasakan diseluruh badan, tidak berkurang dengan istirahat ataupun pemberian
makan. Lemas dirasakan memberat selama 2 minggu SMRS. Pasien juga mengeluh
pusing, pasien juga merasakan mual tetapi tidak muntah, sesak nafas disangkal
pasien, nyeri perut bagian ulu hati disangkal pasien, pasien mengaku buang air kecil
lebih sering 7-8x warna kuning jernih, tanpa disertai dengan nyeri atau rasa panas
saat BAK, buang air besar seperti biasa, nafsu makan pasien berkurang, tidak ada
penurunan berat badan yang berarti, kedua tangan dan kaki tampak pucat. Demam,
batuk pilek tidak dirasakan, penglihatan kabur tidak dirasakan.
Pasien mengetahui bahwa ia memiliki penyakit gula sejak 10 tahun yang lalu
dan hipertensi diketahui pasien sejak 1 tahun yang lalu. Pasien mengatakan sejak
sakit gula sering merasa haus dan lapar meskipun sudah makan teratur, serta sering

25
kencing terutama dimalam hari. Pasien rutin kontrol ke dokter dan rutin minum obat
gula ataupun hipertensi.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan


Pasien memiliki Riwayat Diabetes Mellitus sejak tahun 10 dan rutin
menggunakan insulin 10 iu setiap harinya. Pasien juga memiliki riwayat hipertensi
sejak 1 tahun yang lalu. Pasien mengatakan minum obat amlodipin 1x10 mg dalam
sehari namun tidak teratur. Riwayat penyakit ginjal disangkal oleh pasien. Pasien
menyangkal memiliki riwayat alergi terhadap makanan maupun obat – obatan
tertentu.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi dan diabetes mellitus dari kakak
kandung pasien. Kakak kandung pasien juga memiliki riwayat penyakit seperti ginjal
dan rutin cuci darah.

Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang supir disebuah kantor. Sebelum sakit, pasien
mengatakan aktivitasnya dalam keseharian ialah menyetir area dalam kota. Namun
semenjak sakit, pasien mengatakan mengalami penurunan aktivitas dan enggan
untuk bekerja lagi. Sehari-hari pasien mengatakan makan 3-4 kali per hari, namun
semenjak sakit nafsu makan menurun dan pasien juga mengaku lebih nyaman untuk
beristirahat dibandingkan beraktivitas. Riwayat merokok ada saat pasien masih muda
namun sudah berhenti, minum – minuman beralkohol, dan konsumsi obat-obatan
terlarang disangkal pasien.

26
3.3 Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda Vital
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran/GCS : Compos Mentis/E4V5M6
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 84 x/menit reguler
Laju Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36.2 oC
Berat Badan : 57 kg
Tinggi Badan : 158 cm
BMI : 22,8 kg/m2
Status Gizi : Baik
Pemeriksaan Umum
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), ikterik (-/-),
reflex pupil (+/+) isokor 3mm/3mm
Leher : JVP 5+2 cmH2O, KGB (-)
Telinga : Daun telinga N/N, sekret (-/-)
Hidung : Sekret (-/-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1 hiperemis (-/-), faring hiperemis (-)
Lidah : Oral plaque (-), atropi papil (-)

27
Bibir : Sianosis (-), kering (-)
Thoraks : Simetris statis dan dinamis
Cor
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Apeks ICS V linea midclavicularis sinistra
Perkusi :
Batas kanan jantung : ICS IV linea parasternalis dextra
Batas kiri jantung : ICS V linea midclavicularis sinistra
Pinggang jantung : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris, normochest, retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus N N , pergerakan simetris
N N
N N
Perkusi : Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor

Auskultasi : Vesikuler + + Rhonki - - Wheezing - -


+ + - - - -
+ + - - - -
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), scar (-), meteorismus (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak tidak teraba, nyeri
tekan pada suprapubic (-)
Perkusi : timpani (+)
Ekstremitas : Hangat + + Edema - - CRT < 2 detik
+ + + +

28
3.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
3.4.1 Darah Lengkap
3/12/2022 8/12/2022

Leukosit 4.500 - 11.000/μL 6.35 6.67


Neutrofil 50-70% 85.5% 72,3%
Limfosit 20-40% 9.5% 15,9%
Monosit 1-5% 4.6% 10,2%
Eosinofil 1-4% 0.1% 1,3%
Basofil 0-1% 0.3% 0,3%
Hemoglobin 10,5 - 18,0 g/dL 8,0 g/dL 8,8 g/dL
Hematokrit 37-48% 23.5% 27,3%
MCV 86,6 - 102 fL 89.7fL 88 fL
MCH 25,6 – 30,7 pg 30.9pg 30,7 pg
MCHC 28,2 – 31,5 g/dL 34.5g/dL 34,9 g/dL
Trombosit 150x103- 157 x 103 /μL 138 x103
/μL
400x103/μL

29
Kimia Darah, Analisa Gas Darah, dan Elektrolit
Parameter Hasil Satuan Rentang Normal
(03/12) (08/12)
SGOT 20,3 - U/L 11-27
SGPT 19,10 - U/L 11-34
Albumin 3,20 - g/dl 3,40-4,80
Glukosa sewaktu - mg/dL 70- 140
Ureum 120 63 mg/dL 8- 23
Kreatinin 11,44 3,43 mg/dL 0,7-1,2
Kalium 4,51 4,49 mmol/L 3,5- 5,1
Natrium 140 139 mmol/L 136- 145

30
3.4.2 Foto Thorax AP Lateral

Foto Thorax AP:


Pemeriksaan x foto thoraks pa:

Jantung bentuk dan ukuran normal , trakea letak sentral.


Paru normal, hillus baik
Diafragma dan sinus costofrenicus kiri normal . Sinus kostofrenikus kanan tumpul.
Tulang dan jaringan lunak baik
Kedudukan cdl kanan baik.
Kesan:
Efusi pleura kanan minimal.
Jantung tidak membesar.
Tidak tampak pneumonia.
Kedudukan CDL kanan baik .

3.5. Diagnosis Kerja


1. Chronic Kidney Disease (CKD) stage V
2. Hipertensi
3. Diabetes Mellitus Tipe 2
4. Anemia normokromik normositer.

31
3.6. Penatalaksanaan
- Pro hemodialisa
- amlodipin 1x10 mg
- Novorapid 10 iu

3.7. Planning

- Darah Lengkap post transfusi


- HD rutin sesuai jadwal

3.8. Monitoring

Keluhan dan Tanda-tanda vital


Keseimbangan cairan

3.9. Prognosis

Ad Vitam : Dubia ad Bonam


Ad Functionam : Dubia ad Malam
Ad Sanationam : Dubia ad Malam

32
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien laki-laki 51 tahun datang dengan keluhan badan terasa lemas sejak 5
hari sebelum masuk Rumah Sakit. Keluhan lemas dirasakan diseluruh tubuh. Lemas
dirasakan sangat berat sehingga pasien memutuskan lebih banyak diam di rumah dan
tidak bekerja. Keluhan lemas awalnya terasa ringan dan hanya memberat saat
melakukan aktivitas. Keluhan tersebut awalnya membaik dengan istirahat, namun
saat ini keluhan tersebut menetap.
Dari anamnesis, keluhan beberapa kali dirasakan oleh pasien. Pasien
menyatakan memiliki riwayat penyakit hipertensi dan diabetes melitus. Pada
anamnesis tersebut juga didapatkan pasien telah memiliki riwayat Diabetes mellitus
sejak 10 tahun yang lalu yang menjadi salah satu faktor risiko untuk terjadinya gagal
ginjal. Pada pemeriksaan mata, didapatkan konjungtiva pasien tampak pucat sehingga
membuktikan tanda tanda anemis positif dimana ini merupakan salah satu gejala
uremia pada kerusakan fungsi ginjal. Pada pasien saat pemeriksaan didapatkan pitting
edema positif pada kedua tungkai. Pada penderita CKD dapat ditemukan gambaran
laboratorium berupa:
1. Gambaran laboratorium CKD didapatkan peningkatan kadar ureum
dan kreatinin serum yang menunjukkan adanya penurunan fungsi
ginjal.

2. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin


(anemia), hiponatremia, hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia,
dan asidosis metabolik
3. Kelainan urinalisis yang meliputi proteinuria, hematuria dan
eritrosituria.

33
Dari hasil pemeriksaan darah lengkap pada kasus ini, dijumpai adanya anemia
normokromik normositer hemoglobin 8 g/dl. Pada pemeriksaan kimia klinik
ditemukan adanya peningkatan kreatinin (11,4 mg/dl) dan ureum 120 mg/dl.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang,
maka pasien ini didiagnosis dengan CKD Stage V on HD karena secara klinis
dijumpai 2 tanda klasik CKD yaitu anemia dan hipertensi, ditambah penurunan
fungsi ginjal yang ditandai dengan ureum dan kreatinin yang meningkat.
Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien CKD ini disesuaikan dengan
stadium penyakit pasien yaitu hemodialisis. Selain itu diperlukan penatalaksanaan
yang komprehensif meliputi:
1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
3. Memperlambat perburukan fungsi ginjal
4. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

5. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Pada


pasien-pasien yang penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus, maka saat
laju filtrasi glomerulus mencapai 10 - 12 ml/menit (setara dengan klirens
kreatinin kurang dari 15 ml/menit atau serum kreatinin lebih dari 6 mg/dl)
dianjurkan untuk memulai dialisis (hemodialisis atau peritoneal dialisis),
walaupun masih ada perbedaan pendapat mengenai kapan sebaiknya terapi
pengganti ginjal ini dimulai. Pilihan pengobatan gagal ginjal terminal
yang lain adalah trasnplantasi ginjal.

Pada pasien ini diindikasikan untuk inisial HD untuk memperbaiki kondisi


klinis. Pasien juga diberikan diberikan anti hipertensi golongan Calcium Chanel
Blocker yaitu amlodipine 10 mg dan Injeksi novorapid 10 IU. Pada pasien ini juga
disarankan untuk rutin melakukan hemodialisis reguler 2 kali dalam seminggu,
kemudian pemeriksaan monitoring dan evaluasi dari kadar hemoglobin.

34
BAB V
KESIMPULAN

Penyakit gagal ginjal kronis (PGK) merupakan suatu proses patofisiologis


dengan etiologi yang beragam yang berakibat pada penurunan fungsi ginjal yang
bersifat ireversibel dengan karakteristik adanya kerusakan struktural atau fungsional
yang ditandai dengan penurunan LFG abnormalitas sedimen urin, gangguan elektrolit
atau yang lain oleh karena gangguan pada tubulus, kelainan pada pemeriksaan
histologi, kelainan struktural yang terdeteksi melalui pemeriksaan radiologi, atau
riwayat transplantasi ginjal.
Pada kasus ini pasien laki-laki usia 51 tahun berdasarkan anamnesis
ditemukan adanya bengkak pada kedua tangkai, lemas dan ada riwayat hipertensi
yang tidak terkontrol. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konjungtiva
pucat yang merupakan salah satu gejala uremia pada kerusakan fungsi ginjal.
Ditemukan juga pitting edema pada kedua tangkai yang menandakan retensi natrium
dan air pada kerusakan fungsi ginjal. Sedangkan berdasarkan pemeriksaan penunjang
pasien mengalami anemia sedang normokromik normositer dengan Hb 8 mg/dL.
Pasien didiagnosis penyakit ginjal kronis stadium V on HD dengan anemia
sedang normokromik normositer, Hipertensi stadium 1 dan Diabetes Mellitus. Pasien
diterapi dengan dilakukan hemodialisis, diberikan anti hipertensi Calcium Chanel
Blocker yaitu amlodipine 10 mg dan Injeksi novorapid 10 IU.

35
DAFTAR PUSTAKA
1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
1035-1040.
2. Eknoyan G, Lameire N, Kasiske BL, dkk. Official Journal of The international
Society Of Nephrology. KDIGO 2012 clinical practice guideline for evaluation
and management of CKD. 2013;3(1).
3. Indonesian Renal Registry (IRR). 7th Report Of Indonesian Renal Registry. 2014.
Terdapat di: http://www.indonesianrenalregistry.org/
4. Suhardjono. Penyakit ginjal kronik, suatu epidemiologi global baru: protect your
kidney save your heart. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI); 2010.
5. Johnson CA, Levey AS, Coresh J. Clinical Practices Guidelines for Chronic
Kidney Disease in Adults. Carolina: American Family Physician; 2004. Hal 870-
876.
6. Kerr M, Bray B, Medcalf J. Chronic Kidney Disease in Adults: Assestment and
Management. England: National Institute for Health and Care Excellence; 2014.
hal 1-63.
7. National Kidney Foundation. Diabetes and Chronic Kidney Disease Stage 5. New
York. 2012. Terdapat di: www.kidney.org
8. Guideline American Diabetes Association. Standards of Medical Care in
Diabetes-2016:Abridged for Primary Care Providers. Clinical Diabetes.2016
9. Wheeler DC. Clinical evaluation and management of chronic kidney disease.
Dalam: Feehaly J, Floege J, Johnson RJ, penyunting. Comprehensice clinical
nephrology. St. Loius: Elsevier Saunders; 2010
10. Kresnawan, T, Ferina. Penatalaksanaan Diet Pada Nefropati Diabetik. Surabaya:
Gizi Indonesia; 2004.
11. PERNEFRI, 2011. Konsensus Manajemen Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik.
Jakarta; PB PERNEFRI.

36

Anda mungkin juga menyukai