Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN RESUME KEPERAWATAN

RESUME KEPERAWATAN PADA DENGAN DIAGNOSA CHRONIC


KIDNEY DISEASE
DI RUANG IHD RSUD KANJURUHAN

DEPARTEMEN
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

OLEH :

CHAIRUL AKBAR ADOLO


NIM. 202210461011032

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2023
LEMBAR PENGESAHAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA DENGAN DIAGNOSA MEDIS


CHRONIC KIDNEY DISEASE DI RUANG IHD RSUD KANJURUHAN

DEPARTEMEN
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

KELOMPOK 4

NAMA: CHAIRUL AKBAR ADOLO


NIM.
202210461011032
PERIODE PRAKTEK/MINGGU KE: 23-28 Januari

Malang, 23 Januari 2023


CI Lahan Pembimbing,

( ) (Henik tri, M. Kep.,Phd)


DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................................iv
BAB I LAPORAN PENDAHULUAN...................................................................................1
1.1 Konsep Ginjal..............................................................................................................1
1.1.1 Definisis Ginjal....................................................................................................1
1.1.2 Anatomi ginjal.....................................................................................................1
1.2 Konsep Chronic Kidney Disease (CKD).....................................................................2
1.2.1 Definisi CKD.......................................................................................................2
1.2.2 Etiologi CKD.......................................................................................................3
1.2.3 Manifestasi Klinik CKD.....................................................................................5
1.2.4 Patofisiologi CKD...............................................................................................5
1.2.5 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................7
1.2.6 Penatalaksanaan.................................................................................................7
1.2.7 Komplikasi CKD.................................................................................................9
1.2.8 Diagnosis Keperawatan Prioritas Yang Mungkin Timbul...........................11
1.2.9 Intervensi keperawatan....................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................18

iv
BAB I LAPORAN PENDAHULUAN

1.1 Konsep Ginjal


1.1.1 Definisis Ginjal
Ginjal merupakan salah satu organ vital dalam tubuh manusia yang memiliki
peranan yang sangat penting dalam metabolisme tubuh. Jika terjadi gangguan fungsi
ginjal akibat penyakit kronis, maka akan mempengaruhi fungsi organ tubuh lainnya
(multi-organ disorders). ginjal berfungsi menyaring kotoran (terutama urea) dari darah
dan membuangnya bersama dengan air dalam bentuk urin, (Dewi et al., 2019).
Secara keseluruhan ginjal berfungsi menyaring sekitar 200 liter cairan sehari
dari aliran darah ginjal yang memungkinkan toksin, produk sisa metabolisme, dan ion
berlebih dikeluarkan sambil menjaga zat penting dalam darah. Ginjal mengatur
osmolaritas plasma dengan mengatur jumlah air, zat terlarut, dan elektrolit di dalam
darah. Hal tersebut untuk menjaga keseimbangan asam-basa dalam jangka panjang
dan juga memproduksi eritropoietin yang merangsang produksi sel darah merah. Ini
juga menghasilkan renin untuk pengaturan tekanan darah dan melakukan konversi
vitamin D menjadi bentuk aktifnya, (Ogobuiro & Tuma, 2021).

1.1.2 Anatomi ginjal


Ginjal terletak di belakang rongga perut atau di belakang peritoneum di kedua
sisi vertebra lumbalis ketiga, dan melekat langsung ke dinding perut. Ginjal berbentuk
seperti kacang merah. Bagian dalam atau hilus menghadap ke tulang belakang
sedangkan bagian luarnya berbentuk cembung. Jumlah ginjal ada dua yang meliputi
ginjal kanan dan ginjal kiri. Adapun panjang ginjal +12 cm, lebar +6-8 cm, tebal 2,5
cm, dan berat +200 gram, (Purwanto, 2016).
Secara anatomi ginjal dibagi menjadi bagian korteks dan medulla. Korteks
tersusun atas semua kapiler glomerulus, sebagian segmen tubulus kontortus, tubulus
lurus, tubulus kolektivus, duktus kolektivus. Sedangkan pada Medula meliputi tubulus
lurus dan duktus pengumpul yang memanjang ke korteks dari medulla. Gabungan dari
glomerulus, tubulus, duktus kolektivus disebut dengan nefron, yang mana pada setiap
ginjal memiliki 1 juta nefron, (Purwanto, 2016; Soriano et al., 2021)

1
Gambar 1.1 Struktur ginjal

1.2 Konsep Chronic Kidney Disease (CKD)


1.2.1 Definisi CKD
Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis merupakan suatu
kondisi terjadinya penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel, untuk
menilai fungsi ginjal dapat diperkirakan dengan laju filtrasi glomerulus atau estimated
Glomerular Filtration Rate (eGFR) <60 ml/menit/1.72 m², serta adanya manifestasi
yang terus menerus menunjukan kerusakan ginjal yang berlangsung lebih dari 3
bulan, (Yan et al., 2021).
Penyakit ginjal kronis (PGK) atau biasa disebut gagal ginjal kronis merupakan
penurunan progresif fungsi ginjal dalam beberapa bulan atau tahun. Hal tersebut
didefinisikan sebagai kerusakan ginjal dan penurunan eGFR selama minimal 3 bulan,
(Kemenkes RI, 2017).
Berdasarakan definisi diatas dapat disimpulkan, CKD atau PGK merupakan
suatu keadaan hilangnya fungsi ginjal secara progresif dan irreversibel yang terjadi
lebih dari 3 bulan, salah satunya ditandai dengan terjadinya penurunan eGFR.
Menurut KDIGO terdapat 5 tahap CKD berdasarkan eGFR yang diuraikan
sebagai berikut, (Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO), 2020):
Grade eGFR Deskripsi
1 >90 eGFR normal dengan proteinuria
2 60-89 Sedikit penurunan eGFR disertai dengan proteinuria,
hal tersebut dikaitakan dengan usia

2
3a 45-59 Penurunan eGFR skala ringan hingga sedang
3b 30-44 Penurunan eGFR skala sedang hingga berat
4 15-29 Penurunan eGFR skala berat
5 <15 Gagal ginjal

1.2.2 Etiologi CKD


Penyebab yang sering terjadi pada pasien CKD yaitu sebagai berikut, (Charles
& Ferris, 2020):
a. Usia
Secara fisiologis di usia >50 tahun, ginjal akan mengalami penurunan fungsi yang
cukup signifikan hal tersebut mengakibatkan berkurangnya jumlah nefron sebanyak
+20%, (Ariyanto et al., 2018). Hal tersebut terjadi karena arteri kehilangan
kelenturannya dan menjadi kaku, kemudian darah dipompa dan dipaksa melalui
pembuluh darah yang sempit yang menyebabkan tekanan darah, bila berlangsung
dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan sklerosis pada pembuluh darah ginjal
dan mengakibatkan Pembuluh darah mengalami vasokonstriksi dan obstruksi
sehingga terjadi kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus, kemudian nefron ginjal
rusak dan terjadi gagal ginjal, (Cahyo et al., 2019).
b. Diabetes melitus
Gagal ginjal akibat diabetes melitus disebut sebagai nefropati diabetika. Tahapan
nefrotik diabetik pada penderita diabetes melitus yaitu dari normo-albuminuria
menjadi mikro-albuminuria dan makro-albuminuria kemudian dapat mengakibatkan
abnormalitas fungsi ginjal yang ditunjukan dengan terjadinya peningkatan serum
kreatinin, hal tersebut dapat dihitung menggunakan laju filtrasi glomelurus, (Naeem et
al., 2018).
c. Dislipidemia
Dislipidemia dapat mempercepat proses penyakit ginjal melalui berbagai mekanisme.
Pertama, reabsorpsi asam lemak, fosfolipid, dan kolesterol yang terkandung dalam
protein yang disaring oleh sel epitel tubulus. Kedua, akumulasi lipoprotein di
mesangium glomerulus, (Ahmad et al., 2018).
d. Merokok
Stimulus ujung saraf simpatis postganglionik oleh nikotin menghasilkan peningkatan
kadar epinefrin dan norepinefrin dengan begitu dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah tinggi, aktivasi Renin-Angiotensin-Aldosterone System (RAAS),

3
4
peningkatan GFR serta tekanan intraglomerulus yang akan meningkatkan
progresifitas pemburukan dungsi ginjal, (Vallianou et al., 2018)
e. Konsusmsi alcohol berat
Minuman alkohol merupakan minuman yang mengandung etanol atau etil alkohol
(C2H5OH). Konsumsi Alkohol secara berlebihan sangat berbahaya bagi tubuh.
Alkohol bisa mengakibatkan terjadinya kerusakan pada organ tubuh salah satunya
yaitu kerusakan pada ginjal, hal tersebut meningkatkan risiko albuminuria serta
penurunan laju filtrasi glomerulus dalam 5 tahun follow up, (Nurul Azizah et al.,
2018).

f. Obat obatan
Konsumsi obat-obatan yang bersifat nefrotoksik dapat berpengaruh terhadap
kerusakan ginjal, obat-obatn yang bersifat nefrotoksik salah satunya yaitu obat
analgetik. Obat analgetik bersifat dose dependant yang artinya semakin sering
konsumsi maka semakin banyak dosisnya, akibatnya hal tersebut dapat merusak
jaringan ginjal. Apabila mengkonsumsi analgetik setiap hari dalam jangka panjang
dapat menyebabkan nefropati analgetik atau penyakit ginjal yang disebabkan oleh
obat-obatan, (Agustianingsih et al., 2018).
g. Hipertensi
Seseorang dikatakan hipertensi apabila tekanan darah sistol >140 mmhg dan diastole
>90 mmhg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan
cukup istirahat/tenang. Manifestasi klinis hipertensi meliputi sakiit kepala, terdapat
rasa berat di tengkuk, vertigo, jantung berdebar, mudah lelah, penurunan kemampuan
penglihatan, tinnitus, serta mimisan. adapun faktor risiko hipertensi yaitu usia, jenis
kelamin, genetik, merokok, konsumsi garam dan lemak jenuh, konsumsi alkohol,
obesitas, kurang akyifitas 8 fisik, stress, dan penggunaan estrogen, (Kemenkes RI,
2014). Peningkatan tekanan darah dengan jangka waktu lama dapat mengakibatkan
terjadinya sklerosis pada pembuluh darah yang apabila terjadi pada arteriol dan
glomeruli dapat menyebabkan nefrosklerosis. Obstruksi yang terjadi pada arteriol
akan menyebabkan kerusakan glomerulus hingga atrofi tubulus, sehingga hal tersebut
membuat nefron mengalami kerusakan yang menyebabkan terjadinya gagal ginjal
kronik, (Cahyo et al., 2019).

5
1.2.3 Manifestasi Klinik CKD
CKD dapat diidentifikasi melalu skrining rutin, adapun gejala yang dapat
terjadi pada pasien CKD yaitu meliputi gross hematuria, keluhan urine berbusa
sebagai tanda albuminuria, nokturia, nyeri pinggang, atau terjadi penurunan produksi
urine. Pada pasien dengan diagnosa CKD lanjut dapat menimbulkan kelelahan, nafsu
makan yang buruk, mual, munth, mulut terasa logam, penurunan berat badan, pruritis,
perubahan status mental atau edema perifer, selain itu juga terdapat gejala tambahan
yang menunjukan penyebab yang sistemik misalnya hemoptisis, limfadenopati,
gangguan pendengaran, neuropati, atau obstruksi kemih seperti keraguan berkemih,
urgensi, frekuensi atau pengosongan kandung kemih tidak lengkap), (Chen et al.,
2019).

1.2.4 Patofisiologi CKD


Setiap hari ginjal menyaring sekitar 120 – 150 liter darah dan menghasilkan 1-
2 liter urin. Penyaring pada ginjal disebut sebagai nefron. Setiap nefron di ginjal
normal berkontribusi terhadap estimated Glomerular Filtration Rate (eGFR), nefron
terdiri dari glomerulus dan tubulus. Glomerulus bertugas untuk menyaring cairan
serta limbah untuk dikeluarkan, selain itu juga mencegah keluarnya sel darah dan
molekul besar yang sebagaian besar merupakan protein, kemudian melewati tubulus
untuk mengambil kembali mineral yang dibutuhkan tubuh dan membuang limbahnya.
Penurunan fungsi ginjal secara bertahap dan awalnya dapat muncul tanpa gejala.
Riwayat alami gagal ginjal tergantung pada etiologi penyakit tetapi pada akhirnya
melibatkan mekanisme homeostatis awal yang melibatkan hiperfiltrasi nefron, yang
mana terjadi pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi struktural dan
fungsional nefron masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin growth factors g injal, hal tersebut
menyebabkan terjadinya hiperfiltrasi yang disertai dengan peningkatan tekanan
kapiler dan aliran dalam glomerulus. meskipun kerusakan nefron progresif karena
nefron normal yang tersisa mengalami hiperfiltrasi dan hipertrofi kompensasi
mengakibatkan pasien dengan gangguan ginjal ringan dapat menunjukkan nilai
kreatinin normal dan penyakit ini dapat tidak terdeteksi untuk beberapa waktu.
Kemampuan beradaptasi nefron ini memungkinkan pembersihan normal zat terlarut
plasma yang berkelanjutan. Mekanisme adaptif ini akan berjalan dengan sendirinya
dan pada akhirnya menyebabkan kerusakan pada glomerulus dari nefron yang tersisa

6
berupa sclerosis nefron. Pada titik ini, antihipertensi seperti ACE atau ARB mungkin
bermanfaat dalam

7
memperlambat perkembangan penyakit dan menjaga fungsi ginjal. Kadar plasma zat
seperti urea dan kreatinin mulai menunjukkan peningkatan yang terukur hanya setelah
total GFR menurun 50%. Misalnya, peningkatan kreatinin plasma dari 0,6 mg/dL
menjadi 1,2 mg/dL pada pasien, meskipun dalam kisaran normal, sebenarnya
menunjukkan hilangnya 50% massa nefron yang berfungsi. Meskipun hiperfiltrasi dan
hipertrofi sisa nefron bermanfaat untuk pemeliharaan GFR, hal ini ditemukan sebagai
penyebab utama disfungsi ginjal progresif. Peningkatan tekanan kapiler glomerulus
dapat merusak kapiler yang menyebabkan glomerulosklerosis fokal dan segmental
dan akhirnya menjadi glomerulosklerosis global, (Benjamin & Lappin, 2021;
Gliselda, 2021).

8
9
1.2.5 Pemeriksaan Penunjang
CKD didefinisikan sebagai penurunan GFR selama lebih dari 3 bulan atau
adanya tanda kerusakan ginjal seperti albuminuria, kelainan sedimen urin, kelainan
struktural ginjal yang terdeteksi oleh pemeriksaan histologis atau pencitraan (USG).
Maka untuk membedakan penyakit ginjal akut dan kronis memerlukan penilaian GFR
dan biomarker kerusakan ginjal, yang pada umumnya dilakukan pengukuran
kreiatinin serum dan albumin urin. Pasien tanpa penurunan GFR dan tanpa biomarker
kerusakan ginjal dapat digambarkan memiliki penyakit ginjal yang tidak diketahui.
Tes diagnostik tambahan diperlukan untuk menentukan penyebab penyakit ginjal
kronis dan untuk memandu pengobatan, (Susanti, 2019).
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien CKD meliputi
pemeriksaan Laboratorium dan pemeriksaan Radiologis. Adapun gambaran
laboratorium pada pasien CKD yaitu terdapat penurunan fungsi ginjal yang ditandai
dengan peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, serta terdapat penurunan eGFR
yang dihitung menggunakan rumus Kockcrift-Gault. Namun, untuk memperkirakan
fungsi ginjal tidak hanya menggunakan kadar kreatinin saja. Selain itu, terdapat
kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar haemoglobin, peningkatan kadar
asam urat, hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia, hiperkloremia atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic. Kelainan urinalis
berupa proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isosteinuria. Sedangkan gambaran
radiologis pada pasien CKD mencakup foto polos abdomen yang bias tampak batu
radio opak, USG ginjal bias memperlihatkan ukuran ginjal yang mngecil, korteks
menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, serta kalsifikasi, (Lubis et
al., 2018).

1.2.6 Penatalaksanaan
Terapkan gaya hidup sehat pasien dengan CKD yaitu sebagai berikut, (Kidney Health
Australia, 2020):
a. Pasien diharapkan untuk berhenti merokok (bagi perokok)
b. Mengkonsumsi sayur-sayuran, buah-buahan, sereal gandum, daging tanpa lemak,
ikan, unggas, telur, kacang-kacangan, dan biji-bijian, serta susu rendah lemak.
Batasi garam hinga <6 gr/hari atau <100 mmol/hari, batasi asupan makan yang
mengandung lemak jenuh dan tak jenuh serta asupan makanan yang mengandung
gula tambahan.

10
c. Berhenti konsumsi alkohol

11
d. Melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sedang 150-300 menit (2-5 jam),
aktivitas fisik dengan intensitas berat dengan durasi 75-150 menit (1-2 jam), atau
melakukan kombinasi aktivitas fisik dengan intensitas sedang dan berat yang
dilakukan setiap minggu, selain itu juga lakukan aktivtas penguatan otot minimal
2 hari dalam seminggu.
e. Batasi asupan energi untuk menjaga berat badan yang ideal (IMT <25 kg/m²)

Penatalaksanaan Keperawatan yang dapat diberikan pada pasien CKD dibagi menjadi
tiga yaitu sebagai berikut, (Nuari & Widayati, 2017):
a. Konservatif
Melakukan observasi balance cairan, mengobservasi adanya edema, serta
membatasi cairan masuk
b. Dialysis
1. Peritoneal dialysis, dilakukan pada pasien dengan kasus emergency.
Sedangkan, dialysis yang dapat dilakukan dimana saja atau yang tidak bersifat
akut yaitu Continues Ambulatori Peritonial Dialysis (CAPD).
2. Hemodialisis, dialysis merupakan suatu proses ketika zat darah difiltrasi
melalui membrane semipermeable. Dialysis yang dilakukan melalui tindakan
invasive pada vena. Pada awalnya hemodialisis dilakukan melalui daerah
femoralis namun untuk mempermudah maka dilakukan pada AV vistula yaitu
menggabungkan vena dan arterim, serta Double lumen yaitu langsung pada
daerah jantung (vaskularisasi ke jantung).

c. Medikasi
Pemberian obat dilakukan berdasarkan penyebab dan gejala yang muncul. Pasien
dengan hipovolemi dapat diberikan larutan hipotonik seperti saline 0.45%. Bila
hipovolemia disebabkan oleh perdarahan atau hilangnya banyak plasma, maka
diberikan packed red cell dan salin isotonic, untuk menghasil diuresis yang
adekuat dapat diberikan furosemide 320 mg/hari. Sedangkan, gagal ginjal yang
diakibatkan nefrotoksin atau iskemia dapat diberikan obat yang meningkatkan
sirkulasi ginjal seperti dopamine, mannitol, dan dierutik ansa Henle. Serta,
glomerulonephritis dapat diatasi dengan menggunakan glukokortikod.

12
1.2.7 Komplikasi CKD
Komplikasi CKD dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Hipertensi
CKD dihubungkan peningkatan aktivitas Renin Angiotensi Aldosteron System
(RAAS). Terdapat penurunan aliran darah di kapiler peritubular di bagian hilir
glomerulus yang mengalami sklerosis. Akibat penurunan aliran darah, glomerulus
di daerah ini menghipersekresi renin sehingga meningkatkan kadar angiotensin II
yang bersirkulasi. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriktor langsung yang
meningkatkan resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah. Karena glomerulus
yang berfungsi lebih sedikit pada CKD, setiap glomerulus yang tersisa harus
meningkatkan laju filtrasi glomerulus (GFR), meningkatkan tekanan arteri
sistemik serta membantu meningkatkan tekanan perfusi. Angiotensin II juga
meningkatkan reabsorpsi natrium di tubulus proksimal dan duktus pengumpul atau
duktus kolektivus. Selain itu, kehilangan bersih GFR secara keseluruhan
mengganggu ekskresi natrium, yang juga menyebabkan retensi natrium. Retensi
natrium menyebabkan hipertensi melalui mekanisme volume-dependent dan
volume- independent. Kelebihan volume ekstraseluler menyebabkan peningkatan
perfusi jaringan perifer yang merangsang vasokonstriksi, meningkatkan resistensi
pembuluh darah perifer dan karena itu meningkatkan tekanan darah, (Ku et al.,
2019).
b. Cardiovascular disease (CVD)
CVD merupakan penyebab utama kematian pada pasien CKD, prevalensi serta
beban komplikasi ini meningkat dengan menurunnya fungsi ginjal. Risiko
kematian akibat CVD lebih besar pada pasien dengan CKD stadium G5 A3 (eGFR
300 mg/g) dibandingkan dengan pasien CVD tanpa penyakit ginjal. Sementara
risiko kejadian kardiovaskular aterosklerotik konvensional meningkat dengan
CKD, sebagian besar peningkatan risiko disebabkan oleh patologi non-
aterosklerotik, seperti hipertrofi ventrikel kiri dengan disfungsi diastolik dan
sistolik, penyakit katup, dan kalsifikasi arteri. Patologi ini dapat bermanifestasi
sebagai disritmia atrium dan ventrikel, gagal jantung, dan kematian mendadak.
Terdapat faktor risiko tambahan yang perlu dipertimbangkan pada pasien CKD,
yang sebagian besar dianggap sebagai komplikasi CKD. Misalnya, gangguan
mineral dan endokrin yang mencerminkan gangguan tulang mineral CKD, seperti
retensi fosfat, peningkatan

13
kadar faktor pertumbuhan fibroblas, dan gangguan dalam metabolisme Klotho,
dapat berkontribusi pada kardiomiopati dan vaskulopati, (Bello et al., 2017).
c. Anemia
Besi juga didaur ulang di dalam tubuh karena sel darah merah tua difagositosis
oleh makrofag retikuloendotelial dan kandungan besinya digunakan untuk
hematopoiesis jika diperlukan atau disimpan untuk digunakan lebih lanjut.
Regulasi metabolisme besi dimediasi, terutama oleh hepcidin, suatu hormon
peptida kecil (25 asam amino) yang disintesis dan disekresikan oleh hati. Hepcidin
mencegah transpor besi dengan cara berikatan dengan ferroportin pengangkut besi
yang terletak pada membran basal enterosit, sel retikuloendotelial, dan hepatosit.
Pengikatan hepcidin menyebabkan internalisasi ferroportin dari membran plasma
ke dalam sel dan degradasi utamanya, hipoksia, inflamasi, dan eritropoiesis
Karena hepcidin adalah peptida hormon kecil, maka hepcidin disaring dan
didegradasi oleh ginjal. Kadar hepcidin meningkat pada penyakit ginjal kronis
(CKD) dan berkorelasi negatif dengan laju filtrasi glomerulus (GFR). Mekanisme
yang bertanggung jawab untuk fenomena ini pada CKD termasuk penurunan
bersihan ginjal, peningkatan sitokin inflamasi, dan penurunan kadar eritropoietin,
(Batchelor et al., 2020).
d. Chronic Kidney Disease-Mineral and Bone Disorder (CKD-MBD)
Sebelum ditemukannya faktor pertumbuhan fibroblas 23 (FGF23), retensi fosfat
akibat penurunan fungsi ginjal telah dianggap sebagai pemicu utama
hiperparatiroidisme sekunder. Retensi fosfat menyebabkan triad hiperfosfatemia,
rendahnya [1,25 (OH)2D3 dan hipokalsemia merupakan rangsangan untuk sekresi
PTH yang pada gilirannya meningkatkan ekskresi fosfat dan perkembangan
hiperparatiroidisme sekunder pada CKD lanjut, (Waziri et al., 2019).
e. Retensi garam dan air
Pada CKD stadium 4 sampai 5 dan mungkin pada CKD stadium 3, terjadi
kehilangan pertahanan terhadap kelebihan natrium dan deplesi natrium. Kelebihan
natrium dengan retensi cairan sejauh ini adalah yang paling umum terjadi.
Sementara volume cairan ekstraseluler mungkin meningkat, keseimbangan
natrium tampaknya relatif terpelihara dengan baik sampai penyakit ginjal stadium
akhir. Kelebihan natrium dan cairan tidak hanya berkontribusi pada edema yang
dapat berdampak negatif pada kualitas hidup, tetapi juga hipertensi dan dengan
demikian

14
CVD (khususnya hipertrofi ventrikel kiri konsentris, yang dapat menyebabkan
disfungsi diastolik), (Mitsides et al., 2019).

1.2.8 Diagnosis Keperawatan Prioritas Yang Mungkin Timbul


a. (D.0005) Pola napas tidak efektif
b. (D.0022) Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi
c. (D.0016) risiko perfusi renal tidak efektif dibuktikan dengan disfungsi ginjal
d. (D.0142) risiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasive
e. (D.0077) nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik
f. (D.0014) risiko perfusi miokkard tidak efektif dibuktikan dengan hipertensi
g. (D.0037) Risiko ketidakseimbangan elektrolit

1.2.9 Intervensi keperawatan

Table 1.2 Rencana keperawatan pada kasus CKD

NO Diagnosa Keperawatan Intervensi Keperawatan


1. (D.0005) Pola napas tidak efektif (I.01002) Dukungan ventilasi
Observasi
1. Identifikasi adanya kelelahan otot bantu
nafas
2. Identifikasi efek perubahan posisi
terhadap ststus pernafasan
3. Monitor status respirasi dan
oksigenasi Terapeutik
1. Pertahankan kepatenan jalan nafas
2. Berikan posisi semi fowler atau fowler
3. Fasilitasi mengubah posisi senyaman
mungkin
4. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan
5. Gunakan bag- valve mask, jika
perlu Edukasi
1. Ajarkan melakukan tehnik relaksasi
nafas dalam
2. Ajarkan mengubah posisi secara
mandiri
3. Ajarkan tehnik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronchodilator,
jika perlu

15
2. (D.0022) Hipervolemia (I.03121) Pemantauan Cairan
berhubungan dengan gangguan Observasi:
mekanisme regulasi 1. Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
2. Monitor frekuensi nafas
3. Monitor tekanan darah
4. Monitor berat badan
5. Monitor waktu pengisian kapiler
6. Monitor elastisitas atau turgor kulit
7. Monitor jumlah, waktu dan berat
jenis urine
8. Monitor kadar albumin dan protein total
9. Monitor hasil pemeriksaan serum (mis.
Osmolaritas serum, hematocrit, natrium,
kalium, BUN)
10. Identifikasi tanda-tanda hipovolemia
(mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi
teraba lemah, tekanan darah menurun,
tekanan nadi menyempit, turgor kulit
menurun, membrane mukosa kering,
volume urine menurun, hematocrit
meningkat, haus, lemah, konsentrasi
urine meningkat, berat badan menurun
dalam waktu singkat)
11. Identifikasi tanda-tanda hypervolemia
9mis. Dyspnea, edema perifer, edema
anasarka, JVP meningkat, CVP
meningkat, refleks hepatojogular
positif, berat badan menurun dalam
waktu singkat)
12. Identifikasi factor resiko
ketidakseimbangan cairan (mis.
Prosedur pembedahan mayor,
trauma/perdarahan, luka bakar,
apheresis, obstruksi intestinal,
peradangan pankreas, penyakit ginjal
dan kelenjar, disfungsi intestinal)
Terapeutik:
1. Atur interval waktu pemantauan sesuai
dengan kondisi pasien
2. Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi:
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan

16
2. Informasikan hasil pemantauan, jika
perl
3. (D.0016) risiko perfusi renal tidak (I.02068) Pencegahan syok
efektif dibuktikan dengan Observasi
disfungsi ginjal 1. Monitor status oksigenasi (oksimetri
nadi, AGD)
2. Monitor status cairan (masukan dan
haluaran, turgor kulit, CRT)
3. Monitor tingkat kesadaran dan
respon pupil
4. Periksa riwayat
alergi Terapeutik
1. Berikan oksigen untuk mempertahankan
saturasi oksigen >94%
2. Pasang jalur IV
3. Pasang kateter urine untuk menilai
produksi urin, jika perlu
4. Lakukan skinen skine test untuk
mencegah reaksi alergi
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian IV, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian transfusi darah,
jika perlu
3. Kolaborasi pemberian antiinflamasi,
jika perlu

4. (D.0142) risiko infeksi dibuktikan (I.14539) Pencegahan Infeksi


dengan efek prosedur invasive Observasi
1. Monitor tanda dan gejala infeksi local
atau sistemik
Terapeutik
1. Batasi jumlah pengunjung
2. Berikan perawatan kulit pada area
edema
3. Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan lingkungan
pasien
4. Pertahankan teknik aseptic pada pasien
berisiko tinggi
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi

17
2. Ajarkan cara mencuci tangan
dengan benar
3. Ajarkan etika batuk
4. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka
atau luka operasi
5. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
6. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika
perlu
5. (D.0077) nyeri akut berhubungan (I. 08238) Manajemen Nyeri
dengan agen pencedera fisik Observasi
1. Lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat
dan memperingan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri Identifikasi pengaruh nyeri
pada kualitas hidup
7. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
8. Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis. TENS,
hypnosis, akupresur, terapi musik,
biofeedback, terapi pijat, aroma terapi,
teknik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
2. Control lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan)
6. (D.0014) risiko perfusi miokkard (I.02060) pemantauan tanda vital
tidak efektif dibuktikan dengan Observasi:
hipertensi 1. Monitor tekanan darah
2. Monitor nadi (frekuensi, kekuatan,
irama)

18
3. Monitor pernapasan (frekuensi,
kedalaman)
4. Monitor suhu tubuh
5. Monitor oksimetri nadi/ SaO2
6. Monitor tekanan nadi/MAP (selisish
TDS dan TDD)
Terapeutik:
1. Atur interval pemantauan sesuai kondisi
pasien
2. Dokumentasi hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu
7. (D.0037) Risiko I. 2) Pemantauan Elektrolit
ketidakseimbangan elektrolit Observasi
1. Identifkasi kemungkinan penyebab
ketidakseimbangan elektrolit
2. Monitor kadar eletrolit serum
3. Monitor mual, muntah dan diare
4. Monitor kehilangan cairan, jika perlu
5. Monitor tanda dan gejala hypokalemia
(mis. Kelemahan otot, interval QT
memanjang, gelombang T datar atau
terbalik, depresi segmen ST, gelombang
U, kelelahan, parestesia, penurunan
refleks, anoreksia, konstipasi, motilitas
usus menurun, pusing, depresi
pernapasan)
6. Monitor tanda dan gejala hyperkalemia
(mis. Peka rangsang, gelisah, mual,
munta, takikardia mengarah ke
bradikardia, fibrilasi/takikardia
ventrikel, gelombang T tinggi,
gelombang P datar, kompleks QRS
tumpul, blok jantung mengarah asistol)
7. Monitor tanda dan gejala hipontremia
(mis. Disorientasi, otot berkedut, sakit
kepala, membrane mukosa kering,
hipotensi postural, kejang, letargi,
penurunan kesadaran)

19
8. Monitor tanda dan gejala hypernatremia
(mis. Haus, demam, mual, muntah,
gelisah, peka rangsang, membrane
mukosa kering, takikardia, hipotensi,
letargi, konfusi, kejang)
9. Monitor tanda dan gejala hipokalsemia
(mis. Peka rangsang, tanda IChvostekI
[spasme otot wajah], tanda Trousseau
[spasme karpal], kram otot, interval QT
memanjang)
10. Monitor tanda dan gejala hiperkalsemia
(mis. Nyeri tulang,

20
DAFTAR PUSTAKA

Agustianingsih, T. srinuria, Padoli, & Anugrahini, H. N. (2018). penyebab gagal ginjal kronik (GGK) di
Ruang Hemodialisa Rumah Sakit Islam Jemursari Surabaya. X(3).

Ahmad, N., Bandur, N., & Artha, D. E. (2018). Gambaran Dislipidemia Pada Penderita Gagal Ginjal
Kronik Di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jurnal Media Laboran, 8, 44–50.

Benjamin, O., & Lappin, S. L. (2021). End-Stage Renal Disease.

Cahyo, V. D., Nursanto, D., Risanti, E. D., & Dewi, L. M. (2019). The Relationship of Hypertension and
Age Against the Chronic Kidney Failure in. 105–113.

Chen, T. K., Knicely, D. H., & Grams, M. E. (2019). Chronic Kidney Disease Diagnosis and

Dewi, G. A. M. L., Margiani, N. N., & Ayusta, I. M. D. (2019). Rerata ukuran ginjal dewasa normal
dengan computed tomography di RSUP sanglah tahun 2017. Jurnal Medika Udayana, 8(11), 1–6.
issn: 2597- 8012%0Ahttps://ojs.unud.ac.id

Kemenkes RI. (2014). Pusdatin Hipertensi. Infodatin, Hipertensi, 1–7.


https://doi.org/10.1177/109019817400200403

Kidney Health Australia. (2020). Chronic kidney disease management in primary care (4 (ed.)).

Ku, E., Lee, B. J., Wei, J., & Weir, M. R. (2019). Hypertension in CKD: Core Curriculum 2019.
American Journal of Kidney Diseases, 74(1), 120–131. https://doi.org/10.1053/j.ajkd.2018.12.044

Ogobuiro, I., & Tuma, F. (2021). Physiology Renal. Statpearls.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538339/#:~:text=The kidney regulates plasma osmolarity,
production of red blood cell.

Purwanto, H. (2016). Keperawatan Medikal Bedah II. In Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan.
KEMENKES RI 17

Vallianou, N. G., Mitesh, S., Gkogkou, A., & Geladari, E. (2018). Chronic Kidney Disease and
Cardiovascular Disease: Is there Any Relationship? Current Cardiology Reviews, 15(1), 55–63.
https://doi.org/10.2174/1573403x14666180711124825

Anda mungkin juga menyukai