DEPARTEMEN
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
OLEH :
DEPARTEMEN
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
KELOMPOK 4
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iv
BAB I LAPORAN PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 Konsep Ginjal..............................................................................................................1
1.1.1 Definisis Ginjal....................................................................................................1
1.1.2 Anatomi ginjal.....................................................................................................1
1.2 Konsep Chronic Kidney Disease (CKD).....................................................................2
1.2.1 Definisi CKD.......................................................................................................2
1.2.2 Etiologi CKD.......................................................................................................3
1.2.3 Manifestasi Klinik CKD.....................................................................................5
1.2.4 Patofisiologi CKD...............................................................................................5
1.2.5 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................7
1.2.6 Penatalaksanaan.................................................................................................7
1.2.7 Komplikasi CKD.................................................................................................9
1.2.8 Diagnosis Keperawatan Prioritas Yang Mungkin Timbul...........................11
1.2.9 Intervensi keperawatan....................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................18
iv
BAB I LAPORAN PENDAHULUAN
1
Gambar 1.1 Struktur ginjal
2
3a 45-59 Penurunan eGFR skala ringan hingga sedang
3b 30-44 Penurunan eGFR skala sedang hingga berat
4 15-29 Penurunan eGFR skala berat
5 <15 Gagal ginjal
3
4
peningkatan GFR serta tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan
progresifitas pemburukan dungsi ginjal, (Vallianou et al., 2018)
e. Konsusmsi alcohol berat
Minuman alkohol merupakan minuman yang mengandung etanol atau etil alkohol
(C2H5OH). Konsumsi Alkohol secara berlebihan sangat berbahaya bagi tubuh.
Alkohol bisa mengakibatkan terjadinya kerusakan pada organ tubuh salah satunya
yaitu kerusakan pada ginjal, hal tersebut meningkatkan risiko albuminuria serta
penurunan laju filtrasi glomerulus dalam 5 tahun follow up, (Nurul Azizah et al.,
2018).
f. Obat obatan
Konsumsi obat-obatan yang bersifat nefrotoksik dapat berpengaruh terhadap
kerusakan ginjal, obat-obatn yang bersifat nefrotoksik salah satunya yaitu obat
analgetik. Obat analgetik bersifat dose dependant yang artinya semakin sering
konsumsi maka semakin banyak dosisnya, akibatnya hal tersebut dapat merusak
jaringan ginjal. Apabila mengkonsumsi analgetik setiap hari dalam jangka panjang
dapat menyebabkan nefropati analgetik atau penyakit ginjal yang disebabkan oleh
obat-obatan, (Agustianingsih et al., 2018).
g. Hipertensi
Seseorang dikatakan hipertensi apabila tekanan darah sistol >140 mmhg dan diastole
>90 mmhg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan
cukup istirahat/tenang. Manifestasi klinis hipertensi meliputi sakiit kepala, terdapat
rasa berat di tengkuk, vertigo, jantung berdebar, mudah lelah, penurunan kemampuan
penglihatan, tinnitus, serta mimisan. adapun faktor risiko hipertensi yaitu usia, jenis
kelamin, genetik, merokok, konsumsi garam dan lemak jenuh, konsumsi alkohol,
obesitas, kurang akyifitas 8 fisik, stress, dan penggunaan estrogen, (Kemenkes RI,
2014). Peningkatan tekanan darah dengan jangka waktu lama dapat mengakibatkan
terjadinya sklerosis pada pembuluh darah yang apabila terjadi pada arteriol dan
glomeruli dapat menyebabkan nefrosklerosis. Obstruksi yang terjadi pada arteriol
akan menyebabkan kerusakan glomerulus hingga atrofi tubulus, sehingga hal tersebut
membuat nefron mengalami kerusakan yang menyebabkan terjadinya gagal ginjal
kronik, (Cahyo et al., 2019).
5
1.2.3 Manifestasi Klinik CKD
CKD dapat diidentifikasi melalu skrining rutin, adapun gejala yang dapat
terjadi pada pasien CKD yaitu meliputi gross hematuria, keluhan urine berbusa
sebagai tanda albuminuria, nokturia, nyeri pinggang, atau terjadi penurunan produksi
urine. Pada pasien dengan diagnosa CKD lanjut dapat menimbulkan kelelahan, nafsu
makan yang buruk, mual, munth, mulut terasa logam, penurunan berat badan, pruritis,
perubahan status mental atau edema perifer, selain itu juga terdapat gejala tambahan
yang menunjukan penyebab yang sistemik misalnya hemoptisis, limfadenopati,
gangguan pendengaran, neuropati, atau obstruksi kemih seperti keraguan berkemih,
urgensi, frekuensi atau pengosongan kandung kemih tidak lengkap), (Chen et al.,
2019).
6
berupa sclerosis nefron. Pada titik ini, antihipertensi seperti ACE atau ARB mungkin
bermanfaat dalam
7
memperlambat perkembangan penyakit dan menjaga fungsi ginjal. Kadar plasma zat
seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan yang terukur hanya setelah
total GFR menurun 50%. Misalnya, peningkatan kreatinin plasma dari 0,6 mg/dL
menjadi 1,2 mg/dL pada pasien, meskipun dalam kisaran normal, sebenarnya
menunjukkan hilangnya 50% massa nefron yang berfungsi. Meskipun hiperfiltrasi dan
hipertrofi sisa nefron bermanfaat untuk pemeliharaan GFR, hal ini ditemukan sebagai
penyebab utama disfungsi ginjal progresif. Peningkatan tekanan kapiler glomerulus
dapat merusak kapiler yang menyebabkan glomerulosklerosis fokal dan segmental
dan akhirnya menjadi glomerulosklerosis global, (Benjamin & Lappin, 2021;
Gliselda, 2021).
8
9
1.2.5 Pemeriksaan Penunjang
CKD didefinisikan sebagai penurunan GFR selama lebih dari 3 bulan atau
adanya tanda kerusakan ginjal seperti albuminuria, kelainan sedimen urin, kelainan
struktural ginjal yang terdeteksi oleh pemeriksaan histologis atau pencitraan (USG).
Maka untuk membedakan penyakit ginjal akut dan kronis memerlukan penilaian GFR
dan biomarker kerusakan ginjal, yang pada umumnya dilakukan pengukuran
kreiatinin serum dan albumin urin. Pasien tanpa penurunan GFR dan tanpa biomarker
kerusakan ginjal dapat digambarkan memiliki penyakit ginjal yang tidak diketahui.
Tes diagnostik tambahan diperlukan untuk menentukan penyebab penyakit ginjal
kronis dan untuk memandu pengobatan, (Susanti, 2019).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien CKD meliputi
pemeriksaan Laboratorium dan pemeriksaan Radiologis. Adapun gambaran
laboratorium pada pasien CKD yaitu terdapat penurunan fungsi ginjal yang ditandai
dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, serta terdapat penurunan eGFR
yang dihitung menggunakan rumus Kockcrift-Gault. Namun, untuk memperkirakan
fungsi ginjal tidak hanya menggunakan kadar kreatinin saja. Selain itu, terdapat
kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar haemoglobin, peningkatan kadar
asam urat, hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia, hiperkloremia atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic. Kelainan urinalis
berupa proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isosteinuria. Sedangkan gambaran
radiologis pada pasien CKD mencakup foto polos abdomen yang bias tampak batu
radio opak, USG ginjal bias memperlihatkan ukuran ginjal yang mngecil, korteks
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, serta kalsifikasi, (Lubis et
al., 2018).
1.2.6 Penatalaksanaan
Terapkan gaya hidup sehat pasien dengan CKD yaitu sebagai berikut, (Kidney Health
Australia, 2020):
a. Pasien diharapkan untuk berhenti merokok (bagi perokok)
b. Mengkonsumsi sayur-sayuran, buah-buahan, sereal gandum, daging tanpa lemak,
ikan, unggas, telur, kacang-kacangan, dan biji-bijian, serta susu rendah lemak.
Batasi garam hinga <6 gr/hari atau <100 mmol/hari, batasi asupan makan yang
mengandung lemak jenuh dan tak jenuh serta asupan makanan yang mengandung
gula tambahan.
10
c. Berhenti konsumsi alkohol
11
d. Melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang 150-300 menit (2-5 jam),
aktivitas fisik dengan intensitas berat dengan durasi 75-150 menit (1-2 jam), atau
melakukan kombinasi aktivitas fisik dengan intensitas sedang dan berat yang
dilakukan setiap minggu, selain itu juga lakukan aktivtas penguatan otot minimal
2 hari dalam seminggu.
e. Batasi asupan energi untuk menjaga berat badan yang ideal (IMT <25 kg/m²)
Penatalaksanaan Keperawatan yang dapat diberikan pada pasien CKD dibagi menjadi
tiga yaitu sebagai berikut, (Nuari & Widayati, 2017):
a. Konservatif
Melakukan observasi balance cairan, mengobservasi adanya edema, serta
membatasi cairan masuk
b. Dialysis
1. Peritoneal dialysis, dilakukan pada pasien dengan kasus emergency.
Sedangkan, dialysis yang dapat dilakukan dimana saja atau yang tidak bersifat
akut yaitu Continues Ambulatori Peritonial Dialysis (CAPD).
2. Hemodialisis, dialysis merupakan suatu proses ketika zat darah difiltrasi
melalui membrane semipermeable. Dialysis yang dilakukan melalui tindakan
invasive pada vena. Pada awalnya hemodialisis dilakukan melalui daerah
femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan pada AV vistula yaitu
menggabungkan vena dan arterim, serta Double lumen yaitu langsung pada
daerah jantung (vaskularisasi ke jantung).
c. Medikasi
Pemberian obat dilakukan berdasarkan penyebab dan gejala yang muncul. Pasien
dengan hipovolemi dapat diberikan larutan hipotonik seperti saline 0.45%. Bila
hipovolemia disebabkan oleh perdarahan atau hilangnya banyak plasma, maka
diberikan packed red cell dan salin isotonic, untuk menghasil diuresis yang
adekuat dapat diberikan furosemide 320 mg/hari. Sedangkan, gagal ginjal yang
diakibatkan nefrotoksin atau iskemia dapat diberikan obat yang meningkatkan
sirkulasi ginjal seperti dopamine, mannitol, dan dierutik ansa Henle. Serta,
glomerulonephritis dapat diatasi dengan menggunakan glukokortikod.
12
1.2.7 Komplikasi CKD
Komplikasi CKD dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Hipertensi
CKD dihubungkan peningkatan aktivitas Renin Angiotensi Aldosteron System
(RAAS). Terdapat penurunan aliran darah di kapiler peritubular di bagian hilir
glomerulus yang mengalami sklerosis. Akibat penurunan aliran darah, glomerulus
di daerah ini menghipersekresi renin sehingga meningkatkan kadar angiotensin II
yang bersirkulasi. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriktor langsung yang
meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah. Karena glomerulus
yang berfungsi lebih sedikit pada CKD, setiap glomerulus yang tersisa harus
meningkatkan laju filtrasi glomerulus (GFR), meningkatkan tekanan arteri
sistemik serta membantu meningkatkan tekanan perfusi. Angiotensin II juga
meningkatkan reabsorpsi natrium di tubulus proksimal dan duktus pengumpul atau
duktus kolektivus. Selain itu, kehilangan bersih GFR secara keseluruhan
mengganggu ekskresi natrium, yang juga menyebabkan retensi natrium. Retensi
natrium menyebabkan hipertensi melalui mekanisme volume-dependent dan
volume- independent. Kelebihan volume ekstraseluler menyebabkan peningkatan
perfusi jaringan perifer yang merangsang vasokonstriksi, meningkatkan resistensi
pembuluh darah perifer dan karena itu meningkatkan tekanan darah, (Ku et al.,
2019).
b. Cardiovascular disease (CVD)
CVD merupakan penyebab utama kematian pada pasien CKD, prevalensi serta
beban komplikasi ini meningkat dengan menurunnya fungsi ginjal. Risiko
kematian akibat CVD lebih besar pada pasien dengan CKD stadium G5 A3 (eGFR
300 mg/g) dibandingkan dengan pasien CVD tanpa penyakit ginjal. Sementara
risiko kejadian kardiovaskular aterosklerotik konvensional meningkat dengan
CKD, sebagian besar peningkatan risiko disebabkan oleh patologi non-
aterosklerotik, seperti hipertrofi ventrikel kiri dengan disfungsi diastolik dan
sistolik, penyakit katup, dan kalsifikasi arteri. Patologi ini dapat bermanifestasi
sebagai disritmia atrium dan ventrikel, gagal jantung, dan kematian mendadak.
Terdapat faktor risiko tambahan yang perlu dipertimbangkan pada pasien CKD,
yang sebagian besar dianggap sebagai komplikasi CKD. Misalnya, gangguan
mineral dan endokrin yang mencerminkan gangguan tulang mineral CKD, seperti
retensi fosfat, peningkatan
13
kadar faktor pertumbuhan fibroblas, dan gangguan dalam metabolisme Klotho,
dapat berkontribusi pada kardiomiopati dan vaskulopati, (Bello et al., 2017).
c. Anemia
Besi juga didaur ulang di dalam tubuh karena sel darah merah tua difagositosis
oleh makrofag retikuloendotelial dan kandungan besinya digunakan untuk
hematopoiesis jika diperlukan atau disimpan untuk digunakan lebih lanjut.
Regulasi metabolisme besi dimediasi, terutama oleh hepcidin, suatu hormon
peptida kecil (25 asam amino) yang disintesis dan disekresikan oleh hati. Hepcidin
mencegah transpor besi dengan cara berikatan dengan ferroportin pengangkut besi
yang terletak pada membran basal enterosit, sel retikuloendotelial, dan hepatosit.
Pengikatan hepcidin menyebabkan internalisasi ferroportin dari membran plasma
ke dalam sel dan degradasi utamanya, hipoksia, inflamasi, dan eritropoiesis
Karena hepcidin adalah peptida hormon kecil, maka hepcidin disaring dan
didegradasi oleh ginjal. Kadar hepcidin meningkat pada penyakit ginjal kronis
(CKD) dan berkorelasi negatif dengan laju filtrasi glomerulus (GFR). Mekanisme
yang bertanggung jawab untuk fenomena ini pada CKD termasuk penurunan
bersihan ginjal, peningkatan sitokin inflamasi, dan penurunan kadar eritropoietin,
(Batchelor et al., 2020).
d. Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone Disorder (CKD-MBD)
Sebelum ditemukannya faktor pertumbuhan fibroblas 23 (FGF23), retensi fosfat
akibat penurunan fungsi ginjal telah dianggap sebagai pemicu utama
hiperparatiroidisme sekunder. Retensi fosfat menyebabkan triad hiperfosfatemia,
rendahnya [1,25 (OH)2D3 dan hipokalsemia merupakan rangsangan untuk sekresi
PTH yang pada gilirannya meningkatkan ekskresi fosfat dan perkembangan
hiperparatiroidisme sekunder pada CKD lanjut, (Waziri et al., 2019).
e. Retensi garam dan air
Pada CKD stadium 4 sampai 5 dan mungkin pada CKD stadium 3, terjadi
kehilangan pertahanan terhadap kelebihan natrium dan deplesi natrium. Kelebihan
natrium dengan retensi cairan sejauh ini adalah yang paling umum terjadi.
Sementara volume cairan ekstraseluler mungkin meningkat, keseimbangan
natrium tampaknya relatif terpelihara dengan baik sampai penyakit ginjal stadium
akhir. Kelebihan natrium dan cairan tidak hanya berkontribusi pada edema yang
dapat berdampak negatif pada kualitas hidup, tetapi juga hipertensi dan dengan
demikian
14
CVD (khususnya hipertrofi ventrikel kiri konsentris, yang dapat menyebabkan
disfungsi diastolik), (Mitsides et al., 2019).
15
2. (D.0022) Hipervolemia (I.03121) Pemantauan Cairan
berhubungan dengan gangguan Observasi:
mekanisme regulasi 1. Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
2. Monitor frekuensi nafas
3. Monitor tekanan darah
4. Monitor berat badan
5. Monitor waktu pengisian kapiler
6. Monitor elastisitas atau turgor kulit
7. Monitor jumlah, waktu dan berat
jenis urine
8. Monitor kadar albumin dan protein total
9. Monitor hasil pemeriksaan serum (mis.
Osmolaritas serum, hematocrit, natrium,
kalium, BUN)
10. Identifikasi tanda-tanda hipovolemia
(mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi
teraba lemah, tekanan darah menurun,
tekanan nadi menyempit, turgor kulit
menurun, membrane mukosa kering,
volume urine menurun, hematocrit
meningkat, haus, lemah, konsentrasi
urine meningkat, berat badan menurun
dalam waktu singkat)
11. Identifikasi tanda-tanda hypervolemia
9mis. Dyspnea, edema perifer, edema
anasarka, JVP meningkat, CVP
meningkat, refleks hepatojogular
positif, berat badan menurun dalam
waktu singkat)
12. Identifikasi factor resiko
ketidakseimbangan cairan (mis.
Prosedur pembedahan mayor,
trauma/perdarahan, luka bakar,
apheresis, obstruksi intestinal,
peradangan pankreas, penyakit ginjal
dan kelenjar, disfungsi intestinal)
Terapeutik:
1. Atur interval waktu pemantauan sesuai
dengan kondisi pasien
2. Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi:
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
16
2. Informasikan hasil pemantauan, jika
perl
3. (D.0016) risiko perfusi renal tidak (I.02068) Pencegahan syok
efektif dibuktikan dengan Observasi
disfungsi ginjal 1. Monitor status oksigenasi (oksimetri
nadi, AGD)
2. Monitor status cairan (masukan dan
haluaran, turgor kulit, CRT)
3. Monitor tingkat kesadaran dan
respon pupil
4. Periksa riwayat
alergi Terapeutik
1. Berikan oksigen untuk mempertahankan
saturasi oksigen >94%
2. Pasang jalur IV
3. Pasang kateter urine untuk menilai
produksi urin, jika perlu
4. Lakukan skinen skine test untuk
mencegah reaksi alergi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian transfusi darah,
jika perlu
3. Kolaborasi pemberian antiinflamasi,
jika perlu
17
2. Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
3. Ajarkan etika batuk
4. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
atau luka operasi
5. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
6. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika
perlu
5. (D.0077) nyeri akut berhubungan (I. 08238) Manajemen Nyeri
dengan agen pencedera fisik Observasi
1. Lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat
dan memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri Identifikasi pengaruh nyeri
pada kualitas hidup
7. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
8. Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
2. Control lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan)
6. (D.0014) risiko perfusi miokkard (I.02060) pemantauan tanda vital
tidak efektif dibuktikan dengan Observasi:
hipertensi 1. Monitor tekanan darah
2. Monitor nadi (frekuensi, kekuatan,
irama)
18
3. Monitor pernapasan (frekuensi,
kedalaman)
4. Monitor suhu tubuh
5. Monitor oksimetri nadi/ SaO2
6. Monitor tekanan nadi/MAP (selisish
TDS dan TDD)
Terapeutik:
1. Atur interval pemantauan sesuai kondisi
pasien
2. Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu
7. (D.0037) Risiko I. 2) Pemantauan Elektrolit
ketidakseimbangan elektrolit Observasi
1. Identifkasi kemungkinan penyebab
ketidakseimbangan elektrolit
2. Monitor kadar eletrolit serum
3. Monitor mual, muntah dan diare
4. Monitor kehilangan cairan, jika perlu
5. Monitor tanda dan gejala hypokalemia
(mis. Kelemahan otot, interval QT
memanjang, gelombang T datar atau
terbalik, depresi segmen ST, gelombang
U, kelelahan, parestesia, penurunan
refleks, anoreksia, konstipasi, motilitas
usus menurun, pusing, depresi
pernapasan)
6. Monitor tanda dan gejala hyperkalemia
(mis. Peka rangsang, gelisah, mual,
munta, takikardia mengarah ke
bradikardia, fibrilasi/takikardia
ventrikel, gelombang T tinggi,
gelombang P datar, kompleks QRS
tumpul, blok jantung mengarah asistol)
7. Monitor tanda dan gejala hipontremia
(mis. Disorientasi, otot berkedut, sakit
kepala, membrane mukosa kering,
hipotensi postural, kejang, letargi,
penurunan kesadaran)
19
8. Monitor tanda dan gejala hypernatremia
(mis. Haus, demam, mual, muntah,
gelisah, peka rangsang, membrane
mukosa kering, takikardia, hipotensi,
letargi, konfusi, kejang)
9. Monitor tanda dan gejala hipokalsemia
(mis. Peka rangsang, tanda IChvostekI
[spasme otot wajah], tanda Trousseau
[spasme karpal], kram otot, interval QT
memanjang)
10. Monitor tanda dan gejala hiperkalsemia
(mis. Nyeri tulang,
20
DAFTAR PUSTAKA
Agustianingsih, T. srinuria, Padoli, & Anugrahini, H. N. (2018). penyebab gagal ginjal kronik (GGK) di
Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya. X(3).
Ahmad, N., Bandur, N., & Artha, D. E. (2018). Gambaran Dislipidemia Pada Penderita Gagal Ginjal
Kronik Di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jurnal Media Laboran, 8, 44–50.
Cahyo, V. D., Nursanto, D., Risanti, E. D., & Dewi, L. M. (2019). The Relationship of Hypertension and
Age Against the Chronic Kidney Failure in. 105–113.
Chen, T. K., Knicely, D. H., & Grams, M. E. (2019). Chronic Kidney Disease Diagnosis and
Dewi, G. A. M. L., Margiani, N. N., & Ayusta, I. M. D. (2019). Rerata ukuran ginjal dewasa normal
dengan computed tomography di RSUP sanglah tahun 2017. Jurnal Medika Udayana, 8(11), 1–6.
issn: 2597- 8012%0Ahttps://ojs.unud.ac.id
Kidney Health Australia. (2020). Chronic kidney disease management in primary care (4 (ed.)).
Ku, E., Lee, B. J., Wei, J., & Weir, M. R. (2019). Hypertension in CKD: Core Curriculum 2019.
American Journal of Kidney Diseases, 74(1), 120–131. https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2018.12.044
Purwanto, H. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. In Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan.
KEMENKES RI 17
Vallianou, N. G., Mitesh, S., Gkogkou, A., & Geladari, E. (2018). Chronic Kidney Disease and
Cardiovascular Disease: Is there Any Relationship? Current Cardiology Reviews, 15(1), 55–63.
https://doi.org/10.2174/1573403x14666180711124825